Anda di halaman 1dari 28

Nama : Azalia Ovita Sari

NIM : 30101800035

Kelompok : SGD 10

Modul : Sistem Saraf

Step 1

1. Glasgow coma scale (GCS):


- Skala neurologis yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran seseorang
setelah mengalami cedera kepala biasanya dilakukan untuk trauma akut. Punya 3
elemen penilaian , yang pertama respon mata, respon verbal dan respon motorik .
2. Pupil isokor diameter 2 mm :
- Ukuran pupil yang sama besar (kanan dan kiri sama) , diameter 2 mm itu normal .
- Kalau trauma akan menyebabka anisokor

Step 2

1. Bagaimana struktur anatomi dan fisiologi pengatur sistem kesadaran?


2. Apa yang menyebabkan pasien pingsan 10 menit, sadar dan kemudian pingsan
kembali?
3. Bagaimana cara penilaian dari GCS?
4. Apakah ada hubungannya kasus pada skenario dengan nafas bau alkhohol?
5. Apakah ada hubungan antara TTV dengan penurunan kesadaran?
6. Apa pemeriksaan fisik , pemeriksaan penunjang dan interpretasi pemeriksaan pada
kasus diskenario?
7. Apa diagnosis dan diagnosis banding pada kasus diskenario?
8. Apa saja manifestasi dari kasus diskenario?
9. Apa etiologi dan faktor resiko dari kasus diskenario?
10. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari kasus diskenario?
11. Bagaimana tatalaksana pada kasus diskenario?
12. Apa saja komplikasi dari kasus diskenario?

Step 3

1. Bagaimana struktur anatomi dan fisiologi pengatur sistem kesadaran?


Pengaturan sistem kesadaran oleh ARAS.
Formatio raticular : terbentang dari medula oblongata ,sama thalamus
Jika ada rangsangan di midbrain akan membangkitkan dr gel. Beta. Lalu akan sadar.
Jika ada lesi di formatio yang di midbrain akan menyebabkan stadium koma.
Formatio akan merangsang ARAS. Akan menuju ke forebrain.
Dalam keadaan normal, sinyal sensorik akan merangsang ARAS dan menstimulasi
cabang axon, ...
Aras punya neurotransmitter.
ARAS merupakan bagian dari formatio reticular untuk kesadaran .

-Aliran cairan cerebrospinal :


Diproduksi oleh pexus coroid-menuju ke ventrikel ke 3 melalui foramen
interventrikular- ventrikel ke 4- foramen lateral dan medial- ruang subarachnoid-
cairannya ke superior hingga ke inferior cerebri- absorbsi fili(sinus venosus)-
membentuk granulasi arachnoid- absorbsi sinus venosus kalau tek lcs lebih tinggi dr
sinus venosus- fili2 tertutup (shg bisa menghindari reflux) .

2. Apa yang menyebabkan pasien pingsan 10 menit, sadar dan kemudian pingsan
kembali?
Terjadi karena edem TIK  tek. Inter kranial meningkattek perfusi otak
Kemungkinan terjadi trauma capitis bisa jadi karena pingsannya hanya sebentar.
Terjadi peregangan dan blokade

Kecelakaan – trauma- pingsan sebentar- sistem aras menentukan dari


kesadaran,regangan mendadak (blokade) harusnya input afferen shg bisa pingsan.
Bisa bangkit lagi karna blokadenya hilang . dicurigai pingsan lagi karna sudah ada
kerusakan pada jaringannya.

Pningkatan TIK-Kompensasi (ngurangin vol darah) sehingga TIK bisa balik seperti
semula.
Misalkan terjadi trauma capitis- meninggi sec cepat- kompensasi gabs ngimbangin-
Tek + dan - . bisa mengakibatkan indentasi. Berbentuk cekung sejenak di area
impact(area kena benturan ) dan bisa balik lagi.
Blokade sifatnya reversible dan irreversible (bisaa sampe meninggal)
Trauma 4
Pingsan sebentar
Pingsan beberapa jam
Pingsan lama, sadar da menunjukan defisit neurologi
Pingsan dan bisa meninggal

