COVER DALA M
i
VARIASI KONSTRUK DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Editor
Dr. Abdur Rahman As’ari, M.Pd, MA
Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
i
VARIASI KONTRUK DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh
Dr. Abdur Rahman As'ari, M.Pd, MA, dkk
ISBN : 978-602-1150-25-2
xii + 179 hal, 29 x 20.5
ii
KATA PENGANTAR
Penyusun
iii
iv
DAFTAR ISI
v
DAFTAR KONTRIBUTOR
vi
PENDAHULUAN
vii
menerima dan mempercayai kebenaran suatu informasi. Orang yang berpikir kritis
senantiasa menantang, menganalisis, dan menilai kebenaran dari informasi tersebut
agar kebenarannya bisa dipertahankan dan dipertanggungjawabkan. Orang yang
berpikir kritis senantiasa menganalisis informasi dan memunculkan gagasan yang
dilandasi dari berbagai sumber secara seksama dan logis. Kegiatan yang menuntut
sebagian dari kegiatan berpikir kritis itu antara lain adalah kegiatan ketika
seseorang : (1) harus mengambil keputusan apakah perlu atau tidak perlu
mempercayai suatu informasi , (2) mengambil langkah untuk menyelidiki
kebenaran suatu informasi, (3) mengemukakan argumen terhadap orang yang tidak
mempercayai kita, maka orang tersebut pasti berpikir kritis.
Berpikir kreatif merupakan sesuatu kekuatan terorganisir bersifat abstrak,
berani, disiplin, tidak pernah berhenti yang muncul akibat kondisi lingkungan dan
menjadi pendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Orang yang berpikir
kreatif (creative thinker) memiliki gaya berpikir inovatif, ketekunan, dan yang
memiliki keberanian khas berdasarkan keyakinan mereka sendiri dan kesediaan
untuk mengambil risiko. Ciri utama dari berpikir kreatif adalah penciptaan suatu
gagasan baru, belum pernah dilihat atau belum pernah dipikirkan sebelumnya.
Berpikir reflektif merupakan proses berpikir yang terarah dan tepat dimana
individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi, mendapatkan makna yang
mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Siswa yang memiliki
gaya reflektif cenderung menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan
merenungkan akurasi jawaban. Individu reflektif lebih lamban dan berhati-hati
dalam memberikan respons, tetapi cenderung memberikan jawaban secara akurat.
Siswa yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas-tugas seperti mengingat
informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami dan menginterpretasikan
teks, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Selain itu, siswa yang
reflektif juga mungkin lebih menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi
pada informasi yang relevan. Dan biasanya memiliki standar kerja yang tinggi
Dalam konteks pembelajaran di kealas, komunikasi matematis merupakan
interaksi yang direncanakan di ruang kelas, yang meliputi strategi seperti
pertanyaan, diskusi dan kegiatan kelompok dalam pembelajaran matematika.
viii
Sebelum proses pembelajaran di kelas dimulai sebaiknya guru harus merancang
proses pembelajaran diantaranya adalah membuat pertanyaan, pemberian
pertanyaan atau scafolding sehingga proses diskusi dalam kelompok, berbagi ide
matematika bisa berjalan lancar. Kegiatan komunikasi matematis dikelas dapat
diwujudkan dalam bentuk kegiatan diskusi dan berbagi ide matematis yang dapat
meningkatkan asimilasi antara pengalaman baru dan lama. Dengan berbagi ide
maka akan terjadi proses asimilasi sehingga dapat menggabungkan pengetahuan
baru bagi siswa dengan struktur pengetahuan yang sudah ada. Oleh karena itu
dengan komunikasi matematis dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap
konsep matematika.
Berpikir spasial merupakan proses-proses menangkap, mengkodekan
(encoding) dan memanipulasi secara mental dari bentuk spasial. Proses menangkap
merupakan kegiatan fisik yang melibatkan panca indra pada saat bertemu dengan
bentuk fisik suatu benda. Mengkodekan (encoding) mengacu pada bagaimana
mengubah suatu fisik, input sensorik menjadi suatu bentuk representasi yang dapat
ditempatkan ke dalam memori. Proses mental selanjutnya adalah penyimpanan
yang mengacu pada bagaimana mempertahankan informasi yang dikodekan dalam
memori kemudian bagaimana seseorang mendapatkan akses ke informasi yang
tersimpan dalam memori sehingga dapat menyajikannya kembali sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, Ketika seorang berpikir spasial, maka perhatiannya
akan terpusat pada lokasi objek, bentuknya, hubungannya dengan bentuk yang lain
dan proses jika bentuk-bentuk tersebut dipindahkan Pandangan lain menyatakan
bahwa berpikir spasial merupakan proses-proses mental pada penyajian,
penganalisisan dan penggambaran inferensi dari relasi spasial. Relasi spasial ini
bisa saja berupa relasi antara obyek-obyek atau relasi di dalam suatu obyek.
Seseorang dapat menganalisis relasi spasial sebagaimana dia dapat mengamati dan
menyajika atau membayangkan perubahan bentuk pada relasi spasial , misalnya
memutar secara mental suatu obyek tiga dimensi.
Penalaran induktif berangkat pada tahap yang dinamakan observasi. Dari
masing-masing observasinya seseorang tersebut mencari pola keterkaitan yang
dimiliki dari masing-masing observasi atau kejadian. Dari keterkaitan dari masing-
ix
masing kejadian atas hasil observasinya, seseorang dapat membuat kesimpulan
sementara dari masing-masing hasil observasi dan kejadian. Hasil kesimpulan
tersebut dinamakan dengan tentative hypothesis.Penalaran induktif, sebagai
kebalikan penalaran deduktif atau penalaran abduktif, adalah penalaran di mana
premis-premis dipandang untuk menyediakan atau mendukung bukti untuk
kebenaran suatu kesimpulan, namun bukti tersebut bukan merupakan bukti kuat.
Sedangkan konklusi dari argumen deduktif adalah pasti, tetapi kebenarannya dari
konklusi suatu argumen induktif belum bisa ditetapkan dan tergantung pada fakta-
fakta yang diberikan. Penalaran deduktif dapat dipandang sebagai proses penalaran
dari fakta atau pengamatan khusus untuk mencapai kemungkinan kesimpulan yang
dapat menjelaskan fakta-fakta. Penalaran induktif kemudian dapat menggunakan
kemungkinan kesimpulan untuk mencoba memprediksi kejadian selanjutnya.
Pembuktian (proofing) merupakan aktivitas mengontruksi bukti.
Pengonstruksian bukti menurut dapat dilakukan dengan mengeksplorasi apa yang
sudah diketahui dan prinsip yang mendasarinya untuk mencapai kesimpulan yang
diharapkan, kemudian mengerjakan kembali jika terjadi kesalahan sewaktu menulis
bukti, setelah bukti telah selesai ditulis dilakukan validasi secara keseluruhan.
Mengonstruksi bukti menawarkan skema bukti (proof scheme) dalam
menggambarkan proses pembuktian dengan kategori prosedural, sintaksis, dan
semantik. Skema bukti prosedural merupakan upaya membangun bukti dengan
mengikuti langkah-langkah tertentu yang akan menghasilkan bukti yang valid.
Skema bukti sintaksis merupakan upaya membangun bukti dengan memanipulasi
definisi dan fakta lain yang relevan serta benar dengan cara logis. Sedangkan
skema bukti semantik, mencoba untuk memahami mengapa pernyataan tersebut
benar dengan memeriksa representasi objek matematika yang relevan dan
kemudian menggunakan argument intuitif sebagai dasar untuk membangun bukti
formal.
Penalaran statistik mencakup penggunaan ide dan alat statistik untuk
merangkum dan menggambarkan asumsi disamping membuat kesimpulan
berdasarkan data. Penalaran statistik merupakan penafsiran berdasarkan data dan
penarikan inferensi dari data. Terdapat 5 tahapan model perkembangan penalaran
x
statistik pada siswa, yaitu: penalaran idiosinkratik (idiosyncratic reasoning),
penalaran verbal, penalaran transisional, penalaran procedural, dan penalaran
proses terintegrasi. Pada penalaran idiosinkratik, siswa mengetahui beberapa kata
dan simbol tentang distribusi sampel dan dapat menggunakannya tanpa benar-benar
memahaminya, kadangkala salah, dan mungkin mempersulit mereka dengan
informasi yang tidak relevan. Pada penalaran verbal, siswa memiliki pengetahuan
verbal tentang beberapa konsep tetapi tidak dapat mengaplikasikannya dalam suatu
konteks. Misalnya, siswa dapat memberikan definisi secara benar tetapi tidak
secara penuh memahami implementasi konsepnya. Misalnya siswa memahami
definisi rata-rata dan median, tetapi tidak dapat menjelaskan bahwa rata-rata lebih
besar dari median pada distribusi sampel yang kemencengannya positif. Pada
penalaran transisional, siswa mampu mengindentifikasi satu atau dua dimensi dari
proses proses statistik secara benar tanpa sepenuhnya mengintegrasikan dimensi
tersebut. Pada penalaran prosedural, siswa siswa mampu mengindentifikasi satu
atau dua dimensi konsep atau proses statistik secara benar tetapi tidak sepenuhnya
mengintegrasikan dan memahami proses tersebut untuk menghasilkan proses
tersebut. Sedangkan pada penalaran proses terintegrasi, siswa memiliki
pemahaman yang lengkap tentang dimensi konsep atau proses statistic secara benar
serta mampu menyesuaikan aturan sesuai konteks yang dihadapi.
--------------------------------------------------------
xi
BAB I
BERPIKIR KRITIS
1
BAB – I BERPIKIR KRITIS
A. PENDAHULUAN
Mengembangkan kemampuan dan disposisi berpikir kritis merupakan hal
yang sangat penting dalam dunia pendidikan saat ini. Di samping diperlukan untuk
sukses belajar di jenjang yang lebih tinggi (As‟ari, 2014; Starkey, 2004),
kemampuan dan disposisi berpikir kritis memungkinkan seseorang membuat
keputusan yang lebih baik (Cottrell, 2005), tidak mudah tertipu (Bowell & Kemp,
2002), menunjukkan kinerja yang baik dalam dunia kerja (Starkey, 2004) dan
menikmati kedamaian di dunia (As‟ari, 2014). Keterampilan dan disposisi berpikir
kritis bahkan dipercaya sebagai salah satu dari empat keterampilan (4C‟s: Critical
Thinking, Creative Thinking, Collaboration, and Communication skills) yang
sangat diperlukan untuk sukses di dunia dalam era global (As‟ari, 2015; As‟ari.
2016). Oleh karena itu, para pendidik matematika khususnya harus mendorong
tumbuh dan berkembangnya kemampuan dan disposisi berpikir kritis siswanya.
2
atau apa yang harus dilakukan. Dengan berpikir kritis, keputusan yang diambil
(mempercayai apa yang diinformasikan, atau melakukan apa yang diperintahkan)
harus diperiksa terlebih dahulu kelogisannya. Di samping itu, kegiatan berpikir itu
harus dilakukan dengan penuh kesadaran (Innabi, 2003). Semua langkah yang
dilakukan dalam pengambilan kesimpulan harus disadari, dinilai, dan diperbaiki
manakala diperlukan.
Di samping logis dan reflektif, sebenarnya ada dua hal yang perlu
mendapatkan perhatian dari definisi berpikir kritis yang dikemukakan Ennis (2011)
di atas, yaitu to believe (mempercayai) or to do (melakukan). Definisi ini memang
mencakup dua tantangan dalam berpikir kritis, yaitu: (1) mempercayai klaim atau
argumen, baik tertulis maupun lisan, dan (2) melakukan hal yang diminta atau
diperintahkan untuk dikerjakan. Ennis (2011) memang membedakan antara critical
thinking abilities (kemampuan berpikir kritis), yaitu berpikir kritis dalam rangka
memutuskan apakah dia harus mempercayai atau tidak dengan critical thinking
dispositition (disposisi berpikir kritis), yaitu berpikir kritis dalam rangka
memutuskan apakah dia harus melakukan tindakan yang diminta/diperintahkan
atau tidak.
Moon (2008) mengumpulkan berbagai definisi tentang kemampuan berpikir kritis.
Salah satu definisi yang disajikannya adalah sebagai berikut.
Critical thinking is the ability to consider a range of information
derived from many different sources, to process this information in
a creative and logical manner, challenging it, analysing it and
arriving at considered conclusions which can be defended and
justified.
Tampak bahwa berpikir kritis itu dipandang sebagai kemampuan dalam mengolah
informasi secara logis. Orang yang berpikir kritis tampaknya tidak dengan serta
merta menerima dan mempercayai kebenaran suatu informasi. Orang yang berpikir
kritis senantiasa menantang, menganalisis, dan menilai kebenaran dari informasi
tersebut agar kebenarannya bisa dipertahankan dan dipertanggungjawabkan. Orang
yang berpikir kritis senantiasa menganalisis informasi dan gagasan dari berbagai
sumber secara seksama dan logis (Alfrey & Cooney, 2009). Segala macam klaim,
3
informasi, simpulan, atau pun argumen selalu dianalisisnya terlebih dahulu
sebelum mempercayai. Oleh karena itu, terdapat beberapa proses yang dilakukan
ketika seseorang berpikir kritis
Menurut Lai (2011), beberapa keterampilan yang terlibat dalam berpikir kritis
adalah:
1. Menganalisis argumen,
2. Membuat inferensi (simpulan) menggunakan penalaran induktif atau deduktif,
3. Melakukan evaluasi (judging or evaluating), dan
4. Membuat keputusan.
The Cambridge Assessment (Black, 2008) mengemukakan bahwa proses -
proses tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis argumen (analysing arguments).
2. Mempertimbangkan kesesuaian dan signifikasi informasi yang diperoleh
(judging the relevance and significance of information).
3. Menilai klaim, simpulan, argumen dan penjelasannya (evaluating claims,
inferences, arguments and explanations).
4. Menghasilkan argumen yang jelas dan koheren (constructing clear and
coherent arguments).
5. Mengambil keputusan yang logis (forming well-reasoned judgements and
decisions).
National Education Association (tanpa tahun) mengemukakan hal yang
hampir serupa. Dikemukakan bahwa di dalam berpikir kritis, seseorang melakukan
beberapa hal berikut
1. Menalar secara efektif (Reason effectively) menggunakan berbagai macam
penalaran (induktif, deduktif, dll) yang sesuai dengan situasinya
2. Menggunakan pemikiran sistem (Use system thinking) yaitu menganalisis
bagaimana bagian dari suatu keseluruhan berinteraksi satu sama lain untuk
menghasilkan luaran yang menyeluruh di dalam sistem yang kompleks
3. Membuat keputusan (make judgements and decisions) dengan cara:
a. Menganalisis dan menilai bukti, argumen, klaim, dan kepercayaan secara
efektif
4
b. Menganalisis dan menilai sudut pandang alternatif yang utama
c. Mensintesis and membuat koneksi antara informasi dengan argumen
d. Menafsirkan informasi dan menarik kesimpulan berdasarkan analisis terbaik
e. Melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman dan proses belajarnya
Sehubungan dengan proses-proses yang dilalui dalam berpikir kritis di atas,
Watson & Glazer menggunakan beberapa konstruk yang digunakan oleh untuk
mengukur kemampuan berpikir kritis seseorang (Saadati, Tarmizi, & Bayat, 2010),
yaitu:
1. Interpretation yang berarti menimbang bukti dan memutuskan apakah
generalisasi atau kesimpulan yang dikembangkan dari data yang ada tersebut
sudah terjamin
2. Deduction yaitu menentukan apakah kesimpulan tertentu memang merupakan
merupakan syarat perlu dari pernyataan atau premis yang diberikan
3. Evaluation yaitu membedakan antara argumen yang kuat dan relevan dengan
argumen yang lemah atau tidak relevan terkait dengan pertanyaan atau isyu
tertentu
4. Inference adalah membedakan derajat kebenaran atau kesalahan dari simpulan
yang diambil dari data yang disediakan
5. Recognition of assumptions yaitu mengenali asumsi yang tidak ternyatakan di
dalam suatu pernyataan tertentu.
Kalau semua hal di atas telah dilakukan secara konsisten, kemampuan berpikir
kritis ini akhirnya akan menjadi kebiasaan. Orang yang terbiasa berpikir kritis ini
akhirnya akan memiliki kecenderungan untuk berpikir kritis, dan disposisi adalah
suatu kecenderungan umum untuk melakukan sesuatu ketika diberikan kondisi
tertentu (Ennis, 1996). Karena itu, disposisi berpikir kritis adalah kecenderungan
menggunakan pemikiran kritis ketika dihadapkan dengan situasi tertentu.
5
kemampuan berpikir kritis seseorang, beberapa hal berikut tampaknya perlu
dilakukan.
1. Claim/Argumen Identification. Menilai apakah orang tersebut bisa menentukan
apakah kalimat yang dihadapinya merupakan suatu klaim/argumen atau bukan.
Orang yang memiliki kemampuan berpikir kritis pasti bisa membedakan
apakah suatu kalimat merupakan suatu klaim atau bukan. Orang yang memiliki
kemampuan berpikir kritis akan bisa membedakan apakah suatu kumpulan
kalimat merupakan suatu argumen atau bukan. Dengan demikian, untuk menilai
apakah seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis, hal yang bisa dilakukan
adalah dengan memberikan suatu kalimat atau kumpulan kalimat dan meminta
yang bersangkutan menentukan apakah kalimat atau kumpulan kalimat tersebut
merupakan suatu klaim/argumen atau bukan. Kalau dia mampu menentukan
secara tepat jawab yang seharusnya, maka dia berpotensi memiliki kemampuan
berpikir kritis (meskipun belum sepenuhnya).
2. Premises and Conclusion Identification. Menilai apakah orang tersebut bisa
menentukan premis dan simpulan dari klaim/argumen yang dibuat. Orang yang
berpikir kritis, ketika dihadapkan dengan suatu klaim atau argumen, dia akan
akan bisa menyatakan klaim atau argumen tersebut menjadi kalimat jika maka,
dan menetapkan mana yang menjadi premis dan mana yang menjadi simpulan.
Karena itu, kalau ketika diberikan suatu klaim atau argumen, seseorang tidak
mampu menentukan mana premis dan mana simpulannya, orang tersebut sudah
pasti dapat dikatakan tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.
3. Possible Assumption(s) Identification. Menilai apakah orang tersebut
mengenali asumsi yang digunakan, dan asumsi lain yang juga bisa digunakan.
Orang yang berpikir kritis, akan mampu menentukan asumsi (baca= semesta
pembicaraan) yang diperlukan agar klaim atau argumen yang dihadapinya
bernilai benar atau salah. Karena itu, orang yang berpikir kritis pasti mampu
menentukan dengan asumsi apa suatu klaim atau argumen bernilai benar, dan
dengan asumsi apa suatu klaim atau argumen bernilai salah. Menghadapi orang
yang membuat klaim atau argumen tertentu, dan yakin dengan kebenaran klaim
6
atau argumennya, orang yang berpikir kritis pasti tahu dengan pasti asumsi atau
semesta pembicaraan yang digunakan oleh orang tersebut.
4. Inferencing. Menilai apakah orang tersebut mampu mengambil inferensi dari
suatu pernyataan atau premis. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang
mampu menggunakan teknik pengambilan kesimpulan (induktif maupun
deduktif) yang valid. Karena itu, orang yang berpikir kritis mampu menentukan
simpulan apa saja yang tepat manakala diberikan suatu premis kepadanya.
5. Validating. Menilai apakah orang tersebut mampu menilai kevalidan dari
argumen. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang mampu memberikan
justifikasi terhadap keabsahan penarikan kesimpulan. Dia bisa menentukan
teknik penarikan kesimpulan yang digunakan, dan menilai tepat tidaknya
penggunaan unsur-unsurnya.
6. Other points of view identification. Menilai apakah orang tersebut mampu
mengidentifikasi argumen valid lain yang mungkin terjadi. Orang yang berpikir
kritis adalah orang yang luwes dalam menerima simpulan lain yang memenuhi
prinsip-prinsip penarikan kesimpulan yang valid.
7. Comparing & Contrasting of Claims/Conclusions. Menilai apakah orang
tersebut bisa membanding-bandingkan kelebihan dan kelemahan dari klaim
atau simpulan yang terbentuk. Orang yang berpikir kritis mampu
membandingkan kekuatan dan kelemahan dalam suatu argumen. Orang yang
berpikir kritis mampu membedakan mana argumen yang kebenaran
simpulannya dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan berasal dari premis-
premisnya, dan mana argumen yang kebenaran simpulannya masih harus
bersandar pada asumsi tertentu yang tidak dibicarakan secara eksplisit di dalam
argumen tersebut.
8. Decision Making. Menilai apakah orang tersebut mampu memilih dan
mengambil keputusan yang tepat. Berdasarkan kemampuan menilai kekuatan
dan kelemahan argumen yang dimiliki, orang yang berpikir kritis, mampu
mengambil keputusan yang terbaik dari sekian banyak alternatif yang tersedia.
9. Communicating Ideas. Menilai apakah orang tersebut mampu
mengomunikasikan idenya dengan santun dan penuh hormat (respek). Orang
7
yang berpikir kritis bukanlah orang yang suka menolak pendapat orang lain
dengan lantang dan menyakitkan. Orang yang berpikir kritis justru harus
memiliki empati. Orang yang berpikir kritis mampu mengemukakan ide dan
pemikirannya secara santun. Meskipun pendapatnya berbeda dengan orang
yang memiliki klaim atau argumen tertentu, orang yang berpikir kritis mampu
mengomunikasikan idenya dengan baik. Orang yang berpikir kritis peduli
dengan dampak pengungkapan idenya.
Sehubungan dengan hal di atas, untuk mengetahui contoh orang yang
memiliki kemampuan berpikir kritis, maka 9 (sembilan) aspek di atas harus diukur.
Kalau semuanya dapat dipenuhi, maka kemampuan berpikir kritis dari orang
tersebut dapat dikatakan tinggi.
Kemampuan pertama dan kedua (claim/argument dan premise and
conclusions identifications) di atas merupakan persyaratan utama yang tidak bisa
ditolak. Kalau seseorang tidak bisa menentukan apakah sesuatu merupakan
klaim/argumen atau tidak, atau orang tersebut tidak bisa membedakan mana yang
merupakan premis dan mana yang menjadi simpulan dalam suatu argumen, orang
tersebut jauh dari dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis. Orang tersebut
cenderung tidak memiliki kemampuan berpikir kritis.
Menilai seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik atau tidak
akan lebih mudah dengan mengukur disposisi berpikir kritisnya. Dengan melihat
bagaimana kecenderungan orang tersebut dalam menjalankan perintah atau
permintaan, kita akan dengan mudah melihat apakah orang itu cenderung berpikir
kritis atau tidak. Tapi, setelah melihat disposisinya, barulah kita mengkaji secara
lebih mendalam. Kita bisa meminta yang bersangkutan untuk menyuarakan secara
nyaring (thinking aloud) proses berpikirnya ketika mengambil keputusan
melakukan tindakan tersebut.
8
Contoh 1
Misalkan si A dan B diberi soal sebagai berikut.
Diketahui Segitiga ABC adalah segitiga siku-siku
dengan sudut C adalah 60 derajat. BD
adalah garis tinggi.
Panjang CD 1 satuan
Panjang BC 3 satuan
Panjang AB 4 satuan
Tentukan keliling segitiga ABD
√ √ √
√ √ √ √
Bertentangan. Karena itu, soal ini salah. Saya tidak perlu mencari keliling
yang diperintahkan.
9
Sementara itu, si B menunjukkan yang sebaliknya. Dia melakukan inferensi
terlebih dahulu terhadap premis yang diberikan dan mengambil keputusan dengan
benar. Si B memiliki kemampuan berpikir kritis dan memperlihatkan disposisi
berpikir kritis.
Contoh 2
Si C dan si D diberikan suatu klaim berikut.
Si C menjawab:
BENAR
Si D menjawab:
10
kritis, tetapi belum tentu dia tidak mampu berpikir kritis sama sekali. Mungkin ada
sebagian dari 9 hal yang penulis uraikan di atas yang masih dimilikinya.
Sebaliknya, jawaban si D menunjukkan bahwa dia memperlihatkan disposisi
berpikir kritis. Dia bisa memberikan respons dengan benar, sebab jawabannya
memang bisa tidak seperti yang diklaimkan. Jawabannya bisa sama dengan 0 kalau
semestanya himpunan bilangan prima, bisa 1 bila semestanya himpunan bilangan
asli, bisa 2 bila semestanya bilangan real, bahkan bisa lebih kalau semestanya
adalah himpunan kelas sisa modulo yang akar-akarnya bisa [1], [3], [5], dan [7].
Akan tetapi, disposisi berpikir kritis tersebut tidak menjamin bahwa yang
bersangkutan (si D) memiliki kemampuan berpikir kritis. Jawaban itu bisa saja
diperolehnya dari mengingat peristiwa sebelumnya. Mungkin dia sudah pernah
mendapatkan pertanyaan dan jawaban yang sama. Dia hanya sekedar mengingat
apa yang sudah pernah dialaminya. Dalam hal demikian, si D tidak memiliki
kemampuan berpikir kritis.
Akan tetapi, kalau si D ini bisa memberikan alasan yang baik, mampu memberikan
justifikasi logis terhadap jawabannya, si D masih dikatakan mampu berpikir kritis
kendati tidak memperlihatkan disposisi berpikir kritis.
Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis ini tidak serta merta diwujudkan dalam
disposisi berpikir kritis. Sebaliknya, orang yang terlihat berdisposisi kritis juga
belum tentu memiliki kemampuan berpikir kritis.
11
Firdaus dkk (2015) menyatakan bahwa penggunaan modul berbasis
Pembelajaran Berbasis Masalah berhasil meningkatkan tiga aspek kemampuan
berpikir kritis, yaitu: kemampuan mengidentifikasi dan menafsirkan informasi,
kemampuan menganalisis informasi, dan kemampuan mengevaluasi bukti serta
argumen. Maricica & Spijunovicb (2015) menyatakan bahwa pemilihan materi
memiliki peranan penting dalam mendorong dan mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa.
Valvez (2015) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis aktivitas yang
dipadukan dengan pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa. Kegiatan belajar dalam pembelajaran berbasis aktivitas dan
pembelajaran kooperatif secara otomatis mendorong mereka untuk berpikir kritis,
dan lebih asyik dalam belajarnya. Pembelajaran ini juga berhasil mengurangi
miskonsepsi siswa.
Nugraha & Kirana (2015) menyatakan bahwa eksperimen berbasis
pemecahan masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, mulai
dari deduction, induction, credibility, observation, and assumption.Hartati &
Sholihin (2015) menyatakan bahwa pembelajaran berbasia masalah dalam
pembelajaran IPA terpadu mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Happy & Widjajanti (2014) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, tetapi tidak untuk
berpikir kritis dan self esteem. Akan tetapi, pembelajaran berbasis masalah tetap
lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif dan kritis, serta self esteem siswa.
Hendarto & Setyarsih (2014) menyatakan bahwa modifikasi High-
binaural beats dan guided problem solving efektif meningkatkan kemampuan
berpikir kritis pada rentang level High- 20 – 85, serta guided problem solving
efektif pada rentang efek GPS 65 – 75
Lestari (2014) menyatakan bahwa brain-based learning mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Biber, Tuna & Incikabi (2013) menyatakan bahwa calon guru matematika memiliki
disposisi berpikir kritis yang rendah dan satu-satunya faktor yang menjadi
12
penyebabnya adalah latar belakang sekolahnya, tetapi praktik membaca kurang
berkorelasi dengan disposisi berpikir kritis mereka.
