Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA ABDOMEN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktek Klinik Keperawatan di


RSUD Kota Bandung

Oleh:

KRISNA OKTAVIANA
4180170125

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2020
A. Pengertian
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul
dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).
B. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu
mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma
kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat
merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan
ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil),
dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan
(shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush
injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap
belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar.
Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma
decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian
yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur
hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).
Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen.
Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul,
organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan
usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma
retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak
dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang
lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan
berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar
(40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak
menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya
perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun
kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan
tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon
(40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding
abdomen dan trauma pada isi abdomen.
a. Trauma pada dinding abdomen
Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan
lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau
terjadi karena trauma penetrasi.
b. Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut  Suddarth &
Brunner (2002) terdiri dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera
pada dinding abdomen.
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli
bedah.
3) Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri
diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi
(Sjamsuhidayat, 1998).
C. Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak
diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor,
kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang
menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul
lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak,
trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk
sedikit menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.Trauma pada
abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum.
Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik
atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga,
benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari
50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan
yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen
dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.
D. Patofisiologi
Menurut Fadhilakmal (2013), Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan
pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan
olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan
hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik  dari kekuatan tersebut dengan
jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan  dengan kemampuan
obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh.
Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan  dari jaringan
tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik
dari permukaan  yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga
tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya
walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada
kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada
seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan.
Komponen lain yang harus dipertimbangkan  dalam beratnya trauma adalah
posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi
cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme:
1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh
gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang
letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ
padat maupun organ berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat
menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.
E. Pathway
Trauma (kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen (kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen

Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus

Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang dari dan eloktrolit kebutuhan tubuh



Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik (Sumber : Mansjoer,2001)
F. Manifestasi Klinis
a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi.
Secara umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan
perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya
dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga
peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi
b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium) ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
perut.
5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma
abdomen menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
1) Laserasi, memar,ekimosis
2) Hipotensi
3) Tidak adanya bising usus
4) Hemoperitoneum
5) Mual dan muntah
6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis),
7) Nyeri
8) Pendarahan
9) Penurunan kesadaran
10) Sesak
11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh
perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan
peritoneal
13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal.
14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia
pada fraktur pelvis
15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran
kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Trauma Tumpul
a. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98
% sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan
oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :
1) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
2) Perubahan sensasi trauma spinal
3) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
4) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
5) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi
6) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan
kecurigaan trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal
nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas
USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah
adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative
antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity,
shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa
dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal
oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu
hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita
mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang
membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat
sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui tube DPL pada pasien
dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan indikasi kuat untuk
laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan feses
,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak
10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun
melakukan rogg-oll, cairan ditampung kembali dan diperiksa di
laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat maupun empedu.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-
150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm 3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri
atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau
lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah
5000/mm3 atau lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
b. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus
di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas,
specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan
intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen
Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan
murah untuk mendeteksi hemoperitorium, dan dapat diulang
kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside
dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan
beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi
pemakaiannya sama dengan indikasi DPL. (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
a) Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa
untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit
di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
2. Trauma Tajam
1. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma
dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik
maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun
pemeriksaan CT scan.
2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan
DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif
asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan
diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial
dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau
triple contrast pada cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain
pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast,
maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien
yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita
peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel
maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior.
(American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
3. Pemeriksaan Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP
dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah
tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara
bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen
diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk
untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan
kemungkinan cedera retroperitoneal
b. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas
umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan
hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax,
ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada
pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka
masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan
jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen
foto abdomen tidur.
c. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
a) Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan
urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai
adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan
dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc
di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang
diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik
dengan sedikit tarikan pada pelvis.
b) Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan
dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan sistografi.
Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300 cc kontras
yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan
dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1)
aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien
merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding.
Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT cystogram)
yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan
tentang ginjal maupun tulang pelvisnya. (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148)
c) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan
bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada
fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini
dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus
100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30%
3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60
detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi
calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-visualisasi,
kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik
putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang mengalami
kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun
arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang mana yang diambil
tergantung fasilitas yang dimiliki.
d) Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal
(duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidak akan
menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL.
Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan
kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track
ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan.
(American College of Surgeon Committee of Trauma,2004:149).
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
d. Koagulasi : PT,PTT
e. MRI
f. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
g. CT Scan
h. Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
i. Scan limfa
j. Ultrasonogram
k. Peningkatan serum atau amylase urine
l. Peningkatan glucose serum
m. Peningkatan lipase serum
n. DPL (+) untuk amylase
o. Penigkatan WBC
p. Peningkatan amylase serum
q. Elektrolit serum
r. AGD
(ENA,2000:49-55)
H. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer, (2002) penatalaksanaan adalah :
1. Abdominal paracentesis menentukan adanya perdarahan dalam rongga
peritonium, merupakan indikasi untuk laparotomi
2. Pemasangan NGT  memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada
trauma abdomen
3. Pemberian antibiotik  mencegah infeksi
4. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada
trauma tumpul bila ada persangkaan perlukaan intestinal.
5. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya perdarahan
hebat yang meragukan kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda
perlukaan abdomen lainnya memerlukan pembedahan
6. Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang berlangsung.
Gumpalan kassa dapat menghentikan perdarahan yang berasal dari
daerah tertentu, tetapi yang lebih penting adalah menemukan sumber
perdarahan itu sendiri
7. Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan
mengisolasikan bagian usus yang terperforasi tadi dengan mengklem
segera mungkin setelah perdarahan teratasi
I. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman,
luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal
dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon,
maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
a. Primary Survey
1. Airway : dengan kontrol tulang belakang. Membuka
jalan napas menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau
menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda
asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan,
makanan, darah atau benda asing lainnya.
2. Breathing: dengan ventilasi yang adekuat.
Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-dengar-
rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas
atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban
(kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
3. Circulation : nadi lemah/ tidak teraba, cepat
>100x/mt, tekanan darah dibawah normal bila terjadi syok, pucat oleh
karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi,
capillary refill >2 detik apabila ada perdarahan.
4. Disability: kaji tingkat kesadaran sesuai GCS,
respon pupil anisokor apabila adanya diskontinuitas saraf yang
berdampak pada medulla spinalis.
5. Exposure/Environment: fraktur terbuka di femur
dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar pada abdomen,
perut semakin menegang.
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1.     Stop makanan dan minuman
2.    Imobilisasi
3.    Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam
lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi
pisau sehingga tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut
tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian
organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila
ada verban steril.
4.   Imobilisasi pasien.
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan
menekang.
7. Kirim ke rumah sakit.     
b. Secondary survey
a. Fokus Asesment
Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan
mulut. Temuan yang dianggap kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
Leher: lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher
bagian belakang.. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena
jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit
Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot
asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap kritis:
Luka terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan gerakan dada
paradoksikal, suara paru hilang atau melemah, gerakan dada sangat
lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan
penggunaaan otot-otot asesoris).
Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang,
lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan
yang dianggap kritis ditekuannya penurunan bising usus, nyeri tekan
pada abdomen bunyi dullness.
Pelvis: Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan.
Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak
stabil serta pembengkakan di daerah pubik
Extremitas: ditemukan fraktur terbuka di femur dextra da luka
laserasi pada tangan. Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi,
fungsi motorik, fungsi sensorik. Temuan yang dianggap kritis: Nyeri,
melemah atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau
menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.
Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan
dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma
Scale): terjadi penurunan kesadaran pada pasien.
b. AMPLE
Allergy : Tidak ada data
Medication : Tidak ada data
Past Medical History : Tidak ada data
Last Meal : Tidak ada data
Event : Seorang laki-laki 34 tahun di bawa ke UGD 2
jam yang lalu karena kecelakaan, pasien terseret
mobil dan terlempar dari motornya.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada daerah abdomen:
Inspeksi: Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah
dan tangan, memar pada abdomen, perut semakin menegang.
Auskultasi: Bising usus
Perkusi: Bunyi redup bila ada hemoperitoneum.
Palpasi: kekauan dan spasme pada perut karena akumulasi darah atau
cairan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
b. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka
penetrasi abdomen.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak
adekuatnya pertahanan tubuh
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
e. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang
kurang.
3. Intervensi
No Diagnosa Tujuan Itervensi Rasional
Keperawatan
1 Kekura Setelah 1.     Kaji tanda- 1.     untuk
. ngan dilakukan tanda vital. mengidentifikasi
volume tindakan defisit volume
cairan keperawatan 2.     Pantau cairan cairan.
b/d 1x24 jam, parenteral dengan 2.     mengidentifikasi
perdara volume cairan elektrolit, keadaan
han tidak mengalami antibiotik dan perdarahan,
kekurangan. vitamin serta Penurunan
sirkulasi volume
KH: cairan
*         Intake menyebabkan
dan output kekeringan mukosa
seimbang dan pemekatan
*         Turgor urin. Deteksi dini
kulit baik memungkinkan
*         Perdara terapi pergantian
han (-) cairan segera.
3.     Kaji tetesan 3.     awasi tetesan
infus. untuk
mengidentifikasi
kebutuhan cairan.
4.     Kolaborasi : 4.     cara parenteral
Berikan cairan membantu
parenteral sesuai memenuhi
indikasi. kebutuhan nuitrisi
tubuh.
5.     Mengganti cairan
5.     Cairan dan elektrolit
parenteral ( IV secara adekuat dan
line ) sesuai cepat.
dengan umur.
6.     Pemberian 6.     menggantikan
tranfusi darah. darah yang keluar.

