Anda di halaman 1dari 182

Editor:

Dr. Abdur Rahman As’ari, M.Pd, MA


Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd

COVER DALA M

i
VARIASI KONSTRUK DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Editor
Dr. Abdur Rahman As’ari, M.Pd, MA
Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG

i
VARIASI KONTRUK DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh
Dr. Abdur Rahman As'ari, M.Pd, MA, dkk

Copyright © 2016, Dr. Abdur Rahman As'ari, M.Pd, MA, dkk


Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan(KDT)
Diperbolehkan memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ke dalam
bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi atau merekam
dengan teknik apapun dengan seijin atau tanpa ijin dari penulis.

Editor : Dr. Abdur Rahman As‟ari, M.Pd., M.A.


Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd.
Lay out Cover : Tim CV. Bintang Sejahtera

ISBN : 978-602-1150-25-2
xii + 179 hal, 29 x 20.5

Diterbitkan oleh Penerbit CV. Bintang Sejahtera


Anggota IKAPI (No: 136/JTI/2011)
Jl. Sunan Kalijaga no. 7AA, Lowokwaru, Malang
Telepon +62 85102744383, 082140150043

Dicetak dan dijilid di Malang, Jawa Timur, Indonesia

ii
KATA PENGANTAR

Berbagai upaya dalam mengembangkan gagasan tentang pembelajaran matematika


di semua jenjang pendidikan perlu dilakukan terus menerus, baik pada jenjang
pendidikan dasar, sekolah menengah, bahkan sampai pendidikan tinggi. Gagasan
tentang pembelajaran matematika dapat diitinjau dalam dua konteks, yaitu
pembelajaran matematika dalam konteks praktis di sekolah dan pembelajaran
matematika dalam konteks riset. Buku yang berjudul Variasi Konstruk dalam
Pembelajaran Matematika berorientasi pada gagasan tentang pembelajaran
matematika dalam konteks riset. Tema yang diangkat dalam buku ini mencakup:
berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir reflektif, komunikasi matematis, berpikir
spasial, penalaran induktif, membuktikan, dan penalaran statistik. Buku ini
diharapkan berguna sebagai salah satu rujukan bagi para peneliti yang melakukan
penelitian terkait tema-tema tersebut. Disadari bahwa masih banyak hal yang perlu
dikritisi dalam buku ini, dan diharapkan ada masukan dari pembaca. Pada edisi
berikutnya diharapkan dihasilkan revisi buku yang lebih baik.

Penyusun

iii
iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iii


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... v
DAFTAR KONTRIBUTOR ................................................................................................ vi
PENDAHULUAN ............................................................................................................. viii

BERPIKIR KRITIS .............................................................................................................. 2


Dr. Abdur Rahman As'ari, M.Pd, MA
BERPIKIR KREATIF ........................................................................................................ 22
Muchtadi, S.Pd, M.Pd
BERFIKIR REFLEKTIF .................................................................................................... 41
Anies Fuady, S.Pd, M.Pd
KARAKTERISTIK KOMUNIKASI MATEMATIS ......................................................... 60
Sumaji, S.Pd, M.Pd
BERPIKIR SPASIAL ......................................................................................................... 76
Shinta Wulandari, S.Si, M.Pd
PENALARAN INDUKTIF................................................................................................. 94
Sandie, S.Pd, M.Pd
PERUBAHAN KONSEPTUAL ....................................................................................... 110
Syaiful Hadi, S.Pd, M.Pd
PEMBUKTIAN ................................................................................................................ 135
Fuat, S.Pd, M.Pd
PENALARAN STATISTIK ............................................................................................. 151
Parhaini Andriani, S.Pd, M.Pd.Si

v
DAFTAR KONTRIBUTOR

Dr. Abdur Rahman As’ari, M.Pd, MA Jurusan Pendidikan


Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Malang.

Muchadi, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas


Pendidikan Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi,
IKIP-PGRI Pontianak.

Anies Fuadi, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Malang.

Sumaji, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maria Kudus.

Shinta Wulandari, S.Si, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika,


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo
Tarakan.

Sandie, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas


P.MIPATEK, IKIP-PGRI Pontianak.

Syaiful Hadi, S.Pd, M.Pd Prodi Tadris Matematika, Fakultas


Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Tulungagung.

Fuat, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, STKIP-PGRI


Pasuruan.

Parhaini Andriani, S.Pd, M.Pd.Si Prodi Tadris Matematika,


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Mataram.

vi
PENDAHULUAN

Oleh : Edy Bambang Irawan


Universitas Negeri Malang

Makna Pembelajaran Matematika dapat diasosiasikan dalam berbagai


konteks, antara lain dalam konteks praktis dan dalam konteks riset. Dalam kontesk
praktis, pembelajaran matematika dapat diasosiasikan sebagai praktek
pembelajaran yang melibatkan alat, metode , dan berbagai pendekatan yang
dirancang guru untuk memfasilitasi siswa dalam belajar matematika, baik di dalam
kelas maupun di luar kelas. Dalam konteks riset, makna pembelajaran matematika
tidak sekedar melibatkan alat, metode, dan berbagai pendekatan dalam praktek
pembelajaran, namun mencakup berbagai ide-ide pembelajaran yang dihasilkan
melalui kajian hasil-hasil riset terkait upaya memfasilitasi siswa dalam belajar
matematika.
Variasi Konstruk dalam Pembelajaran Matematika dalam buku ini
menunjuk pada berbagai konstruksi ide-ide pembelajaran yang dihasilkan melalui
kajian hasil-hasil riset pembelajaran matematika. Tema yang diangkat dalam buku
ini mencakup: berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir reflektif, komunikasi
matematis, berpikir spasial, penalaran induktif, membuktikan, dan penalaran
statistik. Pola penyajian setiap judul bab dalam buku ini memuat pengertian,
karakteristik, contoh dan bukan contoh, dan hasil-hasil penelitian yang terkait
dengan tema-tema tersebut.
Berpikir kritis merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah
informasi secara logis. Orang yang berpikir kritis tidak dengan serta merta

vii
menerima dan mempercayai kebenaran suatu informasi. Orang yang berpikir kritis
senantiasa menantang, menganalisis, dan menilai kebenaran dari informasi tersebut
agar kebenarannya bisa dipertahankan dan dipertanggungjawabkan. Orang yang
berpikir kritis senantiasa menganalisis informasi dan memunculkan gagasan yang
dilandasi dari berbagai sumber secara seksama dan logis. Kegiatan yang menuntut
sebagian dari kegiatan berpikir kritis itu antara lain adalah kegiatan ketika
seseorang : (1) harus mengambil keputusan apakah perlu atau tidak perlu
mempercayai suatu informasi , (2) mengambil langkah untuk menyelidiki
kebenaran suatu informasi, (3) mengemukakan argumen terhadap orang yang tidak
mempercayai kita, maka orang tersebut pasti berpikir kritis.
Berpikir kreatif merupakan sesuatu kekuatan terorganisir bersifat abstrak,
berani, disiplin, tidak pernah berhenti yang muncul akibat kondisi lingkungan dan
menjadi pendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Orang yang berpikir
kreatif (creative thinker) memiliki gaya berpikir inovatif, ketekunan, dan yang
memiliki keberanian khas berdasarkan keyakinan mereka sendiri dan kesediaan
untuk mengambil risiko. Ciri utama dari berpikir kreatif adalah penciptaan suatu
gagasan baru, belum pernah dilihat atau belum pernah dipikirkan sebelumnya.
Berpikir reflektif merupakan proses berpikir yang terarah dan tepat dimana
individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi, mendapatkan makna yang
mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Siswa yang memiliki
gaya reflektif cenderung menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan
merenungkan akurasi jawaban. Individu reflektif lebih lamban dan berhati-hati
dalam memberikan respons, tetapi cenderung memberikan jawaban secara akurat.
Siswa yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas-tugas seperti mengingat
informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami dan menginterpretasikan
teks, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Selain itu, siswa yang
reflektif juga mungkin lebih menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi
pada informasi yang relevan. Dan biasanya memiliki standar kerja yang tinggi
Dalam konteks pembelajaran di kealas, komunikasi matematis merupakan
interaksi yang direncanakan di ruang kelas, yang meliputi strategi seperti
pertanyaan, diskusi dan kegiatan kelompok dalam pembelajaran matematika.

viii
Sebelum proses pembelajaran di kelas dimulai sebaiknya guru harus merancang
proses pembelajaran diantaranya adalah membuat pertanyaan, pemberian
pertanyaan atau scafolding sehingga proses diskusi dalam kelompok, berbagi ide
matematika bisa berjalan lancar. Kegiatan komunikasi matematis dikelas dapat
diwujudkan dalam bentuk kegiatan diskusi dan berbagi ide matematis yang dapat
meningkatkan asimilasi antara pengalaman baru dan lama. Dengan berbagi ide
maka akan terjadi proses asimilasi sehingga dapat menggabungkan pengetahuan
baru bagi siswa dengan struktur pengetahuan yang sudah ada. Oleh karena itu
dengan komunikasi matematis dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap
konsep matematika.
Berpikir spasial merupakan proses-proses menangkap, mengkodekan
(encoding) dan memanipulasi secara mental dari bentuk spasial. Proses menangkap
merupakan kegiatan fisik yang melibatkan panca indra pada saat bertemu dengan
bentuk fisik suatu benda. Mengkodekan (encoding) mengacu pada bagaimana
mengubah suatu fisik, input sensorik menjadi suatu bentuk representasi yang dapat
ditempatkan ke dalam memori. Proses mental selanjutnya adalah penyimpanan
yang mengacu pada bagaimana mempertahankan informasi yang dikodekan dalam
memori kemudian bagaimana seseorang mendapatkan akses ke informasi yang
tersimpan dalam memori sehingga dapat menyajikannya kembali sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, Ketika seorang berpikir spasial, maka perhatiannya
akan terpusat pada lokasi objek, bentuknya, hubungannya dengan bentuk yang lain
dan proses jika bentuk-bentuk tersebut dipindahkan Pandangan lain menyatakan
bahwa berpikir spasial merupakan proses-proses mental pada penyajian,
penganalisisan dan penggambaran inferensi dari relasi spasial. Relasi spasial ini
bisa saja berupa relasi antara obyek-obyek atau relasi di dalam suatu obyek.
Seseorang dapat menganalisis relasi spasial sebagaimana dia dapat mengamati dan
menyajika atau membayangkan perubahan bentuk pada relasi spasial , misalnya
memutar secara mental suatu obyek tiga dimensi.
Penalaran induktif berangkat pada tahap yang dinamakan observasi. Dari
masing-masing observasinya seseorang tersebut mencari pola keterkaitan yang
dimiliki dari masing-masing observasi atau kejadian. Dari keterkaitan dari masing-

ix
masing kejadian atas hasil observasinya, seseorang dapat membuat kesimpulan
sementara dari masing-masing hasil observasi dan kejadian. Hasil kesimpulan
tersebut dinamakan dengan tentative hypothesis.Penalaran induktif, sebagai
kebalikan penalaran deduktif atau penalaran abduktif, adalah penalaran di mana
premis-premis dipandang untuk menyediakan atau mendukung bukti untuk
kebenaran suatu kesimpulan, namun bukti tersebut bukan merupakan bukti kuat.
Sedangkan konklusi dari argumen deduktif adalah pasti, tetapi kebenarannya dari
konklusi suatu argumen induktif belum bisa ditetapkan dan tergantung pada fakta-
fakta yang diberikan. Penalaran deduktif dapat dipandang sebagai proses penalaran
dari fakta atau pengamatan khusus untuk mencapai kemungkinan kesimpulan yang
dapat menjelaskan fakta-fakta. Penalaran induktif kemudian dapat menggunakan
kemungkinan kesimpulan untuk mencoba memprediksi kejadian selanjutnya.
Pembuktian (proofing) merupakan aktivitas mengontruksi bukti.
Pengonstruksian bukti menurut dapat dilakukan dengan mengeksplorasi apa yang
sudah diketahui dan prinsip yang mendasarinya untuk mencapai kesimpulan yang
diharapkan, kemudian mengerjakan kembali jika terjadi kesalahan sewaktu menulis
bukti, setelah bukti telah selesai ditulis dilakukan validasi secara keseluruhan.
Mengonstruksi bukti menawarkan skema bukti (proof scheme) dalam
menggambarkan proses pembuktian dengan kategori prosedural, sintaksis, dan
semantik. Skema bukti prosedural merupakan upaya membangun bukti dengan
mengikuti langkah-langkah tertentu yang akan menghasilkan bukti yang valid.
Skema bukti sintaksis merupakan upaya membangun bukti dengan memanipulasi
definisi dan fakta lain yang relevan serta benar dengan cara logis. Sedangkan
skema bukti semantik, mencoba untuk memahami mengapa pernyataan tersebut
benar dengan memeriksa representasi objek matematika yang relevan dan
kemudian menggunakan argument intuitif sebagai dasar untuk membangun bukti
formal.
Penalaran statistik mencakup penggunaan ide dan alat statistik untuk
merangkum dan menggambarkan asumsi disamping membuat kesimpulan
berdasarkan data. Penalaran statistik merupakan penafsiran berdasarkan data dan
penarikan inferensi dari data. Terdapat 5 tahapan model perkembangan penalaran

x
statistik pada siswa, yaitu: penalaran idiosinkratik (idiosyncratic reasoning),
penalaran verbal, penalaran transisional, penalaran procedural, dan penalaran
proses terintegrasi. Pada penalaran idiosinkratik, siswa mengetahui beberapa kata
dan simbol tentang distribusi sampel dan dapat menggunakannya tanpa benar-benar
memahaminya, kadangkala salah, dan mungkin mempersulit mereka dengan
informasi yang tidak relevan. Pada penalaran verbal, siswa memiliki pengetahuan
verbal tentang beberapa konsep tetapi tidak dapat mengaplikasikannya dalam suatu
konteks. Misalnya, siswa dapat memberikan definisi secara benar tetapi tidak
secara penuh memahami implementasi konsepnya. Misalnya siswa memahami
definisi rata-rata dan median, tetapi tidak dapat menjelaskan bahwa rata-rata lebih
besar dari median pada distribusi sampel yang kemencengannya positif. Pada
penalaran transisional, siswa mampu mengindentifikasi satu atau dua dimensi dari
proses proses statistik secara benar tanpa sepenuhnya mengintegrasikan dimensi
tersebut. Pada penalaran prosedural, siswa siswa mampu mengindentifikasi satu
atau dua dimensi konsep atau proses statistik secara benar tetapi tidak sepenuhnya
mengintegrasikan dan memahami proses tersebut untuk menghasilkan proses
tersebut. Sedangkan pada penalaran proses terintegrasi, siswa memiliki
pemahaman yang lengkap tentang dimensi konsep atau proses statistic secara benar
serta mampu menyesuaikan aturan sesuai konteks yang dihadapi.
--------------------------------------------------------

xi
BAB I
BERPIKIR KRITIS

Oleh : Abdur Rahman As’ari


Universitas Negeri Malang

1
BAB – I BERPIKIR KRITIS

A. PENDAHULUAN
Mengembangkan kemampuan dan disposisi berpikir kritis merupakan hal
yang sangat penting dalam dunia pendidikan saat ini. Di samping diperlukan untuk
sukses belajar di jenjang yang lebih tinggi (As‟ari, 2014; Starkey, 2004),
kemampuan dan disposisi berpikir kritis memungkinkan seseorang membuat
keputusan yang lebih baik (Cottrell, 2005), tidak mudah tertipu (Bowell & Kemp,
2002), menunjukkan kinerja yang baik dalam dunia kerja (Starkey, 2004) dan
menikmati kedamaian di dunia (As‟ari, 2014). Keterampilan dan disposisi berpikir
kritis bahkan dipercaya sebagai salah satu dari empat keterampilan (4C‟s: Critical
Thinking, Creative Thinking, Collaboration, and Communication skills) yang
sangat diperlukan untuk sukses di dunia dalam era global (As‟ari, 2015; As‟ari.
2016). Oleh karena itu, para pendidik matematika khususnya harus mendorong
tumbuh dan berkembangnya kemampuan dan disposisi berpikir kritis siswanya.

B. DEFINISI BERPIKIR KRITIS


Cottrell (2005) menyatakan hampir setiap orang, dalam kehidupan sehari-
harinya, selalu menggunakan sebagian dari kegiatan berpikir yang termuat dalam
berpikir kritis. Kegiatan yang menuntut sebagian dari kegiatan berpikir kritis itu
antara lain adalah kegiatan ketika seseorang : (1) harus mengambil keputusan
apakah dia harus mempercayai apa yang dilihat dan di dengarnya, (2) mengambil
langkah untuk menyelidiki kebenaran sesuatu, (3) mengemukakan argumen
terhadap orang yang tidak mempercayai kita, maka orang tersebut pasti berpikir
kritis. Akan tetapi, pemikiran kritis itu tidak setiap saat dilakukan. Kadang kita
terlalu menyandarkan keyakinan kita kepada seseorang, dan apapun yang
dikemukakannya senantiasa kita percaya tanpa memeriksa lagi kebenarannya.
Karena itu, kadang kita berpikir secara kritis, tetapi kadang juga tidak. Karena itu,
kita perlu memahami apa itu berpikir kritis.
Ennis (2011) menyatakan berpikir kritis sebagai berpikir yang logis dan
reflektif yang difokuskan kepada pengambilan keputusan apa yang harus dipercaya

2
atau apa yang harus dilakukan. Dengan berpikir kritis, keputusan yang diambil
(mempercayai apa yang diinformasikan, atau melakukan apa yang diperintahkan)
harus diperiksa terlebih dahulu kelogisannya. Di samping itu, kegiatan berpikir itu
harus dilakukan dengan penuh kesadaran (Innabi, 2003). Semua langkah yang
dilakukan dalam pengambilan kesimpulan harus disadari, dinilai, dan diperbaiki
manakala diperlukan.
Di samping logis dan reflektif, sebenarnya ada dua hal yang perlu
mendapatkan perhatian dari definisi berpikir kritis yang dikemukakan Ennis (2011)
di atas, yaitu to believe (mempercayai) or to do (melakukan). Definisi ini memang
mencakup dua tantangan dalam berpikir kritis, yaitu: (1) mempercayai klaim atau
argumen, baik tertulis maupun lisan, dan (2) melakukan hal yang diminta atau
diperintahkan untuk dikerjakan. Ennis (2011) memang membedakan antara critical
thinking abilities (kemampuan berpikir kritis), yaitu berpikir kritis dalam rangka
memutuskan apakah dia harus mempercayai atau tidak dengan critical thinking
dispositition (disposisi berpikir kritis), yaitu berpikir kritis dalam rangka
memutuskan apakah dia harus melakukan tindakan yang diminta/diperintahkan
atau tidak.
Moon (2008) mengumpulkan berbagai definisi tentang kemampuan berpikir kritis.
Salah satu definisi yang disajikannya adalah sebagai berikut.
Critical thinking is the ability to consider a range of information
derived from many different sources, to process this information in
a creative and logical manner, challenging it, analysing it and
arriving at considered conclusions which can be defended and
justified.
Tampak bahwa berpikir kritis itu dipandang sebagai kemampuan dalam mengolah
informasi secara logis. Orang yang berpikir kritis tampaknya tidak dengan serta
merta menerima dan mempercayai kebenaran suatu informasi. Orang yang berpikir
kritis senantiasa menantang, menganalisis, dan menilai kebenaran dari informasi
tersebut agar kebenarannya bisa dipertahankan dan dipertanggungjawabkan. Orang
yang berpikir kritis senantiasa menganalisis informasi dan gagasan dari berbagai
sumber secara seksama dan logis (Alfrey & Cooney, 2009). Segala macam klaim,

3
informasi, simpulan, atau pun argumen selalu dianalisisnya terlebih dahulu
sebelum mempercayai. Oleh karena itu, terdapat beberapa proses yang dilakukan
ketika seseorang berpikir kritis
Menurut Lai (2011), beberapa keterampilan yang terlibat dalam berpikir kritis
adalah:
1. Menganalisis argumen,
2. Membuat inferensi (simpulan) menggunakan penalaran induktif atau deduktif,
3. Melakukan evaluasi (judging or evaluating), dan
4. Membuat keputusan.
The Cambridge Assessment (Black, 2008) mengemukakan bahwa proses -
proses tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis argumen (analysing arguments).
2. Mempertimbangkan kesesuaian dan signifikasi informasi yang diperoleh
(judging the relevance and significance of information).
3. Menilai klaim, simpulan, argumen dan penjelasannya (evaluating claims,
inferences, arguments and explanations).
4. Menghasilkan argumen yang jelas dan koheren (constructing clear and
coherent arguments).
5. Mengambil keputusan yang logis (forming well-reasoned judgements and
decisions).
National Education Association (tanpa tahun) mengemukakan hal yang
hampir serupa. Dikemukakan bahwa di dalam berpikir kritis, seseorang melakukan
beberapa hal berikut
1. Menalar secara efektif (Reason effectively) menggunakan berbagai macam
penalaran (induktif, deduktif, dll) yang sesuai dengan situasinya
2. Menggunakan pemikiran sistem (Use system thinking) yaitu menganalisis
bagaimana bagian dari suatu keseluruhan berinteraksi satu sama lain untuk
menghasilkan luaran yang menyeluruh di dalam sistem yang kompleks
3. Membuat keputusan (make judgements and decisions) dengan cara:
a. Menganalisis dan menilai bukti, argumen, klaim, dan kepercayaan secara
efektif

4
b. Menganalisis dan menilai sudut pandang alternatif yang utama
c. Mensintesis and membuat koneksi antara informasi dengan argumen
d. Menafsirkan informasi dan menarik kesimpulan berdasarkan analisis terbaik
e. Melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman dan proses belajarnya
Sehubungan dengan proses-proses yang dilalui dalam berpikir kritis di atas,
Watson & Glazer menggunakan beberapa konstruk yang digunakan oleh untuk
mengukur kemampuan berpikir kritis seseorang (Saadati, Tarmizi, & Bayat, 2010),
yaitu:
1. Interpretation yang berarti menimbang bukti dan memutuskan apakah
generalisasi atau kesimpulan yang dikembangkan dari data yang ada tersebut
sudah terjamin
2. Deduction yaitu menentukan apakah kesimpulan tertentu memang merupakan
merupakan syarat perlu dari pernyataan atau premis yang diberikan
3. Evaluation yaitu membedakan antara argumen yang kuat dan relevan dengan
argumen yang lemah atau tidak relevan terkait dengan pertanyaan atau isyu
tertentu
4. Inference adalah membedakan derajat kebenaran atau kesalahan dari simpulan
yang diambil dari data yang disediakan
5. Recognition of assumptions yaitu mengenali asumsi yang tidak ternyatakan di
dalam suatu pernyataan tertentu.
Kalau semua hal di atas telah dilakukan secara konsisten, kemampuan berpikir
kritis ini akhirnya akan menjadi kebiasaan. Orang yang terbiasa berpikir kritis ini
akhirnya akan memiliki kecenderungan untuk berpikir kritis, dan disposisi adalah
suatu kecenderungan umum untuk melakukan sesuatu ketika diberikan kondisi
tertentu (Ennis, 1996). Karena itu, disposisi berpikir kritis adalah kecenderungan
menggunakan pemikiran kritis ketika dihadapkan dengan situasi tertentu.

C. CONTOH DAN BUKAN CONTOH BERPIKIR KRITIS


Menurut hemat penulis, kemampuan berpikir kritis ini berkenaan dengan
reaksi berpikir seseorang terhadap klaim/argumen. Karena itu, untuk menilai

5
kemampuan berpikir kritis seseorang, beberapa hal berikut tampaknya perlu
dilakukan.
1. Claim/Argumen Identification. Menilai apakah orang tersebut bisa menentukan
apakah kalimat yang dihadapinya merupakan suatu klaim/argumen atau bukan.
Orang yang memiliki kemampuan berpikir kritis pasti bisa membedakan
apakah suatu kalimat merupakan suatu klaim atau bukan. Orang yang memiliki
kemampuan berpikir kritis akan bisa membedakan apakah suatu kumpulan
kalimat merupakan suatu argumen atau bukan. Dengan demikian, untuk menilai
apakah seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis, hal yang bisa dilakukan
adalah dengan memberikan suatu kalimat atau kumpulan kalimat dan meminta
yang bersangkutan menentukan apakah kalimat atau kumpulan kalimat tersebut
merupakan suatu klaim/argumen atau bukan. Kalau dia mampu menentukan
secara tepat jawab yang seharusnya, maka dia berpotensi memiliki kemampuan
berpikir kritis (meskipun belum sepenuhnya).
2. Premises and Conclusion Identification. Menilai apakah orang tersebut bisa
menentukan premis dan simpulan dari klaim/argumen yang dibuat. Orang yang
berpikir kritis, ketika dihadapkan dengan suatu klaim atau argumen, dia akan
akan bisa menyatakan klaim atau argumen tersebut menjadi kalimat jika maka,
dan menetapkan mana yang menjadi premis dan mana yang menjadi simpulan.
Karena itu, kalau ketika diberikan suatu klaim atau argumen, seseorang tidak
mampu menentukan mana premis dan mana simpulannya, orang tersebut sudah
pasti dapat dikatakan tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.
3. Possible Assumption(s) Identification. Menilai apakah orang tersebut
mengenali asumsi yang digunakan, dan asumsi lain yang juga bisa digunakan.
Orang yang berpikir kritis, akan mampu menentukan asumsi (baca= semesta
pembicaraan) yang diperlukan agar klaim atau argumen yang dihadapinya
bernilai benar atau salah. Karena itu, orang yang berpikir kritis pasti mampu
menentukan dengan asumsi apa suatu klaim atau argumen bernilai benar, dan
dengan asumsi apa suatu klaim atau argumen bernilai salah. Menghadapi orang
yang membuat klaim atau argumen tertentu, dan yakin dengan kebenaran klaim

6
atau argumennya, orang yang berpikir kritis pasti tahu dengan pasti asumsi atau
semesta pembicaraan yang digunakan oleh orang tersebut.
4. Inferencing. Menilai apakah orang tersebut mampu mengambil inferensi dari
suatu pernyataan atau premis. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang
mampu menggunakan teknik pengambilan kesimpulan (induktif maupun
deduktif) yang valid. Karena itu, orang yang berpikir kritis mampu menentukan
simpulan apa saja yang tepat manakala diberikan suatu premis kepadanya.
5. Validating. Menilai apakah orang tersebut mampu menilai kevalidan dari
argumen. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang mampu memberikan
justifikasi terhadap keabsahan penarikan kesimpulan. Dia bisa menentukan
teknik penarikan kesimpulan yang digunakan, dan menilai tepat tidaknya
penggunaan unsur-unsurnya.
6. Other points of view identification. Menilai apakah orang tersebut mampu
mengidentifikasi argumen valid lain yang mungkin terjadi. Orang yang berpikir
kritis adalah orang yang luwes dalam menerima simpulan lain yang memenuhi
prinsip-prinsip penarikan kesimpulan yang valid.
7. Comparing & Contrasting of Claims/Conclusions. Menilai apakah orang
tersebut bisa membanding-bandingkan kelebihan dan kelemahan dari klaim
atau simpulan yang terbentuk. Orang yang berpikir kritis mampu
membandingkan kekuatan dan kelemahan dalam suatu argumen. Orang yang
berpikir kritis mampu membedakan mana argumen yang kebenaran
simpulannya dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan berasal dari premis-
premisnya, dan mana argumen yang kebenaran simpulannya masih harus
bersandar pada asumsi tertentu yang tidak dibicarakan secara eksplisit di dalam
argumen tersebut.
8. Decision Making. Menilai apakah orang tersebut mampu memilih dan
mengambil keputusan yang tepat. Berdasarkan kemampuan menilai kekuatan
dan kelemahan argumen yang dimiliki, orang yang berpikir kritis, mampu
mengambil keputusan yang terbaik dari sekian banyak alternatif yang tersedia.
9. Communicating Ideas. Menilai apakah orang tersebut mampu
mengomunikasikan idenya dengan santun dan penuh hormat (respek). Orang

7
yang berpikir kritis bukanlah orang yang suka menolak pendapat orang lain
dengan lantang dan menyakitkan. Orang yang berpikir kritis justru harus
memiliki empati. Orang yang berpikir kritis mampu mengemukakan ide dan
pemikirannya secara santun. Meskipun pendapatnya berbeda dengan orang
yang memiliki klaim atau argumen tertentu, orang yang berpikir kritis mampu
mengomunikasikan idenya dengan baik. Orang yang berpikir kritis peduli
dengan dampak pengungkapan idenya.
Sehubungan dengan hal di atas, untuk mengetahui contoh orang yang
memiliki kemampuan berpikir kritis, maka 9 (sembilan) aspek di atas harus diukur.
Kalau semuanya dapat dipenuhi, maka kemampuan berpikir kritis dari orang
tersebut dapat dikatakan tinggi.
Kemampuan pertama dan kedua (claim/argument dan premise and
conclusions identifications) di atas merupakan persyaratan utama yang tidak bisa
ditolak. Kalau seseorang tidak bisa menentukan apakah sesuatu merupakan
klaim/argumen atau tidak, atau orang tersebut tidak bisa membedakan mana yang
merupakan premis dan mana yang menjadi simpulan dalam suatu argumen, orang
tersebut jauh dari dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis. Orang tersebut
cenderung tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.
Menilai seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik atau tidak
akan lebih mudah dengan mengukur disposisi berpikir kritisnya. Dengan melihat
bagaimana kecenderungan orang tersebut dalam menjalankan perintah atau
permintaan, kita akan dengan mudah melihat apakah orang itu cenderung berpikir
kritis atau tidak. Tapi, setelah melihat disposisinya, barulah kita mengkaji secara
lebih mendalam. Kita bisa meminta yang bersangkutan untuk menyuarakan secara
nyaring (thinking aloud) proses berpikirnya ketika mengambil keputusan
melakukan tindakan tersebut.

8
Contoh 1
Misalkan si A dan B diberi soal sebagai berikut.
Diketahui Segitiga ABC adalah segitiga siku-siku
dengan sudut C adalah 60 derajat. BD
adalah garis tinggi.
Panjang CD 1 satuan
Panjang BC 3 satuan
Panjang AB 4 satuan
Tentukan keliling segitiga ABD

Si A mengerjakannya sebagai berikut

√ √ √

√ √ √ √

Jadi keliling segitiga ABD adalah = √ √ √

Sementara itu si B mengerjakan sebagai berikut

Sementara itu, dari segitiga BCD, berdasar gambar,

Bertentangan. Karena itu, soal ini salah. Saya tidak perlu mencari keliling
yang diperintahkan.

Perhatikan dua jawaban di atas.


Jawaban di atas menunjukkan bahwa si A tidak memperlihatkan disposisi berpikir
kritis. Dia menerima informasi yang diberikan begitu saja tanpa ada upaya untuk
memperoleh keyakinan tentang kebenarannya. Meskipun demikian, tidak berarti
bahwa si A tidak memiliki kemampuan berpikir kritis. Si A bisa saja memiliki
kemampuan berpikir kritis. Si A ini perlu diuji 9 hal yang dikemukan di atas untuk
menentukan apakah yang bersangkutan memiliki kemampuan berpikir kritis atau
tidak.

9
Sementara itu, si B menunjukkan yang sebaliknya. Dia melakukan inferensi
terlebih dahulu terhadap premis yang diberikan dan mengambil keputusan dengan
benar. Si B memiliki kemampuan berpikir kritis dan memperlihatkan disposisi
berpikir kritis.

Contoh 2
Si C dan si D diberikan suatu klaim berikut.

Banyaknya akar dari persamaan kuadrat adalah 2

Si C menjawab:

BENAR

Si D menjawab:

Dalam semesta Himpunan Bilangan Real pernyataan tersebut benar. Tetapi,


dalam semesta yang lain bisa salah. Banyak akarnya bisa 0, 1, 2, bahkan bisa
lebih

Melihat jawaban si C, jelas bahwa si C tidak melakukan disposisi berpikir kritis.


Dia tampaknya mengasumsikan bahwa semesta pembicaraannya adalah himpunan
semua bilangan real, dan kalau memang benar demikian, maka jawaban dia adalah
benar. Sayangnya, dia sepertinya tidak memikirkan kemungkinan semesta
pembicaraan yang lain. Mungkin saja jawabannya akan berbeda kalau kita sebagai
guru menanyakan kepada yang bersangkutan pertanyaan berikut:

Kalau semesta pembicaraannya himpunan bilangan prima,


apakah banyak selesaiannya masih 2?
Kalau semesta pembicaraannya himpunan bilangan asli?
Kalau semesta pembicaraanya himpunan bilangan bulat
negatif?
Kalau semesta pembicaraannya himpunan bilangan bulat
modulo 8?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa membantu siswa mengambil kesimpulan lain.
Dengan demikian, meskipun siswa tersebut tidak menunjukkan disposisi berpikir

10
kritis, tetapi belum tentu dia tidak mampu berpikir kritis sama sekali. Mungkin ada
sebagian dari 9 hal yang penulis uraikan di atas yang masih dimilikinya.
Sebaliknya, jawaban si D menunjukkan bahwa dia memperlihatkan disposisi
berpikir kritis. Dia bisa memberikan respons dengan benar, sebab jawabannya
memang bisa tidak seperti yang diklaimkan. Jawabannya bisa sama dengan 0 kalau
semestanya himpunan bilangan prima, bisa 1 bila semestanya himpunan bilangan
asli, bisa 2 bila semestanya bilangan real, bahkan bisa lebih kalau semestanya
adalah himpunan kelas sisa modulo yang akar-akarnya bisa [1], [3], [5], dan [7].
Akan tetapi, disposisi berpikir kritis tersebut tidak menjamin bahwa yang
bersangkutan (si D) memiliki kemampuan berpikir kritis. Jawaban itu bisa saja
diperolehnya dari mengingat peristiwa sebelumnya. Mungkin dia sudah pernah
mendapatkan pertanyaan dan jawaban yang sama. Dia hanya sekedar mengingat
apa yang sudah pernah dialaminya. Dalam hal demikian, si D tidak memiliki
kemampuan berpikir kritis.
Akan tetapi, kalau si D ini bisa memberikan alasan yang baik, mampu memberikan
justifikasi logis terhadap jawabannya, si D masih dikatakan mampu berpikir kritis
kendati tidak memperlihatkan disposisi berpikir kritis.
Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis ini tidak serta merta diwujudkan dalam
disposisi berpikir kritis. Sebaliknya, orang yang terlihat berdisposisi kritis juga
belum tentu memiliki kemampuan berpikir kritis.

D. HASIL-HASIL PENELITIAN TERKAIT BERPIKIR KRITIS


Cukup banyak penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan berpikir kritis
ini. Berikut disajikan beberapa hasil penelitian yang sempat penulis rekam.
Appelbaum (2015) menyatakan bahwa ketika calon guru dihadapkan
dengan kontradiksi dari beberapa selesaian yang berbeda, calon guru banyak
mengalami kesulitan dalam mencari penjelasannya. Akan tetapi, bimbingan yang
cermat dari seorang instruktur bisa membantu kesuksesan mereka. Karena itu,
secara umum dikatakan bahwa instruktor memiliki peran penting dalam membantu
pengembangan kemampuan berpikir kritis.

11
Firdaus dkk (2015) menyatakan bahwa penggunaan modul berbasis
Pembelajaran Berbasis Masalah berhasil meningkatkan tiga aspek kemampuan
berpikir kritis, yaitu: kemampuan mengidentifikasi dan menafsirkan informasi,
kemampuan menganalisis informasi, dan kemampuan mengevaluasi bukti serta
argumen. Maricica & Spijunovicb (2015) menyatakan bahwa pemilihan materi
memiliki peranan penting dalam mendorong dan mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa.
Valvez (2015) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis aktivitas yang
dipadukan dengan pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa. Kegiatan belajar dalam pembelajaran berbasis aktivitas dan
pembelajaran kooperatif secara otomatis mendorong mereka untuk berpikir kritis,
dan lebih asyik dalam belajarnya. Pembelajaran ini juga berhasil mengurangi
miskonsepsi siswa.
Nugraha & Kirana (2015) menyatakan bahwa eksperimen berbasis
pemecahan masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, mulai
dari deduction, induction, credibility, observation, and assumption.Hartati &
Sholihin (2015) menyatakan bahwa pembelajaran berbasia masalah dalam
pembelajaran IPA terpadu mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Happy & Widjajanti (2014) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, tetapi tidak untuk
berpikir kritis dan self esteem. Akan tetapi, pembelajaran berbasis masalah tetap
lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif dan kritis, serta self esteem siswa.
Hendarto & Setyarsih (2014) menyatakan bahwa modifikasi High-
binaural beats dan guided problem solving efektif meningkatkan kemampuan
berpikir kritis pada rentang level High- 20 – 85, serta guided problem solving
efektif pada rentang efek GPS 65 – 75
Lestari (2014) menyatakan bahwa brain-based learning mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Biber, Tuna & Incikabi (2013) menyatakan bahwa calon guru matematika memiliki
disposisi berpikir kritis yang rendah dan satu-satunya faktor yang menjadi

12
penyebabnya adalah latar belakang sekolahnya, tetapi praktik membaca kurang
berkorelasi dengan disposisi berpikir kritis mereka.
Chukwuyenum (2013) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis
merupakan alat yang efektif untuk meningkatkan kinerja dalam matematika, dan
karenanya keterampilan berpikir kritis perlu di-infuse dalam pembelajaran
matematika.
Erceg, Aviani, & Mesic (2013) menyatakan bahwa ill-defined problem
memiliki potensi untuk membangkitkan berbagai macam ide yang berasal dari
siswa terkait dengan kebermaknaan masalah dan solusinya. Lebih jauh dikatakan
bahwa level kemampuan berpikir kritis siswa rendah tanpa melihat level dan
kurikulum pendidikannya. Pembelajaran tradisional tidak memadai untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Grosser & Nel (2013) menyatakan adanya korelasi positif yang signifikan
antara keterampilan berpikir kritis (baik dalam hal membuat inferensi maupun
dalam keterampilan berpikir kritis secara menyeluruh) dengan kemahiran
berbahasa.
Mitrevski & Zajkov (2013) menyatakan bahwa calon guru matematika dan
sain tidak familiar atau merasa masih asing dengan konsep berpikir kritis. Mereka
terlihat tidak memahami persyaratan yang diperlukan untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis. Hanya segelintir guru yang menerapkan pembelajaran
yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Pallinusa (2013) menyatakan
bahwa dengan Realistics Mathematics Education (Pembelajaran Matematika
Realistik) kemampuan berpikir kritis siswa meningkat lebih baik daripada dengan
pembelajaran biasa.
Rohmatin (2013) menyatakan bahwa siswa dengan kemampuan aljabar
tinggi mengetahui fokus, alasan, situasi, dan kejelasan dalam tiap tahap pemecahan
masalah. Ia juga menjelaskan inferensinya pada setiap tahap pemecahan masalah,
kecuali pada tahap pelaksanaan rencana. Ia tidak melaksanakan kegiatan
memeriksa kembali tahap memahami masalah. Siswa dengan kemampuan sedang
tidak memeriksa kembali jawabannya. Meskipun pada tiga tahap yang ada ia
mengetahui fokus, alasan, situasi, dan kejelasannya, tetapi dia tidak mampu

13
menjelaskan situasinya pada saat melaksanakan rencana. Sementara itu, siswa
dengan kemampuan aljabar rendah mengetahui fokus dan alasan, memeriksa
kembali pada setiap tahap. Namun inferensi dan kejelasan hanya mampu
dijelaskannya pada saat melaksanakan rencana dan memeriksa kembali.
Hidayat (2012) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif TTW (Think
Talk Write) lebih baik daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, baik untuk kelompok tinggi, sedang, maupun rendah.
Akkaya (2012) menyatakan adanya korelasi yang positif antara tingkat
penggunaan strategi membaca dengan disposisi berpikir kritis calon guru.
Somakim (2011) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang diajar
dengan PMR (Pembelajaran Matematika Realistik) lebih baik daripada yang diajar
dengan PMB (Pembelajaran Matematika Biasa).
Ismaimuza (2010) menyatakan bahwa siswa yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kognitif konflik menampilkan
kemampuan berpikir kritis yang lebih baik daripada siswa yang diajar dengan
pembelajaran konvensional. McMahon (2009) menyatakan bahwa terdapat korelasi
yang positif dan signifikan antara keberadaan lingkungan dengan teknologi tinggi
dengan kemampuan berpikir kritis.
Noer (2009) menyatakan bahwa pembelajaran dengan PBL lebih baik dari
pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Saurino (2008) menyatakan bahwa concept journaling memberikan kontribusi
berharga terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dalam kelas matematika.