Chukwuyenum (2013) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis
merupakan alat yang efektif untuk meningkatkan kinerja dalam matematika, dan
karenanya keterampilan berpikir kritis perlu di-infuse dalam pembelajaran
matematika.
Erceg, Aviani, & Mesic (2013) menyatakan bahwa ill-defined problem
memiliki potensi untuk membangkitkan berbagai macam ide yang berasal dari
siswa terkait dengan kebermaknaan masalah dan solusinya. Lebih jauh dikatakan
bahwa level kemampuan berpikir kritis siswa rendah tanpa melihat level dan
kurikulum pendidikannya. Pembelajaran tradisional tidak memadai untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Grosser & Nel (2013) menyatakan adanya korelasi positif yang signifikan
antara keterampilan berpikir kritis (baik dalam hal membuat inferensi maupun
dalam keterampilan berpikir kritis secara menyeluruh) dengan kemahiran
berbahasa.
Mitrevski & Zajkov (2013) menyatakan bahwa calon guru matematika dan
sain tidak familiar atau merasa masih asing dengan konsep berpikir kritis. Mereka
terlihat tidak memahami persyaratan yang diperlukan untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis. Hanya segelintir guru yang menerapkan pembelajaran
yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Pallinusa (2013) menyatakan
bahwa dengan Realistics Mathematics Education (Pembelajaran Matematika
Realistik) kemampuan berpikir kritis siswa meningkat lebih baik daripada dengan
pembelajaran biasa.
Rohmatin (2013) menyatakan bahwa siswa dengan kemampuan aljabar
tinggi mengetahui fokus, alasan, situasi, dan kejelasan dalam tiap tahap pemecahan
masalah. Ia juga menjelaskan inferensinya pada setiap tahap pemecahan masalah,
kecuali pada tahap pelaksanaan rencana. Ia tidak melaksanakan kegiatan
memeriksa kembali tahap memahami masalah. Siswa dengan kemampuan sedang
tidak memeriksa kembali jawabannya. Meskipun pada tiga tahap yang ada ia
mengetahui fokus, alasan, situasi, dan kejelasannya, tetapi dia tidak mampu
13
menjelaskan situasinya pada saat melaksanakan rencana. Sementara itu, siswa
dengan kemampuan aljabar rendah mengetahui fokus dan alasan, memeriksa
kembali pada setiap tahap. Namun inferensi dan kejelasan hanya mampu
dijelaskannya pada saat melaksanakan rencana dan memeriksa kembali.
Hidayat (2012) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif TTW (Think
Talk Write) lebih baik daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, baik untuk kelompok tinggi, sedang, maupun rendah.
Akkaya (2012) menyatakan adanya korelasi yang positif antara tingkat
penggunaan strategi membaca dengan disposisi berpikir kritis calon guru.
Somakim (2011) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang diajar
dengan PMR (Pembelajaran Matematika Realistik) lebih baik daripada yang diajar
dengan PMB (Pembelajaran Matematika Biasa).
Ismaimuza (2010) menyatakan bahwa siswa yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kognitif konflik menampilkan
kemampuan berpikir kritis yang lebih baik daripada siswa yang diajar dengan
pembelajaran konvensional. McMahon (2009) menyatakan bahwa terdapat korelasi
yang positif dan signifikan antara keberadaan lingkungan dengan teknologi tinggi
dengan kemampuan berpikir kritis.
Noer (2009) menyatakan bahwa pembelajaran dengan PBL lebih baik dari
pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Saurino (2008) menyatakan bahwa concept journaling memberikan kontribusi
berharga terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dalam kelas matematika.
14
Namun demikian, terdapat banyak faktor yang menentukan sukses tidaknya
pelaksanaan suatu metode pembelajaran. Gaya belajar siswa, gaya berpikir siswa,
tipe kepribadian, gaya kognitif, dan berbagai macam karakteristik siswa bisa
berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Hasil-hasil penelitian di atas
tampaknya masih belum membahas hal tersebut. Karena itu, pertanyaan “untuk
siswa dengan karakteristik seperti apakah suatu model pembelajaran mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya?” tampaknya masih belum ada
jawabnya. Ini berarti, masih ada peluang melakukan penelitian untuk menemukan
model atau metode pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir
kritis siswa dengan mempertimbangkan karakteristik siswanya.
Gaya guru ketika menjelaskan, urutan materi yang digunakan, contoh soal
(worked examples) yang diperlihatkan, pertanyaan yang diajukan, umpan balik
yang diberikan adalah beberapa dari tindakan guru yang juga mempengaruhi proses
dan hasil belajar siswa. Bahkan, tindakan guru yang sama yang dilakukan di kelas
yang satu dan di kelas yang lain bisa berdampak berbeda. Kalau di kelas yang satu
berdampak pada keaktifan belajar siswa, di kelas yang lain bisa berdampak kepada
frustasi. Karena itu, pertanyaan “bagaimana menjalankan metode pembelajaran
tertentu yang bisa meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa?” juga belum
bisa dijawab oleh penelitian-penelitian di atas. Penelitian tindakan kelas bisa
dilakukan oleh guru untuk menemukan tindak pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Pemilihan materi dan tugas yang bersifat ill-structured dikatakan
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Akan tetapi, jumlah tugas,
cakupan materi yang dijelaskan, urutan sajian materi, alokasi waktu yang diberikan
untuk penyelesaian tugas, jenis tagihan adalah beberapa yang juga berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa. Karena itu, penelitian dalam rangka pengembangan
bahan ajar yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis juga masih
terbuka lebar. Bahkan penelitian-penelitian tentang teknis pembelajaran, misalnya
eksperimen terkait dengan urutan materi ajar, jenis ill-structured problem dan lain-
lain juga masih terbuka lebar.
15
Terakhir, dari daftar penelitian di atas, ada satu penelitian tentang profil
berpikir kritis siswa. Beberapa karakteristik yang dilakukan oleh siswa dalam
berpikir kritis telah diungkapkan. Namun demikian, penulis melihat bahwa sampai
saat ini, masih cukup banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh teori dan
hasil-hasil penelitian. Beberapa di antara pertanyaan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut.
1. Untuk masalah matematika yang seperti apakah, siswa yang memiliki
kemampuan berpikir kritis mempertunjukkan disposisi berpikir kritis?
2. Dalam kondisi seperti apakah siswa melakukan disposisi berpikir kritis?
3. Bagaimanakah tahap-tahap proses berpikir kritis siswa dalam memecahkan
masalah?
4. Apakah proses berpikir kritis siswa dipengaruhi oleh jenis masalah yang
dihadapi?
Terakhir, sampai saat ini masih belum ada instrumen terstandar yang secara
khusus digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis.
Instrumen yang ada selama ini lebih bersifat verbal, belum matematis. Karena itu,
ada peluang untuk mengadakan penelitian pengembangan instrumen untuk
mengukur kemampuan berpikir kritis matematis.
Sebenarnya masih banyak lagi ide-ide penelitian yang bisa dilakukan.
Sepanjang kita memiliki pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh teori dan hasil-
hasil penelitian terdahulu, pertanyaan itu layak untuk ditemukan jawabnya dengan
mengadakan penelitian. Jadi, sampai saat ini, masih terbuka lebar peluang
penelitian-penelitian yang bisa dilakukan terkait dengan berpikir kritis ini.
16
REFERENSI
17
Ennis, R.H. 1996. Critical thinking dispositions: their nature and assessibility.
Informal Logic, 18(2 & 3). 165 – 182
Ennis, R.H. 2011. The nature of critical thinking: an outline of critical thinking
dispositions and abilities. Several times revision of a presentation at the Six
International Conference on Thinking at MIT, Cambridge, MA, July 1994.
Erceg, N., Aviani, I. & Mesic, V. 2013. Probing students‟ critical thinking
processes by presenting ill-defined physics problems. Revista Mexicana de
Fisica E 59, 65 – 76
Firdaus, Kailani, I., Bin Bakar, Md Nor, Bakry. 2015. Developing critical thinking
skills of students in mathematics learning. Journal of education and learning.
9(3), 226 – 236
Grosser, M.M. & Nel, M. 2013. The relationship of critical thinking skills and the
academic language proficiency of prospective teachers. South African
Journal of Education 33 (2)
Happy, N. & WIdjajanti, D.B. 2014. Keefektifan PBL ditinjau dari kemampuan
berpikir kreatif dan kritis, serta Self Esteem siswa SMP. Jurnal Riset
Pendidikan Matematika. 1 (1), 48 –57
Hartati, R. & Sholihin, H. 2015. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
melalui implementasi model pembelajaran berbasis masalah pada
pembelajaran IPA terpadu siswa SMP. Prosiding simposium nasional inovasi
dan pembelajaran sains 2015. 8 dan 9 Juni 2015, Bandung, Indonesia.
Herdianto, H. & Setyarsih, W. 2014. Identifikasi profil berpikir kritis siswa dalam
pembelajaran fluida statis dengan modifikasi High- binaural beats and
guided problem solving. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika 3(2), 154 – 160
Hidayat, W. 2012. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik
siswa SMA melalui pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW).
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA,
Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012
Innabi, H. 2003. Aspects of critical thinking in classroom instruction of secondary
school mathematics in Jordan. Proceedings of the International Conference
The Decideable and the Undecidable in Mathematics Education, Brno,
Czech Republic, September 2003
Ismaimuza, D. 2010. Pengaruh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi
konflik kognitif terhadap kemampuan berpikir kritis matematis dan sikap
siswa SMP. Jurnal Pendidikan Matematika, 4(1), 1 – 10
Lai, E.R. 2011. Critical thinking: a literature review (research report). Pearson:
Always Learning downloaded September 18, 2014 from:
http://images.pearsonassessments.com/images/tmrs/criticalthinkingreviewfin
al.pdf
18
Lestari, K.E. 2014 Implementasi Brain-based learning untuk meningkatkan
kemampuan koneksi dan kemampuan berpikir kritis serta motivasi belajar.
Jurnal Pendidikan UNSIKA. 2(1), 36 – 46
Maricica, S. & Spijunovicb, K. 2015. Developing critical thinking in elementary
mathematics education throuh a suitable selection of content and overall
student performance. Procedia – Socia and Behavioral Sciences 180, 653 –
659
McMahon, G. 2009. Critical thinking and ICT integration in a Western Australian
Secondary School. Educational Technology and Society. 12(2), 269 – 281
Mitrevski, B & Zajkov, O. 2011. Mathematics and Science teachers concept of
critical thinking. Bulg. J. Phys. 38, 318 – 324
Moon, J., 2008. Critical thinking: an exploration of theory and practice. Abingdon,
Oxon: Routledge
National Education Association. Tanpa tahun. Preparing 21st students for a global
society: an educator‟s guide for the “Four Cs”. Washington DC: USA
diunduh dari www.nea.org/assets/docs/A-Guide-to-Four-Cs.pdf 9 MAret
2016, pukul 10.00
Noer, S.H. 2009. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui
pembelajaran berbasis masalah. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5
Desember 2009, 473 – 483
Nugraha, M.G. & Kirana, K.H. 2015. Profil keterampilan berpikir kritis mahasiswa
fisika dalam perkuliahan eksperimen fisika berbasis problem solving.
Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal), Volume IV October 2015
Pallinusa, A.L. 2013. Students‟ critical mathematical thinking skills and character:
experiments for junior high school students through Realistic Mathematics
Education Culture-Based. IndoMS J.M.E. 4(1), 75 – 94
Rohmatin, D.N. 2013. Profil berpikir kritis mahasiswa matematika dalam
memecahkan masalah nilai dan vektor eigen ditinjau dari pemetaan
kemampuan aljabar. Gamatika 3 (2), 101 – 109
Saadati, F., Tarmizi, R.A., & Bayat, S. 2010. Assessing critical thinking of
postgraduate students. Procedia Social and Behavioral Sciences 8, 543 -- 548
Saurino, D.R. 2008. Concept journaling to increase critical thinking disposisitions
and problem solving skills in adult education. The journal of human
resource and adult learning, 4 (1), 170 – 178
Somakim. 2011. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa sekolah
menengah pertama dengan penggunaan pendidikan matematika realistik.
Forum MIPA, 14 (1), 41 – 48
19
Starkey, L. 2004. Critical thinking skills success: In 20 minutes a day. New York:
Learning Express
Valdez, A.V., Lamoljo, A., Dumran, S.P. & Didatar, M.M. 2015. Developing
critical thinking through activity-based and cooperative learning approach in
teaching school chemistry. International Journal of Social Science and
Humanity, 3(1).
20
BAB II
BERPIKIR KREATIF
Oleh : Muchtadi
Universitas Negeri Malang
21
BAB – II BERPIKIR KREATIF
A. PENDAHULUAN
Krulik, Rudnick, & Milou (2003:89) membagi tingkatan berpikir menjadi
empat macam, yaitu Recall, Basic, Critical, dan Creative. Basic thinking, critical
thinking, dan creative thinking termasuk ke dalam berpikir penalaran. Critical
thinking, dan creative thinking merupakan kemampuan tingkat tinggi. Recall
thinking berada pada tingkat dasar. Berpikir recall tidak benar-benar memerlukan
pemikiran sadar. Misalkan orang dewasa ketika ditanya mengenai jumlah 3+7,
mereka tidak benar-benar berpikir tetapi secara otomatis menjawab”10”. Recall
thinking berdasarkan pada ingatan. Contoh yang lain recall thinking adalah
mengingat nama jalan, nomor handphone dan lain-lain. (Krulik, S., & Rudn ic k,J.A., & M ilou,E, 2003)
22
B. DEFINISI BERPIKIR KREATIF
Beberapa peneliti telah memberikan definisi dari berpikir kreatif (Torrent,
2002; McGregor, 2007; Meintjes & Groser, 2010; Enyinna, 2013; Kamplis &
Berki, 2014; Amier, 2015). Torrent (2002) mendefinisikan berpikir kreatif sebagai
proses pembentukan ide atau hipotesis, mengujinya, dan mengkomunikasikan
hasilnya. Sementara itu McGregor (2007) mendefinisikan berpikir kreatif adalah
pembentukan suatu sudut pandang yang unik atau sudut pandang alternatif,
kegiatan yang menghasilkan suatu desain yang innovatif atau pendekatan baru
terhadap sebuah masalah atau tantangan menarik. Meintjes & Grosser (2010)
menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah kemampuan menghasilkan berbagai ide
asli, melihat dari sudut pandang berbeda dan menguraikan ide-ide. Berpikir kreatif
adalah belajar untuk melakukan sesuatu dengan perspektif yang berbeda untuk
hasil yang positif (Enyinna, Success Without Brain For Entrepreneurs - Human
Development and Finance, 2013). (Torrance, The Manifesto: a Guide to Developing a Creative Carear, 2002) (McGregor, Developing Thin king Learning A G uide to T hin king Skill in E ducation, 2007) (Mein tjes,H., & Grosser,M., 201 0) (Kamplis & Berki, 2014) (Amier, Analy tical Thin king , 2015)
23
menghubungkan atau menciptakan hal-hal atau ide-ide yang mana sebelumnya
tidak terkait (Amier, 2015). Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dibahas di
atas maka berpikir kreatif adalah sesuatu kekuatan terorganisir bersifat abstrak,
berani, disiplin, tidak terbendung, ada kelancaran, ada keluwesan, ada kebaruan,
dan tidak biasa yang muncul akibat kondisi lingkungan dan menjadi pendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Berpikir kreatif mengacu antara lain pada
kemampuan menghasilkan berbagai kemungkinan, ide-ide baru, asli, pemikiran
yang mencerminkan wawasan, rasa ingin tahu, dan kemampuan mengidentifikasi
hubungan antara konsep atau gagasan.
Kemampuan berpikir kreatif merujuk pada kemampuan menghasilkan
produk yang diidentifikasi oleh Guilford ( Meintjes & Groseir, 2010) sebagai
faktor unik yang relevan dalam berpikir kreatif, yaitu: (1) kepasihan (banyak ide);
(2) fleksibilitas (banyak kategori berbeda dari ide yang relevan, pergeseran
pendekatan, fluiditas informasi, kurangnya kekakuan); (3) elaborasi (kemampuan
mengembangkan, menguraikan ide-ide dan menambahkan berbagai rincian untuk
informasi yang telah dihasilkan); (4) orisinilitas (respon yang tidak biasa (unik)
dan jarang (langka)).
Kemampuan berpikir kreatif dan pribadi kreatif diperlukan dalam
kreativitas dimana terdapat empat hal yang terlibat yang meliputi kelancaran,
fleksibilitas, orisinilitas, dan elaborasi, sedangkan dalam kepribadian kreatif
melibatkan rasa ingin tahu, kemandirian, pengambilan resiko dan komitmen tugas
(Lee, 2005). Walapun siswa memiliki kemampuan kreatif, bisa saja produk yang
kreatif tidak dapat dihasilkan jika tidak didukung dengan pribadi yang kreatif.
Kepribadian kreatif tidak dapat dibangun, ketika siswa takut berpikir mengenai
hal baru atau tidak mau menjadi kreatif (Lee, 2005). Rasa ingin tahu,
kemandirian, pengambilan resiko, dan komitmen pada tugas diperlukan siswa
untuk dapat menggali ide-ide kreatif sehingga menghasilkan produk yang
memenuhi unsur kreatif. (Ward, T. B, 2 007) (Lee, K. H, 2005)
24
kognitif dasar pada struktur pengetahuan yang ada. Penerapan proses kognitif
dasar pada struktur pengetahuan yang ada seperti retrieval, combination, analogy,
dan seterusnya. Struktur pengetahuan yang ada dapat dipanggil kembali,
dilakukan kombinasi, atau dianalogikan untuk menghasilkan ide-ide baru.
Solso, Maclin, & Maclin (2008: 526) menyatakan “Creativity (kreativitas)
merupakan proses yang melibatkan aktivitas kognitif dalam menghasilkan ide-ide
atau konsep-konsep baru”. Lebih lanjut Solso, Maclin, & Maclin (2008: 444)
mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas kognitif yang menghasilkan
pandangan baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada
hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya). Kreativitas
merupakan hasil dari berpikir kreatif yang dapat ditunjukkan dengan munculnya
ide-ide baru atau konsep-konsep baru, dan bukan hanya sebatas menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat saja. So lso, R., Maclin, O, & Maclin, M.K 200 8. Terjemahan Mikael Rahardanto & Kristian to Batuadji, 2008)
25
keliru). Kefasihan dalam berpikir mengacu pada banyaknya respon yang
dihasilkan. Fleksibilitas dalam berpikir mengacu pada beberapa jenis perubahan
yaitu arti, penafsiran, penggunaan sesuatu pemahaman tugas, strategi dalam
melakukan tugas, atau arah pemikiran yang mungkin berarti interpretasi baru dari
tujuan. Orisinilitas dalam pemikiran berarti menghasilkan yang tidak biasa, jauh
dari yang direncanakan atau tanggapan yang pintar. Selain itu ide asli harus
berguna secara sosial. Elaborasi dalam pemikiran berarti kemampuan
menghasilkan langkah-langkah rinci membuat rencana kerja dan menjelaskannya
kepada orang lain. Kritetria kreatif kefasihan, fleksibilitas, dan orisinilitas berguna
dalam penentuan karakteristik berpikir kreatif.
26
Hasil studi penelitian tentang karakteristik kreatif orang dewasa di atas
dijadikan karakteristik berpikir kreatif (Alder, 2002),seperti pada gambar 1.
27
solusi muncul dalam bentuk samar-samar dan kasar. Keempat, tahap verifikasi
yaitu saat ide atau gagasan digunakan ke dalam bentuk yang dapat dibuktikan dan
dikomunikasikan kepada orang lain. (Gabora, I, 2002)
28
(gagasan) yang dimiliki; yang dapat bersumber dari pembelajaran di kelas
maupun pengalaman sehari-hari. Membangun ide-ide adalah memunculkan ide-
ide yang berkaitan dengan masalah yang diberikan sebagai hasil dari menyintesis
ide sebelumnya. Menerapkan ide adalah mengimplementasikan atau
menggunakan ide yang direncanakan untuk menyelesaikan masalah.
Tahapan berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick (Siswono 2007) lebih
spesifik pada proses menggali ide-ide untuk menyelesaikan masalah, dan tidak
memunculkan adanya tahap inkubasi seperti dalam proses kreatif menurut Wallas
(Herring, Jones, & Bailey, 2009) yang merupakan salah satu dari tahap yang
cukup penting dari proses kreatif. (Sisw ono, T. E . Y, 2007) (Herring, S.R, Jones, B.R, & Bailey ,B.P, 2009)
Mensintesis ide yang merupakan tahap pertama Krulik & Rudnick sama
dengan tahap persiapan menurut Wallas. Dalam tahap persiapan, dilakukan
pemahaman ke dalam situasi atau masalah yang dihadapi. Dilakukan
pengumpulan informasi dan pengetahuan yang relevan ke dalam situasi atau
masalah yang dihadapi, yang seterusnya dilakukan pemaduan ide atau gagasan.
Memadukan ide atau gagasan menurut Krulik & Rudnick disebut dengan
mensintesis ide. Jadi komponen tahap persiapan ada dua yaitu memahami situasi
atau informasi dan menyintesis ide.
Ketika seseeorang mengalami kebuntuan dalam mencari ide maka
terjadilah inkubasi. Jika tidak terjadi kebuntuan maka inkubasi berlangsung
dengan cepat seakan tidak terjadi inkubasi. Bila terjadi kebuntuan, inkubasi terjadi
lebih lama sehingga dapat diamati dari perilaku yang ditunjukkan seperti diam
atau berhenti, membaca, melihat kembali hasil kerja sebelumnya dan
sebagainya. Jadi tahap inkubasi ada dua yaitu cepat (tidak kelihatan) dan lambat
(terlihat).
Tahap kedua berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick, yaitu
membangun ide sesuai dengan tahap ketiga proses kreatif menurut Wallas yaitu
iluminasi. Tahap iluminasi terjadi saat ide-ide mulai muncul. Ide-ide dimunculkan
atau dibangun untuk mengajukan soal sebagai hasil menyintesis ide.
Memunculkan dan memadukan ide-ide dalam proses berpikir kreatif menurut
Krulik & Rudnick, disebut dengan membangun ide. Jadi komponen iluminasi
yaitu membangun ide.
29
Tahap ketiga berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick, yaitu
implementasi ide sesuai dengan tahap keempat proses kreatif menurut Wallas,
yaitu verifikasi. Tahap verifikasi yaitu ide-ide yang muncul diperiksa dan dipilih
yang paling sesuai untuk digunakan. Kemudian ide dinyatakan dalam bentuk
bahasa atau tulisan, selanjutnya diperiksa atau diverifikasi apakah hasilnya sudah
sesuai. Jadi tahap verifikasi ada dua komponen yaitu menuliskan ide dan
memeriksa atau memverifikasi hasil penulisan ide.
30
menyelesaikan permasalahan di setiap pekerjaan, beberapa langkah bisa
dikerjakan seperti berikut.
1) Selalu pikirkan cara yang lebih baik;
2) Percaya bahwa sesuatu dapat dilakukan;
3) Pikirkan hal istimewa yang akan dilakukan dan tulis mengapa dapat
dilakukan;
4) Terbuka pada perubahan yang meliputi suka melakukan eksperimen, bersedia
menerima gagasan, jadilan progresif bukan regresif.
(Aquarius Learning, 2015)
Kalau keempat point tersebut diatas sudah ada pada Anda maka akan ada sesuatu
yang dihasilkan.
Berikut ini beberapa contoh dan non contoh orang yang memiliki pemikiran
kreatif.
1) Seseorang melihat peluang pekerjaan yaitu menjual air putih untuk orang
minum setelah melakukan berbagai aktivitas. Pertama kali yang ia lakukan
adalah memasukkan air tersebut kedalam kantong plastik dengan takaran
tertentu. Ketika ditawarkan ke orang, hampir tidak ada yang mau membelinya.
Mungkin rata-rata orang berpikiran apa yang dilakukan oleh penjual air adalah
tidak menarik sehingga tidak ada yang mau membeli. Si penjual air berpikir
bagaimana supaya minumannya laku. Akhirnya dibuatlah kemasan khusus dan
diberi merk dan label. Dibuatlah dengan berbagai macam bentuk dan warna.
Ketika ditawarkan ke orang, pertama yang menjadi daya tarik orang untuk
membeli adalah kemasan dari air minum tersebut. Sehingga dari kecil-kecilan
menjadi bisnis yang besar dan berkembang sampai sekarang. Jadi apa yang
menjadi pegalaman di penjual minuman sampai sekarang adalah akibat dari
pemikiran kreatif yang dia lakukan sejak awal.
2) Pada contoh pertama, jika si penjual minuman tidak ide-ide baru dan berani
maka ia tidak mungkin berjualan sampai sekarang, karena tidak akan ada
orang yang membeli minuman darinya.
3) Seorang pimpinan perguruan tinggi, jika memiliki attitude yang tidak baik,
maka lembaga yang dipimpinnya pasti tidak akan berjalan dengan mulus.
Untuk sukses tentu ia harus memikirkan dan memberlakukan sesuatu yang
baru, pelayanan yang maksimal, bisa memberikan contoh kepada yang
dipimpinnya dan mengusahakan kepuasan buat semuanya. Hal itu akan
31
berakibat semua yang di perguruan tinggi tersebut akan merasa memiliki,
senasib sepenanggungan, dan berusaha memajukan lembaganya.
4) Contoh lainnya adalah seorang yang berpikiran kreatif mampu mengubah
tumbuhan eceng gondok menjadi berbagai kerajinan berguna, misalnya mebel
dan tikar. Semula orang menganggap bahwa eceng gondok adalah tanaman
yang dengan cepat mempu menyumbat perairan.
