Anda di halaman 1dari 63

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Imunitas

2.1.1 Definisi

Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia

sebagai  perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme,

termasuk virus,  bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam

perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas,

dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor. (Wikipedia.com)

Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar

biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem

kekebalan bekerja dengan  benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri

dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika

sistemkekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga

menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat

berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel

tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena

beberapa  jenis kanker.

4
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun

1. Sel sistem imun

Sistem imun terdiri atas komponen spesifik dan non spesifik yang memiliki fungsi

tersendiri tetapi tumpang tindih. Sistem imun yang diperantarai oleh antibodi yang

diperantarai oleh sel menghasilkan spesifisitas dan ingatan akan antigen yang pernah

dijumpai. Meskipun tidak memiliki spesifitas, komponen-komponen ini esensial karena

berperan dalam imunitas alamiterhadap beragam mikroorganisme lingkungan.

Komponen selular utama sistem imun adalah monosit dan makrofag, limfosit dan

golongan sel granulositik, termasuk neutrofil, eosinofil dan basofil. Fagosit mononukleus

berperan sentral dalam respon imun. Makrofag jaringan berasal dari monosit darah. Sebagai

respon terhadap rangsangan antigen makrofsg menelan antigen tersebut (fagositosis) dan

kemudian mengolah dan menyajikannya dalam bentuk yang dapat dikenali oleh limfosit T.

Limfosit bertanggung jawab mengenali secara spesifik antigen dan bentuk ingatan

imunologis, yaitu ciri imunitas adaptif. Sel-sel ini secara fungsional dan fenotipik dibagi

menjadi limfosit B yang berasal dari bursa limfosit T yang berasal dari timus.

Null cell merupakan 75% limfosit darah yaitu limfosit T dan 10% - 15% adalah

limfosit B, sisanya bukan limfosit B atau T. Null cell mungkin mencakup berbagai jenis sel

termasuk suatu kelompok yang dinamai Natural Killer (NK Cells).

Leukosit polimorfonukleus (neutrofil) adalah sel granulosotik yang berasal dari

sumsum tulang dan beredar dalam darah dan jaringan. Fungsi utamanya adalah fagositosis

non-spesifik antigen dan destruksi partikel asing atau organisme.

5
Eosinofil sering ditemukan ditempat peradangan atau rektivitasi imun dan berperan

penting dalam pertahanan pejamu terhadap parasit. Eosinofil memperlihatkan fungsi

modulatorik atau regulatorik dalam berbagai jenis peradangan.

Basofil berperan penting dalam respon alergik fase cepat dan lambat. Sel-sel ini

mengeluarkan banyak mediator poten pada penyakit peradangan imunologis.

2. Organ sistem imun

Semua sel sistem imun berasal dari sumsum tulang. Stem cells pluripoten

berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit, eritrosit, dan megakariosit. Defisiensi

dan disfungsi stem cells atau berbagai turunan sel yang berkembang darinya menyebabkan

defisiensi imun dengan beragam ekpresivitas dan keparahan

Timus yang berasal dari kantong faring ketiga dan keempat pada mudigah, berfungsi

menghasilkan limfosit T dann merupakan tempat diferensiasi awal limfosit T.

Getah bening berbentuk kacang kecil berbaring disepanjang perjalanan limfatik.

Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, aksila, selangkangan dan daerah para-aorta.

Pengetahuan tentang situs kelenjar getah bening yang penting dalam pemeriksaan fisik pasien.

3. Fungsi sistem imun

1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit menghancurkan dan menghilangkan

mokroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur dan virus) yang masuk kedalam

tubuh.

2. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk memperbaiki jaringan.

3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

4. Fisiologis

1. Imunitas bawaan dan didapat

6
Organisme hidup memperlihatkan dua tingkat respon terhadap invasi eksternal.

Sistem imun b/awaan (innate) alami dan sistem adaptif yang bersifat didapat. Imunitas

bawaan terdapat sejak lahir, cepat dimobilisasi dan aktivitasnya bersifat non-spesifik.

Permukaan kulit berfungsi sebagai lini pertahanan pertama sistem imun bawaan, sementara

enzim, jalur sistem komplemen alternatif, protein fase-akut, sel NK, dan sitokin membentuk

lapisan pertahanan tambahan.

Sistem imun adaptif ditandai oleh spesifisitas terhadap benda asing dan ingatan

imunologis yang memungkinkan terjadinya respon yang lebih intensif terhadap pertemuan

berikutnya dengan benda yang sama atau terkait erat. Introduksi suatu rangsangan ke sistem

imun adaptif memicu suatu rangkaian kompleks proses yang menyebabkan pengaktifan

limfosit.

2. Antigen (Imunogen)

Zat asing yang dapat memicu respons imun disebut antigen atau imunogen.

Imunogenisitas mengisyaratkan bahwa zat tersebut memeiliki kemampuan untuk bereaksi

dengan produk-produk sistem imun adaptif. Sebgian besar antigen merupakan protein,

meskipun karbohidrat murni juga dapat berlaku sebagai antigen.

Masuknya zat melalui mukosa (saluan napas atau cerna) merangsang pembentukan

antibodi lokal. Antigen larut diangkut ke jaringan limfe regional melalui pembuluh limfe

aferen sementara antigen lainnya diangkut oleh sel dendritik fagositik.

Organ limfoid perifer regional dan limpa adalah tempat bagi respon imun utama

terhadap antigen oleh limfosit dan sel penyaji antigen (antigen presening cell, APC).

7
3. Respon Imun

Untuk mengenali dan kemudian mengeliminasi antigen asing, jaringan kompleks yang terdiri

atas sel, organ, dan faktor biologis spesifik diperlukan. Interaksi selular yang kopmleks

memerlukan lingkungan mikro khusus tempat sel dapat bekerja sama secara efisien. Baik sel

B maupun sel T harus bermigrasi keseluruh tubuh untuk meningkatkan kemungkinan bawhwa

sel-sel tersebut menemukan antigen yang spesifisitasnya dimiliki kedua sel tersebut.

Respon imun terhadap antigen dalam darah biasanya dimulai di limpa, sedangkan respon

jaringan terhadap mikroorganisme terjadi dikelenjar limfe lokal. Antigen yang dijumpai

melalui rute inhalasi atau ingesti mengaktifkan sel-sel dijaringan limfoid terkait mukosa.

2.2 Gangguan-gangguan pada sistem imunitas

2.2.1 Hipersensitivitas

A.    Definisi

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang

menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya

non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan

atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang

menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.

B. Tanda Dan Gejala Alergi

Gejala-gejala alergi bisa mulai dari ringan ke sangat serius adalah :

1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah yang paling

umum gejala alergi obat.

2. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.

3. demam.

8
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn kulit

necrolysis, dan dapat membawa maut jika tidak dirawat.

5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut, dan

Anda akan memerlukan perawatan darurat.

C.  MACAM-MACAM ALERGI

1. Alergi makanan

Alergi makanan adalah merupakan respon alamiah imun tubuh yang bersifat negatif terhadap

protein dari makanan yang kita konsumsi. Intolerance atau alergi terhadap jenis makanan,

umumnya dapat berpengaruh pada siapa saja serta dapat menimbulkan reaksi yang berbeda

pada tiap individunya.

2. Alergi obat-obatan

Jenis alergi ini disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Reaksi alergi obat

merupakan reaksi alergi di mana system kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap

obat-obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang. yang diberikan tubuh pun sangat keras.

Contohnya dapat menyebabkan gatal-gatal, terdapat bercak-bercak merah pada kulit, mual dan

muntah. Obat yang berpotensi menimbulkan alergi antara lain antibiotic alergi (sulfonamid),

vaksin , dan obat non alergik ( kontras x-ray, aspirin, antibiotic, dan obat tekanan darah tinggi.

3. Alergi debu

Alergi debu disebabkan ketidakbiasaan tubuh dalam menerima kehadiran debu. Hal ini dapat

menimbulkan penderita dapat mengalami bersin-bersin dalam frekuensi yang sering, flu, rasa

gatal, dan hidung tersumbat.

9
4. Alergi suhu udara (dingin/panas)

Alergi ini diakibatkan oleh alergen udara. Ketidakmampuan sistem imun menerima udara

dingin misalnya dapat mengakibatkan jaringan dalam hidung menjadi bengkak, sehingga

hidung pun menjadi tersumbat.

5. Alergi musiman & Alergi yang terjadi terus menerus

Musiman (hay fever) yang umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah

seperti benang sari, debu, polusi udara atau asap. Serta Rinitis Alergi yang terjadi terus

menerus (parennial) yang diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di

rumah misalnya kutu debu rumah, debu parabot, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan

yang menyengat

6. Alergi zat kimia tertentu

D. ETIOLOGI

Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-

enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik)

memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus

mentoleransi makanan tertentu. Imaturitas usus (Ketidakmatangan Usus) Secara mekanik

integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam

tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi

allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina

propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur system

10
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi, sehingga memudahkan

alergen masuk ke dalam tubuh.

b.  Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa

bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.

Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita. Bila ada orang

tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita alergi kita harus mewaspadai tanda

alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala alergi,

maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 17 – 40%, Bila ke dua orang tua alergi

maka resiko pada anak meningkat menjadi 53 – 70%.

c.  Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen

bertambah.

2. Fakor Eksternal

a.  Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban

latihan (lari, olah raga).

b.  Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%;

telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

c.  Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi

alergi.

F. PATOFISIOLOGI

Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh  seseorang  yang

mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua

kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala

11
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan

mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang

akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan

melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang

mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal 

yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek

terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,

sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.

2. Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang

sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin

tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah.   Saat mereka mencapai kulit, alergen

akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan

dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma.

Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai

dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat

menyebabkan kematian

G. KLASIFIKASI ALERGI

1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.

Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran

gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari

ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah

12
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12

jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama

pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping

darah, neutrofil, dan eosinofil.

2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan

imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.

Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan

dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen

permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan

dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari

hipersensitivitas tipe II adalah:

a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),

b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada

permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian

berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan

c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga

menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan

adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal

ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks

13
antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan

adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen

(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis

memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks

antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.

Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif

dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal,

paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

4. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat

(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.

Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi

sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena

paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas

pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe

lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal

timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat

pada tabel di bawah ini.

Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis
Kontak 48-72 Eksim (ekzema) Limfosit, diikuti Epidermal (senyawa

jam makrofag; edema organik, jelatang atau 

14
poison ivy, logam
epidermidis
berat , dll.)
Intraderma
48-72 Pengerasan Limfosit, monosit,
Tuberkulin (tuberkulin, lepromin,
jam (indurasi) lokal makrofag
dll.)
Antigen persisten atau

Makrofag, epithelo senyawa asing dalam


21-28
Granuloma Pengerasan id dan sel raksaksa, tubuh
hari
fibrosis (tuberkulosis, kusta,

etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tip Mekanisme Imun Gangguan Prototipe

e
1 Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis, beberapa

Anafilaksis antibody IgE ® pelepasan amino bentuk asma

vasoaktif dan mediatorlain dari bronchial

basofil dan sel mast rektumen

sel radang lain


2 Antibodi IgG atau IgM  berikatan dengan Anemia hemolitik

terhadap antigen pada permukaan sel        autoimun,

antigen fagositosis sel target atau lisis eritroblastosis fetalis,

jaringan sel target oleh komplemen atau penyakit

tertentu sitotosisitas yang diperantarai Goodpasture,

oleh sel yang bergantung pemfigus vulgaris

15
antibody
3 Penyakit Kompleks antigen-antibodi   Reahsi Arthua, serum

Kompleks mengaktifkan ® komplemen  sickness, lupus

Imun menarik perhatian nenutrofil eritematosus sistemik,

menjadikan pelepasan enzim bentuk tertentu

lisosom, radikal bebas oksigen, glumerulonefritis akut

dll                     
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,

Selular pelepasan sitokin dan dermatitis kontak,

(Lambat) sitotoksisitas yang diperantarai penolakan transplant

oleh sel T

2.2.2 Autoimun

2.2.2.1 Lupus

A. PENGERTIAN

Menurut dokter umum RS Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy Qimindra

(2008) secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah “Systemik Lupus

Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau

serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan.

Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu

disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan

untuk penyakit Systemic Lupus Erythematosus.

16
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem autoimun

kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai manifestasi

klinis Krishnamurthy (2011).

B. ETIOLOGI

Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa factor yang

terlibat seperti factor genetic,obat-obatan,hormonal dan lingkungan ikut berperan pada

patofisiologi SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen

dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat

menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam kompleks

imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan

multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self

tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa factor :

a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B

b. Hiperaktivitas sel T helper

c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

C. PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan

peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh

kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan

penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,

stress, infeksi ). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin

dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut

terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

17
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-

supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan

jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi

tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

D. MANIFESTASI KLINIK

Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai

dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala

pada satu system yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya system imun.

Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung

bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh factor presipitasi seperti

kontak dengan sinar matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana

biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang,

kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam,

kadang-kadang disertai menggigil.

a. Gejala Muskuloskeletal

Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa

arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal,

peradangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, selain

pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Arthritis biasanya simetris,

tanpa menyebabkan deformitas, konfraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul

rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada

pasien yang mendapatkan pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling

sering terkena ialah kaput femoris.

18
b. Gejala integument

Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi

kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan

livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam

mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash )

berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan

yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar

matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini termasuk

lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular .

c. Kardiovaskuler

Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi kerikard), iskemia

miokard dan endokarditis verukosa ( libman sacks)

d. Paru

Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral.

Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi menghilang

dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat

ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberculosis dan

sebagainya telah disingkirkan.

e. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous

dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah

atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

19
f. Darah

Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah

di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah

trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan

darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat

penyakit menahun.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan

darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan secara penurunan berat badan dan

kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium

megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau

leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya

mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic

a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik

( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah

pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia,

limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama

penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-

globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada

penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan

ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin

b. Anti ds DNA

20
Batas normal : 70 – 200 iu/mL

Negatif :   < 70 iu/mL

Positif : > 200 iu/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada

penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE

sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan

penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis

bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat

meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya

mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.

Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody antinukleus (ANA). Ada

dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA ( anti ds-

DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA kurang

sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain.

Kompleks antibody-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja

tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks

tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya

inflamasi baik local maupun sistemik ( Pagana and Pagana,2002 )

c. Antinuklear antibodies ( ANA )

Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah

sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup

sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita

21
SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan

kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka

penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test

negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan

juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya

dilakukan test serologi yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut

menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), anti-RNP (anti-

ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana,2002 )

F. PENATALAKSANAAN

Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011

: 10-11) :

a. Edukasi dan Konseling

Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien

SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui

oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara

mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar

matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan

diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.

b. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE,

antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas,

kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi

Indonesia, 2011 : 10-11)

22
c. Terapi Medikasi

Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen adalah cara

yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan imunomodulator dan mediator

anti-inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi

(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya 

kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak perawatan effective, jika

memungkinkan dengan efek samping yang rendah.

2.2.2.2 Artritis Reumatoid

A. PENGERTIAN

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi.

Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi.

Sedangkan Reumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian

(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan,

nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).

Engram (1998) mengatakan bahwa, Reumatoid arthritis adalah penyakit jaringan

penyambung sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial

dari sendi diartroidial.

B. KLASIFIKASI

Buffer (2010) mengklasifikasikan reumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:

1. Reumatoid arthritis klasik, pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang

harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.

2. Reumatoid arthritis defisit, pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang

harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.

23
3. Probable Reumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi

yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.

4. Possible Reumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi

yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

C. PATHWAY

D. TANDA DAN GEJALA

Pasien-pasien dengan RA akan menunjukan tanda dan gejala seperti :

1. Nyeri persendian

2. Bengkak (Reumatoid nodule)

3. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari

4. Terbatasnya pergerakan

5. Sendi-sendi terasa panas

24
6. Demam (pireksia)

7. Anemia

8. Berat badan menurun

9. Kekuatan berkurang

10. Tampak warna kemerahan di sekitar sendi

11. Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal

12. Pasien tampak anemik

Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti :

1. Gerakan menjadi terbatas

2. Adanya nyeri tekan

3. Deformitas bertambah pembengkakan

4. Kelemahan

5. Depresi

F.    PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.  Tes serologi : Sedimentasi eritrosit meningkat, Darah bisa terjadi anemia dan leukositosis,

Reumatoid faktor, terjadi 50-90% penderita

2.  Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi

sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang

menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan

osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.

3.  Scan radionuklida :mengidentifikasi peradangan sinovium

4.  Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi

tulang pada sendi

25
5.  Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal:

buram, berkabut, munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-produk pembuangan

degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3 dan C4 ).

6.  Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.

7.  Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau atroskopi;

cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan kurang kental dibanding

cairan sendi yang normal.

2.2.2.3 Multipel sklerosis

A. DEFINISI

Multipel sklerosis yang dulu disebut juga sklerosis diseminasi adalah penyakit degeneratif,

bersifat kronis dan progresif yang   merusak myelin pada sususan saraf pusat (Hickey, 2008)

Multiple sclerosis (MS) merupakan keadaan kronis, penyakit degeneratif dikarakteristikkan

oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis. Demielinasi

menunjukkan kerusakan myelin yaklni adanya material lunak dan protein disekitar serabut-

serabut saraf otak. Myelin adah Substansi putih yang menutupi serabut saraf yang berperan

dalam konduksi saraf normal (konduksi salutatory).

B. ETIOLOGI

Penyebab terjadi multipel sklerosis masih belum diketahui secara pasti. Namun, para

ilmuwan memperkirakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya multipel

sklerosis. Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan

virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991).

26
Kerusakan myelin pada MS mungkin terjadi akibat respon abnormal dari sistem kekebalan

tubuh, yang seharusnya melindungi tubuh dari serangan organisme berbahaya (bakteri dan

virus).

- Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang / infeksi virus)

- Genetik

- Kelainan pada unsur pokok lipid mielin

- Racun yang beredar dalam CSS

- Infeksi virus pada SSP

Ada beberapa Faktor-faktor pemicu dan yang dapat memperburuk (eksaserbasi ) multipel

sklerosis  yaitu :

- Kehamilan

- Infeksi yang disertai demam

- Stress emosional

- Cedera

C. KLASIFIKASI

Menurut Basic Neurologi (Mc. Graw Hill,2000),ada beberapa kategori sklerosis      

multipel berdasarkan progresivitasnya adalah :

1. Relapsing Remitting sklerosis multipel

Ini adalah jenis MS yang klasik yang sering kali timbul pada akhir usia belasan atau dua

puluhan tahun diawali dengan suatu erangan hebat yang kemudian diikuti dengan

kesembuhan semu.Yang dimaksud dengan kesembuhan semu adalah setelah serangan hebat

penderita terlihat pulih.Namun sebenarnya,tingkat kepulihan itu tidak lagi sama dengan

tingkat kepulihan sebelum terkena serangan.sebenarnya kondisinya adalah sedikit demi

27
sedikit semakin memburuk.jika sebelum terkena serangan hebat pertama penderita memiliki

kemampuan motorik dan sensorik, Hampir 70% penderita sklerosis multipel  pada awalnya

mengalami kondisi ini, setelah beberapa kali mengalami serangan hebat, jenis sklerosis

multipel  ini akan berubah menjadi Secondary Progressiv sklerosis multipel

2. Primary Progresssiv MS

Pada jenis ini kondisi penderita terus memburuk ada saat – saat  penderita tidak 

mengalami penurunan kondisi, namun jenis sklerosis multipel  ini tidak mengenal istilah

kesembuhan semu. Tingkat progresivitanya beragam pada tingakatan yang paling parah,

penderita sklerosis multipel jenis ini biasa berakhir dengan kematian.

3. Secondary Progressiv sklerosis multipel

Ini adalah kondisi lanjut dari Relapsing Remitting sklerosis multipel. Pada jenis ini

kondisi penderita menjadi serupa pada kondisi penderita Primary Progresssiv sklerosis

multipel.

4. Benign sklerosis multipel

Sekitar 20% penderita sklerosis multipel jinak ini. Pada jenis sklerosis multipel ini

penderita mampu menjalani kehidupan seperti orang sehat tanpa begantung pada siapapun.

Serangan – serangan yang diderita pun umumnya tidak pernah berat sehingga para penderita

sering tidak menyadari bahwa dirinya menderita sklerosis multipel.

D. PATOFISIOLOGI

Neuron atau sel saraf memiliki sebuah badan sel.  Terdapat dua macam serabut saraf yang

keluar dari badan sel yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan

sel saraf sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan yang lain.

Akson ditutupi oleh lapisan lemak yang disebut lapisan myelin. Myelin merupakan kumpulan

28
sel Schwan yang berfungsi melindungi akson dan memberikan nutrisi. Sel Schwan adalah sel

glia yang membentuk selubung lemak. Myelin menfasilitasi dalam konduksi saraf.

Pada kasus multipel sklerosis pemicu terjadinya kerusakan myelin belum diketahui secara

pasti. Namun suatu teori menyatakan bahwa adanya serangan reaksi autoimun yang

disebabkan oleh infeksi virus dan toksin lingkungan serta dipengaruhi oleh faktor genetik

individu. Respon imun memicu kerusakan selaput myelin yang menyelimuti saraf pusat.

Proses yang disebut demyelinasi ini disertai dengan edema dan inflamasi. Adanya inflamasi

kronis dan terbentuknya jaringan parut menyebabkan konduksi impuls saraf menjadi terganggu

atau menjadi lambat. Antibodi myelin protein spesifik ditemukan di serum dan cairan

serebrospinal pada pasien yang menderita multipel sklerosis. Sel T limfosit merusak myelin

juga dilibatkan dalam proses autoimun untuk merusak myelin dan terjadi inflamasi.

Remyelinasi sel saraf dapat terjadi tapi prosesnya lambat dan dapat terjadi perbaikan sehingga

gejala yang terjadi dapat berkurang.

E. MANIFESTASI KLINIS

Tidak ada pola khusus pada MS dan setiap penderita MS memiliki kekhasan gejalanya

sendiri-sendiri, yang bentuknya dari waktu ke waktu bervariasi dan tingkat keparahan serta

jangka waktunya pun dapat berubah, dan semua variasi dan perubahan itu dapat terjadi bahkan

pada penderita yang sama. Gejala-gejala umum tersebut adalah:

1. Gangguan Sensorik

Gangguan sensorik merupakan gejala awal yang paling sering ditemukan pada MS (21-

55%) dan berkembang/timbul hampir pada semua pasien MS. Biasanya pasien sering datang

dengan keluhan rasa baal atau kesemutan dimulai pada satu kaki yang merambat keatas

(ascending) pada satu sisi kemudian kesisi yang lain (kontra sisi).

29
- Penglihatan kabur

- Penglihatan membayang (diplopia)

- Neuritis optikal

- Pergerakan mata yang tak terkontrol

- kebutaan (sangat jarang terjadi)

- Hipestesi (baal), parestesi (kesemutan), disestesi (rasa terbakar). Hipestesi merupakan gejala

yang tersering muncul. Gangguan ini dapat timbul disemua daerah distribusi, satu atau lebih

dari satu anggota gerak,wajah atau badan (trunkal).

2. Gangguan Motorik

Gejala awal motorik ditemukan pada 32-41% kasus MS dan lebih dari 60% kasus MS

mempunyai gejala motorik.Gangguan motorik terjadi akibat terlibatnya traktus piramidalis

yang menyebabkan kelemahan,spastisitas, gangguan gerakan tangkas, dan hiperfleksi.

Gangguan ini dapat timbul akut atau kronik progresif dengan kelemahan satu atau lebih

anggota gerak, kelemahan otot wajah, kekakuan tungkai yang dapat menyebabkan gangguan

dalam berjalan dan keseimbangan atau terjadi suatu spastisitas. Latihan atau panas biasanya

menyebabkan gejala memburuk.

- hilang keseimbangan tubuh

- Gemetar (tremor)

- ketidakstabilan kemampuan berjalan (ataksia)

- kekakuan anggota tubuh

- gangguan koordinasi

- perasaan lemah: pada kasus tertentu hal ini dapat mempengaruhi kaki dan kemampuan berjalan

- kekakuan otot yang dapat mempengaruhi mobilitas dan cara berjalan

30
3. Gangguan indra perasa

- perasaan geli di beberapa bagian tubuh

- perasaan seperti di tusuk-tusuk jarum

- kebas (paraesthesia)

- perasaan seperti terbakar

o nyeri dapat menyertai penyakit MS, contohnya, nyeri di wajah (seperti trigeminal neuralgia),

dan nyeri otot

4. Gangguan kemampuan berbicara

- perlambatan cara berbicara

- berbicara seperti menggumam

- perubahan ritme berbicara

- sulit menelan (dysphagia)

5. Gangguan berkemih dan BAB

Gangguan berkemih merupakan salah satu gejala MS yang sering ditemukan.Pada saat

awal terjadi “urgency dan frekuensi” kemudian terjadi inkontinensia urin. Konstipasi lebih

sering ditemukan (39-53%) dibandingkan inkontinensia alvi. Hal diatas merupakan masalah

yang serius bagi penderita MS karena dapat menyebabkan infeksi pada saluran kemih.

- Gangguan kandung kemih meliputi: sering buang air kecil, tidak dapat buang air kecil secara

tuntas atau tidak bisa menahan air kecil.

- Gangguan usus meliputi: konstipasi/sembelit, dan kadang-kadang diare.

6. Gangguan Seksual

31
Gangguan seksual terjadi pada lebih dari 70% pasien MS. Disfungsi seksual merupakan

gabungan dari berbagai masalah yang timbul baik masalah motorik dan sensorik maupun

masalah psikologis penderita.

- impoten

- Berkurangnya kemampuan seksual

- kehilangan gairah

7. Gangguan Kognitif dan Emosi

Masalah kognitif seperti kesulitan berkonsentrasi,gangguan memori, dan gangguan mental

terdapat pada 40-70 % pasien MS. Banyak penderita MS meninggalkan pekerjaannya akibat

masalah diatas. Pada ± 10% kasus, disfungsi mental berat dan demensia dapat tejadi.

Gangguan ini mungkin berhubungan dengan depresi yang dilaporkan ditemukan pada 25-50%

kasus MS.

8. Gangguan Nervus Cranialis

- Gangguan Penciuman : Gangguan penciuman sering ditemukan terjadi pada kasus MS.

- Gangguan Penglihatan :

Neuritis Optika (ON) adalah gangguan penglihatan yang paling sering terjadi 14-23%

kasus dan 50% ,biasanya muncul secara akut atau subakut dan unilateral dengan diikuti rasa

nyeri pada mata terutama dengan adanya gerakan bola mata. Neuritis Optika bilateral sangat

jarang terjadi, bila ditemukan biasanya asimetris dan lebih berat pada satu mata. Neuritis

optika bilateral biasanya terjadi pada anak dan ras Asia.