E. PELUANG PENELITIAN BERIKUTNYA


Penelitian-penelitian di atas memang sudah cukup banyak. Dari penelitian
tersebut, sudah teridentifikasi beberapa metode pembelajaran yang terbukti
membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, antara lain: Pembelajaran
Berbasis Masalah, Pembelajaran Kooperatif Model TTW, Pembelajaran
Matematika Realistik, Pembelajaran Berbasis Aktivitas dikombinasikan dengan
Cooperative Learning. Pembelajaran strategi membaca juga terkesan memiliki
potensi untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

14
Namun demikian, terdapat banyak faktor yang menentukan sukses tidaknya
pelaksanaan suatu metode pembelajaran. Gaya belajar siswa, gaya berpikir siswa,
tipe kepribadian, gaya kognitif, dan berbagai macam karakteristik siswa bisa
berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Hasil-hasil penelitian di atas
tampaknya masih belum membahas hal tersebut. Karena itu, pertanyaan “untuk
siswa dengan karakteristik seperti apakah suatu model pembelajaran mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya?” tampaknya masih belum ada
jawabnya. Ini berarti, masih ada peluang melakukan penelitian untuk menemukan
model atau metode pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa dengan mempertimbangkan karakteristik siswanya.
Gaya guru ketika menjelaskan, urutan materi yang digunakan, contoh soal
(worked examples) yang diperlihatkan, pertanyaan yang diajukan, umpan balik
yang diberikan adalah beberapa dari tindakan guru yang juga mempengaruhi proses
dan hasil belajar siswa. Bahkan, tindakan guru yang sama yang dilakukan di kelas
yang satu dan di kelas yang lain bisa berdampak berbeda. Kalau di kelas yang satu
berdampak pada keaktifan belajar siswa, di kelas yang lain bisa berdampak kepada
frustasi. Karena itu, pertanyaan “bagaimana menjalankan metode pembelajaran
tertentu yang bisa meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa?” juga belum
bisa dijawab oleh penelitian-penelitian di atas. Penelitian tindakan kelas bisa
dilakukan oleh guru untuk menemukan tindak pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Pemilihan materi dan tugas yang bersifat ill-structured dikatakan
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Akan tetapi, jumlah tugas,
cakupan materi yang dijelaskan, urutan sajian materi, alokasi waktu yang diberikan
untuk penyelesaian tugas, jenis tagihan adalah beberapa yang juga berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa. Karena itu, penelitian dalam rangka pengembangan
bahan ajar yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis juga masih
terbuka lebar. Bahkan penelitian-penelitian tentang teknis pembelajaran, misalnya
eksperimen terkait dengan urutan materi ajar, jenis ill-structured problem dan lain-
lain juga masih terbuka lebar.

15
Terakhir, dari daftar penelitian di atas, ada satu penelitian tentang profil
berpikir kritis siswa. Beberapa karakteristik yang dilakukan oleh siswa dalam
berpikir kritis telah diungkapkan. Namun demikian, penulis melihat bahwa sampai
saat ini, masih cukup banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh teori dan
hasil-hasil penelitian. Beberapa di antara pertanyaan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut.
1. Untuk masalah matematika yang seperti apakah, siswa yang memiliki
kemampuan berpikir kritis mempertunjukkan disposisi berpikir kritis?
2. Dalam kondisi seperti apakah siswa melakukan disposisi berpikir kritis?
3. Bagaimanakah tahap-tahap proses berpikir kritis siswa dalam memecahkan
masalah?
4. Apakah proses berpikir kritis siswa dipengaruhi oleh jenis masalah yang
dihadapi?
Terakhir, sampai saat ini masih belum ada instrumen terstandar yang secara
khusus digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis.
Instrumen yang ada selama ini lebih bersifat verbal, belum matematis. Karena itu,
ada peluang untuk mengadakan penelitian pengembangan instrumen untuk
mengukur kemampuan berpikir kritis matematis.
Sebenarnya masih banyak lagi ide-ide penelitian yang bisa dilakukan.
Sepanjang kita memiliki pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh teori dan hasil-
hasil penelitian terdahulu, pertanyaan itu layak untuk ditemukan jawabnya dengan
mengadakan penelitian. Jadi, sampai saat ini, masih terbuka lebar peluang
penelitian-penelitian yang bisa dilakukan terkait dengan berpikir kritis ini.

16
REFERENSI

Akkaya, N. 2012. The relationship between teachers candidates‟ critical thinking


skills and their use of reading strategies. Procedia: Social and Behavioral
Sciences 47, 797-801.
Alfrey, K. & Cooney, E. 2009. Developing a rubric to assess critical thinking in
assignments with an open-ended component. American Society for
Engineering Education
Applebaum, M. 2015. Activating pre-service mathematics teachers‟ critical
thinking. European Journal of Science and Mathematics Education, 3(1), 77
– 89
As‟ari, A.R. 2016. Pengembangan karakter dalam pembelajaran Matematika:
Prioritas dalam rangka mengembangkan 4C’s. Makalah disajikan dalam
Seminar Pendidikan Nasional 2016 di Universitas Muhammadiyah Surabaya,
Surabaya, 26 Maret 2016.
As‟ari, A.R. 2015. Pendidikan matematika kreatif untuk meningkatkan daya saing
siswa Indonesia dalam era global. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
MIPA 2015. Fakultas Keguruan danIlmu Pendidikan Universitas Lampung,
Bagian 1, 1 – 12.
As‟ari, A.R. 2014. Ideas for developing critical thinking at primary school level:
Paper presented at an International Seminar Addressing High Order
Thinking at Universitas Islam Muhammadiyah Makasar, Makasar: April 12 –
13, 2014
Biber, A.C., Tuna, A. & Incikabi, L. 2013. An investigation of critical thinking
dispositions of mathematics teacher candidates. Educational Research, 4(2),
109 – 117
Black, B. 2008. Critical thinking – a definition and taxonomy for Cambridge
Assessment: supporting validity arguments about critical thinking assessment
administered by Cambridge Assessment. Paper presented at 34th
International Association of Educational Assessment Annual Conference, 9th
September 2008, Cambridge
Bowell, T. & Kemp, G. 2002. Critical thinking: A concise guide. London:
Routledge
Chukwuyenum, A.N. 2013. Impact of critical thinking on performance in
mathematics among senior secondary school students in lagos state. IOSR
Journal of Research & Method in Education. 3(5), 18 – 25
Cottrell, S. 2005. Critical thinking skills: Developing effective analysis and
argument. New York, N.Y: Palgrave Macmillan

17
Ennis, R.H. 1996. Critical thinking dispositions: their nature and assessibility.
Informal Logic, 18(2 & 3). 165 – 182
Ennis, R.H. 2011. The nature of critical thinking: an outline of critical thinking
dispositions and abilities. Several times revision of a presentation at the Six
International Conference on Thinking at MIT, Cambridge, MA, July 1994.
Erceg, N., Aviani, I. & Mesic, V. 2013. Probing students‟ critical thinking
processes by presenting ill-defined physics problems. Revista Mexicana de
Fisica E 59, 65 – 76
Firdaus, Kailani, I., Bin Bakar, Md Nor, Bakry. 2015. Developing critical thinking
skills of students in mathematics learning. Journal of education and learning.
9(3), 226 – 236
Grosser, M.M. & Nel, M. 2013. The relationship of critical thinking skills and the
academic language proficiency of prospective teachers. South African
Journal of Education 33 (2)
Happy, N. & WIdjajanti, D.B. 2014. Keefektifan PBL ditinjau dari kemampuan
berpikir kreatif dan kritis, serta Self Esteem siswa SMP. Jurnal Riset
Pendidikan Matematika. 1 (1), 48 –57
Hartati, R. & Sholihin, H. 2015. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
melalui implementasi model pembelajaran berbasis masalah pada
pembelajaran IPA terpadu siswa SMP. Prosiding simposium nasional inovasi
dan pembelajaran sains 2015. 8 dan 9 Juni 2015, Bandung, Indonesia.
Herdianto, H. & Setyarsih, W. 2014. Identifikasi profil berpikir kritis siswa dalam
pembelajaran fluida statis dengan modifikasi High- binaural beats and
guided problem solving. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika 3(2), 154 – 160
Hidayat, W. 2012. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik
siswa SMA melalui pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW).
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012
Innabi, H. 2003. Aspects of critical thinking in classroom instruction of secondary
school mathematics in Jordan. Proceedings of the International Conference
The Decideable and the Undecidable in Mathematics Education, Brno,
Czech Republic, September 2003
Ismaimuza, D. 2010. Pengaruh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi
konflik kognitif terhadap kemampuan berpikir kritis matematis dan sikap
siswa SMP. Jurnal Pendidikan Matematika, 4(1), 1 – 10
Lai, E.R. 2011. Critical thinking: a literature review (research report). Pearson:
Always Learning downloaded September 18, 2014 from:
http://images.pearsonassessments.com/images/tmrs/criticalthinkingreviewfin
al.pdf

18
Lestari, K.E. 2014 Implementasi Brain-based learning untuk meningkatkan
kemampuan koneksi dan kemampuan berpikir kritis serta motivasi belajar.
Jurnal Pendidikan UNSIKA. 2(1), 36 – 46
Maricica, S. & Spijunovicb, K. 2015. Developing critical thinking in elementary
mathematics education throuh a suitable selection of content and overall
student performance. Procedia – Socia and Behavioral Sciences 180, 653 –
659
McMahon, G. 2009. Critical thinking and ICT integration in a Western Australian
Secondary School. Educational Technology and Society. 12(2), 269 – 281
Mitrevski, B & Zajkov, O. 2011. Mathematics and Science teachers concept of
critical thinking. Bulg. J. Phys. 38, 318 – 324
Moon, J., 2008. Critical thinking: an exploration of theory and practice. Abingdon,
Oxon: Routledge
National Education Association. Tanpa tahun. Preparing 21st students for a global
society: an educator‟s guide for the “Four Cs”. Washington DC: USA
diunduh dari www.nea.org/assets/docs/A-Guide-to-Four-Cs.pdf 9 MAret
2016, pukul 10.00
Noer, S.H. 2009. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui
pembelajaran berbasis masalah. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5
Desember 2009, 473 – 483
Nugraha, M.G. & Kirana, K.H. 2015. Profil keterampilan berpikir kritis mahasiswa
fisika dalam perkuliahan eksperimen fisika berbasis problem solving.
Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal), Volume IV October 2015
Pallinusa, A.L. 2013. Students‟ critical mathematical thinking skills and character:
experiments for junior high school students through Realistic Mathematics
Education Culture-Based. IndoMS J.M.E. 4(1), 75 – 94
Rohmatin, D.N. 2013. Profil berpikir kritis mahasiswa matematika dalam
memecahkan masalah nilai dan vektor eigen ditinjau dari pemetaan
kemampuan aljabar. Gamatika 3 (2), 101 – 109
Saadati, F., Tarmizi, R.A., & Bayat, S. 2010. Assessing critical thinking of
postgraduate students. Procedia Social and Behavioral Sciences 8, 543 -- 548
Saurino, D.R. 2008. Concept journaling to increase critical thinking disposisitions
and problem solving skills in adult education. The journal of human
resource and adult learning, 4 (1), 170 – 178
Somakim. 2011. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa sekolah
menengah pertama dengan penggunaan pendidikan matematika realistik.
Forum MIPA, 14 (1), 41 – 48

19
Starkey, L. 2004. Critical thinking skills success: In 20 minutes a day. New York:
Learning Express
Valdez, A.V., Lamoljo, A., Dumran, S.P. & Didatar, M.M. 2015. Developing
critical thinking through activity-based and cooperative learning approach in
teaching school chemistry. International Journal of Social Science and
Humanity, 3(1).

20
BAB II
BERPIKIR KREATIF

Oleh : Muchtadi
Universitas Negeri Malang

21
BAB – II BERPIKIR KREATIF

A. PENDAHULUAN
Krulik, Rudnick, & Milou (2003:89) membagi tingkatan berpikir menjadi
empat macam, yaitu Recall, Basic, Critical, dan Creative. Basic thinking, critical
thinking, dan creative thinking termasuk ke dalam berpikir penalaran. Critical
thinking, dan creative thinking merupakan kemampuan tingkat tinggi. Recall
thinking berada pada tingkat dasar. Berpikir recall tidak benar-benar memerlukan
pemikiran sadar. Misalkan orang dewasa ketika ditanya mengenai jumlah 3+7,
mereka tidak benar-benar berpikir tetapi secara otomatis menjawab”10”. Recall
thinking berdasarkan pada ingatan. Contoh yang lain recall thinking adalah
mengingat nama jalan, nomor handphone dan lain-lain. (Krulik, S., & Rudn ic k,J.A., & M ilou,E, 2003)

Tingkat berikutnya adalah basic thinking. Berpikir ini merupakan bentuk


dasar berpikir. Pembuatan keputusan dilakukan dalam basic thinking. Misalkan
seseorang ingin membeli 2 pulpen dengan harga satu pulpen Rp. 8.000,00. Ketika
akan memutuskan untuk menggunakan perkalian dalam menentukan harga
pulpen, maka bisa dikatakan telah melakukan basic thinking. Untuk mendapatkan
total harga, orang tersebut harus mengalikan 2 pulpen dengan harga satu pulpen
yaitu Rp. 8.000,00 sehingga diperoleh total harga pulpen adalah Rp. 16.000,00.
Kemudian tingkat berikutnya adalah critical thinking (berpikir kritis).
Berpikir ini merupakan kemampuan menganalisis masalah, menentukan apakah
cukup data untuk menyelesaikannya, memutuskan apakah terdapat kelebihan
informasi dalam masalah, dan menganalisa situasi. Berpikir kritis termasuk
mengenali data konsisten atau tidak dan menentukan keputusan valid atau tidak.
Tingkat tertinggi dari berpikir adalah creative thinking (berpikir kreatif).
Terdapat multilevel dalam berpikir kreatif. Siswa dikatakan berpikir kreatif ketika
dapat menyelesaikan suatu masalah dengan cara non algoritmik. tingkat lain
berpikir kreatif, misalkan siswa yang menghasilkan solusi masalah yang tidak
biasa, unik atau berbeda. Hasil berpikir kreatif seringkali sangat berbeda dari yang
diharapkan. Untuk memudahkan pemahaman diperlukan definisi dari berpikir
kreatif yang dicetuskan beberapa ahli berdasarkan pemikiran dan peneitian.

22
B. DEFINISI BERPIKIR KREATIF
Beberapa peneliti telah memberikan definisi dari berpikir kreatif (Torrent,
2002; McGregor, 2007; Meintjes & Groser, 2010; Enyinna, 2013; Kamplis &
Berki, 2014; Amier, 2015). Torrent (2002) mendefinisikan berpikir kreatif sebagai
proses pembentukan ide atau hipotesis, mengujinya, dan mengkomunikasikan
hasilnya. Sementara itu McGregor (2007) mendefinisikan berpikir kreatif adalah
pembentukan suatu sudut pandang yang unik atau sudut pandang alternatif,
kegiatan yang menghasilkan suatu desain yang innovatif atau pendekatan baru
terhadap sebuah masalah atau tantangan menarik. Meintjes & Grosser (2010)
menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah kemampuan menghasilkan berbagai ide
asli, melihat dari sudut pandang berbeda dan menguraikan ide-ide. Berpikir kreatif
adalah belajar untuk melakukan sesuatu dengan perspektif yang berbeda untuk
hasil yang positif (Enyinna, Success Without Brain For Entrepreneurs - Human
Development and Finance, 2013). (Torrance, The Manifesto: a Guide to Developing a Creative Carear, 2002) (McGregor, Developing Thin king Learning A G uide to T hin king Skill in E ducation, 2007) (Mein tjes,H., & Grosser,M., 201 0) (Kamplis & Berki, 2014) (Amier, Analy tical Thin king , 2015)

Gambar 1 Beberapa Definisi Berpikir Kreatif


Selanjutnya Kamplis & Berki (2014) menyatakan bahwa berpikir kreatif
sebagai pemikiran yang memungkinkan siswa untuk menerapkan imajinasi
mereka untuk menghasilkan ide-ide, pertanyaan dan hipotesis, bereksperimen
dengan alternatif, dan untuk mengevaluasi mereka sendiri dan ide-ide rekan-rekan
mereka, produk akhir dan proses. Selain itu didefinisikan juga berpikir kreatif

23
menghubungkan atau menciptakan hal-hal atau ide-ide yang mana sebelumnya
tidak terkait (Amier, 2015). Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dibahas di
atas maka berpikir kreatif adalah sesuatu kekuatan terorganisir bersifat abstrak,
berani, disiplin, tidak terbendung, ada kelancaran, ada keluwesan, ada kebaruan,
dan tidak biasa yang muncul akibat kondisi lingkungan dan menjadi pendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Berpikir kreatif mengacu antara lain pada
kemampuan menghasilkan berbagai kemungkinan, ide-ide baru, asli, pemikiran
yang mencerminkan wawasan, rasa ingin tahu, dan kemampuan mengidentifikasi
hubungan antara konsep atau gagasan.
Kemampuan berpikir kreatif merujuk pada kemampuan menghasilkan
produk yang diidentifikasi oleh Guilford ( Meintjes & Groseir, 2010) sebagai
faktor unik yang relevan dalam berpikir kreatif, yaitu: (1) kepasihan (banyak ide);
(2) fleksibilitas (banyak kategori berbeda dari ide yang relevan, pergeseran
pendekatan, fluiditas informasi, kurangnya kekakuan); (3) elaborasi (kemampuan
mengembangkan, menguraikan ide-ide dan menambahkan berbagai rincian untuk
informasi yang telah dihasilkan); (4) orisinilitas (respon yang tidak biasa (unik)
dan jarang (langka)).
Kemampuan berpikir kreatif dan pribadi kreatif diperlukan dalam
kreativitas dimana terdapat empat hal yang terlibat yang meliputi kelancaran,
fleksibilitas, orisinilitas, dan elaborasi, sedangkan dalam kepribadian kreatif
melibatkan rasa ingin tahu, kemandirian, pengambilan resiko dan komitmen tugas
(Lee, 2005). Walapun siswa memiliki kemampuan kreatif, bisa saja produk yang
kreatif tidak dapat dihasilkan jika tidak didukung dengan pribadi yang kreatif.
Kepribadian kreatif tidak dapat dibangun, ketika siswa takut berpikir mengenai
hal baru atau tidak mau menjadi kreatif (Lee, 2005). Rasa ingin tahu,
kemandirian, pengambilan resiko, dan komitmen pada tugas diperlukan siswa
untuk dapat menggali ide-ide kreatif sehingga menghasilkan produk yang
memenuhi unsur kreatif. (Ward, T. B, 2 007) (Lee, K. H, 2005)

Penggunaan istilah berbeda dari “berpikir kreatif” juga digunakan oleh


peneliti yang lain untuk menyatakan berpikir kreatif yaitu istilah kognisi kreatif.
Ward (2007) menyatakan bahwa pendekatan kognisi kreatif dapat dilakukan guna
menghasilkan produk baru dan ide-ide baru yang sesuai, melalui penerapan proses

24
kognitif dasar pada struktur pengetahuan yang ada. Penerapan proses kognitif
dasar pada struktur pengetahuan yang ada seperti retrieval, combination, analogy,
dan seterusnya. Struktur pengetahuan yang ada dapat dipanggil kembali,
dilakukan kombinasi, atau dianalogikan untuk menghasilkan ide-ide baru.
Solso, Maclin, & Maclin (2008: 526) menyatakan “Creativity (kreativitas)
merupakan proses yang melibatkan aktivitas kognitif dalam menghasilkan ide-ide
atau konsep-konsep baru”. Lebih lanjut Solso, Maclin, & Maclin (2008: 444)
mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas kognitif yang menghasilkan
pandangan baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada
hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya). Kreativitas
merupakan hasil dari berpikir kreatif yang dapat ditunjukkan dengan munculnya
ide-ide baru atau konsep-konsep baru, dan bukan hanya sebatas menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat saja. So lso, R., Maclin, O, & Maclin, M.K 200 8. Terjemahan Mikael Rahardanto & Kristian to Batuadji, 2008)

Berpikir kreatif melibatkan berpikir konvergen dan divergen. Guilford


(Solso, Maclin, & Maclin, 2008: 449) membedakan tipe berpikir menjadi dua
macam yaitu berpikir konvergen atau memusat (convergent thinking) dan berpikir
divergen atau menyebar (divergent thinking). Cara berpikir konvergen mengarah
pada satu kesimpulan khusus. Umumnya pembelajaran lebih menekankan kepada
pemikiran konvergen, dimana siswa diminta mencari solusi tunggal dari suatu
soal atau masalah matematika. Misalkan 1 + 2 = ..., pada contoh tersebut siswa
berpikir untuk mencari solusi tunggal dari penjumlahan 1 dengan 2.
Berbeda dari berpikir konvergen, cara berpikir divergen lebih menekankan
pada variasi jawaban yang berbeda dari suatu pertanyaan sehingga kebenaran
jawaban yang dihasilkan bersifat subjektif. Siswa diberikan masalah open-ended
sehingga menghasilkan solusi yang beragam. Misalkan siswa diminta mengisi
titik-titik pada soal berikut, ... + ... = 8, ada banyak kemungkinan bilangan yang
dapat diisikan agar persamaan tersebut menjadi benar. Berpikir divergen
menghasilkan produk yang divergen. (Jha, A. K, 2012)
Jha (2012) menyatakan bahwa kreativitas matematika dan berpikir
divergen berkaitan dengan istilah kelancaran (banyak respon), fleksibilitas
(banyaknya jenis respon), orisinilitas (tingkat keunikan respon secara individu)
dan elaborasi tidak dengan cara absolut tetapi secara fallibillist (kemungkinan

25
keliru). Kefasihan dalam berpikir mengacu pada banyaknya respon yang
dihasilkan. Fleksibilitas dalam berpikir mengacu pada beberapa jenis perubahan
yaitu arti, penafsiran, penggunaan sesuatu pemahaman tugas, strategi dalam
melakukan tugas, atau arah pemikiran yang mungkin berarti interpretasi baru dari
tujuan. Orisinilitas dalam pemikiran berarti menghasilkan yang tidak biasa, jauh
dari yang direncanakan atau tanggapan yang pintar. Selain itu ide asli harus
berguna secara sosial. Elaborasi dalam pemikiran berarti kemampuan
menghasilkan langkah-langkah rinci membuat rencana kerja dan menjelaskannya
kepada orang lain. Kritetria kreatif kefasihan, fleksibilitas, dan orisinilitas berguna
dalam penentuan karakteristik berpikir kreatif.

C. KARAKTERISTIK BERPIKIR KREATIF


Karakteristik dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan ciri khas dari
sesuatu. Tentu “sesuatu” itu biasanya yang bisa diamati. Sementara berpikir tidak
mungkin untuk diamati, karena tidak tampak. Berpikir merupakan bagian dari
seseorang yang tidak berhenti dilakukan dari waktu ke waktu. Perilaku seseorang
akibat berpikir itulah yang bisa diamati. Dengan berpikir orang akan tergerak
untuk melakukan sesuatu. Begitu juga dengan orang-orang yang memiliki
pemikiran kreatif (creative thinker), tindak tanduknya, tingkah lakunya bisa
diamati. Menurut Laura Berk (Chesters, 2012) menyatakan bahwa pemikir kreatif
adalah gaya inovatif dari pemikir yang memiliki toleransi ambiguitas dan
ketekunan, dan yang memiliki keberanian khas berdasarkan keyakinan mereka
sendiri dan kesediaan untuk mengambil risiko. Sehingga dapatlah di buat
semacam ciri khas dari perilaku tersebut. Adapun karakteristik kreatif orang
dewasa (Characteristics of Creative Adult) yang merupakan hasil studi penelitian
dari seniman, penulis, para ilmuwan, dan orang-orang dewasa yang kreatif lainnya
menunjukkan sifat-sifat yaitu: flexibility, fluency, elaboration, tolerance of
ambiguity, originality, breadth of interest, sensitivity, curiosity, independence,
reflection, action, cncentration and persistence, commitment, expression of total
personality, dan sense of humor (Guilford, 1971).

26
Hasil studi penelitian tentang karakteristik kreatif orang dewasa di atas
dijadikan karakteristik berpikir kreatif (Alder, 2002),seperti pada gambar 1.

Gambar 2. Karakteristik Berpikir Kreatif Orang Dewasa

Karakteristik berpikir kreatif tentulah melewati serangkaian proses yang


terjadi pada pemikir kreatif yang dinamakan proses berpikir kreatif. Menurut
Wallas (Gabora, 2002; Solso, Maclin, & Maclin, 2008:445; Herring, Jones, &
Bailey, 2009) proses kreatif memiliki empat tahapan, yaitu persiapan, inkubasi,
iluminasi, verifikasi. Wallas (Herring, Jones, & Bailey, 2009) menyatakan bahwa
tahap persiapan, melibatkan pengumpulan pengetahuan dan pemahaman masalah.
Pada tahap inkubasi, alam bawah sadar mengambil alih, merenungkan masalah
tanpa konsentrasi yang sengaja dilakukan. Iluminasi terjadi seperti kilatan cahaya
secara tiba-tiba, ketika solusi telah ditemukan. Verifikasi terdiri dari evaluasi ide
atau gagasan yang baru dibentuk. (Gabora, I, 2002)

Wallas (Gabora, 2002) menyatakan bahwa pertama, tahap persiapan yaitu


saat seseorang menjadi terobsesi dengan masalah, mengumpulkan data yang
relevan dan melakukan pendekatan tradisional, dan mungkin mencoba
menyelesaikan namun tidak berhasil. Kedua tahap inkubasi yaitu saat seseorang
tidak aktif berusaha untuk memecahkan masalah, tetapi secara tidak sadar pikiran
terus bekerja mencari ide. Ketiga, tahap iluminasi yaitu saat kemungkinan atau

27
solusi muncul dalam bentuk samar-samar dan kasar. Keempat, tahap verifikasi
yaitu saat ide atau gagasan digunakan ke dalam bentuk yang dapat dibuktikan dan
dikomunikasikan kepada orang lain. (Gabora, I, 2002)

Wallas (Solso, Maclin, & Maclin, 2008:446) menyatakan bahwa pertama,


tahap persiapan yaitu memformulasikan masalah dan membuat usaha awal untuk
memecahkannya. Tahap persiapan ini melibatkan seluruh pengetahuan dan
pengalaman untuk mencari beberapa solusi sementara yang diujikan, tetapi
kemudian solusi tersebut tidak digunakan. Kedua, tahap inkubasi yaitu masa
dimana tidak ada usaha yang dilakukan secara langsung untuk memecahkan dan
mengalihkan perhatian sejenak pada hal lainnya. Ide-ide kreatif terkadang muncul
pada saat masalah tersebut tidak sedang dipikirkan, hal ini merupakan tahap
inkubasi. Solso, Maclin, & Maclin (2008:446) menyatakan bahwa “menghentikan
proses pemecahan masalah sementara waktu dapat membantu untuk
mereorganisasi atau menyusun kembali pemikiran pemikiran-pemikiran terhadap
masalah yang sedang dihadapi”. (Wang, Y, 2009)
Ketiga, tahap iluminasi yaitu memperoleh insight (pemahaman yang
mendalam) dari masalah yang dihadapi. Pada tahap iluminasi jalan menuju solusi
mulai terlihat. Solso, Maclin, & Maclin (2008:446) menyatakan bahwa “pada
tahap iluminasi/pencerahan jalan terang menuju permasalahan mulai terbuka,
pemahaman meningkat, ide-ide muncul dan saling melengkapi untuk penyelesaian
masalah”.
Keempat, tahap verifikasi yaitu menguji pemahaman yang telah didapat
dan membuat solusi. Setelah ide/solusi diperoleh, selanjutnya ide/solusi tersebut
harus diuji. Verifikasi merupakan tahap untuk menguji sebuah produk hasil proses
kreatif untuk membuktikan legitimasinya. Verifikasi pada umumnya lebih singkat
daripada tahap-tahap sebelumnya, karena hanya menguji dan meninjau kembali
hasil perhitungan seseorang, atau dapat juga untuk melihat apakah penemuannya
berhasil. Tetapi dalam beberapa kasus, verifikasi masih membutuhkan waktu
untuk melakukan penelitian lebih lanjut maupun peninjauan ulang.
Tahapan berpikir kreatif Krulik & Rednick (Siswono, 2007) adalah
menyintesis ide, membangun (generating) ide, menerapkan ide. Siswono (2007)
mendefinisikan menyintesis ide adalah menjalin dan memadukan ide-ide

28
(gagasan) yang dimiliki; yang dapat bersumber dari pembelajaran di kelas
maupun pengalaman sehari-hari. Membangun ide-ide adalah memunculkan ide-
ide yang berkaitan dengan masalah yang diberikan sebagai hasil dari menyintesis
ide sebelumnya. Menerapkan ide adalah mengimplementasikan atau
menggunakan ide yang direncanakan untuk menyelesaikan masalah.
Tahapan berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick (Siswono 2007) lebih
spesifik pada proses menggali ide-ide untuk menyelesaikan masalah, dan tidak
memunculkan adanya tahap inkubasi seperti dalam proses kreatif menurut Wallas
(Herring, Jones, & Bailey, 2009) yang merupakan salah satu dari tahap yang
cukup penting dari proses kreatif. (Sisw ono, T. E . Y, 2007) (Herring, S.R, Jones, B.R, & Bailey ,B.P, 2009)

Mensintesis ide yang merupakan tahap pertama Krulik & Rudnick sama
dengan tahap persiapan menurut Wallas. Dalam tahap persiapan, dilakukan
pemahaman ke dalam situasi atau masalah yang dihadapi. Dilakukan
pengumpulan informasi dan pengetahuan yang relevan ke dalam situasi atau
masalah yang dihadapi, yang seterusnya dilakukan pemaduan ide atau gagasan.
Memadukan ide atau gagasan menurut Krulik & Rudnick disebut dengan
mensintesis ide. Jadi komponen tahap persiapan ada dua yaitu memahami situasi
atau informasi dan menyintesis ide.
Ketika seseeorang mengalami kebuntuan dalam mencari ide maka
terjadilah inkubasi. Jika tidak terjadi kebuntuan maka inkubasi berlangsung
dengan cepat seakan tidak terjadi inkubasi. Bila terjadi kebuntuan, inkubasi terjadi
lebih lama sehingga dapat diamati dari perilaku yang ditunjukkan seperti diam
atau berhenti, membaca, melihat kembali hasil kerja sebelumnya dan
sebagainya. Jadi tahap inkubasi ada dua yaitu cepat (tidak kelihatan) dan lambat
(terlihat).
Tahap kedua berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick, yaitu
membangun ide sesuai dengan tahap ketiga proses kreatif menurut Wallas yaitu
iluminasi. Tahap iluminasi terjadi saat ide-ide mulai muncul. Ide-ide dimunculkan
atau dibangun untuk mengajukan soal sebagai hasil menyintesis ide.
Memunculkan dan memadukan ide-ide dalam proses berpikir kreatif menurut
Krulik & Rudnick, disebut dengan membangun ide. Jadi komponen iluminasi
yaitu membangun ide.

29
Tahap ketiga berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick, yaitu
implementasi ide sesuai dengan tahap keempat proses kreatif menurut Wallas,
yaitu verifikasi. Tahap verifikasi yaitu ide-ide yang muncul diperiksa dan dipilih
yang paling sesuai untuk digunakan. Kemudian ide dinyatakan dalam bentuk
bahasa atau tulisan, selanjutnya diperiksa atau diverifikasi apakah hasilnya sudah
sesuai. Jadi tahap verifikasi ada dua komponen yaitu menuliskan ide dan
memeriksa atau memverifikasi hasil penulisan ide.

D. CONTOH DAN BUKAN CONTOH BERPIKIR KREATIF


Menjadi kreatif adalah bagaimana menemukan cara-cara baru yang dapat
memecahkan masalah. Berpikir kreatif berarti menemukan cara-cara baru yang
lebih baik untuk mengerjakan apa saja. Dibutuhkan susunan berpikir kreatif untuk
menjawab berbagai masalah seperti bagaimana agar supaya bisa melakukannya
dengan lebih cepat? Bagaimana agar hubungan dengan anak, istri lebih romantis?
Bagaimana membuat anak-anak lebih menyukai buah dan sayur? dan lain
sebagainya. Sebagai contoh, seorang ayah yang merupakan seorang guru
memikirkan bagaimana caranya mendapatkan lebih banyak pemasukan karena
saat ini keluarga mereka baru mendapatkan buah hati belahan jantung. Ia pun
merintis bisnis sampingan di luar pekerjaaan inti sebagai guru. Atau seorang ibu
rumah tangga yang berpikir keras bagaimana caranya agar anaknya bisa dan mau
makan sayur. Ia pun lalu membuat smoothies sayur dan buah dengan rasa yang
lezat. Itu berpikir kreatif.
Bagaimana seorang akuntan berusaha menemukan software terbaru yang
lebih memudahkan menggunakannya dalam bekerja. Itu kreatif. Bagaimana
seorang penulis memperoleh berbagai ide tambahan untuk judul buku barunya. Itu
juga disebut kreatif. Seorang atasan yang menerapkan strategi rapat kerja di luar
kantor agar karyawannya lebih rileks, itu kreatif. Seorang guru yang menemukan
metode mengajar yang lebih fun agar proses belajar mengajar lebih
menyenangkan, itu juga bisa disebut kreatif.
Akan tetapi, berpikir kreatif dan menerapkannya dalam pekerjaaan kita
ternyata tidaklah mudah. Agar kita bisa selalu berpikir kreatif untuk

30
menyelesaikan permasalahan di setiap pekerjaan, beberapa langkah bisa
dikerjakan seperti berikut.
1) Selalu pikirkan cara yang lebih baik;
2) Percaya bahwa sesuatu dapat dilakukan;
3) Pikirkan hal istimewa yang akan dilakukan dan tulis mengapa dapat
dilakukan;
4) Terbuka pada perubahan yang meliputi suka melakukan eksperimen, bersedia
menerima gagasan, jadilan progresif bukan regresif.
(Aquarius Learning, 2015)
Kalau keempat point tersebut diatas sudah ada pada Anda maka akan ada sesuatu
yang dihasilkan.
Berikut ini beberapa contoh dan non contoh orang yang memiliki pemikiran
kreatif.
1) Seseorang melihat peluang pekerjaan yaitu menjual air putih untuk orang
minum setelah melakukan berbagai aktivitas. Pertama kali yang ia lakukan
adalah memasukkan air tersebut kedalam kantong plastik dengan takaran
tertentu. Ketika ditawarkan ke orang, hampir tidak ada yang mau membelinya.
Mungkin rata-rata orang berpikiran apa yang dilakukan oleh penjual air adalah
tidak menarik sehingga tidak ada yang mau membeli. Si penjual air berpikir
bagaimana supaya minumannya laku. Akhirnya dibuatlah kemasan khusus dan
diberi merk dan label. Dibuatlah dengan berbagai macam bentuk dan warna.
Ketika ditawarkan ke orang, pertama yang menjadi daya tarik orang untuk
membeli adalah kemasan dari air minum tersebut. Sehingga dari kecil-kecilan
menjadi bisnis yang besar dan berkembang sampai sekarang. Jadi apa yang
menjadi pegalaman di penjual minuman sampai sekarang adalah akibat dari
pemikiran kreatif yang dia lakukan sejak awal.
2) Pada contoh pertama, jika si penjual minuman tidak ide-ide baru dan berani
maka ia tidak mungkin berjualan sampai sekarang, karena tidak akan ada
orang yang membeli minuman darinya.
3) Seorang pimpinan perguruan tinggi, jika memiliki attitude yang tidak baik,
maka lembaga yang dipimpinnya pasti tidak akan berjalan dengan mulus.
Untuk sukses tentu ia harus memikirkan dan memberlakukan sesuatu yang
baru, pelayanan yang maksimal, bisa memberikan contoh kepada yang
dipimpinnya dan mengusahakan kepuasan buat semuanya. Hal itu akan

31
berakibat semua yang di perguruan tinggi tersebut akan merasa memiliki,
senasib sepenanggungan, dan berusaha memajukan lembaganya.
4) Contoh lainnya adalah seorang yang berpikiran kreatif mampu mengubah
tumbuhan eceng gondok menjadi berbagai kerajinan berguna, misalnya mebel
dan tikar. Semula orang menganggap bahwa eceng gondok adalah tanaman
yang dengan cepat mempu menyumbat perairan.