32
kenapa tiap jurusan kemampuan kreatif dan kreativitasnya berbeda-beda dalam
membaca dan menulis. (Wang, A.Y, 2012)
33
mengintegrasikan daerah konten seperti sains, matematika, dan ilmu sosial;
Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah wawancara, pengamatan, dan
permainan. Hasil penelitian: 1) Pada wawancara; siswa berpengalaman cenderung
untuk mengidentifikasi proses berpikir kreatif, pemahaman yang melekat,
sementara yang yunior, yang lebih konkret ditemukan di seni visual, seperti
ekspresi kreatif melalui garis dan warna, dari teknologi yang terlibat dalam
penciptaan game, 2) Pengamatan; siswa bekerja pada permainan mereka secara
independen tetapi beberapa menyatakan frustrasi jelas ketika kode tidak bekerja
seperti yang direncanakan. Namun para siswa diberikan demonstrasi kode dan
prosedur melalui proyektor dan siswa berkolaborasi menciptakan game, 3)
Banyak game digital yang dihasilkan terkait berbagai isu-isu kontemporer yang
ditangani dengan topik tentang pencemaran lingkungan, politik, geng, intimidasi,
kehamilan remaja, dll. Adapun kelemahan yang bisa di jelaskan pada
pembahasan penelitian jurnal ini adalah: bahwa penelitian semacam ini tidak bisa
dilakukan di semua tempat, paling tidak persyratan memiliki unit komputer dan
pendukung lainnya mutlak harus ada. Lebih lanjut tidak semua sekolah atau
perguruan tinggi memiliki unit komputer lengkap dan dukungan listrik yang
memadai. (Navarrete, 2013)
34
tinggi fleksibilitas. Kelemahan yang dapat dijelaskan berdasarkan penelitian
tersebut adalah: 1) Peneliti tidak bisa menjelaskan dalam penelitian ini dasar awal
pemikiran peserta itu memiliki pandangan stereotip atau kontra stereotip atau
tidak keduanya, 2) Peneliti mengatakan bahwa yang memberikan efek signifikan
pada penelitian ini adalah karena kontra stereotip kurang berdasar. (Goclow ka, Cris p, 2013)
35
penggantian ide dengan ide yang baru; Combine, yaitu berpikir mengenai
penggabungan dua atau lebih ide untuk menghasilkan ide yang baru; Adapt, yaitu
berpikir mengenai bagian dari ide yang bisa diadaptasi atau dibuat perubahan dari
ide; Modify atau Magnify atau Minimize, yaitu berpikir mengenai penggantian
bagian atau seluruh ide, atau mengubahnya dengan cara tidak biasa; Put to other
Uses, berpikir mengenai penggunaan ide atau soal untuk keguanaan/ tujuan lain;
Eliminate, yaitu berpikir mengenai penghilangan bagian dari ide dan
mempertimbangkan yang bisa diperoleh dari situasi tersebut; Reverse/Rearrange,
yaitu berpikir mengenai pembalikan urutan atau pengubahan pada suatu ide. (Ma. H, 2006) (Lou. J, Chen. C, Tsai. Y, Tseng.H, Shih. C, 2012)
36
REFERENSI
Alder. (2002). Boost Your Creative Intelligence; Powerful Ways to Improve Your
Creativity Quotient. London: British Library Cataloguing in Publication
Data.
Aquarius Learning. (2015, Desember 6). Rahasia Sukses Dengan Berpikir Kreatif.
Diambil kembali dari Aquaries Resources:
http://aquariuslearning.co.id/rahasia-sukses-dengan-berpikir-kreatif/
37
Engagements: Thinking with Children (hal. 1-10). Oxford, UK: Mansfield
College.
Kamplis & Berki. (2014, December 6). Nurturing Creative Thinking. Diambil
kembali dari International Academy of Education - International Bureau of
Education: (http://www.iaoed.org) -
(http://www.ibe.unisco.org/publications.htm)
38
Torrance. (2002). The Manifesto: a Guide to Developing a Creative Carear.
British: Library of Conggress Catalog-in-Publication Data.
39
BAB III
BERPIKIR REFLEKTIF
40
BAB – III BERFIKIR REFLEKTIF
A. PENDAHULUAN
41
f. Berpikir tingkat tinggi sering melibatkan ketidakpastian. Tidak semua
hal yang berhubungan dengan tugas yang sedang ditangani dapat
dipahami sepenuhnya.
g. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pengaturan diri dalam proses
berpikir.
h. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penggalian makna, dan penemuan
pola dalam ketidakberaturan.
i. Berpikir tingkat tinggi merupakan upaya sekuat tenaga dan kerja
keras.
42
tepat. Dengan demikian berfikir reflektif itu untuk mendapatkan jawaban dengan
cara yang tepat. Gurol (2011) juga berpendapat bahwa berfikir reflektif itu penting
bagi guru dan siswa. Tetapi pada kenyataannya berfikir reflektif kurang mendapat
perhatian yang serius dari guru, guru hanya mementingkan jawaban akhir yang
diperoleh oleh siswa tanpa memperhatikan bagaimana jawaban siswa itu
diperoleh.
43
menyelesaikan tugas maupun masalah. Selain itu, keberhasilan merupakan
peran yang sangat penting dalam menentukan praktik dari kemampuan
berpikir reflektif
44
e) Individu menerapkan cara pemecahan masalah yang sudah ditentukan dan
dipilih, kemudian hasilnya apakah ia menerima atau menolak hasil
kesimpulannya
45
penyelidikan (inquiry), maka seseorang akan ada perubahan perilaku yang
mungkin (Dewey,1933).
Dewey (1933) mengemukakan tentang peran berpikir reflektif bagi guru
bahwa :
“… reflective thought brings two challenges. First, teachers must be observers of
all that concerns the students in their classrooms. They must know all of the
conditions that could make things better or worse for the students as well as the
consequences of those conditions. Second, teachers must also know about the
school organization and about the atmosphere surrounding a child's learning…”.
Berfikir reflektif memberikan dua tantangan bagi guru. Pertama, bahwa guru
harus menjadi pengamat bagi semua siswa di dalam kelas. Guru harus mengetahui
semua kondisi yang membuat siswa menjadi lebih baik atau lebih buruk dan
mengetahui akibat dari dua kondisi tersebut. Kedua, para guru harus tahu tentang
organisasi sekolah dan kondisi lingkungan sekitar tempat siswa-siswi belajar.
Kemampuan berfikir reflektif pada anak dimulai ketika mereka berumur 7
tahun, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Inhaler dan Piaget
dalam Skemp (1982). Menurut hasil penelitian mereka bahwa anak dapat
mengembangkan proses berfikir reflektif ketika anak itu berusia 7 tahun, dimana
anak sudah bisa menceritakan kembali apa yang pernah dilakukan atau yang
dialaminya.
Terjadinya proses berfikir reflektif menurut Skemp (1982) dapat
digambarkan sebagai berikut :
46
Gambar 1. menunjukkan berfikir reflektif pada seseorang terjadi ketika
merespon atau menanggapi informasi atau rangsangan dari luar, informasi
tersebut kemudian diteruskan kepada aktivitas mental. Pada proses tersebut terjadi
suatu permasalahan dan membutuhkan informasi yang dimiliki sebelumnya untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Informasi yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah berasal dari dalam diri (internal), bisa menjelaskan apa yang dilakukan,
menyadari kesalahan dan memperbaikinya (jika terdapat kesalahan), dan
mengkomunikasikan dengan ide atau gambar, selanjutnya merespon suatu
persoalan atau masalah yang bersifat eksternal sebagai efek dari berpikir
reflektif, dan hal tersebut terus berulang sampai permsalahan atau persoalan dapat
terselesaikan.
Sementara itu Len dan Kember (2008: 578) mengungkapkan
berdasarkan Mezirow’s theorical framework bahwa berpikir reflektif dapat
digolongkan ke dalam 4 tahap yaitu:
1. Habitual Action (Tindakan Biasa).
Habitual Action didefinisikan „… a mechanical and automatic activity
that is performed with little conscious thought’, yaitu kegiatan yang mekanis dan
otomatis dapat ditunjukkan dengan sekit pemikiran yag disengaja
2. Understanding (Pemahaman).
Pemahaman yang dimaksud yaitu siswa belajar memahami situasi yang
terjadi tanpa menghubungkannya dengan situasi yang lain.
3. Reflection (Refleksi).
Refleksi yaitu aktif terus-menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan
seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya yang berkisar pada
kesadaran siswa
4. Critical Thinking (Berpikir Kritis).
Berpikir kritis merupakan tingkatan tertinggi dari proses berpikir reflektif
yang melibatkan siswa, dengan mengetahui secara mendalam alasan seseorang
untuk merasakan berbagai hal. Pada tahap ini siswa mampu memutuskan dan
memecahkan penyelesaian.
47
Menurut King dan Kitchener dalam (Wowo:2011) ada tujuh tahap
48
Sabandar (2012) mengungkapkan bahwa untuk memberdayakan
kemampuan berpikir reflektif adalah dengan memberikan tanggapan terhadap
hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan soal, karena pada saat menyelesaikan
soal itu mereka sedang termotivasi dan senang dengan hasil yang dicapai, maka
rasa senang dan termotivasi ini harus tetap dipertahankan dengan memberikan
tugas baru kepada siswa, yaitu sebagai berikut:
a. Menyelesaikan masalah dengan cara yang lain. Menyelesaikan masalah
dengan cara yang lain, sesungguhnya dimungkinkan, karena guru dengan
sengaja atau tidak sengaja sudah memilih soal yang penyelesaiannya dapat
diperoleh dengan berbagai cara (strategi), ataupun beragam jawaban. Selain
itu, hal ini amat direkomendasikan, dikarenakan konsep-konsep di dalam
matematika saling terkait, dan kemampuan koneksi matematika siswa juga
perlu mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Hal ini mencerminkan
betapa kayanya matematika, dan dapat diharapkan menimbulkan kekaguman
atau apresiasi (disposisi siswa) terhadap matematika.Tuntutan bagi siswa
untuk menyelesaikan soal itu dengan cara lain, sesungguhnya agar melatih
siswa untuk berpikir kreatif serta memberdayakan pengetahuan serta
pengalaman mereka.
b. Mengajukan pertanyaan “bagaimana jika ...?” sesungguhnya memberi
peluang untuk siswa kreatif dalam menciptakan strategi dan soal-soal baru
dengan mengacu pada soal yang tadi diselesaikannya. Misalnya, informasi
pada soal semula diganti, ditambah atau dikurangi. Soal ini juga dapat
merupakan tantangan baru bagi siswa dan mereka harus menganalisisnya.
Disini mereka selain kreatif, mereka juga akan kritis, untuk memastikan
apakah informasi yang dikurangi atau ditambahkan itu dapat mempengaruhi
terdapat tidaknya solusi, atau malahan akan memunculkan soal-soal yang
benar-benar baru atau bersifat tidak rutin.
c. Mengajukan pertanyaan “apa yang salah”. “Apa yang salah” merupakan
pertanyaan yang memberi peluang untuk siswa menggunakan kemampuan
berpikir kritis, misalnya menemukan kesalahan, ketika kepada mereka
disajikan suatu situasi konflik, ataupun solusi yang mengandung kesalahan
49
apakah secara konsep atau perhitungan. Tugas siswa adalah untuk
menemukan kesalahan itu serta memperbaikinya, dan kemudian menjelaskan
apa yang salah , mengapa salah.
d. Mengajukan pertanyaan “apa yang kamu lakukan”. “Apa yang akan kamu
lakukan” termasuk suatu pertanyaan yang menstimulasi berpikir kreatif.
Karena disini aspek tantangannya kuat sekali. Siswa diminta untuk membuat
suatu keputusan, yang didasarkan pada ide individu ataupun pada pengalaman
individu. Siswa harus menganalisis situasi kemudian membuat keputusan.
Siswa dapat diminta untuk, dalam satu alinea mengungkapkan secara tertulis
apa yang dipikirkannya.
Roger (2002) mengungkapkan kembali pendapat Dewey tentang
kriteria berpikir reflektif sebagai berikut:
a) Refleksi adalah proses bermakna yang memindahkan pembelajar dari suatu
pengalaman ke pengalaman selanjutnya dengan pemahaman yang lebih
mendalam tentang hubungannya dengan pengalaman dan ide yang lain.
b) Refleksi adalah cara berpikir yang sistematik, tepat disiplin dengan akar-
akarnya dalam penyelidikan ilmiah.
c) Refleksi pasti terjadi dalam masyarakat, dalam interaksi dengan yang lain.
d) Refleksi memerlukan sikap yang menilai pribadi dan pertumbuhan
intelektual dari seseorang dan orang lain.
Dewey dalam Choy (2012) juga mengungkapkan tiga sumber asli yang
wajib untuk berpikir reflektif, yaitu:
1. Curiosity (Keingintahuan)
Hal ini lebih kepada cara-cara siswa merespon masalah. Curiosity
merupakan keingintahuan seseorang akan penjelasan fenomena-fenomena yang
memerlukan jawaban fakta secara jelas serta keinginan untuk mencari jawaban
sendiri terhadap soal yang diangkat.
2. Suggestion (Saran)
Suggestion merupakan ide-ide yang dirancang oleh siswa akibat
pengalamannya. Saran haruslah beraneka ragam (agar siswa mempunyai pilihan
50
yang banyak dan luas) serta mendalam (agar siswa dapat memahami inti
masalahnya).
3. Orderlinnes (Keteraturan)
Dalam hal ini siswa harus mampu merangkum ide-idenya untuk
membentuk satu kesatuan.
Terdapat lima komponen yang berkenaan dengan kemampuan berpikir
reflektif, menurut (Kusumaningrum: 2010) diantaranya adalah:
a. Recognize or felt difficulty problem, mengenali atau merasakan kesulitan
suatu masalah. Masalah mungkin dirasakan siswa setelah siswa membaca
data pada soal. Kemudian siswa mencari cara untuk mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Pada langkah ini, siswa mengenali adanya permasalahan
dan mengidentifikasinya.
b. Location and definition of the problem, membatasi dan merumuskan
masalah. Langkah ini menuntun siswa untuk berpikir kritis. Berdasarkan
pengalaman pada langkah pertama tersebut, siswa mempunyai masalah
khusus yang merangsang pikirannya, dalam langkah ini siswa mencermati
permasalahan tersebut dan timbul upaya mempertajam masalah.
c. c. Suggestion of possible solution, mengajukan beberapa kemungkinan
jawaban dari suatu permasalahan. Pada langkah ini, siswa
mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi untuk memecahkan
masalah yang telah dibatasi dan dirumuskan tersebut, siswa berusaha untuk
menyelesaiakn masalah itu.
d. Rational elaboration of an idea, mengembangkan ide untuk memecahkan
masalah dengan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan. Siswa mencari
informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut, dalam
langkah ini siswa memikirkan dan merumuskan penyelesaian masalah dengan
mengumpulkan data-data pendukung.
e. Test and formation of conclusion, melakukan tes untuk menguji solusi
pemecahan masalah dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan
membuat kesimpulan. Siswa menguji kemungkinan dengan jalan
51
menerapkannya untuk memecahkan masalah sehingga siswa menemukan
sendiri keabsahan temuannya.
52
peneliti bertanya “apa sih maunya soal ini?”, subjek menjawab “iya kan
gini, pak Hery punya kebun berbentuk persegi panjang, terus kebunya itu di
bagi menjadi dua bagian yang sama selanjutnya pak Hery ingin memagari
kebun yang sudah dibagi itu dengan kawat berduri”. Selanjutnya peneliti
menanyakan perkerjaan selanjut- nya, subjek menjawab “terus pak Hery
memiliki kawat berduri sepanjang 1.500 meter”.
Pada tahap memikirkan rencana terlihat bawa dengan menggambar
pada dan R2 dan R1 siswa menghitung dengan cara memisalkan x ada 3 dan y
ada 2, dengan demikian untuk mengetahui kelilingnya subjek menjumlahkan
panjang x dan y . Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, ketika
peneliti bertanya “apa yang akan kamu lakukan?” Subjek menjawab “saya
misalkan lebar : x dan panjangnya saya misalkan panjangnya: y ”, peneliti
bertanya lebih lanjut “kenapa kok dimisalkan seperti itu?” subjek menjawab
“supaya, gampang menjawab soalnya”. Berdasarkan data tersebut, subjek
berusaha meyakinkan deangan apa yang akan dilakukan pada masalah aljabar.
Cara yang digunakan adalah menggambar dan memisalkan sisi-sisinya dengan x
dan y .
Selanjutnya pada tahap melaksanakan penyelesaian terlihat pada R3
subjek meyakinkan dengan melakukan perhitungan, demikian juga dengan
R4 subjek melakukan perhitungan untuk meyakinkan dengan apa yang
dikerjakan. Demikian juga dengan R4 mengklarifikasi apakah jawaban
sudah benar, R5 melakukan klarifikasi dengan cara menghitung, R6
mengganti jawaban dengan yang sudah ditulis dengan jawaban yang
dianggapnya benar, R7 subjek tidak yakin dengan jawabannya, dan
R8 subjek berusaha menjeleaskan walaupun jawabannya sudah diklarifikasi.
Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, “selanjutnya gimana”
subjek menjawab “dari gambar kan kelihatan kelilingnya 3x + 2y = 1.500,
peneliti menanyakan lebih lanjut “kenapa kok dicoret-coret?”, subjek menjawab
“tadi saya salah menghitung dan salah menggambar”, peneliti juga bertanya
“kenapa kok dicoret-coret?” dan subjek menjawab “tadi saya salah menghitung
dan salah menggambar”.
53
Pada tahap memeriksa kembali terlihat pada R8 subjek
berusaha menjelaskan apa yang telah dilakukan untuk mengecek jawaban,
kode R9 setelah memeriksa kembali pekerjaan di R6 ternyata subjek
memperbaikinya yang terlihat pada R9 , dan R10 meyakinkan apa yang
akan dilakukan. Data tersebut diperkuat ketika peneliti bertanya “hasil
akhir untuk soal a) kenapa di coret?” subjek menjawab “iya saya lupa tadi
saya liat lagi ternya yang di tanya kelilingnya. Kelilingnya kan bisa
diperoleh dari 3x + 2y = 1.500 diperoleh y =
2. Penelitian dalam jurnal yang dilakukan oleh Jozua Sabandar pada tahun 2011.
(Prodi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI) .Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan tentang keterampilan berpikir pada level tinggi
54
terutama berpikir reflektif untuk menemukan cara dalam menyelesaikan
masalah dalam pembelajaran matematika. Peneliti lebih menekankan proses
belajar sehingga menghadirkan kegiatan berpikir dengan perlunya suatu
latihan yang diberikan kepada siswa. Selain itu, peneliti juga memberikan
alternatif lain dalam penelitian ini yaitu memberikan pertanyaan selama
proses penyelesaian masalah supaya siswa dilatih untuk berpikir jika
dihadapkan pada situasi atau masalah yang menantang. Peneliti
menghubungkan berpikir kritis dan berpikir kreatif dalam kemampuan
berpikir reflektif. Materi yang diberikan kepada siswa dalam penelitian ini
adalah aljabar, seperti soal cerita, mencari koefisien, dan lainnya.
55
keterampilan berfikir reflektif dapat diketahui dengan melalui pengamatan,
penilaian, komunikasi, pengambilan keputusan dan kerja tim.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Lia Kurniati dari UIN Syarif Hidayatullah.
Penelitian ini judulnya Developing Mathematical Reflektive Thinking Skills
Through Problem Based Learning. Penelitian ini dilatar belakangi oleh
keprihatinan karena banyak mahasiswa/calon guru malas “berfikir”, mereka
cenderung untuk menjawab pertanyaan dengan mengutip buku tanpa
melakukan pengecekan atau menganalisis jawabannya. Penelitian ini
dilakukan kepada calon guru dengan menggunakan model Problem Based
Learning. Desain penelitian ini dengan cara mempelajari dan mengkaji jurnal
dan buku. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa mengembangkan berfikir
reflektif penting untuk mahasiswa karena mendorong mereka untuk
memecahkan masalah didasarkan pengetahuan sebelumnya dengan alasan
yang logis dan membuat keputusan dengan mempertimbangkan barbagai
aspek
6. 6. Penelitian yang dilakukan oleh S.Chee Choy, Ph.D dan Pou San Oo, Ph.D
dari Tunku Abdul Rahman College, Malaysia. Dengan judul : Reflective
Thinking And Teaching Practice : A Precursor For Incorpprating Critical
Thinking Into The Class . Penelitian ini dilatar belakangi untuk mengetahui
hubungan berfikir reflektif dan kemampuannya berfikir kritis, dimana berfikir
reflektif dapat merangsang untuk berfikir kritis bagi seorang guru. Penelitian
ini dilakukan di Malaysia, dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian
besar guru tidak melaksanakan berfikir reflektif dan menunjukkan hal yang
minimal terhadap berfikir kritis dalam praktek mengajar
7. Penelitian yang dilakukan oleh Sendil Can dari Mugla Sitki Kocman
University, Faculty of Education, Mugla, Turkey. Dengan judul : Pre-Service
Science Teachers Reflective Thinking Skills Toward Problem Solving.
Penlitian ini dilatar belakangi untuk menyelidiki kemampuan berfikir reflektif
guru terhadapa pemecahan masalah dan juga untuk mengetahui efek dari jenis
kelamin, tingkat kelas dan prestasi akademik, tingkat pendidikan ibu, tingkat
pendidikan ayah terhadap berfikir reflektif guru. Penelitian ini fokusnya pada
56
guru dan menggunakan metode survai, dengan instrument penelitian
menggunakan skala keterampilan berfikir reflektif . hasil dari penelitian ini
yaitu bahwa kemampuan berfikir reflektif guru terhadap pemecahan masalah
rendah dan jenis kelamin, tingkat kelas, prestasi akademik, dan tingkat
pendidikan ibu tidak berpengaruh signifikan terhadap berfikir reflektif guru
terhadap pemecahan masalah, tetapi tingkat pendidikan ayah berpengaruh
signifikan terhadap berfikir reflektif guru terhadap pemecahan masalah.
8. Penelitian yang dilakukan oleh Zaid Odeh dari Near East University Turkey.
Dengan judul : Reflektive Practice And Its Role In Stimulating Personal And
Professional Growth . Penelitian ini dilatar belakangi untuk meneliti
kesadaran dan penerapan berfikir reflektif oleh guru dan juga untuk
mengetahui variable gender, pengalaman dan tingkat pendidikan terhadap
mengajar reflektif. Penelitian ini menggunakan kuisioner, dengan 60 guru
sebagai responden . Dimana terdiri dari 9 guru laki-laki dan 51 guru wanita,
dengan pendidikan 26 bergelar BA dan 34 bergelar MA. Pengalaman
mengajar para guru mulai 1-20 tahun dan focus penelitian ini pada guru yang
terdapat di negara Turki. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis
kelamin, tingkat pendidikan ternyata tidak signifikan berpengaruh terhadap
praktek reflektif guru dikelas.
57
REFERENSI
Chee & Pou. 2012. Reflective Thinking And Teaching Practices : A Percusor For
Incorporating Critical Thinking Into The Classroom ?. International
Journal Of Interaction. Vol. 5. No.1 (e-ISSN: 1308-1470)
Choy & Cheah. 2012. Teacher Perceptions Of Critical Thinking Among Students
And Its Influence On Higher Education. International Journal of Teaching
and Learning in Higher Education. 20(12), 196-204
Dewey, J. 1933. How We Think : A Restatement of The Relation of Reflective
Thinking to The Educative Process. Boston, MA: D.C. Heath and
Company
Guroll, A. 2011. Determining The Reflective Thinking Skills of Pre- Service
Teacher in Learning and Teaching Process. Energy Education Science and
Technology Part B : Social and Educational Studies. Volume (issue) 3(3)
: 387-402
Kember, D.Y.P & Kember, D. 2003. The Relationship Between Approaches to
Learning and Reflection Upon Practice. Educational Psychology, 23(1),
61-67
Krulik, S & Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in Middle School A Practical
Guide. Boston. MA: D.C. Keath and Company
Kusumaningrum, Maya, &Abdul Aziz. 2012. Mengoptimalkan Kemampuan
Berfikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika. Makalah
Ini Disampaikan Dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika . Yogyakarta : FMIPA UNY
Lipman. 2003. Thinking in Education. Cambridge University Press
Rodgers, C. 2002. Defining Reflection : Another Look at Jhon Dewey and
Reflective Thinking. Teachers College Record Volume 104 Number 4, pp.
842-866
Schon, D. 2012. Educating The Reflective Practitioner. Paper Presented at the
Meeting of the American Educational Research Association, Washington
DC
Skemp, R. 1982. The Psychology of Learning Mathematics. USA : Peguin Books
Suharna, Hery. 2013. Berfikir Reflective (Reflektive Thinking) Mahasiswa Calon
Guru Dalam Pembelajaran. KNM XVI Unpad. Bandung
Sunaryo. 2011. Taksonomi Berfikir. Bandung : PT. Remaja Rosda Karyaya
58
BAB IV
KOMUNIKASI MATEMATIS
Oleh : Sumaji
Universitas Negeri Malang
59
BAB – IV KARAKTERISTIK KOMUNIKASI MATEMATIS
A. PENDAHULUAN
Definisi Komunikasi
Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi adalah mempunyai peranan
penting, dengan komunikasi setiap orang dapat saling bertukar informasi.
Komunikasi merupakan proses pertukaran pendapat, informasi dengan tulisan,
atau lisan termasuk bahasa tubuh. Dalam hal ini untuk menyampaikan pesan
kepada orang lain melalui beberapa cara diantaranya yaitu: dengan tulisan, artinya
ide atau gagasan kita tuangkan secara tertulis, sedangkan secara lisan dalam hal
ini ide atau gagasan disampaikan secara lisan atau dengan kata-kata, sedangkan
bahasa tubuh untuk memerjelas pesan yang disampaikan supaya mudah
dipahami orang lain.
NCTM, (2000) menjelaskan bahwa komunikasi adalah cara berbagi ide
untuk mengklarifikasi pemahaman bersama. Dengan mengklarifikasi sesuatu ide
atau gagasan yang kita samapaikan kepada orang lain akan menumbuhkan saling
pengertian antar individu. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui klarifikasi
dapat mengurangi terjadinya kesalahpahaman. Masing-masing individu yang
terlibat dalam komunikasi saling mengklarifikasi ide-ide atau gagasan yang telah
di sampaikan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat bahkan mengalami
ide/gagasan yang kita sampaikan sering kurang dipahami oleh lawan bicara kita.
Hal ini berarti kita belum melakukan komunikasi dengan baik. Kalau kita
melakukan komunikasi dengan baik tentunya hal seperti ini bisa dihindari.
Komunikasi bukan hanya sekedar pertukaran ide tetapi dengan pertukaran
ide tersebut saling memberikan manfaat dan bermakna bagi mereka. Vasileiadou,
(2013) menjelaskan bahwa dengan komunikasi memastikan pencapaian
intersubjektivitas, yang akan lebih bermakna dan bukan hanya sekedar pertukaran
ide. Bahwa pengertian intersubjektif ini berawal dari konsep „sosial‟ dan konsep
„tindakan‟. Konsep sosial diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih
individu untuk saling bertukar ide. Sedangkan konsep tindakan sebagai perilaku
60
yang membentuk makna subjektif yang telah disepakati bersama untuk dimaknai
secara sama dengan individu lain. Supaya ide kita bisa diterima oleh orang lain
tentunya kita harus membagun hubungan sosial yang baik. Dengan hubungan
sosial yang baik kita akan mudah berkomunikasi dengan orang lain.
Proses interaksi merupakan proses sosial yang berlanjut pada pertukaran
ide antar individu. Martinho, (2009) memberi penjelasan bahwa komunikasi
dapat dianggap sebagai proses sosial/berinteraksi, berbagi informasi dan saling
membatasi evolusi mereka. Artinya bahwa dengan berinteraksi dan berbagi
informasi akan selalu mendapat pengetahuan dan informasi yang baru. Kalau kita
kaitkan dengan proses pembelajaran dikelas komunikasi yang terjadi bukan
hanya terbatas di dalam kelas tetapi juga terjadi luar kelas/ jam pelajaran.
Sehingga proses sosial akan terjalin dengan baik yang akan berdampak pada
peningkatan pengetahuan kita.
