Anda di halaman 1dari 12

JURNAL READING

Delirium in COVID-19: A Case Series and Exploration of Potential


Mechanisms for Central Nervous System Involvement

Disusun oleh :
Fiona Salfadilla 1102016073

Pembimbing :
dr. Citra Fitri Agustina, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RS JIWA ISLAM KLENDER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE JUNI 2020
PENDAHULUAN
Deskripsi awal tentang manifestasi penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) berfokus
pada pernapasan dan terkadang pada gejala gastrointestinal. Demam merupakan gejala yang
paling sering dijadikan screening di rumah sakit dan klinik ketika memutuskan apakah
seseorang membutuhkan tes COVID-19. Cluster gejala tipikal untuk kondisi pasien sangat
sakit yaitu sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS).
Perhatian mulai diberikan pada kemunculan gangguan neuropsikiatrik darurat,
termasuk ensefalopati akut. Diperkirakan lebih dari sepertiga pasien COVID-19 timbul gejala
neuropsikiatri seperti sakit kepala, paresthesia, dan gangguan kesadaran, gejala ini tampaknya
berkaitan dengan penyakit yang lebih berat. Dalam rangkaian kasus terbaru dari 58 pasien, 49
(84%) muncul gejala neuropsikiatri, diantaranya 40 (69%) agitasi, 26 (65%) positif pada
Confusion Assessment Method for the Intensive Care Unit (CAM-ICU) scale, dan 14 (36%)
dysexecutive syndrome. Terdapat 88% pasien mengalami anosmia atau ageusia yang
dianggap sebagai invasi sekunder pada bulbus olfaktorius, menunjukkan keterlibatan otak.
Koagulopati yang menyebabkan penyakit serebrovaskular akut merupakan komplikasi dari
koagulasi intravaskular diseminata (DIC) terkait ARDS. Sindrom Guillain-Barre
digambarkan sebagai komplikasi, dan acute hemorrhagic necrotizing encephalopathy
(AHNE) akibat infeksi COVID-19 diduga terkait dengan badai sitokin. Rangkaian kasus di
Wuhan menunjukkan 20% pasien meninggal akibat COVID-19 memiliki bukti adanya
ensefalopati. Sebelumnya keberadaan virus diartikan sebagai efek tidak langsung pada SSP,
namun China melaporkan kasus pertama ensefalitis dengan COVID-19, terkonfirmasi oleh
analisis cairan serebrospinal.
Masih sedikit yang diketahui tentang presentasi spektrum sistem saraf pusat (SSP)
COVID-19, potensi gejala SSP dengan tidak adanya gejala lain, patofisiologi, dan pendekatan
manajemen pasien. Meski tidak mengherankan delirium umum terjadi pada pasien COVID-
19, mengingat beratnya penyakit dan terjadinya komplikasi yang seringkali lebih lama.
Rangkaian kasus ini, menggambarkan empat pasien pertama berturut-turut dengan
delirium dan infeksi akut SARS-CoV-2 yang diobservasi di layanan konsultasi psikiatri
rumah sakit umum selama periode satu minggu. Semua pasien positif SARS-CoV-2 pada tes
PCR melalui swab nasofaring yang mendeteksi dua target RNA SARS-CoV-2.

