Referat Tasya Dwi Vayari
Referat Tasya Dwi Vayari
Oleh:
Tasya Dwi Vayari, S.Ked.
NIM 71 2019 067
Pembimbing:
dr. Ridhayani, Sp.A
REFERAT
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Bari Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
i
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik di
SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang pada
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Saya menyadari
bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa kepaniteraan
klinik sampai pada penyusunan referat ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan referat ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1) dr. Ridhayani, Sp. A, selaku pembimbing yang telah menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan referat ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan referat ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan...................................................................................2
1.3. Manfaat Teoritis........................................................................................2
i
2.2.10 Komplikasi.......................................................................................11
2.6 Pnemothoraks.............................................................................................27
2.6.1 Definisi Pnemothoraks.......................................................................27
2.6.2 Faktor Risiko.....................................................................................28
i
2.6.3 Manifestasi Klinis..............................................................................28
2.6.4 Patofisiologi.......................................................................................28
2.6.5 Kriteria Diagnosis..............................................................................29
2.6.6 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................29
2.6.7 Tatalaksana........................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................37
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis tantangan global yang tidak
ringan, maka dari itu Indonesia berkomitmen mencapai Millenium
Development Goal's ( MDG' s ) dengan maksud manusia sebagai fokus utama
program pembangunan. Salah satu dari semua target yang ingin dicapai
MDG's adalah penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB). Berdasarkan fakta yang terjadi diIndonesia angka AKI dan A K
B masih tinggi, hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) pada
tahun 2002-2003 di ASEAN, Indonesia merupakan negara dengan angka
kematian bayi tertinggi 35 per 1000 kelahiran hidup. Oieh karena itu perlu
target dimasa mendatang pada tahun 2015 dimana A K I sebesar 102 per
100.000 kelahiran hidup dan A K B sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup.1
Morbiditas dan mortalitas neonatus masih merupakan masalah yang cukup
serius terutama di Negara berkembang. Kurang lebih tiga perempat kematian
neonatus ini terjadi pada tujuh hari pertama dan untuk masalah respirasi
mengambil peranan penting dalam tingginya kematian pada neonatus.2
Penyebab kematian pada bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah
gangguan pemapasan (36,9%), prematuritas (32,4%), sepsis (12%), hipotermi
(6,8%), kelainan darah/iktems (6.6%). Penyebab kematian bayi 7-28hari
adalah sepsis (20,5%), kelainan kongenhal (18,1%), pneumonia (15,4%),
prematuritas dan bayi berat lahir rendah (BBLR) (12,8%), dan respiratory
distress syndrome (RDS) (12,8%).3
Salah satu penyebab kematian untuk masalah respirasi pada bayi baru lahir
adalah Respiratory Distress Syndome. Respiratory Distress Syndrome (RDS)
adalah kesulitan atau terjadinya disflingsi pemapasan pada neonatus yang
dikarenakan beberapa hal, yaitu pada masa maternal seperti riwayat penyakit
pada ibu (hipertensi dan diabetes); masa fetal seperti bayi lahir prematur dan
kelahiran ganda; masa persalinan seperti kehilangan darah yang berlebih,
1
postmaturitas, secsio secaria); dan masa neonatal dikarenakan infeksi dan
asfiksia neonatorum.4 RDS merupakan masalah yang dapat menyebabkan
henti nafas bahkan kematian, sehingga dapat meningkatkan morbiditas
danmortalitas pada bayi baru lahir.5 Oleh karena itu penulis mengambil tema
ini dalam pembuatan referrat. Berikut adalah refrat ilmiah tentang
Respiratory Distress Syndome.
1.3. Manfaat
1.3.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang Respiratory Distress Syndome.
1.3.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
dibeikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang Respiratory Distress Syndome.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sindrom gawat pemapasan telah diperkirakan
terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir setiap tahun dan merupakan
kompiikasi pada sekitar 1% kehamilan. Sekitar 50% dari neonatus yang
lahir pada usia 26-28 minggu kehamilan mengalami sindrom gawat
pemapasan, sedangkan kurang dari 30% dari bayi prematur yang iahir di
usia 30-31 minggu kehamilan tergantung kondisi.6
2.1.3 Etiologi7
Etiologi dari Respiratory Distress Syndrome adalah sebagai berikut:
1. Traktus Respiratorius : Hyalin Membran Disease, Perdarahan Paru,
Hipertensi paru primer pada neonatus, Pneumonia aspirasi mekoniu
m, Aspirasi cairan ketuban, Pneumothoraks spontan, emfisema lobar
is kongenital, Hipoplasia paru.
3
2. Kardiovaskuler : Penyakit jantung bawaan (Tetralogi Of Fallot, Atre
sia Trikuspid, Transposition of Great Artery, VSD, PDA, ASD)
3. Sistem Saraf Pusat : Paralysis saraf Frenikus, Meningitis, Enchepalit
is
4. Traktus Urinaria : Pielonefritis
5. Sepsis bakteri (SGB)
6. Eritroblastosis fetalis
7. Polisitemia
2.1.6 Anamnesis9
Masa gestasi, cara persalinan, nilai APGAR, air ketuban bercampur mekon
ium, faktor risiko atau faktor predisposisi infeksi (suhu ibu >15.000/mm3, a
ir ketuban keruh & berbau busuk, ketuban pecah >12 jam, partus kasep).
4
Tergantung bentuk klinisnya:
1. Transient Tachypnoe of the Newborn : dispnu, takipnea, retraksi di
nding dada, merintih, sianosis, vesikuler normal.
2. Penyakit membran hyalin : dispnu, takipnea, retraksi dinding dada,
merintih, sianosis, vesikuler menurun, dan tanda-tanda bayi kurang
bulan.
3. Sindroma Aspirasi Mekonium : dispnu, takipnea, retraksi dinding
dada, merintih, sianosis, vesikuler dapat normal atau menurun, me
conium staining, dada tampak lebih cembung.
4. Bronkopneumoni : dispnu, takipnea, retraksi dinding dada, merinti
h, sianosis, vesikuler dapat normal atau menurun danjarang ditemu
kan ronkhi.