- Gangguan Gerakan Bola Mata

Gangguan gerakan bola mata sering terjadi pada pasien MS biasanya berhubungan dengan

gangguan saraf penggerak bola mata, Nervus cranial VI,III dan jarang pada nervus VI.

32
Nistagmus adalah gejala yang paling sering muncul (Dell’Osso,Daroff,Troost,1990) berupa

“jelly like nystagmus”berupa gerakan cepat dengan amplitudo kecil, pendular. Internuklear

ophtalmoplegia (INO) juga sering ditemukan, dan bila ditemukan bilateral biasanya didapatkan

juga adanya nistagmus vertical dan upward gaze.

- Gangguan Nervus Kranial lain.

Gangguan sensasi pada wajah ,subjektif maupun objektif sering ditemukan. Ditemukannya

trigeminal neuralgia pada dewasa muda mungkin merupakan gejala awal dari MS. Hemifasial

spasme,paresis wajah tanpa adanya gangguan pengecap dapat ditemukan.Vertigo dilaporkan

merupakan gejala yang ditemukan pada 30-50% kasus MS dan biasanya berhubungan dengan

kelainan nervus kranialis, biasanya ditemukan hipo atau hiperakusis. Bisa juga terjadi

gangguan pendengaran dan biasanya unilateral. Gangguan yang berhubungan dengan Nervus

Kranial IX,X dan XII biasanya terjadi disfagia.dan biasanya merupakan gejala akhir yang

muncul.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan elektroforesis terhadap CSS : Untuk mengungkapkan adanya ikatan oligoklonal

( beberapa pita imunoglobulin G [ IgG ] ), yang menunjukkan abnormalitas immunoglobulin.

2. Pemeriksaan potensial bangkitan : dilakukan untuk memebantu memastikan luasnya proses

penyakit dan dan memantau perubahan penyakit.

3. CT scan : dapat menunjukkan atrofi serabral

4. MRI untuk memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit dan

efek pengobatan.

5. Pemeriksaan urodinamik untuk mengetahui disfungsi kandung kemih

6. Pengujian neuropsikologik dapat  diindikasikan untuk mengkaji kerusakan kognitif.

33
( Mutaqin Arif, Asuhan keperawatan klien dangan gangguan system persyarafan,( 2008 ) hal

216 )

2.2.2.4 Sindrom Guillain Barre

A. DEFINISI

Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan

penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik.

Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya

paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya

adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )

B. ETIOLOGI

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya

dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan

mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

a. Infeksi

o Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya

o Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections

mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)

o Vaksin : rabies, swine flu

o Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter

jejuni

b. Kehamilan atau dalam masa nifas

34
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB

yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum

gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.

C. PATOFISIOLOGI

Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme

limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih

diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.

Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf

perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system

penghantaran implus terganggu.

Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan

myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan

biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi

atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi

biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.

D. KLASIFIKASI

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy

3. Acute motor axonal neuropathy

4. Acute motor sensory axonal neuropathy

35
5. Fisher’s syndrome

6. Acute pandysautonomia

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC

a.Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak

: > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut

disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada

minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel

mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak

ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa

meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH

(Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).

b. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

F. Penatalaksanaan

Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel),

pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan

(nutrition and fluid balance)

Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan

kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit.

Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang

terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan

ritme : cheyne-stoke.

36
2.2.2.5 Diabetes Melitus

A. PENGERTIAN DIABETES MELLITUS

Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang mengakibatkan

gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan berkembang menjadi komplikasi

makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis (Barbara C. Long, 1995).

Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multi

sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau

kerja insulin yang tidak adekuat (Brunner dan Sudarta, 1999).

B. ETIOLOGI

Etiologi dari Diabetes Mellitus sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti dari

studi-studi eksperimental dan klinis kita mengetahui bahwa Diabetes Mellitus adalah

merupakan suatu sindrom yang menyebabkan kelainan yang berbeda-beda dengan lebih satu

penyebab yang mendasarinya.Menurut banyak ahli beberapa faktor yang sering dianggap

penyebab yaitu :

1. Dibetes melitus tipe I

Diabetes melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas yang merupakan

kombinasi dari beberapa faktor:

Faktor genetik

Penderita tidak mewarisi diabetas tipe I sendiri tetapi mewarisi suatu predisposisi kearah

terjadinya diabetas tipe I yaitu dengan ditmukannya tipe antigen HLA (Human Leucolyte

antoge) teertentu pada individu tertentu

Faktor imunologi

37
Pada diabetae tipe I terdapat suatu respon autoimun sehingga antibody terarah pada sel-sel

pulau lengerhans yang dianggapnya jaringan tersebut seolah-olah sebagai jeringan abnormal

Faktor lingkungan

Penyelidikan dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor ekternal yang dapat memicu

destruksi sel beta, contoh hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin

tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.

2. Diabetas Melitus Tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada

diabetas melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan

dalam proses terjadinya resistensi insulin dan juga terspat beberap faktor resiko teetentu yang

berhubngan dengan proses terjadinya diabetea tipe II yaitu:

- Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat usia diatas 65 tahun

- Obesitas

- Riwayat keluarga

- Kelopok etnik tertentu

3. Faktor non genetik

a. Infeksi

Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetic

terhadap Diabetes Mellitus.

b. Nutrisi

a.) Obesitas dianggap menyebabkan resistensi terhadap insulin.

b.) Malnutrisi protein

38
c.) Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya pankreatitis.

c. Stres

Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan emosi biasanya menyebabkan

hyperglikemia sementara.

d. Hormonal

Sindrom cushing karena konsentrasi hidrokortison dalam darah tinggi, akromegali karena

jumlah somatotropin meninggi, feokromositoma karena konsentrasi glukagon dalam darah

tinggi, feokromositoma karena kadar katekolamin meningkat

C. KLASIFIKASI

Berdasarkan klasifikasi dari WHO (1985) dibagi beberapa type yaitu :

a. Diabetes Mellitus type insulin, Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM) yang dahulu

dikenal dengan nama Juvenil Onset Diabetes (JOD), penderita tergantung pada pemberian

insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Biasanya pada

anak-anak atau usia muda dapat disebabkan karena keturunan.

b. Diabetes Mellitus type II, Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM), yang dahulu

dikenal dengan nama Maturity Onset Diabetes (MOD) terbagi dua yaitu :

1.) Non obesitas

2.) Obesitas

Disebabkan karena kurangnya produksi insulin dari sel beta pancreas, tetapi biasanya resistensi

aksi insulin pada jaringan perifer. Biasanya terjadi pada orang tua (umur lebih 40 tahun) atau

anak dengan obesitas.

c. Diabetes Mellitus type lain

39
1.) Diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pancreas, kelainan hormonal, diabetes karena

obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin, kelainan genetik dan lain-lain.

2.) Obat-obat yang dapat menyebabkan huperglikemia antara lain :

Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik

3.) Diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama kehamilan, tidak

dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan kehamilan meningkat sekresi hormon

pertumbuhan dan hormon chorionik somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk

mensuplai asam amino dan glukosa ke fetus.

D. PATOFISIOLOGI

Sebagian besar patologi Diabetes Mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama

kekurangan insulin sebagai berikut : (1) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh,

dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml.

(2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan

metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan

aterosklerosis. (3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.

Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada Diabetes Mellitus yang

tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine penderita Diabetes Mellitus. Bila jumlah

glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225

mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi

glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa

meningkat melebihi 180 mg%.

40
E. GAMBARAN KLINIK

Gejala yang lazim terjadi, pada Diabetes Mellitus sebagai berikut :

Pada tahap awal sering ditemukan :

a. Poliuri (banyak kencing)

Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap

ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan

dan elektrolit sehingga penderita mengeluh banyak kencing.

b. Polidipsi (banyak minum)

Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri,

sehingga untuk mengimbangi penderita lebih banyak minum.

c. Polipagi (banyak makan)

Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar).

d. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini disebabkan kehabisan

glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari

bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein.

e. Mata kabur

Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan

karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga

menyebabkan pembentukan katarak.

F. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan Diabetes Mellitus adalah untuk mengatur

glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi

diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia.

41
Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet

dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin. Penyuluhan

kesehatan awal dan berkelanjutan penting dalam membantu klien mengatasi kondisi ini.

G. TEST DIAGNOSTIK

Kriteria diagnostik menurut WHO(1985) untuk diabetes melitus pada orang dewasa tidak

hamil, pada sedikitnya dua kali pemeriksaan:

1. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

2. Glukosa plasma puasa/Nuchter >140 mg/dl ( 7,8 mmol/L)

3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkomsumsi 75 gr

Karbohidrat ( 2 jam post prandial (pp) >200 mg/dl (11,1 mmol/L)

2.2.2.6 Psoriasis

A. DEFINISI

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis noninfeksius (tidak menular) pada kulit yang

menyebabkan produksi sel epidermis berlangsung lebih cepat dari normal. Area tubuh yang paling

sering diserang adalah kulit kepala, area di atas siku dan lutut , bagian bawah punggung, dan

genitalia, serta kuku.