Dalam menyampaikan pesan/gagasan pada lawan bicara kita harus
memberikan kebebasan kepada setiap anggota untuk menyampaikan ide atau
memberi tanggapan. (Sfard 2008), mendefinisikan komunikasi sebagai pola
kegiatan kolektif yang melibatkan setiap anggota berkomunikasi dengan
tindakan masing-masing dan, untuk setiap tindakan tersebut, anggota
diperbolehkan memberikan reaksi dengan individu lain. Dengan demikian akan
berdampak pada pertukan informasi/ide antar individu. Sehingga akan terjadi
saling bertukar ide dan informasi yang bermakna dan bermanfaat baik secara
individu maupun kelompok. Berdasarkan ciri-ciri di atas yang dimaksud
komunikasi dalam tulisan ini adalah proses menyampaikan pesan, ide atau
gagasan baik secara tulis, lisan maupun maupun bahasa tubuh sehingga diperoleh
pemahaman bersama.
Definisi Komunikasi Matematis
Komunikasi matematis adalah salah satu hal yang sangat di perlukan
dalam pembelajaran bagi siswa agar konsep yang dipelajari mudah di pahami.
Dalam komunikasi matematis siswa dapat berbagi ide dengan siswa lain tentang
konsep matematika yang dipelajarinya. (NCTM 2000) mendefinisikan bahwa
komunikasi matematis adalah adalah suatu cara bagi siswa untuk
61
mengartikulasikan, menjelaskan, mengatur, dan mengkonsolidasikan pemikiran
matematika mereka. Hal ini menjadi penting dengan artikululasi ide-ide
matematis yang dijelaskan melalui ucapan bisa di dengar oleh siswa,
“menjelaskan” di sini artinya bahwa siswa dapat menjelaskan ide-ide
matematisnya pada siswa yang lain, sedangkan yang dimaksud mengatur adalah
siswa dapat mengkoordinasikan ide-idenya agar runtut dan jelas sehingga mudah
diterima teman-temannya. Setelah mengartikulasikan, menjelaskan, mengatur
selanjutnya adalah saling menguatkan atau menghubungkan tentang ide-ide
matematisnya.
Kaya & Aydin, (2014) memberikan penjelasan bahwa komunikasi
matematis merupakan proses menyampaikan ide matematis sehingga diperoleh
pemahaman bersama antara yang memberikan dan yang menerima informasi.
Cooke & Buchholz (2005) menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan
proses menyampaikan pesan, gagasan yang berupa ide matematis yang dapat
meningkatkan asimilasi antara pengalaman baru dan lama. Dengan berbagi ide
maka akan terjadi proses asimilasi sehingga dapat menggabungkan pengetahuan
baru seseorang dengan struktur pengetahuan yang sudah ada. Oleh karena itu
dengan komunikasi matematis dapat meningkatkan pemahaman seseorang
terhadap konsep matematika.
Proses berbagi ide matematika dalam kelas akan berdampak positip
terhadap pemahaman dan pengetahuan siswa tentang matematika. Ontario
Ministry of Education, (2005) komunikasi matematis adalah proses penting untuk
belajar matematika karena melalui komunikasi, siswa merenungkan, memperjelas
dan memperluas ide-ide dan pemahaman tentang hubungan matematika dan
argumentasi matematika. Komunikasi matematis perlu dibiasakan dalam kelas,
hal ini dapat membantu siswa memperjelas pemahaman matematis siswa. Dengan
komunikasi dalam kelas kemudian siswa merenungkan hal-hal yang didiskusikan.
Setelah itu akan memunculkan ide-ide matematis untuk disampaikan kepada
teman lainya, sehingga akan memperluas pemahaman mereka tentang konsep
matematika.
62
Pemahaman ide-ide matematis akan berhasil jika masing-masing individu
memikirkan tentang apa yang di diskusikan baik secara lisan maupun tulisan.
Sfard, (2008) memberikan penjelasan bahwa komunikasi matematis merupakan
proses menyampaikan ide matematis baik secara tulis maupun lisan oleh masing-
masing individu. Hal ini berarti masing-masing individu berpikir tentang ide-de
matematis yang dibahas kemudian masing-masing individu di dalam kelas
menuangkan idenya baik secara lisan maupun tulisan. Dari beberapa ciri-ciri
komunikasi matematis di atas yang dimaksud komunikasi matematis dalam
tulisan ini adalah proses menyampaikan pesan, pendapat dalam bentuk ide
matematis baik secara lisan maupun tulisan.
B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN
Karakteristik Komunikasi Matematis
Shield & Galbraith, (1998) menemukan bahwa karakteristik komunikasi
matematis meliputi: penggunaan simbolis (numerik atau simbol aljabar), secara
lisan, diagram, grafik, atau dengan tabel data. Komunikasi matematis selain bisa
diekspresikan baik lisan dan tulisan juga bisa di ekspresikan dalam berpikir.
NCTM, (2000) menyebutkan karakteristik komunikasi matematis meliputi:
kemampuan untuk membaca, menulis, mendengarkan, berpikir, dan
berkomunikasi tentang masalah untuk memperdalam pemahaman matematis
siswa. Dengan membaca siswa dapat mengingat, memahami, dan menganalisis.
Dengan menulis melatih siswa berpikir karena siswa dapat menuangkan ide
mereka, di samping itu dapat menumbuhkan kreatifitas siswa. Selain itu
mendengarkan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam diskusi dan untuk
dapat mendengar dengan baik diperlukan konsentrasi yang baik pula.
Clark & Jacobs, (2005) berpendapat bahwa karakteristik komunikasi
matematis adalah proses ekpresi dan pemikiran, untuk mendengarkan,
menguraikan dengan kata-kata, mempertanyakan, dan merepresentasikan di
seluruh kelas dan diskusi kelompok kecil tentang matematika. Dalam proses
ekspresi dan pemikiran proses ekspresi dapat diwujudkan dalam berpikir terhadap
masalah yang didiskusikan, mendengarkan ide atau gagasan yang disampaikan
dan mempresentasikannya.
63
Kongthip & Inprasitha (2012) menjelaskan bahwa karakteristik
komunikasi matematis meliputi antara lain: (1) rigorousness yaitu ketepatan ide-
ide matematis dalam pemecahan masalah, (2) economy yaitu keiritan ide
matematis dalam pemecahan masalah, dan (3) freedom yaitu kebebasan dengan
bermacam-macam ide matematis dalam pemecahan masalah. Lebih lanjut
Inprasitha & Pattanajak, (2010) menyatakan bahwa karakteristik komunikasi
matematis terdiri dari dua aspek yaitu: (1) aspek kognitif yang meliputi: (a)
rigorousness (ketepatan), (b) economy (keiritan), dan (c) freedom (kebebasan),
(2) aspek emosional merupakan potensi siswa dalam mengekspresikan ide-ide
matematika dengan percaya diri, senang, menghargai pendapat orang lain. Dengan
percaya diri dan perasaan senang maka ide-ide matematika yang disampaikan
dengan santai sehingga akan mudah dimengerti orang lain. Sedangkan apabila
terjadi perbedaan pendapat dalam proses komunikasi kita harus saling menghargai
ide/pendapat orang lain. Bra¨uning & Steinbring (2011) menemukan bahwa
karakteristik komunikasi matematis terdiri dari tiga komponen: pertanyaan,
mendengarkan dan menanggapi.
Kosko & gao (2015) menyatakan bahwa karakteristik komunikasi
matematis meliputi: menjelaskan, membenarkan, konjektur/dugaan, menulis,
mempertanyakan, berdebat, mendengarkan, dan berbicara tentang matematika
mereka. Berdasarkan ciri-ciri karakteristik komunikasi matematis di atas maka
dapat disimpulkan bahwa karakteristik komunikasi matematis dalam tulisan ini
adalah proses komunikasi dalam kelas yang meliputi kegiatan antara lain: (1)
rigorousness (ketepatan), (2) economy (keiritan) dan (3) freedom (kebebasan).
64
c. Freedom yaitu kebebasan dengan bermacam-macam ide matematis dalam
pemecahan masalah.
Sehubungan dengan hal di atas, untuk mengetahui contoh orang yang
memiliki kemampuan komunikasi matematis, maka 3 (tiga) indikator di atas harus
diukur. Kalau semuanya dapat dipenuhi, maka kemampuan komunikasi
matematisnya dapat dikatakan baik.
Contoh
1. Susi mempunyai 3 kotak mainan. Setiap kotak diisi 3 bungkus kelereng.
Setiap bungkus berisi 4 butir kelereng. Berapa jumlah kelereng Susi?
Jawaban si A sebagai berikut.
Jawaban si A sebagai berikut.
Kotak 1 kotak 2 kotak 3
3x
65
Jumlah keseluruhan kelereng susi = 9 bungkus x jumlah kelereng tiap
bungkus = 9 x 4 = 36 bungkus.
c. Kotak 1 adalah 12 kelereng, kotak 2 adalah 12 kelereng dan kotak 3 adalah
12 kelereng. Jadi jumlah keseluruhan kelereng kotak 1 + kotak 2 + kotak 3
= 12 + 12 + 12 = 36 kelereng.
Perhatikan dua jawaban di atas,
Si A sudah menggunakan komunikasi matematis, tetapi belum bisa dikatakan
sudah menggunakan komunikasi matematis dengan baik karena belum memenuhi
semua indikator komunikasi matematis. Si B sudah bisa dikatakan menggunakan
komunikasi matematis dengan baik karena sudah memenuhi ke tiga indikator
diatas yang meliputi (1) rigorousness yaitu ketepatan ide-ide matematis dalam
pemecahan masalah, (2) economy yaitu keiritan ide matematis dalam pemecahan
masalah, dan (3) freedom yaitu kebebasan dengan bermacam-macam ide
matematis dalam pemecahan masalah.
C. PENELITIAN TERKAIT
Penelitian yang Relevan dengan Komunikasi matematis
Banyak penelitian sebelumnya yang telah dilakukan terkait dengan
komunikasi matematis antara lain sebagai berikut.
Kongthip & Inprasita, (2012 ) yang melakukan penelitian pada kelas 5
Sekolah dasar di Thailand. Jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif.
Subyek penelitian ini adalah 27 siswa kelas lima, di sekolah Nong-tum-nong-
ngu-lerm dan 33 siswa kelas lima, di sekolah Beung-neum-beung-krai-noon.
Hasil penelitiannya menjukkan bahwa terdapat 7 jenis komunikasi matematis
oleh gestures siswa antara lain: (1) mengkomunikasikan secara tepat
(rigorousness) melalui gesture berulang/berirama (beat gesture), (2)
mengkomunikasikan secara tepat (rigorousness) melalui gesture yang
menjelaskan konten abstrak (methaporic gesture), (3) mengkomunikasikan secara
singkat (economy) melalui gesture menunjuk obyek/gambar (deictic gesture), (4)
mengkomunikasikan secara singkat (economy) melalui gesture menggabar
66
konten pelajaran (iconic gesture), (5) mengkomunikasikan secara bebas (freedom)
melalui gesture menunjuk obyek/gambar (deictic gesture), (6)
mengkomunikasikan secara bebas (freedom) melalui gesture menggambar konten
pelajaran kemudian (iconic gesture), dan (7) mengkomunikasikan secara bebas
ide matematis melalui gesture menggambar dan menunjuk obyek (iconic dan
deictic gesture).
Martinho, ( 2009 ) yang melakukan penelitian pada guru sekolah dasar di
Swedia. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, subyek penelitian penelitian
kolaboratif yang melibatkan seorang peneliti (penulis pertama makalah ini) dan
tiga guru matematika, satu di kelas 5-6 dan dua lainnya di kelas 7-9 di Portugal.
Hasil penelitiannya dapat mengembangkan pemahaman guru tentang masalah
komunikasi di kelasnya, menempatkan prakteknya di bawah pengawasan, dan
mengembangkan proses komunikasi yang lebih baik antara guru dan murid-
muridnya.
Olteanu, ( 2012 ) yang melakukan penelitian pada kelas dua SMA di
Swedia. Jenis penelitian kualitatif, subyek penelitiannya 45 siswa, (25 laki-laki,
20 perempuan) kelas dua SMA. Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komunikasi yang efektif terjadi di dalam kelas jika memiliki aspek penting dalam
belajar siswa sebagai titik awal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa siswa
tidak dapat memahami perbedaan antara nilai tertinggi /terendah dari fungsi
kuadrat dantitik maksimum / minimum; itu perbedaan antara persamaan kuadrat
dan fungsi.
Tunç-Pekkan & D‟Ambrosio (2008 )yang melakukan penelitian pada
calon guru sekolah dasar di Midwestern university USA. Jenis penelitian adalah
penelitian kualitatif, subyek penelitiannya: 27 calon guru sekolah dasar di
midwestern university Amerika Serikat. Hasil penelitiannya menegaskan bahwa
keyboard matematika memiliki karakteristik untuk matematika berbasis web
interaktif.
Nilsson & Ryve (2010), yang melakukan penelitian pada siswa kelas
enam (12-13 tahun) di Swedia. Jenis penelitian ini adalah kualitatif, subyek
penelitian dalam penelitian ini adalah 8 siswa kelas enam di Swedia (12-13
67
tahun). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penentukan fokus pada lawan
bicara, membantu dalam menguatkan analisis komunikasi efektif dalam kegiatan
matematika. Terutama menetapkan pentingnya berkomunikasi dengan fokus
sesuai dalam konteks pembelajaran.
Marchetti & Foster .dkk ( 2012 ) yang melakukan penelitian pada siswa
SMA di Amerika serikat. Hasil Studi eksplorasi ini menghasilkan temuan menarik
yang perlu penyelidikan lebih lanjut. Secara keseluruhan, implikasinya bagi
pendidik adalah bahwa kita dapat meningkatkan pengalaman siswa secara
kolaboratif bekerja dalam kelompok dengan menyediakan metode komunikasi
yang efektif.
Neria & Amit (2004 ) yang melakukan penelitian pada siswa SMA kelas
IX di Israel. Jenis penelitiannya adalah kualitatif, subyek penelitian ini adalah
siswa kelas sembilan terdiri dari (83 laki-laki dan 81 wanita). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hanya sedikit siswa yang berprestasi sangat tinggi, memilih
untuk berkomunikasi melalui representasi aljabar, bahkan setelah dua tahun
belajar aljabar.
Kaya & Aidyn, ( 2014) yang melakukan penelitian pada guru matematika
di SD di Turki. Penelitian ini mengggunakan desain penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis untuk menggambarkan persepsi guru matematika dan
pengalaman hidup dengan komunikasi matematis di ruang kelas. Subyek
penelitiannya adalah sembilan (n = 9) guru matematika yang bekerja di sekolah
dasar di kota metropolitan terbesar dari Turki. Hasi penelitian menunjukkan
bahwa komunikasi dalam pelajaran matematika memiliki peran penting dalam
mengembangkan pemahaman matematika siswa.
Inprasitha & Pattanajak, (2012) yang melakukan penelitian pada siswa
kelas I SD Ban Bungniambungkrinoon di Thailand. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif termasuk pendekatan etnografi dan pendekatan studi kasus,
pengajaran percobaan dan penelitian tindakan. Subyek penelitian adalah 23 siswa
kelas I di Sekolah dasar Ban Bungniambungkrinoon di Thailand. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak hanya aspek kognitif bisa mengevaluasi komunikasi
68
matematis di kelas, tetapi juga Aspek emosional dapat membantu guru untuk
memahami konsep matematika siswa.
Kosko & Wilkins (2014 ) yang melakukan penelitian pada perwakilan
siswa kelas V di Amerika serikat. Jenis penelitiannya adalah kualitatif, subyek
penelitian adalah perwakilan dari siswa kelas lima di Amerika Serikat. Hasil
penelitian menunjukkan adanya hubungan antara frekuensi siswa Amerika Serikat
kelas V yang diamati menggunakan peraga manipulatif dengan seberapa sering
mereka untuk membahas dan menulis tentang matematika. Hasil tambahan dari
penelitian ini menunjukkan bahwa siswa kelas V membahas matematika secara
signifikan lebih sering daripada mereka menulis tentang matematika atau
penggunaan peraga manipulatif.
Forrest, (2008 ) yang melakukan penelitian pada 15 guru matematika
SMA di Amerika Serikat. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, subyek
penelitian adalah 15 guru matematika berpartisipasi dalam penelitian ini. Tempat
penelitian dipilih sekolah (perkotaan dan pinggiran kota). Hasilnya tiga pesan
desain logika yang ditemukan ada antara guru matematika. Dua puluh persen dari
pesan yang dikodekan dengan mempekerjakan desain logika ekspresif, 53%
konvensional, dan 26% retoris.
ElSheikh & Najdi, (2013) yang melakukan penelitian pada guru
matematika di Alquds Open University (QOU) di Palestina. Jenis penelitian
adalah penelitian tindakan, subyek penelitian adalah 12 guru matematika dari
QOU di Palestina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keyboard matematika
mendukung tujuan komunikasi matematis, dan memberikan kontribusi untuk
pengembangan profesional dan praktek terbaik berpartisipasi pada guru dan siswa.
Avci1 & Keene, ( 2015 ) yang melakukan penelitian pada guru SMA dan
siswa di empat kelas yang berbeda di SMA di Amerika Serikat. Penelitian ini
merupakan studi kasus dengan data kuantitatif dan kualitatif. Subyek penelitian
adalah 2 guru SMA dan 79 siswa di empat kelas yang berbeda di sekolah
menengah umum di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar siswa memiliki sikap positif terhadap alat-alat online, Google, dan
69
menggunakannya di kelas matematika; dan apresiasi kepada matematika telah
meningkat.
Uptegrove (2015) yang melakukan penelitian pada siswa kelas I Sekolah
menengah Atas di Amerika Serikat. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif,
subyek penelitian adalah 18 siswa sekolah menengah atas di Amerika Serikat.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa yang membangun pemahaman
dan kemudian mengembangkan simbol kosakata matematika dapat memperoleh
pemahaman yang mendalam dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Selain
itu, membangun pemahaman dapat memberikan kosakata matematika siswa yang
luas; mereka tidak hanya dapat mengekspresikan ide menggunakan terminologi
standar matematika, tetapi mereka juga dapat menggunakan bahasa sehari-hari
ketika dibutuhkan dan diperlukan.
70
4. Penelitian sebelumnya sudah ada kolaborasi antar guru dan peneliti akan
tetapi peranan peneliti terlibat dalam kelas masih sangat besar masih
didomonasi oleh peneliti.
5. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan komunikasi matematis pada kelas
campuran antara anak yang tuli dan normal jumlah subyek terbatas dan
waktunya singkat.
6. Penelitian sebelumnya guru sudah terlibat dalam merefleksi kegiatan belajar
matematika akan tetapi belum mengeksplorasi dampak dari refleksi yang
dilakukan guru pada komunikasi matematis.
7. Penelitian sebelumnya terkait representasi aljabar siswa tetapi belum
mempunyai pengalaman yang cukup atau pengalaman tentang aljabar.
8. Penelitian sebelumnya mengeksplorasi persepsi sekitar pengalaman hidup
guru menggunakan komunikasi matematis tetapi belum mengeksplorasi
dampak komunikasi matematis pada kemampuan berpikir matematika.
1. Penelitian sebelumnya menyelidiki hubungan antara komunikasi matematis
siswa dan penggunaan manipulatif tapi sampelnya terbatas dan belum
menyelidiki pengaruh penggunaan manipulatif pada komunikasi matematis.
2. Penelitian sebelumnya sudah mengeksplorasi hubungan komunikasi online
dan sikap siswa terhadap alat-alat online, Google, dan menggunakannya di
kelas matematika tetapi belum mengeksplorasi dampak dari penggunaan alat-
alat online, Google.
3. Penelitian sebelumnya menyelidiki bentuk interaksi matematika dalam
pengaturan sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa tapi
belum mengkaji dampak atau akibat interaksi matematika dalam pengaturan
sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dalam
pembelajaran matematika.
Penelitian Yang Mungkin Dilakukan
1. Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi tentang komunikasi matematis
oleh gestur siswa yang dilakukan pada kelas lain yang lebih tinggi untuk
melihat komunikasi matematis siswa.
71
2. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi bahasa, gesture pada komunikasi
matematis perlu mempertimbangkan memeriksa jenis gesture dan interaksi
antar individu, dalam pembelajaran matematika, dalam rangka untuk
mengidentifikasi kompetensi matematika.
3. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi komunikasi efektif kaitannya dengan
menggenerelasikan konsep yg tidak dipahami siswa dengan kontekstualisasi.
Sekaligus menggali lebih dalam kerangka domain-spesifik dari penalaran
matematis siswa dan berhubungan ini untuk konstruksi analitis, konteks dan
komunikasi yang efektif.
4. Penelitian selanjutnya perlu kolaborasi antar guru dan peneliti dan perlu
mengurangi peranannya untuk terlibat dalam kelas.
5. Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi komunikasi matematis pada
kelas campuran antara anak yang tuli dan normal jumlah subyek luas dan
waktunya lama.
6. Penelitian selanjutnya guru perlu terlibat dalam merefleksi kegiatan belajar
matematika dan perlu mengeksplorasi dampak dari refleksi yang dilakukan
guru pada komunikasi matematis.
7. Penelitian selanjutnya terkait representasi aljabar siswa harus mempunyai
pengalaman yang cukup atau pengalaman tentang aljabar.
8. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi persepsi sekitar pengalaman hidup
guru menggunakan komunikasi matematis perlu mengeksplorasi dampak
komunikasi matematis pada kemampuan berpikir matematika.
9. Penelitian selanjutnya menyelidiki pengaruh penggunaan manipulatif pada
komunikasi matematis.
10. Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi dampak dari penggunaan alat-
alat online, Google.
11. Penelitian perlu mengkaji dampak atau akibat interaksi matematika dalam
pengaturan sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
dalam pembelajaran matematika.
72
REFERENSI
Avci1, Z.Y & Keene, K.A, ( 2015 ). An Exploration of Student Attitudes towards
Online Communication and Collaboration in Mathematics and
Technology. International Online Journal of Educational Sciences,
7(1), 110-126.
Bra¨uning ,K & Steinbring, H. 2011. Communicative characteristics of teachers‟
mathematical talk with children: from knowledge transfer to knowledge
investigation. ZDM Mathematics Education. 43:927–939, DOI
10.1007/s11858-011-0351-4.
Cooke, BD & Buchholz, D. 2005. Mathematical Communication in the
Classroom: A Teacher Makes a DiflFerence. Early Childhood
Education Journal, 32 (6), 365-369.
Clark, K.K & Jacobs. J, (2005). Strategies for Building Mathematical
Communication in theMiddle School Classroom: Modeled in
Professional Development,Implemented in the Classroom. Current
Issues in Middle Level Educations, (2) 11, 1-22.
ElSheikh, R.M & Najdi, S.D, (2013). Math Keyboard Symbols and Its Effect in
Improving Communication in Math Virtual Classes. International
Journal of Information and Education Technology, (3) 6, 638-642.
Forrest, D.B (2008 ). Communication Theory Offers Insight into Mathematics
Teachers‟ Talk.The Mathematics Educator, (2), 18, 23–32.
Inprasitha, M & Pattanajak, P, Inprasitha, N (2012). A Study of Student‟s
Mathematical Communication in Teacher Professional Development.
Journal of Modern Education Review, January 2012, 2, (1), 38–46.
Kaya, D & Aidyn, H, ( 2014). Elementary Mathematics Teachers' Perceptions
and Lived Experiences on Mathematical Communication.Eurasia
Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 10(6), 619-
629.
Kongthip, Y & Inprasitha, M. 2012. Mathematical Communication by 5th Grade
Students‟ Gestures in Lesson Study and Open Approach Context.
Psychology Journal, 3(8), 632-637.
Kosko & Wilkins (2014 ). Mathematical Communication and Its Relation to the
Frequency of Manipulative Use. International Electronic Journal of
Mathematics Education, 5(2), 79-90.
Kosko, K.W & Gao, Y. 2015. Mathematical Communication in State Standards
Before the Common Core. Educational Policy, 1– 28. DOI:
10.1177/0895904815595723
Marchetti, C & Foster, S, (2012). Crossing the Communication Barrier
FacilitatingCommunication in Mixed Groups of Deaf and Hearing
Students.Journal of Postsecondary Education and Disability, 25(1), 51
– 63.
Martinho, M, H. ( 2009). Communications In The Classroom: Practice Aand
Reflections Of a Mathematics Teacher. Quaderni di Ricerca in
Didattica (Matematica)”, 2(9). 1-9.
73
National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards
for schoolmathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of
Mathematics.
Neria, D & Amit, M (2004 ). Students Preference Of Non-Algebraic
Representations In Mathematical Communications.Proceedings of the
28th Conference of the InternationalGroup for the Psychology of
Mathematics Education, 3, 409–416.
Nilsson, P & Ryve, A, (2010), Focal event, contextualization, and effective
communication in the mathematics classroom. Educ Stud Math
74:241–258DOI 10.1007/s10649-010-9236-7.
Olteanu, C & Olteanu, L ( 2012 ). Equations, Functions, Critical Aspects and
Mathematical Communication. International Education Studie, 5(5),
69-78.
Ontario Ministry of Education. (2005). The OntarioCurriculum, Grades 1 to 8:
Mathematics. Toronto, ON: Queen‟s Printer for Ontario.
Sfard, A. (2008). Learning discourse. Discursive approaches to research in
mathematics education. London: Kluwer Academic Publishers.
Shield, M. & Galbraith, P. 1998. The Analysis of Student Expository Writing in in
Mathematics. Educational Studies in Mathematics, 36, 29-52.
Tunç-Pekkan, Z & D‟Ambrosio, B (2008 ). Mathematical Communications:
Elementary Pre-service Teachers‟ E-mail Exchanges with Sixth Grade
Students. MathematicsTeacher Education and Development, 10, 4-14.
Uptegrove, E.B (2015). Shared communication in building mathematical ideas:A
longitudinal study. The Journal of Mathematical Behavior. DOI:
10.1016/j.jmathb.2015.02.001
Vasileiadou, P.D, 2013. An Analysis of Students‟ Communication during Group
Work in Mathematics. Electronic Journal of Vocational Colleges. 2(3), 59-70
74
BAB V
BERPIKIR SPASIAL
75
BAB – V BERPIKIR SPASIAL
76
merupakan kegiatan fisik yang melibatkan panca indra pada saat bertemu dengan
bentuk fisik suatu benda. Mengkodekan (encoding) mengacu pada bagaimana
mengubah suatu fisik, input sensorik menjadi suatu bentuk representasi yang
dapat ditempatkan ke dalam memori (Sternberg dan Sternberg, 2012). Proses
mental selanjutnya adalah penyimpanan yang mengacu pada bagaimana
mempertahankan informasi yang dikodekan dalam memori kemudian bagaimana
seseorang mendapatkan akses ke informasi yang tersimpan dalam memori
sehingga dapat menyajikannya kembali sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya (Sternberg dan Sternberg, 2012). Ketika seorang berpikir spasial,
maka perhatiannya akan terpusat pada lokasi objek, bentuknya, hubungannya
dengan bentuk yang lain dan bagaimana jika bentuk-bentuk tersebut dipindahkan
(Newcombe, 2010). Menurut Uttal, Miller dan Newcombe (2013), berpikir spasial
didefinisikan sebagai proses-proses mental pada penyajian, penganalisisan dan
penggambaran inferensi dari relasi spasial. Relasi spasial ini bisa saja berupa
relasi antara obyek-obyek (misalnya relasi antara landmark suatu kota) atau relasi
di dalam suatu obyek (misalnya suatu bidang pada suatu balok). Seseorang dapat
menganalisis relasi spasial sebagaimana dia dapat mengamati dan menyajikan
(misalnya struktur kunci pada suatu sketsa mesin) atau membayangkan perubahan
bentuk pada relasi spasial (misalnya, memutar secara mental suatu obyek tiga
dimensi) (NRC, 2006).