KASUS 1
Tn. A, mantan petinju berusia 76 tahun, tinggal di panti jompo dengan riwayat
gangguan neurokognitif mayor dengan gangguan perilaku dan sifat psikotik dan alkoholisme
dalam remisi berkelanjutan selama 30 tahun. Dia pernah menjalani rawat inap psikiatri
sebelumnya satu bulan sebelum presentasi ini, untuk agitasi dan psikosis. Riwayat medis
pasien yaitu penyakit jantung koroner (PJK) intervensi koroner perkutan (PCI) pada tahun
1997, atrial fibrilasi, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Dia menerima perawatan medis
setelah menunjukan sikap paranoid dan menyerang staf di panti jomponya. CT-scan kepala
tanpa kontras (NCHCT) normal, di luar penyakit pembuluh kecil terkait usia dan kehilangan
volume ringan. Saat presentasi, pasien demam 100,8 °F (38,2 8 °C), leukopenia borderline
(jumlah hitung sel darah putih [WBC]) 4000 dan rontgen dada menunjukkan kekeruhan
bibasilar. CRP meningkat 50,7 mg / L (referensi kisaran <8 mg / L). Status pernapasan stabil.
Tes PCR SARS-CoV-2 positif. Pasien diberikan terapi atorvastatin, azithromycin dan
hydroxychloroquine selama 5 hari. Sebelumnya, obat psikiatri rumah pasien olanzapine 2,5
mg diminum pada malam hari. Konsultasi psikiatri diperoleh pada hari pertama di rumah
sakit (HD) #1.
Pasien memiliki mioklonus multifokal di ekstremitas atas dan bawah bilateral,
cogwheeling (kekakuan seperti gerakan roda gigi) di ekstremitas atas bilateral, suara
meninggi pada ekstremitas bawah bilateral tanpa clonus pergelangan kaki, dan reflex
menggenggam dan palmomental positif. Pungsi lumbal, EEG dan MRI otak tidak diperoleh.
Pasien menunjukkan kegelisahan tanpa tujuan menyerang, dibutuhkan restrain
(pengekangan/pengikatan) lembut untuk mengendalikannya di ruang rawat inap. Status
pernafasan dan hemodinamiknya stabil. Selama tiga hari pertama rawat inap, pasien sangat
minim bicara, mendekati mutisme. Mulai HD #4, diberikan olanzapine oral dan IM (2,5-10
mg), selanjutnya haloperidol IV (4 mg setiap hari) untuk mengatasi agitasi. Ruam livedoid
unilateral pada ekstremitas bawah kanan terjadi selama minggu kedua rawat inap. CRP
memuncak pada HD #8, 148,8 mg/L.
Pada HD #12, diberikan Klorpromazin IV dengan dosis 25 mg dua kali sehari,
dititrasi menjadi 25 mg setiap hari dan 50 mg setiap malam dengan resolusi agitasi dan
kegelisahan. HD #18 diberikan clonidine patch dengan dosis 0,1 mg setiap hari dan dititrasi
chlorpromazine IV setelah konsultasi dengan perawatan paliatif pada HD #19. Pasien lebih
terjaga dan mulai mengenal sekitarnya pada HD #19, namun disregulasi perilaku intermiten
masih berlanjut.

KASUS 2
Tn. B berusia 70 tahun dengan riwayat Dementia with Lewy Bodies (DLB), cedera
otak kecil traumatis akibat bermain sepak bola, dan alkoholisme remisi berkelanjutan selama
27 tahun. Riwayat medis yaitu hipertensi dan osteoartritis. Pasien hidup mandiri dengan
bantuan dari perawat tamu, namun dengan beberapa gangguan kognitif. Setelah mengalami
perubahan status mental akut seperti penurunan produksi bicara, kesulitan menemukan kata,
pasien dibawa ke RS. Setibanya di RS, pasien terlihat mengalami kekakuan cogwheel (kanan
lebih berat dari kiri) dan mioklonus baru (kiri lebih berat dari kanan). NCHCT menunjukan
daerah hipo atenuasi tersebar di sepanjang periventricular dan subkortikal white matter dan
kehilangan volume ringan (keduanya tidak berubah dari pencitraan sebelumnya setahun yang
lalu). EEG pemantauan jangka panjang menunjukkan theta difus melambat, frekuensi dan
amplitude rendah terisolasi keluar, periode singkat frekuensi 1 Hz aktivitas delta berirama
dengan kontur tajam dan dominasi bifrontal.
Pada HD #2 pasien sedikit batuk dan tes PCR SARS-CoV-2 hasilnya positif. Tidak
ada gejala pernapasan lebih lanjut atau ketidakstabilan hemodinamik melebihi demam singkat
101,4 °F (38,5 °C) pada HD # 4. CRP terus meningkat, nilai maksimum 29,1 mg / L pada HD
#11. Konsultasi psikiatri diberikan mulai HD #11. Produksi suara minimal dan berkembang
menjadi mutisme selama beberapa hari. Pasien gelisah sampai mengalami kerusakan kulit di
beberapa area. Pungsi lumbal dan MRI otak tidak diperoleh. Pasien diberikan trazodone 25
mg dan chlorpromazine 25 mg IM untuk mengatasi agitasi berat (diberikan sekali pada HD
#11 kemudian dihentikan setelah menimbulkan ruam di sekitar daerah injeksi pada
ekstremitas bawah kanan dan menghilang dalam waktu tiga hari). Pada HD #12 pasien
diberikan asam valproat 250 mg IV dua kali sehari untuk agitasi, dan carbidopa-levodopa
dihentikan dahulu. Hal ini menghasilkan sedikit perubahan perilaku. Lorazepam diberikan di
HD #13 (1 mg IV) untuk mengobati katatonia yang cenderung mutisme dan menatap. Hal ini
menghasilkan sedasi mendalam tanpa perbaikan yang nyata (Skala Penilaian Catatonia Bush-
Francis (BFCRS) berkurang dari 12 menjadi 9. Pada HD #15 dosis asam valproat
ditingkatkan menjadi 750 mg total setiap hari. Pada HD #18 pasien masih agitasi secara
intermitten, namun produksi bicaranya meningkat dan mulai menelan pil lagi. Carbidopa-
levodopa diberikan kembali.