Psoriasis adalah penyakit inflamasi non infeksius yang kronik pada kulit dimana produksi sel-

sel epidermis terjadi 6-9 x lebih besar daripada kecepatan sel normal.±dengan kecepatan

(Smeltzer, Suzanne).

Psoriasis adalah suatu penyakit peradangan kronis pada kulit dimana penderitanya mengalami

proses pergantian kulit yang terlalu cepat. Penyakit ini secara klinis sifatnya tidak mengancam

jiwa dan tidak menular tetapi karena timbulnya dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja

42
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup seseorang bila tidak dirawat dengan baik. (Effendy,

2005)

B. PATOFISIOLOGI

Sel-sel kulit basal membelah terlalu cepat, dan sel yang baru terbentuk menjadi terlihat

menyerupai sisik yang tebal atau plak jaringan epidermal. Akibat peningkatan jumlah sel basal dan

alur sel yang cepat , peristiwa pematangan dan pertumbuhan sel yang normal tidak dapat terjadi ,

sehingga menghambat terbentuknya lapisan pelindung kulit. Bukti terbaru membentuk dasar

imunologi untuk psoriasis . defek primer tidak diketahui. Periode stress emosional dan ansietas

memperburuk kondisi ini dan trauma , infeksi, dan perubahan musim dan hormon juga menjadi

faktor pemicu.

C. manifestasi klinis

Gejala berkisar dari gangguan kosmetik ke penderita yang melemahkan dan mengganggu

penampilan fisik.

- Lesi terlihat sebagai bercak kulit yang tebal dan ditutupi dengan bercak yang berwarna

keperakan.

- Jika sisik terkelupas dan terlihat dasar lesi yang berwarna merah gelap, dengan beberapa titik

perdarahan.

- Bercak mengering dan bisa saja terasa gatal.

- Gangguan ini dapat menyebabkan cekungan pada permukaan kuku, perubahan warna kuku,

serpihan di bawah pinggiran kuku, dan lepasnya lempeng kuku.

- Pada psoriasis eritrodermik, pasien mengalami sakit akut , disertai dengan demam, menggigil,

dan ketidakseimbangan elektrolit.

D. PENATALAKSANAAN

43
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk memperlambat pergantian epidermis, meningkatkan resolusi

lesi psoriatik dan mengendalikan penyakit tersebut. Pendekatan terapeutik harus berupa pendekatan

yang dapat dipahami oleh pasien, pendekatan ini harus bisa diterima secara kosmetik dan tidak

mempengaruhi cara hidup pasien. Terapi psoriasis akan melibatkan komitmen waktu dan upaya

oleh pasien dan mungkin pula keluarganya.

Ada tiga terapi yang standar: topikal, intralesi dan sistemik.

1. Terapi topical

Preparat yang dioleskan secara topikal digunakan untuk melambatkan aktivitas epidermis yang

berlebihan tanpa mempengaruhi jaringan lainnya.Obat-obatannya mencakup preparat ter, anthralin,

asam salisilat dan kortikosteroid.Terapi dengan preparat ini cenderung mensupresi epidermopoisis

(pembentukan sel-sel epidermis).

2. Formulasi ter

Mencakup losion, salep, pasta, krim dan sampo. Rendaman ter dapat menimbulkan retardasi dan

inhibisi terhadap pertumbuhan jaringan psoriatik yang cepat.Terapi ter dapat dikombinasikan

dengan sinar ultraviolet-B yang dosisnya ditentukan secara cermat sehingga menghasilkan radiasi

dengan panjang gelombang antara 280 dan 320 nanometer (nm).Selama fase terapi ini pasien

dianjurkan untuk menggunakan kacamata pelindung dan melindungi matanya.Pemakaian sampo ter

setiap hari yang diikuti dengan pengolesan losion steroid dapat digunakan untuk lesi kulit

kepala.Pasien juga diajarkan untuk menghilangkan sisik yang berlebihan dengan menggosoknya

memakai sikat lunak pada waktu mandi.

3. Anthralin

Preparat (Anthra-Derm, Dritho-Crème, Lasan) yang berguna untuk mengatasi plak psoriatik yang

tebal yang resisten terhadap preparat kortikosteroid atau preparat ter lainnya.

44
4. Kortikosteroid

Topikal dapat dioleskan untuk memberikan efek antiinflamasi. Setelah obat ini dioleskan, bagian

kulit yang diobati ditutup dengan kasa lembaran plastik oklusif untuk menggalakkan penetrasi obat

dan melunakkan plak yang bersisik.

5. Terapi intralesi

Penyuntikan triamsinolon asetonida intralesi (Aristocort, Kenalog-10, Trymex) dapat dilakukan

langsung kedalam berck-bercak psoriasis yang terlihat nyata atau yang terisolasi dan resisten

terhadap bentuk terapi lainnya.Kita harus hati-hati agar kulit yang normal tidak disuntuik dengan

obat ini.

2.2.2.7 Penyakit graves

A. DEFINISI

Penyakit Graves adalah salah satu jenis gangguan pada sistem kekebalan tubuh yang

menjadi penyebab umum hipertiroidisme atau produksi hormon tiroid berlebih. Pada penderita

Graves, sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh malah menyerang kelenjar

tiroid (autoimun). Hal ini membuat kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah yang

lebih banyak dari yang dibutuhkan tubuh.

B. TANDA DAN GEJALA

Sejumlah gejala yang muncul pada penyakit Graves adalah:

 Pembesaran kelenjar tiroid (goiter)

 Tremor pada tangan atau jari tangan

 Palpitasi jantung (jantung berdebar)

45
 Disfungsi ereksi (impotensi)

 Gairah seks menurun

 Perubahan pada siklus menstruasi

 Kehilangan berat badan tanpa kehilangan nafsu makan

 Suasana hati yang mudah berubah

 Sulit tidur (insomnia)

 Diare

 Rambut rontok

 Mudah lelah

 Sensitif terhadap udara panas

Selain beberapa gejala di atas, 30 persen dari penderita Graves mengalami sejumlah gejala khas,

yaitu Graves oftalmopati dan Graves dermopati. Gejala Graves oftalmopati terjadi akibat

peradangan atau gangguan pada sistem imun, yang memengaruhi otot dan jaringan di sekitar mata.

Gejalanya antara lain:

 Mata menonjol (exophthalmos)

 Mata terasa kering

 Tekanan atau rasa sakit pada mata

 Kelopak mata membengkak

 Mata memerah yang bisa diakibatkan oleh peradangan

 Sensitif terhadap cahaya

 Penglihatan ganda dari satu objek (diplopia)

 Kehilangan penglihatan

46
C. ETIOLOGI

Penyakit Graves terjadi akibat gangguan pada fungsi sistem kekebalan tubuh. Pada kondisi

normal, tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan virus atau bakteri yang menyerang tubuh.

Pada penyakit Graves, sistem kekebalan tubuh justru menghasilkan antibodi TSI (thyroid-

stimulating immunoglobulins), yang menyerang sel-sel tiroid yang sehat. Meski demikian, belum

diketahui mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Faktor Risiko Penyakit Graves

Siapa pun dapat terserang penyakit Graves. Namun, beberapa faktor berikut ini dapat membuat

seseorang lebih berisiko mengalami penyakit Graves:

 Jenis kelamin. Wanita lebih berisiko terserang penyakit Graves dibanding pria.

 Usia. Penyakit Graves lebih sering terjadi pada orang berusia di bawah 40 tahun.

 Genetik. Riwayat penyakit Graves dalam keluarga dapat menyebabkan anggota keluarga

tersebut menjadi lebih rentan terserang penyakit Graves.

 Menderita penyakit autoimun lain. Memiliki penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1

atau rheumatoid arthritis juga berisiko menimbulkan penyakit Graves pada orang tersebut.

 Stres secara emosional atau fisik. Sakit atau peristiwa yang menyebabkan stres, dapat turut

memicu penyakit Graves pada orang dengan gen yang rentan terhadap penyakit ini.

 Merokok. Merokok dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Bagi perokok yang sedang

menderita penyakit Graves, akan semakin berisiko terkena Graves oftalmopati.

 Kehamilan. Kehamilan atau kondisi pasca persalinan pada perempuan dengan gen yang rentan,

dapat meningkatkan risiko terserang penyakit Graves.

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Beberapa tes lain yang dapat dijalankan adalah:

47
 Tes darah. Dokter akan melakukan tes darah untuk mengecek kadar hormon tiroid, dan

kadar hormon hipofisis atau pituitari yang mengatur produksi hormon dari kelenjar tiroid, yaitu

TSH (thyroid-stimulating hormone). Penderita Graves memiliki level TSH yang lebih rendah

dari batas normal, serta level hormon tiroid yang lebih tinggi.

