Anda di halaman 1dari 36

JOURNAL READING

Physical Activity in the Prevention and Treatment of Coronary Artery Disease

Disusun Oleh:
Aminah
H1A 015 006

Pembimbing:

dr. Basuki Rahmat, Sp.JP (K), FIHA

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penugasan Journal Reading
ini. Tugas ini saya susun dalam rangka memenuhi syarat dalam proses mengikuti
kepaniteraan klinik madya di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Ucapan terima kasih
kepada dr. Basuki Rahmat, Sp.JP (K), FIHA yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis dalam menyusun Journal Reading ini.

Penulis berharap Journal Reading ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya di bidang ilmu kedokteran. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk penyusunan Journal Reading yang lebih baik.

Mataram, 6 Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................. 3

IDENTITAS JURNAL ................................................................................... 4

ISI JURNAL ................................................................................................... 4

ANALISA JURNAL ....................................................................................... 33

CRITICAL APPRAISAL .................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 36

3
I. IDENTITAS JURNAL

Judul : Physical Activity in the Prevention and Treatment of Coronary


Artery Disease

Penulis : Ephraim Bernhard Winzer, Felix Woitek, dan Axel Linke

Jurnal : Journal of The American Heart Association

Tahun terbit : 2018

Jenis jurnal : Contemporary review

II. ISI JURNAL

Pendahuluan

Dalam pencegahan primer, aktivitas fisik rutin dapat mengurangi kejadian


penyakit kardiovaskular. Pada tingkat endotel, penurunan kejadian ini disebabkan oleh
ekspresi yang lebih tinggi dan fosforilasi isoform endotel sintase NO, yang
menghasilkan radical scavenger system radikal lebih efektif, peremajaan endotelium
oleh sel-sel progenitor atau circulating progenitor cell (CPC) yang bersirkulasi, dan
pertumbuhan pembuluh koroner melalui angiogenesis.

Disfungsi endotel, yang mendahului proses sklerosis koroner selama bertahun-


tahun, merupakan langkah pertama dari lingkaran setan yang berpuncak pada
aterosklerosis, penyakit arteri koroner atau coronary artery disease (CAD), ruptur plak,
dan, akhirnya, infark miokard. Selain faktor risiko klasik, seperti hipertensi, merokok,
diabetes mellitus, dan hiperkolesterolemia, aktivitas fisik telah diidentifikasi sebagai
prediktor independen untuk perkembangan CAD. Sebaliknya, aktivitas fisik teratur
tampaknya efektif dalam pencegahan primer CAD melalui modulasi faktor risiko
klasik dan pemeliharaan fungsi endotel.

4
Setelah gejala CAD berkembang, pelatihan olahraga teratur merupakan strategi
ampuh untuk meningkatkan ambang batas angina-free activity levels pada kondisi
penyakit yang stabil. Selain itu, pelatihan olahraga tampaknya mengurangi
progresifitas penyakit dan meningkatkan event-free survival dalam pencegahan
sekunder CAD. Secara mekanis, berbagai penelitian menunjukkan bahwa aktivitas
fisik secara teratur membalikkan perubahan endotel: meningkatkan produksi NO
vaskular, menurunkan reactive oxygen species (ROS; yang sebaliknya akan dengan
cepat menonaktifkan NO), meremajakan endotelium dengan mengaktifkan sel-sel
progenitor endogen, menginduksi pembentukan pembuluh darah baru melalui
vaskulogenesis yang dimediasi oleh CPC, dan mempromosikan ekspresi faktor-faktor
pertumbuhan vaskular miokard (yang menyebabkan remodeling dari kapiler dan
arteriol). Latihan olahraga yang dapat menginduksi regresi stenosis koroner dan
pertumbuhan kolateral telah dibahas sebagai mekanisme potensial yang juga
berkontribusi pada peningkatan perfusi miokard; namun, tinjauan kritis literatur
menimbulkan keraguan yang masuk akal bahwa besarnya perubahan ini cukup besar
untuk menjelaskan manfaat olahraga dalam meningkatkan angka bertahan hidup pada
kasus CAD. Namun demikian, sejumlah studi terbaru menunjukkan bahwa aktivitas
fisik rutin memiliki efek penghambatan pada platelet dan aktivasi leukosit.

Tinjauan ini akan membahas efek aktivitas fisik reguler pada pembuluh darah
dalam pencegahan primer dan sekunder CAD pada manusia, dengan fokus khusus pada
endotelium.

Inaktivitas Fisik sebagai Faktor Risiko CAD

Di negara-negara maju, penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian


nomor satu, meskipun fakta bahwa pencegahan primer mudah diakses. Inaktivitas fisik
telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting dalam pengembangan CAD dalam
studi epidemiologi, di mana aktivitas fisik mencakup minat waktu luang dikaitkan

5
dengan peningkatan pengeluaran energi. Sebaliknya, latihan olahraga dipahami
sebagai aktivitas yang terencana, terstruktur, berulang, dan berorientasi pada tujuan.
Terlepas dari aktivitas fisik atau status pelatihan, kebugaran kardiorespirasi individu,
yang dinyatakan sebagai metabolik ekuivalen atau ambilan oksigen puncak, dapat
diukur dengan tes stres maksimum (misalnya, pada treadmill atau sepeda).

Sekitar 40 tahun yang lalu, Morris et al melaporkan bahwa pria paruh baya yang
melakukan aktivitas fisik yang kuat di waktu senggang mereka setidaknya 2 hari per
minggu memiliki kemungkinan sepertiga lebih rendah untuk mengembangkan CAD
daripada rekan-rekan mereka yang tidak aktif. Penlitian mengenai aktivitas fisik dan
CAD oleh Morris et al memicu dilakukannya berbagai penelitian lebih lanjut dalam
bidang ini. Dalam Harvard Alumni Health Study, Sesso et al menemukan hubungan
linier terbalik antara aktivitas dan insiden CAD, dengan risiko relatif terendah pada
individu yang menghabiskan setidaknya 1000 hingga 2000 kkal per minggu selama
aktivitas waktu senggang. Data ini sesuai dengan sebuah studi oleh Haapanen et al,
yang mengeksplorasi risiko CAD pada sukarelawan dengan 3 tingkat aktivitas waktu
luang yang berbeda: 0 hingga 1100, 1101 hingga 1900, dan lebih dari 1900 kkal
pengeluaran energi per minggu. Kelompok dengan pengeluaran energi terendah
memiliki risiko kardiovaskular yang dua kali lebih tinggi daripada kelompok dengan
tingkat aktivitas tertinggi. Sattelmair et al mengumpulkan data dari 33 studi yang
menyelidiki aktivitas fisik dan pencegahan primer CAD. Mereka menemukan
hubungan dosis-respons yang jelas antara aktivitas fisik dan risiko CAD, dengan
pengurangan risiko 20% pada pria dan wanita yang menghabiskan 1.100 kkal / minggu.
Namun, bahkan individu yang hanya mengeluarkan <550 kkal / minggu dalam aktivitas
fisik waktu senggang masih memiliki risiko CAD yang berkurang secara signifikan.
Baru-baru ini, temuan menarik datang dari Aerobics Center Longitudinal Study yang
mengevaluasi dampak waktu luang terhadap mortalitas pada penelitian cohort besar
dengan 55.000 peserta berusia 18 hingga 100 tahun. Baik semua penyebab dan
mortalitas kardiovaskular berkurang secara signifikan pada pelari dibandingkan

6
dengan yang tidak lari masing-masing sebesar 30% dan 45%. Manfaat ini dapat dicapai
bahkan pada jarak lari, frekuensi, kecepatan, dan jumlah total yang rendah. Para
peneliti menyimpulkan bahwa berlari selama 5 hingga 10 menit per hari atau 50 menit
per minggu pada kecepatan rendah <6 mil/jam (<10 km/jam) secara nyata dapat
mengurangi risiko kematian. Namun, pada subkelompok dengan intensitas lari yang
tertinggi dapat menyebabkan risiko kematian menjadi mendatar, sedangkan uji coba
lain bahkan menunjukkan hilangnya penurunan mortalitas pada subyek sehat dan
pasien CAD dengan intensitas olahraga yang tinggi. O’Keefe et al meninjau
mekanisme patofisiologis dari latihan ketahanan jangka panjang yang berlebihan dalam
menimbulkan efek yang buruk terhadap kardiovaskular, seperti ultramaraton, ironman
distance triathlons, atau balapan sepeda jarak jauh, yang dapat mengurangi manfaat
olahraga dalam menurunkan risiko mortalitas. Meskipun demikian, hipotesis dari
reverse J-shaped association curve antara intensitas latihan dan mortalitas masih
kontroversial. Masih perlu dieksplorasi jika ada batas atas intensitas latihan yang
optimal untuk berbagai modalitas latihan yang berbeda.

Selain intensitas aktivitas fisik, tingkat kebugaran kardiorespirasi juga


tampaknya menjadi sangat penting, seperti yang disarankan oleh Myers et al, yang
mengevaluasi kebugaran fisik pada 6000 pria yang dirujuk untuk melakukan tes latihan
treadmill karena alasan klinis dan mengamatinya selama 6 tahun. Ditemukan bahwa
kebugaran fisik dan kematian kardiovaskular memiliki hubungan linier yang terbalik.
Setiap peningkatan kapasitas latihan dengan 1 metabolik ekuivalen dikaitkan dengan
penurunan 12% dalam kematian dan diidentifikasi menjadi prediktor mortalitas yang
lebih baik daripada semua faktor risiko "klasik". Studi yang lebih besar terhadap pria
dan wanita oleh Lee et al mengkonfirmasi hubungan antara kebugaran kardiorespirasi
dan mortalitas, terlepas dari aktivitas fisik selama waktu luang.