E. PENELITIAN TENTANG BERPIKIR KREATIF


Para peneliti di dunia telah banyak melakukan penelitian yang terkait
dengan berpikir kreatif. Yang paling banyak adalah dibidang psikologi, gender
dan pendidikan. Dibidang psikologi, berdasarkan kajian jurnal yang sudah
dilakukan, fokus penelitian pada fungsi otak dan andil bagian-bagian tubuh yang
menyebabkan seseorang berpikir kreatif. Untuk gender, telah diteliti mana yang
memiliki kreativitas lebih diantara laki-laki dan perempuan. Hampir semua
sasaran penelitian adalah siswa dan mahasiswa yang masih sekolah.
Wang (2012) melakukan penelitian mengenai eksplorasi hubungan membaca
dan menulis pada berpikir kreatif. Peserta 196 mahasiswa dari sebuah universitas
di Taiwan. Alat Ukur yang digunakan kuesioner dan alat tes kreativitas Torrent
(ATTA). Prosedur yang dipakai kepada semua mahasiswa diberikan tes ATTA
dan mengisi kuesioner. Uji yang digunakan adalah uji korelasi Pearson. Hasil
penelitian meliputi: 1) Sikap membaca dan menulis yang positif memiliki korelasi
dengan kreativitas tinggi, sedangkan sikap yang negatif berkolerasi dengan
kreativitas rendah, 2) Sikap Kreativitas dalam memabca dan menulis berkorelasi
singnifikan dan positif terhadap berpikir kreatif, sementara waktu yang dihabiskan
tidak mempengaruhi kinerja berpikir kreatif, 3) Secara umum, siswa yang
menghabiskan lebih banyak waktu membaca dan menulis dilakukan lebih baik
pada tes kreativitas. Adapun kelemahan yang bisa diamati dari penelitian tersebut
adalah: 1) Perbedaan gender tidak diperhitungkan dalam hal kemampuan kinerja
kreatif, seharunya bisa ditemukan alasan kenapa pada jurusan tertentu salah satu
gender lebih mendominasi dalam hal kinerja kreatif dan kreativitasnya tentu jika
dihubungkan dengan membaca dan menulis, 2) Perbedaan Jurusan untuk tempat
subjek menimba ilmu juga tidak diperhitungkan, seharusnya bisa dicari penyebab

32
kenapa tiap jurusan kemampuan kreatif dan kreativitasnya berbeda-beda dalam
membaca dan menulis. (Wang, A.Y, 2012)

He, Wong, Li, dan Xu (2013) melakukan penelitian mengenai penerapan


hipotesis variabilitas laki-laki lebih besar dalam budaya yang berbeda dan dalam
domain yang berbeda. Peserta 627 siswa terdiri dari senior sebuah sekolah
menengah (n=297) dan yunior sekolah sekunder (n=330), siswa laki-laki (n=332)
dan perempuan (n=295).semua sudah memenuhi syarat pemilihan sampel. Kepada
siswa diberikan tes berpikir kreatif dan mengerjakan diwaktu luang tampa batasan
waktu. Instrumen penelitian menggunakan Test for Creative Thinking-Drawing
Production yang diadopsi dari He&Wong(2011). Hasil penelitian: 1)
Menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki varians lebih besar dari perempuan
dalam kinerja tes kreativitas Sesuai dengan temuan penelitian sebelumnya, 2)
Berdasarkan perbandingan laki-laki-perempuan tidak secara signifikan diungguli
oleh jumlah siswa laki-laki, ini masih sejalan dengan prediksi hipotesis
variabilitas laki-laki lebih besar, 3) Perbedaan gender dalam kreativitas dimana
perbedaan rata-rata dalam TCT-DP, diperoleh siswa laki-laki dilakukan secara
signifikan lebih baik dibandingkan siswa perempuan. Adapun kelemahan yang
bisa dikemukakan dari pembahasan penelitian ini adalah: 1) Penelitian ini
membandingkan superior laki-laki dengan perempuan dalam berpikir kreatif di
China, padahal sudah jelas di China laki-laki sudah diunggulkan dalam segala hal
sejak jaman dahulu. Perempuan diharuskan untuk selalu tunduk terhadap laki-laki,
2) Penelitian ini hanya dilakukan pada satu daerah saja, sehingga belum mewakili
secara keseluruhan, 3) Peserta laki-laki lebih banyak dari perempuan walaupun
katanya tidak terlalu signifikan perbedaannya, namun mungkin perbedaan jumlah
bisa mempengaruhi hasil. (Wang, A.Y, 2012)

Navarrete (2013) melakukan penelitian mengenai pengalaman pemikiran


kreatif pelajar pada desain game dan pengembangan kursus digital untuk siswa
sekolah menengah dan mengembangkan wawasan untuk kreativitas yang melekat
dalam merancang dan memproduksi permainan digital interaktif dalam
lingkungan belajar tradisional. Metode penelitian yang digunakan studi kasus.
Peserta berjumlah 300 siswa kelas 7, 8, 9; Siswa terlibat dalam menciptakan
permainan interaktif yang berfokus pada isu-isu sosial kritis yang

33
mengintegrasikan daerah konten seperti sains, matematika, dan ilmu sosial;
Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah wawancara, pengamatan, dan
permainan. Hasil penelitian: 1) Pada wawancara; siswa berpengalaman cenderung
untuk mengidentifikasi proses berpikir kreatif, pemahaman yang melekat,
sementara yang yunior, yang lebih konkret ditemukan di seni visual, seperti
ekspresi kreatif melalui garis dan warna, dari teknologi yang terlibat dalam
penciptaan game, 2) Pengamatan; siswa bekerja pada permainan mereka secara
independen tetapi beberapa menyatakan frustrasi jelas ketika kode tidak bekerja
seperti yang direncanakan. Namun para siswa diberikan demonstrasi kode dan
prosedur melalui proyektor dan siswa berkolaborasi menciptakan game, 3)
Banyak game digital yang dihasilkan terkait berbagai isu-isu kontemporer yang
ditangani dengan topik tentang pencemaran lingkungan, politik, geng, intimidasi,
kehamilan remaja, dll. Adapun kelemahan yang bisa di jelaskan pada
pembahasan penelitian jurnal ini adalah: bahwa penelitian semacam ini tidak bisa
dilakukan di semua tempat, paling tidak persyratan memiliki unit komputer dan
pendukung lainnya mutlak harus ada. Lebih lanjut tidak semua sekolah atau
perguruan tinggi memiliki unit komputer lengkap dan dukungan listrik yang
memadai. (Navarrete, 2013)

Goclowka, Crisp (20013) melakukan penelitian mengenai paparan


manipulasi, fluency, flexibility, dan originality antara stereotip dan counter-
stereotip. Peserta terdiri dari 67 orang Sarjana, 68% perempuan dan 74%
mahasiswa psikologi, sisanya dari jurusan lain dan berumur rata-rata 20 tahun.
Prosedur yang dilakukan adalah diberikan pertanyaan dengan skala PNS;
kemudian diberikan tiruan mekanik laki-laki atau perempuan, peserta diminta
untuk memberikan komentar menggunakan 10 kata sifat tunggal tentang tiruan
tersebut. Selanjutnya diminta dua orang petugas yang tidak ada hubungannya
dengan peserta perbuat untuk memberikan penilaian karakteristik kreativitas.
Hasil penelitian: 1) Dari hasil cek manipulasi diperoleh bahwa peserta lebih
banyak yang berpikiran counter-stereotip dibandingkan stereotip, 2) Paparan
counter-stereotip individu menimbulkan kelancaran tinggi dibandingkan dengan
paparan individu stereotip, 3) Paparan counter-stereotip individu menimbulkan
lebih tinggi fleksibilitas, 4) Paparan counter-stereotip individu menimbulkan lebih

34
tinggi fleksibilitas. Kelemahan yang dapat dijelaskan berdasarkan penelitian
tersebut adalah: 1) Peneliti tidak bisa menjelaskan dalam penelitian ini dasar awal
pemikiran peserta itu memiliki pandangan stereotip atau kontra stereotip atau
tidak keduanya, 2) Peneliti mengatakan bahwa yang memberikan efek signifikan
pada penelitian ini adalah karena kontra stereotip kurang berdasar. (Goclow ka, Cris p, 2013)

Bart, Hokanson, Sahin, dan Abdelsames (2015) melakukan penelitian


mengenai investigasi perbedaan gender dalam kemampuan berpikir kreatif antara
siswa kelas 8 dan 11. Peserta yang diteliti 996 siswa kelas 8 termasuk 503 laki-
laki dan 493 perempuan dan 748 siswa kelas 11 termasuk 407 laki-laki dan 341
perempuan. Instrumen yang diberikan berupa kuesioner pribadi umum dan TTCT
figural, Form A. memberikan skor lima subyek: (1) Kefasihan, (2) Orisinalitas;
(3) Elaborasi; (4) keabstrakan judul; dan (5) Ketahanan terhadap penutupan.
Pengumpulan data dilaksanakan peneliti dibantu guru yg memberikan kuesioner
dan tes TTCT di tiap sekolah dengan persetujuan orang tua siswa. Hasil
penelitian: 1) Bahwa perempuan kelas 8 secara signifikan lebih tinggi dari laki-
laki kelas 8 disemua subyek kreativitas kecuali subtes kelancaran, 2) Temuan
utama kedua perempuan secara signifikan lebih tinggi daripada laki-laki di antara
siswa kelas 11 pada tiga subyek dari kreativitas, yaitu, elaborasi, abstraksi judul,
dan ketahanan terhadap penutupan prematur; sedangkan, pria dan wanita
mencetak sama dengan baik pada subyek kefasihan dan orisinalitas, 3) Subyek
yang memiliki skor tinggi untuk fleksibilitas memiliki homogenitas fungsional
yang lebih tinggi di gyrus oksipital superior kiri dan gyrus oksipital tengah kiri;
dan homogenitas rendah regional di precuneus kanan, 4) Subyek yang memiliki
skor tinggi untuk kelancaran memiliki homogenitas fungsional yang lebih rendah
di precuneus kanan. (Bart, Ho kans on, Sah in, Abdelsamea, 2015)

F. PELUANG PENELITIAN BERIKUTNYA


Penelitian selanjutnya yang bisa dilakukan dapat berupa menggabungkan
fokus berpikir dengan ide pembangkit kreatif dalam hal ini beberapa penelitian
terdahulu ada yang dikenal dengan istilah SCAMPER (Ma, 2006; Lou, Chen,
Tsai, Tseng, & Shih, 2012; Moreno, Yang, Hernandez, & Wood, 2014)
merupakan metode dengan singkatan dari Substitute, yaitu berpikir mengenai

35
penggantian ide dengan ide yang baru; Combine, yaitu berpikir mengenai
penggabungan dua atau lebih ide untuk menghasilkan ide yang baru; Adapt, yaitu
berpikir mengenai bagian dari ide yang bisa diadaptasi atau dibuat perubahan dari
ide; Modify atau Magnify atau Minimize, yaitu berpikir mengenai penggantian
bagian atau seluruh ide, atau mengubahnya dengan cara tidak biasa; Put to other
Uses, berpikir mengenai penggunaan ide atau soal untuk keguanaan/ tujuan lain;
Eliminate, yaitu berpikir mengenai penghilangan bagian dari ide dan
mempertimbangkan yang bisa diperoleh dari situasi tersebut; Reverse/Rearrange,
yaitu berpikir mengenai pembalikan urutan atau pengubahan pada suatu ide. (Ma. H, 2006) (Lou. J, Chen. C, Tsai. Y, Tseng.H, Shih. C, 2012)

(Moreno. P, Yang. C, Hermandez, & Wood. L , 20 14)

Fokus berpikir yang dianjurkan bisa dalam bentuk penyusunan soal


(problem posing). Jika fokus berpikir dalam penyusunan soal digabungkan dengan
ide pembangkit SCAMPER, maka selanjutnya dapat ditentukan karakteristik
berpikir kreatif, tingkatan dari berpikir kreatif fokus berpikir yang digabungkan
dengan ide pembangkit SCAMPER. Atau bisa mencari tingkatan baru berpikir
kreatif dalam penyelesaian soal.

36
REFERENSI

Alder. (2002). Boost Your Creative Intelligence; Powerful Ways to Improve Your
Creativity Quotient. London: British Library Cataloguing in Publication
Data.

Amier. (2015). Analytical Thinking. Cairo: Center for Advancement of


Postgraduate Studies and Research in Engineering Science, Faculty of
Engineering - Cairo University (CAPSCU).

Aquarius Learning. (2015, Desember 6). Rahasia Sukses Dengan Berpikir Kreatif.
Diambil kembali dari Aquaries Resources:
http://aquariuslearning.co.id/rahasia-sukses-dengan-berpikir-kreatif/

Bart, Hokanson, Sahin, Abdelsamea. (2015). An Investigation of the Gender


Differences in Creative Thinking Abilities Among 811 and 11th Grade
Students. Thinking Skills and Creativity 17, 17 - 24.

Chesters. (2012). The Socratic Classroom; Reflective Thinking Trough


Collaborative Inquiry. Rotterdam: Scase Publishers.

Enyinna. (2013). Success Without Brain For Entrepreneurs - Human


Development and Finance. -: Xlibris Publishing.co.uk.

Gabora, I. (2002). Cognitive Mechanism Underlying The Creative Process. T.


Hewett and T. Kavanagh (Eds). Fourth International Conference on
Creativity and Cognition, October 13-16 (hal. 126-133). UK:
Loughborough University.

Goclowka, Crisp. (2013). On Counter - Stereotypes and Creative Cognition:


When Interventions for Reducing Prejudice Can Boost Divergent
Thinking. Thinking Skills and Creativity 8, 72 - 79.

Guilford. (1971). Characteristics of Creativity. State of Illinois: Illinois State


Office of the Superintendent of Public Instruction, Springfield. Gifted
Children Section.

Herring,S.R, Jones,B.R, & Bailey,B.P. (2009). Idea Generation Technologies


Among Creative Professionals . Procedings of the 42nd Hawai
International Coferences on System Sciences, 17-20 Mei (hal. 1-10).
Macca, Honolulu, HI, USA: HI, USA.

Jha, A. K. (2012). Creative Epistemology and Creative Pedagogy: Implication for


Creative Mathematics Education. The 8th Global Conference on Creative

37
Engagements: Thinking with Children (hal. 1-10). Oxford, UK: Mansfield
College.

Kamplis & Berki. (2014, December 6). Nurturing Creative Thinking. Diambil
kembali dari International Academy of Education - International Bureau of
Education: (http://www.iaoed.org) -
(http://www.ibe.unisco.org/publications.htm)

Krulik,S., & Rudnick,J.A., & Milou,E. (2003). Teaching Mathematics in Middle


School: A Practical Guide. USA: Pearson Education.

Lee, K. H. (2005). The Relationship Between Creative Thinking Ability and


Creative Personality of Preschoolers. International Educational Journal 6
(2), 194-199.

Lou. J, Chen. C, Tsai. Y, Tseng.H, Shih. C. (2012). Using Blended Creative


Teaching: Improving a Teacher Education Course on Designing Materials
for Young children. Australasian Journal of Educational Technology (5)
28, 776 - 792.

Ma. H. (2006). A Synthetic Analysis of the Effectiveness of Single Components


and Packages in Creativity Training Program. Creativity Research Journal
Vol. 18 No. 4, 435 - 446.

McGregor. (2007). Developing Thinking Learning A Guide to Thinking Skill in


Education. New York: Open University Press.

Meintjes,H., & Grosser,M. (2010). Creative Thinking in Prospective Teacher The


Status Quo and The Inpact of Contextual Factors. South African Journal of
Education, 30, 361-386.

Moreno. P, Yang. C, Hermandez, & Wood. L . (2014). Creativity in Transactional


Design Problems: Non- Intuitive Findings of An Expert Study Using
SCAMPER. International Design Conference- Design Dubrovnik- Crotia,
May 19 - 24, 1-10.

Navarrete, C. (2013). Creative Thinking in Digital Game Design and


Development: a Case Studi. Computer & Education 69, 320 - 331.

Siswono, T. E. Y. (2007). Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan


Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan
Mengajukan Masalah Matematika. Disertasi Tidak Diterbitkan. Surabaya:
Pascasarjana Negeri Surabaya.

38
Torrance. (2002). The Manifesto: a Guide to Developing a Creative Carear.
British: Library of Conggress Catalog-in-Publication Data.

Wang, A.Y. (2012). Exploring The Relationshio of Creative Thinking to Reading


and Writing. Thinking Skills and Creativity 7, 38 - 47.

Ward, T. B. (2007). Creative Cognition as a Window on Creativity. Methods


International Journal, 28-37.

39
BAB III
BERPIKIR REFLEKTIF

Oleh : Anies Fuadi


Universitas Negeri Malang

40
BAB – III BERFIKIR REFLEKTIF

A. PENDAHULUAN

Dalam mempelajari matematika orang harus berpikir agar ia mampu


memahami konsep-konsep matematika yang dipelajari serta mampu
menggunakan konsep-konsep tersebut secara tepat ketika ia harus mencari
jawaban bagi berbagai soal matematika. Berfikir berasal dari kata „pikir‟ yang
berarti akal budi, ingatan, angan- angan. ( Sunaryo, 2011) berpendapat berfikir
artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan
sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan. Menurut Dewey (1933) berpikir
merupakan proses yang menghasilkan representasi mental yang baru melalui
transformasi informasi yang melibatkan informasi yang kompleks antara
berbagai proses mental, seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi,
dan pemecahan masalah.

Krulik (2003) “Higher order thinking skills include critical,


logical, reflective thinking, metacognitive, and creative thinking “
bahwa berfikir tingkat tinggi meliputi kritis, logis, berfikir reflektif,
matakognisi dan berfikir kreatif. . Rodgers (2002) mendefinisikan karakteristik
berfikir tingkat tinggi sebagai berikut:

a. Berfikir tingkat tinggi bersifat non-algoritmik. Artinya, urutan


tindakan itu tidak dapat sepenuhnya ditetapkan terlebih dahulu.
b. Berpikir tingkat tinggi cenderung kompleks. Urutan atau langkah-
langkah keseluruhan itu tidak dapat “dilihat” hanya dari satu sisi
pandangan tertentu.
c. Berpikir tingkat tinggi sering menghasilkan multisolusi, setiap solusi
memiliki kekurangan dan kelebihan.
d. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pertimbangan yang seksama
dan interpretasi
e. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penerapan multikriteria, sehingga
kadang-kadang terjadi konflik kriteria yang satu dengan yang lain.

41
f. Berpikir tingkat tinggi sering melibatkan ketidakpastian. Tidak semua
hal yang berhubungan dengan tugas yang sedang ditangani dapat
dipahami sepenuhnya.
g. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pengaturan diri dalam proses
berpikir.
h. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penggalian makna, dan penemuan
pola dalam ketidakberaturan.
i. Berpikir tingkat tinggi merupakan upaya sekuat tenaga dan kerja
keras.

Berfikir tingkat tinggi salah satunya adalah berfikir reflektif. Berpikir


reflektif adalah serangkaian langkah-langkah rasional logis berdasarkan metode
ilmiah mendefinisikan, menganalisis, dan memecahkan masalah.(Wikiversity).
John Dewey (1933) mendefinisikan berfikir reflektif yaitu “active, persistent,
and careful consideration of any belief or supposed from of knowledge in
the light of the grounds that support it and the conclusion to which it tends” .
Bahwa berfikir reflektif adalah sesuatu yang dilakukan dengan aktif, gigih, dan
penuh pertimbangan keyakinan didukung oleh alasan yang jelas dan dapat
membuat kesimpulan/memutuskan sebuah solusi untuk masalah yang diberikan.

Taggart (2005) mendefinisikan berfikir reflektif adalah proses membuat


informasi dan membuat keputusan yang logis tentang pendidikan, kemudian
menilai keputusan itu. Menurut Lipman (2003), kemampuan berfikir reflektif
adalah kemampuan untuk berpikir dengan perhatian pada asumsi (hipotesis
unsur-unsur yang dikenal) dan implikasinya didasarkan pada alasan atau bukti
untuk mendukung kesimpulan. Sezer (2008) dalam Chee (2012:168) menyatakan
bahwa berpikir reflektif didefinisikan sebagai kesadaran tentang apa yang
diketahui dan apa yang dibutuhkan, hal ini sangat penting untuk
menjembatani kesenjangan situasi belajar.

Gurol (2011) mendefinisikan berpikir reflektif sebagai proses kegiatan


terarah dan tepat dimana individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi,
mendapatkan makna yang mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang

42
tepat. Dengan demikian berfikir reflektif itu untuk mendapatkan jawaban dengan
cara yang tepat. Gurol (2011) juga berpendapat bahwa berfikir reflektif itu penting
bagi guru dan siswa. Tetapi pada kenyataannya berfikir reflektif kurang mendapat
perhatian yang serius dari guru, guru hanya mementingkan jawaban akhir yang
diperoleh oleh siswa tanpa memperhatikan bagaimana jawaban siswa itu
diperoleh.

Berfikir reflektif menurut penulis adalah proses dengan menghubungkan


pengetahuan yang telah dimiliki dan yang sedang dipelajari dalam menganalisa
masalah , mengevaluasi , menyimpulkan dan memutuskan penyelesaian terbaik
terhadap masalah yang diberikan.

B. KARAKTERISTIK BERFIKIR REFLEKTIF


Boody (2008), Hamilton (2005), Schon (1987) dalam Schon (2012)
menjelaskan tentang karakteristik dari dari berpikir reflektif sebagai berikut :
a. Refleksi sebagai analisis retrospektif atau mengingat kembali (kemampuan
untuk menilai diri sendiri). Guru dalam pendekatan retrospektif ini dapat
merefleksikan pemikirannya untuk menggabungkan pengalaman sebelumnya
dan bagaimana dari pengalaman tersebut berpengaruh dalam praktek
mengajar dikelas

b. Refleksi sebagai proses pemecahan masalah (kesadaran tentang bagaimana


seseorang belajar). Diperlukannya mengambil langkah-langkah untuk
menganalisis dan menjelaskan masalah sebelum mengambil tindakan.

c. Refleksi kritis pada diri (mengembangkan perbaikan diri secara terus


menerus). Refleksi kritis dapat dianggap sebagai proses analisis,
mempertimbangkan kembali dan mempertanyakan pengalaman dalam
konteks yang luas dari suatu permasalahan.

d. Refleksi pada keyakinan dan keberhasilan diri. Keyakinan lebih efektif


dibandingkan dengan pengetahuan dalam mempengaruhi seseorang pada saat

43
menyelesaikan tugas maupun masalah. Selain itu, keberhasilan merupakan
peran yang sangat penting dalam menentukan praktik dari kemampuan
berpikir reflektif

Menurut Santrock (2010) dalam Suharna (2013:147), siswa yang memiliki


gaya reflektif cenderung menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan
merenungkan akurasi jawaban. Individu reflektif sangat lamban dan berhati-hati
dalam memberikan respons, tetapi cenderung memberikan jawaban secara benar.
Siswa yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas-tugas seperti mengingat
informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami dan menginterpretasikan
teks, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Selain itu, siswa yang
reflektif juga mungkin lebih menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi
pada informasi yang relevan. Dan biasanya memiliki standar kerja yang tinggi
Proses berpikir reflektif tidak tergantung pada pengetahuan siswa semata,
tapi proses bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Jika siswa dapat menemukan cara untuk
memecahkan masalah yang dihadapi sehingga dapat mencapai tujuannya maka
siswa tersebut telah melakukan proses berpikir reflektif.

Pada dasarnya berpikir reflektif merupakan sebuah kemampuan siswa


dalam menyeleksi pengetahuan yang telah dimiliki dan tersimpan dalam
memorinya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi untuk mencapai
tujuan-tujuannya. Menurut John Dewey (1933) proses berpikir reflektif yang
dilakukan oleh individu akan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a) Individu merasakan problem.
b) Individu melokalisasi dan membatasi pemahaman terhadap masalahnya.
c) Individu menemukan hubungan-hubungan masalahnya dan merumuskan
hipotesis pemecahan atas dasar pengetahuan yang telah dimilikinya
d) Individu mengevaluasi hipotesis yang ditentukan, apakah akan menerima
atau menolaknya.

44
e) Individu menerapkan cara pemecahan masalah yang sudah ditentukan dan
dipilih, kemudian hasilnya apakah ia menerima atau menolak hasil
kesimpulannya

Mezirow (2011) dalam Suharna (2013 : 281) mengemukakan empat


tahap berpikir reflektif prespektif teoritis yaitu tindakan kebiasaan, pemahaman,
refleksi dan kritis. Tindakan kebiasaan adalah kegiatan otomatis yang dilakukan
dengan pikiran. Pemahaman adalah belajar dan membaca tanpa terkait dengan
situasi lain. Refleksi menyangkut pertimbangan aktif, gigih dan hati-hati dari
setiap asumsi atau keyakinan didasarkan pada keadaan seseorang. Refleksi kritis
dianggap sebagai tingkat yang lebih tinggi dari pemikiran reflektif yang
menyebabkan seseorang menjadi lebih sadar bagaimana melihat suatu masalah,
cara merasakan suatu masalah, bertindak dan penyelesaian suatu masalah.
Dewey (1933) membagi pemikiran reflektif menjadi tiga situasi berikut :
“…. Dewey divides reflective thinking into three situations as follows: The pre-
reflective situation, a situation experiencing perplexity, confusion, or doubts; the
post-reflective situation, a situation in which such perplexity, confusion, or doubts
are dispelled; and the reflective situation, a transitive situation from the
pre-reflective situation to the post-reflective situ- ation…”. Situasi pre-reflektif
yaitu situasi yang menunjukkan kebingungan atau keraguan, pasca-reflektif yaitu
situasi yang menunjukkan bahwa kebingungan atau keraguan itu mendapatkan
jawaban, reflektif yaitu situasi peralihan dari situasi pre-reflektif ke situasi pasca-
reflektif. Dewey (1933) mengemukakan bahwa komponen berpikir reflektif
(reflective thinking) adalah kebingungan (perplexity) dan penyelidikan (inquiry).
Kebingungan adalah situasi dimana ketidakpastian tentang sesuatu yang sulit
untuk dipahami dan dimengerti yang kemudian menantang pikiran untuk
melakukan perubahan dalam pikiran dan keyakinan seseorang. Penyelidikan
adalah bagaimana mengarahkan kepada pikiran untuk berfikir secara terarah.
Dengan membiarkan kebingungan dan penyelidikan terjadi pada saat yang sama,
perubahan perilaku seseorang dapat terlihat, demikian juga sebaliknya jika
pemikiran reflektif adalah kebiasaan yaitu kebingungan (perplexity) dan

45
penyelidikan (inquiry), maka seseorang akan ada perubahan perilaku yang
mungkin (Dewey,1933).
Dewey (1933) mengemukakan tentang peran berpikir reflektif bagi guru
bahwa :
“… reflective thought brings two challenges. First, teachers must be observers of
all that concerns the students in their classrooms. They must know all of the
conditions that could make things better or worse for the students as well as the
consequences of those conditions. Second, teachers must also know about the
school organization and about the atmosphere surrounding a child's learning…”.
Berfikir reflektif memberikan dua tantangan bagi guru. Pertama, bahwa guru
harus menjadi pengamat bagi semua siswa di dalam kelas. Guru harus mengetahui
semua kondisi yang membuat siswa menjadi lebih baik atau lebih buruk dan
mengetahui akibat dari dua kondisi tersebut. Kedua, para guru harus tahu tentang
organisasi sekolah dan kondisi lingkungan sekitar tempat siswa-siswi belajar.
Kemampuan berfikir reflektif pada anak dimulai ketika mereka berumur 7
tahun, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Inhaler dan Piaget
dalam Skemp (1982). Menurut hasil penelitian mereka bahwa anak dapat
mengembangkan proses berfikir reflektif ketika anak itu berusia 7 tahun, dimana
anak sudah bisa menceritakan kembali apa yang pernah dilakukan atau yang
dialaminya.
Terjadinya proses berfikir reflektif menurut Skemp (1982) dapat
digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1. Bagan Berfikir Reflektif

46
Gambar 1. menunjukkan berfikir reflektif pada seseorang terjadi ketika
merespon atau menanggapi informasi atau rangsangan dari luar, informasi
tersebut kemudian diteruskan kepada aktivitas mental. Pada proses tersebut terjadi
suatu permasalahan dan membutuhkan informasi yang dimiliki sebelumnya untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Informasi yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah berasal dari dalam diri (internal), bisa menjelaskan apa yang dilakukan,
menyadari kesalahan dan memperbaikinya (jika terdapat kesalahan), dan
mengkomunikasikan dengan ide atau gambar, selanjutnya merespon suatu
persoalan atau masalah yang bersifat eksternal sebagai efek dari berpikir
reflektif, dan hal tersebut terus berulang sampai permsalahan atau persoalan dapat
terselesaikan.
Sementara itu Len dan Kember (2008: 578) mengungkapkan
berdasarkan Mezirow’s theorical framework bahwa berpikir reflektif dapat
digolongkan ke dalam 4 tahap yaitu:
1. Habitual Action (Tindakan Biasa).
Habitual Action didefinisikan „… a mechanical and automatic activity
that is performed with little conscious thought’, yaitu kegiatan yang mekanis dan
otomatis dapat ditunjukkan dengan sekit pemikiran yag disengaja
2. Understanding (Pemahaman).
Pemahaman yang dimaksud yaitu siswa belajar memahami situasi yang
terjadi tanpa menghubungkannya dengan situasi yang lain.
3. Reflection (Refleksi).
Refleksi yaitu aktif terus-menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan
seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya yang berkisar pada
kesadaran siswa
4. Critical Thinking (Berpikir Kritis).
Berpikir kritis merupakan tingkatan tertinggi dari proses berpikir reflektif
yang melibatkan siswa, dengan mengetahui secara mendalam alasan seseorang
untuk merasakan berbagai hal. Pada tahap ini siswa mampu memutuskan dan
memecahkan penyelesaian.

47
Menurut King dan Kitchener dalam (Wowo:2011) ada tujuh tahap

dalam berpikir reflektif, berikut penjelasannya disajikan dalam bentuk tabel 1 :

Tabel 1 Model Tujuh Tahap Berpikir Reflektif menurut


King dan Kitchener

Berpikir pra-reflektif Mengetahui keterbatasan dalam pengamatan


Tahap 1 konstruksi tunggal; apa yang diamati orang adalah
benar. Perbedaan yang tidak disadari.

Tahap 2 Untuk mengetahui dua kategori jawaban benar dan


salah.
Jawaban benar dikatakan memiliki pengetahuan baik; dan
jawaban salah dikatakan memiliki pengetahuan kurang.
Perbedaan bisa diselesaikan melalui penambahan
informasi yang lebih lengkap.

Tahap 3 Pada beberapa wilayah, pengetahuan tertentu telah


dicapai,di wilayah lain untuk sementara telah pasti,
keyakinan pribadi dapat diketahui.

Berpikir refleksi Pengetahuan tidak dikenal dalam beberapa konsep


kuasi kasus spesifik, dapat menyebabkan generalisasi abstrak
Tahap 4 tidak pasti. Pembenaran pengetahuan memiliki diferensiasi
buruk.

Tahap 5 Pengetahuan tidak pasti harus dipahami dalam


konteks tertentu, dengan demikian pembenaran spesifik
konteks. Pengetahuan dibatasi oleh sudut pandang orang
yang tahu.

Tahap 6 Pengetahuan tidak pasti, tapi dibangun dengan


membandingkan bukti dan pendapat dari sisi yang berbeda
serta konteksnya

Tahap 7 Pengetahuan adalah hasil dari suatu proses


penyelidikan yang sistematis. Prinsip ini setara dengan
prinsip umum di seluruh ranah. Pengetahuan bersifat
sementara

48
Sabandar (2012) mengungkapkan bahwa untuk memberdayakan
kemampuan berpikir reflektif adalah dengan memberikan tanggapan terhadap
hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan soal, karena pada saat menyelesaikan
soal itu mereka sedang termotivasi dan senang dengan hasil yang dicapai, maka
rasa senang dan termotivasi ini harus tetap dipertahankan dengan memberikan
tugas baru kepada siswa, yaitu sebagai berikut:
a. Menyelesaikan masalah dengan cara yang lain. Menyelesaikan masalah
dengan cara yang lain, sesungguhnya dimungkinkan, karena guru dengan
sengaja atau tidak sengaja sudah memilih soal yang penyelesaiannya dapat
diperoleh dengan berbagai cara (strategi), ataupun beragam jawaban. Selain
itu, hal ini amat direkomendasikan, dikarenakan konsep-konsep di dalam
matematika saling terkait, dan kemampuan koneksi matematika siswa juga
perlu mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Hal ini mencerminkan
betapa kayanya matematika, dan dapat diharapkan menimbulkan kekaguman
atau apresiasi (disposisi siswa) terhadap matematika.Tuntutan bagi siswa
untuk menyelesaikan soal itu dengan cara lain, sesungguhnya agar melatih
siswa untuk berpikir kreatif serta memberdayakan pengetahuan serta
pengalaman mereka.
b. Mengajukan pertanyaan “bagaimana jika ...?” sesungguhnya memberi
peluang untuk siswa kreatif dalam menciptakan strategi dan soal-soal baru
dengan mengacu pada soal yang tadi diselesaikannya. Misalnya, informasi
pada soal semula diganti, ditambah atau dikurangi. Soal ini juga dapat
merupakan tantangan baru bagi siswa dan mereka harus menganalisisnya.
Disini mereka selain kreatif, mereka juga akan kritis, untuk memastikan
apakah informasi yang dikurangi atau ditambahkan itu dapat mempengaruhi
terdapat tidaknya solusi, atau malahan akan memunculkan soal-soal yang
benar-benar baru atau bersifat tidak rutin.
c. Mengajukan pertanyaan “apa yang salah”. “Apa yang salah” merupakan
pertanyaan yang memberi peluang untuk siswa menggunakan kemampuan
berpikir kritis, misalnya menemukan kesalahan, ketika kepada mereka
disajikan suatu situasi konflik, ataupun solusi yang mengandung kesalahan

49
apakah secara konsep atau perhitungan. Tugas siswa adalah untuk
menemukan kesalahan itu serta memperbaikinya, dan kemudian menjelaskan
apa yang salah , mengapa salah.
d. Mengajukan pertanyaan “apa yang kamu lakukan”. “Apa yang akan kamu
lakukan” termasuk suatu pertanyaan yang menstimulasi berpikir kreatif.
Karena disini aspek tantangannya kuat sekali. Siswa diminta untuk membuat
suatu keputusan, yang didasarkan pada ide individu ataupun pada pengalaman
individu. Siswa harus menganalisis situasi kemudian membuat keputusan.
Siswa dapat diminta untuk, dalam satu alinea mengungkapkan secara tertulis
apa yang dipikirkannya.
Roger (2002) mengungkapkan kembali pendapat Dewey tentang
kriteria berpikir reflektif sebagai berikut:
a) Refleksi adalah proses bermakna yang memindahkan pembelajar dari suatu
pengalaman ke pengalaman selanjutnya dengan pemahaman yang lebih
mendalam tentang hubungannya dengan pengalaman dan ide yang lain.
b) Refleksi adalah cara berpikir yang sistematik, tepat disiplin dengan akar-
akarnya dalam penyelidikan ilmiah.
c) Refleksi pasti terjadi dalam masyarakat, dalam interaksi dengan yang lain.
d) Refleksi memerlukan sikap yang menilai pribadi dan pertumbuhan
intelektual dari seseorang dan orang lain.
Dewey dalam Choy (2012) juga mengungkapkan tiga sumber asli yang
wajib untuk berpikir reflektif, yaitu:
1. Curiosity (Keingintahuan)
Hal ini lebih kepada cara-cara siswa merespon masalah. Curiosity
merupakan keingintahuan seseorang akan penjelasan fenomena-fenomena yang
memerlukan jawaban fakta secara jelas serta keinginan untuk mencari jawaban
sendiri terhadap soal yang diangkat.
2. Suggestion (Saran)
Suggestion merupakan ide-ide yang dirancang oleh siswa akibat
pengalamannya. Saran haruslah beraneka ragam (agar siswa mempunyai pilihan

50
yang banyak dan luas) serta mendalam (agar siswa dapat memahami inti
masalahnya).
3. Orderlinnes (Keteraturan)
Dalam hal ini siswa harus mampu merangkum ide-idenya untuk
membentuk satu kesatuan.
Terdapat lima komponen yang berkenaan dengan kemampuan berpikir
reflektif, menurut (Kusumaningrum: 2010) diantaranya adalah:
a. Recognize or felt difficulty problem, mengenali atau merasakan kesulitan
suatu masalah. Masalah mungkin dirasakan siswa setelah siswa membaca
data pada soal. Kemudian siswa mencari cara untuk mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Pada langkah ini, siswa mengenali adanya permasalahan
dan mengidentifikasinya.
b. Location and definition of the problem, membatasi dan merumuskan
masalah. Langkah ini menuntun siswa untuk berpikir kritis. Berdasarkan
pengalaman pada langkah pertama tersebut, siswa mempunyai masalah
khusus yang merangsang pikirannya, dalam langkah ini siswa mencermati
permasalahan tersebut dan timbul upaya mempertajam masalah.
c. c. Suggestion of possible solution, mengajukan beberapa kemungkinan
jawaban dari suatu permasalahan. Pada langkah ini, siswa
mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi untuk memecahkan
masalah yang telah dibatasi dan dirumuskan tersebut, siswa berusaha untuk
menyelesaiakn masalah itu.
d. Rational elaboration of an idea, mengembangkan ide untuk memecahkan
masalah dengan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan. Siswa mencari
informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut, dalam
langkah ini siswa memikirkan dan merumuskan penyelesaian masalah dengan
mengumpulkan data-data pendukung.
e. Test and formation of conclusion, melakukan tes untuk menguji solusi
pemecahan masalah dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan
membuat kesimpulan. Siswa menguji kemungkinan dengan jalan

51
menerapkannya untuk memecahkan masalah sehingga siswa menemukan
sendiri keabsahan temuannya.

C. CONTOH BERPIKIR REFLEKTIF SISWA DALAM


MENYELESAIKAN MASALAH ALJABAR
Menurut Suharna, dkk (2013), berikut ini hasil pekerjaan siswa dalam
menyelesaikan masalah aljabar dengan kode R1 sampai R10 :

Dalam menyelesaikan masalah aljabar, pada saat memahami


masalah terlihat bahwa siswa menggambarkan masalah agar mudah
dimengerti atau mudah dipahami. Hal ini terlihat dari kerja siswa pada R1
dengan menggambarkan/ mengilustrasikan masalah aljabar lebih dahulu
agar mudah difahami dan R2 berusaha menjelaskan apa yang sudah
digambarkan. Data tersebut diperkuat dengan petikan wawancara, ketika

52
peneliti bertanya “apa sih maunya soal ini?”, subjek menjawab “iya kan
gini, pak Hery punya kebun berbentuk persegi panjang, terus kebunya itu di
bagi menjadi dua bagian yang sama selanjutnya pak Hery ingin memagari
kebun yang sudah dibagi itu dengan kawat berduri”. Selanjutnya peneliti
menanyakan perkerjaan selanjut- nya, subjek menjawab “terus pak Hery
memiliki kawat berduri sepanjang 1.500 meter”.
Pada tahap memikirkan rencana terlihat bawa dengan menggambar
pada dan R2 dan R1 siswa menghitung dengan cara memisalkan x ada 3 dan y
ada 2, dengan demikian untuk mengetahui kelilingnya subjek menjumlahkan
panjang x dan y . Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, ketika
peneliti bertanya “apa yang akan kamu lakukan?” Subjek menjawab “saya
misalkan lebar : x dan panjangnya saya misalkan panjangnya: y ”, peneliti
bertanya lebih lanjut “kenapa kok dimisalkan seperti itu?” subjek menjawab
“supaya, gampang menjawab soalnya”. Berdasarkan data tersebut, subjek
berusaha meyakinkan deangan apa yang akan dilakukan pada masalah aljabar.
Cara yang digunakan adalah menggambar dan memisalkan sisi-sisinya dengan x
dan y .
Selanjutnya pada tahap melaksanakan penyelesaian terlihat pada R3
subjek meyakinkan dengan melakukan perhitungan, demikian juga dengan
R4 subjek melakukan perhitungan untuk meyakinkan dengan apa yang
dikerjakan. Demikian juga dengan R4 mengklarifikasi apakah jawaban
sudah benar, R5 melakukan klarifikasi dengan cara menghitung, R6
mengganti jawaban dengan yang sudah ditulis dengan jawaban yang
dianggapnya benar, R7 subjek tidak yakin dengan jawabannya, dan
R8 subjek berusaha menjeleaskan walaupun jawabannya sudah diklarifikasi.
Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, “selanjutnya gimana”
subjek menjawab “dari gambar kan kelihatan kelilingnya 3x + 2y = 1.500,
peneliti menanyakan lebih lanjut “kenapa kok dicoret-coret?”, subjek menjawab
“tadi saya salah menghitung dan salah menggambar”, peneliti juga bertanya
“kenapa kok dicoret-coret?” dan subjek menjawab “tadi saya salah menghitung
dan salah menggambar”.

53
Pada tahap memeriksa kembali terlihat pada R8 subjek
berusaha menjelaskan apa yang telah dilakukan untuk mengecek jawaban,
kode R9 setelah memeriksa kembali pekerjaan di R6 ternyata subjek
memperbaikinya yang terlihat pada R9 , dan R10 meyakinkan apa yang
akan dilakukan. Data tersebut diperkuat ketika peneliti bertanya “hasil
akhir untuk soal a) kenapa di coret?” subjek menjawab “iya saya lupa tadi
saya liat lagi ternya yang di tanya kelilingnya. Kelilingnya kan bisa
diperoleh dari 3x + 2y = 1.500 diperoleh y =

D. HASIL PENELITIAN TERDAHULU


Penelitian yang berhubungan dengan berpikir reflektif siswa dalam memecahkan
masalah matematika, dilaporkan peneliti sebagai berikut:
1. Penelitian dalam jurnal yang dilakukan oleh Hery Suharna, Toto Nusantara,
Subanji dan Santi Irawati pada tahun 2013 ( Universitas Negeri Malang,
Universitas Khairun). Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan alur berpikir
reflektif calon guru (mahasiswa) dalam menyelesaikan masalah matematika.
Dimana pada penelitian ini, lebih banyak menjelaskan tentang pengertian dari
berpikir reflektif termasuk macam dari berpikir reflektif, kelebihan dan
manfaatnya jika diterapkan dalam bidang pendidikan. Selain itu, penelitian
ini mendiskripsikan jawaban siswa mulai dari tahap perencanaan dalam
mengerjakan hingga kesimpulan yang benar dan sudah diteliti berulang kali
oleh subjek penelitian. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Universitas
Malang. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 1 orang,
namun dalam menjelaskannya secara terperinci. Masalah yang diberikan
berkaitan dengan materi aljabar. Hasil penelitian menujukkan bahwa subjek
sangat berhati-hati dalam menyelesaikan masalah dan menujukkan bahwa dia
memiliki kemampuan berpikir reflektif.

2. Penelitian dalam jurnal yang dilakukan oleh Jozua Sabandar pada tahun 2011.
(Prodi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI) .Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan tentang keterampilan berpikir pada level tinggi

54
terutama berpikir reflektif untuk menemukan cara dalam menyelesaikan
masalah dalam pembelajaran matematika. Peneliti lebih menekankan proses
belajar sehingga menghadirkan kegiatan berpikir dengan perlunya suatu
latihan yang diberikan kepada siswa. Selain itu, peneliti juga memberikan
alternatif lain dalam penelitian ini yaitu memberikan pertanyaan selama
proses penyelesaian masalah supaya siswa dilatih untuk berpikir jika
dihadapkan pada situasi atau masalah yang menantang. Peneliti
menghubungkan berpikir kritis dan berpikir kreatif dalam kemampuan
berpikir reflektif. Materi yang diberikan kepada siswa dalam penelitian ini
adalah aljabar, seperti soal cerita, mencari koefisien, dan lainnya.

3. Penelitian yang dilakukan Zuhal Guvenc (MEd) Ministry of National


Education Teacher Denizli Turkey dan Assist. Prof.Dr. Kazim Celik (Ph.D.)
Pamukkale University Faculty of Education Denizli Turkey pada tahun 2011
di Turki. Penelitian ini judulnya The Relation Between The Reflective
Thinking Skills And Emotional Intelligences Of Class Teacher. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap hubungan antara kecerdasan emosional guru
kelas dengan keterampilan berfikir dan mengukur sejauh mana pengaruh
emosional terhadap keterampilan berfikir. Fokus penelitian ini dilakukan
pada 293 guru kelas sekolah dasar negeri tahun ajaran 2010-2011. Hasil dari
penelitian ini menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
ketrampilan berfikir reflektif dengan kecerdasan emosional dilahat dari jenis
kelamin, latar belakang pendidikan, dan jumlah siswa dari guru kelas itu,
tetapi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap senioritas.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Fariba, Fatin dan Hamidreza dari Universitas
Teknilogi Malaysia. Penelitian ini berjudul Measuring Teachers Reflektive
Thinking Skills. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur keterampilan
berfikir reflektif guru dengan cara mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
berfikir guru dan bagaimana cara meningkatkan keterampilan berfikir
reflektif guru. Penelitian ini menggunakan desain Open Enden Quisioner dan
wawancara. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa untuk mengukur

55
keterampilan berfikir reflektif dapat diketahui dengan melalui pengamatan,
penilaian, komunikasi, pengambilan keputusan dan kerja tim.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Lia Kurniati dari UIN Syarif Hidayatullah.
Penelitian ini judulnya Developing Mathematical Reflektive Thinking Skills
Through Problem Based Learning. Penelitian ini dilatar belakangi oleh
keprihatinan karena banyak mahasiswa/calon guru malas “berfikir”, mereka
cenderung untuk menjawab pertanyaan dengan mengutip buku tanpa
melakukan pengecekan atau menganalisis jawabannya. Penelitian ini
dilakukan kepada calon guru dengan menggunakan model Problem Based
Learning. Desain penelitian ini dengan cara mempelajari dan mengkaji jurnal
dan buku. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa mengembangkan berfikir
reflektif penting untuk mahasiswa karena mendorong mereka untuk
memecahkan masalah didasarkan pengetahuan sebelumnya dengan alasan
yang logis dan membuat keputusan dengan mempertimbangkan barbagai
aspek
6. 6. Penelitian yang dilakukan oleh S.Chee Choy, Ph.D dan Pou San Oo, Ph.D
dari Tunku Abdul Rahman College, Malaysia. Dengan judul : Reflective
Thinking And Teaching Practice : A Precursor For Incorpprating Critical
Thinking Into The Class . Penelitian ini dilatar belakangi untuk mengetahui
hubungan berfikir reflektif dan kemampuannya berfikir kritis, dimana berfikir
reflektif dapat merangsang untuk berfikir kritis bagi seorang guru. Penelitian
ini dilakukan di Malaysia, dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian
besar guru tidak melaksanakan berfikir reflektif dan menunjukkan hal yang
minimal terhadap berfikir kritis dalam praktek mengajar
7. Penelitian yang dilakukan oleh Sendil Can dari Mugla Sitki Kocman
University, Faculty of Education, Mugla, Turkey. Dengan judul : Pre-Service
Science Teachers Reflective Thinking Skills Toward Problem Solving.
Penlitian ini dilatar belakangi untuk menyelidiki kemampuan berfikir reflektif
guru terhadapa pemecahan masalah dan juga untuk mengetahui efek dari jenis
kelamin, tingkat kelas dan prestasi akademik, tingkat pendidikan ibu, tingkat
pendidikan ayah terhadap berfikir reflektif guru. Penelitian ini fokusnya pada

56
guru dan menggunakan metode survai, dengan instrument penelitian
menggunakan skala keterampilan berfikir reflektif . hasil dari penelitian ini
yaitu bahwa kemampuan berfikir reflektif guru terhadap pemecahan masalah
rendah dan jenis kelamin, tingkat kelas, prestasi akademik, dan tingkat
pendidikan ibu tidak berpengaruh signifikan terhadap berfikir reflektif guru
terhadap pemecahan masalah, tetapi tingkat pendidikan ayah berpengaruh
signifikan terhadap berfikir reflektif guru terhadap pemecahan masalah.
8. Penelitian yang dilakukan oleh Zaid Odeh dari Near East University Turkey.
Dengan judul : Reflektive Practice And Its Role In Stimulating Personal And
Professional Growth . Penelitian ini dilatar belakangi untuk meneliti
kesadaran dan penerapan berfikir reflektif oleh guru dan juga untuk
mengetahui variable gender, pengalaman dan tingkat pendidikan terhadap
mengajar reflektif. Penelitian ini menggunakan kuisioner, dengan 60 guru
sebagai responden . Dimana terdiri dari 9 guru laki-laki dan 51 guru wanita,
dengan pendidikan 26 bergelar BA dan 34 bergelar MA. Pengalaman
mengajar para guru mulai 1-20 tahun dan focus penelitian ini pada guru yang
terdapat di negara Turki. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis
kelamin, tingkat pendidikan ternyata tidak signifikan berpengaruh terhadap
praktek reflektif guru dikelas.