5. Pneumothoraks : dispnu, takipnea, retraksi dinding dada, merintih,
sianosis, vesikuler menurun, sela iga melebar dan dada tampak lebi
h cembung, asimetris gerakan dinding dada.
6. Hernia Diafragmatika : dispnu, takipnea, retraksi dinding dada, mer
intih, sianosis, vesikuler menurun, dada tampak lebih cembung, per
ut skapoid, dapat terdengar peristaltik usus pada thoraks.
7. Kelumpuhan syaraf frenikus : dispnu, takipnea, retraksi dinding da
da, merintih, sianosis, vesikuler menurun dan sering ditemui palsi b
rakial palsi (parase/ paralise).
5
3. Sindroma Aspirasi Mekonium : gejala klinis + foto thoraks
(diafragma datar, sela iga lebar, bercak infiltran kasar)
4. Bronkopneumonia : Gejala klinis + foto thoraks (infiltrat tidak
spesifik)
5. Pneumothoraks : Gejala klinis + foto thoraks (radiolusendan kolaps
parsial atau total paru yang terkena, pergeseran mediastinum,
pendatran diafragma) + transiluminasi positif, terutama pada bayi
kecil.
6. Hernia Diafragmatika : Gejala klinis + foto thoraks (tampak
gambaran usus di rongga thoraks)
7. Parase syaraf frenikus : gejala klinis + foto thoraks (elevasi
diafragma sisi parese, pergeseran mediastinum dan atelektasis) +
USG (gangguan./ berkurang gerakan diafragma sisi parese).
2.1.10 Tatalaksana9
1. Suportif, umumnya sama pada semua gawat nafas, yaitu:
a) Pemberian cairan
IVFD desktrose 71/2% atau 10% + Ca glukonas sesuai
dengan kebutuhan bayi
Mulai hari kedua ditambahkan NaCl 3% sebanyak 30cc/kolf
Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium
bikarbonat (4:1) bila dapat diperiksa analisa gas darah,
asidosis dan dikoreksi langsung dengan pemberian cairan
natrium bikarbonat 4,2% secara perlahan-lahan
6
Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 1-
3g/kgBB/hari. Bila sudah bisa minum per oral beri ASI atau
susu formula
b) Terapi oksigen (intra nasal, headbox, bubble CPAP, ventilator)
Pemberian oksigen dapat dimulai dengan high flow nasal (HFN)
kanul aliran 4-8 liter/menit FiO2 21% - 40%. Bila tidak berespon,
dapat diberikan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
dengan PEEP 7 cm H2O FiO2 ≤ 40%. Pemakaian CPAP juga
dapat langsung dipertimbangkan bila memenuhi salah satu
kriteria berikut ini: 6
1. Frekuensi napas > 60x/menit
2. Merintih (grunting)
3. Retraksi dada
4. Saturasi oksigen <93% (preduktal)
5. Kebutuhan Oksigen >60%
6. Sering mengalami apnea
7
Parase Syaraf Frenikus:
Konservatif (bayi dimiringkan ke sisi parase), Operatif bila
setelah 1 bulan tidak ada perbaikan
4. Edukasi : Penjelasan mengenai faktor risiko & penatalaksanaan serta
komplikasi yang mungkin timbul.
Nilai 0 1 2
Frekuensi Nafas <60x/menit 60-80x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan walaupun diberi
pemberian oksigen
oksigen
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
bilateral baik udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Sumber: Mathai23
Evaluasi
Total Diagnosis
<4 : Tidak ada gawat nafas
4-7 : Gawat nafas
>7 : Ancaman gagal nafas
8
pada bayi prematur (50,8%), diikuti transient tachypnea of the newborn
(4,3%), dan pneumonia/sepsis (1,9%).10 Peningkatan insidens proporsional
terhadap derajat prematuritas. 11
2.2.2 Epidemiologi
Insidens penyakit ini berbanding terbalik dengan usia gestasi
neonatus, angka kejadian RDS pada neonatus dengan usia gestasi 24-25
minggu berkisar 92%, pada usia gestasi 26- 27 minggu turun menjadi
88%, sedangkan usia gestasi 28-29 minggu angka kejadian RDS berkisar
76% dan menjadi 57% pada usia gestasi 30-31 minggu. 12 Menurut
observasi empiris dan penelitian epidemiologi, risiko RDS dihubungkan
dengan perbedaan ras dan disposisi genetik.
