Anda di halaman 1dari 6

Tatalaksana

Prinsip utama manajemen luka bakar adalah mempertahankan jalan nafas, termasuk
mewaspadai apakah ada trauma inhalasi dan edema laring akibat luka bakar, mengidentifikasi
dan mengatasi cedera mekanik, mempertahankan hemodinamik dengan resusitasi yang tepat,
mengendalikan suhu dan memindahkan pasien dari lingkungan yang membahayakan.
Perbedaan yang sangat signifikan antara luka bakar dan jenis cedera lainnya adalah
konsekuensi luka bakar yang secara langsung dihubungkan dengan respon inflamasi
berkepanjangan pada daerah cedera (Advanced Trauma Life Support, 2018).

2.8.1 Primary Survey dan resusitasi pasien luka bakar

1. Menghentikan proses pembakaran


Melepas seluruh pakaian pasien untuk menghentikan proses pembakaran.Kain sintesis
dapat terbakar dan pada temperatur tinggi dapat meleleh menjadi residu panas yang terus
membakar pasien. Irigasi luka dengan cairan salin atau bilas dengan air mengalir bersuhu
hangat jika fasilitas tersedia dan keadaan pasien mendukung. Setelah proses pembakaran
telah dihentikan, tutupi pasien dengan linen hangat, bersih dan kering untuk mencegah
hipotermia (Advanced Trauma Life Support, 2018).

2. Menjaga jalan nafas


Obstruksi jalan nafas terjadi tidak hanya karena cedera langsung (mis: cedera inhalasi) namun
juga dari edema masif yang dihasilkan dari luka bakar. Faktor-faktor yang meningkatkan
risiko obstruksi adalah meningkatnya ukuran dan kedalaman luka bakar, luka bakar di kepala
dan wajah, cedera inhalasi, dan luka bakar didalam mulut. Obstruksi jalan nafas pada pasien
luka bakar dapat terjadi secara perlahan hingga pasien dalam keadaan krisis. Obstruksi jalan
nafas pada pasien luka bakar dapat terjadi secara perlahan (sering tidak muncul dalam 24 jam
pertama) hingga pasien dalam keadaan krisis. Jika ragu, orofaring pasien dapat di periksa
untuk mencari tanda-tanda infeksi, cedera mukosa, jelaga di faring, dan edema.
Berdasarkan American Burn Life Support (ABLS), intubasi dini diindikasikan pada keadaan
berikut:
 Adanya tanda obstruksi nafas (suara serak, stridor, penggunaan otot bantu pernafasan,
retraksi sternum)
 Luka bakar yang luas (Total body surface area > 40-50%)
 Luka bakar wajah yang luas dan dalam
 Luka bakar didalam mulut
 Adanya edema yang signifikan maupun risiko terjadinya edema
 Sulit menelan
 Adanya tanda-tanda gangguan pernafasan : ketidakmampuan membersihkan sekresi,
kelelahan bernafas, oksigenasi atau ventilasi yang buruk
 Tingkat kesadaran yang menurun
 Pasien yang hendak dirujuk ke tempat yang jauh tanpa didampingi tenaga yang
terkualifikasi melakukan intubasi diperjalanan (Advanced Trauma Life Support,
2018).

Tingkat karboksihemoglobin lebih besar dari 10% juga menunjukkan adanya kemungkinan
cedera inhalasi. Pasien dengan trauma inhalasi dapat diintubasi dengan ETT berukuran 8mm
(minimal 7.5mm untuk pasien dewasa). Dalam perawatan jalan nafas juga dapat dilakukan:
1) Penghisapan sekret (secara berkala)
2) Pemberian terapi inhalasi (Natrium klorida 0,9% ditambah bronkodilator bila perlu. Selain
itu dapat ditambahkan zat seperti atropine sulfat untuk menurunkan produksi sekret, natrium
bikarbonat untuk mengatasi asidosis seluler dan steroid). 3) Bilasan bronkoalveolar
4) Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
5) Eskarotomi pada dinding toraks untuk memperbaiki komplians paru (Advanced Trauma
Life Support, 2018).

3. Memastikan Ventilasi yang adekuat


Permasalahan pada pernafasan umumnya timbul dari tiga penyebab yaitu; hipoksia,
keracunan karbon monoksida, dan trauma inhalasi asap. Dalam situasi ini, berikan oksigen
tambahan dengan atau tanpa intubasi. Paparan karbonmonoksida (CO) selalu terjadi pada
pasien yang berada di area tertutup. Diagnosa keracunan CO dibuat dari riwayat pajanan dan
pengukuran langsung karboksihemoglobin (HbCO). Pasien dengan kadar CO < 20% biasanya
tidak memiliki gejala fisik. Level CO yang tinggi dapat mengakibatkan nyeri kepala dan mual
(20-30%), pasien apatis/delirium (30-40%), koma (40-60%), dan kematian (>60%). Warna
kulit merah-ceri pada pasien dengan paparan CO jarang terjadi, dan hanya dapat dilihat pada
pasien yang hamper meninggal. Dikarenakan afinitas haemoglobin yang meningkat pada CO
-240 kali lipat lebih tinggi dari afinitas terhadap oksigen-, maka oksigen akan dipindahkan
dari molekul haemoglobin dan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri. CO
terdisosiasi sangat lambat dengan waktu paruh sekitar 4 jam setelah pasien menghirup udara
ruangan. Karena waktu paruh HbCO dapat dikurangi menjadi 40 menit dengan menghirup
oksigen sebesar 100%, maka setiap pasien yang terkena CO harus menerima oksigen tekanan
tinggi (100%) melalui masker non-rebreathing (Advanced Trauma Life Support, 2018). Jika
pemeriksaan karboksihemoglobin tidak tersedia sedangkan pasien sebelumnya berada dalam
ruang tertutup, maka pengobatan empiris dengan oksigen 100% harus dilakukan selama 4-
6jam dapat dilakukan terkecuali pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yang
harus dimonitor ketat saat oksigen diberikan. Oksimetri nadi tidak dapat menjadi acuan untuk
menyingkirkan keracunan karbon monoksida, karena sebagian besar oksimeter tidak dapat
membedakan oksihemoglobin dari karboksihemoglobin (Advanced Trauma Life Support,
2018).