KASUS 3
Tn. C berusia 68 tahun, berada di bawah perwalian dan tinggal di rumah kelompok,
dengan riwayat skizofrenia diobati dengan clozapine dan lithium selama bertahun-tahun.
Pasien pernah menjalani rawat inap psikiatri sebelumnya di tahun 1988. Riwayat medis yaitu
penyakit ginjal kronis stadium 3, hiperparatiroidisme primer, hipotiroidisme, hiper-
kolesterolemia, dan kandung kemih neurogenik. Awalnya, pasien sopan dengan staf dan
penghuni lain di rumah kelompok itu, banyak bicara, meskipun impulsif (mis. terkadang
makan dengan cepat dan berakhir aspirasi).
Pasien jatuh dan kepalanya terbentur kemudian terjadi perubahan status mental.
Pada pemeriksaan, pasien tidak dapat mengikuti perintah dan bicaranya tidak dapat
dimengerti. Tanda vital dalam batas normal, tidak ada gejala pernapasan dan paru normal.
Pasien dites SARS-CoV-2 karena mendapat paparan di rumah kelompoknya, dan hasilnya
positif. NCHCT menunjukkan kehilangan volume ringan, pembuluh kecil iskemik ringan,
dan hematom subdural akut-pada-kronis sisi kiri 7 milimeter (mm) diatas lobus frontal,
parietal, dan temporal dengan 3 mm pergeseran garis kiri ke kanan di atas lobus frontal dan
parietal. CT-scan dada menunjukkan ground-glass opacities pada paru kanan terkait dengan
pneumonia virus. Pasien diberi levetiracetam selama 7 hari untuk profilaksis kejang.
Pemeriksaan laboratorium hipernatremia ringan (Na 146), peningkatan kreatinin 2,05,
nitrogen urea darah (BUN) 27, penurunan CO2 21, dan hiperkalsemia (11,4). Urinalisis
merujuk pada sistitis akut dan kultur urin positif Enterobacter, pasien mulai diberikan
piperacillin/tazobactam. CRP meningkat, dengan nilai maksimum 200,9 mg/L pada HD #3.
Clozapine dan lithium dihentikan dan melakukan konsultasi psikiatri pada HD #2. Saat
diperiksa, ia hampir tidak mengeluarkan kata-kata, tidak dapat mengikuti perintah, dan
dikekang (diikat) di empat titik hingga HD #7. Pasien memiliki tardive dyskinesia oral ringan
tetapi tidak ada mioklonus atau nada kaku. Ia diberikan olanzapine oral (7,5 mg) dan
haloperidol IV (2,5–5 mg) untuk mengatasi agitasi. EEG menunjukkan penyebaran delta
tidak teratur melambat dan frekuensi periode epileptiformik menurun. MRI tidak diperoleh.
Pada HD #8, clozapine diinisiasi ulang dengan rencana titrasi kembali ke dosis rumah 225
mg. Pasien tetap disorientasi dan impulsive secara intermitten selama beberapa hari,
terkadang diikat di dua titik untuk keamanan, dan mampu mentolerir diet disfagia. HD #11
pasien dilepas ikatannya dan berorientasi penuh serta kooperatif dengan semua perawat.