Jadi berpikir spasial adalah proses-proses menangkap, mengkodekan dan
memanipulasi secara mental bentuk-bentuk tiga dimensi dengan
mengkombinasikan konstruksi tiga elemen yaitu konsep ruang, alat penyajian dan
proses penalaran.
Berpikir Spasial dan Istilah yang Terkait
Terdapat istilah-istilah yang terkait dengan berpikir spasial, antara lain
istilah konsep spasial (spatial concepts), penyajian spasial (spatial representation)
dan penalaran spasial (spatial reasoning). Keterkaitan di antara istilah-istilah
tersebut digambarkan ke dalam bentuk piramida seperti gambar 1.1 berikut ini.
77
Spatial • Graphicacy
Literacy
• Concepts
Spatial • Representation
Thinking • Reasoning
Spatial Abilities
Piramida pada gambar 1.1 juga terdapat istilah lain yang menggunakan
isilah spasial yaitu literasi spasial (spatial literacy), grafikasi (graphicacy) dan
kemampuan spasial (spatial abilities). Literasi spasial didefinisikan sebagai
kemampuan atau sikap seseorang untuk berpikir secara spasial dalam suatu cara
yang tepat (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011). Selanjutnya Wakabayashi dan
Ishikawa (2011) menyatakan bahwa grafikasi (graphicacy) adalah suatu dasar
pendidikan pada literasi, artikulasi dan numerasi, yang mulai berkembang sejak
pendidikan dasar. Kemampuan spasial (spatial abilities) adalah keterampilan
kognitif yang mendasari berpikir spasial, yang dikomposisikan oleh visualisasi
spasial, orientasi spasial dan relasi spasial (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011).
78
perjalanan), dasar sistem koordinat (misalnya, Cartesian vs koordinat polar), sifat
ruang (misalnya, jumlah dimensi [dua-vs tiga dimensi]).
Konsep ruang pada berpikir spasial diklasifikasikan ke dalam beberapa
bagian. Beberapa pengklasifikasian disajikan pada table 1.1 berikut ini.
Pattern,Arrangement,
Distribution, Order, Sequence
Spatial Association,
Overlay/Dissolve,
Interpolation
Projection, Transformation
79
bentuk visual, namun didalamnya termasuk bentuk sensori lain seperti bentuk
fisik, kinestetik dan auditori. Contoh penyajian spasial yaitu, hubungan antara
pandangan (misalnya, rancangan gambar dibandingkan ketinggian bangunan
sebenarnya, atau orthogonal terhadap peta perspektif), efek dari proyeksi, prinsip-
prinsip desain grafis (misalnya, keterbacaan, kontras visual, dan pengorganisasin
skala di pembacaan grafik dan peta).
Level masukan (input level), melalui pengumpulan informasi dari sense atau
pemanggilan informasi dari memori-memori.
Level proses (processing level), pada level ini orang yang belajar menganalisa,
mengklasifikasi, menjelaskan atau membandingkan informasi yang diperoleh
pada level masukan.
80
Level keluaran (output level), pada level ini pembentukan generasi pengetahuan
atau produk yang baru dari informasi yang diperoleh dari dua level yang pertama
yaitu level masukan dan level pemrosesan.
Contoh penalaran spasial yaitu cara berpikir yang berbeda tentang jarak terpendek
(misalnya, seperti seseorang berjalan dengan rute berjarak di jalan yang berubin
berbentuk persegi sehingga dapat dihitung rute terpendek yang dapat dia tempuh),
kemampuan untuk meramalkan kemungkinan dan interpolasi (misalnya,
memproyeksikan hubungan fungsional pada grafik ke masa depan atau
memperkirakan kemiringan bukit dari peta kontur), dan pengambilan keputusan
(misalnya, laporan yang diberikan lalu lintas di radio, pemilihan jalan memutar
alternatif).
81
mengartikulasikan, dan mempertahankan garis penalaran atau sudut pandang
dalam memecahkan masalah dan menjawab pertanyaan; dan mereka dapat
mengevaluasi validitas argumen berdasarkan informasi spasial.
Jika seseorang diberikan tugas berpikir spasial, dia dapat menyelesaikan
tugas tersebut dengan pendekatan imagistic atau dengan strategi analitik (Cohen
dan Hegarty, 2014). Pendekatan imagistic dilakukan dengan pembentukan dan
pemanipulasian bayangan mental sedangkan strategi analitik misalnya dengan
membandingkan fitur dua stimuli. Langkah-langkah pendekatan imagistic
menurut Cohen dan Hegarty (2014) yaitu mengkodekan karakteristik spasial dari
suatu figure atau benda seperti bentuknya yang padat secara geometris dan
orientasi pada bidang potongnya. Langkah lainnya adalah membayangkan obyek
yang sedang dilakukan pemotongan dan memindahkan bagian geometris yang
dipotong antara yang melihat dengan bidang yang dipotong. Langkah selanjutnya
adalah membuat suatu bayangan penampang figure atau benda geometri dari suatu
orientasi yang posisinya orthogonal pada permukaan yang dipotong.
Berpikir spasial pada bidang sains perkembangannya melewati tiga
langkah (NRC, 2006), yaitu :
1) mengekstraksi struktur-struktur spasial
2) menyajikan transformasi spasial
3) menggambarkan inferensi fungsional
82
Berpikir spasial menggunakan representasi, dapat membantu mengingat,
memahami, mengemukakan alasan, dan berkomunikasi tentang sifat-sifat dan
hubungan antara objek yang direpresentasikan dalam ruang, apakah benda-benda
itu sendiri secara inheren spasial atau tidak. Benda dapat menjadi hal-hal konkret
(seperti dalam peta jalan kognitif dan lingkungan di kota) atau konsep abstrak
(seperti dalam plot grafis dua dimensi dari model skala hubungan antara motivasi
dengan prestasi belajar) (NRC, 2006).
83
kurang. Apabila seseorang memiliki kemampuan berpikir rendah, peningkatan
kemampuan berpikir spasialnya dapat dilakukan melalui pelatihan. Pelatihan
dapat dilakukan dengan menggunakan obyek virtual berbantuan komputer, karena
pelatihan dengan obyek virtual lebih baik hasilnya daripada menggunakan benda
fisik (Korkasem:2014, Cohen dan Hegarty: 2014).
Pelatihan berpikir spasial yang diuji pada 2.545 artikel yang relevan oleh
Uttal, Miller dan Newcombe (2013) melaporkan bahwa pelatihan spasial adalah
efektif, memiliki daya tahan (durable) dan dapat dipindahkan (transferred).
Pelatihan spasial efektif meningkatkan berpikir spasial dengan menggunakan
berbagai macam metode pelatihan yang berbeda misalnya memainkan permainan
pada video, mempraktikkan tes spasial, atau dengan mengikuti kursus gambar
teknik. Pelatihan spasial tahan lama, karena meskipun dari 67% studi yang
dilakukan oleh Uttal, Miller dan Newcombe (2013) dilakukan langsung setelah
pelatihan, beberapa studi juga diukur beberapa minggu atau beberapa bulan
setelah pelatihan spasial ternyata dengan pelatihan intensif dapat memberikan
keuntungan pada berpikir spasial. Pelatihan spasial dapat dipindahkan
(transferred) karena dengan pelatihan spasial, kinerja seseorang pada tugas spasial
dapat ditingkatkan.
84
Contoh soal tes berpikir spasial adalah dengan diberikannya suatu plat besi
seperti yang ada pada gambar 4.1 di sebelah kiri bawah berikut ini. Plat besi
tersebut dilipat sesuai dengan garis putus-putus. Kemudian siswa diminta untuk
menentukan mana dari kelima bentuk A, B, C, D dan E yang merupakan
representasi dari plat besi yang dilipat. Ketentuan melipat adalah tidak boleh ada
lipatan yang menumpuk satu sama lain.
C. Penelitian Terkait
Berpikir spasial telah banyak diteliti dan mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Berpikir spasial sangat berguna bagi siswa-siswa di sekolah
menengah untuk mempersiapkan karirnya di masa depan (Uttal, Miller dan
Newcombe (2013). Penelitian yang dilakukan oleh (Uttal, Miller dan Newcombe
(2013) dengan melakukan sintesis kuantitatif dari 206 studi pelatihan spasial,
85
ditemukan peningkatan pelatihan rata-rata 0,47 dari standar deviasi. Efek
pelatihan berlangsung selama berbulan-bulan dalam studi meneliti daya tahan dan
ditransfer ke tugas-tugas yang berbeda. Hasil penelitiannya adalah meskipun
diabaikan dalam pendidikan tradisional, berpikir spasial memainkan peran penting
dalam prestasi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan matematika
(STEM) . Penelitian menunjukkan bahwa jawabannya adalah "ya" untuk kedua
pertanyaan di atas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelatihan spasial
dapat meningkatkan pembelajaran STEM.
Berpikir spasial tidak hanya dimulai di tingkat sekolah menengah saja.
Berpikir spasial dapat mulai dilatih sejak anak duduk di tingkat pra sekolah,
bahkan Mohring et.al (2015) yang melakukan penelitian tentang hubungan antara
berpikir spasial dan penalaran proposional pada siswa pra sekolah menyimpulkan
bahwa berpikir spasial dimulai sejak awal kehidupannya. Penelitian dilakukan
pada anak-anak yang didominasi anak-anak Kaukasia, berasal dari latar belakang
kelas menengah, dan tinggal di daerah pinggiran kota dari kota besar AS. Anak-
anak menyelesaikan tugas pertama lokasi spasial, diikuti oleh tugas penalaran
proporsional. Hasil penelitian ini menjelaskan mekanisme yang terlibat memiliki
hubungan yang erat antara berpikir spasial dan berpikir matematis sejak awal
kehidupan.B
Berbeda dengan Mohring, Newcombe dan Frick (2015) yang meneliti
tentang berpikir spasial yang dikaitkan dengan satu komponen berpikir matematis,
Ivantskii et.al (2015) meneliti tentang Pemetaan Otak (brain mapping) saat
seseorang berpikir verbal dan berpikir spasial. Penelitian ini adalah untuk
menggambarkan topografi zona kortikal aktif dan formasi subkortikal selama
berpikir verbal dan spasial menggunakan pencitraan resonansi magnetik
fungsional (fMRI). Subyek yang diambil sebanyak 18 orang, subyek tersebut
menggunakan tangan kanan pada aktivitasnya. Empat jenis tugas yang disajikan -
dua tugas studi, verbal (anagram) dan spasial (mencari angka untuk persegi), serta
dua jenis tugas kontrol (kata-kata dan tugas-tugas spasial di mana semua kata-
katanya identik). Data fMRI ini memberikan bukti bahwa jenis pemikiran verbal
dan spasial didukung oleh aktivitas spesifik struktur otak, sementara studi
86
elektrofisiologi sebelumnya menunjukkan distribusi proses otak selama berpikir.
Penggabungan dua pendekatan ini mengarah pada kesimpulan bahwa fungsi
kognitif didukung oleh sistem-jenis proses otak dengan struktur kunci tertentu.
Pemanfaatan kecanggihan teknologi dapat dimanfaatkan untuk membantu
seseorang yang memiliki kelemahan dalam berpikir spasial. Pemanfaatan
lingkungan virtual dalam pelatihan spasial secara intersif dapat meningkatkan
kemampuan berpikir spasial dari pada menggunakan lingkungan fisik (Cohen dan
Hegarty:2014, Kavouras et.al:2014, Kornkasem dan black:2014 dan Manson
et.al:2014). Cohen dan Hegarty (2014) meneliti tentang memvisualisasikan
penampang: Pelatihan berpikir spasial menggunakan animasi interaktif dan benda-
benda maya (virtual). Penelitian dilakukan dalam dua percobaan, yang
menyelidiki keandalan intervensi singkat menggunakan animasi interaktif untuk
melatih siswa menyimpulkan penampang dua dimensi dari bentuk geometris
virtual tiga dimensi. Mahasiswa dengan kemampuan spasial yang kurang
ditugaskan untuk menerima intervensi atau untuk kelompok kontrol.
Dibandingkan dengan kelompok kontrol, peserta yang dilatih meningkat secara
signifikan pada stimuli yang diamati selama intervensi dan transfer menunjukkan
adanya rangsangan terlatih. Keuntungan kinerja dan transfer dalam percobaan ini
menunjukkan bahwa animasi interaktif dan benda padat virtual adalah alat
menjanjikan untuk melatih berpikir spasial untuk mahasiswa. Kornkasem (2014),
meneliti tentang Pelatihan berpikir spasial menggunakan artefak geometri dan
arsitektur. Studi dilakukan untuk menguji efek dari metode pelatihan spasial pada
kinerja kemampuan spasial. Dua percobaan, dilakukan pada total siswa 72
Columbia University. Secara khusus, studi menyelidiki penggunaan representasi
spasial eksternal untuk mengembangkan simulasi mental di pendidikan bidang
Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika (STEM). Di kedua studi, siswa
ditingkatkan keterampilan spasial mereka. Peserta didik yang terlatih dalam tiga
dimensi (3D) ditambah lingkungan maya (sebagai kelompok eksperimen)
meningkat di keterampilan spasial secara signifikan lebih dari pada siswa dengan
artefak 3D lingkungan fisik (sebagai kelompok kontrol). Sebuah efek antisipatif
ditemukan selama urutan pembelajaran. Urutan dalam lingkungan virtual 3D-
87
diperluas mengaktifkan isyarat spasial secara eksplisit dan bahasa teknis yang
membantu peserta untuk merumuskan simulasi mental yang lebih baik; sebagai
akibatnya, mereka tampil lebih baik di posttest dan tes transfer. Pemetaan web
melibatkan penerbitan dan penggunaan peta melalui internet, dan dapat
menjangkau penyajian peta statis ke penawaran data query yang dinamis dan
analisis spasial Manson et.al (2014). Pemetaan Jaringan dipandang sebagai cara
yang menjanjikan untuk mendukung pengembangan berpikir spasial dalam kelas
tetapi ada pertanyaan yang belum terjawab tentang bagaimana janji tersebut
diterapkan pada dunia nyata. Hasil penelitian Manson et.al (2014), menyatakan
bahwa pemetaan web dapat efektif tetapi keberatan mengarah pada pedagogis,
kelembagaan,dan teknologi beserta akibatnya.
Kelemahan dan Keunggulan Penelitian
Penelitian yang telah ditulis pada bagian 4, selanjutnya dianalisis
untuk mendapatkan kelemahan dan keunggulan dari tiap-tiap penelitian
tersebut.
a. Penelitian oleh Mohring ,Newcombe dan Frick(2015) memiliki
keunggulan yaitu bahwa ternyata terdapat hubungan yang erat antara
berpikir spasial dan berpikir matematis sejak awal kehidupan.
Penelitiannya focus pada pembacaan peta sebagai wakil dari
mengaketerampilan spasial dan penalaran proporsional sebagai wakil dari
keterampilan matematis. Bagian penting lainnya adalah bahwa anak-anak
yang pendugaan konsentrasi campurannya lebih baik pada tugas
penalaran proporsional ternyata juga memiliki penempatan posisi target
lebih akurat setelah dilakukan pengontrolan usia dan kecerdasan
verbalnya. Kelemahan penelitian ini adalah masih terbatas pada
hubungan saja antara berpikir spasial dengan berpikir matematis. Relasi
sebab akibat dari hubungan keduanya belum terlihat pada penelitian ini.
88
tergambar dengan baik bagian-bagian otak yang aktif pada saat seseorang
berpikir verbal dan berpikir spasial. Pada penelitian ini Ivanitskii et.al
menyatakan tentang level pengetahuan yang disajikan, yaitu bahwa
mereka dapat mengambil level tersebut sehingga proses-proses cerebral
yang ditekankan pada fungsi mental lebih tinggi merupakan sistem yang
melakukan proses-proses dan disebarkan melewati cortex. Kelemahan
penelitian ini hanya masalah kebaruannya. Penelitian serupa telah
dilakukan pada tahun 1932 oleh Pavlov.
89
kinerja buruk pada pre test kami. Untuk selanjutnya, model fisik dari
bentuk geometri padat yang sederhana dapat dihasilkan untuk mengatasi
beberapa kebingungan tentang bayangan perpektif tiga dimensi menjadi
dua dimensi.
90
REFERENSI
91
NRC (National Research Council). Learning to think spatially. Washington DC:
National Academies Press;2006.
Sternberg, Sternberg. Cognitive Psychology.Wadsworth. Cangage
Learning:California; 2012
Tomaszewski, Vodacek, Parody, Holt. Spatial Ability Assessment in Rwandan
Secondary Schools: Baseline Result. Journal on Geography.
www.researchgate.net/publication; 2014
Uttal , Cohen. Spatial Thinking and STEM Education: When, Why, and How? To
appear in B. H. Ross (Ed.), The Psychology of Learning and Motivation;
2013
Uttal, Miller,Newcombe. Exploring and Enhacing Spatial Thinking: Links
toAchievement in science, Technology, Engineering and Mathematics?.
Psycological Science. www.researchgate.net/publication; 2013
Wakabayashi, Ishikawa. Spatial Thinking in Geographic Information Science:a
Reviewof Past Studies and Prospect for The Future, Procedia Social and
Behavioral Science, Elsevier Ltd; 2011
92
BAB VI
PENALARAN INDUKTIF
Oleh : Sandie
Universitas Negeri Malang
93
BAB – VI PENALARAN INDUKTIF
94
(Feeney, 2007) mengemukakan alasan pentingnya dalam mempelajari
penalaran induktif yakni : (1) Karena penalaran induktif berhubungan dengan
probabilistik, kepastian, penalaran aproksimasi, dan tentunya berhubungan dengan
penalaran diri seseorang dalam kejadian sehari-hari, (2) penalaran induktif
merupakan aktivitas kognitif multifaset, ini dapat dipelajari dengan memberikan
pertanyaan sederhana kepada seorang anak dengan menggunakan gambar kartun,
atau memberikan pertanyaan kepada orang dewasa mengenai variasi argumen
kompleks dan menanyakannya pada mereka mengenai penilaian probabilitasnya,
(3) penalaran induktif berhubungan dengan, dan dapat dikatakan merupakan
pusat, kegiatan kognitif, mengatagorisasi, menilai kesamaan, dan pengambilan
keputusan. Dari ketiga alasan yang dikemukakan dapat diketahui bahwa,
penalaran induktif amat penting perannya dalam pendidikan matematika.
Dalam psikologi kognitif (Stenberg dan Stenberg, 2012) mengemukakan
dua alasan mengapa orang perlu menggunakan penalaran induktif yakni : (1)
membantu untuk semakin mahir dalam mengerti tentang variabilitas yang besar
dalam lingkungan. (2) membantu untuk memprediksi kejadian di lingkungan,
dengan demikian ketidakpastian dari prediksi suatu kejadian terminimalisir
(Stenberg dan Stenberg, 2012) menyatakan bahwa penalaran induktif
adalah proses penalaran dari fakta atau pengamatan khusus untuk mencapai
kemungkinan kesimpulan yang dapat menjelaskan fakta-fakta. Penalaran Induktif
kemudian dapat menggunakan kemungkinan kesimpulan untuk mencoba
memprediksi kejadian selanjutnya. Menurut Johnson,Laird (dalam Stenberg dan
Stenberg, 2012) orang yang melakukan penalran induktif dapat menggunakan
kemungkinan kesimpulan untuk memprediksi
Dari definisi-definisi yang diungkapkan bahwa secara umum penalaran
induktif merupakan kegiatan kognitif yang mana menyimpulkan secara umum
dari kejadian-kejadian khusus yang telah diamati atau pengalaman. Pada
umumnya, penalaran induktif biasanya berbentuk informal. Dikatakan berbentuk
informal dikarenakan, subyek melakukan pengamatan terlebih dahulu tanpa perlu
tahu akan teori yang telah ada dalam mendukung pengamatannya. Dari masing-
masing pengamatan, subjek tentunya mempunyai kesimpulan dari hasil
95
pengamatan yang dilakukan. Ini terjadi dikarenakan subjek dapat mengambil
kesimpulan dari bagian-bagian pengamatan yang telah dilakukan selama ini.
Penalaran induktif yang dilakukan masing-masing individu akan berbeda
hasilnya. Seperti yang dikatakan bahwa penalaran induktif merupakan
menyimpulkan kejadian secara umum berdasarkan kejadian khusus yang telah
diamati atau pengalaman. Bisa disimpulkan pula bahwa pengalaman dan
pengetahuan juga menjadi tonggak dasar dalam penalaran induktif ini. Dengan
pengalaman dan pengetahuan yang mendalam, tentunya semakin dalam pula
kemampuan penalaran induktifnya dan sebaliknya. Semakin luas pengetahuan
yang dimiliki oleh manusia, semakin banyak pula kesimpulan-kesimpulan
alternative yang dapat disusun.
Menurut (Feeney dan Heit, 2007) Induksi berbasis kategori biasanya
melibatkan tiga komponen. Pertama, mengamati bahwa basis induktif atau
"premis" memiliki properti P (misalnya, bahwa hiu memiliki sirip); kedua,
memutuskan bahwa X dan target atau "kesimpulan" item Y terkait dalam
beberapa cara (misalnya, bahwa hiu dan ikan air tawar keduanya ikan); dan
ketiga, menyimpulkan properti. Investigasi penalaran induktif anak-anak
memungkinkan kita untuk menentukan kapan kemampuan pertama alasan ini
muncul dan untuk memetakan perubahan yang berkaitan dengan usia penting
dalam induksi. Ini juga merupakan alat yang berharga untuk memahami
perkembangan anak-anak representasi kategori.
Pada katagori yang disebutkan di atas menyebutkan akan alasan yang
muncul untuk memetakan per bahan berkaitan dengan usia. Ini bisa kembali kita
kaitkan kembali kaitannya akan definisi penalaran induktif yang menyebutkan
pengalaman. Usia bisa jadi memberikan pengalaman yang berbeda pada masing-
masing manusia. Bertambahnya usia tentunya bertambah pula pengalaman
manusia dalam menjalani hidup ini. Pada saat anak yang memiliki umur 5 tahun
akan berbeda penalarannya dengan anak yang berumur 6 tahun ini dikarenakan
anak yang berumur 6 tahun memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih
luas. Jadi, pengambilan kesimpulan dari suatu kejadian akan lebih luas
pemahamannya dibandingkan dengan anak yang usianya lebih muda.
96
Saya mempunyai pendapat secara pribadi, manusia dengan usia yang lebih
muda memang dikatakan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan manusia dengan usia yang lebih tua. Tapi saya punya
pendapat walaupun, seseorang yang memiliki usia masih muda namun jika sering
mengalami problema-problema yang mendewasakan dirinya sehingga memiliki
pengalaman-pengalaman yang lebih banyak dibanding dengan seseorang dengan
umur lebih tua namun, tidak mengalami problema-problema tidak akan memiliki
pengalaman dan pengetahuan juga dalam menghadapi masalah. Ada pun tipe
manusia yang selalu lari dari masalah, ini justru tidak akan menambah
pengalaman dan pengetahuannya akan penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi. Jadi mungkin saja, mental ksatria juga mempengaruhi penalaran
induktif disini dikarenakan mental ksatria akan selalu menghadapi masalah-
masalah yang mendera dan menyelesaikan secara cerdas terntunya.
Misalkan seseorang mengalami permasalahan yang sama namun
kejadiannya berbeda. Pada kejadian pertama tentunya memerlukan waktu dan
usaha yang lebih besar dalam penyelesaian masalah tersebut. Pada kejadian kedua
pastinya seseorang tersebut sudah memiliki kesimpulan tersendiri dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalah tersebut dengan waktu yang lebih
sedikit, lebih cepat, dan usaha yang tidak sebesar pada permasalahan pertama
dalam penyelesaiannya. Untuk permasalahan-permasalahan selanjutnya, tentunya
seseorang tersebut sudah dapat memperkirakan solusi yang terbaik dalam
penyelesaian masalah tersebut. Jadi bisa disimpulkan disini, pada setiap
permasalahan ada kesimpulan-kesimpulan yang dibangun. Namun dengan
seringnya masalah yang dihadapi akan membuat seseorang memiliki penalaran
induktif yang lebih luas dan lebih akurat dalam penyimpulannya. Semakin sering
seseorang menggeneralisasikan premis-premis khusus akan meningkatkan
kemampuan penalaran induktifnya dalam menggeneralisasikan kesimpulannya
yang didasarkan pada premis-premis khusus.
97
Karakteristik Penalaran Induktif
Untuk mengetahui karakterisasi dari penalaran induktif perlu diketahui
terlebih dahulu mengenai perbedaan dari penalaran deduktif dan penalaran
induktif. Untuk melihat perbedaan ini terdapat dua pandangan menurut (Hayes,
2007) berdasarkan “problem view” dan “process view”. Jika dipandang dari
“problem view” penalaran deduktif dan induktif mengarah pada jenis
permasalahan yang dinalar. Jadi, ini masih menjadi perdebatan yang panjang.
Namun, jika dipandang dari “process view” lebih mengarah pada proses
psikologis.
Perbedaan yang signifikan terjadi pada “process view” seperti ilustrasi
yang penulis ambil kali ini berdasarkan alur dari gambar 1. Pada gambar 1
menggambarkan perbedaan yang sangat jelas antara penalaran deduktif dan
induktif di mana tampak alur dari penalaran deduktif sangat bertolak belakang
dengan penalaran induktif yang mana pada penalaran deduktif dimulai dari
tahapan yang dinamakan teori dengan tujuan akhir adalah konfirmasi dan pada
penalaran induktif dengan dimulainya observasi dan diakhiri dengan teori.
sumber
Gambar 1. Alur Penalaran Deduktif http://www.b0chun.com/
dan Induktif
.
98
Penalaran induktif berangkat pada tahap yang dinamakan observasi.
Dari masing-masing observasinya seseorang tersebut mencari pola
keterkaitan yang dimiliki dari masing-masing observasi atau kejadian. Dari
keterkaitan dari masing-masing kejadian atas hasil observasinya, seseorang
dapat membuat kesimpulan sementara dari masing-masing hasil observasi
dan kejadian. Hasil kesimpulan tersebut dinamakan dengan tentative
hypothesis. Kesimpulan yang bersifat sementara ini diujikan kebenarannya
dengan teori-teori yang telah berkembang.
Pada penalaran deduktif berawal pada teori terlebih dahulu, lalu dari
teori tersebut akan dilakukan praktikum dimana sebelum dilakukannya
praktikum seseorang memulai dengan dugaan-dugaan akan kejadian yang
akan terjadi yang dinamakan dengan hyphotesis. Selanjutnya dilakukan
observasi dan hasil observasi ini dikaitkan dengan hipotesis sementara yang
kebenarannya diujikan dengan teori.
(Hayes, 2007) mengemukakan bahwa katagori berdasarkan penalaran
induktif secara khusus melibatkan tiga komponen yakni mengamati premis-
premis, memutuskan konklusi yang tepat didasarkan pada premis-premis,
menyimpulkan apakah konklusi menjelaskan sifat dari premis. Adapun dasar
yang menggiring seseorang untuk menarik kesimpulan secara induktif yakni :
persamaan persepsi, hubungan taksonomi, hubungan hierarkis,
menghubungkan premis-premis yang berkaitan dilihat dari perbedaan dan
kesamaan, memiliki pengeetahuan mengenai ciri-ciri.