9
membahayakan jiwa ibu dan janin yang dikandung. Perkembangan dan
pertumbuhan bayi juga dapat terganggu akibat kontrol diabetes yang
rendah. Jika bayi harus dilahirkan lebih awal karena ukurannya besar, ia
akan lahir sebagia bayi prematur. Salah satu risiko dari bayi prematur
adalah paru-paru bayi belum sepenuhnya sempurna sehingga
menimbulkan risiko baru berupa gangguan sindrom pernapasan. 42
2.2.5 Patofisiologi
Penyakit membran hialin merupakan suatu keadaan dimana paru
secara anatomis maupun fisiologis imatur. Secara anatomis, paru tidak
mampu melakukan ventilasi secara adekuat karena alveolus tidak
berkembang dengan baik sehingga permukaan area untuk teijadinya
pertukaran gas kurang. Pada penyakit membrane hyalin juga terdapat
ketidaksempurnaan kapiler paru, serta banyak terdapat mesenkim
interstisial sehingga memperjauh jarak antara alveolus dan membrane sel
endothelial. 13
10
Defisiensi surfaktan pada penyakit membran hialin teijadi karena
kurangnya sel- sel pneumosit tipe II yang matur, yang menghasilkan
surfaktan. Secara fisiologi, jumlah surfaktan yang kurang akan
menyebabkan alveoli kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk
pemapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih
besar dan usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia alveolar,
retensi C02 dan asidosis. Hipoksia alveolar akan menimbulkan: (1)
oksigenasi jaringan menurun, dan asidosis. Hipoksia alveolar akan
menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan teijadi
metabolisme anaerob dengan penimbunan asam laktat dan asam organik
lainnya yang menyebabkan teijadinya asidosis metabolik pada bayi, (2)
kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris akan menyebabkan
terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Selanjutnya
fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk
suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga
menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian
pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.13
11
dapat memberi gambaran penyakit membran hialin yang menunjukkan
gambaran retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran
bronkhogram udara (air bronchogram) dan paru yang tidak berkembang. 14
12
2.2.9 Tatalaksana9
5. Suportif, umumnya sama pada semua gawat nafas, yaitu:
c) Pemberian cairan
IVFD desktrose 71/2% atau 10% + Ca glukonas sesuai
dengan kebutuhan bayi
Mulai hari kedua ditambahkan NaCl 3% sebanyak 30cc/kolf
Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium
bikarbonat (4:1) bila dapat diperiksa analisa gas darah,
asidosis dan dikoreksi langsung dengan pemberian cairan
natrium bikarbonat 4,2% secara perlahan-lahan
Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 1-
3g/kgBB/hari. Bila sudah bisa minum per oral beri ASI atau
susu formula
d) Terapi oksigen (intra nasal, headbox, bubble CPAP, ventilator)
Pemberian oksigen dapat dimulai dengan high flow nasal (HFN)
kanul aliran 4-8 liter/menit FiO2 21% - 40%. Bila tidak berespon,
dapat diberikan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
dengan PEEP 7 cm H2O FiO2 ≤ 40%. Pemakaian CPAP juga
dapat langsung dipertimbangkan bila memenuhi salah satu
kriteria berikut ini: 6
7. Frekuensi napas > 60x/menit
8. Merintih (grunting)
9. Retraksi dada
10. Saturasi oksigen <93% (preduktal)
13
11. Kebutuhan Oksigen >60%
12. Sering mengalami apnea
14
ikan dalam 4 men n 24 jam
it
Procine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat
diberikan tiap 12 jam
2.2.10 Komplikasi7
Komplikasi meliputi terjadinya pneumothorax, ductus arteriosus paten, dan
dysplasia bronkopulmonal (DBP).
2.2.11 Prognosis9
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam
2.3.2 Epidemiologi
Angka kejadian sekitar 1-2 % kelahiran hidup. Kejadianya lebih
banyak pada bayi lahir dengan operasi Caesar dibandingkan dengan lahir
spontan.18 Bayi baru lahir dengan TTN umumnya gangguannya terbatas
tanpa morbiditas yang signifikan. Bayi dengan TTN baru lahir yang
mebaik selama periode 24-72-jam.19 Tidak ada predileksi ras telah
dilaporkan. Risiko pria lebih banyak dibandingkan wanita. 20,21
15
makrosomia, bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit asma ,
diabetea mellitus dan pengaruh sedasi , asfiksia perinatal, Tidak adanya
Phosphatidylglycerol pada cairan amnion, bayi laki-laki. 21,22
2.3.5 Patofisiologi17
Segerah setelah janin lahir dan mulai menarik napas terjadi inflasi
paru yang mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolik yang
menyebabkan cairan berpindah ke interstitial. Volume darah paru juga
meningkat pada saat bayi menarik napas,tetapi cairan dalam paru belum
mulai berkurang sampai 30-60 menit post natal dan lengkap diabsorbsi
dalam 24 jam.
Cairan dalam lumen paru mengandung protein kurang dari 0,3
mg/ml, cairan dalam interstitial paru mengandung protein kurang lebih 30
mg/ml. Perbedaan kandungan protein ini menyebabkan perbedaan tekanan
osmotic lebih dari 10 cm H2O, yang mengakibatkan cairan berpindah dari
lumen ke interstitial. Peningkatan aktivitas Na-K, ATP ase epitel paru
selama proses persalinan menyebabkan peningkatan absorbsi cairan ke
interstitial. Masuknya udara ke paru saat menarik napas tidak hanya
mendorong cairan ke interstitial tetapi juga mengakibatkan tekanan
hidrostatistik dalam sirkulasi paru menurun dan meningkatkan aliran darah
paru sehingga secara keseluruhan akan meningkatkan luas permukaan
vascular yang efektif untuk mendrainase cairan. Pernapasan spontan juga
akan menurunkan tekanan intra thorakal sehingga menurungkan tekanan
16
vena sistemik yang akhirnya meningkatkan drainase melalui system limfe.
Penyebab TTN beleum diketahui secara pasti namun dicurigai
melalui 3 proses yaitu 1. Penyerapan cairan paru janin terganggu
disebabkan oleh gangguan penyerapan cairan paru janin dari sistem
limfatik paru dan gangguan mekanik, pada bayi yang lahir secara Caesar
karena kurangnya pemerasan toraks yang normal vagina, yang memaksa
cairan paru keluar. Volume cairan yang meningkat menyebabkan
penurunan fungsi paru-paru dan meningkatkan resistensi saluran napas
menyebabkan takipnea dan retraksi dinding dada. 2. Pulmonary
immaturity . beberapa penelitian mencatat bahwa derajat ringan imaturitas
paru merupakan faktor utama dalam penyebab TTN. Para penulis
menemukan rasio L-S matang tanpa fosfatidilgliserol (Adanya
fosfatidilgliserol mengindikasikan selesai pematangan paru). Bayi yang
lahir dengan usia kehamilan 36 minggu resiko lebih tinggi kena TTN
dibandingkan dengan usia 38 minggu. 3. Kekurangan surfaktan ringan.
Salah satu penelitian kekurangan surfaktan ringan merupakan penyebab
terjadinya TTN.
17
Pemeriksaan laboratorium pada pasien TTN dapat dilakukan pemeriksaan
lecithin–sphingomyelin ratio ( Rasio L-S mature ) , tidak adanya
fosfatidilgliserol dalam cairan ketuban dapat membantu untuk menentukan
kematangan paru, Analisis Gas Darah biasanya akan memperlihatkan
hipoksia ringan. Hipokarbia biasanya didapatkan. Jika ada, hipokarbia
biasanya ringan (PCO2 >55 mm Hg). Extreme hypercarbia sangat jarang,
namun jika terjadi, merupakan indikasi untuk mencari penyebab lain.