57
REFERENSI

Chee & Pou. 2012. Reflective Thinking And Teaching Practices : A Percusor For
Incorporating Critical Thinking Into The Classroom ?. International
Journal Of Interaction. Vol. 5. No.1 (e-ISSN: 1308-1470)
Choy & Cheah. 2012. Teacher Perceptions Of Critical Thinking Among Students
And Its Influence On Higher Education. International Journal of Teaching
and Learning in Higher Education. 20(12), 196-204
Dewey, J. 1933. How We Think : A Restatement of The Relation of Reflective
Thinking to The Educative Process. Boston, MA: D.C. Heath and
Company
Guroll, A. 2011. Determining The Reflective Thinking Skills of Pre- Service
Teacher in Learning and Teaching Process. Energy Education Science and
Technology Part B : Social and Educational Studies. Volume (issue) 3(3)
: 387-402
Kember, D.Y.P & Kember, D. 2003. The Relationship Between Approaches to
Learning and Reflection Upon Practice. Educational Psychology, 23(1),
61-67
Krulik, S & Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in Middle School A Practical
Guide. Boston. MA: D.C. Keath and Company
Kusumaningrum, Maya, &Abdul Aziz. 2012. Mengoptimalkan Kemampuan
Berfikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika. Makalah
Ini Disampaikan Dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika . Yogyakarta : FMIPA UNY
Lipman. 2003. Thinking in Education. Cambridge University Press
Rodgers, C. 2002. Defining Reflection : Another Look at Jhon Dewey and
Reflective Thinking. Teachers College Record Volume 104 Number 4, pp.
842-866
Schon, D. 2012. Educating The Reflective Practitioner. Paper Presented at the
Meeting of the American Educational Research Association, Washington
DC
Skemp, R. 1982. The Psychology of Learning Mathematics. USA : Peguin Books
Suharna, Hery. 2013. Berfikir Reflective (Reflektive Thinking) Mahasiswa Calon
Guru Dalam Pembelajaran. KNM XVI Unpad. Bandung
Sunaryo. 2011. Taksonomi Berfikir. Bandung : PT. Remaja Rosda Karyaya

58
BAB IV
KOMUNIKASI MATEMATIS

Oleh : Sumaji
Universitas Negeri Malang

59
BAB – IV KARAKTERISTIK KOMUNIKASI MATEMATIS

A. PENDAHULUAN
Definisi Komunikasi
Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi adalah mempunyai peranan
penting, dengan komunikasi setiap orang dapat saling bertukar informasi.
Komunikasi merupakan proses pertukaran pendapat, informasi dengan tulisan,
atau lisan termasuk bahasa tubuh. Dalam hal ini untuk menyampaikan pesan
kepada orang lain melalui beberapa cara diantaranya yaitu: dengan tulisan, artinya
ide atau gagasan kita tuangkan secara tertulis, sedangkan secara lisan dalam hal
ini ide atau gagasan disampaikan secara lisan atau dengan kata-kata, sedangkan
bahasa tubuh untuk memerjelas pesan yang disampaikan supaya mudah
dipahami orang lain.
NCTM, (2000) menjelaskan bahwa komunikasi adalah cara berbagi ide
untuk mengklarifikasi pemahaman bersama. Dengan mengklarifikasi sesuatu ide
atau gagasan yang kita samapaikan kepada orang lain akan menumbuhkan saling
pengertian antar individu. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui klarifikasi
dapat mengurangi terjadinya kesalahpahaman. Masing-masing individu yang
terlibat dalam komunikasi saling mengklarifikasi ide-ide atau gagasan yang telah
di sampaikan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat bahkan mengalami
ide/gagasan yang kita sampaikan sering kurang dipahami oleh lawan bicara kita.
Hal ini berarti kita belum melakukan komunikasi dengan baik. Kalau kita
melakukan komunikasi dengan baik tentunya hal seperti ini bisa dihindari.
Komunikasi bukan hanya sekedar pertukaran ide tetapi dengan pertukaran
ide tersebut saling memberikan manfaat dan bermakna bagi mereka. Vasileiadou,
(2013) menjelaskan bahwa dengan komunikasi memastikan pencapaian
intersubjektivitas, yang akan lebih bermakna dan bukan hanya sekedar pertukaran
ide. Bahwa pengertian intersubjektif ini berawal dari konsep „sosial‟ dan konsep
„tindakan‟. Konsep sosial diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
individu untuk saling bertukar ide. Sedangkan konsep tindakan sebagai perilaku

60
yang membentuk makna subjektif yang telah disepakati bersama untuk dimaknai
secara sama dengan individu lain. Supaya ide kita bisa diterima oleh orang lain
tentunya kita harus membagun hubungan sosial yang baik. Dengan hubungan
sosial yang baik kita akan mudah berkomunikasi dengan orang lain.
Proses interaksi merupakan proses sosial yang berlanjut pada pertukaran
ide antar individu. Martinho, (2009) memberi penjelasan bahwa komunikasi
dapat dianggap sebagai proses sosial/berinteraksi, berbagi informasi dan saling
membatasi evolusi mereka. Artinya bahwa dengan berinteraksi dan berbagi
informasi akan selalu mendapat pengetahuan dan informasi yang baru. Kalau kita
kaitkan dengan proses pembelajaran dikelas komunikasi yang terjadi bukan
hanya terbatas di dalam kelas tetapi juga terjadi luar kelas/ jam pelajaran.
Sehingga proses sosial akan terjalin dengan baik yang akan berdampak pada
peningkatan pengetahuan kita.
Dalam menyampaikan pesan/gagasan pada lawan bicara kita harus
memberikan kebebasan kepada setiap anggota untuk menyampaikan ide atau
memberi tanggapan. (Sfard 2008), mendefinisikan komunikasi sebagai pola
kegiatan kolektif yang melibatkan setiap anggota berkomunikasi dengan
tindakan masing-masing dan, untuk setiap tindakan tersebut, anggota
diperbolehkan memberikan reaksi dengan individu lain. Dengan demikian akan
berdampak pada pertukan informasi/ide antar individu. Sehingga akan terjadi
saling bertukar ide dan informasi yang bermakna dan bermanfaat baik secara
individu maupun kelompok. Berdasarkan ciri-ciri di atas yang dimaksud
komunikasi dalam tulisan ini adalah proses menyampaikan pesan, ide atau
gagasan baik secara tulis, lisan maupun maupun bahasa tubuh sehingga diperoleh
pemahaman bersama.
Definisi Komunikasi Matematis
Komunikasi matematis adalah salah satu hal yang sangat di perlukan
dalam pembelajaran bagi siswa agar konsep yang dipelajari mudah di pahami.
Dalam komunikasi matematis siswa dapat berbagi ide dengan siswa lain tentang
konsep matematika yang dipelajarinya. (NCTM 2000) mendefinisikan bahwa
komunikasi matematis adalah adalah suatu cara bagi siswa untuk

61
mengartikulasikan, menjelaskan, mengatur, dan mengkonsolidasikan pemikiran
matematika mereka. Hal ini menjadi penting dengan artikululasi ide-ide
matematis yang dijelaskan melalui ucapan bisa di dengar oleh siswa,
“menjelaskan” di sini artinya bahwa siswa dapat menjelaskan ide-ide
matematisnya pada siswa yang lain, sedangkan yang dimaksud mengatur adalah
siswa dapat mengkoordinasikan ide-idenya agar runtut dan jelas sehingga mudah
diterima teman-temannya. Setelah mengartikulasikan, menjelaskan, mengatur
selanjutnya adalah saling menguatkan atau menghubungkan tentang ide-ide
matematisnya.
Kaya & Aydin, (2014) memberikan penjelasan bahwa komunikasi
matematis merupakan proses menyampaikan ide matematis sehingga diperoleh
pemahaman bersama antara yang memberikan dan yang menerima informasi.
Cooke & Buchholz (2005) menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan
proses menyampaikan pesan, gagasan yang berupa ide matematis yang dapat
meningkatkan asimilasi antara pengalaman baru dan lama. Dengan berbagi ide
maka akan terjadi proses asimilasi sehingga dapat menggabungkan pengetahuan
baru seseorang dengan struktur pengetahuan yang sudah ada. Oleh karena itu
dengan komunikasi matematis dapat meningkatkan pemahaman seseorang
terhadap konsep matematika.
Proses berbagi ide matematika dalam kelas akan berdampak positip
terhadap pemahaman dan pengetahuan siswa tentang matematika. Ontario
Ministry of Education, (2005) komunikasi matematis adalah proses penting untuk
belajar matematika karena melalui komunikasi, siswa merenungkan, memperjelas
dan memperluas ide-ide dan pemahaman tentang hubungan matematika dan
argumentasi matematika. Komunikasi matematis perlu dibiasakan dalam kelas,
hal ini dapat membantu siswa memperjelas pemahaman matematis siswa. Dengan
komunikasi dalam kelas kemudian siswa merenungkan hal-hal yang didiskusikan.
Setelah itu akan memunculkan ide-ide matematis untuk disampaikan kepada
teman lainya, sehingga akan memperluas pemahaman mereka tentang konsep
matematika.

62
Pemahaman ide-ide matematis akan berhasil jika masing-masing individu
memikirkan tentang apa yang di diskusikan baik secara lisan maupun tulisan.
Sfard, (2008) memberikan penjelasan bahwa komunikasi matematis merupakan
proses menyampaikan ide matematis baik secara tulis maupun lisan oleh masing-
masing individu. Hal ini berarti masing-masing individu berpikir tentang ide-de
matematis yang dibahas kemudian masing-masing individu di dalam kelas
menuangkan idenya baik secara lisan maupun tulisan. Dari beberapa ciri-ciri
komunikasi matematis di atas yang dimaksud komunikasi matematis dalam
tulisan ini adalah proses menyampaikan pesan, pendapat dalam bentuk ide
matematis baik secara lisan maupun tulisan.
B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN
Karakteristik Komunikasi Matematis
Shield & Galbraith, (1998) menemukan bahwa karakteristik komunikasi
matematis meliputi: penggunaan simbolis (numerik atau simbol aljabar), secara
lisan, diagram, grafik, atau dengan tabel data. Komunikasi matematis selain bisa
diekspresikan baik lisan dan tulisan juga bisa di ekspresikan dalam berpikir.
NCTM, (2000) menyebutkan karakteristik komunikasi matematis meliputi:
kemampuan untuk membaca, menulis, mendengarkan, berpikir, dan
berkomunikasi tentang masalah untuk memperdalam pemahaman matematis
siswa. Dengan membaca siswa dapat mengingat, memahami, dan menganalisis.
Dengan menulis melatih siswa berpikir karena siswa dapat menuangkan ide
mereka, di samping itu dapat menumbuhkan kreatifitas siswa. Selain itu
mendengarkan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam diskusi dan untuk
dapat mendengar dengan baik diperlukan konsentrasi yang baik pula.
Clark & Jacobs, (2005) berpendapat bahwa karakteristik komunikasi
matematis adalah proses ekpresi dan pemikiran, untuk mendengarkan,
menguraikan dengan kata-kata, mempertanyakan, dan merepresentasikan di
seluruh kelas dan diskusi kelompok kecil tentang matematika. Dalam proses
ekspresi dan pemikiran proses ekspresi dapat diwujudkan dalam berpikir terhadap
masalah yang didiskusikan, mendengarkan ide atau gagasan yang disampaikan
dan mempresentasikannya.

63
Kongthip & Inprasitha (2012) menjelaskan bahwa karakteristik
komunikasi matematis meliputi antara lain: (1) rigorousness yaitu ketepatan ide-
ide matematis dalam pemecahan masalah, (2) economy yaitu keiritan ide
matematis dalam pemecahan masalah, dan (3) freedom yaitu kebebasan dengan
bermacam-macam ide matematis dalam pemecahan masalah. Lebih lanjut
Inprasitha & Pattanajak, (2010) menyatakan bahwa karakteristik komunikasi
matematis terdiri dari dua aspek yaitu: (1) aspek kognitif yang meliputi: (a)
rigorousness (ketepatan), (b) economy (keiritan), dan (c) freedom (kebebasan),
(2) aspek emosional merupakan potensi siswa dalam mengekspresikan ide-ide
matematika dengan percaya diri, senang, menghargai pendapat orang lain. Dengan
percaya diri dan perasaan senang maka ide-ide matematika yang disampaikan
dengan santai sehingga akan mudah dimengerti orang lain. Sedangkan apabila
terjadi perbedaan pendapat dalam proses komunikasi kita harus saling menghargai
ide/pendapat orang lain. Bra¨uning & Steinbring (2011) menemukan bahwa
karakteristik komunikasi matematis terdiri dari tiga komponen: pertanyaan,
mendengarkan dan menanggapi.
Kosko & gao (2015) menyatakan bahwa karakteristik komunikasi
matematis meliputi: menjelaskan, membenarkan, konjektur/dugaan, menulis,
mempertanyakan, berdebat, mendengarkan, dan berbicara tentang matematika
mereka. Berdasarkan ciri-ciri karakteristik komunikasi matematis di atas maka
dapat disimpulkan bahwa karakteristik komunikasi matematis dalam tulisan ini
adalah proses komunikasi dalam kelas yang meliputi kegiatan antara lain: (1)
rigorousness (ketepatan), (2) economy (keiritan) dan (3) freedom (kebebasan).

Contoh dan Bukan Contoh Seseorang yang Menggunakan Komunikasi


Matematis Dalam Kelas
Komunikasi matematis merupakan proses menyampaikan pesan, pendapat
atau gagasan dalam bentuk ide matematis. Untuk mengetahui atau menilai
komunikasi matematis seseorang perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Rigorousness yaitu ketepatan ide-ide matematis dalam pemecahan masalah
b. Economy yaitu keiritan ide matematis dalam pemecahan masalah

64
c. Freedom yaitu kebebasan dengan bermacam-macam ide matematis dalam
pemecahan masalah.
Sehubungan dengan hal di atas, untuk mengetahui contoh orang yang
memiliki kemampuan komunikasi matematis, maka 3 (tiga) indikator di atas harus
diukur. Kalau semuanya dapat dipenuhi, maka kemampuan komunikasi
matematisnya dapat dikatakan baik.
Contoh
1. Susi mempunyai 3 kotak mainan. Setiap kotak diisi 3 bungkus kelereng.
Setiap bungkus berisi 4 butir kelereng. Berapa jumlah kelereng Susi?
Jawaban si A sebagai berikut.
Jawaban si A sebagai berikut.
Kotak 1 kotak 2 kotak 3

Jumlah kelereng susi adalah 36 butir diperoleh dari mengitung seluruh


kelereng dalam kotak.
Jawaban si B sebagai berikut.
a.

3x

Jadi jumlah keseluruhan kelereng susi adalah 3 kotak x (4 kelereng +4 kelereng


+4 kelereng ) = 3 x 12 = 36 kelereng.
b.

65
Jumlah keseluruhan kelereng susi = 9 bungkus x jumlah kelereng tiap
bungkus = 9 x 4 = 36 bungkus.
c. Kotak 1 adalah 12 kelereng, kotak 2 adalah 12 kelereng dan kotak 3 adalah
12 kelereng. Jadi jumlah keseluruhan kelereng kotak 1 + kotak 2 + kotak 3
= 12 + 12 + 12 = 36 kelereng.
Perhatikan dua jawaban di atas,
Si A sudah menggunakan komunikasi matematis, tetapi belum bisa dikatakan
sudah menggunakan komunikasi matematis dengan baik karena belum memenuhi
semua indikator komunikasi matematis. Si B sudah bisa dikatakan menggunakan
komunikasi matematis dengan baik karena sudah memenuhi ke tiga indikator
diatas yang meliputi (1) rigorousness yaitu ketepatan ide-ide matematis dalam
pemecahan masalah, (2) economy yaitu keiritan ide matematis dalam pemecahan
masalah, dan (3) freedom yaitu kebebasan dengan bermacam-macam ide
matematis dalam pemecahan masalah.
C. PENELITIAN TERKAIT
Penelitian yang Relevan dengan Komunikasi matematis
Banyak penelitian sebelumnya yang telah dilakukan terkait dengan
komunikasi matematis antara lain sebagai berikut.
Kongthip & Inprasita, (2012 ) yang melakukan penelitian pada kelas 5
Sekolah dasar di Thailand. Jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif.
Subyek penelitian ini adalah 27 siswa kelas lima, di sekolah Nong-tum-nong-
ngu-lerm dan 33 siswa kelas lima, di sekolah Beung-neum-beung-krai-noon.
Hasil penelitiannya menjukkan bahwa terdapat 7 jenis komunikasi matematis
oleh gestures siswa antara lain: (1) mengkomunikasikan secara tepat
(rigorousness) melalui gesture berulang/berirama (beat gesture), (2)
mengkomunikasikan secara tepat (rigorousness) melalui gesture yang
menjelaskan konten abstrak (methaporic gesture), (3) mengkomunikasikan secara
singkat (economy) melalui gesture menunjuk obyek/gambar (deictic gesture), (4)
mengkomunikasikan secara singkat (economy) melalui gesture menggabar

66
konten pelajaran (iconic gesture), (5) mengkomunikasikan secara bebas (freedom)
melalui gesture menunjuk obyek/gambar (deictic gesture), (6)
mengkomunikasikan secara bebas (freedom) melalui gesture menggambar konten
pelajaran kemudian (iconic gesture), dan (7) mengkomunikasikan secara bebas
ide matematis melalui gesture menggambar dan menunjuk obyek (iconic dan
deictic gesture).
Martinho, ( 2009 ) yang melakukan penelitian pada guru sekolah dasar di
Swedia. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, subyek penelitian penelitian
kolaboratif yang melibatkan seorang peneliti (penulis pertama makalah ini) dan
tiga guru matematika, satu di kelas 5-6 dan dua lainnya di kelas 7-9 di Portugal.
Hasil penelitiannya dapat mengembangkan pemahaman guru tentang masalah
komunikasi di kelasnya, menempatkan prakteknya di bawah pengawasan, dan
mengembangkan proses komunikasi yang lebih baik antara guru dan murid-
muridnya.
Olteanu, ( 2012 ) yang melakukan penelitian pada kelas dua SMA di
Swedia. Jenis penelitian kualitatif, subyek penelitiannya 45 siswa, (25 laki-laki,
20 perempuan) kelas dua SMA. Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komunikasi yang efektif terjadi di dalam kelas jika memiliki aspek penting dalam
belajar siswa sebagai titik awal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa siswa
tidak dapat memahami perbedaan antara nilai tertinggi /terendah dari fungsi
kuadrat dantitik maksimum / minimum; itu perbedaan antara persamaan kuadrat
dan fungsi.
Tunç-Pekkan & D‟Ambrosio (2008 )yang melakukan penelitian pada
calon guru sekolah dasar di Midwestern university USA. Jenis penelitian adalah
penelitian kualitatif, subyek penelitiannya: 27 calon guru sekolah dasar di
midwestern university Amerika Serikat. Hasil penelitiannya menegaskan bahwa
keyboard matematika memiliki karakteristik untuk matematika berbasis web
interaktif.
Nilsson & Ryve (2010), yang melakukan penelitian pada siswa kelas
enam (12-13 tahun) di Swedia. Jenis penelitian ini adalah kualitatif, subyek
penelitian dalam penelitian ini adalah 8 siswa kelas enam di Swedia (12-13

67
tahun). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penentukan fokus pada lawan
bicara, membantu dalam menguatkan analisis komunikasi efektif dalam kegiatan
matematika. Terutama menetapkan pentingnya berkomunikasi dengan fokus
sesuai dalam konteks pembelajaran.
Marchetti & Foster .dkk ( 2012 ) yang melakukan penelitian pada siswa
SMA di Amerika serikat. Hasil Studi eksplorasi ini menghasilkan temuan menarik
yang perlu penyelidikan lebih lanjut. Secara keseluruhan, implikasinya bagi
pendidik adalah bahwa kita dapat meningkatkan pengalaman siswa secara
kolaboratif bekerja dalam kelompok dengan menyediakan metode komunikasi
yang efektif.
Neria & Amit (2004 ) yang melakukan penelitian pada siswa SMA kelas
IX di Israel. Jenis penelitiannya adalah kualitatif, subyek penelitian ini adalah
siswa kelas sembilan terdiri dari (83 laki-laki dan 81 wanita). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hanya sedikit siswa yang berprestasi sangat tinggi, memilih
untuk berkomunikasi melalui representasi aljabar, bahkan setelah dua tahun
belajar aljabar.
Kaya & Aidyn, ( 2014) yang melakukan penelitian pada guru matematika
di SD di Turki. Penelitian ini mengggunakan desain penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis untuk menggambarkan persepsi guru matematika dan
pengalaman hidup dengan komunikasi matematis di ruang kelas. Subyek
penelitiannya adalah sembilan (n = 9) guru matematika yang bekerja di sekolah
dasar di kota metropolitan terbesar dari Turki. Hasi penelitian menunjukkan
bahwa komunikasi dalam pelajaran matematika memiliki peran penting dalam
mengembangkan pemahaman matematika siswa.
Inprasitha & Pattanajak, (2012) yang melakukan penelitian pada siswa
kelas I SD Ban Bungniambungkrinoon di Thailand. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif termasuk pendekatan etnografi dan pendekatan studi kasus,
pengajaran percobaan dan penelitian tindakan. Subyek penelitian adalah 23 siswa
kelas I di Sekolah dasar Ban Bungniambungkrinoon di Thailand. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak hanya aspek kognitif bisa mengevaluasi komunikasi

68
matematis di kelas, tetapi juga Aspek emosional dapat membantu guru untuk
memahami konsep matematika siswa.
Kosko & Wilkins (2014 ) yang melakukan penelitian pada perwakilan
siswa kelas V di Amerika serikat. Jenis penelitiannya adalah kualitatif, subyek
penelitian adalah perwakilan dari siswa kelas lima di Amerika Serikat. Hasil
penelitian menunjukkan adanya hubungan antara frekuensi siswa Amerika Serikat
kelas V yang diamati menggunakan peraga manipulatif dengan seberapa sering
mereka untuk membahas dan menulis tentang matematika. Hasil tambahan dari
penelitian ini menunjukkan bahwa siswa kelas V membahas matematika secara
signifikan lebih sering daripada mereka menulis tentang matematika atau
penggunaan peraga manipulatif.
Forrest, (2008 ) yang melakukan penelitian pada 15 guru matematika
SMA di Amerika Serikat. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, subyek
penelitian adalah 15 guru matematika berpartisipasi dalam penelitian ini. Tempat
penelitian dipilih sekolah (perkotaan dan pinggiran kota). Hasilnya tiga pesan
desain logika yang ditemukan ada antara guru matematika. Dua puluh persen dari
pesan yang dikodekan dengan mempekerjakan desain logika ekspresif, 53%
konvensional, dan 26% retoris.
ElSheikh & Najdi, (2013) yang melakukan penelitian pada guru
matematika di Alquds Open University (QOU) di Palestina. Jenis penelitian
adalah penelitian tindakan, subyek penelitian adalah 12 guru matematika dari
QOU di Palestina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keyboard matematika
mendukung tujuan komunikasi matematis, dan memberikan kontribusi untuk
pengembangan profesional dan praktek terbaik berpartisipasi pada guru dan siswa.
Avci1 & Keene, ( 2015 ) yang melakukan penelitian pada guru SMA dan
siswa di empat kelas yang berbeda di SMA di Amerika Serikat. Penelitian ini
merupakan studi kasus dengan data kuantitatif dan kualitatif. Subyek penelitian
adalah 2 guru SMA dan 79 siswa di empat kelas yang berbeda di sekolah
menengah umum di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar siswa memiliki sikap positif terhadap alat-alat online, Google, dan

69
menggunakannya di kelas matematika; dan apresiasi kepada matematika telah
meningkat.
Uptegrove (2015) yang melakukan penelitian pada siswa kelas I Sekolah
menengah Atas di Amerika Serikat. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif,
subyek penelitian adalah 18 siswa sekolah menengah atas di Amerika Serikat.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa yang membangun pemahaman
dan kemudian mengembangkan simbol kosakata matematika dapat memperoleh
pemahaman yang mendalam dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Selain
itu, membangun pemahaman dapat memberikan kosakata matematika siswa yang
luas; mereka tidak hanya dapat mengekspresikan ide menggunakan terminologi
standar matematika, tetapi mereka juga dapat menggunakan bahasa sehari-hari
ketika dibutuhkan dan diperlukan.

Kelemahan Penelitian-Penelitian Sebelumnya


Berdasarkan hasil review dan analisi penelitian yang sudah ada
sebelumnya yang terkait dengan komunikasi matematis maka diperoleh
kelemahan-kelemahan sebagai berikut.
1. Penelitian sebelumnya tentang komunikasi matematis melalui gesture siswa
masih yang dilakukan terbatas pada kelas 5 sekolah dasar belum dilakukan
dalam tingkat kelas yang lebih tinggi/rendah untuk melihat komunikasi
matematis oleh gestur/gerakan tubuh yang berdampak pada pemahaman
matematika.
2. Penelitian sebelumnya hanya berfokus pada kata/ bahasa, gesture pada
komunikasi matematis belum mempertimbangkan memeriksa jenis gestur
dan interaksi antar individu, yang terletak di kegiatan matematika, dalam
rangka untuk mengidentifikasi kompetensi matematika.
3. Penelitian sebelumnya sudah mencoba mengeksplorasi komunikasi efektif
kaitannya dengan menggenerelasikan konsep yg tidak dipahami siswa dengan
kontekstualisasi. Akan tetapi belum menggali lebih dalam kerangka domain-
spesifik dari penalaran matematis siswa yang berhubungan dengan konstruksi
analitis, konteks dan komunikasi yang efektif.

70
4. Penelitian sebelumnya sudah ada kolaborasi antar guru dan peneliti akan
tetapi peranan peneliti terlibat dalam kelas masih sangat besar masih
didomonasi oleh peneliti.
5. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan komunikasi matematis pada kelas
campuran antara anak yang tuli dan normal jumlah subyek terbatas dan
waktunya singkat.
6. Penelitian sebelumnya guru sudah terlibat dalam merefleksi kegiatan belajar
matematika akan tetapi belum mengeksplorasi dampak dari refleksi yang
dilakukan guru pada komunikasi matematis.
7. Penelitian sebelumnya terkait representasi aljabar siswa tetapi belum
mempunyai pengalaman yang cukup atau pengalaman tentang aljabar.
8. Penelitian sebelumnya mengeksplorasi persepsi sekitar pengalaman hidup
guru menggunakan komunikasi matematis tetapi belum mengeksplorasi
dampak komunikasi matematis pada kemampuan berpikir matematika.
1. Penelitian sebelumnya menyelidiki hubungan antara komunikasi matematis
siswa dan penggunaan manipulatif tapi sampelnya terbatas dan belum
menyelidiki pengaruh penggunaan manipulatif pada komunikasi matematis.
2. Penelitian sebelumnya sudah mengeksplorasi hubungan komunikasi online
dan sikap siswa terhadap alat-alat online, Google, dan menggunakannya di
kelas matematika tetapi belum mengeksplorasi dampak dari penggunaan alat-
alat online, Google.
3. Penelitian sebelumnya menyelidiki bentuk interaksi matematika dalam
pengaturan sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa tapi
belum mengkaji dampak atau akibat interaksi matematika dalam pengaturan
sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dalam
pembelajaran matematika.
Penelitian Yang Mungkin Dilakukan
1. Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi tentang komunikasi matematis
oleh gestur siswa yang dilakukan pada kelas lain yang lebih tinggi untuk
melihat komunikasi matematis siswa.

71
2. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi bahasa, gesture pada komunikasi
matematis perlu mempertimbangkan memeriksa jenis gesture dan interaksi
antar individu, dalam pembelajaran matematika, dalam rangka untuk
mengidentifikasi kompetensi matematika.
3. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi komunikasi efektif kaitannya dengan
menggenerelasikan konsep yg tidak dipahami siswa dengan kontekstualisasi.
Sekaligus menggali lebih dalam kerangka domain-spesifik dari penalaran
matematis siswa dan berhubungan ini untuk konstruksi analitis, konteks dan
komunikasi yang efektif.
4. Penelitian selanjutnya perlu kolaborasi antar guru dan peneliti dan perlu
mengurangi peranannya untuk terlibat dalam kelas.
5. Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi komunikasi matematis pada
kelas campuran antara anak yang tuli dan normal jumlah subyek luas dan
waktunya lama.
6. Penelitian selanjutnya guru perlu terlibat dalam merefleksi kegiatan belajar
matematika dan perlu mengeksplorasi dampak dari refleksi yang dilakukan
guru pada komunikasi matematis.
7. Penelitian selanjutnya terkait representasi aljabar siswa harus mempunyai
pengalaman yang cukup atau pengalaman tentang aljabar.
8. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi persepsi sekitar pengalaman hidup
guru menggunakan komunikasi matematis perlu mengeksplorasi dampak
komunikasi matematis pada kemampuan berpikir matematika.
9. Penelitian selanjutnya menyelidiki pengaruh penggunaan manipulatif pada
komunikasi matematis.
10. Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi dampak dari penggunaan alat-
alat online, Google.
11. Penelitian perlu mengkaji dampak atau akibat interaksi matematika dalam
pengaturan sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
dalam pembelajaran matematika.

72
REFERENSI

Avci1, Z.Y & Keene, K.A, ( 2015 ). An Exploration of Student Attitudes towards
Online Communication and Collaboration in Mathematics and
Technology. International Online Journal of Educational Sciences,
7(1), 110-126.
Bra¨uning ,K & Steinbring, H. 2011. Communicative characteristics of teachers‟
mathematical talk with children: from knowledge transfer to knowledge
investigation. ZDM Mathematics Education. 43:927–939, DOI
10.1007/s11858-011-0351-4.
Cooke, BD & Buchholz, D. 2005. Mathematical Communication in the
Classroom: A Teacher Makes a DiflFerence. Early Childhood
Education Journal, 32 (6), 365-369.
Clark, K.K & Jacobs. J, (2005). Strategies for Building Mathematical
Communication in theMiddle School Classroom: Modeled in
Professional Development,Implemented in the Classroom. Current
Issues in Middle Level Educations, (2) 11, 1-22.
ElSheikh, R.M & Najdi, S.D, (2013). Math Keyboard Symbols and Its Effect in
Improving Communication in Math Virtual Classes. International
Journal of Information and Education Technology, (3) 6, 638-642.
Forrest, D.B (2008 ). Communication Theory Offers Insight into Mathematics
Teachers‟ Talk.The Mathematics Educator, (2), 18, 23–32.
Inprasitha, M & Pattanajak, P, Inprasitha, N (2012). A Study of Student‟s
Mathematical Communication in Teacher Professional Development.
Journal of Modern Education Review, January 2012, 2, (1), 38–46.
Kaya, D & Aidyn, H, ( 2014). Elementary Mathematics Teachers' Perceptions
and Lived Experiences on Mathematical Communication.Eurasia
Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 10(6), 619-
629.
Kongthip, Y & Inprasitha, M. 2012. Mathematical Communication by 5th Grade
Students‟ Gestures in Lesson Study and Open Approach Context.
Psychology Journal, 3(8), 632-637.
Kosko & Wilkins (2014 ). Mathematical Communication and Its Relation to the
Frequency of Manipulative Use. International Electronic Journal of
Mathematics Education, 5(2), 79-90.
Kosko, K.W & Gao, Y. 2015. Mathematical Communication in State Standards
Before the Common Core. Educational Policy, 1– 28. DOI:
10.1177/0895904815595723
Marchetti, C & Foster, S, (2012). Crossing the Communication Barrier
FacilitatingCommunication in Mixed Groups of Deaf and Hearing
Students.Journal of Postsecondary Education and Disability, 25(1), 51
– 63.
Martinho, M, H. ( 2009). Communications In The Classroom: Practice Aand
Reflections Of a Mathematics Teacher. Quaderni di Ricerca in
Didattica (Matematica)”, 2(9). 1-9.

73
National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards
for schoolmathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of
Mathematics.
Neria, D & Amit, M (2004 ). Students Preference Of Non-Algebraic
Representations In Mathematical Communications.Proceedings of the
28th Conference of the InternationalGroup for the Psychology of
Mathematics Education, 3, 409–416.
Nilsson, P & Ryve, A, (2010), Focal event, contextualization, and effective
communication in the mathematics classroom. Educ Stud Math
74:241–258DOI 10.1007/s10649-010-9236-7.
Olteanu, C & Olteanu, L ( 2012 ). Equations, Functions, Critical Aspects and
Mathematical Communication. International Education Studie, 5(5),
69-78.
Ontario Ministry of Education. (2005). The OntarioCurriculum, Grades 1 to 8:
Mathematics. Toronto, ON: Queen‟s Printer for Ontario.
Sfard, A. (2008). Learning discourse. Discursive approaches to research in
mathematics education. London: Kluwer Academic Publishers.
Shield, M. & Galbraith, P. 1998. The Analysis of Student Expository Writing in in
Mathematics. Educational Studies in Mathematics, 36, 29-52.
Tunç-Pekkan, Z & D‟Ambrosio, B (2008 ). Mathematical Communications:
Elementary Pre-service Teachers‟ E-mail Exchanges with Sixth Grade
Students. MathematicsTeacher Education and Development, 10, 4-14.
Uptegrove, E.B (2015). Shared communication in building mathematical ideas:A
longitudinal study. The Journal of Mathematical Behavior. DOI:
10.1016/j.jmathb.2015.02.001
Vasileiadou, P.D, 2013. An Analysis of Students‟ Communication during Group
Work in Mathematics. Electronic Journal of Vocational Colleges. 2(3), 59-70

74
BAB V
BERPIKIR SPASIAL

Oleh : Shinta Wulandari


Universitas Negeri Malang

75
BAB – V BERPIKIR SPASIAL

A. Pengertian Berpikir Spasial


Berpikir spasial sangat penting untuk memecahkan masalah sehari-hari
seperti bagaimana menggunakan peta untuk memandu seseorang menuju lokasi
ketika berlibur, memarkir mobil, bermain game 3D, atau pada saat kita
menginginkan untuk mengatur perabot rumah tangga pada suatu ruangan, dan
mengatur ulang dekorasi ruangan. Menggunakan peta pada saat bepergian,
seseorang akan melihat peta yang berbentuk dua dimensi maka dia akan
mengkaitkan dengan kenyataan yang ditemui di sepanjang perjalanan. Ketika
pada peta muncul ikon berupa gambar pom bensin pada jalan yang akan dilalui
maka orang tersebut akan membayangkan bentuk pom bensin dipikirannya dan
mencari pom bensin sesuai dengan lokasi yang tercantum pada peta di jalan yang
dilaluinya. Demikian seterusnya hingga lokasi yang dituju dapat ditemukan
dengan menggunakan peta.
Berpikir spasial, merupakan satu bentuk dari berpikir, yang merupakan
salah satu kelompok keterampilan kognitif. Bentuk keterampilan kognitif terdiri
dari pengetahuan deklaratif dan pengetahuan perseptual. Beberapa operasi
kognitif dapat digunakan untuk mentransformasi, mengkombinasikan, atau
operasi lain pada kedua pengetahuan ini. Seperti yang disampaikan The
Committee on Support for Thinking Spatially (2006), berpikir spasial adalah
kombinasi konstruktif tiga elemen yaitu konsep ruang, alat penyajian, dan proses
penalaran. Berpikir spasial tidak hanya berdasar pada satu elemen saja misalnya
hanya pada penguasaan konsep ruang saja. Namun seseorang yang berpikir
spasial mengkombinasikan ketiga elemen tersebut. Konsep ruang dan maknanya
merupakan bagian dari definisi, alat penyajian sebagai contoh adalah peta dan
denah; proses penalaran misalnya tentang interpolasi.

Menurut Uttal dan Cohen (2013) berpikir spasial diistilahkan sebagai


visualisasi spasial yaitu proses-proses menangkap, mengkodekan (encoding) dan
memanipulasi secara mental bentuk spasial tiga dimensi. Proses menangkap

76
merupakan kegiatan fisik yang melibatkan panca indra pada saat bertemu dengan
bentuk fisik suatu benda. Mengkodekan (encoding) mengacu pada bagaimana
mengubah suatu fisik, input sensorik menjadi suatu bentuk representasi yang
dapat ditempatkan ke dalam memori (Sternberg dan Sternberg, 2012). Proses
mental selanjutnya adalah penyimpanan yang mengacu pada bagaimana
mempertahankan informasi yang dikodekan dalam memori kemudian bagaimana
seseorang mendapatkan akses ke informasi yang tersimpan dalam memori
sehingga dapat menyajikannya kembali sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya (Sternberg dan Sternberg, 2012). Ketika seorang berpikir spasial,
maka perhatiannya akan terpusat pada lokasi objek, bentuknya, hubungannya
dengan bentuk yang lain dan bagaimana jika bentuk-bentuk tersebut dipindahkan
(Newcombe, 2010). Menurut Uttal, Miller dan Newcombe (2013), berpikir spasial
didefinisikan sebagai proses-proses mental pada penyajian, penganalisisan dan
penggambaran inferensi dari relasi spasial. Relasi spasial ini bisa saja berupa
relasi antara obyek-obyek (misalnya relasi antara landmark suatu kota) atau relasi
di dalam suatu obyek (misalnya suatu bidang pada suatu balok). Seseorang dapat
menganalisis relasi spasial sebagaimana dia dapat mengamati dan menyajikan
(misalnya struktur kunci pada suatu sketsa mesin) atau membayangkan perubahan
bentuk pada relasi spasial (misalnya, memutar secara mental suatu obyek tiga
dimensi) (NRC, 2006).
Jadi berpikir spasial adalah proses-proses menangkap, mengkodekan dan
memanipulasi secara mental bentuk-bentuk tiga dimensi dengan
mengkombinasikan konstruksi tiga elemen yaitu konsep ruang, alat penyajian dan
proses penalaran.
Berpikir Spasial dan Istilah yang Terkait
Terdapat istilah-istilah yang terkait dengan berpikir spasial, antara lain
istilah konsep spasial (spatial concepts), penyajian spasial (spatial representation)
dan penalaran spasial (spatial reasoning). Keterkaitan di antara istilah-istilah
tersebut digambarkan ke dalam bentuk piramida seperti gambar 1.1 berikut ini.

77
Spatial • Graphicacy
Literacy
• Concepts
Spatial • Representation
Thinking • Reasoning

Spatial Abilities

Gambar 1.1 Konseptual skema berpikir spasial dan istilah terkait


(Wakabayashi dan Ishikawa, 2011)

Piramida pada gambar 1.1 juga terdapat istilah lain yang menggunakan
isilah spasial yaitu literasi spasial (spatial literacy), grafikasi (graphicacy) dan
kemampuan spasial (spatial abilities). Literasi spasial didefinisikan sebagai
kemampuan atau sikap seseorang untuk berpikir secara spasial dalam suatu cara
yang tepat (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011). Selanjutnya Wakabayashi dan
Ishikawa (2011) menyatakan bahwa grafikasi (graphicacy) adalah suatu dasar
pendidikan pada literasi, artikulasi dan numerasi, yang mulai berkembang sejak
pendidikan dasar. Kemampuan spasial (spatial abilities) adalah keterampilan
kognitif yang mendasari berpikir spasial, yang dikomposisikan oleh visualisasi
spasial, orientasi spasial dan relasi spasial (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011).