Kesamaan persepsi (Farrar, Raney, dan Boyer, 1992) menyatakan
pengaruh pada persepsi pemikiran secara induktif seseorang pada masa keil
(Osherson et al., 1990; Sloman, 1993) menyatakan kesamaan, tujuannya
saling mendukung dalam hal structural antara dasar dan target induktif yang
berperan penting dalam menentukan ketentuan dari pemikiran induktif.
Dalam menggeneralisasikan premis-premis khusus yang ada menjadi umum
dilihat dari persamaan ciri-ciri yang dimiliki oleh masing-masing premis
sehingga, menggiring seseorang untk menyimpulkan berdasarkan persepsi
yang sama dari masing-masing premis.
99
Hubungan taknsonomi, (Hayes, 2007) menyatakan banyak penelitian
yang menginterpretasikan bahwa seseorang memahami istilah sesuatu dengan
memberikan informasi mengenai katagori keanggotaan dan angora yang
memiliki persamaan katagori cenderung memisahkan antara kesamaan dan
perbedaan dari masing-masing ciri-ciri. Ada dua cara untuk
menginterpretasikan sesuatu. Pertama, pemberian istilah dapat memiliki efek
tidak langsung terhadap penatikan kesimpulan secara induktuf yang befungsi
sebagai isyarat yang mendasari dan menuju pada contoh yang berkatagori
sama. Dengan kata lain, pemberian istilah yang sesuai dapat memberikan efek
yang langsung dengna memberikan fitur yang identik dalam membuath
kesimpulan dari persepsi yang serupa.
Hubungan hierarkis, (Rosch, Mervis, Gray, Johnson, dan Boyes,
Braem, 1976) menyatakan bahwa hal yang penting mengenai tugas
konseptual seperti katagorisasi dan penamaan merupakan hierarkis yang jelas
secara dasar psikologis. Tingkat yang paling istimewa dapat didefinisikan
sebagai level tertinggi dalam suatu hierarki dimana ada keyakinan yang kuat
terhadap ciri-ciri objek dapat digeneralisasi menjadi level yang lebih tinggi.
Menghubungkan premis-premis yang berkaitan mengenai diversity
dan monotonicity. Ketika seseorang akan menyimpulkan secara induktif
maka, ia menggabungkan informasi lebih dari satu premis. Premis
monotonicity merupakan premis dengan ciri-ciri tertentu yang memberikan
kemungkinan besar untuk menggeneralisasi kesimpulan dengan
mempertimbangkan kesamaan dari ciri-ciri masing-masing premis. (Osherson
et al., (1990) premis diversity merupakan premis yang memiliki komponen
yang lebih beragam namun, memiliki relevansi yang besar dan memberikan
penguatan untuk melakukan penalaran induktif.
Pengetahuan mengenai ciri-ciri, ketika seseorang melakukan
generalisasi dari ciri-ciri pernyataan tentang apa yang mereka ketahui, para
ahli dan pemula mendasarkannya pada kesamaan ciri-ciri. Akibatnya,
pengetahuan domainnya dihubungkan dengan lebih baik menggunakan
100
penalran induktif yang didasarkan pada interaksi antara katagori dan ciri-ciri
spesifik.
101
perak, platinum itu ketika dipanaskan memuai atau tidak. Untuk contoh yang
kedua misalnya Jumlah dua bilangan ganjil akan menghasilkan bilangan genap.
Buktikan kebenaran atau kesalahan pernyataan tersebut secara deduktif.
Dibuktikan secara deduktif dengan melakukan pemisalan secara umum bahwa
bilangan ganjil dapat dituliskan sebagai 2n + 1 untuk n bilangan asli. Maka 2
bilangan ganjil dijumlahkan menjadi (2n + 1)+(2n + 1) = (2n + 2n + 1 + 1) = 4n
+ 2 = 2(2n + 1) Karena 2n + 1 merupakan bilangan ganjil maka 2 kali bilangan
ganjil pasti akan menghasilkan bilangan genap, sehingga terbukti bahwa jumlah
dari 2 bilangan ganjil akan menghasilkan bilangan genap.
Selanjutnya untuk bukan contoh yang ketiga dan keempat mengenai
pembuktian dengan kontradiksi dan kontraposisi dalam membuktikan ”jika
adalah bilangan ganjil, maka adalah bilangan ganjil” dengan bukti tak langsung!
Contoh pembuktian kontradiksi
Untuk membuktikan benar, dapat dilakukan dengan mengandaikan –q
benar. Dari – benar kita tunjukan suatu kontradiksi dengan benar atau dengan
pernyataan benar lainnya. Dengan demikian langkah seharusnya adalah benar
sehingga benar .
Buktikan bahwa ”jika adalah bilangan ganjil, maka adalah bilangan ganjil”
dengan bukti tak langsung!
Jawab : andaikan p maka q tidak benar, artinya andaikan benar
bahwa p dan non q benar
Misalnya n adalah bilangan genap, yaitu .
Karena
Maka
dengan
Sehingga adalah bilangan genap, kontradiksi dengan adalah bilangan
ganjil.
Jadi, terbukti bahwa jika adalah bilangan ganjil, maka adalah bilangan
ganjil.
102
Contoh pembuktian kontraposisi
Untuk membuktikan benar, dapat dilakukan dengan memisalkan –q
benar dan ditunjukan – benar. Dari – diperoleh – benar sehingga (-q => -p)
adalah benar.
Buktikan bahwa untuk semua bilangan bulat , jika adalah bilangan ganjil,
maka adalah bilangan ganjil!
Jawab :
Untuk membuktikan pernyataan di atas dapat dilakukan dengan pembuktian tak
langsung dengan kontraposisi.
Misalnya adalah bilangan ganjil
adalah bilangan ganjil
Akan ditunjukkan bahwa kontraposisinya benar yaitu jika n tidak ganjil maka n2
juga tidak ganjil.
Misalkan a adalah bilangan tidak ganjil
Dapat dinyatakan dengan
Diperoleh
dengan
Jadi, jika a bilangan tidak ganjil maka juga bilangan tidak ganjil
Akan
kemudian misalnya – benar yang berarti adalah bukan bilangan ganjil, yaitu
sehingga
dengan
103
Yang berarti n2 adalah bukan bilangan ganjil.
Dengan demikian, adalah bukan bilangan ganjil
adalah bukan bilangan ganjil
Dan karena – adalah benar dan
Maka terbukti adalah benar.
Jadi, terbukti bahwa jika adalah bilangan ganjil, maka adalah bilangan ganjil.
Untuk memahami lebih mendalam mengenai penalaran induktif tentunya
diperlukan kejelasannya mengenai ciri-ciri apa saja yang mana termasuk dalam
penalaran induktif dan bukan penalaran induktif. Lebih singkatnya penalaran
induktif dibangun dari berbagai premis-premis khusus yang mana menggiring
seseorang untuk menyimpulkan kesimpulan dari premis-premis khusus tersebut.
Ada pun contoh lain dari bukan contoh dari penalaran induktif yakni jika
dalam menyimpulkan sesuatu hanya ditemukan satu buah saja premis khusus
seperti yang biasa kita temukan dalam Tes Potensi Akademik tentunya banyak
kita temukan soal yang mana diberikan suatu kata kunci dan penjawab soal wajib
memahami maksud dari apa yang menjadi arah dari jawaban persoalan. Pada soal
tersebut hanya ditemukan sebuah premis khusus saja, untuk kejadian demikian
tidak dapat dikatakan sebagai penalaran induktif namun lebih tepat untuk
dikatakan sebagai penalaran analogi.
C. PENELITIAN TERKAIT
Kelebihan dan Kelemahan Penelitian Terkait
(Johnson, Merchant, Keil, 2015) menginduksi secara umum dari spesifik
dari ciri-ciri kognisi manusia. Peneliti meminta peserta untuk menentukan
seberapa kuat premis-premis yang ada untuk menyusun sebuah kesimpulan. Pada
penelitian ini menyajikan bukti mengenai teori abduktif dari penelaran induktif
yang ditentukan kesimpulan yang mana sebagai penjelasan dari premis-premis
yang ada dan mengevaluasi kualitas dari penjelasan tersebut. Peserta pada
penelitian in adalah 200 partisipan dari Amazon Mechanical Turk. Ada pun
sebanyak 12 partisipan tereliminir dikarenakan mereka tidak dapat menjawab
dengan benar 30% dari pertanyaan pilihan ganda. Peserta yang dapat
menyelesaikan dengan baik diberikan 8 item pertanyaan dengan kekuatan
104
argument yang diukur dari rentang 0 – 10 (dengan kesimpulan sangat buruk
hingga sangat baik). Pada penalaran induktif penelitian ini menemukan dua pola
dari penjelasan penalaran yang sebelumnya pernah diteliti oleh peneliti lain yakni
(1) sebuah aksimetri bukti antara bukti positif dan bukti negatif dengan keraguan
hasil pengamatan terhadap sebuah hipotesis lebih besar dibandingkan dengan
yang mendukung. (2) Ketidaktahuan tentang bukti perhitungan potensial dalam
mendukung hipotesis. Hasil penelitian ini menunjukkan penalaran induktif
bergantung pada kesamaan hipotesis yang sama yang mekanisme evaluasi
merupakan sebuah alasan yang jelas. Adapun temuan lain dalam penelitian ini
yakni fenomena penalaran induktif yang pembicaraannya dalam mendukung
penalaran abduktif, ada pun kesimpulannya yakni ketika orang-orang beralasan
induktif dari premis khusus menuju pada kesimpulan yang mana kesimpulan
harus di dukung oleh tempat sejauh bahwa kesimpulan muncul menjadi
penjelasan yang baik dari suatu tempat.
(Zhang, Terai, dan Nakagawa, 2013) menunjukkan akan kegunaan
penalaran induktif tidak hanya sebatas pada sebuah ilmu semata namun,
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegunaan dalam kehidupan sehari-
hari yakni untuk membangun model komputasi dari penalaran induktif yang
mewujudkan CAE untuk Bahasa Asing. Tujuan dari penelitian ini perbandingan
penalaran induktif antara Cina dan Jepang berdasarkan model komputasi.
Penelitian ini dilakukan di jepang dengan 38 mahasiswa yang terdiri dari 18
mahasiswa sarjana dan 20 mahasiswa pascasarjana. Peserta tereliminir menjadi 15
mahasiswa sarjana dan 18 mahasiswa pascasarjana. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada penelitian kuantitatif yakni memiliki pengaruh yang
signifikan pada penalaran induktif dalam Bahasa Jepang, sementara tidak
memiliki efek pada Bahasa Cina. Namun sebaliknya, kondisi argument pada
penelitian kualitatif menunjukkan memiliki pengaruh yang signifikan pada
penalaran induktif dalam Bahasa Cina, sementara sebagian besar berpengaruh
pada Bahasa Jepang.
Menurut (Csapo, 1997) menghubungkan dua paradigma penelitian yang
mempelajari atribut dan mekanisme penalaran induktif dan mencoba untuk
105
membuat pembelajaran sekolah lebih bermakna dan pengetahuan yang lebih
mudah dipahami dan diterapkan dengan meneliti bagaimana penalaran induktif
berkembang selama rentang usia sekolah yang signifikan dan kaitannya dengan
fungsi-fungsi kognitif lainnya. Tes yang diberikan yakni ada 6 tes yakni analogi
penomoran, analogi verbal, seri jumlah, seri lisan, koding, pengecualian yang
diberikan kepada siswa kelas 11 yang lebih dari 2000 siswa. Hasil penelitian
menggunakan model analisis regresi menunjukkan bahwa penalaran induktif
menyumbangkan dua kali lebih besar dari proporsi tes yang mengukur ilmu
pengetahuan terapan dalam situasi sehari-hari.
(Feeney, 2015) menganalisa penalaran asosiatif dan pengetahuan
terstruktur yang mendukung kemampuan peserta untuk menggeneralisasi property
genetic dari spesies ke taksonomi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penalaran asosiatif dan pengetahuan terstruktur terlibat serta mempengaruhi
keputusan tunggal dalam pengklasifikasian menurut taksonomi yang terkait. Hasil
penelitian ini pun didukung oleh Model Bayesian yang memaparkan bahwa
penalaran induktif seseorang mewakili hubungan terstruktur ketika melakukan
penalaran sesuai dengan domain yang bersangkutan.
Prospek Penelitian Lanjutan
Pada penelitian pertama yakni untuk meneliti lebih lanjut mengenai
interpretasi abduktif dari fenomena penalaran induktif lainnya. Untuk penelitian
kedua meneliti kembali mengenai alasan penting dari perbedaan yang kontras
antara penelitian kuantitatif dan kualitatif terhadap penalaran induktif yang
diterapkan CAE Bahasa Cina dan Jepang. Selanjutnya dari penulis sendiri
memberikan saran mengenai bagaimana proses penalaran induktif pada aspek
yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari dan ciri-ciri undividu yang
bernalar induktif itu seperti apa.
Untuk saran selanjutnya mengenai proses pengembangan kemampuan
berpikir kritis pada penalaran induktif. Selanjutnya perlu diselidiki juga apakah
pada penalaran induktif menjangkau objek penelitian mengenai konsep-konsep
dasar penyelesaian masalah. Misalnya pada penyelesaian permasalahan barisan,
106
apakah objek penelitian pola berpikirnya sampai tidak pada dasar-dasar konsep
dari fungsi.
REFERENSI
Farrar, M.J., Raney, G.E., dan Boyer, M.E. (1992). Knowledge, concepts, and
interferences in childhood. Child Development, 63, 73-691.
Osherson, D.N., Smith, E.E., Wilkie, O., Lopez, A., dan Shafir, E. (1990).
Category-based induction. Psychological Review, 97, pp.185-200
Rosch, E., Mervis, C.G., Gray, W.D., Johnson, D.M., dan Boyes-Braem, P.
(1976). Basic objects in natural categories. Cognitive Psychology, 8, 382-
439.
Sloman, S.A. (1993). Feature-based induction. Cognitive Psychology, 25, 231-280
Stenberg, R. J., & Stenberg, K. (2012). Cognitive Psychology. United States of
America: Wadsworth.
107
Goswami, U., (2011). Inductive and Deductive Reasoning. Handbook of
Childhood Cognitive Development. pp 319-419
Zhang, Y., Terai, A., & Nakagawa, M. (2013). The Comparison of Inductive
Reasoning Under Risk Conditions Between Chinese And Japanese Based
On Computational Models:Towards The Application To Cae For Foreign
Language. International Conference on Educational Technologies, 119-
124.
108
BAB VII
PERUBAHAN KONSEPTUAL
109
BAB – VII PERUBAHAN KONSEPTUAL
A. PENDAHULUAN
Tujuan dari pendidikan matematika adalah siswa benar-benar memahami
konsep-konsep matematika daripada hanya mekanik menghafal dan membaca.
Oleh karena itu, perlu ditekankan untuk meningkatkan kemampuan konstruksi
konseptual dan transformasi pada siswa. Hal ini sejalan dengan pandangan
konstruktivisme, bahwa pengetahuan akan dibentuk atau dibangun di dalam
pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk mengorganisasikan pengalaman
barunya berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya
(Baki, 2008). Dengan demikian, belajar matematika merupakan proses
memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa sendiri
melalui transformasi pengalaman individu siswa.
Siswa tidak masuk ke kelas seperti sebuah "papan tulis kosong" (Pinker
2003, Resnick, 1983), mereka sudah membangun kerangka konsep yang mereka
pelajari di kelas dari pengalaman pribadi mereka sendiri; akurasi dan kebenaran
dari struktur konsep ini bervariasi dari tiap-tiap siswa. Siswa tidak belajar domain
baru suatu pengetahuan dari awal. Sebaliknya mereka harus mengintegrasikan
informasi baru dengan yang sudah ada pada mereka, beberapa di antaranya
mungkin salah atau tidak konsisten dengan pengetahuan baru. Apa yang terjadi
ketika siswa menghadapi informasi baru yang bertentangan dengan fakta-fakta
yang mereka anggap benar, terutama bila fakta-fakta yang sangat mendalam? Ini
adalah masalah yang dieksplorasi oleh penelitian tentang perubahan konseptual:
restrukturisasi dan mungkin meninggalkan suatu pengetahuan atau penambahan
sederhana fakta-fakta baru ke pengetahuan dasar.
110
konstruktivisme khususnya berasal dari teori perkembangan konstruktivis kognitif
Piaget (1929). Dalam psikologi kognitif istilah perubahan konseptual diartikan
sebagai perubahan dalam proses dan hasil (Dole dan Sinatra, 1998). Keterkaitan
perubahan konseptual dan pembelajaran dalam psikolog kognitif memiliki
sejumlah akar sejarah seperti pada gambar 1.
Begitu beragam arti dari istilah perubahan konseptual, mulai dari teori-
teori kognisi sampai teori sosialisasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak ada
definisi umum tentang apa yang dimaksud dengan perubahan konseptual. Namun,
perbedaan utama diantara teori perubahan konseptual dapat dilihat dari cara
mereka menjelaskan perubahan. Beberapa dari teori disajikan di bawah ini.
111
1) Posner dkk : pendekatan asimilasi dan akomodasi
Posner, Strike, Hewson dan Gertzog (1982) menjelaskan bagaimana
konsep berubah dalam pengaruh ide-ide baru atau informasi baru. Dua jenis
perubahan konseptual dijelaskan dalam teori ini dengan menggunakan dua istilah
Piaget yaitu asimilasi dan akomodasi. Istilah asimilasi digunakan untuk
penambahan informasi ke struktur pengetahuan yang sudah ada dan istilah
akomodasi untuk modifikasi atau berubah struktur pengetahuan yang sudah ada
(Piaget, 1985).
112
2. Konsepsi yang baru harus dapat dimengerti (intelligible). Dengan kata lain,
siswa harus tahu apa arti dan menemukan bahwa konsep itu masuk akal.
Hewson dan Hennessey (1992) menjelaskan bahwa dalam rangka konsep
untuk dapat dipahami, siswa harus tahu apa arti dari konsep dan mereka harus
mampu menjelaskan konsep dengan kata-kata mereka sendiri. Selain itu,
mereka harus mampu memberikan contoh dan bukan contoh dan harus
menemukan cara seperti menggambar, berbicara, peta konsep, untuk mewakili
ide-idenya kepada orang lain.
3. Konsepsi yang baru harus masuk akal (plausible). Dengan kata lain, siswa
harus percaya bahwa konsep tersebut wajar dan konsisten menurut
pemahaman mereka. Dalam rangka konsep menjadi masuk akal, Hewson dan
Hennessey (1992) menyatakan bahwa siswa harus menemukan konsep
dimengerti dan konsep ini harus sesuai dengan pemahaman mereka. Selain itu,
konsep harus konsisten dengan konsep-konsep lain yang terkait.
4. Konsep yang baru harus berdaya guna atau bermanfaat (fruitful) dalam
pengembangan penemuan yang baru. Dengan kata lain, konsep baru harus
mencapai sesuatu yang bernilai untuk siswa. Hewson dan Hennessey (1992)
menunjukkan bahwa konsep harus dimengerti, masuk akal, dan berguna dan
siswa harus dapat menerapkannya ke konsep lain dan konsep-konsep ini harus
menjadi penjelasan yang lebih baik.
113
Gambar 2. Alur Perubahan konseptual Posner
114
2) Thagard : pendekatan revolusi konseptual
Thagard (2003) menjelaskan bahwa perubahan konseptual adalah
penciptaan dan perubahan representasi mental yang sesuai dengan kata-kata. Jenis
paling sederhana dari perubahan konseptual adalah ketika orang belajar konsep
baru. Jenis yang lebih menantang terjadi ketika konsep yang ada harus
disesuaikan dan direorganisasi untuk mengakomodasi informasi baru. Sedangkan
perubahan konseptual yang radikal yaitu, pengembangan pengetahuan yang
melibatkan pergeseran di mana kumpulan konsep penting menjalani perubahan
dalam pemaknaan. Dalam kasus tersebut, belajar bukan hanya suatu hal akumulasi
konsep baru dan keyakinan; juga memerlukan revisi substansial dan
restrukturisasi representasi mental. Perubahan konseptual yang seperti itu disebut
sebagai branch jumping atau tree switching.
115
menambahkan bagian-hubungan baru, bisa disebut dekomposisi. Perubahan
konseptual biasanya terjadi pada bagian-hierarki ketika bagian baru ditemukan.
Penambahan dalam perubahan 1 sampai 5 hanya akan terjadi ketika seseorang
telah membentuk konsep yang berbeda dari entitas yang sudah ada. Konsep dapat
ditambahkan untuk berbagai alasan, termasuk perpaduan. Konsep baru juga dapat
diperkenalkan untuk alasan memperjelas konsep yang sudah ada.
116
sebelum melakukan pembelajaran sudah memiliki beberapa framework awal
berdasarkan pengalaman pribadi sebelumnya. Melalui pembelajaran tentang topik
yang ada pada framework awal menyebabkan beberapa kontradiksi dalam model
mentalnya, yang pada gilirannya menghasilkan ketidakstabilan pada representasi
mental.
117
Seperti disebutkan sebelumnya, peserta didik mengasimilasi informasi
baru dengan konsep yang dimiliki. Proses asimilasi disebut dengan pengayaan.
Selain itu, peserta didik harus mengganti atau memodifikasi skema yang sudah
ada melalui akomodasi yang disebut dengan revisi (Vosniadou, 1994).
118
perubahan walau setelah melalui pembelajaran. Perubahan konseptual terjadi baik
melalui proses asimilasi (menambahkan elemen pengetahuan baru dengan struktur
pengetahuan yang ada), atau melalui proses perubahan mendasar (mengoreksi
potongan-potongan/pieces pengetahuan), dan dalam kedua kasus itu adalah
prosesnya secara bertahap.
119
disebut primitif fenomenologi dan disimbolkan dengan p-prims, kemudian p-
prims menyatu untuk membentuk konsep individual (diSessa, 1993). P-prim
dianggap sebagai fenomenologi karena merupakan respon dari fenomena yang
dialami dan diamati oleh siswa. P-prim adalah struktur pengetahuan kecil yang
berisi konfigurasi dari beberapa bagian.
Selain itu, p-prim menjelaskan struktur yang disebut jaring kausal yang
dapat dideskripsikan sebagai harapan intuitif orang pada kausalitas. diSessa dan
Sherin (1998) menunjukkan bahwa jaring kausal adalah pengganti untuk teori-
teori yang melatarbelakangi pengamatan.
120
6) Ivarson dkk: pendekatan sosiokultural
Ivarson, Scholtz, dan Saljo (2002) menyatakan bahwa perubahan
konseptual terjadi melalui penggunaan alat mental (seperti konsep); alat budaya
(misalnya bahasa); dan alat-alat fisik (seperti peta dan bola dunia), dalam kegiatan
sosial. Mereka mengatakan kognisi manusia disosialisasikan melalui partisipasi
dalam kegiatan di mana alat-alat yang digunakan untuk tujuan tertentu".
121
Tabel 1. Karakteristik perubahan konseptual menurut beberapa teori
Chi dan Perubahan adalah Mental model (dari Bertahap: perbaikan konsep
Roscoe pergeseran salah ke benar) yang salah
122
penggambaran kesimpulan (drawing conclutions) tentang konsep baru,
menandakan (indicating) di mana konsep tersebut harus dikategorikan.
123
(pada geometri euclid) tetap berlaku pada irisan kerucut (gambar (ii)), tetapi tidak
cukup untuk menentukan garis singgung; ada garis yang memiliki satu titik yang
sama pada parabola atau hiperbola dan itu bukan merupakan garis singgung.
Di sisi lain, sifat ini berlaku untuk semua kasus kecuali hiperbola, di mana
garis singgung memisahkan dua bagian. Akibatnya, kita dapat mengatakan bahwa
sifatnya tetap benar, bahkan dalam kasus hiperbola, namun untuk bagian-bagian
secara terpisah. Oleh karena itu, tidak ada keharusan bagi mahasiswa untuk
mengubah gambaran intuitif mereka sebelumnya tentang dua sifat pada garis
singgung lingkaran. Sebuah adaptasi keyakinan kecil mereka cukup untuk
mengasimilasi pengetahuan baru tentang garis singgung pada irisan-irisan kerucut
(pengetahuan mereka yang sudah ada tentang garis singgung lingkaran). Dalam
hal ini, hanya membutuhkan pengayaan pengetahuan tentang garis singgung.
124
singgung pada kurva. Pada saat mahasiswa menghubungkan informasi yang
mereka terima tentang garis singgung dengan pengetahuan mereka pada sifat
lingkaran biasanya menghasilkan model sintetis. Model sintetis ini adalah "intuisi
sekunder tanpa penyempurnaan formal" yang hanya didasarkan paradigma pada
lingkaran.
125
Trapesium dapat didefinisikan sebagai segi empat yang memiliki dua sisi yang
berhadapan sejajar sementara jajaran genjang dapat dianggap sebagai segi empat
di mana sisi yang berhadapan yang lainnya juga sejajar, hal ini merupakan sifat
tambahan yang dimiliki oleh trapesium. Dengan demikian, siswa dapat
menafsirkan hubungan antara kedua konsep sebagai salah satu kasus yang
diilustrasikan pada Gambar 11.
pergeseran dari (a) ke (b) membutuhkan reorganisasi konsep, karena tidak ada
pengetahuan baru yang diperoleh.
Segi enam beraturan memiliki sudut yang sama sedangkan segi enam sama sisi
mungkin memiliki sudut yang tidak sama (lihat Gambar 12). Perubahan yang
terjadi di sini merupakan hasil dari proses kognitif karena siswa membedakan satu
kelompok bangun dari segi enam beraturan dan tidak beraturan (gambar 12-a)
sehingga membentuk cabang baru di bawah pohon yang sama yaitu segi enam
sama sisi (gambar 12-b).
Oleh karena itu, perubahan konseptual dalam kasus ini dapat dianggap
sebagai proses akuisisi daripada perpindahan langsung dari sub kategori. Proses
kognitif tersebut adalah jenis diferensiasi dan integrasi serta generalisasi sub
kategori karena siswa harus menempatkan upaya kognitif untuk membedakan
konsep saat yang ada dan mengintegrasikan dengan cara yang berbeda untuk
membangun skema kognitif baru.