Namun, tingkat kebugaran kardiovaskular yang tinggi dapat dicapai dengan


pelatihan olahraga terstruktur. Data ini didukung oleh Copenhagen City Heart Study
yang berbasis populasi. Schnohr et al menunjukkan bahwa intensitas latihan, bukan

7
durasi aktivitas waktu luang, dikaitkan dengan pengurangan semua penyebab dan
mortalitas penyakit jantung koroner. Bersepeda adalah kegiatan yang banyak dilakukan
di Kopenhagen untuk rekreasi dan bepergian ke tempat kerja, dan individu sehat yang
melaporkan bahwa mereka bersepeda cepat memiliki peningkatan harapan hidup 4
hingga 5 tahun dibandingkan dengan mereka yang bersepeda perlahan. Sebaliknya,
total waktu yang dihabiskan untuk bersepeda tidak memprediksi kematian sama sekali.

Khera et al mengevaluasi risiko genetik dengan skor risiko poligenik hingga 50


polimorfisme nukleotida tunggal yang telah mencapai signifikansi genome yang luas
untuk asosiasinya dengan CAD dalam 4 penelitian yang melibatkan lebih dari 55.000
peserta untuk menentukan sejauh mana peningkatan risiko genetik CAD dapat
diimbangi dengan gaya hidup sehat. Selain itu, kepatuhan terhadap gaya hidup sehat
yang terdiri dari 4 faktor (tidak merokok, tidak ada obesitas, diet sehat, dan aktivitas
fisik yang teratur) juga didata. Gaya hidup yang menguntungkan dikaitkan dengan 50%
risiko relatif CAD yang lebih rendah pada ketiga kelompok risiko genetik rendah,
menengah, dan tinggi. Dampak aktivitas fisik dalam konteks ini digarisbawahi oleh
penemuan aktivitas fisik yang rendah, seperti berlari ringan atau pulang pergi kerja
dengan sepeda, dikaitkan dengan insiden obesitas, hipertensi arteri, dislipidemia, dan
diabetes mellitus yang lebih rendah (Gambar 1).

Gambar 1. Dampak aktivitas fisik reguler terhadap mortalitas dalam pencegahan primer. Kebugaran
kardiorespirasi yang rendah, obesitas, hipertensi arteri, diabetes mellitus, dan dislipidemia berkontribusi

8
pada peningkatan mortalitas (+). Aktivitas fisik yang teratur meningkatkan kebugaran (+) dan
menangkal perkembangan faktor risiko (-).

Telah banyak didiskusikan bahwa hubungan antara aktivitas fisik dan kematian
muncul dari seleksi genetik, karena gen yang sama yang berkontribusi pada gaya hidup
aktif juga dapat meningkatkan umur panjang. Namun, hipotesis ini dapat dibantah oleh
penelitian di Swedia terhadap 5200 pasangan kembar monozigot yang
mendokumentasikan penurunan 20% dalam semua penyebab kematian dan 30%
penurunan terkait kematian CAD pada kembar dengan tingkat aktivitas fisik yang
tinggi dibandingkan dengan saudara kembar mereka yang secara genetik identik namun
tidak aktif secara fisik.

Adaptasi Sirkulasi Koroner terhadap Olahraga pada Jantung yang Sehat

Peningkatan curah jantung dengan latihan fisik dan peningkatan perfusi otot
rangka meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Karena ekstraksi oksigen miokard
dari darah sudah 70% hingga 80% pada kondisi istirahat maka pemeliharaan suplai
oksigen dan nutrisi miokard terutama tergantung pada aliran darah koroner. Telah
terbukti bahwa latihan olahraga teratur menginduksi perubahan fungsional dan
morfologis vaskular yang berkaitan dengan penurunan resistensi pembuluh darah
koroner. Perubahan-perubahan ini memungkinkan aliran darah yang diperbesar selama
kondisi latihan dengan adanya wall shear stress normal dan kecepatan aliran darah.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa NO yang berasal dari isoform


endotel dari NO synthase (eNOS) merupakan prasyarat vasomotion dalam pembuluh
darah. Peningkatan shear stress (misalnya, selama aktivitas fisik) telah terbukti
meningkatkan mRNA eNOS dan ekspresi protein dan mempromosikan fosforilasi
residu enzim serine 1177, sehingga meningkatkan produksi NO vaskular. Namun,
penelitian pada hewan menunjukkan bahwa setelah beberapa bulan pelatihan olahraga,
tingkat ekspresi eNOS berkurang ke keadaan yang sudah ada sebelumnya. Penurunan

9
ini dijelaskan oleh fakta bahwa normalisasi shear stress pada keadaan adaptif awal
memerlukan penurunan tonus pembuluh darah dan, karenanya, vasodilatasi; namun,
perubahan ini tidak terjadi pada tahap selanjutnya ketika pembuluh darah sudah
tumbuh.

Namun demikian, bioavailabilitas NO tergantung tidak hanya pada produksi


turunan eNOS tetapi juga inaktivasi oleh ROS (Gambar 2). Superoksida dismutase
(SOD) adalah penting dalam hal ini, karena dapat mengambil ROS yang jika tidak akan
menonaktifkan NO dalam endotelium. Penelitian telah menunjukkan bahwa aktivitas
SOD meningkat dalam menanggapi shear stress, yang dikaitkan dengan peningkatan
bioavailabilitas NO dan, karenanya, vasodilatasi. Selain itu, tampaknya ada mekanisme
umpan balik antara SOD ekstraseluler endotel dan eNOS, karena NO dapat
meningkatkan ekspresi SOD ekstraseluler.

Gambar 2. Perbaikan dan fungsi endotel. Endothelial NO synthase (eNOS) menghasilkan NO melalui
konversi L-arginin (L-Arg.) menjadi L-citrulline dengan adanya tetrahydrobiopterin (BH4) dan
calcium-calmodullin. Shear stress mengaktivasi eNOS melalui fosforilasi serine 1177 (S1177). Proses
ini dimediasi oleh phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K), phosphoinositide-dependent kinase (PDK), dan

10
protein kinase B (AKT)). NO mudah berdifusi melalui membran plasma. Dalam sel otot polos, NO
mengaktifkan guanylate cyclase, yang, pada gilirannya, mengubah GTP menjadi cGMP. Penurunan
konsentrasi kalsium intraseluler (Ca2 +) menyebabkan hiperpolarisasi membran sel dan, akibatnya,
terjadinya relaksasi otot polos. NO akan dipecah bila terdapat reactive oxygen species (ROS), terutama
oleh superoksida yang akan menghasilkan peroxynitrite. Peroxynitrite, pada gilirannya, akan
mengoksidasi BH4 dan mempromosikan eNOS uncoupling, menghasilkan produksi superoksida turunan
eNOS. Sumber tambahan superoksida adalah heme oxygenase (HO1 / 2), myeloperoxidase, cytochrome
P450, rantai transpor elektron mitokondria, dan nicotinamideadenine dinucleotide [fosfat], bentuk
tereduksi (NAD[P]H) oksidase, yang diaktifkan oleh tumor necrosis factor α dan dan angiotensin II
melalui reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1-R). Extracellular superoxide dismutase (ecSOD) mengambil
superoksida. Pertumbuhan pembuluh dan arteriolarisasi kapiler dimediasi oleh vascular endothelial
growth factor (VEGF), transforming growth factor ß (TGF), platelet-derived growth factor (PDGF),
fibroblast growth factors 1 and 2 (FGFs 1/2), and insulin-like growth factor (IGF). Circulating
progenitor cells (CPC), yang dimobilisasi dari sumsum tulang, berkontribusi untuk memperbaiki
endotelium yang rusak dan pembentukan struktur pembuluh darah baru yang mana dimediasi oleh
pengikatan CXC-chemokine receptor type 4 (CXCR4) oleh stromal cell–derived factor-1 (SDF-1), yang
disekresikan di lokasi cedera. Molekul adhesi P-selectin memediasi sel-sel darah pada permukaan
endotelium dan memulai aktivasi trombosit dan adhesi leukosit di lokasi cedera, yang memungkinkan
mereka untuk berpindah ke lapisan endotel dan memperpanjang proses peradangan aterosklerotik
melalui sekresi interleukin dan kemokin. Tanda tanya menunjukkan bahwa ada beberapa faktor relaksasi
dan penyempitan endotel yang mempengaruhi berbagai kanal ion, transporter, dan second messenger.
Perubahan lebih lanjut dalam sel otot polos pembuluh darah dan jaringan adiposa perivaskular terlibat
dalam pengaturan tonus vaskular, tetapi tidak menjadi fokus pembahasan ini.

Sebaliknya, sensitivitas otot polos vaskular untuk mendeteksi NO eksogen


tampaknya tidak mengalami perubahan oleh pelatihan olahraga, yang mana
menunjukkan bahwa fase awal remodeling vaskular tidak melibatkan otot polos
vaskular. NO juga tampaknya tidak begitu penting dalam hal ini terutama pada
vasorelaksasi arteriol kecil dengan diameter <100 µm, karena pembuluh darah
semacam ini terutama diatur oleh faktor miogenik.