3 Nyeri b/d Setelah 1.     Kaji 1.    Mengetahui


adanya dilakukan karakteristik tingkat nyeri klien.
trauma tindakan nyeri.
abdomen keperawatan 2.     Beri posisi 2.    Mengurngi
atau luka 1x24 jam, semi fowler. kontraksi abdomen
penetrasi Nyeri klien 3.     Anjurkan 3.    Membantu
abdomen. teratasi. tehnik mengurangi rasa
manajemen nyeri dengan
KH: nyeri seperti mengalihkan
         Skala distraksi perhatian
nyeri 0 4.     Managemant
         Ekspresi lingkungan 4.    lingkungan yang
tenang. yang nyaman. nyaman dapat
memberikan rasa
5.     Kolaborasi p nyaman klien
emberian 5.    analgetik
analgetik membantu
sesuai indikasi. mengurangi rasa
nyeri.

3 Resiko Setelah 1.     Kaji tanda- 1.     Mengidentifikasi


. infeksi b/d dilakukan tanda infeksi. adanya resiko
tindakan tindakan infeksi lebih dini.
pembedahan, keperawatan 2.     Kaji keadaan 2.     Keadaan luka
tidak 1x24 jam, luka. yang diketahui
adekuatnya infeksi tidak lebih awal dapat
pertahanan terjadi. mengurangi resiko
tubuh. infeksi.
KH: 3.    Kaji tanda- 3.     Suhu tubuh naik
*         Tanda-tanda tanda vital. dapat di
infeksi (-) indikasikan adanya
*         Leukosit proses   infeksi.
5000-10.000 4.    Lakukan  cuci 4.     Menurunkan
mm3 tangan sebelum resiko terjadinya
kntak dengan kontaminasi
pasien. mikroorganisme.
5.    Lakukan 5.     Dengan
pencukuran pada pencukuran klien
area operasi terhindar dari
(perut kanan infeksi post operasi
bawah
6.    Perawatan
luka dengan 6.     Teknik aseptik
prinsip sterilisasi. dapat menurunkan
resiko infeksi
7.    Kolaborasi nosokomial
pemberian 7.     Antibiotik
antibiotik mencegah adanya
infeksi bakteri dari
luar.
4 Gangguan Setelah 1.     Kaji 1.     identifikasi
. mobilitas dilakukan kemampuan kemampuan klien
fisik tindakan pasien untuk dalam mobilisasi.
berhubungan keperawatan bergerak.
dengan 1x24 2.     Dekatkan 2.     meminimalisir
kelemahan jam, diharapka peralatan pergerakan kien.
fisik n dapat yang
bergerak bebas. dibutuhkan
pasien.
KH: 3.     Berikan 3.     melatih otot-otot
       Mempertah latihan gerak klien.
ankan mobilitas aktif pasif.
optimal 4.     Bantu 4.     membantu dalam
kebutuhan mengatasi
pasien. kebutuhan dasar
klien.
5.     Kolaborasi 5.     terapi fisioterapi
dengan ahli dapat memulihkan
fisioterapi. kondisi klien.

5 Gangguan Setelah 1.    Ajarkan dan 1.     Keletihan


. nutrisi dilakukan bantu klien berlanjut
kurang dari tindakan untuk istirahat menurunkan
kebutuhan keperawatan sebelum keinginan untuk
tubuh b/d 1x24 jam, makan makan.
intake yang nutrisi klien 2.    Awasi 2.     Adanya
kurang. terpenuhi. pemasukan pembesaran hepar
KH: diet/jumlah dapat menekan
         Nafsu kalori, saluran gastro
makan tawarkan intestinal dan
meningkat makan sedikit menurunkan
         BB tapi sering dan kapasitasnya.
Meningkat tawarkan pagi
         Klien tidak paling sering.
lemah 3.    Pertahankan 3.     Akumulasi
hygiene mulut partikel makanan
yang baik di mulut dapat
sebelum menambah baru
makan dan dan rasa tak sedap
sesudah makan yang menurunkan
. nafsu makan.
4.    Anjurkan 4.     Menurunkan
makan pada rasa penuh pada
posisi duduk abdomen dan dapat
tegak. meningkatkan
pemasukan.
5.    Berikan diit 5.     Glukosa
tinggi kalori, dalam karbohidrat
rendah lemak cukup efektif
untuk pemenuhan
energi, sedangkan
lemak sulit untuk
diserap/dimetaboli
sme sehingga akan
membebani hepar.

4. Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan
dimana pada tahap ini tindakan yang telah direncarakan oleh perawat di
laksanakan dalam membantu pasien mencegah, mengurangi dan
menghilangkan dampak atau respon yang ditimbulkan oleh masalah
keperawatan dan kesehatan.
5. Evaluasi
Hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah Tidak ada
perdarahan, tidak ada distensi abdomen, tekanan darah dalam batas normal,
nadi dalam batas normal, perdarahan yang terlihat berkurang atau tidak ada,
tidak ada distensi abdomen, tanda tanda vital dalam batas normal, kesadaran
baik, nyeri dapat terkontrol

Anda mungkin juga menyukai