Differensial Count adalah normal pada TTN, tapi sebaiknya dilakukan
untuk menentukan apakah terdapat proses infeksi. Nilai hematokrit akan
menyingkirkan polisitemia. Urine and serum antigen test dapat membantu
menyingkirkan infeksi bakteri.21
Rontgen Thorax
Pada TTN didapatkan gambaran hiperinflasi paru, perihilla cuffing, cairan
di fisura interlobularis, diafragma lebih datar, kardiomegali ringan. 21
2.3.9 Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat diberikan, antara lain:9
a. Pemberian cairan
- IVFD dekstrose 71/2 % atau 10 % + Ca glukonas sesuai dengan
kebutuhan bayi
- Mulai hari ke 3 ditambahkan NaCl 3 % sebanyak 30 cc/kolf
- Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
18
- Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat
( 4 : 1 ) Bila dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan
dikoreksi langsung dengan pemberian cairan Natrium Bikarbonat
4,2 % secara perlahan-lahan
- Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 2-3
g/kgBB/hari. Bila sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu
formula
b. Terapi oksigen (intra nasal, head box, buble CPAP, ventilator)
Pemberian oksigen dapat dimulai dengan high flow nasal (HFN) kanul
aliran 4-8 liter/menit FiO2 21% - 40%. Bila tidak berespon, dapat
diberikan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dengan PEEP
7 cm H2O FiO2 ≤ 40%. Pemakaian CPAP juga dapat langsung
dipertimbangkan bila memenuhi salah satu kriteria berikut ini: 6
13. Frekuensi napas > 60x/menit
14. Merintih (grunting)
15. Retraksi dada
16. Saturasi oksigen <93% (preduktal)
17. Kebutuhan Oksigen >60%
18. Sering mengalami apnea
19
Sumber: Mathai23
Evaluasi
Total Diagnosis
c. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari,
gentamisin diganti dengan ceftazidim. 9
Tabel 6. Dosis Pemberian Antibiotika Berdasarkan Berat Badan dan Umur9
20
Gentamisin IV / IM 2,5 / 18 jam 2,5 / 12 jam 2,5 / 8 2,5 / 12 2,5 / 8 jam
jam jam
2.3.10 Prognosis9
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam
21
asfiksia perinatal. Beberapa bayi yang dilahirkan dengan cairan amnion
mekonialmemperlihatkan distres pernapasan walaupun tidak ada
mekonium yang terlihat dibawah korda vokalis setelah kelahiran. Pada
beberapa bayi, aspirasi mungkin terjadi intrauterin, sebelum dilahirkan. 24
2.4.3 Etiologi24
Etiologi terjadinya sindroma aspirasi mekonium adalah cairan
amnion yang mengandung mekonium terinhalasi oleh bayi. Mekonium
dapat keluar (intrauterin) bila terjadi stres / kegawatan intrauterin.
Mekonium yang terhirup bisa menyebabkan penyumbatan parsial ataupun
total pada saluran pernafasan, sehingga terjadi gangguan pernafasan dan
gangguan pertukaran udara di paru-paru. Selain itu, mekonium juga
berakibat pada iritasi dan peradangan pada saluran udara, menyebabkan
3
suatu pneumonia kimiawi.
22
um yang hanya sedikit, sebagian memiliki riwayat mekonium kental s
eperti lumpur.
c. Obstruksi jalan napas. Sindrom aspirasi mekonium dini akan bermanif
estasi sebagai obstruksi saluran napas. Gasping, apnu, dan sianosis da
pat terjadi akibat mekonium kental yang menyumbat saluran napas.
d. Distres pernapasan. Mekonium yang teraspirasi sampai ke saluran nap
as distal tetapi tidak menyebabkan obstruksi total akan bermanifestasi
sebagai distres pernapasan, berupa takipnu, napas cuping hidung, retra
ksi interkostal, peningkatan diameter anteroposterior dada dan sianosis.
2.4.6 Patofisiologi
Keluarnya mekonium intrauterine terjadi akibat dari stimulasi saraf
saluran pencernaan yang sudah matur dan biasanya akibat dari stres
hipoksia pada fetus. Fetus yang mencapai masa matur, saluran
gastrointestinalnya juga matur, sehingga stimulasi vagal dari kepala atau
penekanan pusat menyebabkan peristalsis dan relaksasi sfingter ani,
sehingga menyebabkan keluarnya mekonium. Mekonium secara langsung
mengubah cairan amniotik, menurunkan aktivitas anti-bakterial dan setelah
itu meningkatkan resiko infeksi bakteri perinatal. Selain itu, mekonium
dapat mengiritasi kulit fetus, kemudian meningkatkan insiden eritema
toksikum. Bagaimanapun, komplikasi yang paling berat dari keluarnya
mekonium dalam uterus adalah aspirasi cairan amnion yang tercemar
mekonium sebelum, selama, maupun setelah kelahiran. Aspirasi cairan
amnion mekonial ini akan menyebabkan hipoksia melalui 4 efek utama
pada paru, yaitu: obstruksi jalan nafas (total maupun parsial), disfungsi
surfaktan, pneumonitis kimia dan hipertensi pulmonal. 24
23
2. Distres pernapasan saat lahir atau sesaat setelah lahir, berupa takipnu,
napas cuping hidung, retraksi interkostal, peningkatan diameter
anteroposterior dada dan sianosis.
3. Gambaran radiologi yang positif.
4. Anamnesis : Adanya umur gestsasi aterm atau posterm dan terdapat
mekonium pada air ketuban berwarna kehijauan dan kental.
5. Pemeriksaan fisik
a. Obstruksi jalan napas ditandai dengan apneu, gapsing, sianosis
dan
b. didapatkan staining di kuku, kulit maupun umbilikalis. Selain itu
didapatkan distres pernapasan, takipneu, napas cuping hidung,
retraksi interkostal, peningkatan diameter dada dan sianosis.
c. Sebelum bayi lahir, alat pemantau janin menunjukkan
bradikardia (denyut jantung yang lambat)
d. Bayi memiliki nilai Apgar yang rendah.
e. Dengan bantuan stetoskop, terdengar suara pernafasan yang
abnormal (ronki kasar).