3. Bagaimana cara penilaian dari GCS?


Kuantitatif : GCS
E ada 4 nilai (4: spontan, 3: buka mat.. 2: diberirangsang nyeri, 1: tidak ada respon
Motorik : ada 6
- 6 : langsung menanggapi, 5: perlu diberi rangsang nyeri mis supraorbital, 4:
3:felksi abnormal.. 2: ekstensi abnormal 1:tidak ada respon

Verbal : ada 5 nilai

- 5: bisa menjawab normal dan nyambung (benar) , 4: bicaranya agak bingung , 3:


kata2nya tidak beraturan (jika ditanya dijawab dengan yang lain), 2: , 1: tidak ada
respon

E4E6V5 : 15

Buruk : E1M1V1

-Tingkat cedera

Cedera kep. Ringan : 13-15 , kur 30 menit, Pingsan kurang dari 20 menit

Cedera kep. Sedang : 9-12 ,

Ced. Kep berat : 3-8 , hilang kesadaran >24 jam (Pingsan sampe 6 jam)

4. Apakah ada hubungannya kasus pada skenario dengan nafas bau alkhohol?
Hubungannya dengan pemicu trauma. Karna mungkin alkhohol bisa menurunkan
fokus kesadaran tubuh.
5. Apakah ada hubungan antara TTV dengan penurunan kesadaran?
Yang berpengaruh di tekanan darah : Tek darah meningkat mempengaruhi sel.bagian
menyeabkan TIK meningkat juga – vol darah dimana mempengaruhi TIK .
Sistolik cenderung menurun
Seseorang bisa menerima penurunan kesadaran jika turunnya suplai darah di ARAS,
pingsan berawal dari kecenderungan berkumpulnya darah dibawah, ... darah ke
jantung berkurang- sistole turun
6. Apa pemeriksaan fisik , pemeriksaan penunjang dan interpretasi pemeriksaan pada
kasus diskenario?
Interpretasi
GCS : e2m2v2 :
E2: respon membuka matanya dengan respon nyeri
M2: dapat melakukan ekstensi yang abnormal
V2: suaranya mengerang
TD: Normal
HR: takikardi
Rr : takipneu
T: Normal
Pupil isokor : normal
Refleks cahaya +: normal
Nafas tdk bau alkhohol : penurunan bukan karna alkhohol

Pemeriksaan penunjang :
- CT scan kranial
- Radiografi kranium
- Angiografi cerebral
- Pungsi lumbal : u/ menegakan perdarahan dr subarachnoid, /tek lcs
- Pneumogram : untuk memperlihatkan dilatasiventrikel akibat cederan kepala

7. Apa diagnosis dan diagnosis banding pada kasus diskenario?

Dx: Penurunan kesadaran et trauma capitis

Dd:
- Penurunan kesadaran et trauma capitis
(laserasi cerebri, kompusio cerebri,comosio cerebri)
Laserasi : adanya frakttur
kompusio cerebri : Kerusakan pada jaringan otak dengan def. Neurologis
comosio cerebri : Tidak ada jar. Otak yang rusak, (pingsannya 10 menit)
- infeksi (harus disertai dengan demam) mis meningitis
- ecquired brain injury : paparan zat beracun ,tumor, peny. Neurologis, infeksi,
penyalahgunaan dr obat-obatan

8. Apa saja manifestasi dari kasus diskenario?


Trauma capitis
- Fraktur : perdarahan TIK, ekimosis periorbital, ekimosis retroaurikuler,
mengeluarkan cairan dr hidung dan telinga, terganggunya n.7
- Lesi divus :
- Lesi fokal : hematointrakranial (perdarahan di epidural/ektradural)
Hematomepidural : sakit kepala berat, muntah , kejang,
Hematom subdural : penurunan tingk. Kesadran yang membruk sec perlahan.
Hematom intraparenkim :

9. Apa etiologi dan faktor resiko dari kasus diskenario?


Etiologi : benturn keras mengenai kepala
- Kecelakaan lalu lintas
- Cedera saat olahraga
- Pukulan KDRT

Trauma
- Kecelakaan , kekerasan fisik
Non trauma
- Gangguan metabolik, iskhemik global, tumor otak

Bedasarkan lokasi ->


Intrakranial bisa fokal (sebagian) bisa karna stroke,trauma. difus (seluruh) : hiv ,
Ekstrakranial : hipoksia, hipoglikemi, hipertensi
Faktor resiko
- Usia : bayi dan lansia

10. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari kasus diskenario?