KASUS 4
Ny. D, berusia 87 tahun tinggal di unit demensia di sebuah panti jompo dengan
riwayat gangguan neurokognitif mayor, tipe tidak spesifik dan gangguan depresi mayor
dengan sifat psikotik, sudah dirawat di rumah sakit beberapa kali (terakhir pada tahun 2016)
dan diberikan terapi elektrokonvulsif. Riwayat medis yaitu PPOK, fibrilasi atrium, DM tipe
2, right bundle branch block, penyakit arteri koroner (penempatan stent), stenosis aorta, dan
gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang dipertahankan. Awalnya pasien komunikatif dan
berorientasi pada dirinya sendiri dan situasi. Obat-obatan rumahnya mirtazapine 45 mg setiap
malam, quetiapine 25 mg setiap pagi dan sore dan 100 mg setiap malam, donepezil 5 mg
setiap hari, melatonin 5 mg setiap malam, dan lamotrigin 25 mg setiap hari. Pada beberapa
minggu menjelang masuk, pasien cemas dan dysphoric, yang berhubungan dengan kunjungan
rutin keluarga ke fasilitas perawatannya karena protokol isolasi COVID-19. Pasien mengeluh
batuk, dispnea, lesu dan tidak makan, kemudian dibawa ke departemen kegawatdaruratan.
Setibanya di rumah sakit, pasien dalam keadaan fibrilasi atrium dengan respon
ventrikel cepat dan hipervolemik. Tanda vital takikardia dan normotermia. CRP meningkat
dengan nilai maksimum 98,7 mg/L pada HD #3, ESR dan fibrinogen juga meningkat.
NCHCT tidak menunjukkan temuan akut dan tidak kehilangan volume. CT-scan dada dengan
kontras menunjukkan kardiomegali dan pembesaran arteri paru tanpa embolus, serta ground-
glass opacities perifer konsisten dengan pneumonia SARS-CoV-2. Pasien diterapi dengan
metoprolol, furosemide, ceftriaxone, dan azitromisin dan dirawat di departemen penyakit
dalam. Pasien gelisah, berteriak dan memukul perawat, dan menerima olanzapine 5 mg IM
dua kali dengan perbaikan agitasi. Pada HD #2, ia dinyatakan positif SARS-CoV-2 melalui
PCR. Ia juga pansitopenia. Dilakukan konsultasi psikiatri pada HD #2. Hasil pemeriksaan
awal, pasien disorientasi dan preokupasi dengan gejala fisik, inatensi, bergumam, dan bicara
cadel. Tidak ada mioklonus, kekakuan, atau alogia pada pemeriksaan kejiwaan awal, namun
mioklonus ditemukan pada hari berikutnya. Agitasi pasien ditangani dengan pengikatan
lembut intermiten dan haloperidol 1-2,5 mg IV, q6h IV sesuai kebutuhan, lalu diganti
quetiapine 25-50 mg q6j. Antipsikotik mengurangi agitasi, namun pasien tetap disorientasi
dan sedikit interaktif sepanjang rawat inap. Status pernapasan terus memburuk meskiun telah
dilakukan perawatan lanjutan dengan antibiotik, nebulizer, dan peningkatan suplementasi
oksigen. Dengan kebutuhan oksigen yang meningkat dan kode status “Jangan
Resusitasi/Jangan Intubasi”, keputusan dibuat oleh tim medis dan keluarganya untuk transisi
“Hanya untuk Kenyamanan”. Pasien meninggal pada sore hari HD #5.