 Tes serapan yodium radioaktif. Yodium diperlukan oleh tubuh dalam membuat

hormon tiroid. Sehingga dalam pemeriksaan ini akan menggunakan bantuan zat yodium

radioaktif dan melihat kadarnya di kelenjar tiroid melalui kamera khusus. Dokter akan

memberi sedikit yodium radioaktif dan mengukur kadarnya di kelenjar tiroid. Pemeriksaan ini

akan membantu dokter menentukan apakah hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Graves

atau oleh penyakit lain.

 Tes pencitraan. Tes pencitraan dilakukan untuk melihat pembesaran pada kelenjar

tiroid. USG dapat menjadi pilihan bagi pasien yang tengah hamil. Bila diperlukan, dokter akan

menjalankan tes pencitraan lain, seperti CT scan atau MRI.

E. PENATALAKSANAAN

Pengobatan penyakit Graves bertujuan untuk mengurangi kelebihan produksi hormon tiroid dan

dampaknya bagi tubuh. Pilihan pengobatan meliputi:

 Obat antitiroid. Obat antitiroid berfungsi mengganggu produksi hormon tiroid yang dipicu

oleh yodium. Selain sebagai terapi tunggal, obat antitiroid dapat dikonsumsi sebelum atau sesudah

menjalani terapi yodium radioaktif sebagai pelengkap. Konsultasi dengan dokter diperlukan

sebelum menggunakan obat-obatan ini, terutama pada wanita hamil. Beberapa obat yang termasuk

antitiroid adalah methimazole dan propylthiouracil.

48
 Obat penghambat beta. Penghambat beta berfungsi menghambat efek hormon tiroid pada

tubuh, seperti detak jantung tidak beraturan, gelisah, tremor, keringat berlebihan, dan diare.

Propranolol, metoprolol, atenolol, dan nadolol termasuk ke dalam golongan obat-obatan ini.

 Terapi yodium radioaktif. Terapi ini akan menghancurkan sel tiroid yang terlalu aktif dan

mengecilkan kelenjar tiroid, sehingga gejala akan berkurang secara bertahap. Terapi ini tidak

direkomendasikan pada wanita hamil, ibu menyusui, serta penderita yang bermasalah dengan

penglihatan, karena dapat membuat gejala semakin memburuk. Karena terapi ini menghancurkan

kelenjar tiroid, pasien dapat memerlukan tambahan hormon tiroid sintetis untuk meningkatkan

jumlah hormon tiroid yang berkurang akibat terapi ini.

 Pembedahan. Bedah dilakukan dengan mengangkat sebagian atau seluruh kelenjar tiroid

pasien. Tindakan ini berisiko menyebabkan kerusakan pada saraf pengatur pita suara. Risiko

kerusakan juga bisa terjadi pada kelenjar paratiroid (kelenjar-kelenjar kecil yang berdekatan dengan

kelenjar tiroid), yang berfungsi menghasilkan hormon pengatur kadar kalsium dalam darah. Sama

seperti terapi yodium radioaktif, pasien dapat memerlukan terapi lanjutan berupa hormon tiroid

sintetis untuk meningkatkan kadar hormon tiroid yang rendah akibat pengangkatan kelenjar tiroid.

2.2.2.8 Myastenia Gravis

A.  DEFINISI MYASTENIAGRAVIS

Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miasteniagravis yang diidentifikasi

mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien dengan

gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miasteniagravis merupakan

penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh bermacam-macam tingkat kelemahan dari otot

skelet (volunter) tubuh. Kata miasteniagravis berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang

secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat atau gawat (gravemuscleweakness). Pada

49
masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah

ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah

jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. (Istiantoro, 2012)

B.  ETIOLOGI 

Penyebab pasti masih belum diketahui. Akan tetapi, penyakit ini diyakini karena;

1. Responautoimun.

2. Pelepasan asetilkolin yang tidak efektif.

3. Respon serabut otot yang tidak adekuat terhadap asetilkolin.

Myastheniagravis disebabkan oleh gangguan transimisi impuls saraf ke otot. Hal ini terjadi

ketika komunikasi normal antara saraf dan otot terganggu di persimpangan neuromuskuler

dimana sel-sel saraf terhubung dengan otot-otot yang dikontrol. Biasanya bila impuls

menuju saraf, ujung saraf akan melepaskan zat neurotransmitter yang disebut asetilkolin.

Asetilkolin berjalan dari sambungan neuromuskuler dan mengikat reseptor asetilkolin yang

diaktifkan dan menghasilkan kontraksi otot. Pada myastheniagravis antibodi blok mengubah

atau menghancurkan reseptor untuk asetilkolin pada sambungan neuromuskuler yang

mencegah terjadinya kontraksi otot. Antibodi ini diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh.

(Yudistira, 2014)

C.  PATOFISIOLOGI 

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologimiasteniagravis. Obsevasi klinik yang mendukung hal ini mencakup

timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miasteniagravis,

misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritisrheumatoid, dan lain-

lain. Antibodi pada reseptor nikotinikaseltikolin merupakan penyebab utama kelemahan

50
otot pasien dengan miasteniagravis. Autoantobodi terhadap aseltikolin reseptor (anti-

AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita

miasteniagravisgeneralisata. (Abdullah, 2016)

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin

pada penderita miasteniagravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miasteniagravis dapat

dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B,” di mana antibodi yang merupakan produk dari

sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada pathogenesismiasteniagravis

mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait

dengan sel T. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miasteniagravis. Pada 80% penderita

miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka

memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat

infiltratlimfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan

limfoster lainnya.

D.  MANIFESTASI KLINIK 

MiastheniaGravis dapat terjadi secara berangsur atau mendadak. Tanda dan gejala

(Yudistira, 2014):

1. Pengatupan kelopak mata yang lemah, ptosis, dan diplopia akibat kerusakan transmisi

neuromuskuler pada nervuskranialis yang mempersarafi otot-otot bola mata (mungkin

menjadi satu-satunya gejala yang ada).

2. Kelemahan otot skeletal dan keluhan mudah lelah yang akan bertambah ketika hari

semakin siang, tetapi akan berkurang setelah pasien beristirahat (pada stadium awal MG

dapat terjadi keadaan mudah lelah pada otot-otot tertentu tanpa ada gejala lain.

Kemudian, keadaan ini bisa menjadi cukup berat dan menyebabkan paralisis).

51
3. Kelemahan otot yang progresif dan kehilangan fungsi yang menyertai menurut

kelompok otot yang terkena; keadaan ini menjadi semakin parah pada saat haid dan

sesudah mengalami stress emosi, terkena cahaya matahari dalam waktu lama, serta pada

saat menderita demam atau infeksi.

4. Tampilan wajah yang kosong serta tanpa ekspresi dan nada vocal hidung, yang semua

terjadi sekunder karena kerusakan transmisi pada nervuskranialis yang mempersarafi

otot-otot wajah.

5. Regurgitasi cairan yang sering ke dalam hidung dan kesulitan mengunyah serta menelan

akibat terkenanya nervuskranialis.

6. Kelopak mata yang jatuh akibat kelemahan otot-otot wajah dan ekstraokuler.

7. Kelemahan otot-otot leher dengan kepala yang miring ke belakang untuk melihat (otot-

otot leher terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa gerakan menyentak).

8. Kelemahan otot-otot pernapasan, penurunan volume tidal serta kapasitas vital akibat

kerusakan transmisi pada diafragma yang menimbulkan kesulitan bernapas. Keadaan ini

merupakan faktor predisposisi pneumonia dan infeksi saluran napas lain pada pasien

myastheniagravis.

9. Kelemahan otot pernapasan (krisis miastenik) mungkin cukup berat sehingga diperlukan

penanganan kedaruratan jalan napas dan pemasangan ventilator mekanis.

E.  PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosa miasteniagravis

(Abdullah, 2016), antara lain;

a. Pemeriksaan Laboratorium

52
- Antibodi reseptor anti-asetilkolin. Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk

mendiagnosis suatu miasteniagravis, di mana terdapat hasil yang postitif pada 74%

pasien. Sekitar 80% penderita miasteniagravisgeneralisata dan 50% penderita dengan

miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang

positif. Titer antibodi lebih tinggi pada penderita miasteniagravis dalam kondisi yang

parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat

penyakit miasteniagravis.

- Antibodi anti striatedmuscle (anti-SM). Merupakan salah satu tes yang penting pada

penderita miasteniagravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien

yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma

dengan usia lebih dari 40 tahun, antibodi anti-SM dapat menunjukkan hasil positif.

- Antibodi anti-muscle-specifickinase (MuSK). Hampir 50% penderita miasteniagravis

yang menunjukkan hasil antibodi anti-AChR Ab negatif (miasteniagravisseronegarif),

menunjukkan hasil yang positif untuk antibodi anti-MuSK.

- Antibodi antistriational. Dalam serum beberapa pasien dengan miasteniagravis

menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot

rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor

protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan pada pasien thymoma

usia muda dengan miasteniagravis. Terdeteksinya titin/RyRantibody merupakan suatu

kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan

miasteniagravis.

b. Elektrodiagnostik

- RepetitiveNerveStimulation (RNS)

53
Pada penderita miasteniagravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga

pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

- Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki permukaan kecil untuk

merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada

interval interpotensial di antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang

sama) dan densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat

direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada fiber

neuromuskular berupa peningkatan jitter dan densitas fiber yang normal.