Remodeling lebih lanjut sebagai respon terhadap latihan olahraga jangka


panjang melibatkan ekspresi sitokin dan faktor pertumbuhan (misalnya, vascular
endothelial growth factor A, transforming growth factor ß, platelet-derived growth
factor, fibroblast growth factors 1 dan 2, dan insulin-like growth factor), yang
mengarah pada proliferasi dan pertumbuhan sel endotel dan sel otot polos dan akhirnya
mendorong arteriolarisasi kapiler (Gambar 2). Pada jantung yang terlatih,
konsekuensinya tidak menimbulkan perubahan densitas kapiler, melainkan terbentuk
pasokan arteri yang lebih besar dan lebih dalam. Namun, pertumbuhan pembuluh darah
oleh angiogenesis tidak terbatas pada kapiler; hal ini juga terbukti pada tingkat arteriol

11
(diameter <30 µm), pembuluh darah koroner (diameter <300 µm), dan pembuluh darah
proksimal yang besar.

Di masa lalu, diperkirakan bahwa pertumbuhan pembuluh darah koroner terjadi


sekunder akibat pembelahan otot polos dan sel endotel yang sudah ada sebelumnya.
Penemuan kontribusi CPC yang berasal dari sumsum tulang terhadap pertumbuhan
pembuluh baru dalam proses yang dikenal sebagai vaskulogenesis membuat gambaran
adaptasi yang diinduksi oleh latihan menjadi lebih kompleks. Aktivasi matrix
metalloproteinases 2 dan 9 oleh NO meningkatkan mobilitas CPC di sumsum tulang,
sehingga memicu pelepasan sel-sel ini ke dalam sirkulasi. Selanjutnya, jumlah dan
kapasitas fungsional dari CPC yang bersirkulasi tampaknya bergantung pada
bioavailibilitas NO. Sebagai respon terhadap olahraga, CPC memperbaiki endotelium
yang rusak, meningkatkan neoangiogenesis, dan mengurangi pembentukan neointima
setelah cedera vaskuler. Namun, kontribusinya terhadap homeostasis vaskular pada
individu yang sehat kurang dipahami dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

Perubahan Vaskular pada CAD

Dalam CAD, keseimbangan antara produksi NO dan inaktivasi NO terganggu,


sehingga menyebabkan disfungsi endotel. Selain berkurangnya bioavailabilitas
tetrahidrobiopterin prekursor NO, ekspresi eNOS yang kurang dan fosforilasi residu
serine 1177 dan penghambatan eNOS oleh dimethylarginine telah dijelaskan sebagai
alasan penurunan produksi NO koroner dalam CAD. Selain itu, NO dengan cepat
diinaktivasi oleh ROS yang diproduksi oleh berbagai enzim (misalnya, uncoupled
eNOS, nicotinamideadenine dinucleotide [phosphate], reduced form, oxidase,
cytochrome P450, myeloperoxidase, heme oxygenase, glucose oxidase,
cyclooxygenase, lipoxygenase, dan enzymes of the respiratory chain).

Peningkatan laju apoptosis sel endotel vaskular matur dalam hubungannya


dengan gangguan kapasitas regenerasi CPC dapat memperburuk perubahan vaskuler.

12
Pengetahuan terkini mengenai disfungsi endotel pada penyakit pembuluh darah
dibahas secara rinci oleh Vanhoutte et al.

Penelitian terbaru mengidentifikasi high-density lipoprotein (HDL) sebagai


pemain penting dalam homeostasis fungsi endotel karena selain memiliki peran dalam
transportasi kolesterol juga memiliki efek anti-inflamasi dan antioksidan, termasuk
aktivasi eNOS dan produksi NO. Sebagaimana ditinjau secara ekstensif oleh Mȁrz et
al, HDL memberikan efek perlindungan dari kerusakan, nekrosis, dan apoptosis sel
endotel. Namun, HDL dari pasien dengan CAD, hipertensi, diabetes mellitus, disfungsi
ginjal kronis, dan obesitas (terlepas dari konsentrasinya) ) berubah menjadi tidak
berfungsi dan menunjukkan berkurangnya kapasitas efluks kolesterol dan penurunan
kemampuan aktivasi eNOS.

Perubahan vaskular lainnya dengan dampak pada tonus dan fungsi vaskular di
dalam sel otot polos pembuluh darah koroner (misalnya, penanganan kalsium
intraseluler) dan dalam jaringan adiposa perivaskular ditinjau di bagian lain.

Aktivitas Fisik sebagai Elemen Kunci dalam Pencegahan Sekunder CAD

Secara historis, banyak pasien diimobilisasi selama berminggu-minggu setelah


infark miokard akut, meskipun terdapat bukti kuat adanya efek perlindungan dari
aktivitas fisik reguler dalam pencegahan primer penyakit kardiovaskular. Rekomendasi
ini didasarkan pada asumsi bahwa peningkatan tekanan darah dipicu oleh olahraga
jangka pendek dan berakibat menimbulkan tekanan pada dinding pembuluh darah,
sehingga dapat berisiko pecahnya dinding infark atau menyebabkan dekompensasi
jantung atau aritmia yang mengancam jiwa. Namun, imobilisasi yang disarankan ini
dikaitkan dengan penurunan lebih lanjut dalam kualitas hidup dan kapasitas olahraga.

Percutaneous coronary intervention (PCI) masih dianggap sebagai pengobatan


pilihan dalam praktek klinis pada pasien dengan CAD stabil, meskipun belum terdapat

13
data yang jelas menunjukkan manfaat kelangsungan hidup pada mereka yang diobati
dengan PCI. Dengan demikian, pedoman saat ini tidak merekomendasikan PCI dalam
pasien dengan CAD tanpa bukti iskemia miokard (> 10% dari miokardium) atau bukti
relevansi hemodinamik stenosis yang dideteksi melalui cadangan aliran
fraksional.Sebaliknya, aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur telah terbukti
mengurangi gejala, meningkatkan perfusi miokardial, dan yang paling penting,
mengurangi mortalitas pada pasien dengan CAD atau infark miokard. Sebuah meta-
analisis pada 8940 pasien yang pernah mengalami infark miokard, menjalani
revaskularisasi koroner, mengeluh tentang angina pektoris, atau memiliki CAD yang
didokumentasikan oleh angiografi, dari 48 penelitian menunjukkan adanya penurunan
total dan mortalitas kardiovaskular masing-masing sebesar 20% dan 26% sebagai hasil
dari intervensi latihan olah raga. Atas dasar temuan ini, Hambrecht et al melakukan
percobaan yang membandingkan PCI, termasuk implantasi stent dengan pelatihan
latihan fisik secara teratur, pada pasien dengan CAD yang sudah menerima terapi
medis yang optimal. Pasien dengan stenosis yang signifikan pada left main or proximal
left anterior descending artery dieksklusi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menentukan efek dari intervensi ini terhadap gejala, kapasitas latihan bebas angina,
perfusi miokard, biaya, dan terjadinya kematian akibat sebab apa pun, stroke, coronary
artery bypass grafting, angioplasty, infark miokard akut, atau memburuknya angina
yang mengarah ke rawat inap. Sebanyak 102 pasien menjalani pengacakan untuk PCI
atau pelatihan olahraga (setidaknya 20 menit setiap hari) selama 12 bulan. Pasien dalam
kelompok latihan olahraga memiliki tingkat event-free survival 18% lebih tinggi pada
tindak lanjut 12 bulan dibandingkan dengan PCI, yang didorong oleh pengurangan
revaskularisasi berulang, dan pasien ini ditandai dengan peningkatan ambilan oksigen
puncak sebanyak 16%. Sebaliknya, kelompok PCI tidak mengalami peningkatan
kapasitas olahraga meskipun pengurangan gejala terjadi jauh lebih awal dibandingkan
dengan kelompok latihan olahraga, sehingga hal ini menunjukkan bahwa pengurangan
gejala tidak berhubungan dengan peningkatan aktivitas fisik pada pasien ini. Bahkan
jika PCI adalah terapi lini pertama, pasien masih mendapat manfaat dari program

14
pelatihan olahraga setelah intervensi koroner. Uji coba ETICA (Exercise Training
Intervention After Coronary Angioplasty) dengan jelas membuktikan adanya
peningkatan ambilan oksigen puncak 26%, peningkatan kualitas hidup 27%, dan
penurunan kejadian jantung 20%, termasuk pengurangan infark miokard dan jumlah
rawat inap di rumah sakit yang lebih sedikit, pada pasien yang menjalani program
latihan fisik setelah PCI dibandingkan dengan mereka yang tidak menjalani latihan
fisik. Namun, meta-analisis yang disebutkan sebelumnya tidak menemukan penurunan
insiden infark miokard nonfatal dengan latihan olahraga.

Tetapi, mekanisme mana yang dapat menjelaskan efek manfaat dari latihan
olahraga pada gejala angina, kualitas hidup, dan kematian pada tingkat vaskular?