Elemen Berpikir Spasial


Berpikir secara spasial melibatkan tiga elemen pengetahuan, yaitu ruang,
penyajian dan penalaran (NRC, 2006).
(1) ruang (space)
Ruang menghasilkan kerangka konseptual dan analitis yang didalamnya
memuat beberapa data yang dapat diintegrasikan, direlasikan dan distrukturkan
menjadi sesuatu yang utuh (NRC, 2006). Dasar berpikir spasial adalah
pemahaman ruang dengan mengabstraksikan ruang melalui konsep geometri,
visualisasi, jarak, koordinat dan dimensi (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011).
Contoh konsep ruang yaitu: hubungan antara unit-unit pengukuran (misalnya,
kilometer vs mil), cara menghitung jarak (misalnya, mil, waktu perjalanan, biaya

78
perjalanan), dasar sistem koordinat (misalnya, Cartesian vs koordinat polar), sifat
ruang (misalnya, jumlah dimensi [dua-vs tiga dimensi]).
Konsep ruang pada berpikir spasial diklasifikasikan ke dalam beberapa
bagian. Beberapa pengklasifikasian disajikan pada table 1.1 berikut ini.

Tabel 1.1 Konsep Berpikir Spasial


Gershmehl & Gershmehl Golledge et al. Janelle & Goodchild

Condition Identity Object and Fields

Location Location Location

Connection Connectivity Network

Comparison Distance Distance

Aura Scale Scale

Region Pattern Matching Neighbohood and Region

Hierarchy Buffer Spatial Dependence

Analogy Adjacency, Classification Spatial Heterogeneity

Pattern Gradient, Profile

Spatial Association Coordinate

Pattern,Arrangement,
Distribution, Order, Sequence

Spatial Association,
Overlay/Dissolve,
Interpolation

Projection, Transformation

Sumber : Bednarz dan Lee (2011)

(2) penyajian (representation)

Penyajian internal dan eksternal menghasilkan bentuk yang didalamnya


terdapat informasi yang dapat disimpan, dianalisis, dikomprehensikan dan
dikomunikasikan ke yang lainnya (NRC, 2006). Penyajian spasial secara internal
fokus pada formasi dan manipulasi bayangan spasial di dalam pikiran, yang
memerlukan kemampuan spasial pada visualisasi, orientasi dan relasi spasial,
sedangkan penyajian spasial secara eksternal mengacu pada pengorganisasian,
pemahaman dan pengkomunikasian informasi dengan peta, gambar dan grafik
(Wakabayashi dan Ishikawa, 2011). Penyajian spasial tidak hanya terbatas pada

79
bentuk visual, namun didalamnya termasuk bentuk sensori lain seperti bentuk
fisik, kinestetik dan auditori. Contoh penyajian spasial yaitu, hubungan antara
pandangan (misalnya, rancangan gambar dibandingkan ketinggian bangunan
sebenarnya, atau orthogonal terhadap peta perspektif), efek dari proyeksi, prinsip-
prinsip desain grafis (misalnya, keterbacaan, kontras visual, dan pengorganisasin
skala di pembacaan grafik dan peta).

Representasi spasial adalah alat kognitif yang kuat yang dapat


meningkatkan kemampuan belajar dan berpikir. Posisi ini didasarkan pada tiga
klaim, yang masing-masing memiliki implikasi yang signifikan untuk mengajar
dan belajar tentang berpikir spasial (NRC, 2006). Pertama, menciptakan
representasi spasial adalah cara yang ampuh untuk mengkodekan informasi baru
yang seseorang ingin mengingat di lain waktu. Kedua, menghasilkan bayangan
tentang informasi "lama" yang telah dipelajari dan situasi di mana ia dapat
memberi bantuan belajar yang kuat dalam mengingat informasi di kemudian hari.
Ketiga, beberapa masalah lebih mudah dipecahkan menggunakan representasi
spasial, sedangkan dalam kasus lain, mencoba untuk menggunakan representasi
spasial dapat mempengaruhi pemecahan masalah.

(3) penalaran (reasoning)

Proses-proses penalaran menghasilkan makna dari pemanipulasian,


penginterpretasian, dan penjelasan struktur informasi ( NRC, 2006). Penalaran
spasial memuat proses kognitif pada tingkat yang lebih tinggi pada inferensi dari
pengetahuan awal ke penyelesaian masalah atau pembuatan keputusan. Penalaran
spasial diklasifikasi menjadi tiga level (Jo dan Bednarz, 2009). Tiga level tersebut
yaitu :

Level masukan (input level), melalui pengumpulan informasi dari sense atau
pemanggilan informasi dari memori-memori.

Level proses (processing level), pada level ini orang yang belajar menganalisa,
mengklasifikasi, menjelaskan atau membandingkan informasi yang diperoleh
pada level masukan.

80
Level keluaran (output level), pada level ini pembentukan generasi pengetahuan
atau produk yang baru dari informasi yang diperoleh dari dua level yang pertama
yaitu level masukan dan level pemrosesan.

Contoh penalaran spasial yaitu cara berpikir yang berbeda tentang jarak terpendek
(misalnya, seperti seseorang berjalan dengan rute berjarak di jalan yang berubin
berbentuk persegi sehingga dapat dihitung rute terpendek yang dapat dia tempuh),
kemampuan untuk meramalkan kemungkinan dan interpolasi (misalnya,
memproyeksikan hubungan fungsional pada grafik ke masa depan atau
memperkirakan kemiringan bukit dari peta kontur), dan pengambilan keputusan
(misalnya, laporan yang diberikan lalu lintas di radio, pemilihan jalan memutar
alternatif).

B. Implementasi dalam Pembelajaran


Siswa yang mampu berpikir secara spasial memiliki tingkat pengetahuan
spasial dan keterampilan dalam berpikir dan bertindak secara spasial, disertai
dengan literasi spasial. Tidak ada perbedaan secara jelas antara berpikir spasial
dan literasi spasial (NRC:2006,Wakabayashi dan Ishikawa:2011 dan Newcombe:
2010) namun pada skema berpikir spasial Wakabayashi dan Ishikawa (2011)
literasi spasial berada satu tingkat di atas berpikir spasial. Berikut adalah
karakteristik literasi spasial (NRC, 2006) :

1. memiliki kebiasaan berpikir secara spasial -- mereka tahu di mana, kapan,


bagaimana, dan mengapa dengan berpikir secara spasial;
2. mempraktikkan berpikir spasial ke suatu cara yang berdasar pada informasi --
mereka memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam pada konsep tata
ruang dan representasi spasial, perintah yang lebih dari penalaran spasial
menggunakan berbagai cara berpikir dan bertindak spasial, telah
mengembangkan dengan baik kemampuan spasial ke penggunaan alat
pendukung dan teknologi;
3. mengadopsi sikap kritis untuk berpikir spasial -- mereka dapat mengevaluasi
kualitas data spasial berdasarkan sumbernya, seperti akurasi, dan keandalan;
mereka dapat menggunakan data spasial untuk membangun,

81
mengartikulasikan, dan mempertahankan garis penalaran atau sudut pandang
dalam memecahkan masalah dan menjawab pertanyaan; dan mereka dapat
mengevaluasi validitas argumen berdasarkan informasi spasial.
Jika seseorang diberikan tugas berpikir spasial, dia dapat menyelesaikan
tugas tersebut dengan pendekatan imagistic atau dengan strategi analitik (Cohen
dan Hegarty, 2014). Pendekatan imagistic dilakukan dengan pembentukan dan
pemanipulasian bayangan mental sedangkan strategi analitik misalnya dengan
membandingkan fitur dua stimuli. Langkah-langkah pendekatan imagistic
menurut Cohen dan Hegarty (2014) yaitu mengkodekan karakteristik spasial dari
suatu figure atau benda seperti bentuknya yang padat secara geometris dan
orientasi pada bidang potongnya. Langkah lainnya adalah membayangkan obyek
yang sedang dilakukan pemotongan dan memindahkan bagian geometris yang
dipotong antara yang melihat dengan bidang yang dipotong. Langkah selanjutnya
adalah membuat suatu bayangan penampang figure atau benda geometri dari suatu
orientasi yang posisinya orthogonal pada permukaan yang dipotong.
Berpikir spasial pada bidang sains perkembangannya melewati tiga
langkah (NRC, 2006), yaitu :
1) mengekstraksi struktur-struktur spasial
2) menyajikan transformasi spasial
3) menggambarkan inferensi fungsional

Berpikir spasial selain berguna dalam kehidupan sehari-hari, juga berguna


dalam bidang sains dan matematika. Berpikir spasial dapat mengantarkan anak
pada jalur berpikir yang baik, yang juga dapat ditingkatkan pada orang dewasa.
Jadi, jika seseorang tertarik di bidang teknik, misalnya pada saat di sekolah
menengah atas, mereka tidak perlu berkata, 'Saya tidak pernah bisa melakukan
itu'. Sebaliknya, mereka dapat mengubah arah dengan mencoba melakukannya.
Siswa-siswa yang keterampilan spasialnya teruji di sekolah menengah dapat
diprediksikan bahwa siswa tersebut akan memasuki karir di bidang Sains,
Teknologi, Teknik dan Matematika sebelas tahun kemudian (Uttal, Miller dan
Newcombe, 2013).

82
Berpikir spasial menggunakan representasi, dapat membantu mengingat,
memahami, mengemukakan alasan, dan berkomunikasi tentang sifat-sifat dan
hubungan antara objek yang direpresentasikan dalam ruang, apakah benda-benda
itu sendiri secara inheren spasial atau tidak. Benda dapat menjadi hal-hal konkret
(seperti dalam peta jalan kognitif dan lingkungan di kota) atau konsep abstrak
(seperti dalam plot grafis dua dimensi dari model skala hubungan antara motivasi
dengan prestasi belajar) (NRC, 2006).

Fungsi berpikir spasial menurut NRC (2006) yaitu :


1. fungsi deskriptif, menangkap, menyimpan, dan menyampaikan penampilan
dari dan hubungan antara objek-objek;
2. fungsi analitik, memungkinkan pemahaman tentang struktur benda;
3. fungsi inferensial, menghasilkan jawaban pertanyaan tentang evolusi dan
fungsi benda.

Berpikir spasial memiliki kekuatan untuk mampu menghasilkan suatu


pemahaman struktur dan fungsi (NRC, 2006). Pemahaman struktur berarti adanya
deskripsi bagaimana sesuatu diorganisir yaitu bagian mana yang memiliki relasi
dengan bagian lain. Kita dapat menangkap susunan suatu obyek di ruangan dan
berbicara tentang urutan, relasi dan polanya. Pemahaman Fungsi berarti
memahami bagaimana dan mengapa sesuatu bekerja. Melalui pemahaman fungsi
kita dapat dengan cepat mengetahui bagaimana sesuatu berubah oleh waktu
(kinematic) dan memberi kesempatan kepada kita untuk menjelaskan alasan
perubahan susunan pola spasial pada waktu yang bervariasi (dinamik). Oleh
karena itu berpikir spasial tidak statis, berpikir spasial adalah proses dinamis yang
memberi kesempatan kepada kita untuk menjelaskan, mendeskripsikan dan
memprediksi struktur dan fungsi obyek dan hubungannya di dunia spasial yang
nyata dan yang ada pada bayangan.
Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Berpikir Spasial Seseorang?
Pertanyaan tersebut mungkin saja muncul di benak seseorang. Bisa saja
seseorang memiliki kemampuan berpikir spasial pada kategori rendah atau

83
kurang. Apabila seseorang memiliki kemampuan berpikir rendah, peningkatan
kemampuan berpikir spasialnya dapat dilakukan melalui pelatihan. Pelatihan
dapat dilakukan dengan menggunakan obyek virtual berbantuan komputer, karena
pelatihan dengan obyek virtual lebih baik hasilnya daripada menggunakan benda
fisik (Korkasem:2014, Cohen dan Hegarty: 2014).
Pelatihan berpikir spasial yang diuji pada 2.545 artikel yang relevan oleh
Uttal, Miller dan Newcombe (2013) melaporkan bahwa pelatihan spasial adalah
efektif, memiliki daya tahan (durable) dan dapat dipindahkan (transferred).
Pelatihan spasial efektif meningkatkan berpikir spasial dengan menggunakan
berbagai macam metode pelatihan yang berbeda misalnya memainkan permainan
pada video, mempraktikkan tes spasial, atau dengan mengikuti kursus gambar
teknik. Pelatihan spasial tahan lama, karena meskipun dari 67% studi yang
dilakukan oleh Uttal, Miller dan Newcombe (2013) dilakukan langsung setelah
pelatihan, beberapa studi juga diukur beberapa minggu atau beberapa bulan
setelah pelatihan spasial ternyata dengan pelatihan intensif dapat memberikan
keuntungan pada berpikir spasial. Pelatihan spasial dapat dipindahkan
(transferred) karena dengan pelatihan spasial, kinerja seseorang pada tugas spasial
dapat ditingkatkan.

Contoh dan Bukan Contoh Berpikir Spasial


Berpikir spasial dapat ditemui pada konteks kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, berpikir spasial di tempat kerja dimulai sebelum bekerja,
kemudian hal-hal yang ditemui selama naik menggunakan kendaraan ke tempat
kerja. Banyak pengemudi menyederhanakan bidang dua dimensi yang kompleks
antara rumah dan tempat bekerja sebagai sebuah barisan yang berisi urutan tanda
jalan secara bergantian. Konteks lingkungan yang tidak relevan dengan tugas
mengendarai kendaraan diabaikan selama perjalanan tersebut. Jalan akan
menentukan ke mana harus dihindari dan arah mana untuk ditempuh adalah
sangat penting. Akibatnya, seseorang lebih memperhatikan tanda jalan yang
menandai perubahan arah, dan mereka ingat tanda jalan tersebut dengan lebih baik
daripada tempat lain di sepanjang rute yang dilaluinya.

84
Contoh soal tes berpikir spasial adalah dengan diberikannya suatu plat besi
seperti yang ada pada gambar 4.1 di sebelah kiri bawah berikut ini. Plat besi
tersebut dilipat sesuai dengan garis putus-putus. Kemudian siswa diminta untuk
menentukan mana dari kelima bentuk A, B, C, D dan E yang merupakan
representasi dari plat besi yang dilipat. Ketentuan melipat adalah tidak boleh ada
lipatan yang menumpuk satu sama lain.

Gambar 4.1 Contoh Tes Spasial : Visualisasi Spasial Tiga Dimensi


(Uttal, Miller dan Newcombe, 2013)

Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir spasial akan dapat menentukan


hubungan antara garis lurus dan garis putus-putus, apa yang akan terjadi jika plat
besi dilipat sesuai dengan garis yang dimaksud serta dapat merepresentasikan
bentuk tiga dimensi yang dihasilkan dan dapat merepresentasikan bentuk tersebut
dari berbagai sudut pandang. Dari kelima gambar tersebut, seseorang yang
memiliki kemampuan berpikir spasial akan memilih gambar A. Jika
kemampuannya lemah dalam berpikir spasial akan memilih gambar selain A,
yaitu B, C, D atau E. Seseorang yang kemampuan berpikir spasialnya rendah
tidak menguasai konsep ruang pada plat besi tersebut. Dia tidak mengetahui
hubungan sisi-sisi yang dilipat sesuai dengan garis putus, bagian mana yang
permukaannya lebih tinggi dan bagian mana yang lebih rendah, atau bisa saja
lemah dalam merepresentasikan plat tersebut dalam bayangan dipikirannya.

C. Penelitian Terkait
Berpikir spasial telah banyak diteliti dan mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Berpikir spasial sangat berguna bagi siswa-siswa di sekolah
menengah untuk mempersiapkan karirnya di masa depan (Uttal, Miller dan
Newcombe (2013). Penelitian yang dilakukan oleh (Uttal, Miller dan Newcombe
(2013) dengan melakukan sintesis kuantitatif dari 206 studi pelatihan spasial,

85
ditemukan peningkatan pelatihan rata-rata 0,47 dari standar deviasi. Efek
pelatihan berlangsung selama berbulan-bulan dalam studi meneliti daya tahan dan
ditransfer ke tugas-tugas yang berbeda. Hasil penelitiannya adalah meskipun
diabaikan dalam pendidikan tradisional, berpikir spasial memainkan peran penting
dalam prestasi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan matematika
(STEM) . Penelitian menunjukkan bahwa jawabannya adalah "ya" untuk kedua
pertanyaan di atas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelatihan spasial
dapat meningkatkan pembelajaran STEM.
Berpikir spasial tidak hanya dimulai di tingkat sekolah menengah saja.
Berpikir spasial dapat mulai dilatih sejak anak duduk di tingkat pra sekolah,
bahkan Mohring et.al (2015) yang melakukan penelitian tentang hubungan antara
berpikir spasial dan penalaran proposional pada siswa pra sekolah menyimpulkan
bahwa berpikir spasial dimulai sejak awal kehidupannya. Penelitian dilakukan
pada anak-anak yang didominasi anak-anak Kaukasia, berasal dari latar belakang
kelas menengah, dan tinggal di daerah pinggiran kota dari kota besar AS. Anak-
anak menyelesaikan tugas pertama lokasi spasial, diikuti oleh tugas penalaran
proporsional. Hasil penelitian ini menjelaskan mekanisme yang terlibat memiliki
hubungan yang erat antara berpikir spasial dan berpikir matematis sejak awal
kehidupan.B
Berbeda dengan Mohring, Newcombe dan Frick (2015) yang meneliti
tentang berpikir spasial yang dikaitkan dengan satu komponen berpikir matematis,
Ivantskii et.al (2015) meneliti tentang Pemetaan Otak (brain mapping) saat
seseorang berpikir verbal dan berpikir spasial. Penelitian ini adalah untuk
menggambarkan topografi zona kortikal aktif dan formasi subkortikal selama
berpikir verbal dan spasial menggunakan pencitraan resonansi magnetik
fungsional (fMRI). Subyek yang diambil sebanyak 18 orang, subyek tersebut
menggunakan tangan kanan pada aktivitasnya. Empat jenis tugas yang disajikan -
dua tugas studi, verbal (anagram) dan spasial (mencari angka untuk persegi), serta
dua jenis tugas kontrol (kata-kata dan tugas-tugas spasial di mana semua kata-
katanya identik). Data fMRI ini memberikan bukti bahwa jenis pemikiran verbal
dan spasial didukung oleh aktivitas spesifik struktur otak, sementara studi

86
elektrofisiologi sebelumnya menunjukkan distribusi proses otak selama berpikir.
Penggabungan dua pendekatan ini mengarah pada kesimpulan bahwa fungsi
kognitif didukung oleh sistem-jenis proses otak dengan struktur kunci tertentu.
Pemanfaatan kecanggihan teknologi dapat dimanfaatkan untuk membantu
seseorang yang memiliki kelemahan dalam berpikir spasial. Pemanfaatan
lingkungan virtual dalam pelatihan spasial secara intersif dapat meningkatkan
kemampuan berpikir spasial dari pada menggunakan lingkungan fisik (Cohen dan
Hegarty:2014, Kavouras et.al:2014, Kornkasem dan black:2014 dan Manson
et.al:2014). Cohen dan Hegarty (2014) meneliti tentang memvisualisasikan
penampang: Pelatihan berpikir spasial menggunakan animasi interaktif dan benda-
benda maya (virtual). Penelitian dilakukan dalam dua percobaan, yang
menyelidiki keandalan intervensi singkat menggunakan animasi interaktif untuk
melatih siswa menyimpulkan penampang dua dimensi dari bentuk geometris
virtual tiga dimensi. Mahasiswa dengan kemampuan spasial yang kurang
ditugaskan untuk menerima intervensi atau untuk kelompok kontrol.
Dibandingkan dengan kelompok kontrol, peserta yang dilatih meningkat secara
signifikan pada stimuli yang diamati selama intervensi dan transfer menunjukkan
adanya rangsangan terlatih. Keuntungan kinerja dan transfer dalam percobaan ini
menunjukkan bahwa animasi interaktif dan benda padat virtual adalah alat
menjanjikan untuk melatih berpikir spasial untuk mahasiswa. Kornkasem (2014),
meneliti tentang Pelatihan berpikir spasial menggunakan artefak geometri dan
arsitektur. Studi dilakukan untuk menguji efek dari metode pelatihan spasial pada
kinerja kemampuan spasial. Dua percobaan, dilakukan pada total siswa 72
Columbia University. Secara khusus, studi menyelidiki penggunaan representasi
spasial eksternal untuk mengembangkan simulasi mental di pendidikan bidang
Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika (STEM). Di kedua studi, siswa
ditingkatkan keterampilan spasial mereka. Peserta didik yang terlatih dalam tiga
dimensi (3D) ditambah lingkungan maya (sebagai kelompok eksperimen)
meningkat di keterampilan spasial secara signifikan lebih dari pada siswa dengan
artefak 3D lingkungan fisik (sebagai kelompok kontrol). Sebuah efek antisipatif
ditemukan selama urutan pembelajaran. Urutan dalam lingkungan virtual 3D-

87
diperluas mengaktifkan isyarat spasial secara eksplisit dan bahasa teknis yang
membantu peserta untuk merumuskan simulasi mental yang lebih baik; sebagai
akibatnya, mereka tampil lebih baik di posttest dan tes transfer. Pemetaan web
melibatkan penerbitan dan penggunaan peta melalui internet, dan dapat
menjangkau penyajian peta statis ke penawaran data query yang dinamis dan
analisis spasial Manson et.al (2014). Pemetaan Jaringan dipandang sebagai cara
yang menjanjikan untuk mendukung pengembangan berpikir spasial dalam kelas
tetapi ada pertanyaan yang belum terjawab tentang bagaimana janji tersebut
diterapkan pada dunia nyata. Hasil penelitian Manson et.al (2014), menyatakan
bahwa pemetaan web dapat efektif tetapi keberatan mengarah pada pedagogis,
kelembagaan,dan teknologi beserta akibatnya.
Kelemahan dan Keunggulan Penelitian
Penelitian yang telah ditulis pada bagian 4, selanjutnya dianalisis
untuk mendapatkan kelemahan dan keunggulan dari tiap-tiap penelitian
tersebut.
a. Penelitian oleh Mohring ,Newcombe dan Frick(2015) memiliki
keunggulan yaitu bahwa ternyata terdapat hubungan yang erat antara
berpikir spasial dan berpikir matematis sejak awal kehidupan.
Penelitiannya focus pada pembacaan peta sebagai wakil dari
mengaketerampilan spasial dan penalaran proporsional sebagai wakil dari
keterampilan matematis. Bagian penting lainnya adalah bahwa anak-anak
yang pendugaan konsentrasi campurannya lebih baik pada tugas
penalaran proporsional ternyata juga memiliki penempatan posisi target
lebih akurat setelah dilakukan pengontrolan usia dan kecerdasan
verbalnya. Kelemahan penelitian ini adalah masih terbatas pada
hubungan saja antara berpikir spasial dengan berpikir matematis. Relasi
sebab akibat dari hubungan keduanya belum terlihat pada penelitian ini.

b. Penelitian oleh Ivantskii et.al (2015) adalah tentang Pemetaan Otak


(brain mapping) saat seseorang berpikir verbal dan berpikir spasial.
Keunggulan penelitian ini adalah dengan memanfaatkan fRMI, dapat

88
tergambar dengan baik bagian-bagian otak yang aktif pada saat seseorang
berpikir verbal dan berpikir spasial. Pada penelitian ini Ivanitskii et.al
menyatakan tentang level pengetahuan yang disajikan, yaitu bahwa
mereka dapat mengambil level tersebut sehingga proses-proses cerebral
yang ditekankan pada fungsi mental lebih tinggi merupakan sistem yang
melakukan proses-proses dan disebarkan melewati cortex. Kelemahan
penelitian ini hanya masalah kebaruannya. Penelitian serupa telah
dilakukan pada tahun 1932 oleh Pavlov.

c. Cohen dan Hegarty (2014) meneliti tentang memvisualisasikan


penampang: Pelatihan berpikir spasial menggunakan animasi interaktif
dan benda-benda maya (virtual). Keunggulan penelitian ini adalah
pemanfaatan teknologi dengan baik, sehingga gambaran visual sangat
membantu siswa pada saat pelatihan spasial. Tampilan interaktifnya
sangat sederhana, fleksibel, tampilannya dapat dihentikan sejenak ketika
diklik tombol pause,memberi kesempatan kepada pengguna untuk
mengeksplorasi obyek virtual sesuai kemampuannya. Selain itu animasi
pelatihan yang le Selain itu animasi pelatihan yang lebih dari satu
(misalnya, orthogonal,bih dari satu (misalnya, orthogonal dan irisan
kerucut) dapat dilihat bersamaan. Aktivitas dan irisan kerucut) dapat
dilihat bersamaan. Aktivitas pendukung pembelajaran seperti pendukung
pembelajaran seperti menggambar dan memperbanyak bentuk-bentuk
dapat secara mudah diintegrasikan pada pembelajada pembelajaran
dengan tampilan yang interaktif. Kelemahan penelitian adalah bahwa
pengujian dilakukan pada pembelajaran yang singkat. Sangat perlu untuk
ke depannya dengan melakukan tes untuk mengetahui efek pada kegiatan
belajar yang lebih lama. Selain itu penggunaan dua dimensi yang dicetak
menstimuli ke penggambaran bentuk tiga dimensi pada saat pre test dan
posttest. Proyeksi stimuli tiga dimensi yang berbentuk dua dimensi masih
membingungkan secara mendasar, dan kebingungan tersebut mungkin
saja sebagai bentuk tanggungjawab untuk partisipan yang memiliki

89
kinerja buruk pada pre test kami. Untuk selanjutnya, model fisik dari
bentuk geometri padat yang sederhana dapat dihasilkan untuk mengatasi
beberapa kebingungan tentang bayangan perpektif tiga dimensi menjadi
dua dimensi.

d. Studi Bednarz dan Lee (2011) adalah tentang komponen-komponen


berpikir spasial. Keunggulan dari studi ini adalah faktor berpikir spasial
pada STAT adalah yang sebelumnya terdiri dari delapan komponen, dan
dengan studi ini mereka menghasilkan faktor yang lebih sedikit yaitu
lima faktor saja. Kelemahan pada studi ini adalah bahwa mereka tidak
menegaskan bahwa lima faktor tersebut sebagai komponen berpikir
spasial yang definitive. Meskipun studi ini dinilai signifikan karena
berdasarkan data empiris dan dukungan yang kuat bahwa berpikir spasial
tidak didukung oleh satu keterampilan saja.

e. Studi oleh Uttal, Miller dan Newcombe (2013) adalah tentang


pengeksplorasian dan peningkatan berpikir spasial yang dikaitkan dengan
prestasi pada bidang sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM).
Keunggulan penelitian ini adalah berdasar pada sintesis kuantitatif dari
206 studi pelatihan spasial. Penelitian ini tidak menyelidiki bagaimana
meningkatkan keterampilan kognitif yang relevan untuk matematika,
membaca, dan disiplin ilmu lainnya. Penelitian di masa depan diperlukan
untuk menentukan metode pelatihan yang akan mengarah ke perbaikan
bidang STEM yang terbesar. Seperti keterampilan kognitif, berpikir
spasial dapat meningkat jika dipelihara dan didukung.

90
REFERENSI

Bednarz dan Lee. The Componen of Spatial Thinking: Empirical evidence.


Procedia Social and Behavioral Science, www.sciencedirect.com; 2011
Cohen dan Hegarty. Visualizing cross sections: Training spatial thinking using
interactive animations and virtual objects. Learning and Individual
Differences 33 (2014) 63–71, journal homepage:
www.elsevier.com/locate/lindif ;2014
Jo dan Bednarz, Evaluating Geography Textbiik Question from a Spatial
Perspective: using concept of space, tools of representation, and cognitive
processes to evaluate spatiality. Jounal of Geography; 2009
Kavouras, Tomai, Baglatzi, Lazoudis, Kokla, Darra, Sotiriu. The Geothnk
platform: connecting spatial thinking to secondary education. Conference
Paper. www.researchgate.net/publication; 2014
Kornkasem dan Black. Spatial Thinking Training Using Geometry and
Architectural Artifacts. Conference paper. www.
researchgate.net/publication; 2014
Manson, Shannon, Eria, Kne,Dyke,Nelson,Batra,Bonsal,Kernik,Immich, Matson.
Resource Need and Pedagogocal Value of Web Mapping for Spatial
Thinking. Journal of Geography; 2014
Möhring , Newcombe dan Frick .The relation between spatial thinking and
proportional reasoning in preschoolers, Available online 20 February
2015 Journal of Experimental Child Psychology 132 (2015) 213–220.
Journal homepage: www.elsevier.com/locate/jecp; 2015
Newcombe, N.S . Picture this: Increasing math and science learning by
improving spatial thinking, American Educator , Vol. 34, No.2,
http://www.silccenter.org/publ... ; 2010
Newcombe, N. S. , Shipley, T. F. Thinking about Spatial Thinking: New
Typology, New Assessments. In J. S. Gero (Ed.), Studying visual and
spatial reasoning for design creativity (pp. 179-192). Netherlands: Springer
: 2015

91
NRC (National Research Council). Learning to think spatially. Washington DC:
National Academies Press;2006.
Sternberg, Sternberg. Cognitive Psychology.Wadsworth. Cangage
Learning:California; 2012
Tomaszewski, Vodacek, Parody, Holt. Spatial Ability Assessment in Rwandan
Secondary Schools: Baseline Result. Journal on Geography.
www.researchgate.net/publication; 2014
Uttal , Cohen. Spatial Thinking and STEM Education: When, Why, and How? To
appear in B. H. Ross (Ed.), The Psychology of Learning and Motivation;
2013
Uttal, Miller,Newcombe. Exploring and Enhacing Spatial Thinking: Links
toAchievement in science, Technology, Engineering and Mathematics?.
Psycological Science. www.researchgate.net/publication; 2013
Wakabayashi, Ishikawa. Spatial Thinking in Geographic Information Science:a
Reviewof Past Studies and Prospect for The Future, Procedia Social and
Behavioral Science, Elsevier Ltd; 2011

92
BAB VI
PENALARAN INDUKTIF

Oleh : Sandie
Universitas Negeri Malang

93
BAB – VI PENALARAN INDUKTIF

A. DEFINISI DAN KONSEP PENALARAN INDUKTIF


Setiap tindakan kognitif yang dilakukan oleh manusia melibatkan
penalaran. Ada banyak jenis penalaran yang telah dikemukakan. Pada kali ini
akan dibahas secara mendalam mengenai penalaran induktif. Menurut (Feeney,
2007) tanpa penalaran induktif, kita tidak dapat menggeneralisasikan antara satu
premis dengan premis yang lain, atau memprediksi sesuatu hal tanpa
menggunakan penalaran induktif. Menurut (Stenberg dan Stenberg, 2012)
Penilaian dan Pengambilan Keputusan digunakan untuk memilih berbagai pilihan
atau untuk mengevaluasi kesempatan. Secara tidak disadari, kita sering
menggunakan penalaran dengan pola induktif yang mana menyimpulkan
kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan, atau pun pengalaman yang telah kita
lakukan. Misalnya dalam memilih jalan dengan lintasan terpendek dari tempat A
melalui beberapa jalur jalan yang telah kita lalui untuk menuju tempat yang kita
sebut dengan B. Untuk memilih lintasan terpendek ini tentunya kita harus
memiliki pengalaman melalui semua jalur yang dapat dilalui untuk melakukan
perjalanan dari A ke B. Dari setiap jalur perjalanan tentunya secara tidak disadari
kita sudah merekam jejak mengenai jarak, waktu, spasial dari masing-masing
jalan.
Kita sudah menanamkan konsep kepada diri kita bahwa misalnya jalur 1
dekat tapi macet, jalur 2 agak jauh namun banyak lampu merah, jalur 3 jauh
namun bisa lebih cepat dan sebagainya. Secara tidak disadari kesimpulan-
kesimpulan tersebut muncul berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman yang
telah dilakukan. Masing-masing jalur punya karakteristik yang berbeda, ketika
kita akan memilih jalur terpendek dengan karakteristik-karakteristik yang kita
inginkan tentunya pertimbangan-pertimbangan pun dilakukan dalam pemilihan
jalur yang kita inginkan. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang telah
dilalui tentunya, kita dapat melakukan pengambilan keputusan yang didasari
penalaran induktif untuk melalui pilihan jalur yang disesuaikan dengan keadaan
pada waktu tertentu.

94
(Feeney, 2007) mengemukakan alasan pentingnya dalam mempelajari
penalaran induktif yakni : (1) Karena penalaran induktif berhubungan dengan
probabilistik, kepastian, penalaran aproksimasi, dan tentunya berhubungan dengan
penalaran diri seseorang dalam kejadian sehari-hari, (2) penalaran induktif
merupakan aktivitas kognitif multifaset, ini dapat dipelajari dengan memberikan
pertanyaan sederhana kepada seorang anak dengan menggunakan gambar kartun,
atau memberikan pertanyaan kepada orang dewasa mengenai variasi argumen
kompleks dan menanyakannya pada mereka mengenai penilaian probabilitasnya,
(3) penalaran induktif berhubungan dengan, dan dapat dikatakan merupakan
pusat, kegiatan kognitif, mengatagorisasi, menilai kesamaan, dan pengambilan
keputusan. Dari ketiga alasan yang dikemukakan dapat diketahui bahwa,
penalaran induktif amat penting perannya dalam pendidikan matematika.
Dalam psikologi kognitif (Stenberg dan Stenberg, 2012) mengemukakan
dua alasan mengapa orang perlu menggunakan penalaran induktif yakni : (1)
membantu untuk semakin mahir dalam mengerti tentang variabilitas yang besar
dalam lingkungan. (2) membantu untuk memprediksi kejadian di lingkungan,
dengan demikian ketidakpastian dari prediksi suatu kejadian terminimalisir
(Stenberg dan Stenberg, 2012) menyatakan bahwa penalaran induktif
adalah proses penalaran dari fakta atau pengamatan khusus untuk mencapai
kemungkinan kesimpulan yang dapat menjelaskan fakta-fakta. Penalaran Induktif
kemudian dapat menggunakan kemungkinan kesimpulan untuk mencoba
memprediksi kejadian selanjutnya. Menurut Johnson,Laird (dalam Stenberg dan
Stenberg, 2012) orang yang melakukan penalran induktif dapat menggunakan
kemungkinan kesimpulan untuk memprediksi
Dari definisi-definisi yang diungkapkan bahwa secara umum penalaran
induktif merupakan kegiatan kognitif yang mana menyimpulkan secara umum
dari kejadian-kejadian khusus yang telah diamati atau pengalaman. Pada
umumnya, penalaran induktif biasanya berbentuk informal. Dikatakan berbentuk
informal dikarenakan, subyek melakukan pengamatan terlebih dahulu tanpa perlu
tahu akan teori yang telah ada dalam mendukung pengamatannya. Dari masing-
masing pengamatan, subjek tentunya mempunyai kesimpulan dari hasil

95
pengamatan yang dilakukan. Ini terjadi dikarenakan subjek dapat mengambil
kesimpulan dari bagian-bagian pengamatan yang telah dilakukan selama ini.
Penalaran induktif yang dilakukan masing-masing individu akan berbeda
hasilnya. Seperti yang dikatakan bahwa penalaran induktif merupakan
menyimpulkan kejadian secara umum berdasarkan kejadian khusus yang telah
diamati atau pengalaman. Bisa disimpulkan pula bahwa pengalaman dan
pengetahuan juga menjadi tonggak dasar dalam penalaran induktif ini. Dengan
pengalaman dan pengetahuan yang mendalam, tentunya semakin dalam pula
kemampuan penalaran induktifnya dan sebaliknya. Semakin luas pengetahuan
yang dimiliki oleh manusia, semakin banyak pula kesimpulan-kesimpulan
alternative yang dapat disusun.
Menurut (Feeney dan Heit, 2007) Induksi berbasis kategori biasanya
melibatkan tiga komponen. Pertama, mengamati bahwa basis induktif atau
"premis" memiliki properti P (misalnya, bahwa hiu memiliki sirip); kedua,
memutuskan bahwa X dan target atau "kesimpulan" item Y terkait dalam
beberapa cara (misalnya, bahwa hiu dan ikan air tawar keduanya ikan); dan
ketiga, menyimpulkan properti. Investigasi penalaran induktif anak-anak
memungkinkan kita untuk menentukan kapan kemampuan pertama alasan ini
muncul dan untuk memetakan perubahan yang berkaitan dengan usia penting
dalam induksi. Ini juga merupakan alat yang berharga untuk memahami
perkembangan anak-anak representasi kategori.
Pada katagori yang disebutkan di atas menyebutkan akan alasan yang
muncul untuk memetakan per bahan berkaitan dengan usia. Ini bisa kembali kita
kaitkan kembali kaitannya akan definisi penalaran induktif yang menyebutkan
pengalaman. Usia bisa jadi memberikan pengalaman yang berbeda pada masing-
masing manusia. Bertambahnya usia tentunya bertambah pula pengalaman
manusia dalam menjalani hidup ini. Pada saat anak yang memiliki umur 5 tahun
akan berbeda penalarannya dengan anak yang berumur 6 tahun ini dikarenakan
anak yang berumur 6 tahun memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih
luas. Jadi, pengambilan kesimpulan dari suatu kejadian akan lebih luas
pemahamannya dibandingkan dengan anak yang usianya lebih muda.

96
Saya mempunyai pendapat secara pribadi, manusia dengan usia yang lebih
muda memang dikatakan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan manusia dengan usia yang lebih tua. Tapi saya punya
pendapat walaupun, seseorang yang memiliki usia masih muda namun jika sering
mengalami problema-problema yang mendewasakan dirinya sehingga memiliki
pengalaman-pengalaman yang lebih banyak dibanding dengan seseorang dengan
umur lebih tua namun, tidak mengalami problema-problema tidak akan memiliki
pengalaman dan pengetahuan juga dalam menghadapi masalah. Ada pun tipe
manusia yang selalu lari dari masalah, ini justru tidak akan menambah
pengalaman dan pengetahuannya akan penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi. Jadi mungkin saja, mental ksatria juga mempengaruhi penalaran
induktif disini dikarenakan mental ksatria akan selalu menghadapi masalah-
masalah yang mendera dan menyelesaikan secara cerdas terntunya.
Misalkan seseorang mengalami permasalahan yang sama namun
kejadiannya berbeda. Pada kejadian pertama tentunya memerlukan waktu dan
usaha yang lebih besar dalam penyelesaian masalah tersebut. Pada kejadian kedua
pastinya seseorang tersebut sudah memiliki kesimpulan tersendiri dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalah tersebut dengan waktu yang lebih
sedikit, lebih cepat, dan usaha yang tidak sebesar pada permasalahan pertama
dalam penyelesaiannya. Untuk permasalahan-permasalahan selanjutnya, tentunya
seseorang tersebut sudah dapat memperkirakan solusi yang terbaik dalam
penyelesaian masalah tersebut. Jadi bisa disimpulkan disini, pada setiap
permasalahan ada kesimpulan-kesimpulan yang dibangun. Namun dengan
seringnya masalah yang dihadapi akan membuat seseorang memiliki penalaran
induktif yang lebih luas dan lebih akurat dalam penyimpulannya. Semakin sering
seseorang menggeneralisasikan premis-premis khusus akan meningkatkan
kemampuan penalaran induktifnya dalam menggeneralisasikan kesimpulannya
yang didasarkan pada premis-premis khusus.

97
Karakteristik Penalaran Induktif
Untuk mengetahui karakterisasi dari penalaran induktif perlu diketahui
terlebih dahulu mengenai perbedaan dari penalaran deduktif dan penalaran
induktif. Untuk melihat perbedaan ini terdapat dua pandangan menurut (Hayes,
2007) berdasarkan “problem view” dan “process view”. Jika dipandang dari
“problem view” penalaran deduktif dan induktif mengarah pada jenis
permasalahan yang dinalar. Jadi, ini masih menjadi perdebatan yang panjang.
Namun, jika dipandang dari “process view” lebih mengarah pada proses
psikologis.
Perbedaan yang signifikan terjadi pada “process view” seperti ilustrasi
yang penulis ambil kali ini berdasarkan alur dari gambar 1. Pada gambar 1
menggambarkan perbedaan yang sangat jelas antara penalaran deduktif dan
induktif di mana tampak alur dari penalaran deduktif sangat bertolak belakang
dengan penalaran induktif yang mana pada penalaran deduktif dimulai dari
tahapan yang dinamakan teori dengan tujuan akhir adalah konfirmasi dan pada
penalaran induktif dengan dimulainya observasi dan diakhiri dengan teori.

sumber
Gambar 1. Alur Penalaran Deduktif http://www.b0chun.com/
dan Induktif
.