Patogenesis : pengaruh dari formatio retikular-lesi-penurunan kesadaran
Commatio: batang otak sama med.spinalis- teregang-blokade dari ARAS

Patfis : trauma –penurunan kesadaran

11. Bagaimana tatalaksana pada kasus diskenario?


12. Apa saja komplikasi dari kasus diskenario?
- Koma dan bisa terjadi kematian sel
- Kerusakan saraf yang memicu kelumpuhan dari otot-otot wajah
- Bisa memicu stroke
- Kejang yang berulang
- Infeksi dari luka (bisa menyebabkan meningitis
- Penyakit degenerasi otak meliputi dari penyakit parkison, Alzheimer

STEP 6

1. Bagaimana struktur anatomi dan fisiologi pengatur sistem kesadaran?


Anatomi
Arteri Eksternal Kepala
Carotis communis bifurcates (Bifurcatio carotidis) menjadi A. carotis externa and A.
carotis intena ditingkat vertebra C4. A. carotis externa memberi percabangan
berikutnya : Aa. thyroidee superior, lingualis, facialis, pharyngea ascenclans,
occipitalis, auricularis posterior, maxillaris dan temporalis superficialis; the A. Carotis
interna berjalan naik kearah cranial tanpa memberi percangan ( Fig. 12.15), berjalan
melintasi basis cranii kedalam cavitas cranii untuk memperdarahi otak
Fisiologi

Formasi retikuler berperan penting dalam menentukan tingkat kesadaran. RAS


adalah jalur polysynaptic kompleks yang berasal dari batang otak (formasi retikuler)
dan hipotalamus dengan proyeksi ke intalaminar dan nukleus retikular thalamus yang
akan memproyeksi kembali secara menyeluruh dan tidak spesifik pada area luas dari
korteks termasuk frontal, parietal, temporal, dan oksipital.
Jaraskolateralkedalamnyatidakhanyadaritraktus sensoris, tetapi juga dari traktus
trigeminal, pendengaran, penglihatan, dan penciuman. Kelainan yang mengenai
lintasan RAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke
subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat
kesadaran.
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri
(kualitas) dengan Ascending Reticular Activating System (ARAS) (kuantitas) yang
terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons.ARAS menerima serabut-serabut
saraf kolateraldarijaras-jarassensorisdanmelalui thalamic relay nuclei dipancarkan
secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu tombol off-on,
untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake).
Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan
yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan
manifestasi rangkaian inti-inti di batang otak dan serabutserabut saraf pada susunan
saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari
susunansarafpusatdimanakeduakorteksini berperandalamkesadaranakandiriterhadap
lingkungan atau input-input rangsangan sensoris (awareness). Neurotransmiter yang
berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan
Gamma Aminobutyric Acid (GABA).

Sistem aktivasi reticular (reticular activating system, RAS) merupakan salah satu
komponen fungsional yang paling penting dari formasio retikularis untuk mengatur
fungsi kesadaran dengan merangsang korteks serebri untuk menerima rangsangan dari
seluruh tubuh. ARAS penting untuk mempertahankan keadaan sadar pada manusia.
Kerusakan pada bagian tertentu dari formasio retikularis dapat mengakibatkan pasien
menjadi koma.
Neurotransmitter yang berperan pada ARAS yaitu neurotransmitter kolinergik,
monoaminergik dan GABA. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari
susunan saraf pusat di mana korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri sendiri
terhadap lingkungan atau input-input rangsang sensoris (awareness). Jadi kesadaran
akan bentuk tubuh, letak berbagai bagian tubuh, sikap tubuh dan kesadaran diri
sendiri merupakan fungsi area asosiasi somestetik (area 5 dan 7 brodmann) pada lobus
parietalis superior meluas sampai permukaan medial hemisfer.
Fungsi utama dari sistem retikularis yang tersebar ini adalah integrasi berbagai proses
kortikal dan subkortikal yaitu penentuan status kesadaran dan keadaan bangun,
modulasi transmisi formasi sensorik kepusat yang lebih tinggi, modulasi aktivitas
motorik, pengaturan respon autonom dan pengaturan siklus tidur bangun.
Fungsi masing-masing nukleus retikularis (Snell, 2015):
 Nukleus retikularis gigantoselularis : regulasi retikulospinal
 Paramedian pontine reticular formation (PPRF) : pusat lateral gaze
 Nuklei raphe : pengaturan tidur, bangun dan waspada
 Locus ceruleus : atensi, mood, dan siklus tidur-bangun
Sumber :
Atlas Anatomi Sobotta
Buku Fisiologi Kedokteran Ganong
Tahir, Akina Maulidhany. “Patofisiologi Kesadaran Menurun”. Bagian Anatomi FK
UMI.