24
merupakan tanda yang serius pada janin yang dihubungkan dengan
kenaikan morbiditas perinatal, maka monitor denyutjanin merupakan
indikator penting. 27
2.4.9 Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat diberikan, antara lain: 9
a. Pemberian cairan
- IVFD dekstrose 71/2 % atau 10 % + Ca glukonas sesuai dengan
kebutuhan bayi
- Mulai hari ke 3 ditambahkan NaCl 3 % sebanyak 30 cc/kolf
- Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
- Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat
( 4 : 1 ) Bila dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan
dikoreksi langsung dengan pemberian cairan Natrium Bikarbonat
4,2 % secara perlahan-lahan
- Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 2-3
g/kgBB/hari. Bila sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu
formula
b. Terapi oksigen (intra nasal, head box, buble CPAP, ventilator)
Pemberian oksigen dapat dimulai dengan high flow nasal (HFN) kanul
aliran 4-8 liter/menit FiO2 21% - 40%. Bila tidak berespon, dapat
diberikan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dengan PEEP
7 cm H2O FiO2 ≤ 40%. Pemakaian CPAP juga dapat langsung
dipertimbangkan bila memenuhi salah satu kriteria berikut ini: 6
1) Frekuensi napas > 60x/menit
2) Merintih (grunting)
3) Retraksi dada
4) Saturasi oksigen <93% (preduktal)
5) Kebutuhan Oksigen >60%
6) Sering mengalami apnea
2.4.10 Komplikasi14
25
1. Air leak. Pneumotoraks atau pneumomediastinum terjadi pada 10-20%
pasien dengan MAS. Air leak terjadi lebih sering pada bayi yang
mendapat ventilasi mekanik. Bila terjadi pneumotoraks, maka harus
ditata laksana segera.
2. Hipertensi pulmonal. Sebanyak 35% kasus PPHN berhubungan
dengan MAS. Ekokadiogra harus dilakukan untuk menentukan derajat
keterlibatan pirau kanan ke kiri terhadap hipoksemia dan
mengeksklusi penyakit jantung bawaan. Pada kasus MAS yang
disertai PPHN, dapat dipertimbangkan pemberian inhalasi nitrit oksida
atau vasodilator sistemik seperti magnesium sulfat dengan bantuan
inotropik untuk mencegah hipotensi.
2.4.11 Prognosis9
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam
2.5 Bronkopneumoni
2.5.1 Definisi Bronkopneumoni7
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak (patchy distribution).
2.5.2 Etiologi14
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir
rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang
adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi
bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara
baik polusi industri atau asap rokok. 28
26
Pada neonatus penyebabnya adalah Streptokokus group B,
Respiratory Sincytial Virus (RSV). Sedangkan pada bayi yaitu
Parainfluensa, H. Influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Penyebab organisme atipikal yaitu Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Pada anak-anak yaitu Parainfluensa, Influensa Virus,Adenovirus, RSV.
Sedangkan organisme atipikal yaitu Mycoplasma pneumonia. Penyebab
bakteri pada anak-anak yaitu Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis.
Pada anak besar sampai dewasa muda penyebab organisme atipikal yaitu
Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis. Sedangkan penyebab bakterinya
adalah Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis. 29,30
27
semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana
pada jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan
anak yang lebih tua sehingga jaringan tersebut mudah terlihat. 30,32
Pada bronkopnemonia auskultasi ditemukan rales/ronki basah.
Ronki basah merupakan suara napas tambahan berupa vibrasi terputus-
putus akibat getaran yang terjadi karena adanya cairan dalam jalan napas
dilalui oleh udara. Harus diketahui perbedaan antara ronki basah halus (dari
duktus alveolus, bronkiolus dan bronkus
halus),ronkibasahsedang(daribronkuskecil dan sedang), dan ronki basah
kasar (dari bronkusdiluarjaringanparu).32
2.5.4 Patofisiologi
Stadium bronkopneumoni terbagi atas 4 stadium. Pada stadium I
(4-12 jam pertama atau kongesti) disebut hiperemia, mengacu pada respon
peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cede ra
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 29,30
Stadium II (48 jam berikutnya) disebut hepatisasi merah, terjadi
sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibri n yang
dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
28
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 29,30
StadiumIII (3-8hari) disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu
sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat
ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna
merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti. Pada stadium IV (7-11 hari) disebut juga stadium resolusi yang
terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa- sisa sel fibrin
dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula. 29,30
29
distress pernapasan. Pada neonatus, radiografi thorax sebagian besar
dilakukan dengan posisi supine dan dalam proyeksi anteroposterior. 43
Meskipun bronkopneumonia neonatal tidak memiliki tanda
karakteristik yang jelas, Banyak hasil radiografi thorax yang ditemukan
konsisten dengan bronkoneumonia neonatal. Ada beberapa tanda seperti
kekeruhan yang luas pada parenkim paru yang menyerupai tanda “ground-
glass appearance” dari sindrom distress pernapasan . 43
2.5.7 Tatalaksana
Suportif, umumnya sama pada semua gawat nafas, yaitu:
a) Pemberian cairan
IVFD desktrose 71/2% atau 10% + Ca glukonas sesuai dengan
kebutuhan bayi
Mulai hari kedua ditambahkan NaCl 3% sebanyak 30cc/kolf
Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat
(4:1) bila dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan dikoreksi
langsung dengan pemberian cairan natrium bikarbonat 4,2% secara
perlahan-lahan
Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 1-
3g/kgBB/hari. Bila sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu
formula
b) Terapi oksigen (intra nasal, headbox, bubble CPAP, ventilator)
Pemberian oksigen dapat dimulai dengan high flow nasal (HFN)
kanul aliran 4-8 liter/menit FiO2 21% - 40%. Bila tidak berespon,
dapat diberikan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
dengan PEEP 7 cm H2O FiO2 ≤ 40%. Pemakaian CPAP juga dapat
langsung dipertimbangkan bila memenuhi salah satu kriteria berikut
ini: 6
a) Frekuensi napas > 60x/menit
b) Merintih (grunting)
30
c) Retraksi dada
d) Saturasi oksigen <93% (preduktal)
e) Kebutuhan Oksigen >60%
f) Sering mengalami apnea
2.5.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini adalah empiema
thoraks, pericarditis purulenta, pneumothorax, infeksi ekstrapulmoner
seperti meningitis purulenta.29
2.5.9 Prognosis9
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam
2.6 Pneumothoraks
2.6.1 Definisi Pneumothoraks
Sindrom kebocoran udara (pneumomediastinum, pneumothorax,
pulmonary interstitial emphysema dan pneumopericardium) mencakup
spektrum penyakit dengan patofisiologi penyebab yang sama.