98
Penalaran induktif berangkat pada tahap yang dinamakan observasi.
Dari masing-masing observasinya seseorang tersebut mencari pola
keterkaitan yang dimiliki dari masing-masing observasi atau kejadian. Dari
keterkaitan dari masing-masing kejadian atas hasil observasinya, seseorang
dapat membuat kesimpulan sementara dari masing-masing hasil observasi
dan kejadian. Hasil kesimpulan tersebut dinamakan dengan tentative
hypothesis. Kesimpulan yang bersifat sementara ini diujikan kebenarannya
dengan teori-teori yang telah berkembang.
Pada penalaran deduktif berawal pada teori terlebih dahulu, lalu dari
teori tersebut akan dilakukan praktikum dimana sebelum dilakukannya
praktikum seseorang memulai dengan dugaan-dugaan akan kejadian yang
akan terjadi yang dinamakan dengan hyphotesis. Selanjutnya dilakukan
observasi dan hasil observasi ini dikaitkan dengan hipotesis sementara yang
kebenarannya diujikan dengan teori.
(Hayes, 2007) mengemukakan bahwa katagori berdasarkan penalaran
induktif secara khusus melibatkan tiga komponen yakni mengamati premis-
premis, memutuskan konklusi yang tepat didasarkan pada premis-premis,
menyimpulkan apakah konklusi menjelaskan sifat dari premis. Adapun dasar
yang menggiring seseorang untuk menarik kesimpulan secara induktif yakni :
persamaan persepsi, hubungan taksonomi, hubungan hierarkis,
menghubungkan premis-premis yang berkaitan dilihat dari perbedaan dan
kesamaan, memiliki pengeetahuan mengenai ciri-ciri.
Kesamaan persepsi (Farrar, Raney, dan Boyer, 1992) menyatakan
pengaruh pada persepsi pemikiran secara induktif seseorang pada masa keil
(Osherson et al., 1990; Sloman, 1993) menyatakan kesamaan, tujuannya
saling mendukung dalam hal structural antara dasar dan target induktif yang
berperan penting dalam menentukan ketentuan dari pemikiran induktif.
Dalam menggeneralisasikan premis-premis khusus yang ada menjadi umum
dilihat dari persamaan ciri-ciri yang dimiliki oleh masing-masing premis
sehingga, menggiring seseorang untk menyimpulkan berdasarkan persepsi
yang sama dari masing-masing premis.

99
Hubungan taknsonomi, (Hayes, 2007) menyatakan banyak penelitian
yang menginterpretasikan bahwa seseorang memahami istilah sesuatu dengan
memberikan informasi mengenai katagori keanggotaan dan angora yang
memiliki persamaan katagori cenderung memisahkan antara kesamaan dan
perbedaan dari masing-masing ciri-ciri. Ada dua cara untuk
menginterpretasikan sesuatu. Pertama, pemberian istilah dapat memiliki efek
tidak langsung terhadap penatikan kesimpulan secara induktuf yang befungsi
sebagai isyarat yang mendasari dan menuju pada contoh yang berkatagori
sama. Dengan kata lain, pemberian istilah yang sesuai dapat memberikan efek
yang langsung dengna memberikan fitur yang identik dalam membuath
kesimpulan dari persepsi yang serupa.
Hubungan hierarkis, (Rosch, Mervis, Gray, Johnson, dan Boyes,
Braem, 1976) menyatakan bahwa hal yang penting mengenai tugas
konseptual seperti katagorisasi dan penamaan merupakan hierarkis yang jelas
secara dasar psikologis. Tingkat yang paling istimewa dapat didefinisikan
sebagai level tertinggi dalam suatu hierarki dimana ada keyakinan yang kuat
terhadap ciri-ciri objek dapat digeneralisasi menjadi level yang lebih tinggi.
Menghubungkan premis-premis yang berkaitan mengenai diversity
dan monotonicity. Ketika seseorang akan menyimpulkan secara induktif
maka, ia menggabungkan informasi lebih dari satu premis. Premis
monotonicity merupakan premis dengan ciri-ciri tertentu yang memberikan
kemungkinan besar untuk menggeneralisasi kesimpulan dengan
mempertimbangkan kesamaan dari ciri-ciri masing-masing premis. (Osherson
et al., (1990) premis diversity merupakan premis yang memiliki komponen
yang lebih beragam namun, memiliki relevansi yang besar dan memberikan
penguatan untuk melakukan penalaran induktif.
Pengetahuan mengenai ciri-ciri, ketika seseorang melakukan
generalisasi dari ciri-ciri pernyataan tentang apa yang mereka ketahui, para
ahli dan pemula mendasarkannya pada kesamaan ciri-ciri. Akibatnya,
pengetahuan domainnya dihubungkan dengan lebih baik menggunakan

100
penalran induktif yang didasarkan pada interaksi antara katagori dan ciri-ciri
spesifik.

B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN


Untuk contoh dan bukan contoh hanya diberikan contoh penalaran induktif
dan yang bukan contoh merupakan penalaran deduktif mengingat bertolak
belakangnya kedua penalaran ini. Untuk penalaran induktif misalnya Siswa
diberikan tentang persoalan pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Siswa
diberikan contoh mengenai bahwa emas ketika dipanaskan memuai, tembaga
ketika dipanaskan memuai, timah ketika dipanaskan memuai, nikel ketika
dipanaskan memuai. Dari contoh-contoh yang diberikan oleh guru, siswa dapat
mengenal bahwa emas, tembaga, timah, nikel merupakan sifat dari logam.
Keempatnya merupakan logam dan ketika dipanaskan akan memuai. Jadi dari
premis-premis khusus yang diberikan oleh guru, siswa dapat menyimpulkan
premis umum bahwa logam ketika dipanaskan akan memuai. Untuk contoh yang
kedua Buatlah segitiga lancip dan ukurlah besar tiap-tiap sudutnya dengan busur
derajat. Berapa derajatkah besar ketiga sudutnya? Buatlah pula segitiga siku-siku
dan segitiga tumpul. Berapa derajatkah jumlah ketiga sudut dari tiap-tiap segitiga
tersebut? Siswa membuat tiga buah segitiga dan mengukur besar sudut tiap-tiap
segitiga dengan busur derajat. Dan siswa memperoleh bahwa jumlah ketiga sudut
dalam masing-masing segitiga yang telah buat adalah 180 derajat. Dari tiga
contoh segitiga yang dibuat itu siswa dapat menarik kesimpulan bahwa jumlah
besar ketiga sudut dalam segitiga adalah 180 derajat. Penarikan kesimpulan dari
contoh-contoh seperti ini menggunakan penalaran induktif
Ada pun yang menjadi bukan contoh disini, diberikan contoh mengenai
penalaran deduktif misalnya Siswa diberikan teori oleh guru bahwa logam ketika
dipanaskan akan memuai. Siswa mencari contoh-contoh dari logam apa-apa saja.
Siswa menemukan contoh dari logam seperti emas, tembaga, timah, perak,
platinum merupakan logam. Untuk membuktikan bahwa logam dipanaskan akan
memuai atau tidak, siswa melakukan pengujian apakah emas, tembaga, timah,

101
perak, platinum itu ketika dipanaskan memuai atau tidak. Untuk contoh yang
kedua misalnya Jumlah dua bilangan ganjil akan menghasilkan bilangan genap.
Buktikan kebenaran atau kesalahan pernyataan tersebut secara deduktif.
Dibuktikan secara deduktif dengan melakukan pemisalan secara umum bahwa
bilangan ganjil dapat dituliskan sebagai 2n + 1 untuk n bilangan asli. Maka 2
bilangan ganjil dijumlahkan menjadi (2n + 1)+(2n + 1) = (2n + 2n + 1 + 1) = 4n
+ 2 = 2(2n + 1) Karena 2n + 1 merupakan bilangan ganjil maka 2 kali bilangan
ganjil pasti akan menghasilkan bilangan genap, sehingga terbukti bahwa jumlah
dari 2 bilangan ganjil akan menghasilkan bilangan genap.
Selanjutnya untuk bukan contoh yang ketiga dan keempat mengenai
pembuktian dengan kontradiksi dan kontraposisi dalam membuktikan ”jika
adalah bilangan ganjil, maka adalah bilangan ganjil” dengan bukti tak langsung!
Contoh pembuktian kontradiksi
Untuk membuktikan benar, dapat dilakukan dengan mengandaikan –q
benar. Dari – benar kita tunjukan suatu kontradiksi dengan benar atau dengan
pernyataan benar lainnya. Dengan demikian langkah seharusnya adalah benar
sehingga benar .

Buktikan bahwa ”jika adalah bilangan ganjil, maka adalah bilangan ganjil”
dengan bukti tak langsung!
Jawab : andaikan p maka q tidak benar, artinya andaikan benar
bahwa p dan non q benar
Misalnya n adalah bilangan genap, yaitu .
Karena
Maka
dengan
Sehingga adalah bilangan genap, kontradiksi dengan adalah bilangan
ganjil.
Jadi, terbukti bahwa jika adalah bilangan ganjil, maka adalah bilangan
ganjil.

102
Contoh pembuktian kontraposisi
Untuk membuktikan benar, dapat dilakukan dengan memisalkan –q
benar dan ditunjukan – benar. Dari – diperoleh – benar sehingga (-q => -p)
adalah benar.
Buktikan bahwa untuk semua bilangan bulat , jika adalah bilangan ganjil,
maka adalah bilangan ganjil!
Jawab :
Untuk membuktikan pernyataan di atas dapat dilakukan dengan pembuktian tak
langsung dengan kontraposisi.
Misalnya adalah bilangan ganjil
adalah bilangan ganjil
Akan ditunjukkan bahwa kontraposisinya benar yaitu jika n tidak ganjil maka n2
juga tidak ganjil.
Misalkan a adalah bilangan tidak ganjil
Dapat dinyatakan dengan
Diperoleh

dengan

Jadi, jika a bilangan tidak ganjil maka juga bilangan tidak ganjil
Akan
kemudian misalnya – benar yang berarti adalah bukan bilangan ganjil, yaitu

sehingga

dengan

103
Yang berarti n2 adalah bukan bilangan ganjil.
Dengan demikian, adalah bukan bilangan ganjil
adalah bukan bilangan ganjil
Dan karena – adalah benar dan
Maka terbukti adalah benar.
Jadi, terbukti bahwa jika adalah bilangan ganjil, maka adalah bilangan ganjil.
Untuk memahami lebih mendalam mengenai penalaran induktif tentunya
diperlukan kejelasannya mengenai ciri-ciri apa saja yang mana termasuk dalam
penalaran induktif dan bukan penalaran induktif. Lebih singkatnya penalaran
induktif dibangun dari berbagai premis-premis khusus yang mana menggiring
seseorang untuk menyimpulkan kesimpulan dari premis-premis khusus tersebut.
Ada pun contoh lain dari bukan contoh dari penalaran induktif yakni jika
dalam menyimpulkan sesuatu hanya ditemukan satu buah saja premis khusus
seperti yang biasa kita temukan dalam Tes Potensi Akademik tentunya banyak
kita temukan soal yang mana diberikan suatu kata kunci dan penjawab soal wajib
memahami maksud dari apa yang menjadi arah dari jawaban persoalan. Pada soal
tersebut hanya ditemukan sebuah premis khusus saja, untuk kejadian demikian
tidak dapat dikatakan sebagai penalaran induktif namun lebih tepat untuk
dikatakan sebagai penalaran analogi.
C. PENELITIAN TERKAIT
Kelebihan dan Kelemahan Penelitian Terkait
(Johnson, Merchant, Keil, 2015) menginduksi secara umum dari spesifik
dari ciri-ciri kognisi manusia. Peneliti meminta peserta untuk menentukan
seberapa kuat premis-premis yang ada untuk menyusun sebuah kesimpulan. Pada
penelitian ini menyajikan bukti mengenai teori abduktif dari penelaran induktif
yang ditentukan kesimpulan yang mana sebagai penjelasan dari premis-premis
yang ada dan mengevaluasi kualitas dari penjelasan tersebut. Peserta pada
penelitian in adalah 200 partisipan dari Amazon Mechanical Turk. Ada pun
sebanyak 12 partisipan tereliminir dikarenakan mereka tidak dapat menjawab
dengan benar 30% dari pertanyaan pilihan ganda. Peserta yang dapat
menyelesaikan dengan baik diberikan 8 item pertanyaan dengan kekuatan

104
argument yang diukur dari rentang 0 – 10 (dengan kesimpulan sangat buruk
hingga sangat baik). Pada penalaran induktif penelitian ini menemukan dua pola
dari penjelasan penalaran yang sebelumnya pernah diteliti oleh peneliti lain yakni
(1) sebuah aksimetri bukti antara bukti positif dan bukti negatif dengan keraguan
hasil pengamatan terhadap sebuah hipotesis lebih besar dibandingkan dengan
yang mendukung. (2) Ketidaktahuan tentang bukti perhitungan potensial dalam
mendukung hipotesis. Hasil penelitian ini menunjukkan penalaran induktif
bergantung pada kesamaan hipotesis yang sama yang mekanisme evaluasi
merupakan sebuah alasan yang jelas. Adapun temuan lain dalam penelitian ini
yakni fenomena penalaran induktif yang pembicaraannya dalam mendukung
penalaran abduktif, ada pun kesimpulannya yakni ketika orang-orang beralasan
induktif dari premis khusus menuju pada kesimpulan yang mana kesimpulan
harus di dukung oleh tempat sejauh bahwa kesimpulan muncul menjadi
penjelasan yang baik dari suatu tempat.
(Zhang, Terai, dan Nakagawa, 2013) menunjukkan akan kegunaan
penalaran induktif tidak hanya sebatas pada sebuah ilmu semata namun,
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegunaan dalam kehidupan sehari-
hari yakni untuk membangun model komputasi dari penalaran induktif yang
mewujudkan CAE untuk Bahasa Asing. Tujuan dari penelitian ini perbandingan
penalaran induktif antara Cina dan Jepang berdasarkan model komputasi.
Penelitian ini dilakukan di jepang dengan 38 mahasiswa yang terdiri dari 18
mahasiswa sarjana dan 20 mahasiswa pascasarjana. Peserta tereliminir menjadi 15
mahasiswa sarjana dan 18 mahasiswa pascasarjana. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada penelitian kuantitatif yakni memiliki pengaruh yang
signifikan pada penalaran induktif dalam Bahasa Jepang, sementara tidak
memiliki efek pada Bahasa Cina. Namun sebaliknya, kondisi argument pada
penelitian kualitatif menunjukkan memiliki pengaruh yang signifikan pada
penalaran induktif dalam Bahasa Cina, sementara sebagian besar berpengaruh
pada Bahasa Jepang.
Menurut (Csapo, 1997) menghubungkan dua paradigma penelitian yang
mempelajari atribut dan mekanisme penalaran induktif dan mencoba untuk

105
membuat pembelajaran sekolah lebih bermakna dan pengetahuan yang lebih
mudah dipahami dan diterapkan dengan meneliti bagaimana penalaran induktif
berkembang selama rentang usia sekolah yang signifikan dan kaitannya dengan
fungsi-fungsi kognitif lainnya. Tes yang diberikan yakni ada 6 tes yakni analogi
penomoran, analogi verbal, seri jumlah, seri lisan, koding, pengecualian yang
diberikan kepada siswa kelas 11 yang lebih dari 2000 siswa. Hasil penelitian
menggunakan model analisis regresi menunjukkan bahwa penalaran induktif
menyumbangkan dua kali lebih besar dari proporsi tes yang mengukur ilmu
pengetahuan terapan dalam situasi sehari-hari.
(Feeney, 2015) menganalisa penalaran asosiatif dan pengetahuan
terstruktur yang mendukung kemampuan peserta untuk menggeneralisasi property
genetic dari spesies ke taksonomi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penalaran asosiatif dan pengetahuan terstruktur terlibat serta mempengaruhi
keputusan tunggal dalam pengklasifikasian menurut taksonomi yang terkait. Hasil
penelitian ini pun didukung oleh Model Bayesian yang memaparkan bahwa
penalaran induktif seseorang mewakili hubungan terstruktur ketika melakukan
penalaran sesuai dengan domain yang bersangkutan.
Prospek Penelitian Lanjutan
Pada penelitian pertama yakni untuk meneliti lebih lanjut mengenai
interpretasi abduktif dari fenomena penalaran induktif lainnya. Untuk penelitian
kedua meneliti kembali mengenai alasan penting dari perbedaan yang kontras
antara penelitian kuantitatif dan kualitatif terhadap penalaran induktif yang
diterapkan CAE Bahasa Cina dan Jepang. Selanjutnya dari penulis sendiri
memberikan saran mengenai bagaimana proses penalaran induktif pada aspek
yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari dan ciri-ciri undividu yang
bernalar induktif itu seperti apa.
Untuk saran selanjutnya mengenai proses pengembangan kemampuan
berpikir kritis pada penalaran induktif. Selanjutnya perlu diselidiki juga apakah
pada penalaran induktif menjangkau objek penelitian mengenai konsep-konsep
dasar penyelesaian masalah. Misalnya pada penyelesaian permasalahan barisan,

106
apakah objek penelitian pola berpikirnya sampai tidak pada dasar-dasar konsep
dari fungsi.

REFERENSI

Csapo, B. (1997). The Development of Inductive Reasoning:Crosssectional


Assessments in an Educational Context. International Journal of
Behavioral Development, 609-626.

Farrar, M.J., Raney, G.E., dan Boyer, M.E. (1992). Knowledge, concepts, and
interferences in childhood. Child Development, 63, 73-691.

Feeney, A. (2015). Relations Between Assosiative and Structured Knowledge in


Category-Based Induction. Researchgate.

Feeney, A., & Heit, E. (2007). Inductive Reasoning Experimental, Developmental,


and Computational Approaches. Cambridge: Cambridge University Press.

Hayes, B. K., The Development of Inductive Reasoning. Inductive Reasoning


Experimental Developmental and Computational Approaches.
Cambridge:Cambridge University Press
Johnson, S. G., Merchant, T., & Keil, F. C. (2015). Argument Scope in Inductive
Reasoning: Evidence for an Abductive Account Induction.
http://www.researchgate.net/publication/276145083. Unites State of
America: researchgate.

Osherson, D.N., Smith, E.E., Wilkie, O., Lopez, A., dan Shafir, E. (1990).
Category-based induction. Psychological Review, 97, pp.185-200
Rosch, E., Mervis, C.G., Gray, W.D., Johnson, D.M., dan Boyes-Braem, P.
(1976). Basic objects in natural categories. Cognitive Psychology, 8, 382-
439.
Sloman, S.A. (1993). Feature-based induction. Cognitive Psychology, 25, 231-280
Stenberg, R. J., & Stenberg, K. (2012). Cognitive Psychology. United States of
America: Wadsworth.

107
Goswami, U., (2011). Inductive and Deductive Reasoning. Handbook of
Childhood Cognitive Development. pp 319-419
Zhang, Y., Terai, A., & Nakagawa, M. (2013). The Comparison of Inductive
Reasoning Under Risk Conditions Between Chinese And Japanese Based
On Computational Models:Towards The Application To Cae For Foreign
Language. International Conference on Educational Technologies, 119-
124.

108
BAB VII
PERUBAHAN KONSEPTUAL

Oleh : Saiful Hadi


Universitas Negeri Malang

109
BAB – VII PERUBAHAN KONSEPTUAL

A. PENDAHULUAN
Tujuan dari pendidikan matematika adalah siswa benar-benar memahami
konsep-konsep matematika daripada hanya mekanik menghafal dan membaca.
Oleh karena itu, perlu ditekankan untuk meningkatkan kemampuan konstruksi
konseptual dan transformasi pada siswa. Hal ini sejalan dengan pandangan
konstruktivisme, bahwa pengetahuan akan dibentuk atau dibangun di dalam
pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk mengorganisasikan pengalaman
barunya berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya
(Baki, 2008). Dengan demikian, belajar matematika merupakan proses
memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa sendiri
melalui transformasi pengalaman individu siswa.

Siswa tidak masuk ke kelas seperti sebuah "papan tulis kosong" (Pinker
2003, Resnick, 1983), mereka sudah membangun kerangka konsep yang mereka
pelajari di kelas dari pengalaman pribadi mereka sendiri; akurasi dan kebenaran
dari struktur konsep ini bervariasi dari tiap-tiap siswa. Siswa tidak belajar domain
baru suatu pengetahuan dari awal. Sebaliknya mereka harus mengintegrasikan
informasi baru dengan yang sudah ada pada mereka, beberapa di antaranya
mungkin salah atau tidak konsisten dengan pengetahuan baru. Apa yang terjadi
ketika siswa menghadapi informasi baru yang bertentangan dengan fakta-fakta
yang mereka anggap benar, terutama bila fakta-fakta yang sangat mendalam? Ini
adalah masalah yang dieksplorasi oleh penelitian tentang perubahan konseptual:
restrukturisasi dan mungkin meninggalkan suatu pengetahuan atau penambahan
sederhana fakta-fakta baru ke pengetahuan dasar.

Istilah perubahan konseptual dalam bahasa inggris Conceptual Change


diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya, The Structure of Scientific
Revolutions (Kuhn, 1970) yaitu untuk menunjukkan bahwa konsep yang tertanam
dalam teori ilmiah berubah arti ketika teori (paradigma) berubah. Secara historis,
teori perubahan konseptual berdasarkan pada filosofi pembelajaran

110
konstruktivisme khususnya berasal dari teori perkembangan konstruktivis kognitif
Piaget (1929). Dalam psikologi kognitif istilah perubahan konseptual diartikan
sebagai perubahan dalam proses dan hasil (Dole dan Sinatra, 1998). Keterkaitan
perubahan konseptual dan pembelajaran dalam psikolog kognitif memiliki
sejumlah akar sejarah seperti pada gambar 1.

Perubahan konseptual adalah proses di mana konsep-konsep dan hubungan


antara konsep-konsep tersebut berubah selama hidup atau selama sejarah
seseorang. Perubahan konseptual didasari dari interdisipliner tiga bidang ilmu
berbeda - psikologi perkembangan kognitif, ilmu pendidikan, dan ilmu sejarah
dan filsafat (www.wikipedia.com).

Gambar 1. Alur Perubahan Konseptual (Dole dan Sinatra, 1998)

Begitu beragam arti dari istilah perubahan konseptual, mulai dari teori-
teori kognisi sampai teori sosialisasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak ada
definisi umum tentang apa yang dimaksud dengan perubahan konseptual. Namun,
perbedaan utama diantara teori perubahan konseptual dapat dilihat dari cara
mereka menjelaskan perubahan. Beberapa dari teori disajikan di bawah ini.

111
1) Posner dkk : pendekatan asimilasi dan akomodasi
Posner, Strike, Hewson dan Gertzog (1982) menjelaskan bagaimana
konsep berubah dalam pengaruh ide-ide baru atau informasi baru. Dua jenis
perubahan konseptual dijelaskan dalam teori ini dengan menggunakan dua istilah
Piaget yaitu asimilasi dan akomodasi. Istilah asimilasi digunakan untuk
penambahan informasi ke struktur pengetahuan yang sudah ada dan istilah
akomodasi untuk modifikasi atau berubah struktur pengetahuan yang sudah ada
(Piaget, 1985).

Posner dkk memandang proses perubahan konseptual diawali oleh proses


asimilasi kemudian akomodasi. Melalui asimilasi, siswa menggunakan
konsepsinya yang telah ada untuk merespon fenomena yang baru. Sedangkan
akomodasi merupakan proses perubahan konseptual dikarenakan konsepsi siswa
tidak sesuai dengan fenomena yang baru; konteksnya berbeda. Namun seringkali
konsepsi siswa tidak memadai untuk memungkinkan dia dalam memahami
beberapa fenomena baru. Maka siswa harus mengganti atau mengatur ulang
konsep utamanya. Bentuk yang lebih radikal dari perubahan konseptual ini
disebut dengan akomodasi. Posner dkk. (1982) menyatakan bahwa perubahan
konseptual dapat terjadi pada siswa karena beberapa kondisi, yaitu:

1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsepsi yang telah ada (Dissatisfaction).


Menurut Posner dkk. (1982) siswa tidak menerima konsepsi baru dengan
mudah sampai mereka menyadari bahwa konsepsi alternatif mereka tidak
bekerja lagi. Dengan kata lain, ketika siswa menghadapi fenomena baru
mereka mencoba untuk menjelaskannya dengan bantuan konsep yang ada.
Selain itu, jika siswa tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang
fenomena siswa tidak akan mempertanyakan fenomena apakah memiliki fitur
yang tidak relevan atau relevan. Oleh karena itu, siswa penting untuk memiliki
pengetahuan dan menyadari bahwa konsepsinya saat ini tidak berhasil
menjelaskan fenomena; Oleh karena itu, mereka harus mengubah atau
memodifikasi untuk menerima konsep-konsep baru.

112
2. Konsepsi yang baru harus dapat dimengerti (intelligible). Dengan kata lain,
siswa harus tahu apa arti dan menemukan bahwa konsep itu masuk akal.
Hewson dan Hennessey (1992) menjelaskan bahwa dalam rangka konsep
untuk dapat dipahami, siswa harus tahu apa arti dari konsep dan mereka harus
mampu menjelaskan konsep dengan kata-kata mereka sendiri. Selain itu,
mereka harus mampu memberikan contoh dan bukan contoh dan harus
menemukan cara seperti menggambar, berbicara, peta konsep, untuk mewakili
ide-idenya kepada orang lain.
3. Konsepsi yang baru harus masuk akal (plausible). Dengan kata lain, siswa
harus percaya bahwa konsep tersebut wajar dan konsisten menurut
pemahaman mereka. Dalam rangka konsep menjadi masuk akal, Hewson dan
Hennessey (1992) menyatakan bahwa siswa harus menemukan konsep
dimengerti dan konsep ini harus sesuai dengan pemahaman mereka. Selain itu,
konsep harus konsisten dengan konsep-konsep lain yang terkait.
4. Konsep yang baru harus berdaya guna atau bermanfaat (fruitful) dalam
pengembangan penemuan yang baru. Dengan kata lain, konsep baru harus
mencapai sesuatu yang bernilai untuk siswa. Hewson dan Hennessey (1992)
menunjukkan bahwa konsep harus dimengerti, masuk akal, dan berguna dan
siswa harus dapat menerapkannya ke konsep lain dan konsep-konsep ini harus
menjadi penjelasan yang lebih baik.

Perubahan konseptual menurut Posner dkk. dapat diilustrasikan dalam


gambar 2.

113
Gambar 2. Alur Perubahan konseptual Posner

Perubahan konseptual tergantung pada kondisi di atas. Selain itu,


perubahan konseptual tidak terjadi tanpa perubahan secara bersamaan dengan
statusnya relatif dari perubahan konsepsi (Hewson & Hewson, 1991). Sebagai
contoh, jika kondisi yang lebih terpenuhi maka status konsepsi dinaikkan, di sisi
lain jika kondisi yang terjadi jarang maka status konsepsi diturunkan.

Posner dkk. (1982) mengidentifikasi bahwa ekologi konseptual siswa


adalah kunci untuk model perubahan konseptual karena tanpa konsep seperti itu
tidak mungkin bagi siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang fenomena
tersebut, untuk mengetahui apa yang akan dijelaskan sebagai jawaban atas
pertanyaan, atau untuk membedakan relevan dari fitur yang tidak relevan dari
fenomena. Istilah ekologi konseptual digunakan untuk menggambarkan
bagaimana pembelajaran baru terus menerus terintegrasi, dimodifikasi atau
ditolak dari kerangka konseptual siswa. Strike dan Posner (1985)
mengembangkan gagasan konsepsi siswa yang disesuaikan dengan berbagai
faktor kognitif yang meliputi apa yang mereka disebut ekologi konseptual siswa.

114
2) Thagard : pendekatan revolusi konseptual
Thagard (2003) menjelaskan bahwa perubahan konseptual adalah
penciptaan dan perubahan representasi mental yang sesuai dengan kata-kata. Jenis
paling sederhana dari perubahan konseptual adalah ketika orang belajar konsep
baru. Jenis yang lebih menantang terjadi ketika konsep yang ada harus
disesuaikan dan direorganisasi untuk mengakomodasi informasi baru. Sedangkan
perubahan konseptual yang radikal yaitu, pengembangan pengetahuan yang
melibatkan pergeseran di mana kumpulan konsep penting menjalani perubahan
dalam pemaknaan. Dalam kasus tersebut, belajar bukan hanya suatu hal akumulasi
konsep baru dan keyakinan; juga memerlukan revisi substansial dan
restrukturisasi representasi mental. Perubahan konseptual yang seperti itu disebut
sebagai branch jumping atau tree switching.

Secara lengkap, Thagard (1992) dalam bukunya Conceptual Revolutions,


membedakan berbagai tingkat dari perubahan konseptual sebagai berikut:

1. Menambahkan contoh baru dari konsep,


2. Menambahkan aturan baru yang lemah,
3. Menambahkan aturan yang kuat baru yang sering memainkan peran pada
pemecahan masalah dan penjelasan,
4. Menambahkan bagian-hubungan baru,
5. Menambahkan jenis-hubungan baru,
6. Menambahkan konsep baru,
7. Melemahkan bagian dari jenis hirarkis, meninggalkan perbedaan sebelumnya,
8. Pengorganisasian ulang secara hirarkis dengan branch jumping, yaitu konsep
bergeser dari satu cabang ke cabang lain pada pohon hirarkis.
9. Tree switching, yaitu, mengubah prinsip pengorganisasian pohon hirarkis,

Perubahan jenis pertama, menambahkan contoh baru, melibatkan


perubahan pada struktur konsep. Jenis kedua dan ketiga perubahan melibatkan
menambahkan aturan kekuatan yang berbeda. Istilah "lemah" dan "kuat"
menunjukkan pentingnya aturan untuk pemecahan masalah. Dengan demikian
perbedaan antara perubahan 2 dan 3 adalah perubahan pragmatis. Perubahan 4,

115
menambahkan bagian-hubungan baru, bisa disebut dekomposisi. Perubahan
konseptual biasanya terjadi pada bagian-hierarki ketika bagian baru ditemukan.
Penambahan dalam perubahan 1 sampai 5 hanya akan terjadi ketika seseorang
telah membentuk konsep yang berbeda dari entitas yang sudah ada. Konsep dapat
ditambahkan untuk berbagai alasan, termasuk perpaduan. Konsep baru juga dapat
diperkenalkan untuk alasan memperjelas konsep yang sudah ada.

Untuk memberikan perspektif yang sedikit berbeda, Gambar 3


memberikan sebuah taksonomi berbagai jenis perubahan secara epistemik. Revisi
keyakinan melibatkan penambahan atau penghapusan keyakinan. Perubahan
konseptual melampaui revisi keyakinan ketika melibatkan penambahan,
penghapusan, atau reorganisasi konsep, atau redefinisi sifat yang hirarkis.

Gambar 3. Taksonomi jenis-jenis perubahan menurut Thagard

3) Vosniadou: pendekatan teori framework


Vosniadou (1994) menyatakan bahwa perubahan konseptual adalah
sebuah proses yang memungkinkan siswa untuk menyintesis model mental dalam
pikiran mereka, dimulai dengan framework awal mereka yang sudah ada. Siswa

116
sebelum melakukan pembelajaran sudah memiliki beberapa framework awal
berdasarkan pengalaman pribadi sebelumnya. Melalui pembelajaran tentang topik
yang ada pada framework awal menyebabkan beberapa kontradiksi dalam model
mentalnya, yang pada gilirannya menghasilkan ketidakstabilan pada representasi
mental.

Gambar 4. Alur Perubahan Konseptual Vosniadou

Kombinasi bahan pembelajaran dan framework awal, atau model mental


siswa yang ada, membentuk ketidakstabilan pemaknaan sintetis. Pemaknaan
sintetis ini tidak koheren dan menyebabkan ketidakstabilan internal, dan
mengingat fakta bahwa siswa mencari suatu framework yang koheren tentang
kinerja fenomena fisik, dimulai dari menghilangkan inkoherensi internal. Resolusi
inkoherensi internal yang dilakukan dengan reorganisasi struktur pengetahuan
yang ada, dan dalam proses ini pengetahuan sebelumnya merupakan sebuah
stimulus untuk perubahan, dan merupakan hambatan untuk berubah.

Berkaitan dengan reorganisasi struktur pengetahuan Vosniadou dan


Brewer (1987) menyatakan bahwa ada dua jenis reorganisasi struktur pengetahuan
yang disebut restrukturisasi lemah dan restrukturisasi radikal. Restrukturisasi
lemah memungkinkan informasi baru yang akan terakumulasi dan hubungan baru
terjadi antara ide-ide yang ada, tanpa mengubah konsep inti. Proses ini mirip
dengan asimilasi Piaget. Di sisi lain, dalam rangka restrukturisasi radikal,
perubahan konsep inti dan struktur pengetahuan harus berlangsung. Selain itu,
belajar digambarkan sebagai proses yang membutuhkan reorganisasi besar
struktur pengetahuan yang ada (Vosniadou, 2003).

117
Seperti disebutkan sebelumnya, peserta didik mengasimilasi informasi
baru dengan konsep yang dimiliki. Proses asimilasi disebut dengan pengayaan.
Selain itu, peserta didik harus mengganti atau memodifikasi skema yang sudah
ada melalui akomodasi yang disebut dengan revisi (Vosniadou, 1994).

4) Chi dan Roscoe : pendekatan kategori


Chi dan Roscoe (2002) memandang perubahan konseptual sebagai
perbaikan miskonsepsi, model mental awal siswa yang naif dan didasarkan pada
konsepsi yang salah, dan seharusnya diganti dengan pemahaman yang luas.
Miskonsepsi didefinisikan sebagai miskategorisasi konsep dan dipandang sebagai
hambatan bagi perubahan konseptual. Miskonsepsi siswa berarti bahwa ada
konsep dalam struktur mentalnya yang dikategorikan tidak benar, dan kategori
yang benar harus ditemukan, atau dibuat. Oleh karena itu perubahan konseptual
adalah pergeseran konsep dari kategori yang salah untuk kategori yang benar
(Chi, 1992). Proses ini disebut kelalaian miskonsepsi, dan menghasilkan
pembentukan model mental yang benar atau berubah.

Gambar 5. Alur Perubahan Konseptual Chi

Melalui pengakuan/ rekognisi konsepsi yang salah, dan berusaha untuk


menggantinya, siswa terlibat dalam proses perbaikan yang menghasilkan
perubahan konseptual. Terdapat beberapa kesalahpahaman yang mudah diperbaiki
dengan pembelajaran, namun ada juga beberapa kesalahpahaman menolak

118
perubahan walau setelah melalui pembelajaran. Perubahan konseptual terjadi baik
melalui proses asimilasi (menambahkan elemen pengetahuan baru dengan struktur
pengetahuan yang ada), atau melalui proses perubahan mendasar (mengoreksi
potongan-potongan/pieces pengetahuan), dan dalam kedua kasus itu adalah
prosesnya secara bertahap.

Chi (2008) membedakan antara tiga jenis perubahan konseptual: (1)


pergeseran kategori; (2) revisi keyakinan; dan (3) transformasi model mental.
Pergeseran kategoris sebagaimana diuraikan di atas melibatkan mengubah posisi
cabang kategori dalam hirarki kategori. Revisi keyakinan terjadi pada rincian-
rincian dari keyakinan proporsional, yaitu ketika informasi baru secara logis tidak
konsisten dengan keyakinan sebelumnya. Jenis ketiga perubahan konseptual
dalam teori Chi adalah transformasi model mental, yang merupakan kasus khusus
dari revisi keyakinan. Model mental adalah kelompok terorganisir dari keyakinan
proporsional yang dapat memprediksi perubahan dan hasil dalam situasi atau
sistem. seperti sistem peredaran darah manusia. Ketika model mental cacat
“flawed”, maka menghasilkan penjelasan dan prediksi yang salah. Dua model
mental (misalnya, cacat dan model yang benar) terjadi konflik ketika mental
model tersebut membuat prediksi dan penjelasan yang saling tidak konsisten,
meskipun keyakinan tidak secara eksplisit bertentangan. Model mental pada
akhirnya berubah karena revisi keyakinan yang membentuk model mental. Oleh
karena itu, informasi baru harus terjadi konflik secara eksplisit atau implisit
dengan keyakinan pada model mental.

5) diSessa : pendekatan pengetahuan dalam potongan-potongan


Prinsip utama dari perubahan konseptual adalah struktur mental yang
berpengaruh pada diri siswa mendukung atau menghambat belajar (diSessa,
2008). Selanjutnya diSessa dkk. (1998, 2002) menyatakan bahwa perubahan
konseptual adalah reorganisasi beragam jenis pengetahuan ke dalam sistem yang
kompleks pada pikiran siswa. Selain itu, ia berpendapat bahwa pengetahuan siswa
pemula berupa seperti potongan-potongan pengetahuan. Potongan-potongan ini

119
disebut primitif fenomenologi dan disimbolkan dengan p-prims, kemudian p-
prims menyatu untuk membentuk konsep individual (diSessa, 1993). P-prim
dianggap sebagai fenomenologi karena merupakan respon dari fenomena yang
dialami dan diamati oleh siswa. P-prim adalah struktur pengetahuan kecil yang
berisi konfigurasi dari beberapa bagian.

Selain itu, p-prim menjelaskan struktur yang disebut jaring kausal yang
dapat dideskripsikan sebagai harapan intuitif orang pada kausalitas. diSessa dan
Sherin (1998) menunjukkan bahwa jaring kausal adalah pengganti untuk teori-
teori yang melatarbelakangi pengamatan.

Perubahan konseptual dianggap sebagai reorganisasi yang meningkatkan


koherensi internal p-prim. Pada model ini pengetahuan meningkat dengan
menyempurnakan dan restrukturisasi p-prim. Dengan kata lain, beralih dari
pengetahuan intuitif ke pengembangan keahlian yang dibutuhkan,
menyempurnakan dan diferensiasi p-prim.

Gambar 6. Alur Perubahan Konseptual diSessa

Pengetahuan sebelumnya memungkinkan untuk membuat perubahan


konseptual, karena perubahan konseptual melibatkan pengorganisasian dari
potongan-potongan yang terfragmentasi dari pengetahuan yang ada. Perubahan
konseptual merupakan membangun sistem pengetahuan yang kompleks yang
memuat beberapa unsur-unsur konseptual yang diubah dan terintegrasikan.

120
6) Ivarson dkk: pendekatan sosiokultural
Ivarson, Scholtz, dan Saljo (2002) menyatakan bahwa perubahan
konseptual terjadi melalui penggunaan alat mental (seperti konsep); alat budaya
(misalnya bahasa); dan alat-alat fisik (seperti peta dan bola dunia), dalam kegiatan
sosial. Mereka mengatakan kognisi manusia disosialisasikan melalui partisipasi
dalam kegiatan di mana alat-alat yang digunakan untuk tujuan tertentu".

Gambar 7. Alur Perubahan Konseptual Ivarson

Perubahan konseptual tidak terjadi secara individual, melainkan terjadi


dalam interaksi antara individu, alat dan individu lainnya. Perubahan konseptual
meliputi fungsi baru untuk menggunakan alat, dan kognisi didefinisikan sebagai
penggunaan alat.

Rusanen dan Lappi (2013) menjelaskan bahwa 1) tidak ada kesepakatan


tentang apa saja jenis-jenis perubahan konseptual, dan 2) tidak ada konsensus
tentang bagaimana mekanisme perubahan konseptual. Namun berdasarkan teori-
teori di atas dapat disusun karakteristik dari perubahan konseptual sebagai berikut:

121
Tabel 1. Karakteristik perubahan konseptual menurut beberapa teori

Apa Perubahan Apa yang Bagaimana perubahan


Teori
Konseptual? berubah? terjadi?

Posner Perubahan adalah Pengetahuan Bertahap: dissatisfaction,


konsepsi tidak sesuai (asimilasi- intelligibel, plausible,
dengan fenomena akomodasi) fruitful
yang baru

Thagard Perubahan adalah Pengetahuan Brand jumping


revisi dan
Tree switching
restrukturisasi

Vosniadou Perubahan adalah Mental model (dari Bertahap: Penambahan


sistesis inkoheren ke informasi baru dari
koheren) pembelajaran ke penjelasan
awal dan pengorganisasian
konflik

Chi dan Perubahan adalah Mental model (dari Bertahap: perbaikan konsep
Roscoe pergeseran salah ke benar) yang salah

Disessa Perubahan adalah Pengetahuan (dari Bertahap: pengorganisasian


pengorganisasian tidak terstruktur ke p-prims
terstruktur)

Ivarson Perubahan adalah Penggunaan alat Bertahap


penggunaan alat-alat (dari tidak efektif ke
efektif)

Selanjutnya, istilah perubahan konseptual penulis artikan sebagai suatu


proses di mana konsepsi awal yang siswa miliki bertentangan dengan pengetahuan
(konsep) baru yang sedang dipelajari sehingga siswa memutuskan untuk beralih
ke konsep yang baru. Dalam perubahan konseptual terdapat beberapa tahap
(mungkin tidak linier) yang meliputi proses mengenali (recognizing),
pemanggilan kembali (recalling), mengevaluasi (evaluating) konsepsi dan
persepsi, kemudian memutuskan (deciding) apakah perlu membangun ulang
(reconstructing) atau tidak konsepsi dan persepsi tersebut dengan yang baru,

122
penggambaran kesimpulan (drawing conclutions) tentang konsep baru,
menandakan (indicating) di mana konsep tersebut harus dikategorikan.

B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Untuk menjelaskan teori perubahan konseptual berikut disajikan dua
contoh perubahan konseptual dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan teori yang
berbeda pada pendidikan matematika.

1. Contoh perubahan konseptual tentang garis singgung dengan menggunakan


teori perubahan konseptual Vosniadou.

Gagasan garis singgung diperkenalkan dalam tiga tahap selama mahasiswa


duduk di bangku kuliah. Pada awalnya, di Geometri Euclid, mahasiswa belajar
garis singgung pada lingkaran sebagai garis yang memiliki tepat satu titik yang
sama dengan lingkaran (garis singgung adalah suatu garis yang memotong
lingkaran tepat di satu titik dan tegak lurus terhadap jari-jari pada titik
perpotongannya). Secara intuisi sifat dari garis singgung adalah mempunyai titik
yang sama pada lingkaran dan membagi bidang dalam dua bagian, yang salah
satunya memuat lingkaran.