2. Apa yang menyebabkan pasien pingsan 10 menit, sadar dan kemudian pingsan
kembali?
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regio
temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri
kepala yang progresif, diikuti kesadaran yang berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut
lucid interval. Lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada epidural
hematom. Sementara pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak akan mengalami lucid
interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar. Hal ini juga dapat dilihat pula pada pasien dimana pasien mengalami
kecelakaan dan terjadi pingsan  sadar  penurunan kesadaran, ini khas tanda-tanda
lusit interval dimana terjadi pada epidural hematom. Dimana tekanan intracranial
dapat meningkat jika ada perdarahan intracranial (EDH, SDH, kontusio otak, PSA,
ICH), edema otak, tumor otak, dan hidrosefalus. Akibat dari adanya peningkatan TIK
 akan menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke otak  sehingga timbul
iskemia otak. Iskemia otak adalah suatu gangguan hemodinamik yang menyebabkan
penurunan aliran darah otak sampai ke suatu tingkat yang menyebabkan kerusakan
otak yang ireversibel.
Istilah Penurunan kesadaran-sadar-penurunan kesadaran :
Lucid interval: manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan
bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti oleh
timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese,
papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Trauma SSP sering secara langsung merusak dinding pembuluh darah, menyebabkan
perdarahan. Bergantung pada pembuluh darah yang terkena, perdarahan mungkin
epidural, subdural, subaraknoid, atau intraparenkim, dapat terjadi sendiri-sendiri atau
bersamaan. Perdarahan subaraknoid dan intraparenkim paling sering terjadi di tempat
kontusio dan laserasi.

Hematoma Epidural
Pembuluh dura mater terutama arteri meninggal media rentan terkena jejas traumatik.
Pada bayi, pergeseran traumatik dari tengkorak yang mudah mengalami deformitas
bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah, tanpa adanya fraktur tengkorak.
Berbeda pada anak-anak dan orang dewasa, robeknya pembuluh darah dura hampir
selalu disebabkan oleh fraktur tengkorak. Ketika pembuluh darah robek, darah yang
terakumulasi akibat tekanan arterial dapat memisahkan perlekatan erat dura dari
permukaan dalam tengkorak, menyebabkan suatu hematoma yang menekan
permukaan otak. Secara klinis, pasien tampak sehat (lucid) untuk beberapa jam antara
saat trauma terjadi dan timbulnya tanda neurologik. Hematoma epidural bisa meluas
secara cepat dan menjadikannya suatu kegawatdaruratan bedah saraf yang
memerlukan drainase segera dan pemulihan untuk mencegah kematian.

Hematoma Subdural
Pergerakan cepat otak selama trauma terjadi dapat merobek vena jembatan (bridging
veins) yang memanjang dari hemisfer serebri melewati ruang subaraknoid dan ruang
subdural ke sinus dura. Gangguan ini dapat menyebabkan perdarahan ke dalam ruang
subdural. Pada pasien dengan atrofia otak, vena jembatan tertarik keluar dan otak
mempunyai ruang tambahan untuk bergerak di dalamnya, menyebabkan risiko
hematoma subdural yang lebih tinggi pada orang lanjut usia. Bayi juga rentan
mengalami hematoma subdural karena vena jembatan mereka berdinding tipis.
Hematoma subdural biasanya menimbulkan gejala klinis dalam 48 jam pertama
setelah terjadi trauma. Hematoma paling sering terjadi di bagian lateral hemisfer
serebri dan dapat bilateral. Tanda neurologik disebabkan oleh adanya tekanan yang
mendesak jaringan otak didekatnya. Gejala mungkin lokal tetapi lebih sering
nonlokal, muncul dalam bentuk sakit kepala, kebingungan, dan kemunduran
neurologik progresif lambat.
Trauma kapitis yang menimbulkan pingsan sejenak ( Komosio )