Adaptasi Jantung dan Vaskular sebagai Respon terhadap Latihan Olahraga pada
Pasien CAD

Denyut jantung istirahat dan denyut jantung pada setiap tingkat aktivitas fisik
berkurang pada atlet yang sehat dan pada pasien dengan hipertensi sebagai respon
terhadap pelatihan olahraga dibandingkan dengan kontrol yang tidak terlatih. Efek ini
juga dapat dilihat dalam beberapa (tetapi tidak semua) penelitian yang mengevaluasi
efek pelatihan olahraga pada pasien dengan CAD. Modulasi sistem saraf otonom
dengan berkurangnya tonus simpatik, peningkatan aktivitas vagal, dan peningkatan
sensitivitas barorefleks sebagai respon terhadap latihan olahraga diidentifikasi sebagai
mekanisme yang mendasari pada hewan dan pasien. Pemulihan keseimbangan otonom
dalam kombinasi dengan peningkatan fungsi endotel perifer dan penurunan tekanan
darah dapat mengurangi afterload jantung dan meningkatkan fungsi diastolik ventrikel
kiri. Latihan olahraga terbukti menginduksi remodeling jantung pada pasien dengan
gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang berkurang. Dampak pelatihan
olahraga pada kalsium intraseluler dan kontraktilitas miokard diteliti secara ekstensif
oleh Kemi dan Wisloff dan telah ditinjau di tempat lain. Meskipun demikian,

15
peningkatan yang signifikan dalam output jantung sebagai akibat dari hipertrofi
miokard eksentrik dan peningkatan kontraktilitas miokard, yang terlihat pada atlet yang
sehat, tidak dapat dideteksi pada pasien dengan CAD tanpa gagal jantung. Selain itu,
bradikardia dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan oksigen miokard dan juga
memungkinkan peningkatan aliran darah koroner diastolik karena waktu kompresi
sistolik dari arteri koroner intramural dipersingkat. Oleh karena itu, tingkat beban kerja
yang diberikan mungkin menghasilkan lebih sedikit iskemia pada pasien dengan CAD
sebagai respon terhadap latihan olahraga. Namun, peningkatan perfusi miokard tidak
terbatas pada pengurangan denyut jantung. Mekanisme berikut telah diusulkan
berkontribusi pada peningkatan perfusi miokard sebagai respons terhadap latihan
olahraga: (1) koreksi parsial disfungsi endotel, (2) pembentukan kolateral, (3) regresi
stenosis koroner, (4) vaskulogenesis, dan (5) penurunan aktivasi platelet.

• Mekanisme 1 : koreksi parsial disfungsi endotel

Dampak pelatihan olahraga pada fungsi endotel koroner dan resistensi


pembuluh darah pada pasien dengan CAD diselidiki secara menyeluruh oleh
Hambrecht dan rekan kerjanya beberapa tahun yang lalu. Pasien-pasien itu secara acak
ditugaskan untuk pelatihan sepeda ergometer di rumah sakit selama 4 minggu atau
kelompok kontrol yang melanjutkan sedentary lifestyle. Pada awal dan setelah 4
minggu, endothelium-dependent vasomotion dari pembuluh darah sebagai respon
terhadap asetilkolin dinilai, dan fungsi resistensi pembuluh darah dalam mikrosirkulasi
dievaluasi sebagai respons terhadap adenosin. Vasokonstriksi patologis pembuluh
epikardial sebagai respons terhadap 7,2 µg asetilkolin berkurang 54% setelah 4 minggu
pelatihan olahraga. Hasil ini dikaitkan dengan augmentasi dalam aliran darah koroner
dari 78% pada awal menjadi 142% pada 4 minggu, sedangkan tidak ada perubahan
yang diamati pada kelompok kontrol selama periode penelitian. Selain itu, cadangan
aliran koroner meningkat dari 2,8 pada awal menjadi 3,6 setelah 4 minggu pada
kelompok pelatihan, yang menunjukkan peningkatan sensitivitas mikrosirkulasi
sebagai respons terhadap adenosin dan peningkatan total luas penampang

16
mikrovaskular, baik melalui pertumbuhan pembuluh darah atau pembentukan
pembuluh darah baru.

Pada tingkat molekuler, penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pada tahap
awal CAD, endothelial-dependent vasodilatation pada arteriol koroner setidaknya
sebagian berkurang sebagai akibat dari penurunan kadar protein eNOS. Baik kadar
protein eNOS dan fungsi endotel dapat dipulihkan dengan pelatihan olahraga. Namun,
pada manusia, adaptasi molekuler dari sirkulasi koroner dalam CAD kurang dipahami
karena kesulitan dalam pengambilan jaringan sebelum dan sesudah pelatihan olahraga.
Beberapa perincian telah disediakan oleh sebuah studi dari Hambrecht et al yang
menilai adaptasi molekuler dari left internal mammary artery (LIMA) dalam
menanggapi latihan olahraga pada pasien dengan CAD berat yang menjalani coronary
artery bypass grafting elektif. Sekali lagi, pasien ini secara acak menjalani 4 minggu
pelatihan fisik di rumah sakit dan terdapat kelompok kontrol yang tidak aktif secara
fisik. Pada awal dan setelah 4 minggu, fungsi endotel LIMA sebagai respons terhadap
asetilkolin dan adenosin dinilai secara invasif. Sepotong LIMA yang tidak diperlukan
untuk revaskularisasi koroner yang diperoleh selama okulasi bypass arteri koroner
dilakukan analisis molekuler lebih lanjut. Latihan olahraga meningkatkan rata-rata
kecepatan aliran puncak LIMA sebesar 57% dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hasil ini disertai dengan fosforilasi eNOS 2 kali lipat lebih tinggi pada residu serine
1177 dan ekspresi eNOS 4 kali lipat lebih tinggi dalam LIMA pasien dalam kelompok
pelatihan. Sebaliknya, ekspresi reseptor angiotensin II tipe 1, yang mendorong
produksi ROS, dan akibatnya terjadinya degradasi NO, melalui aktivasi nicotinamide-
adenine dinucleotide [phosphate], reduced form, oxidase, secara signifikan berkurang
dalam pembuluh darah pasien yang menjalani 4 minggu latihan olahraga. Hasil ini
diparalelkan dengan rendahnya ekspresi nicotinamide-adenine dinucleotide
[phosphate], reduced form, subunits pg91phox and p22phox, oxidase activity, dan
karenanya mengurangi produksi ROS pembuluh darah. Fakta bahwa otot-otot dinding
dada tidak dilatih secara langsung dalam penelitian ini menunjukkan bahwa latihan

17
olahraga memberikan efek sirkulasi yang luas daripada hanya adaptasi lokal pada
pembuluh darah yang memasok otot terlatih. Studi Hambrecht pada fungsi endotel
manusia yang menggabungkan intervensi latihan olahraga, pengukuran in vivo, dan
analisis molekuler memicu sejumlah besar pekerjaan pada mekanisme peningkatan
fungsi endotel. Dampak pelatihan olahraga pada aktivasi multistep eNOS di satu sisi
dan penurunan produksi ROS di sisi lain baru-baru ini ditinjau oleh Adams et al.

Disfungsi HDL pada pasien dengan CAD berkontribusi terhadap gangguan


produksi NO dan disfungsi endotel. Dua penelitian pada remaja obesitas dan pasien
dengan gagal jantung jelas menunjukkan bahwa latihan fisik secara teratur
mengembalikan fungsi transportasi kolesterol, fosforilasi eNOS yang dimediasi HDL
dan produksi NO dalam sel endotel, yang berkorelasi dengan peningkatan fungsi
endotel. Namun, komposisi dan fungsi dari HDL dalam kesehatan dan penyakit
merupakan hal yang kompleks dan perlu dievaluasi lebih lanjut.

Pentingnya NO untuk remodeling vaskular telah ditunjukkan pada penelitian


pada hewan dan inhibisi eNOS jangka panjang dengan N-methylarginine. Selain itu,
efek manfaat dari pelatihan olahraga pada remodeling, reendotelisasi, dan hiperplasia
neointimal dalam menanggapi cedera endotelial telah terbukti sangat tergantung pada
ketersediaan NO dalam model tikus dengan penghambatan eNOS jangka panjang.
Seperti disebutkan sebelumnya, pembebasan CPC dari sumsum tulang sebagai respons
terhadap olahraga terbukti dihambat pada model tikus tersebut dan oleh infus N-
metilarginin pada manusia. Jumlah CPC berkorelasi dengan fungsi endotel pada subjek
ini. Namun demikian, peran kausal NO dalam koreksi terkait fungsi endotel koroner
masih belum terbukti dan harus ditangani dalam penelitian pada hewan.

Meskipun NO sejauh ini merupakan faktor relaksasi endotelium dengan


karakteristik terbaik, yang lain, seperti prostasiklin dan hidrogen peroksida, dan
endothelium-derived constricting factors (mis., Prostanoid dan endotelin-1)
berkontribusi terhadap endothelial-dependent vasomotion. Sayangnya, dampaknya

18
pada fungsi endotel, pengembangan CAD, dan terutama peran pelatihan olahraga pada
regulasi mereka kurang dipelajari dan perlu penyelidikan lebih lanjut.

Singkatnya, data ini konsisten dengan hipotesis bahwa pelatihan olahraga


mengembalikan keseimbangan antara produksi dan inaktivasi NO. Keseimbangan ini
menghasilkan peningkatan bioavailabilitas NO, yang dikaitkan dengan restorasi parsial
fungsi endotel (Gambar 2).