Penggembungan kantung alveolar secara berlebihan atau pengembangan
jalan napas terminal secara berlebihan mengarah pada gangguan integritas
jalan napas sehingga menyebabkan penyebaran udara ke rongga di
sekelilingnya. 33
31
Sindrom kebocoran udara ini paling sering ditemui pada neonatus
dengan penyakit paru yang berada dalam dukungan ventilator tetapi juga
dapat terjadi secara spontan. Semakin parah penyakit paru yang diderita,
semakin tinggi insidensi kebocoran udara pulmonaris. 33
2.6.4 Patofisiologi
Kelainan patologi paru sebagai penyakit yang mendasari kebocoran
udara pulmonal adalah bronkopneumonia dan hernia diafragmatika. Pada
bronkopneumonia secara histopatologi terdapat tiga bentuk kelainan pada
jaringan paru sebagai penyebab kebocoran udara pulmonal. Pertama,
bentuk membran hialin merupakan respon nonspesifik yang menunjukkan
kerusakan jaringan paru akibat defisiensi surfaktan, pneumonia, dan terapi
oksigen. Kerusakan epitel alveoli yang terjadi menyebabkan disintegrasi
epitel alveoli sehingga terjadi kebocoran udara pulmonal. Kedua,
pneumonia supuratif terjadi nekrosis pada parenkim paru, terbentuknya
mikroabses dan sumbatan parsial bronkiolus terminalis mengakibatkan
penipisan dinding saluran nafas sehingga dapat menyebabkan pneumatokel
dan kebocoran udara pulmonal. Ketiga, pneumonitis interstitialis terjadi
32
inflamasi pada jaringan interstitial paru, edema, infiltrasi mononuklear, dan
hiperplasia septum. Rongga alveoli tidak terpengaruh akibat inflamasi ini,
tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi nekrosis pada septal alveoli
sehingga terjadi disintegrasi epitel alveoli dan mengakibatkan kebocoran
udara pulmonal.34 Pneumotoraks pada kasus hernia diafragmatika terjadi
akibat komplikasi operasi repair diafragma. Pneumotoraks pada kasus
hernia diafragmatika terjadi setelah penarikan organ visera dari rongga
dada melalui defek yang umumnya terjadi pada posterolateral diafragma
kiri. Sebelum menyelesaikan repair diafragma dilakukan pemasangan
chest tube untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura sehingga paru
paru dapat mengembang. Tindakan yang agresif untuk melakukan
pengembangan paru justru akan mengakibatkan terjadinya pneumothoraks
pada sisi kontralateral.34
33
terang. Sensitivitas yang dilaporkan adalah 87-100% dan spesifisitas
95-100% . 41
2. X-Ray
X-ray dada biasanya memberikan diagnosis pasti jika ada waktu untuk
mendapatkannya. Dalam pneumotoraks besar di bawah tekanan, udara
dapat terlihat di ruang pleura, dengan perataan diafragma dan
perpindahan mediastinum. Tepi paru-paru terlihat jelas. Pneumotoraks
yang lebih kecil mungkin lebih sulit untuk dinilai. Peningkatan lusensi
secara umum dapat dicatat pada sisi yang terpengaruh (di sebelah
kanan pada sisi film yang berlawanan). Jika ada ketidakpastian, film
dekubitus lateral dengan sisi yang terkena harus membantu diagnosis.
Waspadai positif palsu - bayangan lipatan kulit, seprai, dan latissimus
dorsi yang meniru tepi paru-paru semuanya telah menyebabkan
dilema diagnostik. Ikuti bayangan di sepanjang dan cari tanda paru-
paru. 41
2.6.7 Tatalaksana9
Tidak ada tension pneumothorak: berikan oksigen 100% selama 12 ja
m pada bayi aterm (nitrogen washing).
Dengan tension pneumothoraks dilakukan pemasangan kateter interko
stal dengan kontinuos suction (WSD).
Jika keadaan kritis dapat dilakukan aspirasi dengan menggunakan win
g needle no.21 dan spuit 5cc serta three way stopcock.
34
diafragma sisi kiri. Biasanya lambung dan usus halus masuk ke kavum
toraks.
2.7.2 Etiologi
Etiologi pasti HDK belum diketahui tetapi diduga gangguan pembentukan
membran pleuroperitoneal. Pada minggu- minggu pertama
pembentukannya, kavum pleura dan kavum peritoneum bersatu melalui
sepasang kanal pleuroperitoneal. Pada minggu ke delapan, kavum pleura
berpisah dari kavum peritoneal dengan terbentuknya membran
pleuroperitoneal. Apabila membran pleuraperitoneal gagal terbentuk, maka
penutupan kanal pleuroperitoneal tidak komplit maka terjadilah defek
diafragma posterolateral. Hipotesis terbaru telah muncul berdasarkan
model HDK pada tikus yang terpajan nitrofen. Pemeriksaan dengan
mikroskop elektron pada tikus yang terpajan nitrofen menunjukkan bahwa
HDK disebabkan oleh gangguan pembentukan “posthepatic mesenchymal
plate” dimana lempeng ini juga berperan untuk penutupan kanal
pleuroperitoneual. Walaupun pernah dilaporkan kasus yang bersifat
familial (genetik), tetapi pada umumnya kasus HDK bersifat sporadik.