Tidak ada peran terapi oksigen hiperbarik dalam resusitasi primer pasien kritis dengan
luka bakar. Setelah prinsip ATLS diikuti untuk menstabilkan pasien, konsultasikan dengan
unit luka bakar setempat apakah oksigen hiperbarik akan bermanfaat bagi pasien atau tidak
(Advanced Trauma Life Support, 2018).

Produk pembakaran termasuk partikel karbon dan asap beracun adalah penyebab
penting dari trauma inhalasi. Partikel asap akan mengendap di bronkiolus distal,
menyebabkan kerusakan dan kematian sel mukosa. Kerusakanpada saluran pernafasan
tersebut kemudian meningkatkan respon inflamasi yang menyebabkan kebocoran kapiler
hingga terjadi peningkatan kebutuhan cairan dan defek difusi oksigen. Setelahnya, sel
nikrotik akan cenderung terkelupas dan menyumbat saluran nafas hingga menyebabkan
pneumonia. Hal ini mengakibatkan mortalitas pasien luka bakar dengan trauma inhalasi
meningkat dua kali lipat. American Burn Association mengidentifikasi dua syarat untuk
mendiagnosis pasien dengan trauma inhalasi, yaitu: adanya riwayat pajanan terhadap agen
yang mudah terbakar dan tanda-tanda pajanan asap di saluran napas bawah maupun pita suara
yang dapat dilihat melalui bronkoskopi. Jika kondisi hemodinamik pasien memungkinkan
dan cedera tulang belakang sudah diekslusi, bagian kepala dan dada pasien dapat diangkat
sejauh 30 derajat untuk membantu mengurangi edema dinding leher (Advanced Trauma Life
Support, 2018).

4. Resusitasi cairan pada luka bakar

Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan
seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak
terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan
eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi
intravaskular untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi
respons inflamasi dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari
berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang
tepat. Setelah jalan nafas dan ventilasi adekuat, segera buat dua akses jalur intravemna
kaliber besar (setidaknya ukuran 18) pada vena perifer. Ekstremitas atas lebih diutamakan
dibanding ekstremitas bawah karena risiko flebitis dan flebitis septik ketika vena saphena
digunakan sebagai akses. Jika infus perifer tidak dapat diperoleh, pertimbangkan akses vena
sentral atau infus intraoseus pada anak. Mulailah infus dengan larutan isotonik yang
dihangatkan (diutamakan Ringer Laktat) dan pasang kateter kemih untuk memantau jumlah
urin guna menilai perfusi jaringan (Advanced Trauma Life Support, 2018). Rumus resusitasi
cairan Parkland yang lama telah diperbaharui oleh American Burn Association untuk
menghindari resusitasi berlebihan. Setengah dari total cairan diberikan dalam 8 jam pertama
setelah cedera dan sisanya diberikan selama 16 jam selanjutnya. Resusitasi luka bakar pada
pasien pediatrik diformulakan lebih tinggi karena luas permukaan per satuan massa tubuh
yang lebih besar dibandingkan volume intravaskular pediatrik yang lebih kecil. Anak-anak
yang sangat kecil (mis: <30kg) harus menerima cairan jenis D5RL (5% dekstrosa dalam
Ringer Laktat) selaincairan resusitasi luka bakar. Lalu, jumlah cairan yang disediakan harus
sesuai dengan target urin 0,5mL/kg/jam untuk orang dewasa dan 1 mL/kg/jam untuk anak-
anak dengan berat kurang dari 30kg. Pada orang dewasa, keluaran urin harus dipertahankan
antara 30-50cc/jam untuk meminimalkan potensi resusitasi berlebihan (Advanced Trauma
Life Support, 2018).

Tabel. 2.2 Resusitasi cairan dan target urine output berdasarkan jenis dan usia
2.8.2 Secondary Survey

1. Dokumentasi

2. Menilai sirkulasi perifer

Tujuan memeriksa sirkulasi perifer pada pasien luka bakar adalah untuk
menyingkirkan sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen dihasilkan dari peningkatan
tekanan yang mengganggu perfusi dalam kompartemen itu. Pada luka bakar, kondisi ini
dihasilkan dari kombinasi penurunan elastisitas kulit dan peningkatan edema pada jaringan
lunak. Saat denyut nadi hilang, mungkin sudah terlambat untuk menyelamatkan otot. Dengan
demikian, tanda dan gejala sindrom kompartemen harus diwaspadai yaitu:

 Nyeri lebih besar dari yang diharapkan dan tidak sesuai dengan stimulus atau cedera

 Nyeri pada regangan pasif otot yang terkena


 Pembengkakan yang keras / tegang pada kompartemen yang terkena
 Parastesia atau perubahan sensasi distal pada kompartemen yang terkena (Advanced
Trauma Life Support, 2018).

3. Pemasangan Gastric Tube dan Resusitasi Nutrisi

Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini dan
pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui
naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-
60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan
fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian
diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan
MODS (Wild, 2010).
Tabel 2.3
Kebutuhan Nutrisi Penderita Luka Bakar

Advanced Trauma Life Support. 2018. Thermal Injuries. American College of Surgeon. 10th

edition. Chapter 9. Pg 168-185.

Anda mungkin juga menyukai