126
Gambar 12. Reorganisasi konsep segi enam
127
Vamvakoussi & Vosniadou (2004) menggunakan perspektif perubahan
konseptual untuk menyelidiki pemahaman siswa tentang sifat aljabar dan struktur
hambatan siswa dalam memahami konsep density pada bilangan rasional dan
prosesnya lambat dan bertahap. Lima kategori tingkat pemahaman yang berbeda
tentang struktur bilangan rasional, meliputi: (1) Naive Discreteness, (2) Advance
Discreteness, (3) Discreteness – density, (4) Naive density, dan (5) Sophisticate
density. Kategori naive discreteness adalah siswa yang menyatakan bahwa antara
dua bilangan rasional berturut-turut (semu) tidak ada bilangan lain. Kategori
Kategori discreteness – density adalah bahwa antara dua bilangan rasional, ada tak
terhingga banyak bilangan di dalamnya tetapi tidak dalam semua kasus. Kategori
naive density mencerminkan jawaban siswa yang menyatakan ada banyak tak
terhingga bilangan antara dua bilangan rasional. Namun, ia tidak bisa menjawab
secara langsung bahwa ada tak terhingga banyak tidak memberikan penjelasan
yang memadai tentang hal itu. Kategori sophisticate density adalah antara setiap
dua bilangan rasional yang tidak sama, ada tak terhingga banyak bilangan
128
mencerminkan upaya asimilasi informasi baru ke dalam struktur pengetahuan
kurva. Dalam kerangka teori perubahan konseptual, ide-ide yang berkaitan dengan
penghalang untuk proses penguasaan konsep garis singgung kurva. Dalam upaya
yang sudah mereka miliki pada garis singgung lingkaran dan garis singgung pada
irisan kerucut. Model sintetik ini adalah intuisi sekunder tanpa penyempurnaan
formal yang didasarkan pada model paradigmatis lingkaran. Hasil penelitian ini
cenderung hanya menyubstitusi bilangan asli untuk simbol huruf dari persamaan
129
Bofferding (2014) menguraikan karakterisasi model mental siswa dalam
mental awal siswa pada konsep nilai dan mengurutkan bilangan bulat negatif
meliputi: whole number mental model, dan absolute value mental model. Whole
bilangan positif, seperti siswa mengurutkan bilangan sebagai 0, 3, -5, -7, 8, -9 dan
negatif bisa lebih besar/ lebih kecil dari bilangan positif, contohnya siswa
mengurutkan dengan benar -8, -4, -2, 1, 5, 7 tetapi siswa mengatakan -8 > 1 dan -
8 > -2. Sedangkan karakteristik model mental sistesis siswa adalah magnitude
memperlakukan bilangan bulat negatif dengan nilai absolut terbesar sebagai lebih
besar dibandingkan dengan nilai absolut terkecil. Siswa dapat menyatakan dengan
benar 5 > -7 tetapi memperlakukan -6 > -2. Karakteristik model mental formal
siswa adalah ketika siswa menjawab semua pertanyaan dengan benar. Pada saat
menyatakan bahwa ada hubungan yang berlawanan antara bilangan positif dan
negatif.
130
REFERENSI
Baki, A. (2008). Mathematics education from theory to practice. Ankara: Harf
Educational Publications.
Biza, Irene, Souyoul, A, Zachariades, T. (2005) Conceptual change in advance
mathematical thinking, Proceedings of CERME 5th, 1727-1736.
Bofferding, L, (2014). Negative integer understanding: Characterizing fisrt
graders‟ mental models, Journal for Research in Mathematics Education,
45(2), 194-245.
Chi, M. T. H. & Roscoe, R. D. (2002). The Process and Challenges of Conceptual
Change. In M. Limon, & L. Mason, (Eds.). Reconsidering Conceptual
Change. Issues in theory and practice, 3-27. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands
Chi, M. T. H. (1992). Conceptual change within and across ontological categories:
Examples from learning and discovery in science. In R. Giere (Ed.),
Cognitive models of science: Minnesota studies in the Philosophy of
Science, 129-186. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.
Chi, M. T. H. (2008), Three Types of Conceptual Change: Belief Revision,
Mental Model Transformation, and Categorical Shift. International
handbook of research on conceptual change, 61-82. Routledge. New York
Christou, K.P. Vosniadou S, & Vamvakoussi X, (2007) Students‟ Interpretations
of Literal Symbols in Algebra. In S. Vosniadou, A. Batlas, X.
Vamvakoussi (Eds.). Advances in learning and instruction series:
Reframing the conceptual change approach in learning and instructions,
283-298. Amsterdam, The Netherlands: Elsevier Science.
diSessa, A. A. (1993). Responses. Cognition and Instruction, 10 (2 &3), 261-280.
diSessa, A. A. (1993b). Toward an epistemology of physics. Cognition and
Instruction, 10 (2), 105-225.
diSessa, A. A. (2002). Why conceptual ecology is a good idea. In M. Limón & L.
Mason (Eds.), Reconsidering conceptual change: Issues in theory and
practice, Dordrecht: Kluwer.
diSessa, A. A., & Sherin, B. (1998). What changes in conceptual change?
Internasional Journal ofScience Education, 20 (10), 1155-1191.
diSessa, A.A., (2008), A Bird‟s-Eye View of the “Pieces” vs. “Coherence”
Controversy (From the “Pieces” Side of the Fence). International
handbook of research on conceptual change, 35-60. Routledge. New York
131
Dole, G.A.& Sinatra G.M. (1998). Reconceptualizing change in the cognitive
construction of knowledge, Educational Psychologist, 33(2/3), 109-128
Hewson, P. W., & Hennessey, M. G. (1992). Making status explicit: A case study
of conceptual change. In R. Duit, F. Goldberg, & H. Niedderer (Eds.),
Research in Physics Learning: Theoretical issues and empirical studies.
Proceedings of an International Workshop at University of Bremen,
Germany.
Ivarsson, J., Schoultz, J. & Saljo, R. (2002). Map Reading Versus Mind Reading.
In M. Limon, & L. Mason, (Eds.). Reconsidering Conceptual Change.
Issues in theory and practice, 77-99. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands.
Kuhn, T. (1970). The structure of scientific revolutions. 3rd ed. Chicago: Chicago
Press.
Piaget, J. (1985) The equilibration of cognitive structurees. Chicago: University
of Chicago Press.
Pinker 2003 The Blank Slate: Modern Denial of Human Nature, Viking:
Published by Penguin group.
Posner, George J., Strilke, Kenneth A., Hewson, Peter W., and Gertzog, William
A. 1982. Accomodation of a Scientific Conception: Toward a Theory of
Conceptual Change. Science Education. 88(2): 211-227.
Resnick, L. (1983). Mathematics and science learning: A new conception.
Science, 220, 477-478.
Thagard, P. (1992). Conceptual Revolutions (Princeton, NJ: Princeton University
Press).
Thagard, P. (2003). Conceptual change. In L. Nadel (Ed.), Encyclopedia of
Cognitive Science. London Macmillan, vol. 1, 666-670.
Vamvakoussi, X. & Vosniadou, S. (2004). Understanding the structure of the set
of rational numbers: a conceptual change approach. Learning and
Instruction, 14 (5), 453-467.
Vosniadou, S. (2002). Capturing and modeling the process of conceptual change,
Learning and Instruction, Vol. 4, pp. 45-69
Vosniadou, S. (2003). Exploring the relationship between conceptual change and
intentional learning. In G. M. Sinatra, & P. R. Pintrich (Eds). Intentional
conceptual change. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
132
Vosniadou, S., & Brewer, W. (1987). Theories of knowledge restructuring in
development. Review of Educational Research, 37 (1), 51-67
133
BAB VIII
MEMBUKTIKAN
Oleh : Fuat
Universitas Negeri Malang
134
BAB – VIII PEMBUKTIAN
135
pengamatan. Pendapat serupa disampaikan Stylianides (2016) bahwa ascertaining
is the process employed by an individual to remove his or her own doubts about
the truth or falsity of statement. Sedangkan mengonviksi orang lain adalah
membujuk orang lain tentang kevalidan bukti. Membujuk menurut Harel &
Sowder (1998) merupakan proses seorang individu untuk menghapus keraguan
orang lain tentang kebenaran suatu pengamatan. Pendapat yang sama disampaikan
oleh Stylianides (2016) bahwa persuading is the process employed by an
individual or a group to remove the doubts of others about the truth or falsity of a
statement.
Terbukti merupakan tujuan akhir dan proses yang tak terpisahkan dari
membuktikan. Ada proses menghubungkan atau memodifikasi nilai epistemis dan
ada proses yang menghubungkan nilai logis. Epistemic value is a kind of value
which attaches to cognitive successes such as true beliefs, justified beliefs,
knowledge, and understanding (www.iep.utm.edu/ep-value). Nilai epistemis yang
dimaksud adalah “true belief”. Ernest (2004) mengatakan bahwa istilah “true
belief” diartikan sebagai pernyataan yang telah dijustifikasi serta dapat diterima.
Sedangkan nilai logis adalah nilai kevalidan dari suatu argument yang
menetapkan kebenaran dari pernyataan.
136
Gambar. Hubungan antara membuktikan, bukti dan skema bukti
(dicopy dari Harel, 2008)
137
Gambar. Skema bukti
(dicopy dari Harel & Sowder, 1998)
138
berorientasi pada tujuan pada objek. Siswa beroperasi dengan proses deduktif
dimana ia menganggap aspek umum, berlaku operasi mental berorientasi
pada tujuan dan antisipatif, dan mengubah gambar. Sebuah skema bukti
aksiomatik melampaui suatu transformasional dan siswa juga mengakui
bahwa sistem matematika bersandarkan pada pernyataan (mungkin
sewenang-wenang) yang diterima tanpa bukti.
tengah AB .
139
Gambar. Membuktikan M adalah titik tengah AB
(dicopy dari Gantert, 2008)
f g x x2 x x
g f x
2
x x
f g g f
Pembuktian tersebut di atas tidak lengkap karena tidak ada alasan pendukung
pernyataan yang menyusun bukti tersebut, dan ada langkah yang kurang,
yaitu langkah “dua fungsi h dan k sama jika dan hanya jika
hx k x , x Dh, k .
f g x g f x
f g g f
C. PENELITIAN TERKAIT
Membuktikan merupakan suatu kajian matematis yang sedang
ngetrend dibahas oleh peneliti dalam beberapa tahun belakangan. Berikut
akan diulas beberapa penelitian tentang membuktikan yang pernah dilakukan,
140
penelitian yang dibahas pada bab ini dilakukan dalam rentang tahun 2014
sampai dengan 2015, yaitu:
Cai dan Cirillo (20140 mereview tentang analisis buku teks yang
pernah dilakukan. Memberikan data kualitatif pada setiap subjek kemudian
menganalisis secara kualitatif dari tugas-tugas yang muncul dalam buku teks
tersebut. Subjeknya adalah 5 penelitian tentang analisis buku yang sudah
pernah dilakukan, yaitu oleh (1) Bieda el., (2) Fujita & Jones, (3) Otten el.,
(4) Davis el., (5) McCrory & Stylianides. Didapatkan bahwa rangkuman
beberapa aspek metodologis yang digunakan dalam penelitian sebagai
berikut,
141
ahli Topologi dan satu mahasiswa pascasarjana; serta sembilan ahli
matematika dan lima mahasiswa pascasarjana. Dari hasil penelitian didapat
ahli matematika selesai dalam 5 jam 31 menit, dan mahasiswa pascasarjana
selesai dalam 22 jam 11 menit dengan istirahatnya. Kerangka
Multidimensional Problem-Solving Carlson dan Bloom umumnya relevan
untuk proses membangun bukti; termasuk atribut pemecahan masalah yang
dibuat oleh subjek, seperti tersaji dalam tabel berikut,
Ada fase incubation dan insight yang tidak diperhitungkan dalam kerangka
Carlson dan Bloom yang dilakukan dalam penelitian ini. Enam dari Sembilan
ahli matematika mengalami kebuntuhan dan dua dari lima mahasiswa yang
mencoba. Perbedaan antara ahli matematika dan mahasiswa pascasarjana
adalah ahli matematika mempertanyakan kebenaran teorema terlebih dahulu
dan mencari kendala-kendala yang diberikan. Sedangkan mahasiswa
pascasarjana tidak, fase checking dimasukkan pada fase planning dimana
mahasiswa mencoret sejumlah bukti pada upaya sebelumnya, sedangkan ahli
matematika lebih banyak melakukan incubation dan insight, dan atribut
monitoring sering dilakukan oleh ahli matematika daripada mahasiswa.
Penelitian lain oleh Savic (2015b) dilakukan dengan subjek sembilan
Ph.D matematika (tiga ahli aljabar, tiga ahli topologi, dua analisis, dan satu
ahli logika) dengan delapan laki-laki dan satu perempuan, dikarenakan kenal
dan punya waktu. Serta lima mahasiswa pascasarjana. Subjek diberi catatan
yang berisi sepuluh definisi, tujuh permintaan contoh, empat pertanyaan
untuk menjawab, dan tiga belas teorema untuk membuktikan. Empat subjek
secara terpisah menulis bukti pada tablet PC (CamStudioTM dan
MicrosoftOneNoteTM) dan lima subjek dengan LivecribeTM dan kertas
rekaman khusus. Hasil yang didapat adalah diperlukan upaya yang cukup
untuk membuktikan teorema dan memproduksi contoh; Enam dari Sembilan
subjek memiliki kebuntuan ketika membuktikan salah satu dari dua teorema,
142
dan sebelas teorema lainnya semuanya terbukti benar dengan sebagian besar
sangat cepat; Tindakan subjek yang digunakan untuk mengatasi kebuntuhan:
a. menggunakan (mental) database dari teknik membuktikan; b. melakukan
pekerjaan matematika lainnya; c. melakukan tugas yang tidak berhubungan
dengan matematika; d. beristirahat (sleeping on it); dan Beberapa
matematikawan mengambil tindakan yang disengaja untuk mengatasi
kebuntuan dan juga untuk meningkatkan luasnya atau kualitas perspektif
mereka. Hasil ini tampaknya setuju dengan literatur ilmu saraf, yang
menyimpulkan bahwa inkubasi mungkin berkontribusi terhadap seseorang
memproses masa lalu, sekarang, dan masa depan sekaligus (Buckner &
Vincent, 2007).
Stavrou (2014) menggunakan subjek 188 mahasiswa pendidikan
matematika. 97 mahasiswa untuk mengetahui kesalahan umum yang dibuat
mahasiswa pendidikan matematika saat menulis bukti dari hasil pekerjaan
rumah tentang Teori Bilangan dan Aljabar Abstrak, dan 91 mahasiswa
diinformasikan tentang kesalahan umum dan miskonsepsi setelah itu diberi
pekerjaan rumah bertujuan untuk mendeskripsikan kebiasaan pembuktian
mahasiswa ketika mereka secara eksplisit menyadari kesalahan umum ini.
Didapatkan bahwa kesalahan yang paling umum dalam menulis bukti adalah:
a. pernyataan umum menggunakan contoh-contoh spesifik; b.
mengasumsikan kesimpulan dari suatu pernyataan untuk membuktikan
kesimpulan; c. tidak membuktikan kedua kondisi pada pernyataan
bikondisional; d. tidak menerapkan definisi dengan benar; serta kebiasaan
pembuktian mahasiswa ketika menyadari kesalahan umum adalah; a.
mahasiswa memilih untuk meninggalkan pertanyaan yang sudah tahu ada
kesalahan umumnya; b. mahasiswa mulai melengkapi bukti yang valid
dengan bukti empiris; c. mahasiswa sering menulis “saya tidak yakin
bagaimana untuk memulai bukti” untuk jawaban mereka.
Zazkis, Weber, dan Mejia-Ramos (2015) meneliti dengan subjek 73
mahasiswa dalam satu departemen matematika dilihat selama empat semester,
khususnya mata kuliah aljabar linier. Peserta diberi tujuh tugas pembuktian
143
kalkulus satu persatu dengan waktu 10-15 menit. Diperoleh 6 mahasiswa
terbaik sebagai subjek. Kemudian akan diidentifikasi pendekatan yang
berhasil digunakan mahasiswa untuk membuktikan suatu teorema baru.
Didapatkan bahwa; a. Analisis holistic dan interpretative, di mana kami
menjelajahi peserta pada perilaku tugas membuktikan untuk mendapatkan
pengertian umum tentang bagaimana mereka mendekati tugas; b. Analisis
sistematis dan terarah, terus menganalisis peserta pada tugas perilaku
membuktikan; c. menguji recall retroaktif peserta melalui perilaku tulisan
bukti mereka; d. Analisis wawancara sebagai pengecekan. Selain itu didapat
pula, jika menggunakan targeted strategy akan mengembangkan pemahaman
yang kuat dari pernyataan membuktikan, memilih rencana berdasarkan
pemahaman ini, mengembangkan argumen grafis untuk mengapa pernyataan
itu benar, dan merumuskan argumen grafis ini ke bukti. Bila menggunakan
shotgun strategy, siswa akan mulai mencoba berencana segera setelah
membaca pernyataan bukti yang berbeda dan akan meninggalkan rencana
pada tanda pertama dari kesulitan.
Zhen, Weber, dan Mejia-Ramos (2015) melakukan Penelitian berbasis
internet (Inglis dan Mejia-Ramos), dengan subjek 12 mahasiswa masing-
masing menulis bukti dan think aloud tujuh tugas pembuktian dari kalkulus
selama 90 menit; 90 mahasiswa secara acak dikelompokkan jadi kelompok
analisis real dan kelompok pengantar kalkulus masing-masing menilai jika
disajikan tiga bukti yang masing-masing berisi persepsi grafis dan inferensi
deduksi grafis. Didapat bahwa subjek memahami validitas setiap inferensi
berbeda. Secara khusus, peserta menunjukkan kecenderungan yang kuat
untuk percaya bahwa kesimpulan persepsi grafis, tetapi tidak kesimpulan
deduktif grafis, diperlukan pembenaran non-grafis di bukti. Hasil yang lain
adalah mahasiswa tidak percaya kesimpulan persepsi grafis yang tepat dalam
bukti kalkulus; sebagian besar menunjukkan bahwa mereka percaya
kesimpulan deduktif grafis yang tepat dalam bukti kalkulus; peserta percaya
bahwa profesor dalam kursus kalkulus kurang mungkin untuk menghukum
144
kesimpulan valid; dan persepsi ini mempengaruhi cara yang maju untuk
menerjemahkan argumen informal ke bukti.
Weber dan Mejia-Ramos (2015) menganalisis kualitatif terhadap
penelitian dari Harel dan Sowder (2003), Morris (2002), dan Weber (2010).
Didapatkan hasil yang dikelompokkan dengan hasil metodologis, hasil
teoritis dan hasil pedagogis.
• Hasil metodologis
– Absolut conviction dimiliki berdasarkan bukti empiris
– Dengan argument deduktif masih memiliki keraguan
• Hasil teoritis
– kecenderungan mahasiswa untuk menghasilkan atau menerima
argumen empiris mungkin didasarkan pada banyak faktor.
Dibandingkan dengan argumen empiris, argumen deduktif lebih sulit
untuk dihasilkan, dipahami, dan diverifikasi. Mahasiswa mungkin
tidak memiliki kepentingan atau kepercayaan diri untuk mencoba
untuk menulis atau memahami bukti.
• Hasil pedagogis
– jika tujuan dari sebuah argumen untuk memperoleh keyakinan dalam
sebuah pernyataan, dosen harus merasa bebas untuk menggunakan
jenis lain dari argumen non-deduktif, karena argumen tersebut
mungkin lebih persuasif kepada mahasiswa dari bukti.
Weber dan Mejia-Ramos (2014) melakukan penelitian dimana
subjeknya dilakukan dengan penelitian berbasis internet (Inglis dan Mejia-
Ramos); dua email dikirim ke sekretaris departemen matematika di
universitas negeri besar di masing-masing 50 negara bagian di USA, email
pertama untuk mengundang mahasiswa, ada 175 peserta yang pernah
mengambil kelas yang diharapkan untuk menulis bukti. Email kedua
mengundang ahli matematika, tersisa 83 peserta yang dilinkkan ahli
matematika pernah membaca dan menulis bukti teratur. Tidak tahu dari
universitas mana saja. Masing-masing keyakinan dibuat dua pernyataan
bertentangan, mahasiswa memilih survey ini menggunakan skala Likert 5
145
point. Matematikawan juga diberikan survey ini, dengan pernyataan yang
dibedakan. Keyakinan tiga menggunakan t-test, Wilcoxon one sample signed
rank tests, dan Mann-Whitney tests. Didapat bahwa kebanyakan ahli
matematika berharap bahwa mahasiswa akan perlu menghabiskan lebih dari
15 menit mempelajari beberapa bukti yang disajikan kepada mereka, namun
sebagian besar mahasiswa jangan berharap bahwa mereka akan perlu
melakukan ini. Kebanyakan mahasiswa percaya bahwa mereka memahami
bukti sepenuhnya jika mereka dapat membenarkan setiap langkah dalam
bukti, sementara ahli matematika umumnya percaya memahami bukti terdiri
dari lebih dari ini. Mahasiswa menunjukkan mereka berpikir bahwa membaca
bukti yang baik harus sedikit dari proses pasif dalam arti bahwa mereka tidak
percaya bahwa mereka akan harus membangun sub-bukti atau diagram jika
bukti itu ditulis dengan baik. Namun, banyak ahli matematika menyatakan
sudut pandang sebaliknya.
Weber, Inglis, dan Mejia-Ramos (2014) melakukan studi pustaka,
didapatkan hasil bahwa dalam pendidikan matematika, sehubungan dengan
pembenaran dan bukti, secara luas diyakini bahwa tujuan instruksi harus bagi
siswa untuk memiliki keyakinan yang sama dan praktek pembenaran sebagai
ahli matematika. Sedangkan tujuan instruksional memiliki siswa memperoleh
kepastian yang mutlak dari bukti deduktif, dan bukti deduktif saja, tidak
konsisten dengan praktek matematika. Dan bukti matematis dihargai oleh
matematikawan, baik bagi pemahaman matematika yang diberikannya,
sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, dan jaminan bersyarat yang
dapat memberikan (yaitu, jika bukti tersebut benar dan teori pendukung
adalah suara, teorema harus benar). Hasil yang lain didapat bahwa mayoritas
ahli matematika menyatakan bahwa mereka bergantung pada otoritas dalam
menerima sebuah teorema diterbitkan sebagai benar tetapi beberapa
matematikawan mengklaim tidak melakukan hal ini. Serta rekomendasi
instruksional tidak hanya lebih konsisten dengan praktek matematika, tetapi
juga lebih realistis dan memberikan kesempatan belajar yang lebih besar bagi
siswa.
146
REFERENSI
147
the International Group for the Psychology of Mathematics Education,
675-683.
Selden, A. & Selden, J. 2013a. Persistence and Self-Efficacy in Proving.
Martinez, M. & Castro Superfine, A (Eds.). Proceedings of the 35th
annual meeting of the North American Chapter of the International Group
for the Psychology of Mathematics Education,304-307.
Selden, A. & Selden, J. 2013b. Proof and Problem Solving at University Level.
http://www.researchgate.net/publication/256091550
Selden, A. & Selden, J. 2015. A Theoritical Perspective for Proof Construction.
https://www.researchgate.net/c/o6em5o/javascript/lib/pdfjs/build/pdf.work
er.js.
Selden, A. & Selden, J. 2016. Using a Theoritical Perspective to Teach a Proving
Supplement for an Undergraduate Real Analysis Course. Submission for
Topic Study Group 2, Tertiary Mathematics Education, ICME-13, 1-4.
Stavrou, S. G. 2014. Common Errors and Misconception in Mathematical Proving
by Education Undergraduates. IUMPST: The Journal. Vol 1 (Content
Knowledge) (www.k-12prep.math.ttu.edu)
Stylianides, A. J., Bieda, K. N., & Morselli, F. 2016. Proof and Argumentation in
Mathematics Education Research. PME Research Handbook.
Weber, K. 2004. A framework for describing the processes that undergraduates
use to construct proofs. Proceedings of the 28th Conference of the
International Group for the Psychology of Mathematics Education, 4, 425-
432.
Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2014. Mathematics Majors‟ Belief About Proof
Reading. International Journal of Mathematical Education in Science and
Technology, 45, 1:89-103,
http://dx.doi.org/10.1080/0020739X.2013.790514
Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2015. On Relative and Absolute Conviction in
Mathematics. For the Learning of Mathematics, 35, 2:15-21.
148
Weber, K., Inglis, M., & Mejia-Ramos, J. P. 2014. How mathematicians obtain
conviction: Implications for mathematics instruction and research on
epistemic cognition. Educational Psychologist, 49(1), 36-58.
Zandieh, M., Roh, K. H., & Knapp, J. 2014. Conceptual blending: Student
reasoning when proving “condicional implies conditional” statements. The
Journal of Mathematical Behavior, 33: 209-229.
Zazkis, D., Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2015. Two Proving Strategies of
Highly Succesful Mathematics. The Journal of Mathematical Behavior.
39:11-27.
Zhen, B., Weber, K., & Mejia-Ramos, J.P. 2015. Mathematics Majors‟
Perceptions of the Admissibility of Graphical Inferences in Proofs.
International Journal of Research in Undergraduate Mathematics
Education, 1-29. DOI 10.1007/s40753-015-0010-1
149
BAB IX
PENALARAN STATISTIK
150
BAB – IX PENALARAN STATISTIK
A. PENDAHULUAN
Dalam bidang pendidikan pendidikan statistik terdapat tiga istilah penting
yaitu: literasi statistik (statistical literacy), penalaran statistik (statistical
reasoning) dan berpikir statistik (statistical thinking). Menurut Budẻ (2006) ketiga
istilah ini menjadi tujuan pembelajaran, namun sampai saat ini belum ada
kesepakatan formal mengenai definisi dan perbedaan ketiga istilah ini
sebagaimana yang dikemukakan Ben-Zvi dan Garfield (2004). Beberapa orang
berupaya membuat definisi dan membedakan istilah ini namun masih mengalami
kebingungan, sehingga terjadi permasalahan dalam penilaian siswa dan berakibat
pada pencapaian tujuan pendidikan.
Adapun Garfield dan Ben-Zvi (2008: 34) memberikan definisi ketiga
istilah tersebut sebagai berikut:
- Literasi Statistik (Statistical Literacy) adalah kemampuan utama yang
diharapkan dimiliki oleh warga dalam masyarakat sarat yang informasi, dan
biasanya disebut sebagai hasil yang diharapkan dari sekolah serta sebagai
komponen penting dari kemampuan numeric dan literasi orang dewasa.
Literasi statistik melibatkan pemahaman dan penggunaan bahasa dasar dan
alat bantu statistik, misalnya: mengetahui istilah dasar statistik seperti mean,
memahami penggunaan simbol-simbol statistik sederhana, serta mengenali
dan mampu menginterpretasi representasi data yang berbeda (Garfield, 1999;
Rumsey, 2002; Snell 1999). Ada pandangan lain dari literasi statistik seperti
Gal (2000, 2002), yang fokus pada pengguna data, dengan memandang literasi
statistik sebagai kemampuan menafsirkan, mengevaluasi secara kritis, dan
mengkomunikasikan informasi dan pesan statistik.
- Penalaran Statistik (Statistical reasoning) dapat didefinisikan sebagai cara
orang memberi alasan (bernalar) dengan ide statistik dan membuat informasi
statistik menjadi bermakna. Penalaran statistik dapat melibatkan pengaitan
satu konsep ke yang lain (misalnya, pemuusatan dan penyebaran) atau
menggabungkan ide-ide tentang data dan peluang. Penalaran statistik juga
151
berarti memahami dan mampu menjelaskan proses statistik, dan mampu
menginterpretasikan hasil statistik (Garfield, 2002). Penalaran statistik juga
dapat dipandang sebagai representasi dan koneksi mental yang dimiliki siswa
yang berkaitan dengan konsep-konsep statistik.