Derajat Kesadaran ditentukaan oleh integritas dari ”diffuse ascending reticular


system”. Batang otak yang pada ujung rostal bersambung dengan otak dan ujung
caudalnya bersambung dengan medulla spinalis , mudah terbentang dan teregang pada
waktu kepala bergerak secara cepat dan sekaligus secara mendadak . Secara cepat
dan mendadak itu dinamakan akselerasi. Peregangan menurut poros batang otak
ini bisa menimbulkan blokade itu berlangsung , otak tidak mendapatkan ”input
”aferen , yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang rendahh
( pingsan ) . Hilangnya blokade terhadap lintasan ascendens itu akan disusul dengan
pulihnya kesadaran.
Otak mempunyai banyak bagian-bagian, termasuk dua hemisphere, cerebellum,
dan batang otak (brain stem). Otak memerlukan aliran darah untuk menyediakan
oksigen dan glucose (gula) pada sel-selnya untuk menopang kehidupan. Untuk tubuh
terjaga atau sadar, area yang dikenal sebagai reticular activating system yang
berlokasi dalam batang otak perlu dinyalakan, dan paling sedikit satu hemisphere otak
perlu berfungsi. Untuk pingsan terjadi, salah satu darinya yaitu reticular activating
system perlu kehilangan suplai darahnya, atau kedua-dua hemisphere dari otak perlu
dicabut darah, oksigen, atau glucosenya. Untuk otak berhenti berfungsi, aliran darah
harus diganggu secara singkat ke seluruh otak atau ke reticular activating system.
Pingsan berawal dari kecenderungan terkumpulnya sebagian darah dalam
pembuluh vena bawah akibat gravitasi bumi. Hal itu menyebabkan jumlah darah yang
kembali ke jantung berkurang sehingga curah darah ke jantung dan tekanan darah
sistoliknya menurun.
Guna mengatasi penurunan tersebut, otomatis timbul refleks kompensasi normal,
berupa bertambahnya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung, dengan tujuan
mengembalikan curah ke jantung ke tingkat semula.
Sumber :
- Patologi Robbin
- Netter Clinical Anatomy
- Sumber Neurologi klinis Dasar
- Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta
- Shobirin, Puteri Nashuha. 2019. “Cedera Kepala dengan Lucid Interval”.
Departemen Saraf FK UPN Veteran.

3. Bagaimana cara penilaian dari GCS?


skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien dengan cara menilai
respon pasien terhadap rangsang yang diberikan oleh pemeriksa. Respon pasien yang
perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata (eye), pembicaraan
(verbal), dan gerakan (motorik).
 Eye (respon membuka mata)
(4) : spontan atau membuka mata dengan sendirinya tanpa dirangsang
(3) : dengan rangsang suara, ddilakukan dengan menyuruh pasien untuk membuka
mata)
(2) : dengan memberikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari
(1) : tidak ada respon meskipun sudah dirangsang.
 Verbal (respon verbal atau ucapan)
(5) : orientasi baik, bicaranya jelas
(4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang), disorientasi tempat dan waktu
(3) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
 Motorik (gerakan)
(6) : mengikuti perintah pemeriksa
(5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri
(4) : withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri
(3) : flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya menekuk saat diberi rangsang
nyeri
(2) : extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya bergerak lurus (ekstensi) di
sisi tubuh saat diberi rangsang nyeri
(1) : tidak ada respon
 Nilai GCS (15-14) : Composmentis
 Nilai GCS (13-12) : Apatis
 Nilai GCS (11-10) : Delirium
 Nilai GCS (9-7) : Somnolen
 Nilai GCS (6-5) : Sopor
 Nilai GCS (4) : Semicoma
 Nilai GCS (3) : Coma
- Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap
dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang
ditanyakan pemeriksa dengan baik.
- Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.
- Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus
tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi
serta meronta-ronta.
- Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar
bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.
- Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih
dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri,
tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan
baik.
- Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap
rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.
- Coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri.