Gambar 8. Garis singgung pada lingkaran

Kemudian, pada Geometri Analitik, mahasiswa diperkenalkan dengan irisan-


irisan kerucut. Dalam kasus ini, definisi garis singgung adalah lebih canggih:
"garis singgung pada suatu kurva di titik P adalah posisi pembatas dari garis-garis
secan PQ sehingga Q mendekati P". Sifat memiliki tepat satu titik yang sama

123
(pada geometri euclid) tetap berlaku pada irisan kerucut (gambar (ii)), tetapi tidak
cukup untuk menentukan garis singgung; ada garis yang memiliki satu titik yang
sama pada parabola atau hiperbola dan itu bukan merupakan garis singgung.

Gambar 9. Garis singgung pada kurva

Di sisi lain, sifat ini berlaku untuk semua kasus kecuali hiperbola, di mana
garis singgung memisahkan dua bagian. Akibatnya, kita dapat mengatakan bahwa
sifatnya tetap benar, bahkan dalam kasus hiperbola, namun untuk bagian-bagian
secara terpisah. Oleh karena itu, tidak ada keharusan bagi mahasiswa untuk
mengubah gambaran intuitif mereka sebelumnya tentang dua sifat pada garis
singgung lingkaran. Sebuah adaptasi keyakinan kecil mereka cukup untuk
mengasimilasi pengetahuan baru tentang garis singgung pada irisan-irisan kerucut
(pengetahuan mereka yang sudah ada tentang garis singgung lingkaran). Dalam
hal ini, hanya membutuhkan pengayaan pengetahuan tentang garis singgung.

Akhirnya, dalam mata kuliah Kalkulus, mahasiswa menemukan konsep


garis singgung dari suatu kurva pada titik. Pada tingkat ini, garis singgung kurva
didefinisikan melalui konsep derivatif/ turunan. Bahkan, definisi ini adalah sama
pada Geometri Analitik. Perbedaannya adalah bahwa tidak ada sifat di atas tetap
berlaku secara umum. Ada fungsi yang memiliki garis singgung lebih dari satu
titik potong dengan kurva atau membagi kurva menjadi dua atau lebih bagian
(gambar (iii)).

Dalam kaitannya dengan teori perubahan konseptual, ide-ide yang


berkaitan dengan konsep garis singgung lingkaran adalah persepsi/ keyakinan,
yang bertindak sebagai penghalang untuk proses penguasaan konsep garis

124
singgung pada kurva. Pada saat mahasiswa menghubungkan informasi yang
mereka terima tentang garis singgung dengan pengetahuan mereka pada sifat
lingkaran biasanya menghasilkan model sintetis. Model sintetis ini adalah "intuisi
sekunder tanpa penyempurnaan formal" yang hanya didasarkan paradigma pada
lingkaran.

2. Contoh perubahan konseptual tentang poligon dengan menggunakan teori


perubahan konseptual Chi.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya Chi (1992) membedakan perubahan


konseptual dalam kategori. Sebagai contoh, Gambar 10 menunjukkan diagram
pohon untuk merepresentasikan sub kategori pada konsep poligon. Seperti yang
terlihat pada gambar, segi enam dapat dikategorikan berdasarkan sisi-sisinya,
apakah sisinya sama atau tidak. Selanjutnya, segi enam sama sisi dapat
diklasifikasikan yang berhubungan dengan sifat keteraturan. Segi enam beraturan
merupakan cabang dari segi enam sama sisi karena segi enam beraturan memiliki
beberapa sifat khusus, yaitu sudut dalam dan juga sudut luar ukurannya harus
sama, sedangkan sifat ini bukan kondisi yang diperlukan untuk segi enam sama
sisi. Hal ini sering mengakibatkan terjadinya miskonsepsi pada siswa saat
mengembangkan konsep segi enam beraturan.

Gambar 10. Sub-kategori dari poligon

Chi (1992) menegaskan tiga jenis perubahan konseptual dalam kategori,


yang berfungsi untuk mengubah miskonsepsi.

Penyempurnaan bagian dari keseluruhan hubungan.

125
Trapesium dapat didefinisikan sebagai segi empat yang memiliki dua sisi yang
berhadapan sejajar sementara jajaran genjang dapat dianggap sebagai segi empat
di mana sisi yang berhadapan yang lainnya juga sejajar, hal ini merupakan sifat
tambahan yang dimiliki oleh trapesium. Dengan demikian, siswa dapat
menafsirkan hubungan antara kedua konsep sebagai salah satu kasus yang
diilustrasikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Reorganisasi konsep segi empat

pergeseran dari (a) ke (b) membutuhkan reorganisasi konsep, karena tidak ada
pengetahuan baru yang diperoleh.

Pembentukan kategori baru

Segi enam beraturan memiliki sudut yang sama sedangkan segi enam sama sisi
mungkin memiliki sudut yang tidak sama (lihat Gambar 12). Perubahan yang
terjadi di sini merupakan hasil dari proses kognitif karena siswa membedakan satu
kelompok bangun dari segi enam beraturan dan tidak beraturan (gambar 12-a)
sehingga membentuk cabang baru di bawah pohon yang sama yaitu segi enam
sama sisi (gambar 12-b).

Oleh karena itu, perubahan konseptual dalam kasus ini dapat dianggap
sebagai proses akuisisi daripada perpindahan langsung dari sub kategori. Proses
kognitif tersebut adalah jenis diferensiasi dan integrasi serta generalisasi sub
kategori karena siswa harus menempatkan upaya kognitif untuk membedakan
konsep saat yang ada dan mengintegrasikan dengan cara yang berbeda untuk
membangun skema kognitif baru.

126
Gambar 12. Reorganisasi konsep segi enam

Pengklasifikasian kembali kategori yang ada.

Pengklasifikasian kembali gambar 10 sebagaimana yang diilustrasikan pada


gambar 13 memerlukan pembentukan struktur kategori baru. Jenis transformasi
ini adalah mengubah dari satu struktur kategori yang ada ke satu yang lainnya
yang dapat dilakukan tanpa migrasi konsep bahkan tanpa upaya kognitif yang
benar-benar besar untuk menstruktur kembali atau memahaminya, tetapi hanya
butuh mengklasifikasikan kembali pemahaman yang ada.

Gambar 13. Reklasifikasi dari Gambar 10

C. PENELITIAN TERKAIT PERUBAHAN KONSEPTUAL DALAM


MATEMATIKA
Teori perubahan konseptual dalam matematika sering kali dicerminkan
pada pengembangan pemahaman struktur konseptual dalam matematika.
Pengembangan pemahaman konseptual matematika siswa dalam kerangka teori
perubahan konseptual telah dikaji oleh banyak peneliti (Vamvakoussi &
Vosniadou, 2004; Biza dkk., 2005, Christou, 2007; dan Bofferding, 2014).

127
Vamvakoussi & Vosniadou (2004) menggunakan perspektif perubahan

konseptual untuk menyelidiki pemahaman siswa tentang sifat aljabar dan struktur

himpunan bilangan rasional. Pengetahuan awal siswa tentang bilangan asli

mendukung pemahaman siswa dalam menyelesaikan sifat aljabar bilangan

rasional, sementara ide discreteness adalah anggapan yang mendasar sebagai

hambatan siswa dalam memahami konsep density pada bilangan rasional dan

prosesnya lambat dan bertahap. Lima kategori tingkat pemahaman yang berbeda

tentang struktur bilangan rasional, meliputi: (1) Naive Discreteness, (2) Advance

Discreteness, (3) Discreteness – density, (4) Naive density, dan (5) Sophisticate

density. Kategori naive discreteness adalah siswa yang menyatakan bahwa antara

dua bilangan rasional berturut-turut (semu) tidak ada bilangan lain. Kategori

advance discreteness mencerminkan jawaban siswa yang menyatakan bahwa ada

berhingga banyak bilangan antara dua bilangan rasional berturut-turut (semu).

Kategori discreteness – density adalah bahwa antara dua bilangan rasional, ada tak

terhingga banyak bilangan di dalamnya tetapi tidak dalam semua kasus. Kategori

naive density mencerminkan jawaban siswa yang menyatakan ada banyak tak

terhingga bilangan antara dua bilangan rasional. Namun, ia tidak bisa menjawab

secara langsung bahwa ada tak terhingga banyak tidak memberikan penjelasan

yang memadai tentang hal itu. Kategori sophisticate density adalah antara setiap

dua bilangan rasional yang tidak sama, ada tak terhingga banyak bilangan

rasional, terlepas dari cara merepresentasikannya.

Siswa yang termasuk dalam kategori kedua dan ketiga memiliki

miskonsepsi yang dapat dijelaskan sebagai model mental sintetik yaitu

128
mencerminkan upaya asimilasi informasi baru ke dalam struktur pengetahuan

sebelumnya (Vosniadou, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman

tentang density membutuhkan reorganisasi pengetahuan tentang bilangan asli.

Kasus ini merupakan perubahan konseptual dalam pembelajaran matematika.

Biza dkk. (2005) menggunakan teori kerangka perubahan konseptual untuk

menjelaskan miskonsepsi siswa yang berhubungan dengan konsep garis singgung

kurva. Dalam kerangka teori perubahan konseptual, ide-ide yang berkaitan dengan

garis singgung lingkaran merupakan suatu keyakinan yang bertindak sebagai

penghalang untuk proses penguasaan konsep garis singgung kurva. Dalam upaya

mengasimilasi konsep garis singgung kurva, siswa menghasilkan model sintetik

yaitu menghubungkan konsep umum garis singgung kurva dengan pengetahuan

yang sudah mereka miliki pada garis singgung lingkaran dan garis singgung pada

irisan kerucut. Model sintetik ini adalah intuisi sekunder tanpa penyempurnaan

formal yang didasarkan pada model paradigmatis lingkaran. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa penguasaan pengetahuan garis singgung membutuhkan

perubahan konseptual yang mana merupakan proses yang kompleks.

Christou dkk. (2007) mengungkapkan kesulitan siswa dalam

menginterpretasikan penggunaan simbol-simbol huruf dalam aljabar yaitu siswa

cenderung hanya menyubstitusi bilangan asli untuk simbol huruf dari persamaan

aljabar. Dengan pendekatan perubahan konseptual dapat ditelusuri bahwa

pengetahuan awal siswa pada bilangan asli menghalangi interpretasi mereka

tentang simbol huruf dalam matematika.

129
Bofferding (2014) menguraikan karakterisasi model mental siswa dalam

memahami konsep bilangan bulat negatif dengan menggunakan sudut pandang

perubahan konseptual. Model mental siswa dikategorikan menjadi 3 yaitu awal

(initial), sintetis (synthetic) dan ilmiah (formal). Adapun karakteristik model

mental awal siswa pada konsep nilai dan mengurutkan bilangan bulat negatif

meliputi: whole number mental model, dan absolute value mental model. Whole

number mental model adalah siswa memperlakukan bilangan negatif seperti

bilangan positif, seperti siswa mengurutkan bilangan sebagai 0, 3, -5, -7, 8, -9 dan

menganggap -9 > 3, Absolute value mental model adalah siswa mengurutkan

bilangan negatif sebelum bilangan positif namun menganggap nilai bilangan

negatif bisa lebih besar/ lebih kecil dari bilangan positif, contohnya siswa

mengurutkan dengan benar -8, -4, -2, 1, 5, 7 tetapi siswa mengatakan -8 > 1 dan -

8 > -2. Sedangkan karakteristik model mental sistesis siswa adalah magnitude

mental model. Magnitude mental model adalah siswa secara konsisten

menunjukkan pemahaman bahwa bilangan negatif kurang dari nol tetapi

memperlakukan bilangan bulat negatif dengan nilai absolut terbesar sebagai lebih

besar dibandingkan dengan nilai absolut terkecil. Siswa dapat menyatakan dengan

benar 5 > -7 tetapi memperlakukan -6 > -2. Karakteristik model mental formal

siswa adalah ketika siswa menjawab semua pertanyaan dengan benar. Pada saat

siswa menjelaskan bagaimana bilangan bulat negatif lebih besar, mereka

menyatakan bahwa ada hubungan yang berlawanan antara bilangan positif dan

negatif.

130
REFERENSI
Baki, A. (2008). Mathematics education from theory to practice. Ankara: Harf
Educational Publications.
Biza, Irene, Souyoul, A, Zachariades, T. (2005) Conceptual change in advance
mathematical thinking, Proceedings of CERME 5th, 1727-1736.
Bofferding, L, (2014). Negative integer understanding: Characterizing fisrt
graders‟ mental models, Journal for Research in Mathematics Education,
45(2), 194-245.
Chi, M. T. H. & Roscoe, R. D. (2002). The Process and Challenges of Conceptual
Change. In M. Limon, & L. Mason, (Eds.). Reconsidering Conceptual
Change. Issues in theory and practice, 3-27. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands
Chi, M. T. H. (1992). Conceptual change within and across ontological categories:
Examples from learning and discovery in science. In R. Giere (Ed.),
Cognitive models of science: Minnesota studies in the Philosophy of
Science, 129-186. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.
Chi, M. T. H. (2008), Three Types of Conceptual Change: Belief Revision,
Mental Model Transformation, and Categorical Shift. International
handbook of research on conceptual change, 61-82. Routledge. New York
Christou, K.P. Vosniadou S, & Vamvakoussi X, (2007) Students‟ Interpretations
of Literal Symbols in Algebra. In S. Vosniadou, A. Batlas, X.
Vamvakoussi (Eds.). Advances in learning and instruction series:
Reframing the conceptual change approach in learning and instructions,
283-298. Amsterdam, The Netherlands: Elsevier Science.
diSessa, A. A. (1993). Responses. Cognition and Instruction, 10 (2 &3), 261-280.
diSessa, A. A. (1993b). Toward an epistemology of physics. Cognition and
Instruction, 10 (2), 105-225.
diSessa, A. A. (2002). Why conceptual ecology is a good idea. In M. Limón & L.
Mason (Eds.), Reconsidering conceptual change: Issues in theory and
practice, Dordrecht: Kluwer.
diSessa, A. A., & Sherin, B. (1998). What changes in conceptual change?
Internasional Journal ofScience Education, 20 (10), 1155-1191.
diSessa, A.A., (2008), A Bird‟s-Eye View of the “Pieces” vs. “Coherence”
Controversy (From the “Pieces” Side of the Fence). International
handbook of research on conceptual change, 35-60. Routledge. New York

131
Dole, G.A.& Sinatra G.M. (1998). Reconceptualizing change in the cognitive
construction of knowledge, Educational Psychologist, 33(2/3), 109-128
Hewson, P. W., & Hennessey, M. G. (1992). Making status explicit: A case study
of conceptual change. In R. Duit, F. Goldberg, & H. Niedderer (Eds.),
Research in Physics Learning: Theoretical issues and empirical studies.
Proceedings of an International Workshop at University of Bremen,
Germany.
Ivarsson, J., Schoultz, J. & Saljo, R. (2002). Map Reading Versus Mind Reading.
In M. Limon, & L. Mason, (Eds.). Reconsidering Conceptual Change.
Issues in theory and practice, 77-99. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands.
Kuhn, T. (1970). The structure of scientific revolutions. 3rd ed. Chicago: Chicago
Press.
Piaget, J. (1985) The equilibration of cognitive structurees. Chicago: University
of Chicago Press.
Pinker 2003 The Blank Slate: Modern Denial of Human Nature, Viking:
Published by Penguin group.
Posner, George J., Strilke, Kenneth A., Hewson, Peter W., and Gertzog, William
A. 1982. Accomodation of a Scientific Conception: Toward a Theory of
Conceptual Change. Science Education. 88(2): 211-227.
Resnick, L. (1983). Mathematics and science learning: A new conception.
Science, 220, 477-478.
Thagard, P. (1992). Conceptual Revolutions (Princeton, NJ: Princeton University
Press).
Thagard, P. (2003). Conceptual change. In L. Nadel (Ed.), Encyclopedia of
Cognitive Science. London Macmillan, vol. 1, 666-670.
Vamvakoussi, X. & Vosniadou, S. (2004). Understanding the structure of the set
of rational numbers: a conceptual change approach. Learning and
Instruction, 14 (5), 453-467.
Vosniadou, S. (2002). Capturing and modeling the process of conceptual change,
Learning and Instruction, Vol. 4, pp. 45-69
Vosniadou, S. (2003). Exploring the relationship between conceptual change and
intentional learning. In G. M. Sinatra, & P. R. Pintrich (Eds). Intentional
conceptual change. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

132
Vosniadou, S., & Brewer, W. (1987). Theories of knowledge restructuring in
development. Review of Educational Research, 37 (1), 51-67

133
BAB VIII
MEMBUKTIKAN

Oleh : Fuat
Universitas Negeri Malang

134
BAB – VIII PEMBUKTIAN

A. DEFINISI DAN KONSEP DASAR


Membuktikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai
meyakinkan dengan bukti atau menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti.
Membuktikan tidak hanya sekedar menulis bukti dari suatu teorema. Tidak pula
membuktikan bersifat individualis. Hal inilah yang ditengarai sebagai penyebab
kegagalan dari mengembangkan kemampuan membuktikan.
Bukti merupakan produk akhir dari membuktikan. Bentuknya dapat berupa
langsung atau tak langsung (Gantert, 2008). Modelnya dapat berupa alir, tabel,
ataupun paragraf (Cirillo, 2012). Bukti dikonstruk terlebih dahulu oleh individu
atau kelompok berdasarkan apa yang sudah diketahui dan prinsip yang
mendasarinya. Pengonstruksian bukti oleh individu atau kelompok ini dalam
rangka memastikan bahwa bukti tersebut ada, disebut mengonviksi diri sendiri.
Jika bukti ini didiskusikan pada individu atau kelompok lain maka akan ada
proses membujuk, disebut mengonviksi orang lain. Didalam ataupun setelah
melalui proses mengonviksi orang lain ini, bisa jadi akan terjadi pengonstrukan
ulang dari bukti yang telah dihasilkan sebelumnya.
Kegiatan dalam membuktikan disebut sebagai pembuktian. Pembuktian
terdiri dari aktifitas mengonstruksi (Selden & Selden 2011, 2013a, 2013b, 2015,
2016; Savic 2015a, 2015b; Zandieh 2014) dan mongonviksi bukti (Harel &
Sowder, 1998, 2008; Alcock & Inglish 2008, 2012; Weber & Mejia-Ramos 2014,
2015). Pengonstruksian bukti menurut Selden (2013a) dapat dilakukan dengan
mengeksplorasi apa yang sudah diketahui dan prinsip yang mendasarinya untuk
mencapai kesimpulan yang diharapkan, kemudian mengerjakan kembali jika
terjadi kesalahan sewaktu menulis bukti, setelah bukti telah selesai ditulis
dilakukan validasi secara keseluruhan. Sedangkan pengonviksian bukti
merupakan kegiatan mengonviksi diri sendiri dan orang lain.
Mengonviksi diri sendiri adalah memastikan diri sendiri tentang kevalidan
bukti. Memastikan menurut Harel & Sowder (1998) merupakan proses seorang
individu untuk menghapus keraguan sendiri tentang kebenaran dari suatu

135
pengamatan. Pendapat serupa disampaikan Stylianides (2016) bahwa ascertaining
is the process employed by an individual to remove his or her own doubts about
the truth or falsity of statement. Sedangkan mengonviksi orang lain adalah
membujuk orang lain tentang kevalidan bukti. Membujuk menurut Harel &
Sowder (1998) merupakan proses seorang individu untuk menghapus keraguan
orang lain tentang kebenaran suatu pengamatan. Pendapat yang sama disampaikan
oleh Stylianides (2016) bahwa persuading is the process employed by an
individual or a group to remove the doubts of others about the truth or falsity of a
statement.
Terbukti merupakan tujuan akhir dan proses yang tak terpisahkan dari
membuktikan. Ada proses menghubungkan atau memodifikasi nilai epistemis dan
ada proses yang menghubungkan nilai logis. Epistemic value is a kind of value
which attaches to cognitive successes such as true beliefs, justified beliefs,
knowledge, and understanding (www.iep.utm.edu/ep-value). Nilai epistemis yang
dimaksud adalah “true belief”. Ernest (2004) mengatakan bahwa istilah “true
belief” diartikan sebagai pernyataan yang telah dijustifikasi serta dapat diterima.
Sedangkan nilai logis adalah nilai kevalidan dari suatu argument yang
menetapkan kebenaran dari pernyataan.

B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN


Karakteristik dalam pembuktian menurut Harel (2008) berupa skema
bukti, seperti disajikan pada Gambar di bawah ini. Skema bukti merupakan
karakteristik dari bukti sebagai hasil dari suatu aktivitas mental dari
membuktikan. Sedangkan menurut Weber dan Mejia-Ramos (2015) menyatakan
bahwa skema bukti melibatkan memahami bagaimana siswa berubah menjadi
dugaan fakta: yaitu, bagaimana mereka mencari dan memperoleh keyakinan
mutlak dalam pernyataan matematika. Diperjelas lahi oleh Weber, Inglis, dan
Mejia-Ramos (2014) bahwa skema bukti individu mewakili bagaimana mereka
menghasilkan bukti-bukti dengan penekanan khusus pada jenis bukti yang mereka
gunakan untuk menjadi yakin bahwa pernyataan matematika adalah benar.

136
Gambar. Hubungan antara membuktikan, bukti dan skema bukti
(dicopy dari Harel, 2008)

Mengonstruksi bukti menawarkan skema bukti dalam menggambarkan


proses ini dengan kategori prosedural, sintaksis, dan semantik (Weber, 2004;
Zandieh, 2014). Dimana skema bukti prosedural, salah satu upaya untuk
membangun bukti dengan mengikuti langkah-langkah tertentu yang akan
menghasilkan bukti yang valid. Skema bukti sintaksis, salah satu upaya
membangun bukti dengan memanipulasi definisi dan fakta lain yang relevan serta
benar dengan cara logis. Sedangkan skema bukti semantik, mencoba untuk
memahami mengapa pernyataan tersebut benar dengan memeriksa representasinya
(misalnya diagram) dari objek matematika yang relevan dan kemudian
menggunakan argument intuitif sebagai dasar untuk membangun bukti formal.
Mengonviksi bukti menurut Harel & Sowder (1998) skema buktinya
disajikan pada Gambar berikut.

137
Gambar. Skema bukti
(dicopy dari Harel & Sowder, 1998)

Kategori skema konviksi bukti eksternal adalah skema dimana


argument siswa didasarkan pada sumber eksternal tanpa mengacu makna
simbol. Sumber tersebut meliputi bentuk atau penampilan argumen, kata dari
suatu sumber, atau manipulasi simbolik secara hafalan. Skema bukti empiris
dapat berupa induktif atau persepsi. Ketika siswa menggunakan contoh atau
kasus khusus sebagai dasar dari argumen, ia dianggap memiliki skema bukti
induktif. Dalam skema bukti persepsi, dugaan divalidasi melalui citra mental
dasar, yaitu, "gambar yang terdiri dari persepsi dan koordinasi persepsi tetapi
tidak memiliki kemampuan untuk mengubah atau untuk mengantisipasi hasil
transformasi" (Harel & Sowder, 1998). Sedangkan kategori skema bukti
tergolong sebagai analitis ketika argumen ini didasarkan pada penggunaan
deduksi logis. Skema bukti analitis dapat berupa transformasi atau
aksiomatik. Sebuah skema bukti transformasional melibatkan operasi

138
berorientasi pada tujuan pada objek. Siswa beroperasi dengan proses deduktif
dimana ia menganggap aspek umum, berlaku operasi mental berorientasi
pada tujuan dan antisipatif, dan mengubah gambar. Sebuah skema bukti
aksiomatik melampaui suatu transformasional dan siswa juga mengakui
bahwa sistem matematika bersandarkan pada pernyataan (mungkin
sewenang-wenang) yang diterima tanpa bukti.

Suatu titik M yang terletak pada AB dan CD adalah titik tengah

AB , jika AC  BC dan AD  BD . Untuk membuktikannya pertama dari


pernyataan AC  BC dan AD  BD dapat disimpulkan bahwa C dan D
berjarak sama dari A dan B . Jika dua titik masing-masing berjarak sama dari
titik-titik ujung pada segmen garis, maka titik tersebut terletak pada garis
sumbu dari segmen garis. Dengan demikian, CD merupakan garis sumbu

pada AB . Akhirnya, M adalah titik potong AB dengan garis sumbu CD ,


jadi u AM  u BM . Dengan definisi titik tengah dapat disimpulkan bahwa M

adalah titik tengah AB , (Terbukti).


Proses tersebut merupakan contoh membuktikan sebagai mengonstruk
bukti, dengan kategori skema bukti sintaksis. Jika pembaca meragukan
pembuktian tersebut, maka pembaca dapat memastikan pernyataan tersebut
dengan mengonviksi bukti, dengan kategori analitik, seperti pada Gambar
berikut. Dari hasil tersebut pembaca akan percaya bahwa M adalah titik

tengah AB .

139
Gambar. Membuktikan M adalah titik tengah AB
(dicopy dari Gantert, 2008)

Tersebut di atas merupakan contoh dari membuktikan. Sedangkan


akan dibuktikan f o g  g o f , dimana f x   x ; g x   x 2 , x   .
Pembuktiannya disajikan sebagai berikut,

 f  g x   x2  x  x

g  f x    
2
x x
 f g  g f
Pembuktian tersebut di atas tidak lengkap karena tidak ada alasan pendukung
pernyataan yang menyusun bukti tersebut, dan ada langkah yang kurang,
yaitu langkah “dua fungsi h dan k sama jika dan hanya jika
hx   k x , x  Dh, k  .

 f  g x  g  f x
 f g  g f

C. PENELITIAN TERKAIT
Membuktikan merupakan suatu kajian matematis yang sedang
ngetrend dibahas oleh peneliti dalam beberapa tahun belakangan. Berikut
akan diulas beberapa penelitian tentang membuktikan yang pernah dilakukan,

140
penelitian yang dibahas pada bab ini dilakukan dalam rentang tahun 2014
sampai dengan 2015, yaitu:
Cai dan Cirillo (20140 mereview tentang analisis buku teks yang
pernah dilakukan. Memberikan data kualitatif pada setiap subjek kemudian
menganalisis secara kualitatif dari tugas-tugas yang muncul dalam buku teks
tersebut. Subjeknya adalah 5 penelitian tentang analisis buku yang sudah
pernah dilakukan, yaitu oleh (1) Bieda el., (2) Fujita & Jones, (3) Otten el.,
(4) Davis el., (5) McCrory & Stylianides. Didapatkan bahwa rangkuman
beberapa aspek metodologis yang digunakan dalam penelitian sebagai
berikut,

Serta kurang konsisten metode analisis ini sehingga membuat


perbandingannya kurang memungkinkan.
McCrory dan Stylianides (2014) mencari penalaran dan pembuktian
dalam buku teks yang digunakan di AS, dengan mengembangkan
indikatornya melalui daftar istilah yang dipakai dalam buku teks tersebut.
Data dalam penelitian ini berasal dari 16 buku teks matematika, bagi calon
guru SD (kelas 1-5 atau 6, usia 6-11 tahun). Didapat bahwa sebagian besar
buku pelajaran, masih kesulitan untuk dipelajari secara mandiri oleh siswa.
Savic (2015a) melakukan kajian kualitatif, yang pertama diberi
bahasan semigrup dan pena Livescribe dan kertas dengan waktu tak terbatas
dan tidak banyak arah untuk membuktikan suatu teorema, yang kedua
membuktikan teorema yang sama tapi terbatas. Subjeknya adalah satu orang

141
ahli Topologi dan satu mahasiswa pascasarjana; serta sembilan ahli
matematika dan lima mahasiswa pascasarjana. Dari hasil penelitian didapat
ahli matematika selesai dalam 5 jam 31 menit, dan mahasiswa pascasarjana
selesai dalam 22 jam 11 menit dengan istirahatnya. Kerangka
Multidimensional Problem-Solving Carlson dan Bloom umumnya relevan
untuk proses membangun bukti; termasuk atribut pemecahan masalah yang
dibuat oleh subjek, seperti tersaji dalam tabel berikut,

Ada fase incubation dan insight yang tidak diperhitungkan dalam kerangka
Carlson dan Bloom yang dilakukan dalam penelitian ini. Enam dari Sembilan
ahli matematika mengalami kebuntuhan dan dua dari lima mahasiswa yang
mencoba. Perbedaan antara ahli matematika dan mahasiswa pascasarjana
adalah ahli matematika mempertanyakan kebenaran teorema terlebih dahulu
dan mencari kendala-kendala yang diberikan. Sedangkan mahasiswa
pascasarjana tidak, fase checking dimasukkan pada fase planning dimana
mahasiswa mencoret sejumlah bukti pada upaya sebelumnya, sedangkan ahli
matematika lebih banyak melakukan incubation dan insight, dan atribut
monitoring sering dilakukan oleh ahli matematika daripada mahasiswa.
Penelitian lain oleh Savic (2015b) dilakukan dengan subjek sembilan
Ph.D matematika (tiga ahli aljabar, tiga ahli topologi, dua analisis, dan satu
ahli logika) dengan delapan laki-laki dan satu perempuan, dikarenakan kenal
dan punya waktu. Serta lima mahasiswa pascasarjana. Subjek diberi catatan
yang berisi sepuluh definisi, tujuh permintaan contoh, empat pertanyaan
untuk menjawab, dan tiga belas teorema untuk membuktikan. Empat subjek
secara terpisah menulis bukti pada tablet PC (CamStudioTM dan
MicrosoftOneNoteTM) dan lima subjek dengan LivecribeTM dan kertas
rekaman khusus. Hasil yang didapat adalah diperlukan upaya yang cukup
untuk membuktikan teorema dan memproduksi contoh; Enam dari Sembilan
subjek memiliki kebuntuan ketika membuktikan salah satu dari dua teorema,

142
dan sebelas teorema lainnya semuanya terbukti benar dengan sebagian besar
sangat cepat; Tindakan subjek yang digunakan untuk mengatasi kebuntuhan:
a. menggunakan (mental) database dari teknik membuktikan; b. melakukan
pekerjaan matematika lainnya; c. melakukan tugas yang tidak berhubungan
dengan matematika; d. beristirahat (sleeping on it); dan Beberapa
matematikawan mengambil tindakan yang disengaja untuk mengatasi
kebuntuan dan juga untuk meningkatkan luasnya atau kualitas perspektif
mereka. Hasil ini tampaknya setuju dengan literatur ilmu saraf, yang
menyimpulkan bahwa inkubasi mungkin berkontribusi terhadap seseorang
memproses masa lalu, sekarang, dan masa depan sekaligus (Buckner &
Vincent, 2007).
Stavrou (2014) menggunakan subjek 188 mahasiswa pendidikan
matematika. 97 mahasiswa untuk mengetahui kesalahan umum yang dibuat
mahasiswa pendidikan matematika saat menulis bukti dari hasil pekerjaan
rumah tentang Teori Bilangan dan Aljabar Abstrak, dan 91 mahasiswa
diinformasikan tentang kesalahan umum dan miskonsepsi setelah itu diberi
pekerjaan rumah bertujuan untuk mendeskripsikan kebiasaan pembuktian
mahasiswa ketika mereka secara eksplisit menyadari kesalahan umum ini.
Didapatkan bahwa kesalahan yang paling umum dalam menulis bukti adalah:
a. pernyataan umum menggunakan contoh-contoh spesifik; b.
mengasumsikan kesimpulan dari suatu pernyataan untuk membuktikan
kesimpulan; c. tidak membuktikan kedua kondisi pada pernyataan
bikondisional; d. tidak menerapkan definisi dengan benar; serta kebiasaan
pembuktian mahasiswa ketika menyadari kesalahan umum adalah; a.
mahasiswa memilih untuk meninggalkan pertanyaan yang sudah tahu ada
kesalahan umumnya; b. mahasiswa mulai melengkapi bukti yang valid
dengan bukti empiris; c. mahasiswa sering menulis “saya tidak yakin
bagaimana untuk memulai bukti” untuk jawaban mereka.
Zazkis, Weber, dan Mejia-Ramos (2015) meneliti dengan subjek 73
mahasiswa dalam satu departemen matematika dilihat selama empat semester,
khususnya mata kuliah aljabar linier. Peserta diberi tujuh tugas pembuktian

143
kalkulus satu persatu dengan waktu 10-15 menit. Diperoleh 6 mahasiswa
terbaik sebagai subjek. Kemudian akan diidentifikasi pendekatan yang
berhasil digunakan mahasiswa untuk membuktikan suatu teorema baru.
Didapatkan bahwa; a. Analisis holistic dan interpretative, di mana kami
menjelajahi peserta pada perilaku tugas membuktikan untuk mendapatkan
pengertian umum tentang bagaimana mereka mendekati tugas; b. Analisis
sistematis dan terarah, terus menganalisis peserta pada tugas perilaku
membuktikan; c. menguji recall retroaktif peserta melalui perilaku tulisan
bukti mereka; d. Analisis wawancara sebagai pengecekan. Selain itu didapat
pula, jika menggunakan targeted strategy akan mengembangkan pemahaman
yang kuat dari pernyataan membuktikan, memilih rencana berdasarkan
pemahaman ini, mengembangkan argumen grafis untuk mengapa pernyataan
itu benar, dan merumuskan argumen grafis ini ke bukti. Bila menggunakan
shotgun strategy, siswa akan mulai mencoba berencana segera setelah
membaca pernyataan bukti yang berbeda dan akan meninggalkan rencana
pada tanda pertama dari kesulitan.
Zhen, Weber, dan Mejia-Ramos (2015) melakukan Penelitian berbasis
internet (Inglis dan Mejia-Ramos), dengan subjek 12 mahasiswa masing-
masing menulis bukti dan think aloud tujuh tugas pembuktian dari kalkulus
selama 90 menit; 90 mahasiswa secara acak dikelompokkan jadi kelompok
analisis real dan kelompok pengantar kalkulus masing-masing menilai jika
disajikan tiga bukti yang masing-masing berisi persepsi grafis dan inferensi
deduksi grafis. Didapat bahwa subjek memahami validitas setiap inferensi
berbeda. Secara khusus, peserta menunjukkan kecenderungan yang kuat
untuk percaya bahwa kesimpulan persepsi grafis, tetapi tidak kesimpulan
deduktif grafis, diperlukan pembenaran non-grafis di bukti. Hasil yang lain
adalah mahasiswa tidak percaya kesimpulan persepsi grafis yang tepat dalam
bukti kalkulus; sebagian besar menunjukkan bahwa mereka percaya
kesimpulan deduktif grafis yang tepat dalam bukti kalkulus; peserta percaya
bahwa profesor dalam kursus kalkulus kurang mungkin untuk menghukum

144
kesimpulan valid; dan persepsi ini mempengaruhi cara yang maju untuk
menerjemahkan argumen informal ke bukti.
Weber dan Mejia-Ramos (2015) menganalisis kualitatif terhadap
penelitian dari Harel dan Sowder (2003), Morris (2002), dan Weber (2010).
Didapatkan hasil yang dikelompokkan dengan hasil metodologis, hasil
teoritis dan hasil pedagogis.
• Hasil metodologis
– Absolut conviction dimiliki berdasarkan bukti empiris
– Dengan argument deduktif masih memiliki keraguan
• Hasil teoritis
– kecenderungan mahasiswa untuk menghasilkan atau menerima
argumen empiris mungkin didasarkan pada banyak faktor.
Dibandingkan dengan argumen empiris, argumen deduktif lebih sulit
untuk dihasilkan, dipahami, dan diverifikasi. Mahasiswa mungkin
tidak memiliki kepentingan atau kepercayaan diri untuk mencoba
untuk menulis atau memahami bukti.
• Hasil pedagogis
– jika tujuan dari sebuah argumen untuk memperoleh keyakinan dalam
sebuah pernyataan, dosen harus merasa bebas untuk menggunakan
jenis lain dari argumen non-deduktif, karena argumen tersebut
mungkin lebih persuasif kepada mahasiswa dari bukti.
Weber dan Mejia-Ramos (2014) melakukan penelitian dimana
subjeknya dilakukan dengan penelitian berbasis internet (Inglis dan Mejia-
Ramos); dua email dikirim ke sekretaris departemen matematika di
universitas negeri besar di masing-masing 50 negara bagian di USA, email
pertama untuk mengundang mahasiswa, ada 175 peserta yang pernah
mengambil kelas yang diharapkan untuk menulis bukti. Email kedua
mengundang ahli matematika, tersisa 83 peserta yang dilinkkan ahli
matematika pernah membaca dan menulis bukti teratur. Tidak tahu dari
universitas mana saja. Masing-masing keyakinan dibuat dua pernyataan
bertentangan, mahasiswa memilih survey ini menggunakan skala Likert 5

145
point. Matematikawan juga diberikan survey ini, dengan pernyataan yang
dibedakan. Keyakinan tiga menggunakan t-test, Wilcoxon one sample signed
rank tests, dan Mann-Whitney tests. Didapat bahwa kebanyakan ahli
matematika berharap bahwa mahasiswa akan perlu menghabiskan lebih dari
15 menit mempelajari beberapa bukti yang disajikan kepada mereka, namun
sebagian besar mahasiswa jangan berharap bahwa mereka akan perlu
melakukan ini. Kebanyakan mahasiswa percaya bahwa mereka memahami
bukti sepenuhnya jika mereka dapat membenarkan setiap langkah dalam
bukti, sementara ahli matematika umumnya percaya memahami bukti terdiri
dari lebih dari ini. Mahasiswa menunjukkan mereka berpikir bahwa membaca
bukti yang baik harus sedikit dari proses pasif dalam arti bahwa mereka tidak
percaya bahwa mereka akan harus membangun sub-bukti atau diagram jika
bukti itu ditulis dengan baik. Namun, banyak ahli matematika menyatakan
sudut pandang sebaliknya.
Weber, Inglis, dan Mejia-Ramos (2014) melakukan studi pustaka,
didapatkan hasil bahwa dalam pendidikan matematika, sehubungan dengan
pembenaran dan bukti, secara luas diyakini bahwa tujuan instruksi harus bagi
siswa untuk memiliki keyakinan yang sama dan praktek pembenaran sebagai
ahli matematika. Sedangkan tujuan instruksional memiliki siswa memperoleh
kepastian yang mutlak dari bukti deduktif, dan bukti deduktif saja, tidak
konsisten dengan praktek matematika. Dan bukti matematis dihargai oleh
matematikawan, baik bagi pemahaman matematika yang diberikannya,
sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, dan jaminan bersyarat yang
dapat memberikan (yaitu, jika bukti tersebut benar dan teori pendukung
adalah suara, teorema harus benar). Hasil yang lain didapat bahwa mayoritas
ahli matematika menyatakan bahwa mereka bergantung pada otoritas dalam
menerima sebuah teorema diterbitkan sebagai benar tetapi beberapa
matematikawan mengklaim tidak melakukan hal ini. Serta rekomendasi
instruksional tidak hanya lebih konsisten dengan praktek matematika, tetapi
juga lebih realistis dan memberikan kesempatan belajar yang lebih besar bagi
siswa.

146
REFERENSI

Alcock, L. & Inglis, M. 2008. Doctoral Students‟ Use of Examples in Evaluating


and Proving Conjectures. Educational Studies in Mathematics, 69(2):111-
129.
Cai, J. & Cirillo, M. 2014. What do we know about reasoning and proving?
Opportunities and missing opportunities from curriculum analyses.
International Journal of Educational Research, 64:132–140.
Cirillo, M. & Herbst, P. G. 2012. Moving toward more authentic proof practice in
geometry. Journal The Mathematics Educator, Vol. 21, No. 2: 11-33.
Ernest, P. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Routledge Falmer,
Taylor & Francis group.
Gantert, A. X. 2008. Geometry. New York: AMSCO School Publication, Inc.
Harel, G. 2008. DNR perspective on mathematics curriculum and instruction, Part
I: focus on proving. ZDM Mathematics Education, 40:487–500. DOI
10.1007/s11858-008-0104-1
Harel, G. & Sowder, L. 1998a. Students‟ Proof Schemes: Results from
Exploratory Studies. American Mathematical Society, 7:234-283.
Inglis, M. & Alcock, L. 2012. Expert and Novice Approaches to Reading
Mthematical Proofs. Journal for Research in Mathematics Education,43
(4).
McCrory, R., & Stylianides, A. J. 2014. Reasoning and Proving in Mathematics
Textbooks for Prospective Elementary Teachers. International Journal of
Educational Research, 64:119-131.
Savic, M. 2015a. The Incubation Effect: How Mathematicians Recover from
Proving Impasses. The Journal of Mathematical Behavior, 39:67-79.
Savic, M. 2015b. On Similarities and Differences Between Proving and Problem
Solving. Journal of Humanistic Mathematics, 5, 2: 60-89.
Selden, A. & Selden, J. 2011. Mathematical and Non-Mathematical University
Students‟ Proving Diffulties. Wiest, L. R., & Lamberg, T. (Eds.).
Proceedings of the 33rd Annual Meeting of the North American Chapter of

147
the International Group for the Psychology of Mathematics Education,
675-683.
Selden, A. & Selden, J. 2013a. Persistence and Self-Efficacy in Proving.
Martinez, M. & Castro Superfine, A (Eds.). Proceedings of the 35th
annual meeting of the North American Chapter of the International Group
for the Psychology of Mathematics Education,304-307.
Selden, A. & Selden, J. 2013b. Proof and Problem Solving at University Level.
http://www.researchgate.net/publication/256091550
Selden, A. & Selden, J. 2015. A Theoritical Perspective for Proof Construction.
https://www.researchgate.net/c/o6em5o/javascript/lib/pdfjs/build/pdf.work
er.js.
Selden, A. & Selden, J. 2016. Using a Theoritical Perspective to Teach a Proving
Supplement for an Undergraduate Real Analysis Course. Submission for
Topic Study Group 2, Tertiary Mathematics Education, ICME-13, 1-4.
Stavrou, S. G. 2014. Common Errors and Misconception in Mathematical Proving
by Education Undergraduates. IUMPST: The Journal. Vol 1 (Content
Knowledge) (www.k-12prep.math.ttu.edu)
Stylianides, A. J., Bieda, K. N., & Morselli, F. 2016. Proof and Argumentation in
Mathematics Education Research. PME Research Handbook.
Weber, K. 2004. A framework for describing the processes that undergraduates
use to construct proofs. Proceedings of the 28th Conference of the
International Group for the Psychology of Mathematics Education, 4, 425-
432.
Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2014. Mathematics Majors‟ Belief About Proof
Reading. International Journal of Mathematical Education in Science and
Technology, 45, 1:89-103,
http://dx.doi.org/10.1080/0020739X.2013.790514
Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2015. On Relative and Absolute Conviction in
Mathematics. For the Learning of Mathematics, 35, 2:15-21.