F.  PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan myastheniagravis ditentukan dengan meningkatkan fungsi pengobatan

pada obat antikolinesterase dan menurunkan serta mengeluarkan sirkulasi antibodi.

Terapi mencakup agen-agen antikolinesterase dan terapi imunosupresif, yang terdiri dari

plasmeferesis dan timektomi.

a. Agen-agen antikolinesterase

Obat ini beraksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang relative tersedia

pada persimpangan neuromuscular. Mereka diberikan untuk meningkatkan respon otot-

otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot. Kadang-kadang mereka

diberikan hanya mengurangi simtomatik.

b. Obat-obatan

Dalam pengobatan digunakan piridostigminbromide (Mestinon), ambenoniumkhlorida

(Mytelase), dan neostigmin (Prostigmine). Banyak pasien lebih suka pada piridostigmin

karena obat ini menghasilkan efrk samping yang sedikit. Dosis ditingkatkan berangsur-

54
angsur sampai tercapai hasil maksimal yang diinginkan (bertambahnya kekuatan,

berkurangnya kelelahan), walaupun kekuatan otot normal tidak tercapai dan pasien akan

mempunyai kekuatan beradaptasi terhadap beberapa ketidakmampuan.

c. Obat-obat antikolenesterase diberikan dengan susu, krekers, atau substansi penyangga

makanan lainnya. Efek samping mencakup kram abdominal, mual, muntah dan diare.

Dosis kecil atrofin, diberikan satu atau dua kali sehari, dapat menurunkan atau

mencegah efek samping. Efek samping lain dari terapi antikolenesterase mencakup efek

samping pada otot-otot skelet, seperti adanya fasikulasi (kedutan halus), spasme otot dan

kelemahan. Oengaruh terhadap system saraf terdiri dari pasien cepat marah, cemas,

insomnia (tidak dapat tidur), sakit kepala, disartria (gangguan pengucapan), sinkope,

atau pusing, kejang dan koma. Peningkatan eksresi saliva dan keringat, meningkatnya

sekresi bronchial dan kulit lembab, dan gejala-gejala ini sebaiknya juga dicatat.

d. Perawat (dan pasien) memprioritaskan untuk member obat-obat yang ditentukan

menururt jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol gejala-gejala pasien.

Penundaan pemberian obat-obatan dapat menyebabkan pasien tidak mampu untuk

menelan obat-obat oral dan ini menjadi masalah. Meningkatnya kekuatan otot dalam

satu jam setelah pemberian obat antikolinesterase merupakan hasil yang diharapkan.

e. Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk mengambil obat

sesuai dengan kebutuhan individu dan rencana waktu yang ditetapkan. Penyesuaian

lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau emosionla dan terhadap infeksi baru yang

muncul sepanjang perjalanan penyakit.

55
2.1.3 Imunodefisiensi

A. PENGERTIAN

Imunodefisiensi

adalah keadaan di mana komponen sistem imun tidak dapat berfungsi secara

normal. Akibatnya, penderita imundefisiensi lebih rentan terhadap infeksi virus, jamur

atau bakteri, kanker, dan juga infeksi berulang (reaktivasi infeksi laten) Gangguan

imundefisiensi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu imunodefisiensi primer

(kongenital) dan sekunder (imunodefisiensi didapat). Imunodefisiensi disebabkan oleh

kelainan genetik pada satu atau lebih komponen sistem imun. Sedangkan,

imunodefisiensi sekunder merupakan kerusakan sistem imun yang disebabkan infeksi,

kekurangan nutrisi, ataupun efek dari pengobatan.

B. JENIS IMUNODEFISIENSI

- Imunodefisiensi primer

Hingga tahun 2010, sebanyak lebih dari 130 jenis kelainan imunodefisiensi

primer telah ditemukan. Berbagai kelainan tersebut dapat mempengaruhi perkembangan

dan/atau fungsi sistem imun serta dapat diwariskan kepada keturunannya. Umumnya

gejala imunodefisiensi primer dapat terdeteksi sejak kecil. Namun, gejala muncul dapat

berbeda-beda antara satu pasien dengan pasien lainnya sebagai dampat dari pengaruh

genetik dan lingkungan.[3] Beberapa contoh penyakit yang tergolong ke dalam

imunodefisiensi primer adalah[1]:

56
Penyakit Kelainan / Kerusakan yang disebabkan Dampak klinis
Rentan terhadap infeksi

Defisiensi imunitas kombinasi virus, fungi, dan bakteri


Penurunan jumlah sel T, sel B, sel NK,
(Severe Combined karena kecacatan pada
dan/atau antibody
Immunodeficiency/SCID) sistem kekebalan seluler dan

humoral.
Penurunan atau sama sekali
Agammaglobulinemia terkait Kegagalan maturasi sel B di sumsum
tidak ada produksi sel B dan
kromosom-X tulang belakang
antibodi
Rentan terhadap infeksi
Ketidaksempurnaan perkembangan
virus dan fungi karena
Sindrom DiGeorge organ timus dan kegagalan maturasi sel
kegagalan sistem imunitas
T
humoral
Mutasi pada gen WAS menyebabkan

kerja protein WASP kurang fungsional Rentan terhadap ekzema

Sindrom Wiskott-Aldrich yang mengganggu fungsi sitoskeleton atopik dan infeksi yang

aktin dalam perkembangan sel darah mudah kambuh

dan pembentukan sinapsis imunologi


Sindrom Hiper-IgM Cacat pada sel B sehingga tidak dapat Kadar IgM di dalam tubuh

melakukan pergantian kelas antibodi menjadi berlebihan dan

(imunoglobulin) kekurangan IgA, IgG, dan

IgE. Hal ini menyebabkan

sering terjadinya infeksi

57
berulang.
- Imunodefisiensi sekunder

Imunodefisiensi sekunder umumnya didapatkan pada usia lanjut dan merupakan dampak

dari penyakit lain yang diderita atau efek obat-obatan. Contohnya adalah penderita

kegananasan (kanker) yang mendapatkan radioterapi atau kemoterapi dapat menderita

imunodefisiensi karena sel-sel imun ikut dirusak oleh perlakuan tersebut. Selain itu,

cacat pada sistem kekebalan seluler juga dapat disebabkan oleh malagizi (kekurangan

protein). Beberapa kondisi lain yang dapat menimbulkan imunodefisiensi sekunder

adalah keganasan (leukemia, limfoma), gagal ginjal akut, infeksi HIV, sarkodosis,

splenektomi, dan infeksi virus Epstein-Barr.

C. ETIOLOGI

Sistem imun terbuat dari jaringan limfoid pada tubuh, yang meliputi:

 Sumsum tulang

 Kelenjar limpa

 Bagian limpa dan saluran pencernaan

 Timus

 Amandel

Protein dan sel pada darah juga merupakan bagian dari sistem imun. Sistem imun

membantu melindungi tubuh dari zat berbahaya antigen. Contoh dari antigen meliputi

bakteri, virus, racun, sel kanker dan darah atau jaringan asing dari orang atau spesies lain.

Saat sistem imun mendeteksi antigen, sistem akan merespons dengan menghasilkan

protein yang disebut antibodi yang menghancurkan zat berbahaya. Respons sistem imun

juga melibatkan proses fagositosis. Selama proses ini, sel-sel darah putih tertentu

58
menelan dan menghancurkan bakteri dan zat asing lainnya. Protein komplemen

membantu proses ini. Gangguan imunodefisiensi dapat mempengaruhi bagian sistem

imun. Seringkali, kondisi ini terjadi saat sel darah putih khusus atau limfosit T atau B

(atau keduanya) tidak berfungsi dengan normal atau tubuh Anda tidak menghasilkan

cukup antibodi.

Gangguan imunodefisiensi turunan yang menyerang sel B meliputi:

o Hypogammaglobulinemia, yang biasanya menyebabkan infeksi pernapasan atau

pencernaan

o Agammaglobulinemia, yang menyebabkan infeksi parah secara dini, dan seringkali

mematikan

Gangguan imunodefisiensi turunan yang menyerang sel T biasanya menyebabkan

infeksi Candida (jamur) berulang. Imunodefisiensi turunan yang dikombinasikan

menyerang sel T dan sel B. Kondisi ini dapat mematikan dalam tahun pertama jika tidak

ditangani secara dini. Orang disebut imunosupresi apabila mereka memiliki gangguan

imunodefisiensi akibat obat yang melemahkan sistem imun (seperti kortikosteroid).

Imunosupresi juga merupakan efek samping dari kemoterapi untuk mengatasi kanker.

Imunodefisiensi yang diperoleh mungkin merupakan komplikasi dari beberapa penyakit

seperti HIV/AIDS dan malnutrisi (terutama jika orang tersebut tidak mendapatkan

protein yang cukup). Banyak kanker juga dapat menyebabkan imunodefisiensi. Orang

yang pernah melakukan pengangkatan limpa memiliki imunodefisiensi, dan berisiko

lebih tinggi untuk infeksi oleh bakteri tertentu, dimana limpa normalnya akan membantu

melawan. Orang dengan diabetes juga berisiko lebih tinggi untuk infeksi tertentu.