• Mekanisme 2 : pembentukan kolateral

Meskipun Eckstein, seorang ilmuwan mutakhir, dapat dengan jelas


mendokumentasikan pembentukan kolateral koroner sebagai respon terhadap pelatihan
dalam percobaan hewan pada tahun 1957, data yang jelas pada manusia tidak ada
hingga saat ini. Belardinelli dan rekan kerjanya mampu secara angiografis
menunjukkan peningkatan pembentukan kolateral pada subset pasien dengan
kardiomiopati iskemik setelah 8 minggu pelatihan olahraga. Namun, meskipun terdapat
pengurangan iskemia miokard pada skintigrafi talium, Heidelberg Regression Study
gagal untuk mendokumentasikan setiap pertumbuhan kolateral menggunakan
angiografi pada pasien dengan CAD stenotik bahkan setelah 1 tahun latihan olahraga
intens. Peningkatan pembentukan kolateral dapat ditunjukkan hanya pada pasien
dengan perkembangan lesi aterosklerotik yang terdeteksi, menghasilkan hipotesis
bahwa iskemia miokard merupakan pemicu yang diperlukan untuk mendorong
pembentukan kolateral. Angiografi mungkin terlalu tidak sensitif untuk
memvisualisasikan kolateral, atau kolateral hanya dapat terlihat pada latihan puncak
(menyebabkan hipoksia miokard); mungkin juga bahwa perbedaan dalam populasi
pasien dalam studi yang disebutkan sebelumnya dapat menjelaskan efek yang berbeda
ini.

Seiler dan rekan kerjanya mengembangkan pengukuran fungsional sirkulasi


kolateral dengan kateterisasi koroner dengan menggunakan kawat tekanan selama

19
interupsi aliran antegrade pembuluh darah target oleh oklusi balon untuk mengatasi
sensitivitas angiografi yang rendah. Tekanan koroner rata-rata (diukur di luar oklusi
dan dikoreksi untuk tekanan vena sentral) merupakan tekanan perfusi yang terkait
dengan aliran balik kolateral dan dinyatakan sebagai collateral flow index (CFI)
sebagai rasio terhadap tekanan aorta. Kelompok studi yang sama mendeteksi
peningkatan aliran kolateral pada pasien dengan CAD setelah 3 bulan pelatihan
olahraga dalam uji coba nonrandomisasi kecil. Menariknya, peningkatan CFI
ditemukan pada koroner yang diobati dengan PCI dan koroner tanpa stenosis sehingga
menantang hipotesis bahwa hipoksia merupakan prasyarat aliran kolateral, yang, pada
gilirannya, sangat menurun dengan pemulihan kembali aliran antegrade. Baru-baru ini,
Mobius-Winkler et al menunjukkan dalam sebuah penelitian acak bahwa 4 minggu
pelatihan olahraga intensitas sedang dan tinggi pada pasien dengan stenosis koroner
yang signifikan (cadangan aliran fraksional, ≤0,75) meningkatkan CFI sebesar 39 %

dan 41% dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini disertai oleh peningkatan yang relevan
secara klinis dalam kapasitas latihan dan ambang batas angina pada kedua kelompok
intervensi. Namun, kolateralisasi koroner tidak dapat divisualisasikan pada angiogram.
Meskipun korelasi antara perubahan CFI dan ambang angina terbukti lemah, hubungan
sebab akibat harus dibuktikan. Peningkatan absolut tekanan oklusi koroner sebagai
ukuran aliran kolateral adalah serendah 2 sampai 5 mm Hg, rata-rata, setelah latihan.
Selain itu, aliran koroner antegrade, meskipun didokumentasikan stenosis derajat tinggi,
menghasilkan tekanan poststenotik minimal 86 mm Hg selama hiperemia adenosin
pada pengukuran awal. Hasil ini jauh lebih tinggi daripada ambang atas yang
terdokumentasi sebelumnya yaitu tekanan perfusi koroner 30 hingga 35 mm Hg yang
dikaitkan dengan iskemia miokard dan stimulasi pertumbuhan kolateral yang cukup.
Oleh karena itu, tampaknya tidak mungkin bahwa perubahan kecil dalam aliran
kolateral dengan latihan olahraga bertanggung jawab untuk perbaikan klinis. Secara
bersamaan, perubahan kecil dalam CFI dengan pelatihan olahraga ini tidak mendukung
gagasan pertumbuhan kolateral yang diinduksi oleh olahraga pada pembuluh epikardial

20
yang mengarahkan aliran darah ke miokardium iskemik. Selain itu, peningkatan fungsi
endotel dan, karenanya, penurunan resistensi arteri yang mensuplai kolateral dapat
menyebabkan perfusi terkait latihan pada pembuluh kolateral yang sudah ada
sebelumnya dan perubahan CFI (Gambar 3). Konsep ini didukung oleh penemuan
peningkatan CFI pada sukarelawan yang benar-benar sehat sebelum, selama, dan
setelah pelatihan untuk perlombaan alpine ultramarathon; iskemia miokard dapat
dikesampingkan sebagai kekuatan pendorong pertumbuhan kolateral pada sukarelawan
ini. Dalam kasus ini, arteriogenesis yang terkait dengan pelatihan dalam kombinasi
dengan kapasitas fungsional yang tinggi dari resistensi pembuluh darah mungkin
menjelaskan peningkatan aliran kapiler retrograde.

Gambar 3. Mekanisme peningkatan aliran darah kolateral. Peningkatan aliran darah kolateral pada
penyakit arteri koroner oklusif sebagai respons terhadap latihan olahraga mungkin merupakan

21
konsekuensi dari yang berikut: (1) angiogenesis, yang merupakan tunas dari sel-sel endotel dari kapiler
yang sudah ada sebelumnya dan pembentukan jaringan kapiler; (2) arteriolarisasi kapiler dan pembuluh
mikro; atau (3) peningkatan fungsi vasomotor arteri dan resistensi arteri penyuplai kolateral.

Karena kurangnya spesimen jaringan, peran pelatihan olahraga pada


pembentukan morfologis kolateral di luar fungsional koroner atau respons kolateral
masih belum dipahami. Enam puluh tahun setelah pekerjaan penting Eckstein pada
anjing, studi hewan besar di masa depan yang menggabungkan penilaian hemodinamik
terperinci dari aliran koroner in vivo dengan analisis jaringan yang mendalam sangat
diperlukan untuk memberikan pemahaman mengenai kolateralisasi yang diinduksi oleh
olahraga.

• Mekanisme 3 : regresi stenosis koroner

Sejauh ini, 3 uji klinis acak telah menilai dampak pelatihan olahraga pada
regresi stenosis koroner secara angiografis.

Dalam Lifestyle Heart Trial, intervensi multifaktorial yang berlangsung 1 tahun


yang mencakup 3 jam pelatihan olahraga per minggu menginduksi regresi 3,1% pada
stenosis koroner yang dikaitkan dengan penurunan tingkat kejadian kardiovaskular.
Sebaliknya, kelompok kontrol yang tidak aktif secara fisik ditandai oleh perkembangan
stenosis koroner sebesar 11,8%. Meskipun 195 lesi arteri koroner dianalisis dalam
percobaan ini dengan angiografi koroner kuantitatif, penelitian ini terbatas dalam
jumlah pasien yang dievaluasi (kelompok intervensi: n = 22; kelompok kontrol: n =
19); satu pasien meninggal selama masa studi, dan beberapa angiogram hilang. Namun,
Stanford Coronary Risk Intervention Project, yang merupakan penelitian dengan
pendekatan multifaktorial diet rendah lemak, berhenti merokok, pelatihan manajemen
stres, dan pelatihan olahraga sedang, mengurangi tingkat kejadian kardiovaskular di
145 pasien dari kelompok intervensi sebesar 49% dalam waktu 4 tahun masa tindak
lanjut. Hal ini juga menyebabkan progresifitas penyempitan aterosklerotik koroner
melambat, dengan pengurangan diameter lumen koroner sebesar 0,024 mm / tahun di

22
area target, sedangkan penurunan 0,045 mm terlihat pada kelompok kontrol (n = 155).
Dalam Heidelberg Regression Study, regresi lesi koroner setelah 1 tahun hanya terbukti
pada pasien yang mengeluarkan >9228 kJ / minggu saat berolahraga. Akhirnya,
penghentian perkembangan CAD terbukti pada 90% pasien dalam kelompok pelatihan,
dengan peningkatan rata-rata diameter stenosis minimal 0,02 mm pada kelompok
pelatihan dibandingkan dengan diameter 0,15 mm pada kelompok kontrol.

Dalam beberapa tahun terakhir, teknik USG intravaskular yang lebih akurat
telah digunakan untuk menguji hipotesis regresi plak koroner yang berhubungan
dengan olahraga. Namun, beberapa keterbatasan menghambat signifikansi penelitian
ini.