148
Weber, K., Inglis, M., & Mejia-Ramos, J. P. 2014. How mathematicians obtain
conviction: Implications for mathematics instruction and research on
epistemic cognition. Educational Psychologist, 49(1), 36-58.
Zandieh, M., Roh, K. H., & Knapp, J. 2014. Conceptual blending: Student
reasoning when proving “condicional implies conditional” statements. The
Journal of Mathematical Behavior, 33: 209-229.
Zazkis, D., Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2015. Two Proving Strategies of
Highly Succesful Mathematics. The Journal of Mathematical Behavior.
39:11-27.
Zhen, B., Weber, K., & Mejia-Ramos, J.P. 2015. Mathematics Majors‟
Perceptions of the Admissibility of Graphical Inferences in Proofs.
International Journal of Research in Undergraduate Mathematics
Education, 1-29. DOI 10.1007/s40753-015-0010-1

149
BAB IX
PENALARAN STATISTIK

Oleh : Parhaini Andriani


Universitas Negeri Malang

150
BAB – IX PENALARAN STATISTIK

A. PENDAHULUAN
Dalam bidang pendidikan pendidikan statistik terdapat tiga istilah penting
yaitu: literasi statistik (statistical literacy), penalaran statistik (statistical
reasoning) dan berpikir statistik (statistical thinking). Menurut Budẻ (2006) ketiga
istilah ini menjadi tujuan pembelajaran, namun sampai saat ini belum ada
kesepakatan formal mengenai definisi dan perbedaan ketiga istilah ini
sebagaimana yang dikemukakan Ben-Zvi dan Garfield (2004). Beberapa orang
berupaya membuat definisi dan membedakan istilah ini namun masih mengalami
kebingungan, sehingga terjadi permasalahan dalam penilaian siswa dan berakibat
pada pencapaian tujuan pendidikan.
Adapun Garfield dan Ben-Zvi (2008: 34) memberikan definisi ketiga
istilah tersebut sebagai berikut:
- Literasi Statistik (Statistical Literacy) adalah kemampuan utama yang
diharapkan dimiliki oleh warga dalam masyarakat sarat yang informasi, dan
biasanya disebut sebagai hasil yang diharapkan dari sekolah serta sebagai
komponen penting dari kemampuan numeric dan literasi orang dewasa.
Literasi statistik melibatkan pemahaman dan penggunaan bahasa dasar dan
alat bantu statistik, misalnya: mengetahui istilah dasar statistik seperti mean,
memahami penggunaan simbol-simbol statistik sederhana, serta mengenali
dan mampu menginterpretasi representasi data yang berbeda (Garfield, 1999;
Rumsey, 2002; Snell 1999). Ada pandangan lain dari literasi statistik seperti
Gal (2000, 2002), yang fokus pada pengguna data, dengan memandang literasi
statistik sebagai kemampuan menafsirkan, mengevaluasi secara kritis, dan
mengkomunikasikan informasi dan pesan statistik.
- Penalaran Statistik (Statistical reasoning) dapat didefinisikan sebagai cara
orang memberi alasan (bernalar) dengan ide statistik dan membuat informasi
statistik menjadi bermakna. Penalaran statistik dapat melibatkan pengaitan
satu konsep ke yang lain (misalnya, pemuusatan dan penyebaran) atau
menggabungkan ide-ide tentang data dan peluang. Penalaran statistik juga

151
berarti memahami dan mampu menjelaskan proses statistik, dan mampu
menginterpretasikan hasil statistik (Garfield, 2002). Penalaran statistik juga
dapat dipandang sebagai representasi dan koneksi mental yang dimiliki siswa
yang berkaitan dengan konsep-konsep statistik.
- Berpikir statistik (statistical thinking) mencakup berpikir tingkat tinggi
(higher order thinking) dibandingkan dengan penalaran statistik. Berpikir
statistik merupakan cara profesional statistik berpikir (Wild & Pfannkuch,
1999). Berpikir statistik mencakup pengetahuan tentang bagaimana dan
mengapa menggunakan metode, ukuran, desain atau model statistik tertentu;
pemahaman yang mendalam tentang teori-teori yang mendasari proses
statistik dan metode; serta memahami kendala dan keterbatasan statistik dan
inferensi statistik. Sehingga berpikir statistik dapat dipandang sebagai
penggunaan formatif dari model, metode, dan aplikasi statistik dalam
mempertimbangkan atau memecahkan masalah statistik.
delMas (2002) berupaya menjelaskan perbedaan antara literasi, penalaran
dan berpikir sebagai hasil kognitif. Namun, menurutnya perbedaan tersebut masih
tidak yang jelas karena adanya tumpang tindih dalam domain. delMas (2002)
berupaya membandingkan padangan dari tiga ahli (Garfield, Chance dan Rumsey)
mengenai ketiga istilah tersebut. delMas (2002) kemudian memberikan dua
perspektif yang berbeda tentang bagaimana ketiga tujuan pembelajaran ini
berkaitan. Jika difokus literasi sebagai perkembangan keterampilan dan
pengetahuan dasar yang dibutuhkan dalam mengembangkan penalaran dan
berpikir statistik, maka diagram Venn pada gambar 1 tampak lebih sesuai.

Gambar 1. Tujuan pendidikan statistik: Domain independen dengan beberapa


domain yang overlap (delMas: 2002)

152
Alternatif perspektif yang lain digambarkan pada gambar 2 yang
dianalisis oleh delMas, memandang literasi statistik sebagai tujuan yang
mencakup seluruh tujuan pembelajaran. Penalaran dan berpikir statistik tidak lagi
memiliki konten yang independen dari literasi. Keduanya menjadi sub tujuan
dalam pengembangan kompetensi statistik.

Gambar 2. Tujuan Pendidikan Statistik: Penalaran dan Berpikir Statistik berada


di dalam Literasi (delMas: 2002)

Dari kedua perspektif ini memberikan kita gambaran bahwa ketiga istilah
yang menjadi tujuan pembelajaran ini masih tumpang tindih (overlapping). Ketiga
tujuan pembelajaran ini mungkin dapat tercapai secara bersama-sama dalam suatu
pembelajaran materi statistik. Selanjutnya delMas (2002) menawarkan suatu
perspektif berbeda terkait ketiga tujuan pembelajaran ini. Setiap konten statistik
dapat dipandang dalam merepresentasikan literasi, penalaran dan pemikiran.
Sehingga pelu lebih melihat ruang lingkup tugas tugas untuk mengidentifikasi
apakah pembelajaran mendorong literasi, penalaran, atau pemikiran, sebagaimana
dirangkum dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 6.1. Tugas yang dapat membedakan ketiga domain instruksional
(delMas: 2002)

Literasi Dasar Penalaran Berpikir


Mengidentifikasi Mengapa? Mengaplikasikan
Menggambarkan Bagaimana? Mengkritisi
Memfrasekan kembali Jelaskan? Mengevaluasi
Mengartikan (Proses) Mengeneralisasi
Menginterpretasi

153
Membaca

Lebih fokus pada definisi penalaran statistik, Grafield (2002) memandang


penalaran statistik sebagai cara orang memberikan alasan menggunakan ide
statistik dan membuat informasi statistik menjadi bermakna. Penalaran ini
mencakup interpretasi terhadap sekumpulan data, representasi grafis, dan
ringkasan secara statistik. Sebagian besar penalaran statistik mengkombinasikan
ide mengenai data dan perubahannya yang digunakan untuk membuat kesimpulan
dan menginterpretasi hasil statistik. Dasar dari penalaran ini adalah pemahaman
konseptual mengenai ide-ide penting seperti distribusi, pemusatan, penyebaran,
asosiasi, ketidaktentuan, keacakan dan pengambilan sampel.
Menurut Lovet (2001), penalaran statistik mencakup penggunaan ide dan
alat statistik untuk merangkum dan menggambarkan asumsi disamping membuat
kesimpulan berdasarkan data. Sedangkan Martin (2009) memandang penalaran
statistik mencakup penafsiran berdasarkan data dan penarikan inferensi dari data.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa penalaran
statistik merupakan penggunaan ide-ide statistik dalam menginterpretasi,
merepresentasikan dan merangkum sekumpulan data dengan tujuan untuk
mendapatkan kesimpulan berdasarkan data. Penalaran statistik digunakan agar
informasi statistik menjadi lebih bermakna dan mudah dipahami.

B. IMPLEMENTASI DALAM PENDIDIKAN


Garfield, J. dan Ben-Zvi, D. (2008) memberikan contoh dan bukan
contoh penalaran statistik. Misalnya siswa diberikan suatu masalah statistik yang
berkaitan dengan data bivariate untuk menentukan persamaan garis regresi,
menentukan kemiringan dan titik potong garis-garis. Hal serupa juga dapat
diberikan untuk masalah aljabar seperti bilangan dan rumus yang digunakan untuk
menghasilkan persamaan garis. Pada beberapa kelas statistik yang diajarkan oleh
matematikawan, masalah tersebut mungkin belum selesai pada tahap ini. Namun
jika penalaran dan berpikir statistik dikembangkan, siswa mungkin dapat
diberikan pertanyaan tentang konteks dari data, kemudian mereka diminta

154
menggambarkan dan menafsirkan hubungan antara variabel, serta menentukan
apakah regresi linier sederhana merupakan prosedur dan model yang sesuai untuk
data tersebut. Jenis penalaran dan pemikiran seperti ini berbeda dengan penalaran
dan pemikiran matematis yang cenderung menghitung kemiringan dan titik
potong menggunakan rumus aljabar. Faktanya pada beberapa kelas, siswa tidak
diminta untuk menghitung kuantitas berdasarkan rumus tetapi lebih
mengandalkan teknologi untuk menghasilkan angka. Fokus kemudian bergeser
pada kegiatan meminta siswa untuk menafsirkan nilai-nilai dari konteks
(misalnya: dengan menafsirkan kemiringan sebagai perubahan yang digunakan
untuk memprediksi perubahan respon pada unit perubahan pada variabel
penjelas).
Dalam membandingkan penalaran matematis dan penalaran statistik,
delMas (2002) menjelaskan bahwa kedua istilah ini tampak mirip, beberapa
perbedaannya mengarahkan pada tipe kesalahan yang berbeda. Dia berpendapat
bahwa penalaran statistik harus menjadi tujuan ekplisit pembelajaran jika perlu
untuk dipelihara dan dikembangkan. Dia juga menyarankan agar pengalaman di
kelas statistik lebih memfokuskan pada aktivitas yang membatu siswa
mengembangkan pemahaman mendalam tentang proses dan ide stokastik
dibandingkan dengan mengajarkan perhitungan dan prosedur. Dalam rangka
mendorong penalaran statistik, Moore (1998) merekomendasikan bahwa siswa
harus mengalami secara langsung proses pengumpulan data dan eksplorasi data.
Pengalaman harus mencakup diskusi tentang bagaimana data diperoleh,
bagaimana dan mengapa rangkuman statistik dipilih, dan bagaimana kesimpulan
dapat diambil. Siswa juga perlu memperluas pengalaman dengan mengenali
implikasi dan menarik kesimpulan untuk mengembangkan pemikiran statistik.
(Garfield, J., Ben-Zvi, D., 2008: 19)

Model Perkembangan Penalaran Statistik


Garfield (2002) mengembangkan 5 tahapan model perkembangan
penalaran statistik pada siswa:

155
a. Idiosyncratic reasoning, siswa mengetahui beberapa kata dan simbol tentang
distribusi sampel dan dapat menggunakannya tanpa benar-benar
memahaminya, kadangkala salah, dan mungkin mempersulit mereka dengan
informasi yang tidak relevan. Misalnya, siswa telah belajar istilah mean,
median, dan standar deviasi sebagai rangkuman pengukuran, tetapi
menggunakannya dengan tidak benar (misalnya, membandingkan mean
dengan deviasi standar, atau membuat penilaian tentang rata-rata atau standar
deviasi yang baik).
b. Verbal reasoning (penalaran verbal), siswa memiliki pengetahuan verbal
tentang beberapa konsep tetapi tidak dapat mengaplikasikannya pada konteks.
Misalnya, siswa dapat memilih atau memberikan definisi yang benar tetapi
tidak secara penuh memahami konsep (contohnya, mengapa rata-rata lebih
besar dari median pada distribusi sampel yang kemencengannya positif).
c. Transitional reasoning (penalaran transisional), siswa mampu
mengindentifikasi satu atau dua dimensi dari proses proses statistik secara
benar tanpa sepenuhnya mengintegrasikan dimensi ini, contohnya, suatu
ukuran sampel yang besar mengarah kepada interval kepercayaan yang kecil,
standar error yang kecil juga mengarah kepada interval kepercayaan yang
kecil.
d. Procedural reasoning (penalaran prosedural), siswa mampu mengindentifikasi
satu atau dua dimensi konsep atau proses statistik secara benar tetapi tidak
sepenuhnya mengintegrasikan dan memahami proses tersebut untuk
menghasilkan proses tersebut. Contohnya, siswa mengetahui bahwa korelasi
tidak berarti sebab-akibat tetapi tidak dapat menjelaskan secara penuh
mengapa pernyataan tersebut benar.
e. Integrated process reasoning (penalaran proses terpadu), siswa memiliki
pemahaman yang lengkap tentang proses sampling serta mampu
menyesuaikan aturan dan konteks yang dihadapi. Siswa dapat menjelaskan
proses tersebut dengan kata-kata mereka dengan pecaya diri. Contohnya,
siswa dapat menjelaskan apa makna interval kepercayaan 95% dalam hal
proses sampling yang berulang kali dari suatu populasi.

156
Penilaian Kemampuan Penalaran Statistik
Garfield and Chance (2000) menawarkan beberapa teknik asesmen kelas
untuk mengevaluasi penalaran statistik, yang meliputi:
1. Studi kasus atau tugas autentik: bentuk detail permasalahannya sesuai
dengan konteks nyata yang menyatakan strategi dan interpretasi siswa
dalam menyelesaikan permasalahan.
2. Peta konsep: representasi visual yang mengubungkan antar konsep yang
dilengkapi atau dikonstruks sendiri oleh siswa.
3. Kritik terhadap ide atau isu statistik pada berita: laporan tertulis singkat
yang menyatakan seberapa baik siswa memberi alasan mengenai informasi
dalam suatu artikel berita; termasuk komentar terhadap informasi yang
hilang maupun terkait kesimpulan dan interpretasu yang disajikan dalam
artikel.
4. Minute papers: Komentar tertulis tanpa nama yang diberikan siswa yang
mencakup penjelasan tentang apa yang telah mereka pelajari,
membandingkan konsep atau tehnik dan sebagainya.
5. Enhanced multiple-choice items: item yang mengharuskan siswa untuk
mencocokkan konsep atau pertanyaan dengan penjelasan yang tepat, dapat
digunakan untuk menangkap penalaran siswa dan mengukur pemahaman
konseptual.
6. The Statistical Reasoning Assessment: suatu test multiple-choice yang
didesain untuk menilai benar dan salahnya siswa dalam bernalar tentang
suatu konsep statistik tertentu.

C. PENELITIAN TERKAIT
Studi tentang penalaran statistik mulai menjadi trend 20 dekade terakhir.
semenjak tatistika menjadi ilmu yang memiliki peran penting dalam kehidupan
pada era modern. Fakta yang dikumpulkan menjadi data, diolah, dianalisis dan
diinterpretasi sangatlah bermanfaat terutama dalam hal pengambilan keputusan.
Berbagai sendi kehidupan masa kini banyak ditentukan oleh data-data empirik

157
yang diperoleh dari analisis statistik. Pengkajian tentang bagaimana statistik
diajarkan pada siswa kini menjadi hal yang sangat penting.
Berbagai kajian penelitian tentang penilaian penalaran statistik
(sebagaimana dalam Garfield: 2002), menunjukkan bahwa kadangkala siswa
dapat menjalani pembelajaran statistik dengan baik, mendapatkan nilai yang baik
pada pekerjaan rumah, ujian, dan proyek-proyek, namun masih berkinerja buruk
pada pengukuran penalaran statistik seperti Statistical Reasoning Assessment
(Garfield 1998b). Hasil ini menunjukkan bahwa guru statistik tidak secara spesifik
mengajar siswa bagaimana menggunakan dan menerapkan berbagai jenis
penalaran. Sebaliknya, sebagian besar guru cenderung mengajarkan konsep dan
prosedur, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja dengan data dan
perangkat lunak, dan berharap menghasilkan pengembangan penalaran. Namun,
nampaknya penalaran tidak benar-benar berkembang dengan cara ini. Penelitian
saat ini (delMas, Garfield dan Chance: 1999) difokuskan pada eksplorasi dan
menggambarkan perkembangan (dan penilaian) keterampilan penalaran statistik,
khususnya di bidang statistik inferensial.
Sedlmeier (1999) mengklaim bahwa penalaran statistik jarang diajarkan
dan ketika diajarkan (yakni mengajarkan orang menggunakan aturan tertentu
seperti yang dijelaskan oleh Nisbett dan rekan), jarang berhasil. Dia membahas
"penalaran statistik sehari-hari," merangkum penelitian tentang pelatihan untuk
meningkatkan penalaran statistik, dan menyajikan beberapa program pelatihan
sendiri yang dirancang untuk mengajarkan orang untuk menggunakan jenis
tertentu penalaran secara benar (misalnya melibatkan probabilitas bersyarat,
sampel, dan inferensi Bayesian).
Lovett (2001) menyarankan suatu model lingkungan belajar yang
membantu siswa mengembangkan penalaran statistik dengan benar yang akan
dievaluasi dalam kajian penelitian selanjutnya. Kemudian Garfield and Ben-Zvi
(2008) mengemukakan suatu model bagi pembelajaran statistik pada level sekolah
menengah dan perguruan tinggi untuk meningkatkan penalaran statistik. Model ini
dikembangkan berdasarkan teori belajar konstruktivis, yang dinamakan Statistical
Reasoning Learning Environment (SRLE). SRLE adalah suatu kelas statistik yang

158
efektif dan positif yang mengembangkan pemahaman yang mendalam dan
bermakna siswa tentang statistik dan membantu siswa mengembangkan
kemampuan mereka dalam berpikir dan bernalar secara statistik. Pendekatan ini
dinamakan suatu lingkungan belajar karena adanya kombinasi interaktif antara
teks materi, aktivitas dan budaya kelas, diskusi, teknologi, pendekatan dan
penilaian pengajaran. Pada model ini terdapat enam prinsip desain pembelajaran
sebagaimana yang dikemukakan Cobb and McClain (2004), yaitu:
1. Fokus pada ide sentral statistik,
2. Penggunaan data riil dan motivating,
3. Penggunaan aktivitas kelas untuk mengembangkan penalaran statistik siswa,
4. Mengintegrasikan alat teknologi yang sesuai,
5. Mendorong wacana kelas, dan
6. Melaksanakan alternatif asesmen
Terdapat pula suatu kerangka berdasarkan Taksonomi SOLO (Stucture of
the Observed Learning Outcome) yang dapat digunakan untuk menilai penalaran
inferensial informal mahasiswa pascasarjana telah dikembangkan oleh Mohd Nor,
M, Noraini Idris (2010). Kerangka ini terdiri dari seperangkat deskriptor dari level
penalaran dan interview task yang dapat digunakan untuk mengumpulkan bukti
penalaran inferensial informal mahasiswa. Interview task terdiri dari suatu
konteks penelitian hipotetik yang disertai dengan dua box plots yang
merepresentasikan data yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut dan dua
pertanyaan, pertanyaan pertama meminta siswa menarik kesimpulan berdasarkan
dua box plots dan menilai kesimpulan mereka, pertanyaan kedua menanyakan
apakah kesimpulan mereka dapat digeneralisasi dan memberikan penjelasan
tentang hal tersebut.
Selain itu terdapat pula studi tentang aspek Pedagogical Content
Knowledge pada guru yang mengajarkan data Bivariate (Quintas, S., Ferreira,
R.T., Oliveira, H (2014). Hasil analisis PCK dua guru yang diamati ketika mereka
mengajarkan data bivariate dalam statistika menunjukkan bahwa ada beberapa
kesulitan pada dalam memproses dan mendukung siswa menganalisa dan
menafsirkan koefisien korelasi serta pada penalaran tentang garis regresi dan

159
model regresi linier. Ketika mengamati scatterplot, hanya hubungan linier saja
yang dieksplorasi bahkan pada grafik menunjukkan yang sebaliknya. Selain itu,
tidak terdapat analisis tentang bentuk distribusi yang berkaitan dengan keradaan
kelompok atau pencilan, atau bagaimana hal ini dapat berakibat pada nilai
koefisien korelasi. Kedua guru ini nampaknya tidak memiliki pengalaman yang
kuat dalam membahas data bivariate yang disajikan dengan scatterplot, yang
berdampak secara negatif terhadap KCS mereka. Kedua guru ini perlu membantu
siswa mengembangkan penalarannya secara lebih mendalam tentang hubungan
bivariate, yang mencakup aspek struktur dan kekuatan, penyesuaian model dan
aturan pada model regresi linier dalam memprediksi peristiwa. Sehingga perlu
memelihara pemahaman siswa tentang konsep yang berkaitan dengan korelasi dan
regresi ketika mereka menegjakan tugas menyertakan data bivariate pada konteks
kelas.
Ben-Zvi (2006) menemukan bahwa penggunaan teknologi informasi
berdampak positif terhadap perkembangan kemampuan penalaran statistik.
Penelitian pada siswa kelas 5 SD menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
argumentative dan menyimpulkan ide secara informal dengan menggunakan
Tinker Plots software. Efek dari penggunaan software ini banyak dikaji oleh
beberapa peneliti diantaranya Fitzallen & Watson (2010) yang menguji dampak
pemanfaatan software TinkerPlots untuk mengembangkan penalaran statistik pada
26 siswa kelas 5 dan 6. Siswa dilibatkan dalam empat kali pembelajaran yang
berkaitan dengan pengumpulan data, representasi data, ringkasan data dan
inferensi data berdasarkan aktivitas olahraga dimana mereka harus mengukur
denyut jantung sebelum dan setelah aktivitas tersebut kemudian menggunakan
TinkerPlots untuk menganalisis data. Setelah dilibatkan dalam pembelajaran
selama sebulan, siswa berkembang menjadi pengguna TinkerPlots yang
independen. Mereka dapat berubah dari mengikuti prosedur yang diajarkan di
dalam kelas menjadi siswa yang menggunakan TinkerPlots secara kereatif, serta
dapat menyesuaikan dengan apa yang mereka butuhkan.

160
Terkait dengan asesmen penalaran statistik, telah banyak dikembangkan
pada pembelajaran pentar statistik oleh beberapa peneliti (dalam Ziegler: 2014),
diantaranya:
1. Statistics Reasoning Assessment (SRA; Garfield, 2003),
2. Statistics Concepts Inventory (SCI; Reed-Rhoads, Murphy, & Terry, 2006),
3. Comprehensive Assessment of Outcomes in a First Statistics Course (CAOS;
delMas et al., 2007),
4. Assessment Resource Tools for Improving Statistical Thinking (ARTIST;
Garfield et al., 2002)
5. Topic Scale tests, Quantitative Reasoning Test-Version 9 (QR-9; Sundre,
Thelk, & Wigtil, 2008),
6. Goals and Outcomes Associated with Learning Statistics (GOALS; Garfield
et al., 2012), dan
7. Basic Literacy In Statistics (BLIS; Ziegler, 2014)
Selain itu, Chan dan Ismail (2014) membuat alat penilaian (asesmen) yang
dapat digunakan untuk memperhalus dan memvalidasi kerangka penalaran
statistik awal. Terdapat 5 tugas dalam instrumen ini dan setiap itemnya diberi
label berdasarkan empat kontruk kunci. Perangkat teknologi yang digunakan
dalam menyelesaikan tugas ini adalah software matematika dinamik. Alat
penilaian (asesmen) penalaran statistik berdasarkan teknologi dapat diaplikasikan
untuk penelitian lanjutan.
Sebuah forum penelitian internasional yang bertujuan untuk mendorong
penelitian yang memfokuskan pada berpikir dan bernalar siswa yang dinamakan
The International Collaboration for Research on Statistical Reasoning, Thinking
and Literacy (SRTL) yang diinisiasi oleh Joan Garfield dan Dani Ben-Zvi mulai
tahun 1999. Pada awalnya forum ini memfokuskan pada perbedaan tipe penalaran
statistik (SRTL-1, 1999; SLTR-1, 2001), penalaran tentang variasi (SLTR-3,
2002), dan penalaran tentang distribusi (SLTR-4, 2005). Mulai tahun 2007 forum
ini memfokuskan kajiannya pada penalaran inferensial, penalaran inferensi
statistik (SLTR-5, agustus 2007), peranan bukti dan konteks dalam penalaran

161
inferensial informal (SLTR-6, 2009), penalaran tentang sampel dan pengambilan
sampel (SLTR-7, 2011) dan penalaran tentang uncertainty (SLTR, 2013).
Studi terkini telah memfokuskan penelitian pada pemahaman
pengembangan ide tentang kesimpulan statistik informal pada siswa sebagai suatu
cara membangun pemahaman konseptual mereka tentang dasar pengambilan
keputusan statistik dari ide yang lebih formal. Kelompok peneliti ini menamakan
tipe penalaran ini sebagai penalaran IIR (Informal Inference Reasoning) dan
memandangnya sebagai hal yang penting bagi siswa pada seluruh tingkatan untuk
dikembangkan dan digunakan untuk membuat prediksi dan keputusan tentang
data. (Garfield, et.al.: 2015).
Review literature tentang berpikir expert dan berpikir statistik memberikan
pertimbangan bagi pengajaran siswa pada berbagai level pendidikan. Ketika
matematikawan membuat inferensi, mereka menggunakan domain pengetahuan
tertentu yang berkaitan dengan sampling variability (seperti pengetahuan tentang
ukuran sampel dan sample variability) untuk membuat generalisasi atau
perbandingan. Mereka juga memanfaatkan pengetahuan kontekstual (misalnya,
metode pengumpulan data, konteks masalah) dan juga pengalaman masa lalu
untuk membuat perkiraan dan keputusan yang masuk akal. (Garfield, et al: 2015).
Beberapa implikasi pedagogis antara lain (Garfield, et al: 2015):
1. Mengatur kurikulum untuk mengenali pola bermakna dari pengetahuan
(seperti: jaringan pengetahuan, visualisasi konsep kunci, relasi antar konsep
menggunakan peta konsep).
2. Memberikan siswa permasalahan data otentik (kompleks, menakjubkan,
bertentangan) daripada masalah pada buku yang sifatnya kanonikal.
3. Membantu siswa mengenali nilai kedalaman 1 mil dibandingan degan
luasnya pengetahuan yang dapat membantu kita mendesain pembelajaran
berbasis proyek.
4. Mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa melihat bagaimana
expert menyelesaikan masalah, menghadapi kesulitan dan seterusnya.
5. Menggunakan media pembelajaran yang dinamis dan interaktif yang
membantu siswa memiliki pengalaman investigasi seperti expert

162
6. Mengajarkan siswa menggunakan berpikir metakognisi tidak sekedar berpikir
statistik.
7. Mulai menggunakan pendekatan informal dalam pengambilan kesimpulan
statistik awal pada pendidikan dasar dan secara terus menerus membangun
pendekatan ini seperti aktivitas “mengembangkan suatu sampel” (Bakker:
2004, Ben-Zvi: 2006)
8. Memanfaatkan teknologi inovatif (seperti TinkerPlot) yang mendukung
eksplorasi data seperti pendekatan modeling pada usia yang relative awal.
Suatu penelitian logitudinal ini yang bertujuan untuk mengetahui dampak
jangka panjang pembelajaran pada mahasiswa tingkat Sembilan, tiga tahun setelah
mereka terlibat dalam intervensi tiga tahun (tingkat 4 – 6) pada Connection
Program menunjukkan bahwa mahasiswa mengikuti program melebihi
kemampuan mahasiswa yang tidak mengikuti program pada tiga bagian yaitu: (1)
pemahaman konseptual, (2) inferensi statistik informal dan (3) penyatuan
pandangan tentang suatu distribusi. Namun penelitian ini dikatakan memiliki
keterbatasan pada kajian idiosyncratic circumstances. (Gil & Ben-Zvi: 2014).
Makar (2013) mengkaji gagasan awal anak-anak tentang rata-rata dalam
satu kelas penyelidikan untuk pertanyaan “Is there a typical height for a student
in year 3? If so, what is it?”. Serangkaian pembelajaran dianalisis pada siswa
kelas tiga (26 orang siswa berusia 8 tahun) pada suburban school di Quensland
Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima konsep kunci
“typical” (rata-rata) yang diperdebatkan siswa, yaitu (1) a reasonable height, (2)
the most common value or interval of data in the class, (3) the middle height, (4)
the medium (normative) population height and (5) representative of a
subpopulation. Penelitian ini memberikan saran bahwa elemen yang diidentifikasi
mendukung penalaran inferensial informal adalah
a. Lingkungan belajar berbasis inkuiri, kelas dimana data digambarkan sebagai
salah satu yang dikembangkan dalam penyelidikan matematika. Pertanyaan
yang diberikan ill-structured dan ambigu.
b. Konsep dan alat bantu statistik. Anak-anak mungkin memahami gagasan
tentang outliers, group comparisons, sampling variability,

163
representativeness, populations dan informal inference melalui suatu
lingkungan belajar berbasis inkuiri. Penggunaan konsep statistik secara
informal menunjukkan bahwa mereka membangun pengetahuan dasar yang
selanjutnya mungkin dapat berkembang ketika mereka kembali menghadapi
permasalahan yang lebih kompleks.
c. Konflik. konflik yang dihadapi siswa antara harapan dan pesan yang
diinterpretasikan dalam data memberi mereka kesempatan untuk berdebat,
memperjelas dan berusaha untuk menyelesaikan ide-ide mereka. Konflik ini
muncul dari kompleksitas situasi otentik dan budaya penyelidikan yang
mendorong konsep statistik muncul melalui perdebatan dan musyawarah.
Sebuah aspek kunci di sini adalah 'keterampilan guru dalam memprovokasi
penalaran siswa serta pengembangan budaya kelas yang menghargai
percakapan substantif
Pemahaman tentang konteks masalah berperan penting dalam investigasi
statistik. Gil & Ben-Zvi (2011) mengkaji peranan penjelasan siswa dalam
memaknai data dan belajar bernalar secara informal tentang inferensi statistik.
Hasil penelitian menjukkan bahwa terdapat 4 tipe penjelasan yang memunculkan
penalaran inferensial informal siswa, yaitu:
1. Descriptive explanation, memberikan deskripsi statistik tentang bagaimana
interpretasi atau inferensi berdasarkan representasi data.
2. Abductive explanation, memberikan catatan hipotetis tentang alasan
kontekstual dan teoritis tentang fenomena yang diinvestigasi
3. Reasonableness explanation, memberikan suatu dasar bagi penegasan
kewajaran/ ketidakwajaran suatu inferensi dan keperluan ekplorasi dan
penjelasan lanjutan.
4. Conflict resolution,memberikan resolusi terhadap konflik antara suatu
ekspektasi dengan inferensi yang diajukan.
Sedangkan Pfannkuch (2011) menemukan bahwa data-context dan
learning-experience-contexts berperan penting dalam mengembangkan penalaran
inferensial informal siswa. Studi ini menyarankan bahwa ketika
mempertimbangkan "konteks" sebagai peran sentral dalam pengembangan

164
berpikir statistik, pengaruhnya dalam siklus penyelidikan (inquiry cycle) dan pada
pengembangan konsep berdampak nyata. Implikasi dari penelitian ini adalah
bahwa usaha untuk merancang kegiatan yang meningkatkan dan memajukan
penalaran inferensial statistik siswa mungkin perlu diperhitungkan learning-
experince-context dan bahwa guru dan peneliti perlu menyadari bagaimana
mereka menggunakan data-context dan learning-experince-context untuk
membentuk penalaran dalam siklus penyelidikan dan untuk mengembangkan
konsep.

Prospek Penelitian Yang Dapat Dikembangkan


Studi tentang penalaran statistik di Indonesia masih jarang dilaksanakan.
Selama ini pembelajaran statistik baik di sekolah maupun di perguruan tinggi
belum tereksplorasi secara mendalam, terlebih pada jenjang sekolah menengah.
Pembelajaran statistik di sekolah masih mengedepankan keterampilan prosedural
dan kurang memanfaatkan software atau aplikasi alat bantu seperti TinkerPlot.
Sehingga perlu pengkajian tentang penalaran statistik siswa apabila dilibatkan
dalam lingkungan belajar berbasis inkuiri dengan bantuan teknologi.
Selain itu, pengkajian tentang penalaran siswa terkait topik tertentu pada
statistik, seperti: sample, variabilitas sampling, distrubusi sampel, inferensi
statistik serta topik lainnya perlu digali secara mendalam. Berbagai instrumen
yang telah dikembangkan sebagaimana disebutkan sebelumnya mungkin dapat
digunakan untuk mengetahui kemampuan penalaran siswa pada berbagai konsep.
Penelitian terkini yang sedang menjadi tren dalam pendidikan statistik
adalah penalaran inferensial informal. Penalaran ini diyakini sangat penting
dimiliki oleh siswa sebelum mereka bernalar secara lebih formal tentang ide
statistik. Pengkajian ini mungkin menjadi prospek penelitian yang bagus untuk
dikembangkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa pertanyaan yang
mungkin dapat dikembangkan menjadi penelitian lanjutan, yaitu:
1. Bagaimana proses penalaran statistik pada aspek yang berkaitan dengan
masalah kehidupan sehari-hari?

165
2. Bagaimana perbedaan individu dalam bernalar statistik?
3. Bagaimana proses mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa pada
penalaran statistika?
4. Bagaimana mengembangkan model pembelajaran matematika yang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa pada penalaran statistika?
5. Bagaimana siswa memulai pengembangan konsep tentang inferensi statistik?
6. Bagaimanakah level penalaran inferensial informal pada siswa Sekolah
Menengah?
7. Aspek apakah yang mendukung perkembangan penalaran inferensial informal
siswa?

166
REFERENSI
Budẻ, L. (2006). Assessing Students‟ Understanding of Statistics. ICOTS-7.
Tersedia pada
http://www.ime.usp.br/~abe/ICOTS7/Proceedings/PDFs/InvitedPapers/6
G3_BUDE.pdf

Chan, S. W., Ismail, Z. A. (2014). Technology-Based Statistical Reasoning


Assessment Tool Indescriptive Statistics For Secondary School Students,
The Turkish Online Journal Of Educational Technology – January 2014,
Volume 13 Issue 1

Chan, W. S., Ismail, Z. (2012). The role of information technology in developing


students‟ statistical reasoning. Procedia - Social and Behavioral
Sciences. 46 ( 2012 ) 3660 – 3664

delMas , Robert C. (2002). Statistical Literacy, Reasoning, and Learning: A


Commentary, University of Minnesota, Journal of Statistics
Education Volume 10, Number 3 (2002). Tersedia pada:
http://www.amstat.org/publications/jse/v10n3/delmas_discussion.html

Fitzallen, Noleine. A Model of Students’ Statistical Thinking and Reasoning about


Graphs in an ICT Environment. Tersedia pada:
http://www.merga.net.au/documents/RP212006.pdf

Fitzallen, Watson. Developing Statistical Reasoning Falitated by TinkerPlots. In


C. Reading (Ed.), Data and context in statistics education: Towards an
evidence-based society. Proceedings of the Eighth International
Conference on Teaching Statistics (ICOTS8, July, 2010), Ljubljana,
Slovenia. Voorburg, The Netherlands: International Statistical Institute.
www.stat.auckland.ac.nz/~iase/publications.php

Garfield, J., Ben-Zvi, D. (2008a). Developing Students‟ Statistical Reasoning:


Connecting Research and Teaching, Springer Science+Bussines Media
B.V.

Garfield, J., Ben-Zvi, D.(2008b). Preparing School Teachers to Develop


Students‟ Statistical Reasoning. Proceeding of the ICMI Study 18 and
2008 IASE Round Table Conference

Garfield, J., Ben-Zvi, D. (2009). Helping Students Develop Statistical


Reasoning: Implementing a Statistical Reasoning Learning Environment.
Artikel pada:
https://www.causeweb.org/workshop/aims/Statistical%20Reasoning%20
Learning%20Environment.pdf

167
Garfield, J., Ben-Zvi, D. (2004). The Challenge Of Developing Statistical
Literacy, Reasoning And Thinking, Springer Science+Bussines Media
B.V.

Garfield, J. (2002). The Challenge of Developing Statistical Reasoning, Journal of


Statistics Education Volume 10, Number 3 (2002), University of
Minnesota. Tersedia pada
www.amstat.org/publications/jse/v10n3/garfield.html

Garfield, Laura Le, Zieffler & Ben-Zvi. (2015). Developing students‟ reasoning
about samples and sampling variability as a path to expert statistical
thinking. Educ Stud Math (2015) 88:327–342. DOI 10.1007/s10649-014-
9541-7

Gil, E, Ben-Zvi, D. (2014). Long-Term Impact On Students‟ Informal Inferential


Reasoning. In K. Makar, B. de Sousa, & R. Gould (Eds.), Sustainability
in statistics education. Proceedings of the Ninth International
Conference on Teaching Statistics (ICOTS9, July, 2014), Flagstaff,
Arizona, USA. Voorburg, The Netherlands: International Statistical
Institute.

Gil., E., Ben-Zvi, D. (2011). Explanation and Context in the Emergence of


Students‟ Informal Inferential Reasoing. Mathematical Thinking and
Learning, 13, 87–108, (2011).

Lovett, M. (2001). A collaborative convergence on studying reasoning processes:


A case study in statistics. In D. Klahr & S. Carver (Eds.). Cognitive and
instruction: Twenty-five years of progress (pp. 347-384). Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum.

Lovett, M., (2001). A collaborative convergence on studying reasoning processes:


A case study in statistics. Cognition and Instruction: Twenty-Five Years
of Progress, eds. D. Klahr and S. Carver, Mahwah, NJ: Lawrence
Erlbaum, 347-384.

Makar, K. (2013). Young children's explorations of average through informal


inferential reasoning. Educ Stud Math. Springer Science+Business
Media Dordrecht 2013 DOI 10.1007/s10649-013-9526-y Publish online:
13 Desember 2013

Martin, G. (2009). Focus in school mathematics: Reasoning and sense making.


National Council of Teachers of Mathematics.

Mohd Nor, M, Noraini Idris, Assessing Students‟ Informal Inferential Reasoning


using SOLO Taxonomy based Framework. Procedia Social and
Behavioral Sciences 2 (2010) 4805–4809

168
Nick J. Broers Learning Goals: The Primacy Of Statistical Knowledge. ICOTS-7,
2006: Broers. Tersedia pada:
https://www.stat.auckland.ac.nz/~iase/publications/17/6G2_BROE.pdf

Pfannkuch, M. The Role of Context in Developing Informal Statistical Inferential


Reasoning: A Classroom Study. Mathematical Thinking and Learning,
13: 27 – 46, (2011)

Quintas, S., Ferreira, R.T., Oliveira, H., (2014). Attending To Students‟ Thinking
On Bivariate Statistical Data At Secondary Level: Two Teachers‟
Pedagogical Content Knowledge, In K. Makar, B. de Sousa, & R. Gould
(Eds.), Sustainability in statistics education. Proceedings of the Ninth
International Conference on Teaching Statistics (ICOTS9, July, 2014),
Flagstaff, Arizona, USA. Voorburg, The Netherlands: International
Statistical Institute

Sedlmeier, Peter. (1999). Improving statistical reasoning: theoretical models and


practical implications. Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.

Ziegler, (2014). Reconceptualizing Statistical Literacy: Developing An


Assessment For The Modern Introductory Statistics Course. Disertasi.
University of Minessota.

169
170

Anda mungkin juga menyukai