Macam-macam cedera kepala


a. Cedera Kepala Ringan
Nilai GCS 13 – 15 yang dapat terjadi kehilanga kedaran atau amnesia akan
tetapi kurang dari 30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak
ada kontusio serebral dan hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang
Nilai GCS 9 – 12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat
Nilai GCS 3 – 8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma
intrakranial.
Tingkat GCS Gambaran Klinik CT - Scan
Minimal 15 Tidak pingsan, tidak dijumpai devisit Normal
neurology
Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, tidak dijumpai Normal
devisit neurologist
Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit – 6 jam, dijumpai Abnormal
adanya devisit neurologist
Pingsan > 6 jam, dijumpai adanya
Berat 3-8 devisit neurologist Abnormal
Sumber :

- Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Sylvia A. Price,


Vol 2 Ed 6, EGC)
- https://www.glasgowcomascale.org/

4. Apakah ada hubungannya kasus pada skenario dengan nafas bau alkhohol?
Kehilangan kesadaran pasien tidak disebabkan karena mengonsumsi alkohol

5. Apakah ada hubungan antara TTV dengan penurunan kesadaran?

6. Apa pemeriksaan fisik , pemeriksaan penunjang dan interpretasi pemeriksaan


pada kasus diskenario?
Interpretasi Pemeriksaan Fisik
- GCS E2M2V2: respon membuka mata dengan memberikan rangsangan nyeri
misalnya menekan kuku jari; motorik dapat melakukan extensi abnormal, salah
satu tangan atau keduanya bergerak lurus (ekstensi) di sisi tubuh saat diberi
rangsang nyeri; respon verbal terdapat suara tanpa arti (mengerang)
- Tekanan darah 100/70 mmHg: normal
- HR 120x/menit: takikardi
- RR 40x/menit: takipneu
- Suhu 37,5° C: normal
- Pupil isokor diameter 2 mm: normal
- Refleks cahaya positif: normal, tidak terdapat lesi asimetri atau unilateral pada
jaras visual anterior, jika terdapat maka pupil akan dilatasi saat disoroti sinar. Hal
ini disebut relative afferent pupillary defect(RAPD), terjadi karena adanya defek
pada retina maupun saraf optikus. Pemeriksaan pupil yang menunjukkan midriasis
total pada kedua mata (respon cahaya negatif)  menjadi salah satu kriteria brain
death. Selain itu, pada pasien dengan herniasi batang otak yang menekan saraf
kranial ke-III (okulomotorius), dapat ditemukan adanya anisokoria saat dilakukan
pemeriksaan pupil dengan disoroti cahaya.
- Nafas tidak bau alkohol: penurunan kesadaran tidak disebabkan oleh keadaan
mabuk karena alkohol
- Gula darah dalam batas normal: penurunan kesadaran tidak disebabkan karena
hipoglikemia

Pemeriksaan Penunjang

1) Foto x-ray tengkorak harus dikerjakan segera setelah keadaan pasien mengijinkan.

2) Angiography cerebral dapat memperlihatkan gambaran yang pathognomonik dari

perdarahan subdural, epidural atau intracerebral.

3) Punksi lumbal dapat menegakkan adanya perdarahan subarachnoid dan

menentukan tekanan LCS. Acapkali LCS tetap normal dalam hal contusio otak atau
edema cerebri. Pada contusio atau laserasio otak dapat dijumpai LCS yang berdarah
dengan tekanannya yang meniggi.

4) Pneumogram bermanfaat dalam memperlihatkan dilatasi, pergeseran, atau distorsi


ventrikel yang terjadi setelah cedera kepala

5) CT scan dapat mengungkapkan adanya hematoma intracerebral atau extracerebral,


dilatasi, pergeseran atau distorsi ventrikel.

6) Electroencephalography dapat menjadi pembantu diagnosis dan prognosis pada


kasus-kasus tertentu.
7) Echoencephalogram dapat menunjukkan adanya pergeseran garis tengah
sebagaimana halnya pada contusio otak, hematoma, dan edema cerebri.

8) Brain scanning dapat memperlihatkan peningkatan uptake isotop di daerah


hematoma, kontusio, atau edema.