- Berpikir statistik (statistical thinking) mencakup berpikir tingkat tinggi
(higher order thinking) dibandingkan dengan penalaran statistik. Berpikir
statistik merupakan cara profesional statistik berpikir (Wild & Pfannkuch,
1999). Berpikir statistik mencakup pengetahuan tentang bagaimana dan
mengapa menggunakan metode, ukuran, desain atau model statistik tertentu;
pemahaman yang mendalam tentang teori-teori yang mendasari proses
statistik dan metode; serta memahami kendala dan keterbatasan statistik dan
inferensi statistik. Sehingga berpikir statistik dapat dipandang sebagai
penggunaan formatif dari model, metode, dan aplikasi statistik dalam
mempertimbangkan atau memecahkan masalah statistik.
delMas (2002) berupaya menjelaskan perbedaan antara literasi, penalaran
dan berpikir sebagai hasil kognitif. Namun, menurutnya perbedaan tersebut masih
tidak yang jelas karena adanya tumpang tindih dalam domain. delMas (2002)
berupaya membandingkan padangan dari tiga ahli (Garfield, Chance dan Rumsey)
mengenai ketiga istilah tersebut. delMas (2002) kemudian memberikan dua
perspektif yang berbeda tentang bagaimana ketiga tujuan pembelajaran ini
berkaitan. Jika difokus literasi sebagai perkembangan keterampilan dan
pengetahuan dasar yang dibutuhkan dalam mengembangkan penalaran dan
berpikir statistik, maka diagram Venn pada gambar 1 tampak lebih sesuai.
152
Alternatif perspektif yang lain digambarkan pada gambar 2 yang
dianalisis oleh delMas, memandang literasi statistik sebagai tujuan yang
mencakup seluruh tujuan pembelajaran. Penalaran dan berpikir statistik tidak lagi
memiliki konten yang independen dari literasi. Keduanya menjadi sub tujuan
dalam pengembangan kompetensi statistik.
Dari kedua perspektif ini memberikan kita gambaran bahwa ketiga istilah
yang menjadi tujuan pembelajaran ini masih tumpang tindih (overlapping). Ketiga
tujuan pembelajaran ini mungkin dapat tercapai secara bersama-sama dalam suatu
pembelajaran materi statistik. Selanjutnya delMas (2002) menawarkan suatu
perspektif berbeda terkait ketiga tujuan pembelajaran ini. Setiap konten statistik
dapat dipandang dalam merepresentasikan literasi, penalaran dan pemikiran.
Sehingga pelu lebih melihat ruang lingkup tugas tugas untuk mengidentifikasi
apakah pembelajaran mendorong literasi, penalaran, atau pemikiran, sebagaimana
dirangkum dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 6.1. Tugas yang dapat membedakan ketiga domain instruksional
(delMas: 2002)
153
Membaca
154
menggambarkan dan menafsirkan hubungan antara variabel, serta menentukan
apakah regresi linier sederhana merupakan prosedur dan model yang sesuai untuk
data tersebut. Jenis penalaran dan pemikiran seperti ini berbeda dengan penalaran
dan pemikiran matematis yang cenderung menghitung kemiringan dan titik
potong menggunakan rumus aljabar. Faktanya pada beberapa kelas, siswa tidak
diminta untuk menghitung kuantitas berdasarkan rumus tetapi lebih
mengandalkan teknologi untuk menghasilkan angka. Fokus kemudian bergeser
pada kegiatan meminta siswa untuk menafsirkan nilai-nilai dari konteks
(misalnya: dengan menafsirkan kemiringan sebagai perubahan yang digunakan
untuk memprediksi perubahan respon pada unit perubahan pada variabel
penjelas).
Dalam membandingkan penalaran matematis dan penalaran statistik,
delMas (2002) menjelaskan bahwa kedua istilah ini tampak mirip, beberapa
perbedaannya mengarahkan pada tipe kesalahan yang berbeda. Dia berpendapat
bahwa penalaran statistik harus menjadi tujuan ekplisit pembelajaran jika perlu
untuk dipelihara dan dikembangkan. Dia juga menyarankan agar pengalaman di
kelas statistik lebih memfokuskan pada aktivitas yang membatu siswa
mengembangkan pemahaman mendalam tentang proses dan ide stokastik
dibandingkan dengan mengajarkan perhitungan dan prosedur. Dalam rangka
mendorong penalaran statistik, Moore (1998) merekomendasikan bahwa siswa
harus mengalami secara langsung proses pengumpulan data dan eksplorasi data.
Pengalaman harus mencakup diskusi tentang bagaimana data diperoleh,
bagaimana dan mengapa rangkuman statistik dipilih, dan bagaimana kesimpulan
dapat diambil. Siswa juga perlu memperluas pengalaman dengan mengenali
implikasi dan menarik kesimpulan untuk mengembangkan pemikiran statistik.
(Garfield, J., Ben-Zvi, D., 2008: 19)
155
a. Idiosyncratic reasoning, siswa mengetahui beberapa kata dan simbol tentang
distribusi sampel dan dapat menggunakannya tanpa benar-benar
memahaminya, kadangkala salah, dan mungkin mempersulit mereka dengan
informasi yang tidak relevan. Misalnya, siswa telah belajar istilah mean,
median, dan standar deviasi sebagai rangkuman pengukuran, tetapi
menggunakannya dengan tidak benar (misalnya, membandingkan mean
dengan deviasi standar, atau membuat penilaian tentang rata-rata atau standar
deviasi yang baik).
b. Verbal reasoning (penalaran verbal), siswa memiliki pengetahuan verbal
tentang beberapa konsep tetapi tidak dapat mengaplikasikannya pada konteks.
Misalnya, siswa dapat memilih atau memberikan definisi yang benar tetapi
tidak secara penuh memahami konsep (contohnya, mengapa rata-rata lebih
besar dari median pada distribusi sampel yang kemencengannya positif).
c. Transitional reasoning (penalaran transisional), siswa mampu
mengindentifikasi satu atau dua dimensi dari proses proses statistik secara
benar tanpa sepenuhnya mengintegrasikan dimensi ini, contohnya, suatu
ukuran sampel yang besar mengarah kepada interval kepercayaan yang kecil,
standar error yang kecil juga mengarah kepada interval kepercayaan yang
kecil.
d. Procedural reasoning (penalaran prosedural), siswa mampu mengindentifikasi
satu atau dua dimensi konsep atau proses statistik secara benar tetapi tidak
sepenuhnya mengintegrasikan dan memahami proses tersebut untuk
menghasilkan proses tersebut. Contohnya, siswa mengetahui bahwa korelasi
tidak berarti sebab-akibat tetapi tidak dapat menjelaskan secara penuh
mengapa pernyataan tersebut benar.
e. Integrated process reasoning (penalaran proses terpadu), siswa memiliki
pemahaman yang lengkap tentang proses sampling serta mampu
menyesuaikan aturan dan konteks yang dihadapi. Siswa dapat menjelaskan
proses tersebut dengan kata-kata mereka dengan pecaya diri. Contohnya,
siswa dapat menjelaskan apa makna interval kepercayaan 95% dalam hal
proses sampling yang berulang kali dari suatu populasi.
156
Penilaian Kemampuan Penalaran Statistik
Garfield and Chance (2000) menawarkan beberapa teknik asesmen kelas
untuk mengevaluasi penalaran statistik, yang meliputi:
1. Studi kasus atau tugas autentik: bentuk detail permasalahannya sesuai
dengan konteks nyata yang menyatakan strategi dan interpretasi siswa
dalam menyelesaikan permasalahan.
2. Peta konsep: representasi visual yang mengubungkan antar konsep yang
dilengkapi atau dikonstruks sendiri oleh siswa.
3. Kritik terhadap ide atau isu statistik pada berita: laporan tertulis singkat
yang menyatakan seberapa baik siswa memberi alasan mengenai informasi
dalam suatu artikel berita; termasuk komentar terhadap informasi yang
hilang maupun terkait kesimpulan dan interpretasu yang disajikan dalam
artikel.
4. Minute papers: Komentar tertulis tanpa nama yang diberikan siswa yang
mencakup penjelasan tentang apa yang telah mereka pelajari,
membandingkan konsep atau tehnik dan sebagainya.
5. Enhanced multiple-choice items: item yang mengharuskan siswa untuk
mencocokkan konsep atau pertanyaan dengan penjelasan yang tepat, dapat
digunakan untuk menangkap penalaran siswa dan mengukur pemahaman
konseptual.
6. The Statistical Reasoning Assessment: suatu test multiple-choice yang
didesain untuk menilai benar dan salahnya siswa dalam bernalar tentang
suatu konsep statistik tertentu.
C. PENELITIAN TERKAIT
Studi tentang penalaran statistik mulai menjadi trend 20 dekade terakhir.
semenjak tatistika menjadi ilmu yang memiliki peran penting dalam kehidupan
pada era modern. Fakta yang dikumpulkan menjadi data, diolah, dianalisis dan
diinterpretasi sangatlah bermanfaat terutama dalam hal pengambilan keputusan.
Berbagai sendi kehidupan masa kini banyak ditentukan oleh data-data empirik
157
yang diperoleh dari analisis statistik. Pengkajian tentang bagaimana statistik
diajarkan pada siswa kini menjadi hal yang sangat penting.
Berbagai kajian penelitian tentang penilaian penalaran statistik
(sebagaimana dalam Garfield: 2002), menunjukkan bahwa kadangkala siswa
dapat menjalani pembelajaran statistik dengan baik, mendapatkan nilai yang baik
pada pekerjaan rumah, ujian, dan proyek-proyek, namun masih berkinerja buruk
pada pengukuran penalaran statistik seperti Statistical Reasoning Assessment
(Garfield 1998b). Hasil ini menunjukkan bahwa guru statistik tidak secara spesifik
mengajar siswa bagaimana menggunakan dan menerapkan berbagai jenis
penalaran. Sebaliknya, sebagian besar guru cenderung mengajarkan konsep dan
prosedur, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja dengan data dan
perangkat lunak, dan berharap menghasilkan pengembangan penalaran. Namun,
nampaknya penalaran tidak benar-benar berkembang dengan cara ini. Penelitian
saat ini (delMas, Garfield dan Chance: 1999) difokuskan pada eksplorasi dan
menggambarkan perkembangan (dan penilaian) keterampilan penalaran statistik,
khususnya di bidang statistik inferensial.
Sedlmeier (1999) mengklaim bahwa penalaran statistik jarang diajarkan
dan ketika diajarkan (yakni mengajarkan orang menggunakan aturan tertentu
seperti yang dijelaskan oleh Nisbett dan rekan), jarang berhasil. Dia membahas
"penalaran statistik sehari-hari," merangkum penelitian tentang pelatihan untuk
meningkatkan penalaran statistik, dan menyajikan beberapa program pelatihan
sendiri yang dirancang untuk mengajarkan orang untuk menggunakan jenis
tertentu penalaran secara benar (misalnya melibatkan probabilitas bersyarat,
sampel, dan inferensi Bayesian).
Lovett (2001) menyarankan suatu model lingkungan belajar yang
membantu siswa mengembangkan penalaran statistik dengan benar yang akan
dievaluasi dalam kajian penelitian selanjutnya. Kemudian Garfield and Ben-Zvi
(2008) mengemukakan suatu model bagi pembelajaran statistik pada level sekolah
menengah dan perguruan tinggi untuk meningkatkan penalaran statistik. Model ini
dikembangkan berdasarkan teori belajar konstruktivis, yang dinamakan Statistical
Reasoning Learning Environment (SRLE). SRLE adalah suatu kelas statistik yang
158
efektif dan positif yang mengembangkan pemahaman yang mendalam dan
bermakna siswa tentang statistik dan membantu siswa mengembangkan
kemampuan mereka dalam berpikir dan bernalar secara statistik. Pendekatan ini
dinamakan suatu lingkungan belajar karena adanya kombinasi interaktif antara
teks materi, aktivitas dan budaya kelas, diskusi, teknologi, pendekatan dan
penilaian pengajaran. Pada model ini terdapat enam prinsip desain pembelajaran
sebagaimana yang dikemukakan Cobb and McClain (2004), yaitu:
1. Fokus pada ide sentral statistik,
2. Penggunaan data riil dan motivating,
3. Penggunaan aktivitas kelas untuk mengembangkan penalaran statistik siswa,
4. Mengintegrasikan alat teknologi yang sesuai,
5. Mendorong wacana kelas, dan
6. Melaksanakan alternatif asesmen
Terdapat pula suatu kerangka berdasarkan Taksonomi SOLO (Stucture of
the Observed Learning Outcome) yang dapat digunakan untuk menilai penalaran
inferensial informal mahasiswa pascasarjana telah dikembangkan oleh Mohd Nor,
M, Noraini Idris (2010). Kerangka ini terdiri dari seperangkat deskriptor dari level
penalaran dan interview task yang dapat digunakan untuk mengumpulkan bukti
penalaran inferensial informal mahasiswa. Interview task terdiri dari suatu
konteks penelitian hipotetik yang disertai dengan dua box plots yang
merepresentasikan data yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut dan dua
pertanyaan, pertanyaan pertama meminta siswa menarik kesimpulan berdasarkan
dua box plots dan menilai kesimpulan mereka, pertanyaan kedua menanyakan
apakah kesimpulan mereka dapat digeneralisasi dan memberikan penjelasan
tentang hal tersebut.
Selain itu terdapat pula studi tentang aspek Pedagogical Content
Knowledge pada guru yang mengajarkan data Bivariate (Quintas, S., Ferreira,
R.T., Oliveira, H (2014). Hasil analisis PCK dua guru yang diamati ketika mereka
mengajarkan data bivariate dalam statistika menunjukkan bahwa ada beberapa
kesulitan pada dalam memproses dan mendukung siswa menganalisa dan
menafsirkan koefisien korelasi serta pada penalaran tentang garis regresi dan
159
model regresi linier. Ketika mengamati scatterplot, hanya hubungan linier saja
yang dieksplorasi bahkan pada grafik menunjukkan yang sebaliknya. Selain itu,
tidak terdapat analisis tentang bentuk distribusi yang berkaitan dengan keradaan
kelompok atau pencilan, atau bagaimana hal ini dapat berakibat pada nilai
koefisien korelasi. Kedua guru ini nampaknya tidak memiliki pengalaman yang
kuat dalam membahas data bivariate yang disajikan dengan scatterplot, yang
berdampak secara negatif terhadap KCS mereka. Kedua guru ini perlu membantu
siswa mengembangkan penalarannya secara lebih mendalam tentang hubungan
bivariate, yang mencakup aspek struktur dan kekuatan, penyesuaian model dan
aturan pada model regresi linier dalam memprediksi peristiwa. Sehingga perlu
memelihara pemahaman siswa tentang konsep yang berkaitan dengan korelasi dan
regresi ketika mereka menegjakan tugas menyertakan data bivariate pada konteks
kelas.
Ben-Zvi (2006) menemukan bahwa penggunaan teknologi informasi
berdampak positif terhadap perkembangan kemampuan penalaran statistik.
Penelitian pada siswa kelas 5 SD menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
argumentative dan menyimpulkan ide secara informal dengan menggunakan
Tinker Plots software. Efek dari penggunaan software ini banyak dikaji oleh
beberapa peneliti diantaranya Fitzallen & Watson (2010) yang menguji dampak
pemanfaatan software TinkerPlots untuk mengembangkan penalaran statistik pada
26 siswa kelas 5 dan 6. Siswa dilibatkan dalam empat kali pembelajaran yang
berkaitan dengan pengumpulan data, representasi data, ringkasan data dan
inferensi data berdasarkan aktivitas olahraga dimana mereka harus mengukur
denyut jantung sebelum dan setelah aktivitas tersebut kemudian menggunakan
TinkerPlots untuk menganalisis data. Setelah dilibatkan dalam pembelajaran
selama sebulan, siswa berkembang menjadi pengguna TinkerPlots yang
independen. Mereka dapat berubah dari mengikuti prosedur yang diajarkan di
dalam kelas menjadi siswa yang menggunakan TinkerPlots secara kereatif, serta
dapat menyesuaikan dengan apa yang mereka butuhkan.
160
Terkait dengan asesmen penalaran statistik, telah banyak dikembangkan
pada pembelajaran pentar statistik oleh beberapa peneliti (dalam Ziegler: 2014),
diantaranya:
1. Statistics Reasoning Assessment (SRA; Garfield, 2003),
2. Statistics Concepts Inventory (SCI; Reed-Rhoads, Murphy, & Terry, 2006),
3. Comprehensive Assessment of Outcomes in a First Statistics Course (CAOS;
delMas et al., 2007),
4. Assessment Resource Tools for Improving Statistical Thinking (ARTIST;
Garfield et al., 2002)
5. Topic Scale tests, Quantitative Reasoning Test-Version 9 (QR-9; Sundre,
Thelk, & Wigtil, 2008),
6. Goals and Outcomes Associated with Learning Statistics (GOALS; Garfield
et al., 2012), dan
7. Basic Literacy In Statistics (BLIS; Ziegler, 2014)
Selain itu, Chan dan Ismail (2014) membuat alat penilaian (asesmen) yang
dapat digunakan untuk memperhalus dan memvalidasi kerangka penalaran
statistik awal. Terdapat 5 tugas dalam instrumen ini dan setiap itemnya diberi
label berdasarkan empat kontruk kunci. Perangkat teknologi yang digunakan
dalam menyelesaikan tugas ini adalah software matematika dinamik. Alat
penilaian (asesmen) penalaran statistik berdasarkan teknologi dapat diaplikasikan
untuk penelitian lanjutan.
Sebuah forum penelitian internasional yang bertujuan untuk mendorong
penelitian yang memfokuskan pada berpikir dan bernalar siswa yang dinamakan
The International Collaboration for Research on Statistical Reasoning, Thinking
and Literacy (SRTL) yang diinisiasi oleh Joan Garfield dan Dani Ben-Zvi mulai
tahun 1999. Pada awalnya forum ini memfokuskan pada perbedaan tipe penalaran
statistik (SRTL-1, 1999; SLTR-1, 2001), penalaran tentang variasi (SLTR-3,
2002), dan penalaran tentang distribusi (SLTR-4, 2005). Mulai tahun 2007 forum
ini memfokuskan kajiannya pada penalaran inferensial, penalaran inferensi
statistik (SLTR-5, agustus 2007), peranan bukti dan konteks dalam penalaran
161
inferensial informal (SLTR-6, 2009), penalaran tentang sampel dan pengambilan
sampel (SLTR-7, 2011) dan penalaran tentang uncertainty (SLTR, 2013).
Studi terkini telah memfokuskan penelitian pada pemahaman
pengembangan ide tentang kesimpulan statistik informal pada siswa sebagai suatu
cara membangun pemahaman konseptual mereka tentang dasar pengambilan
keputusan statistik dari ide yang lebih formal. Kelompok peneliti ini menamakan
tipe penalaran ini sebagai penalaran IIR (Informal Inference Reasoning) dan
memandangnya sebagai hal yang penting bagi siswa pada seluruh tingkatan untuk
dikembangkan dan digunakan untuk membuat prediksi dan keputusan tentang
data. (Garfield, et.al.: 2015).
Review literature tentang berpikir expert dan berpikir statistik memberikan
pertimbangan bagi pengajaran siswa pada berbagai level pendidikan. Ketika
matematikawan membuat inferensi, mereka menggunakan domain pengetahuan
tertentu yang berkaitan dengan sampling variability (seperti pengetahuan tentang
ukuran sampel dan sample variability) untuk membuat generalisasi atau
perbandingan. Mereka juga memanfaatkan pengetahuan kontekstual (misalnya,
metode pengumpulan data, konteks masalah) dan juga pengalaman masa lalu
untuk membuat perkiraan dan keputusan yang masuk akal. (Garfield, et al: 2015).
Beberapa implikasi pedagogis antara lain (Garfield, et al: 2015):
1. Mengatur kurikulum untuk mengenali pola bermakna dari pengetahuan
(seperti: jaringan pengetahuan, visualisasi konsep kunci, relasi antar konsep
menggunakan peta konsep).
2. Memberikan siswa permasalahan data otentik (kompleks, menakjubkan,
bertentangan) daripada masalah pada buku yang sifatnya kanonikal.
3. Membantu siswa mengenali nilai kedalaman 1 mil dibandingan degan
luasnya pengetahuan yang dapat membantu kita mendesain pembelajaran
berbasis proyek.
4. Mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa melihat bagaimana
expert menyelesaikan masalah, menghadapi kesulitan dan seterusnya.
5. Menggunakan media pembelajaran yang dinamis dan interaktif yang
membantu siswa memiliki pengalaman investigasi seperti expert
162
6. Mengajarkan siswa menggunakan berpikir metakognisi tidak sekedar berpikir
statistik.
7. Mulai menggunakan pendekatan informal dalam pengambilan kesimpulan
statistik awal pada pendidikan dasar dan secara terus menerus membangun
pendekatan ini seperti aktivitas “mengembangkan suatu sampel” (Bakker:
2004, Ben-Zvi: 2006)
8. Memanfaatkan teknologi inovatif (seperti TinkerPlot) yang mendukung
eksplorasi data seperti pendekatan modeling pada usia yang relative awal.
Suatu penelitian logitudinal ini yang bertujuan untuk mengetahui dampak
jangka panjang pembelajaran pada mahasiswa tingkat Sembilan, tiga tahun setelah
mereka terlibat dalam intervensi tiga tahun (tingkat 4 – 6) pada Connection
Program menunjukkan bahwa mahasiswa mengikuti program melebihi
kemampuan mahasiswa yang tidak mengikuti program pada tiga bagian yaitu: (1)
pemahaman konseptual, (2) inferensi statistik informal dan (3) penyatuan
pandangan tentang suatu distribusi. Namun penelitian ini dikatakan memiliki
keterbatasan pada kajian idiosyncratic circumstances. (Gil & Ben-Zvi: 2014).
Makar (2013) mengkaji gagasan awal anak-anak tentang rata-rata dalam
satu kelas penyelidikan untuk pertanyaan “Is there a typical height for a student
in year 3? If so, what is it?”. Serangkaian pembelajaran dianalisis pada siswa
kelas tiga (26 orang siswa berusia 8 tahun) pada suburban school di Quensland
Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima konsep kunci
“typical” (rata-rata) yang diperdebatkan siswa, yaitu (1) a reasonable height, (2)
the most common value or interval of data in the class, (3) the middle height, (4)
the medium (normative) population height and (5) representative of a
subpopulation. Penelitian ini memberikan saran bahwa elemen yang diidentifikasi
mendukung penalaran inferensial informal adalah
a. Lingkungan belajar berbasis inkuiri, kelas dimana data digambarkan sebagai
salah satu yang dikembangkan dalam penyelidikan matematika. Pertanyaan
yang diberikan ill-structured dan ambigu.
b. Konsep dan alat bantu statistik. Anak-anak mungkin memahami gagasan
tentang outliers, group comparisons, sampling variability,
163
representativeness, populations dan informal inference melalui suatu
lingkungan belajar berbasis inkuiri. Penggunaan konsep statistik secara
informal menunjukkan bahwa mereka membangun pengetahuan dasar yang
selanjutnya mungkin dapat berkembang ketika mereka kembali menghadapi
permasalahan yang lebih kompleks.
c. Konflik. konflik yang dihadapi siswa antara harapan dan pesan yang
diinterpretasikan dalam data memberi mereka kesempatan untuk berdebat,
memperjelas dan berusaha untuk menyelesaikan ide-ide mereka. Konflik ini
muncul dari kompleksitas situasi otentik dan budaya penyelidikan yang
mendorong konsep statistik muncul melalui perdebatan dan musyawarah.
Sebuah aspek kunci di sini adalah 'keterampilan guru dalam memprovokasi
penalaran siswa serta pengembangan budaya kelas yang menghargai
percakapan substantif
Pemahaman tentang konteks masalah berperan penting dalam investigasi
statistik. Gil & Ben-Zvi (2011) mengkaji peranan penjelasan siswa dalam
memaknai data dan belajar bernalar secara informal tentang inferensi statistik.
Hasil penelitian menjukkan bahwa terdapat 4 tipe penjelasan yang memunculkan
penalaran inferensial informal siswa, yaitu:
1. Descriptive explanation, memberikan deskripsi statistik tentang bagaimana
interpretasi atau inferensi berdasarkan representasi data.
2. Abductive explanation, memberikan catatan hipotetis tentang alasan
kontekstual dan teoritis tentang fenomena yang diinvestigasi
3. Reasonableness explanation, memberikan suatu dasar bagi penegasan
kewajaran/ ketidakwajaran suatu inferensi dan keperluan ekplorasi dan
penjelasan lanjutan.
4. Conflict resolution,memberikan resolusi terhadap konflik antara suatu
ekspektasi dengan inferensi yang diajukan.
Sedangkan Pfannkuch (2011) menemukan bahwa data-context dan
learning-experience-contexts berperan penting dalam mengembangkan penalaran
inferensial informal siswa. Studi ini menyarankan bahwa ketika
mempertimbangkan "konteks" sebagai peran sentral dalam pengembangan
164
berpikir statistik, pengaruhnya dalam siklus penyelidikan (inquiry cycle) dan pada
pengembangan konsep berdampak nyata. Implikasi dari penelitian ini adalah
bahwa usaha untuk merancang kegiatan yang meningkatkan dan memajukan
penalaran inferensial statistik siswa mungkin perlu diperhitungkan learning-
experince-context dan bahwa guru dan peneliti perlu menyadari bagaimana
mereka menggunakan data-context dan learning-experince-context untuk
membentuk penalaran dalam siklus penyelidikan dan untuk mengembangkan
konsep.
165
2. Bagaimana perbedaan individu dalam bernalar statistik?
3. Bagaimana proses mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa pada
penalaran statistika?
4. Bagaimana mengembangkan model pembelajaran matematika yang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa pada penalaran statistika?
5. Bagaimana siswa memulai pengembangan konsep tentang inferensi statistik?
6. Bagaimanakah level penalaran inferensial informal pada siswa Sekolah
Menengah?
7. Aspek apakah yang mendukung perkembangan penalaran inferensial informal
siswa?
166
REFERENSI
Budẻ, L. (2006). Assessing Students‟ Understanding of Statistics. ICOTS-7.
Tersedia pada
http://www.ime.usp.br/~abe/ICOTS7/Proceedings/PDFs/InvitedPapers/6
G3_BUDE.pdf
167
Garfield, J., Ben-Zvi, D. (2004). The Challenge Of Developing Statistical
Literacy, Reasoning And Thinking, Springer Science+Bussines Media
B.V.
Garfield, Laura Le, Zieffler & Ben-Zvi. (2015). Developing students‟ reasoning
about samples and sampling variability as a path to expert statistical
thinking. Educ Stud Math (2015) 88:327–342. DOI 10.1007/s10649-014-
9541-7
168
Nick J. Broers Learning Goals: The Primacy Of Statistical Knowledge. ICOTS-7,
2006: Broers. Tersedia pada:
https://www.stat.auckland.ac.nz/~iase/publications/17/6G2_BROE.pdf
Quintas, S., Ferreira, R.T., Oliveira, H., (2014). Attending To Students‟ Thinking
On Bivariate Statistical Data At Secondary Level: Two Teachers‟
Pedagogical Content Knowledge, In K. Makar, B. de Sousa, & R. Gould
(Eds.), Sustainability in statistics education. Proceedings of the Ninth
International Conference on Teaching Statistics (ICOTS9, July, 2014),
Flagstaff, Arizona, USA. Voorburg, The Netherlands: International
Statistical Institute
169
170