Sixt et al secara invasif mengevaluasi dampak pelatihan olahraga dengan


kombinasi diet hipokalori dan perawatan medis yang dioptimalkan terhadap fungsi
endotel koroner dan beban plak intramural dari lesi aterosklerotik nonsignifikan pada
pasien dengan CAD dengan diabetes tipe 2. Metabolisme glukosa dan fungsi endotel
koroner membaik setelah 6 bulan intervensi, sedangkan beban plak tidak berubah.
Namun, ukuran sampel (11 berbanding 12 pasien) kecil. Beban plak aterosklerotik
hanya dievaluasi dalam pembuluh darah target untuk pengujian fungsi endotel dengan
stenosis yang tidak signifikan (<25% penyempitan lumen), meskipun semua pasien
memiliki CAD yang signifikan dengan setidaknya 1 stenosis koroner ≥50% di arteri
koroner yang berbeda. Evaluasi tambahan dari lesi yang signifikan ini akan
memperkuat uji coba ini. Tani et al melaporkan sebanyak 12,9% penurunan volume
plak koroner dalam kelompok non-acak dari 84 pasien Jepang dengan CAD setelah 6
bulan kombinasi terapi statin dan modifikasi gaya hidup yang terdiri dari kuliah 1 jam
tentang konseling diet, berhenti merokok, manajemen berat badan, dan aktivitas fisik.
Modifikasi gaya hidup dinilai oleh kuesioner dengan fokus khusus pada olahraga
harian, manajemen berat badan, dan status merokok. Analisis regresi multivariat
mengungkapkan bahwa modifikasi gaya hidup secara independen memprediksi regresi
plak, yang membuat peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan aktivitas fisik dapat

23
memainkan peran penting. Namun, perubahan aktivitas fisik dari waktu ke waktu tidak
dilaporkan dan tidak berkorelasi dengan regresi plak, terlepas dari faktor gaya hidup
lainnya. Lebih lanjut, pengujian latihan kardiopulmoner untuk mendokumentasikan
perubahan yang berhubungan dengan olahraga dari waktu ke waktu tidak dilakukan.
Oleh karena itu, penelitian ini paling banyak menghasilkan hipotesis. Sebuah uji coba
acak kecil dari Norwegia menguji hipotesis bahwa high-intensity interval training (HIT)
aerobik lebih efektif menginduksi regresi beban plak yang ditentukan melalui USG
intravaskular dibandingkan dengan moderate continuous training (MCT). Induksi
shear stress endotel yang lebih tinggi selama interval pelatihan berulang pada intensitas
submaksimal mungkin memperkuat keunggulan mode pelatihan ini. Setelah 12 minggu
latihan, perubahan beban plak tidak berbeda antara kelompok. Regresi stenosis tidak
dapat ditunjukkan pada kelompok mana pun. Bahkan jika semua pasien dianalisis
terlepas dari tugas kelompok, penurunan 10,7% dalam beban plak dari waktu ke waktu
tidak signifikan secara statistik (P = 0,06). Karena adanya kelompok kontrol yang
hilang, hasil ini mungkin dikacaukan oleh bias pengamatan atau perubahan. dalam
terapi medis, terutama dalam pengobatan statin. Mengingat bahwa perubahan
morfologis dalam CAD lebih sulit untuk berubah daripada perubahan fungsional
(misalnya, dari endotelium), pelatihan olahraga 12 minggu mungkin terlalu singkat
untuk mengharapkan dampak pada struktur dinding pembuluh darah. Dalam studi
jangka panjang oleh Nytroen dan rekan kerjanya, HIT juga digunakan untuk
mengevaluasi dampak dari 1 tahun pelatihan olahraga terhadap volume atheroma
dalam kelompok penerima transplantasi jantung. Analisis ultrasonografi intravaskular
mengungkapkan peningkatan rata-rata yang lebih kecil dalam volume ateroma 0,9%
dengan HIT dibandingkan dengan 2,5% pada kelompok kontrol. Meskipun penanda
inflamasi dalam sirkulasi (protein C-reaktif dan interleukin 6, 8, dan 10) tidak berubah
dengan HIT, mekanisme imunologis yang memperlambat perkembangan penyakit
aterosklerotik pada kelompok pasien ini tidak dapat dikesampingkan.

24
Meskipun ada data yang bertentangan, tingkat regresi stenosis koroner
tampaknya hampir dapat diabaikan dan kemungkinan besar tidak menjelaskan
peningkatan besar-besaran dalam perfusi miokard sebagai respon terhadap latihan
olahraga pada pasien dengan CAD.

• Mekanisme 4 : vaskulogenesis

Pada tikus dan babi, transplantasi CPC setelah infark miokard eksperimental
dikaitkan dengan peningkatan kapilerisasi area infark dan zona perbatasan dan
meningkatkan perfusi dan fungsi miokard. Pada manusia, Sandri dan rekan kerjanya
mampu menunjukkan bahwa latihan olahraga selama 4 minggu meningkatkan ekspresi
CXCR4 pada permukaan CPC, yang memediasi masuknya CPC ke dalam struktur
pembuluh darah. Selain itu, pelatihan olahraga meningkatkan kapasitas fungsional
CPC pada pasien dengan CAD, yang sangat penting untuk pembentukan struktur
pembuluh darah baru melalui vaskulogenesis. Namun, peneliti gagal untuk
menentukan pengaruh intervensi pelatihan olahraga pada jumlah CPC dalam penelitian
ini. Sebaliknya, Laufs dan rekan kerjanya menjelaskan pelatihan dapat meningkatkan
peningkatan jumlah CPC pada manusia dengan CAD dan pada tikus. Temuan ini
konsisten dengan hipotesis bahwa pelatihan olahraga dapat meremajakan vaskular
yang rusak melalui mobilisasi dan aktivasi CPC, sehingga mengarah ke peningkatan
perfusi miokard. Pelatihan olahraga pada pasien dengan gagal jantung terbukti
meningkatkan jumlah dan kapasitas fungsional CPC yang dikaitkan dengan
peningkatan fungsi endotel dan densitas kapiler otot skeletal. Namun, hingga saat ini,
studi klinis yang menilai dampak pelatihan olahraga pada CPC masih kurang karena
adanya kekhawatiran etika terkait pengambilan sampel jaringan miokard. Namun
demikian, studi lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi masalah ini secara rinci.

25
• Mekanisme 5 : penurunan aktivasi platelet

Peradangan pembuluh darah yang melibatkan aktivasi trombosit, leukosit, dan


sel-sel endotel adalah fitur awal dari proses penyakit aterosklerotik. Tingkat shear
stress yang tinggi mendorong pengetatan kontak antara trombosit dan endotelium yang
awalnya longgar oleh molekul adhesi P-selectin, yang berpuncak pada aktivasi
trombosit. Trombosit melepaskan molekul peradangan dan mitogenik (misalnya,
interleukin dan kemokin) yang memfasilitasi adhesi leukosit dan monosit ke
endotelium. Setelah transmigrasi ke lapisan endotel, sel-sel tersebut akan dibedakan
menjadi sel busa dan melanggengkan proses inflamasi di dalam plak aterosklerotik.
Aktivitas fisik intensif jangka pendek pada subyek sehat yang tidak terlatih diketahui
dapat meningkatkan aktivitas dan reaktivitas platelet serta jumlah agregat trombosit-
leukosit. Pada pasien dengan CAD, bahkan latihan fisik yang rendah telah terbukti
secara sementara meningkatkan agregasi trombosit, yang dapat menyebabkan oklusi
koroner dalam kasus ruptur plak. Scalone et al menunjukkan bahwa episode singkat
iskemia miokard pada pasien dengan gejala CAD (diinduksi oleh latihan fisik dengan
beban kerja rendah dan berhenti pada 1-mm ST-segment depression) dapat melindungi
pasien-pasien ini dari peningkatan reaktivitas trombosit dalam tes stres latihan
maksimum berikutnya. Pengkondisian iskemik lengan atas jarak jauh menghasilkan
efek perlindungan yang sebanding pada reaktivitas trombosit. Berbeda dengan
olahraga jangka pendek, aktivitas fisik reguler dapat mengurangi reaktivitas trombosit
dan jumlah agregat trombosit-leukosit pada subjek sehat dan pada orang-orang dengan
CAD, yang konsisten dengan efek vasoprotektif dan antiaterosklerotik dari intervensi
latihan olahraga. Namun, uji coba terkontrol acak tambahan diperlukan untuk
menentukan dampak klinis dari temuan ini.

26
Latihan yang Direkomendasikan

Pedoman internasional, seperti European guidelines on cardiovascular disease


prevention in clinical practice (diterbitkan pada 2016), dengan jelas
merekomendasikan pelatihan olahraga teratur sebagai pencegahan dan pengobatan
CAD. Secara umum, latihan ketahanan >150 menit per minggu pada tingkat sedang
untuk intensitas yang kuat, dengan pengeluaran energi total 1000 hingga 2000 kkal
atau >75 menit pada intensitas yang kuat, yang idealnya dilakukan selama 3 hingga 5
hari, direkomendasikan. Latihan olahraga harus dimulai pada intensitas yang rendah
dan meningkat secara bertahap dari waktu ke waktu. Latihan ketahanan harus
dilengkapi dengan latihan resistan 2 kali per minggu dengan intensitas sedang. Dengan
bukti bahwa kebugaran kardiorespirasi merupakan prediktor mortalitas yang lebih baik
daripada aktivitas fisik, diperkirakan bahwa sejumlah latihan diperlukan untuk
meningkatkan kebugaran dan dengan demikian mencapai manfaat kesehatan apa pun,
dengan intensitas olahraga yang lebih penting daripada durasi. Namun, ambang batas
yang direkomendasikan untuk aktivitas fisik minimum tidak dapat dicapai oleh banyak
subjek dengan keterbatasan mobilitas. Frith dan Loprinzi menunjukkan bahwa durasi
aktivitas fisik dengan intensitas ringan pada pasien-pasien ini masih berhubungan
terbalik dengan semua penyebab kematian, dengan pengurangan 14% untuk setiap 60
menit aktivitas per hari. Warburton dan Bredin baru-baru ini menunjukkan, dalam
meta-analisis dari 16 ulasan sistematis, bahwa hubungan antara aktivitas fisik dan
manfaat kesehatan adalah kurvilinier, dengan manfaat terbesar didapatkan pada
aktivitas fisik volume kecil dan pengurangan manfaat pada aktivitas fisik volume tinggi.
Mereka tidak menemukan bukti untuk ambang batas tertentu dari aktivitas fisik untuk
terjadinya manfaat kesehatan apa pun. Para penulis mencatat bahwa ambang batas yang
digunakan dalam banyak pedoman, dengan rekomendasi aktivitas fisik >150 menit,
tidak didasarkan pada bukti dan bahkan mungkin mewakili penghalang untuk hidup
sehat bagi orang-orang yang tidak berusaha mencapai ambang ini. Namun, orang-orang
ini adalah orang-orang yang secara khusus sangat diuntungkan oleh aktivitas fisik rutin

27
ketika berpindah dari keadaan tidak aktif ke keadaan lebih aktif. Meskipun demikian,
ulasan ini kembali mendukung temuan manfaat kesehatan yang lebih besar dengan
volume aktivitas fisik dan tingkat kebugaran yang lebih tinggi.