DISKUSI KASUS
Walaupun kasus-kasus ini mewakili kelompok individu yang heterogen, ada
beberapa kesamaan karakteristik yang mencolok pada seluruh pasien. Tabel 1 menguraikan
karakteristik kasus-kasus ini. Tiga dari empat pasien adalah laki-laki, dan semuanya berusia
di atas 65 tahun. Semuanya memiliki gangguan kognitif.
Pada keempat pasien, perubahan status mental adalah manifestasi utama infeksi dan
alasan masuk rumah sakit. Hanya 2 dari 4 pasien memiliki temuan pencitraan paru yang
sesuai dengan COVID-19, dan hanya 1 dari mereka yang memiliki gejala pernapasan yang
menonjol. Tidak ada pasien memiliki gejala GI. Dua pasien tidak demam, dan dua lainnya
hanya mengalami demam sementara yang sangat ringan. Keempat pasien memiliki penanda
inflamasi yang meningkat secara signifikan, khususnya CRP, yang dapat menunjukkan
respon kekebalan tubuh yang tidak teratur sebagai kemungkinan pencetus delirium.
Mioklonus multifokal ditrmukan di tiga pasien. Mioklonus merupakan gambaran
umum dari ensefalopati dan secara umum menandakan disfungsi otak global. Dua pasien
menunjukkan peningkatan tonus otot dan kekakuan. Ganglia basalis sangat sensitif terhadap
virus neurotropik kuat, terkait dengan respon inflamasi autoimun yang dipicu oleh virus
terhadap antigen ganglia basalis.
Pada dua pasien ini muncul ruam livedoid unilateral di ekstremitas bawah. Salah
satunya terjadi di sekitar lokasi injeksi klorpromazin. Sebelumnya sudah ada laporan
mengenai adanya manifestasi kulit terkait COVID-19, seperti petechiae, ruam morbiliformis,
ruam eritematosa, urtikaria luas, vesikel mirip varisela, dan erupsi seperti pernio.
Tiga dari empat pasien berkembang menjadi alogia progresif selama di RS, diawali
dengan sedikit bicara kemudian menjadi mutisme komplit dalam hitungan jam hingga hari.
Pasien juga kehilangan gerakan spontan dan berkembang menjadi sindrom abulia. Awalnya
tidak ada pasien yang menunjukkan penurunan produksi ucapan atau imobilitas.
Adanya mutisme dikombinasikan dengan kekakuan, penarikan, dan tidak ada
gerakan spontan seharusnya mendorong penyedia untuk mempertimbangkan apakah pasien
dapat memanifestasikan sindrom katatonia. Pasien pada kasus ini tampaknya sedikit afektif
atau karakteristik motorik sindrom katatonia, dan kekakuan Gegenhalten tidak diamati.
Ekspresi katatonia klasik yang melibatkan sistem mesencephalo-frontal yang sama
dikemukakan untuk mutisme akinetik. Kerentanan mutisme akinetik karena penghentian
karbidopa-levodopa pada Kasus 2 dan pro-inflamasi yang luar biasa dipicu oleh SARS-CoV-
2 pada semua kasus, menciptakan tuntutan imunometabolik sangat besar yang dapat
mengganggu jalur mesokortikolimbik dopaminergic yang diperlukan untuk motivasi dan
pergerakan.