HDK berkaitan dengan trisomi kromosom 18, 21, dan 22 tetapi etiologi
genetiknya yang spesifik belum diketahui.37
Hernia Morgagni disebabkan oleh kegagalan fusi (penyatuan) bagian
sternal dan bagian krural diafragma. Pada lokasi yang dilintasi oleh arteri
epigastrika superior. Hernia Morgagni berkaitan dengan penyakit jantung
kongenital dan trisomikromosom 21. Terdapat varian hernia retrosternal
yang berkaitan dengan pentalogy Cantrell yaitu omphalokel, inferior
sternal cleft, defek jantung berat (misalnyaectopiacordis), hernia
diafragmatika dan defek perikardial. Varian ini disebabkan oleh kegagalan
pembentukan septum transversum pada masa embrio. 37
35
Manifestasi klinis pada Hernia diafragmatika adalah9:
Dispnu
Takipnea
Retraksi
Merintih
Sianosis
Vesikuler menurun
Sela iga melebar
Dada tampak lebih cembung
Dapat terdengar peristaltik usus pada thoraks
2.7.4 Patofisiologi
Hernia diafragmatika kongenital patofisiologinya cukup kompleks.
Hipoplasia paru adalah konsekuensi langsung dari kompresi paru yang
sementara berkembang oleh viscera hernia. Derajat atau beratnya
hipoplasia paru tergantung pada lamanya dan waktu herniasi viscera ke
dalam rongga dada. Hipoplasia lebih berat pada sisi yang terkena tetapi
terjadi pada kedua sisi. Pertukaran gas pada paru-paru yang kecil tersebut
sangat kurang karena berkurangnya area fungsional, berkurangnya cabang-
cabang bronkus, berkurangnya jumlah alveoli matur, dan defisiensi
surfaktan. Alveoli paru pada HDK immatur dan septum intraalveolar
menebal. Pada vaskularisasi paru terjadi peningkatan otot pada dinding
arteriol Karena vaskuler paru banyak mengandung otot maka terjadi
hipertensi pulmoner, dan akhirnya gagal pernapasan akut. Hipoplasia
ventrikel kiri juga terdapat pada HDK dan semakin memperburuk fungsi
kardiopulmoner.38
Paru hipoplastik pada pasien HDK secara fungsional immatur dan
tidak mampu melakukan pertukaran gas yang adekuat. Pada kebanyakan
kasus, fungsi alveoli tidak optimal sehingga akan cepat terjadi hipoksemia,
hiperkapnea dan asidosis. Arteri paru yang mengalami muskularisasi cepat
mengalami vasokonstriksi sebagai respon terhadap tekanan oksigen yang
rendah dan asidosis. Respon vasokonstriksi yang semakin bertambah dan
36
menetap ini akan mengakibatkan hipertensi pulmoner. Hipertensi pulmoner
pada bayi dengan HDK akan menyebabkan kembali ke pola sirkulasi janin
yaitu rightto left shunting melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
Juga terjadi shunting pada paru. Right to left shunting lebih lanjut akan
mengurangi pertukaran gas sehingga semakin memperberat hipoksia,
hiperkapnea, dan asidosis. Lingkaran proses ini akan terus berlanjut dan
akhirnya dengan cepat akan mengakibatkan hipotensi, syok dan gagal/henti
kardiopulmoner.38
Hernia Morgagni tidak menimbulkan problem patofisiologi seperti
pada defek diafragma posterolateral. Obstruksi gastrointestinal atau
iskemia dan perkembangan patofisiologinya adalah gambaran klinik dari
lesi ini apabila simptomatik. 38
distress nafas, analisis gas darah dapat sebagai indikator sederhana untuk
menilai derajat hipoplasia paru dan dapat diduga adanya hipoplasia paru
37
Foto Thoraks
Pada foto dada ditemukan gambaran udara intestinal dalam rongga dada.
(intra abdominal atau intra thorakal). Pada hernia Bochdalek kiri dapat
ditemukan adanya gambaran udara atau cairan usus pada hemitorak kiri
dan pergeseran bayangan jantung ke kanan. Pemeriksaan radiologis dada
juga dapat menentukan ada tidaknya pneumothorax. 40
Ultrasonografi
Pemeriksaan USG jantung untuk mengetahui adanya kelainan jantung
bawaan. USG ginjal diperlukan untuk menentukan ada tidaknya kelainan
saluran urogenital. USG kepala diperlukan untuk evaluasi adanya
perdarahan intraventrikular, infark, atau kelainan intrakranikal yang lain.
Sedangkan USG antenatal (in utero) dapat mendeteksi adanya polihi-
dramnion (80% kasus hernia Bochdalek disertai dengan polihidramnion),
tidak terdapat gambaran udara dalam lambung di rongga abdomen, terdapat
gambaran udara lambung dalam rongga dada, pergeseran mediastinum dan
proyeksi jantung, dan walaupun jarang mungkin terdapat gambaran
hydrops fetalis. 39
2.7.7 Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat diberikan, antara lain:9
a. Pemberian cairan
- IVFD dekstrose 71/2 % atau 10 % + Ca glukonas sesuai dengan
kebutuhan bayi
- Mulai hari ke 3 ditambahkan NaCl 3 % sebanyak 30 cc/kolf
- Bila ada tanda dehidrasi atasi dehidrasi
- Bila ada asidosis berikan cairan dekstrose dan natrium bikarbonat
( 4 : 1 ) Bila dapat diperiksa analisa gas darah, asidosis dan
dikoreksi langsung dengan pemberian cairan Natrium Bikarbonat
4,2 % secara perlahan-lahan
38
- Bila belum bisa makan per oral beri larutan asam amino 2-3
g/kgBB/hari. Bila sudah bisa minum per oral beri ASI atau susu
formula
b. Terapi oksigen (intra nasal, head box, buble CPAP, ventilator)
Pemberian oksigen dapat dimulai dengan high flow nasal (HFN) kanul
aliran 4-8 liter/menit FiO2 21% - 40%. Bila tidak berespon, dapat
diberikan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dengan PEEP
7 cm H2O FiO2 ≤ 40%. Pemakaian CPAP juga dapat langsung
dipertimbangkan bila memenuhi salah satu kriteria berikut ini: 6
3 Frekuensi napas > 60x/menit
4 Merintih (grunting)
5 Retraksi dada
6 Saturasi oksigen <93% (preduktal)
7 Kebutuhan Oksigen >60%
8 Sering mengalami apnea
c. Antibiotika : Ampisilin dan gentamisin, bila tidak ada perbaikan
dalam 2 hari, gentamisin diganti dengan ceftazidime, lama pemberian
5-7 hari
d. Terapi khusus:Operatif (repair diafragma). Tidak boleh dilakukan
VTP dengan balon sungkup dengan ETT
e. Edukasi mengenai faktor risiko dan penatalaksanaan serta komplikasi
yang mungkin timbul.