Meskipun latihan intensitas submaksimal secara teratur digunakan pada atlet


yang sehat untuk mengoptimalkan hasil pelatihan, intensitas latihan yang tinggi
dihindari pada pasien selama beberapa tahun karena masalah keamanan (misalnya,
komplikasi ortopedi atau kardiovaskular), seperti gangguan irama, infark miokard, dan
gagal jantung akut. Namun demikian, Moholdt et al menemukan dampak positif kecil
dari intensitas latihan yang lebih tinggi di luar volume olahraga pada mortalitas dalam
data epidemiologis dari pasien dengan CAD. Dalam beberapa tahun terakhir, efek
pengobatan HIT, yang terdiri dari latihan intensitas rendah dengan kombinasi latihan
intensitas tinggi dengan 90% hingga 95% dari denyut jantung puncak, diuji secara
prospektif pada populasi pasien yang berbeda. Bertolak belakang dengan hasil yang
menjanjikan dari percobaan yang lebih kecil, SAINTEX-CAD (Study on Aerobic
Interval Exercise Training in CAD Patients) gagal menunjukkan peningkatan
tambahan dalam ambilan oksigen puncak dan fungsi endotel dengan HIT dibandingkan
dengan MCT pada pasien dengan CAD. Pada pasien dengan gagal jantung, HIT tidak
dikaitkan dengan penambahan remodeling ventrikel kiri atau ambilan oksigen puncak
dibandingkan dengan MCT dalam percobaan SMARTEX-HF (Study of Myocardial
Recovery After Exercise Training in Heart Failure). Kedua uji coba multisenter
tersebut menunjukkan bahwa HIT hampir tidak mungkin dilakukan karena banyak
pasien tidak mencapai target denyut jantung selama HIT meskipun terdapat kepatuhan
yang tinggi terhadap pelatihan. Sebuah meta-analisis studi terbaru yang
membandingkan HIT dan MCT pada pasien dengan CAD menegaskan kesetaraan
modalitas latihan ini dalam mencapai ambilan oksigen puncak, setidaknya ketika
pelatihan olahraga antar kelompok bersifat isokalorik. Oleh karena itu, para penulis
berspekulasi bahwa energi total yang dihabiskan untuk latihan olahraga lebih penting
untuk meningkatkan ambilan oksigen puncak daripada intensitas latihan. Jumlah efek

28
samping serius pada HIT rendah dan tidak berbeda dengan MCT pada pasien dengan
CAD. Pada pasien dengan gagal jantung, efek samping serius secara numerik lebih
tinggi dengan HIT dibandingkan dengan MCT. Temuan ini dan hubungan infark
miokard, perlunya intervensi koroner, dan mortalitas pada pasien dengan CAD dengan
durasi atau intensitas sesi latihan, meskipun temuan ini kontroversial, harus mendapat
perhatian dalam uji coba di masa depan.

Namun demikian, jenis latihan, frekuensi, intensitas, durasi sesi (parameter ini
dapat diringkas sebagai volume [misalnya, dalam metabolik ekuivalen yang setara per
minggu]), dan durasi program yang paling efisien masih belum diketahui karena latihan
yang digunakan dalam berbagai uji klinis berbeda-beda. Banyaknya kemungkinan
kombinasi membuat rekomendasi mutlak sulit untuk ditentukan dalam setiap situasi.
Selain itu, tujuan yang berbeda, tergantung pada kebutuhan pasien (pencegahan primer,
pengobatan faktor risiko, seperti obesitas, hipertensi, atau diabetes mellitus, atau
pengobatan CAD), mungkin memerlukan rekomendasi latihan yang dirancang secara
individual. The European Association of Preventive Cardiology baru-baru ini memiliki
tujuan untuk meningkatkan rekomendasi olahraga pada pasien dengan faktor risiko
CAD (diabetes mellitus tipe 1 dan 2, obesitas, hipertensi, dan hiperkolesterolemia) atau
CAD yang jelas berdasarkan bukti saat ini. Oleh karena itu, Exercise Prescription in
Everyday Praxis and Rehabilitative Training Tool, sebuah sistem interaktif, pelatihan
digital, dan sistem pendukung keputusan, dirancang untuk membantu para profesional
kesehatan merekomendasikan program pelatihan olahraga yang efektif dan aman untuk
pasien dengan CAD (risiko). Alat ini mungkin memiliki dampak besar pada
implementasi pedoman saat ini tentang latihan olahraga pada CAD, yang tidak
memadai hingga saat ini, dan mungkin mengarah pada pengumpulan data tentang
latihan olahraga dalam praktik klinis.

Abell et al baru-baru ini mengkaji kontribusi komponen pelatihan olahraga


individu terhadap hasil klinis dalam uji coba acak rehabilitasi jantung dan kepatuhan
terhadap olahraga yang direkomendasikan, bukan intensitas latihan, durasi sesi, atau

29
frekuensi, sebagai prediktor mortalitas. Hasil ini juga ditemukan dalam analisis jangka
panjang dari 435 peserta rehabilitasi jantung di Leeds, UK. Meskipun temuan ini
mungkin bias oleh "efek kepatuhan yang sehat," studi ini menggarisbawahi kebutuhan
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dan kepatuhan jangka panjang untuk melakukan
latihan yang direkomendasikan.

Sebagai kesimpulan, tampaknya hal yang paling penting adalah untuk


mengganti sedentary behavior dengan beberapa aktivitas fisik (misalnya, 5 hingga 10
menit aktivitas moderat per hari). Di mana pun berlaku, volume yang lebih tinggi
direkomendasikan. Memenuhi rekomendasi pedoman saat ini dari >150 menit aktivitas
sedang hingga kuat per minggu untuk mendekati pengurangan risiko optimal yang
terlihat pada 3 hingga 5 kali rekomendasi dapat dicapai. Pelatihan intensitas olahraga
tinggi merupakan pilihan, terutama bagi individu yang tertarik menghemat waktu.

Perspektif

Dalam pendekatan berbasis populasi, sangat penting untuk meningkatkan


aktivitas fisik harian di semua kelompok umur untuk mengatasi kesehatan jantung dan
mengurangi beban penyakit di sebagian besar masyarakat. Ini adalah dilema bahwa
kesuksesan abad yang lalu dalam meningkatkan akses ke makanan berkalori tinggi dan
harga murah untuk mengatasi kekurangan gizi, di satu sisi, dan menawarkan
transportasi bermotor ke hampir semua tempat, termasuk lift dan eskalator, untuk
memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, di samping
keterbatasan fisik atau cacat, di sisi lain, mempromosikan gaya hidup dan obesitas.
Dengan demikian, dianjurkan untuk memulai pendidikan aktivitas fisik di awal masa
kanak-kanak. Percobaan acak dari pelajaran olahraga sehari-hari di sekolah
dibandingkan dengan olahraga sekolah biasa dua kali seminggu terbukti meningkatkan
kebugaran kardiovaskular dan mencegah obesitas dan mendukung rekomendasi
aktivitas fisik kelas reguler dan pelajaran olahraga. Komuter aktif ke sekolah atau

30
tempat kerja harus didorong dengan kuat, bersama dengan naik tangga alih-alih
menggunakan elevator atau eskalator. Pembuat kebijakan, perencana kota, arsitek, dan
pengusaha diminta untuk menyediakan akses mudah ke jalan setapak, jalur sepeda, dan
tangga dan untuk menciptakan lingkungan dengan daya tarik tinggi untuk aktivitas fisik.

Pada tingkat individu, intervensi promosi kesehatan terkait tempat kerja


menjangkau sebagian besar populasi dan dapat dengan mudah mengidentifikasi orang
dengan faktor gaya hidup yang merugikan. Keefektifan intervensi semacam itu banyak
diperdebatkan, terutama karena tingkat partisipasi yang rendah. Percobaan berkualitas
tinggi dari intervensi gaya hidup multimodal terkait tempat kerja pada karyawan yang
berisiko terhadap penyakit kardiovaskular saat ini sedang dilakukan dan akan
memberikan informasi lebih lanjut. Insentif keuangan individu dari pengasuh atau
pengusaha untuk berpartisipasi dalam program latihan atau untuk pencapaian tujuan
aktivitas fisik (misalnya, 10.000 langkah/hari) tampaknya menjadi strategi yang efektif
untuk mendorong orang ke arah lebih banyak kegiatan dan perlu dievaluasi lebih lanjut.