9) Psikometri sangat berguna setelah fase akut dalam menilai derajat dan tipe defisit
organik

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT
scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam


memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam
Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada
penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih
rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan
penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif
normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan
dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam
Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi
di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur
tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan
outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

mengoyak jaringan. Kerusakan diperhebat jika bila trauma juga menyebabkan rotasi
tengkorak. Bagian otak yang paling besar kemungkinannya untuk cedera adalah
anterior lobus temporal dan frontal, dan posterior lobus occipital, dan bagian tengah
mesenfalon

Patofisiologi. Sylvia. EGC

Buku Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional


7. Apa diagnosis dan diagnosis banding pada kasus diskenario?

Dx: Penurunan kesadaran et trauma capitis

Dd:
- Penurunan kesadaran et trauma capitis
(laserasi cerebri, kompusio cerebri,comosio cerebri)
Laserasi : adanya frakttur
kompusio cerebri : Kerusakan pada jaringan otak dengan def. Neurologis
comosio cerebri : Tidak ada jar. Otak yang rusak, (pingsannya 10 menit)
- infeksi (harus disertai dengan demam) mis meningitis
- ecquired brain injury : paparan zat beracun ,tumor, peny. Neurologis, infeksi,
penyalahgunaan dr obat-obatan

8. Apa saja manifestasi dari kasus diskenario?


Lucid interval: manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan
bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti oleh
timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese,
papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Shobirin, Puteri Nashuha. 2019. “Cedera Kepala dengan Lucid Interval”. Departemen
Saraf FK UPN Veteran.

9. Apa etiologi dan faktor resiko dari kasus diskenario?

Etiologi Penurunan Kesadaran

Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal
maupun seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum diklasifikasikan
dalam intrakranial dan ekstrakranial (tabel 1). Selain itu, Koma juga dapat disebabkan
oleh penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi
adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik
yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan
metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik,
perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi,
infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan
psikogenik. Keadaan koma dapat berlanjut menjadi kematian batang otak jika tidak
ada perbaikan keadaan klinis.
Etiologi Perdarahan
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur
aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa
(MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak
seperti :
a. Aneurisma sakuler (berry)
Aneurisma ini terjadi pada
titik bifurkasio arteri
intrakranial. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri
komunikans anterior (40%),
bifurkasio arteri serebri media
di fisura sylvii (20%), dinding
lateral arteri karotis interna
(pada tempat berasalnya arteri
oftalmika atau arteri
komunikans posterior 30%),
dan basilar tip (10%).
Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur
disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri
komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis
saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia).

b. Aneurisma Fusiform
Pembesaran pada pembuluh
darah yang berbentuk memanjang
disebut aneurisma fusiformis.
Aneurisma tersebut umumnya
terjadi pada segmen intracranial
arteri karotis interna, trunkus utama
arteri serebri media, dan arteri
basilaris. Aneurisma fusiformis
dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis
yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di
dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan
intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya tidak dapat
ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh darah
normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma
sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah serebral.
c. Aneurisma mikotik
Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya
terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan
oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan;
struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vasuler yang terdiri dari
jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau
lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui
kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan
merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan
yangberasal dari arteri. pPembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami
ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma.9 MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat
terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.

Faktor Resiko
- Jenis Kelamin

Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih banyak mengalami trauma
kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan hampir sama. Hal ini dapat
terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena terjatuh. Mortalitas laki-laki dan
perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1. (Jagger, Levine, Jane et al., 1984).

- Umur

Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena pada
kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan sosial yang
tidak bertanggungjawab. (Jagger, Levine, Jane et al., 1984)

10. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari kasus diskenario?


11. Bagaimana tatalaksana pada kasus diskenario?
PENATALAKSANAAN SECARA UMUM DAN KHUSUS
Umum :
A. Airway(jalan nafas)
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan
B. Breathing
tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak beri oksigen
melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan selidiki dan atasi cedera dengan
pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen
minimum
C. circulation ( sirkulasi ) :
hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya
D. disability
Khusus :
a. cedera kepala ringan : pasien cidera kepala ini umunya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
i. hasil pemeriksaan neurologis dalam batas normal
ii. foto servikal jelas normal
iii. adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati
pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian
gawat darurat jika timbul gejala perburukan.
b. cedera kepala sedang
i. pasien yang menderita komosio otak, dengan skala koma
glasglow 15 ( sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah ) dan CT Scan
normal, tidak perlu dirawat. Pasien dapat dipulangkan untuk observasi di rumah
meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia.Resiko
timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala
sedang adalah minimal.
c. cedera kepala berat
i. penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi
ii. monitor tekanan darah
iii. pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada
pasien pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinan
iv. penatalaksanan cairan : hanya larutan isotonis ( laruatan
ringer laktat )
v. nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon
hipermetabolik dan katabolik dengan keperluan 50-100 % lebih tinggi dari normal.
vi. Temperatur badan : demam dapa mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin
vii. Antikejang : fenitoin 15-20 mg/kg BB
viii. Antibiotik : golongan penisilin dapat mengurangi resiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal.
ix. CT Scan lanjutan : dilakukan 24 jam setelah cedera awal awal pada pasien dengan
perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang timbul
belakangan.