59
Dengan bertambahnya usia, sistem imun menjadi semakin kurang efektif. Jaringan

sistem imun (terutama jaringan limfoid seperti timus) menyusut, dan jumlah serta

aktivitas sel darah putih menurun. Kondisi dan penyakit berikut dapat menyebabkan

gangguan imunodefisiensi:

 Ataxia-telangiectasia

 Defisiensi komplemen

 DiGeorge syndrome

 Hypogammaglobulinemia

 Job syndrome

 Defek adhesi leukosit

 Bruton disease

 Wiskott-Aldrich syndrome

D. PATOFISIOLOGI

1. Usia

Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia lanjut dan

peningkatan ini disebabkan oleh penurunan untuk bereaksi secara memadai terhadap

mikroorganisme yang menginfeksinya. Produksi dan fungsi limfosit T dan B dapat

terganggu kemungkinan penyabab lain adalah akibat penurunan antibodi untuk

membedakan diri sendiri dan bukan diri sendiri.

Penurunan fungsi sistem organ yang berkaitan dengan pertambahan usia juga

turut menimbulkan gangguan imunitas. Penurunan sekresi serta motilitas lambung

memungkinkan flora normal intestinal untuk berploriferasi dan menimbulkan infeksi

sehingga terjadi gastroenteritis dan diare.


60
2. Gender

Kemampuan hormone-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah diketahui

dengan baik. Ada bukti yang menunjukkan bahwa estrogen memodulasi aktifitas

limfosit T (khususnya sel-sel supresor) sementara androgen berfungsi untuk

mempertahankan produksi interleukin dan aktifitas sel supresor. Efek hormon seks tidak

begitu menonjol, estrogen akan memgaktifkan populasi sel B yang berkaitan dengan

autoimun yang mengekspresikan marker CD5 (marker antigenic pada sel B). Estrogen

cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat imunosupresif.

Umumnya penyakit autoimun lebih sering ditemui pada wanita dari pada pria.

3. Nutrisi

Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi imun yang optimal.

Gangguan imun dikarenakan oleh defisiensi protein kalori dapat terjadi akibat

kekurangan vitamin yang diperlukan untuk mensintesis DNA dan protein. Vitamin juga

membantu dalam pengaturan poliferasi sel dan maturasi sel-sel imun. Kelebihan atau

kekurangan unsur-unsur renik (tembaga, besi, mangan, selenium atau zink) dalam

makanan umumnya akan mensupresi fungsi imun Asam-asam lemak merupakan unsur

pembangun (building blocks) yang membentuk komponen structural membrane sel.

Lipid merupakan prekursir vitamin A,D,E, dan K disamping prekursir kolesterol. Jika

kelebihan maupun kekurangan asam lemak ternyata akan mensupresi fungsi imun.

Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid, depresi

respon anti bodi, penurunan jumlah sel T yang beredar dan gangguan fungsi fagositosik

sebagai akibatnya, kerentanan terhadap infeksi sangat meningkat. Selama periode

infeksi dan sakit yang serius, terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi yang potensial untuk

61
menimbulkan deplesi protein, asam lemak, vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan

menyebabkan resiko terganggunya respon imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.

4. Faktor -Faktor Psikoneuro Imunologik

Limfosit dan makrofag memiliki reseptor yang dapat bereaksi terhadap

neurotransmitter serta hormon-hormon endokrin.Limfosit dapat memproduksi dan

mengsekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang mirip endokrin.

Neuron dalam otak, khususnya khusunya dalam hipotalamus, dapat mengenali

prostaglandin, interferon dan interleukin di samping histamine dan serotonin yang

dilepaskan selama proses inflamasi. Sebagaimana sistem biologi lainnya yang berfungsi

untuk kepentingan homoestasis, sistem imun di integrasikan dengan berbagai proses

psikofisiologic lainnya dan diatur serta dimodulasikan oleh otak.

Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neural dan

endokrin termasuk perilaku. Jadi, interaksi sistem saraf dan system imun tampaknya

bersifat dua arah.

5. Kelainan Organ yang Lain

Keadaan seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut

mengubah fungsi system imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor lainnya

menyebabkan gangguan integritas kulit dan akan mengganggu garis pertama pertahanan

tubuh hilangnya serum dalam jumlah yang besar pada luka bakar akan menimbulkan

deplesi protein tubuh yang esensial, termasuk immunoglobulin. Stresor fisiologi dan

psilkologik yang disertai dengan stress karena pembedahan atau cidera kan

menstimulasi pelepasan kortisol serum juga turut menyebabkan supresi respon imun

yang normal.

62
Keadaan sakit yang kronis  dapat turut mengganggu sistem imun melalui

sejumlah cara. Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit yang beredar.

Fungsi imun untuk pertahanan tubuh dapat berubah karena asidosis dan toksin uremik.

Peningkatan insidensi infeksi pada diabetes juga berkaitan dengan isufisiensi vaskuler,

neuropati dan pengendalian kadar glukosa darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang

rekuren berkaitan dengan penyakit paru obstruksi menahun sebagai akibat dari

berubahnya fungsi inspirasi dan ekspirasi dan tidak efektifnya pembersihan saluran

nafas.

6. Penyakit Kanker

Imunosekresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun, penyakit

kanker sendiri bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat melepaskan antigen ke

dalam darah, antigen ini akan mengikat antibodi yang beredar dan mencegah antibodi

tersebut agar tidak menyerang sel-sel tumor.  Lebih lanjut, sel-sel tumor dapat memiliki

faktor penghambat yang khusus yang menyalut sel-sel tumor dan mencegah

pengahancurannya oleh limposit T killer. Dalam stadium awal pertumbuhan tumor,

tubuh tidak mampu mengenali antigen tumor sebagai unsure yang asing dan selanjutnya

tidak mampu memulai distruksi sel-sel yang maligna tersebut.kanker darah seperti

leukemia dan limpoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta fungsi sel darah

putih dan limposit.

7. Obat-obatan

63
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki maupun yang

tidak dikehendaki pada fungsi sistem imun. Ada empat klasifikasi obat utama yang

memiliki potensi untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotic, kortikostreoid, obat-obat

anti-inflamasi nonsteroid (NSAID Nonsteroidal anti inflamatori drugs) dan preparat

sitotoksik.

Penggunaan preparat ini bagi keperluan terapeutik memerlukan upaya untuk mencari

kesinambungan yang sangat tipis antara manfaat terapi dan supresi sistem pertahanan

tubuh resipien yang berbahaya.

8. Radiasi

Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau pencegahan

rejeksi allograft. Radiasi akan menghancurkan limfosit dan menurunkan populasi sel

yang diperlukan untuk menggantikannya. Ukuran atau luas daerah yang akan disinari

menentukan taraf imunosupresi. Radiasi seluruh tubuh dan dapat mengakibatkan

imunosupresi total pada orang yang menerimannya.

9. Genetik

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik

respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap

antigen tertentu.

Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen

lain tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.

Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada

kompleks MHC dengan non MHC..

10. Kehamilan

64
Salah satunya yaitu Infeksi beberapa infeksi yang terjadi secara kebetulan selama

kehamilan dapat menyebabkan cacat sejak lahir. Campak jerman (rubella) bisa

menyebabkan cacat sejak lahir, terutama sekali pada jantung dan bagian dalam mata.

Infeksi cytomegalovirus bisa melewati plasenta dan merusak hati dan otak janin.

E. MANIFESTASI KLINIS

Tanda :

1. Sebagian besar bayi yang sehat mengalami infeksi saluran pernafasan sebanyak 6

kali atau lebih dalam 1 tahun, terutama jika terlular oleh anak lain. Sebaliknya, bayi

dengan gangguan sistem imun, biasanya menderita infeksi bakteri berat yang

menetap, berulang atau menyebabkan komplikasi. Misalnya infeksi sinus, infeksi

telinga menahun dan bronkitis kronis yang biasanya terjadi setelah demam dan sakit

tenggorokan. Bronkitis bisa berkembang menjadi pneumonia.

2. Kulit dan selaput lendir yang melapisi mulut, mata dan alat kelamin sangat peka

terhadap infeksi.

3. Thrush merupakan suatu infeksi jamur dimulut disertai luka dimulut dan peradangan

gusi, bisa merupakan pertanda awal dari adanya gangguan sistem kekebalan.

4. Peradangan mata (konjungtivitis) , rambut rontok, eksim yang berat dan pelebaran

kapiler dibawah kulit merupakan pertanda dari penyakit immunodefisiensi.

5. Infeksi pada saluran pencernaan bisa menyebabkan diare pembentukan gas yang

berlenihan dan penuruna berat badan.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

65
1. Pemeriksaan sel darah (lengkap)

2. pemeriksaan immunoglobulin

3. Respon antibody terhadap vaksin

4. Pemeriksaan protein komplemen

66

Anda mungkin juga menyukai