Saat ini, kontrol faktor risiko dalam pencegahan sekunder sebagian besar tidak
mencukupi. Seperti diuraikan sebelumnya, hal tersebut merupakan relevansi
prognostik untuk mencapai partisipasi jangka panjang dalam latihan teratur dan kontrol
faktor risiko. Uji coba IPP (Intensive Intervention Program) yang sedang berlangsung
mengevaluasi dampak dari program pencegahan yang dikoordinasi penelitian
perawatan yang terdiri dari sesi pendidikan terstruktur dalam kombinasi dengan
panggilan telepon reguler dan perawatan telemetri pada kontrol faktor risiko selama 1
tahun follow-up pada pasien setelah infark miokard akut (URL:
http://www.clinicaltrials.gov Identifikasi unik: NCT01896765). Program
telerehabilitasi berbasis internet, selain program rehabilitasi berbasis pusat, pada pasien
kardiovaskular dari Belgia, dengan telemonitor data akselerometer dan telecoaching
semi-otomatis, telah menunjukkan efek yang lebih besar pada kapasitas aerobik dan
daya tahan yang lebih tinggi dari efek perawatan setelah > 2 tahun dibandingkan
dengan hanya rehabilitasi berbasis pusat. Skobel et al juga melaporkan efek pelatihan

31
yang lebih besar dengan umpan balik berbasis smartphone pada pasien dengan CAD,
tetapi masalah teknis harus diatasi sebelum penggunaan klinis rutin. Temuan menarik
lainnya datang dari studi RESPONSE -2 (Randomised Evaluation of Secondary
Prevention by Outpatient Nurse Specialists 2), yang mempelajari dampak rujukan yang
dikoordinir perawat untuk program gaya hidup berbasis masyarakat untuk
mengendalikan merokok, kelebihan berat badan, dan aktivitas fisik. Partisipasi dari
mitra pasien dikaitkan dengan tingkat keberhasilan yang jauh lebih besar secara
signifikan. Dengan demikian, kontak tatap muka secara teratur dengan perawat dan
dokter spesialis dalam kombinasi dengan sistem telemonitoring dan masuknya mitra
dapat membantu mengubah program rehabilitasi ini menjadi perubahan gaya hidup
jangka panjang yang luar biasa dan peningkatan prognosis.

Kesimpulan

Sebagai hasil dari serangkaian studi epidemiologis, dapat disimpulkan bahwa


aktivitas fisik pada waktu luang efektif dalam pencegahan primer penyakit
kardiovaskular, dengan hubungan doseresponse yang mengarah pada pengurangan 20%
pada kejadian kardiovaskular dan peningkatan harapan hidup 5 tahun. Dalam hal ini,
kebugaran kardiovaskular yang tinggi sebagai akibat dari tingkat aktivitas yang kuat
tampaknya lebih penting daripada total waktu aktivitas. Remodeling pembuluh darah
di jantung yang sehat sebagai respons terhadap latihan olahraga terdiri dari peningkatan
ukuran, resistensi arteri dan arteriol dan lebih banyak kapiler, yang meningkatkan
suplai darah arteri.

Pada pencegahan sekunder, latihan olah raga dapat meningkatkan fungsi


endotel dan menghentikan perkembangan stenosis koroner, sebagian melalui efek
antiaterosklerotik pada trombosit dan leukosit. Vaskulogenesis di tingkat kapiler, yang
diinduksi oleh CPC, dan pembentukan kolateral di tingkat pembuluh darah kecil dapat
lebih meningkatkan perfusi miokard sebagai respon terhadap pelatihan olahraga.

32
Dalam hubungannya dengan pengurangan yang berhubungan dengan bradikardia
dalam permintaan oksigen miokard, peningkatan perfusi miokard meningkatkan
ambang tingkat aktivitas bebas angina, menjadikan latihan olahraga sebagai
pendekatan terapi simptomatik yang manjur. Selain itu, penelitian intervensi secara
meyakinkan menunjukkan bahwa latihan olahraga mengurangi tingkat kejadian
kardiovaskular pada pasien dengan CAD dan mengurangi angka kematian.

Oleh karena itu, wawasan ilmiah terkini tentang efek pencegahan utama dari
latihan olahraga harus berdampak pada keputusan publik dan politik untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas fisik sehari-hari. Di sisi lain,
penelitian tambahan diperlukan untuk lebih memahami efek pelatihan olahraga secara
rinci untuk membangun program pelatihan yang dioptimalkan sebagai komponen yang
melekat dari terapi CAD.

III. ANALISIS JURNAL

Kelebihan Jurnal

• Judul disampaikan secara informatif dan ringkas sesuai dengan isi dari tinjauan
yang dibahas
• Latar belakang dan tujuan dari jurnal ini dijabarkan secara jelas
• Jurnal ini menyertakan berbagai gambar yang mengilustrasikan pembahasan
yang diuraikan dalam tinjauan ini sehingga dapat membantu pembaca dalam
memahami pembahasan yang diberikan
• Jurnal ini didukung oleh berbagai penelitian yang relevan dalam memberikan
pembahasan
• Jurnal ini disusun secara sistematis sehingga memudahkan pembaca
• Jurnal ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan penambah wawasan
untuk penelitian selanjutnya dan bagi tenaga kesehatan terkait

33
Kekurangan Jurnal

• Jurnal ini tidak dilengkapi dengan bagian abstrak


• Jurnal ini tidak menjelaskan secara rinci mengenai metode pencarian jurnal
serta kriteria inklusi dan eksklusi jurnal yang digunakan
• Terdapat beberapa jurnal acuan yang bukan merupakan jurnal dengan tahun
terbit terbaru

IV. CRITICAL APPRAISAL

A. Apakah Hasil dari Review Valid?


1. Apakah jawaban Ya (√)
pertanyaan yang Peneliti memberikan pembahasan mengenai efek
dicari penulis dan manfaat aktivitas fisik terhadap pembuluh darah
terjawab dalam dalam pencegahan primer dan sekunder CAD serta
tinjauan ini? jenis aktivitas fisik yang direkomendasikan
2. Apakah penelitian- Ya (√)
penelitian relevan
Penelitian ini mengumpulkan data melalui literatur
digunakan dalam
review yang terpublikasi dan guidelines pengobatan
penelitian ini?
yang relevan

3. Apakah terdapat Tidak (X)


kriteria dalam Tidak dijelaskan secara rinci kriteria inklusi dan
memilih artikel yang eksklusi dari jurnal yang digunakan.
akan digunakan?
4. Apakah studi yang Ya(√)
digunakan dapat

34
menjawab Berbagai studi yang digunakan dalam tinjauan ini
pertanyaan yang membantu peneliti menjawab pertanyaan mengenai
dicari penulis dalam efek dan manfaat aktivitas fisik terhadap pembuluh
tinjauan ini? darah dalam pencegahan primer dan sekunder CAD
serta jenis aktivitas fisik yang direkomendasikan
5. Apakah studi-studi Tidak (X)
tersebut memiliki Berbagai studi yang digunakan dalam tinjauan ini
hasil yang sama? memiliki hasil yang saling mendukung dan terdapat
pula studi-studi yang bertentang yang mana seluruh
studi tersebut telah dijabarkan oleh peneliti dalam
tinjauan ini berikut kemungkinan alasan mengapa
didapatkan hasil yang berbeda antar studi
B. Apa hasil studi ini?
Dari studi ini didapatkan hasil bahwa aktivitas fisik pada waktu luang
efektif dalam pencegahan primer dan sekunder pada CAD. Sebagai pencegahan
primer, aktivitas fisik dapat mengurangi 20% pada kejadian kardiovaskular dan
peningkatan harapan hidup 5 tahun melalui efek remodeling pembuluh darah di
jantung sehingga dapat meningkatkan suplai darah arteri. Sementara sebagai
pencegahan sekunder, aktivitas fisik dapat menjadi terapi simptomatik yang
manjur, meningkatkan ambang tingkat aktivitas bebas angina, mengurangi
tingkat kejadian kardiovaskular pada pasien dengan CAD dan mengurangi angka
kematian melalui efeknya dalam meningkatkan fungsi endotel dan menghentikan
perkembangan stenosis koroner, vaskulogenesis dan pembentukan kolateral
pembuluh darah. Dalam hal ini, kebugaran kardiovaskular yang tinggi sebagai
akibat dari tingkat aktivitas yang kuat tampaknya lebih penting daripada total
waktu aktivitas.

35
C. Apakah hasil studi bisa di aplikasikan ke masyarakat?
Apakah populasi didalam studi sama Iya (√)
dengan populasi ditempat saya? populasi didalam studi sama dengan
populasi ditempat saya
Apakah hasil studi bisa digunakan Ya (√)
untuk konseling pasien saya? Penerapan hasil studi dapat diaplikasikan
secara umum di Indonesia terkait
pencegahan primer dan sekunder CAD
Kesimpulan
Hasil atau rekomendasi adalah Valid Ya (√)
(form A)
Hasil bermanfaat secara klinis (form Ya (√)
B)
Hasil relevan dengan praktek nyata Ya (√)
(form C)

V. DAFTAR PUSTAKA

Winzer, E. B., Woitek, F., dan Linke, A. Physical Activity in the Prevention and
Treatment of Coronary Artery Disease. Journal of The American Heart
Association. 2018. Vol. 7.

36

Anda mungkin juga menyukai