Tata laksana awal pada penurunan kesadaran dilakukan untuk mencegah kerusakan
otak lebih lanjut, sambil menunggu kepastian diagnosis lebih lanjut. Mempertahankan
jalan napas yang adekuat sehingga mencegah iskemia jaringan otak tetap merupakan
prinsip paling penting. Bila dibutuhkan maka dapat diberikan bantuan ventilasi
mekanik. Mempertahankan fungsi kardiovaskular dengan mempersiapkan akses
intravaskular dengan baik. Anak dengan penyebab koma yang belum jelas
penyebabnya, dilakukan pemeriksaan gula darah dextrostick atau diberikan langsung
dekstrosa 25% sebanyak 1 – 4 ml/ kgBB sambil memperhatikan responnya. Bila
didapatkan perbaikan dramatis, selanjutnya diberikan infus glukosa 10%. Kesadaran
yang tidak pulih setelah pemberian infus dekstrosa, menyingkirkan adanya
hipoglikemia.
Peningkatan tekanan intrakranial harus diturunkan dengan pemberian manitol 20%
per drip intravena dengan dosis 0,5 – 1,0 gram /kg selama 30 menit setiap 6 – 8 jam.
Nalokson diberikan bila dicurigai adanya overdosis narkotika, atau apabila telah
selesai kita curiga adanya hipoglikemia.

TINDAKAN BEDAH

Terapi pembedahan pada trauma kapitis memerlukan beberapa pertimbangan dan


berbeda pada setiap jenis trauma kapitis. Pada umumnya pembedahan untuk evakuasi
hematoma perlu dipertimbangkan apabila ditemukan hematoma dengan volume
melebihi 25 cm3 pada hasil CT-scan. Meskipun demikian indikasi pembedahan pada
cedera kepala tidak hanya berdasarkan hasil CT-scan saja tetapi juga adanya
perburukan klinis dan lokasi lesi. Semua luka penetrasi/tembus merupakan indikasi
pembedahan.

Penurunan Kesadaran : Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPARTEMEN ILMU
KESEHATAN ANAK PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXI
Diterbitkan oleh: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Cetakan Pertama
2012 ISBN 978-979-8271-39-7 Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis CDK-236/
vol. 43 no. 1, th. 2016.
Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi Ke III

12. Apa saja komplikasi dari kasus diskenario?


1. Komplikasi sistemik terutama disebabkan oleh kondisi hipoksemia, hipotensi,
hipertensi, hiperglikemia dan hipoglikemia [Jeremitsky et al, 2003). Diantara
komplikasi sekunder tersebut, hiperglikemia merupakan salah satu hal yang sering
terjadi dan berhubungan dengan derajat cedera dan hasil luaran pasien [Rovlias and
Kotsou, 2000). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hiperglikemia
berperan penting dalam mempercepat keburukan hasil klinis pada trauma kepala.
Mekanisme yang memicu terjadinya hiperglikemia setelah trauma kepala adalah
respon akibat strees fisik, respon inflamasi, diabetes mellitus, disfungsi kelenjar
pituitary dan atau hipothalamus, pembedahan dan anestesia.
2. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat
dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil
pasien akan tetap dalam status vegetatif.
3. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid
dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan
tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan
bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.
4. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur
depresi kranium dan hematom intrakranial.
5. Hematom subdural kronik.
6. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi
dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat
cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams, 2000).
Head Trauma in Children: Classification and Long-Term Monitoring ISSN
1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967 (Online) Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma 8(2) : 42-58, September 2019.

Anda mungkin juga menyukai