PENJELASAN DUGAAN DELIRIUM PADA INFEKSI SARS-COV-2

HIPOTESIS NEURO-INVASIF PRIMER


Kemungkinan bahwa beberapa atau semua ensefalopati terkait COVID-19 terjadi
melalui jalur hipotesis yang sama dengan yang lainnya (non-SSP) penyebab infeksi dan non-
infeksi (mis. toksik/metabolic ensefalopati) tidak boleh diabaikan. Ada dua mekanisme
berbeda untuk SARS-CoV-2 menyerang ke SSP langsung menyebabkan ensefalopati primer.
MRI pada pasien ensefalitis yang mengalami kejang, lalu seminggu kemudian gejala
pernafasan memburuk digambarkan dengan weighted diffusion yang menunjukkan
hiperintensitas di sepanjang dinding tanduk inferior ventrikel lateral kanan, dan FLAIR
menunjukkan perubahan sinyal hyperintense lobus temporalis mesial kanan dan hippocampus
dengan sedikit atrofi hippocampal. Beberapa coronavirus seperti SARS-CoV, mampu
menyerang otak melalui rantai penghubung sinaps memanjang dari reseptor di paru ke pusat
medulla kardiorespirasi. Namun, pada sampel dari 7 pasien COVID-19 yang
memanifestasikan gejala neuropsikiatrik dan dites SARS-CoV-2 dengan cairan serebrospinal,
tidak ada satupun yang hasilnya positif, hal ini menunjukkan bahwa gejala neuropsikiatri
tidak memerlukan invasi virus ke SSP.
Mekanisme lainnya adalah kemampuan virus untuk mengakses SSP langsung
melalui invasi bulbus olfaktorius. Observasi pada anosmia dan ageusia, mewakili keterlibatan
dari bulbus olfaktorius. Pelacakan virus di sepanjang bulbus olfaktorius menuju fasciculus
uncinatus dan mencapai cingulatus anterior dan basal otak depan. Beberapa gangguan
neurokognitif mayor, termasuk penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson menunjukkan
anosmia sebagai gejala awal yang menonjol. Bahkan mungkin lebih berkaitan dengan
kemungkinan efek neuro-inflamasi COVID adalah temuan pada SLE dan sclerosis sistemik.
Disfungsi penciuman berkaitan dengan usia, disfungsi neurokognitif, peradangan dan volume
hippocampi dan amigdala. Pada SLE, penurunan indera penciuman berkorelasi dengan
aktivitas penyakit dan keterlibatan SSP.

MEKANISME SISTEMIK SEKUNDER


Mekanisme potensial untuk delirium sekunder terkait COVID-19 mencakup
hipoksemia dan stres oksidatif yang dihasilkan dari ARDS, serta hipoperfusi dan uremia
akibat kegagalan multi-organ pada ARDS. ARDS dapat juga menyebabkan DIC. Hanya
pasien pada kasus 4 yang mengalami gejala ARDS, meskipun deliriumnya mendahului status
pernapasan yang memburuk. Pasien yang lebih tua dengan defisit kognitif yang sudah ada
sebelumnya menjadi lebih rentan terhadap ensefalopati metabolik. Mioklonus multifokal juga
sering terjadi pada delirium. Adanya gejala ini dalam banyak kasus dapat mengarahkan
kepada proses primer yang melibatkan ganglia basal, motorik dan /atau korteks limbik, dan
/atau daerah otak tengah.
Kemungkinan lain adalah berkembangnya ensefalopati sekunder disebabkan oleh
peradangan sitokin yang melewati sawar darah-otak (BBB). Salah satu manifestasi
ekstremnya menjadi AHNE. Kasus disini tidak selaras dengan AHNE, namun NCHCT dalam
laporan AHNE tidak spesifik, dan MRI tidak diperoleh. Selain itu, di luar AHNE, ada
sindrom lain yang menyebabkan ensefalopati melalui penetrasi peradangan sitokin ke daerah
subkortikal. Sindrom pelepasan sitokin dapat terjadi sebagai komplikasi terapi sel T reseptor
antigen chimeric (CAR-T), menyebabkan efek neuropsikiatri termasuk delirium, gangguan
bahasa, dan kejang. Tingginya tingkat penanda inflamasi yang ada menunjukkan respons
inflamasi sistemik signifikan, yang dapat menyebabkan badai sitokin, dengan kerusakan
BBB.