2.7.8 Komplikasi39
Komplikasi pneumotoraks terjadi akibat operasi repair diafragma.
2.7.9 Prognosis9
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam
39
BAB III
KESIMPULAN
2.3 Kesimpulan
1. Sindorm gawat napas atau sering disebut Respiratory Distress Syndrome
merupakan kumpulan dari 2 atau lebih gejala gangguan ventilasi paru yang
ditandai dengan frekuensi napas >60 kali/menit, merintih pada waktu
ekspirasi, retraksi interkostal, subkostal, suprasternal, epigastrium
Pernapasan cuping hidung dan sianosis.
2. Etiologi dari Respiratory Distress Syndrome melibatkan beberapa organ
antara lain traktus respiratorius, kardiovaskular, sistem saraf pusat, traktus
urinarius, sepsis, dan polisitemia.
3. Respiratory Distress Syndrome dapat ditegakkan diagnosisnya melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
40
DAFTAR PUSTAKA
4. Kosim, M.S. 2006. Gawat Darurat Neonatus pada Persalinan Preterm. Sari
Pediatri. 7(4):225-23I (http://saripediatri.idai.or.id/ diakses pada 6 Juni 2020)
41
8. Tobing, R. 2004. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus.
Sari Pediatri. 6(l):40-46 (http://saripediatri.idai.or.id diakses pada 26 agustus
2015)
10. Gleason CA, Devaskar SU. Avery’s disease of the newborn. 9th ed. United States
of America: Elsevier; 2012.
11. Kamath BD, MacGuire ER, McClure EM, Goldenberg RL, Jobe AH. Neonatal
mortality from respiratory distress syndrome: Lessons for low-resource countries.
Pediatrics. 2011;127(6):1139-46. doi: 10.1542/peds.2010-3212.
12. EuropeanPerinatalHealthReport.HealthandcareofpregnantwomenandbabiesinEuro
pein2010.EuroPeristat[Internet].2010[cited2016June29].Available from
http://www.europeristat.com/images/doc/EPHR2010_w_disclaimer.pdf
13. Fajariyah SU, Bermawi H, Tasli JM. Terapi Surfaktan pada Penyakit Membran
Hyalin. J Kedokt dan Kesehat. 2016;3(3):194–202.
14. Pudjiadi et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011
17. Jha K, Makker K. 2020. Transient Tachypnea of the Newborn. In: Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537354/ (Diakses pada 6 Juni 2020)
42
21. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle D. Neonatology: management,
procedures, on-call problems, diseases, and drugs. United States od America:
McGraw-Hill Companies; 2009.p.54,717-20.
22. Hooper SB, Siew ML, Kitchen MJ, te Pas AB. Establishing functional residual
capacity in the non-breathing infant. Semin Fetal Neonatal Med. Dec
2013;18(6):336-43.
26. Yeh, TF. Core Concepts: Meconium Aspiration Syndrome: Pathogenesis and
Current Management. American Association of Pediatrics. Available from :
http://neoreviews.aap publications.org. 2010. diakses 6 Juni 2020.
27. Kosim MS. Infeksi Neonatal Akibat Air Ketuban Keruh. Sari
Pediatri.2009;11(3):212–8.
28. World Health Organization.Globalaction plan for prevention and control
pneumonia. WHO; 2016.
29. Ikatan Dokter Anak Indonesia . Buku ajar respirologi anak. Jakarta: IDAI; 2012.
30. Rahajoe NN, Supriyanto B. Pneumonia.Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
19. Jakarta: IDAI; 2010.
32. Garna H, Heda M. Pneumonia dalam pedoman diagnosis dan terapi. Edisi ketiga.
Bandung: Bagian IKA FK UNPAD; 2010.
34. Cloherty J, Eichenwald E, Stark A. Pulmonary air leak. Dalam: Manual neonatal
care. Edisi ke-6. Philadephia: Lippincott williams and wilkins;2008. h.352-8.
43
Pediatric Surgery, Springer Surgery Atlas Series. Germany:Springer-Verlag
Berlin Heidelberg. 2006. p. 115-124.
36. Rush. The Diafragmatic Hernia, Newborn High Risk. [on line] 2009 January 03 th.
[5 screen]. Available from: URL: http// www.rush.edu.com.
37. Lewis Nicola, Glick Philip. Diaphragmatic Hernias. [on line] 2009 January 03th.
[8 screen]. Available from: URL: http// www.emedicine.com.
38. Hackam David J., Newman Kurt, and Ford Henri R. Congenital Diaphgragmatic
Hernia, Respiratory system, Chapter 38. Pediatric Surgery. In Schwartz Manual of
Surgery. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006. p. 991-994.
39. Pober BR, Russel MK, Ackerman KG. 2010. Congenital diaphragmatic hernia
overview. Gene Reviews. University of Wahington. Seattle. Diakses melalui
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pada 15 Desember 2014
40. Rasad, Sjahriar. Radiologi diagnostik. Ed 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
42. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. 6th ed. Elsevier Saunders; 2014.
43. Khan NA, Irion LK, Mohammed ES. Neonatal Pneumonia Imaging. Medscape.
2011.
44