MODEL HIBRID
Kemungkinan terakhir adalah model hibrid, di mana virus dapat menyebabkan baik
ensefalopati primer atau sekunder, atau keduanya. Kombinasi ini mengacu pada kemiripan
dengan HIV, bahkan paralel antara beberapa karakteristik yang ada di kasus ini dan
pengalaman awal ensefalopati HIV. Disfungsi penciuman merupakan salah satu defisit utama
infeksi HIV dan terjadi secara independen dari stadium penyakit. Ambang batas penciuman
meningkat pada awal infeksi HIV dan penurunan kemampuan identifikasi dan diskriminasi
penciuman berkorelasi dengan penurunan kemampuan kognitif. Gejala seperti mioklonus,
latensi bicara progresif dan alogia berlanjut ke mutisme, abulia, dan sensitivitas terhadap
neuroleptik sangat umum terjadi di awal-awal epidemi AIDS. Perjalanan penyakit ini sering
terjadi gejala awal depresi, apatis, penurunan libido, dan delirium ditandai oleh kurangnya
perhatian dan kehilangan memori. Gejala ini diikuti latensi bicara dan alogia dengan
hipomimia, bradifrenia, bradikinesia, abulia, tremor dan tanda-tanda rilis frontal, menandakan
pemutusan sindrom Miller Fisher mesencephalofrontal. Kematian pun segera menyusul.
Patofisiologi yang diduga dari manifestasi SSP pada HIV/AIDS dapat memberikan
pengetahuan tentang mekanisme potensial untuk gejala pada COVID-19. HIV diketahui
menyerang wilayah circumventricular melalui dua mekanisme: invasi langsung dan tidak
langsung. Virus tersebut bisa langsung memasuki otak dengan menempel di makrofag yang
terinfeksi yang melintasi BBB untuk menggantikan sel-sel imun perivaskular. Makrofag yang
terjangkit bermigrasi ke jaringan otak dan merekrut mikroglia, yang memicu respons sindrom
neuroinflamasi yang kuat yang mencakup aktivasi astrosit. Proses ini menginduksi disfungsi
saraf dan apoptosis. Daerah endotel fenestrasi sirkventrikular mewakili jalan utama untuk
diapedesis makrofag yang terinfeksi HIV ke dalam otak, dan daerah yang berbatasan dengan
daerah-daerah ini menentukan gejala neuropsikiatri. Invasi area postrema membuat pasien
rentan terhadap depresi dan delirium karena kerentanan selektif dari badan sel
neurotransmitter otak tengah, keterlibatan kelenjar pineal mengganggu siklus bangun-tidur,
dan organum vasculosum secara langsung berbatasan dengan korteks cingulate anterior
pregenual, membuat pasien rentan terhadap abulia/mutasi akinetik.
Meskipun tidak ada viral load yang tinggi di otak, kaskade yang diprakarsai oleh
makrofag perifer dapat menyebabkan sekresi sitokin proinflamasi dan generasi oksigen
radikal bebas secara tidak langsung menyebabkan kematian neuron dan disfungsi.
Mekanisme ini mirip dengan badai sitokin atau hipotesis sindrom aktivasi makrofag (MAS)
untuk SARS-CoV-2, dan berpotensi mempengaruhi daerah otak yang sama.
Dalam kasus virus SARS dan mungkin SARS-CoV-2, ekspresi dari reseptor target
virus ACE2 di otak dan sifat interaksinya dengan nikotinik acetylcholine receptor (nAChR)
sangat penting untuk dipahami. Otak mengekspresikan reseptor ACE2 yang terdeteksi di
kedua neuron dan sel glial, dimana membuat rentan terhadap invasi SARS-CoV-2. Reseptor
ACE2 juga diekspresikan oleh sel-sel endotel, dan endothelitis juga terlibat dalam patologi
virus sebagai akibat dari kedua mekanisme langsung dan tidak langsung. Pada HIV, sel
endotel makrofag berkontribusi terhadap kerusakan BBB dan cenderung pada pasien dengan
ensefalopati HIV. Jika virus SARS-CoV-2 memasuki otak secara langsung melalui fenestrasi
sirkventrikular endotelium yang terganggu, atau melalui jalur saraf penciuman, mungkin saja
jalur patofisiologisnya serupa dengan ensefalopati HIV.

REKOMENDASI PEMERIKSAAN DAN MANAJEMEN DELIRIUM DALAM


COVID-19
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan gejala ensefalopati dan positif SARS-
CoV-2 harus mencakup semua pertimbangan untuk pemeriksaan perubahan status mental.
Perubahan fungsi metabolisme, efek obat, hipoksemia, disfungsi jantung, status koagulopati
dan hidrasi perlu dicermati secara khusus. Pemeriksaan LP, MRI dan EEG dapat menjadi
elemen pemeriksaan untuk semua pasien, namun tidak praktis karena status klinis, biaya, dan
ketersediaan sumber daya kurang memadai. Studi lebih lanjut dalam hal ini diperlukan untuk
mengarahkan pada terapi terbaik. Peneliti menyarankan pendekatan pada gejala yang terarah
dengan berfokus pada pengamatan tanda-tanda kejang, perdarahan intraserebral, atau temuan
neurologis atipikal lainnya untuk langsung dites. MRI untuk pencitraan awal juga perlu
dipertimbangkan. Otopsi pasien SARS-CoV-2 dan delirium yang meninggal dibutuhkan
untuk lebih menjelaskan keterlibatan parenkim pada pasien dengan dan tanpa gejala
neuropsikiatri.
Jika ada perubahan status mental atau delirium sebaiknya dilakukan tes SARS-CoV-
2. Seri kasus sebelumnya mengungkapkan 20-65% pasien dengan karakteristik SARS-CoV-2
terdapat delirium, dan kasus ini menggambarkan bahwa perubahan status mental dapat terjadi
sebagai karateristik yang muncul. RS, IGD dan klinik rawat jalan perlu memperluas kriteria
pengetesan untuk memasukkan manifestasi SSP. Psikosis onset baru dengan perubahan
kognitif dapat menjadi manifestasi potensial, dan patut dipertimbangkan pengetesan pada
pasien yang lebih muda dengan presentasi awal psikosis.
Variasi delirium sering pada hiperaktif atau campuran, dengan gelisah tingkat tinggi.
Agen antipsikotik potensi rendah lebih dipilih untuk mengatasi agitasi, termasuk generasi
kedua seperti olanzapine, quetiapine, dan klorpromazin. Sementara haloperidol sekarang
sedang dipelajari sebagai pengobatan untuk SARS-CoV-2 karena efeknya pada reseptor
sigma. Obat-obatan seperti hydroxychloroquine dan azithromycin, digunakan dalam
manajemen COVID-19, memiliki potensi untuk memperpanjang interval QT, dilakukan
pemantauan ektrokardiogram, menghitung QTc menggunakan rumus koreksi linier, dan
pengisian ulang elektrolit setiap hari.
Dexmedetomidine, agonis alpha-2 seperti clonidine juga dapat digunakan untuk
membantu mengatasi agitasi. Clonidine patches mudah digunakan dan tampaknya efektif
pada beberapa pasien untuk mengurangi kegelisahan. Efek samping minimal. Sedangkan
benzodiazepine adalah obat utama untuk katatonia, namun biasanya tidak efektif pada
mutisme akinetik, dan pasien dengan delirium dapat meningkatkan risiko sedasi dan depresi
pernapasan. Amantadine terbukti efektif untuk kedua mutisme akinetic dan katatonia, dan
dapat menjadi pilihan yang lebih baik daripada stimulan, yang banyak digunakan untuk
indikasi serupa di awal AIDS, tetapi berpotensi memperburuk delirium dan psikosis.

KESIMPULAN
Delirium tampaknya merupakan sekuel penting dari infeksi SARSCoV-2. Selain
karakteristik khas delirium, pasien dalam seri kasus ini menunjukan agitasi yang signifikan,
peningkatan nada, kekakuan, abulia, alogia dan respon inflamasi sistemik yang signifikan.
Investigasi lebih lanjut sangat penting dalam untuk menentukan potensi efek SSP dari infeksi
dengan SARSCoV-2. Sementara itu, rumah sakit harus mempertimbangkan untuk menambah
perubahan status mental pada daftar kriteria pengetesan.

Anda mungkin juga menyukai