Anda di halaman 1dari 11

Perspektif Vol. 6 No. 2 / Desember 2007.

Hal 57 - 67
ISSN: 1412-8004

Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia


GUSMAINI dan HERA NURHAYATI
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Indonesian Research Institute for Medicinal Crops and Aromatic
Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111

ABSTRAK PENDAHULUAN

Artemisia terbukti efektif mengatasi penyakit malaria


Penyakit malaria merupakan penyakit yang
yang mulai kebal terhadap pil kina. Artemisia berasal
dari daerah sub tropis (iklim temprate), dan dapat disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Penyakit
tumbuh baik di daerah tropis. Peluang pengembangan ini cukup serius dan beresiko tinggi karena dapat
artemisia di Indonesia cukup besar. Beberapa wilayah menyerang manusia dan menyebabkan kematian.
memiliki lingkungan tumbuh yang sesuai bagi Lebih dari 600 juta kasus di dunia terinfeksi
pertumbuhan artemisia dan klon lambat berbunga penyakit ini, dan menyebabkan 1,7 – 2,5 juta
yang cocok tumbuh di Indonesia juga tersedia.
orang/tahun mengalami kematian. Empat puluh
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya
persen dari jumlah tersebut terdapat di negara-
artemisia di Indonesia agar produksi dan kadar
artemisininnya tinggi antara lain: (1) pemilihan lokasi negara antara lain India, Indonesia, Amerika
atau wilayah yang sesuai, (2) pemilihan bahan Latin dan Afrika (WHO, 2004).
tanaman yang tepat,, dan (3) memanipulasi agronomik Menurut WHO (2004); pil kina selama ini
seperti pemang-kasan, pemupukan anorganik dan menjadi obat yang diandalkan untuk mengatasi
organik, naungan, dan mikroba. penyakit malaria telah resisten terhadap
Plasmodium falciparum, sehingga diupayakan
Kata kunci: Artemisia annua L., budidaya, artemisinin,
pengembangan.
untuk mencari alternatif tanaman lain yang
mampu mengatasi penyebab penyakit tersebut.
Penelitian mengenai hal ini telah dilakukan di
luar negeri, dan merekomendasikan bahwa salah
ABSTRACT satu tanaman obat yang mampu mengatasi secara
efektif Plasmodium falciparum tersebut yaitu
Potency of Artemisia annua Development in tanaman artemisia.
Indonesia Tanaman artemisia merupakan tanaman
yang berasal dari daerah sub tropis (iklim
Artemisia as medicinal plant was proven can cure temperate) mempunyai banyak species berkisar
malaria disease more effective than quinine pill.
200-400 spesies. Hasil penelitian tahun 1972 di
Artemisia is introducted plant from sub tropical area
Cina menunjukkan bahwa A. annua L. Mengan-
but it can grow well in tropical area. The potency to
develop Artemisia in Indonesia is big since some areas dung bahan aktif artemisinin yang sangat efektif
have suitable agro ecology for Artemisia’s growth and mengatasi penyebab penyakit malaria tersebut,
the availability of delayed flowering clones which gan yang telah resisten terhadap kina (quinine)
grow well in Indonesia. To obtain high yield and also (Ebadi, 2002). A. annua L. merupakan satu-
high artemisinin content, some factors need attention satunya jenis yang mengadung artemisinin
in cultivating Artemisia in Indonesia: (1) selected locat-
dengan kadar yang cukup tinggi, di alam
ion suitable for its growth, (2) selected plant material,
and (3) manipulated agro climate environment such as bervariasi antara 0,1 – 1,8%, bahkan dengan
prunning, application of organic and inorganic menggunakan hibrida antara klon China dan
fertilizer, shading, and microbe application Vietnam, kandungan artemisinin dapat mencapai
2% (Ferreira et al., 2005).
Keywords: Artemisinin annua L., cultivation, artemi- Meskipun artemisia berasal dari daerah sub
sinin, development,
tropis, tetapi dapat dikembangkan di daerah

Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia (GUSMAINI dan HERA NURHAYATI) 57
tropis, melalui pemuliaan (seleksi adaptasi dan Akumulasi pembentukan senyawa
hibridisasi) (Woerdenbag et al., 1994; Magalhaes artemisinin bervariasi menurut klonnya,
dan Delabays, 1996; Magalhaes et al., 1996; Ban et sehingga perlu penentuan waktu panen yang
al.,1999). Beberapa negara di daerah tropis berbeda. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
seperti Malaysia, Brazil, Vietnam, Madagaskar, kadar artemisinin tertinggi terjadi sesaat sebelum
dan Sub Sahara Afrika telah membudidayakan pembungaan (Acton et al. 1985; Liersch et al. 1986;
artemisia dan menghasilkan artemisinin yang El-Sohly, 1990; Woerdenbag et al. 1994). Namun
cukup tinggi yaitu 0,5 – 1,5% (Laugin, 2002). untuk klon asal China, kadar artemisinin
Mengingat kasus malaria di Indonesia hingga tertinggi justru tercapai pada saat pembentukan
saat ini dan mengindikasikan bahwa kebutuhan bunga telah sempurna (Ferreira et al. 1995).
bahan baku artemisinin yang besar, seluruhnya Asam artemisinic merupakan prekursor
masih diimpor, maka upaya pengembangan penting yang konsentrasinya mencapai 10 kali
budidaya artemisia sangat strategis. lipat lebih tinggi dari artemisinin dan dapat
dikonversi menjadi artemisinin dengan efisiensi
KANDUNGAN BAHAN AKTIF 40%. Untuk menghasilkan artemisinin dari asam
ARTEMISININ artemisinic tidak selalu dapat dilakukan. Pada
beberapa jenis (klon), asam artemisinic hampir
Kandungan bahan aktif penting artemisia
tidak terdeteksi (Laughlin, 1993).
adalah artemisinin (Gambar 1) yang tergolong
dalam senyawa terpenoid. Senyawa artemisinin
yang tinggi terutama terdapat pada jaringan
PENYEBARAN DAN LINGKUNGAN
bagian atas tanaman (daun dan bunga), semen-
TUMBUH ARTEMISIA
tara di batang kandungannya rendah (Ferreira
dan Janick, 1996). Artemisinin terakumu-lasi
Tanaman artemisia termasuk ke dalam famili
pada glandular trichomes, suatu organ yang hanya
Asteraceae diyakini sebagai tanaman asli Asia, dan
terdapat pada daun, batang dan bunga (Ferreira
diduga berasal dari China Utara (Mongolia) (Mc
et al., 1995). Oleh karena itu target budidaya
Vaugh, 1984) yang terletak pada 40o Lintang
diarahkan pada peningkatan kadar artemisinin
Utara dan 109o Bujur Timur (Ferreira et al., 2005).
dan produksi daun yang tinggi.
Saat ini tanaman Artemisia telah tersebar ke
beberapa negara antara lain Argentina, Bulgaria,
Francis, Hungaria, Rumania (khusus dibudidaya-
kan untuk dimanfaatkan minyak atsirinya), Italia,
Spanyol, USA dan Yugoslavia (Klayman, 1993).
Tanaman artemisia telah diintroduksi dan
telah dibudidayakan di India (Singh et al., 1986),
Vietnam, Thailand, Myanmar, Madagaskar,
Malaysia, USA, Brazil, Australia dan negara-
negara Eropa (Laughlin, 2002). Indonesia
mempunyai klon lokal yaitu A. papuana, tetapi
klon ini belum dibudidayakan dan menurut hasil
penelitian yang mempunyai kandungan artemi-
sinin tertinggi adalah A. annua L. Oleh karena itu
A. annua L., telah diintroduksi ke Indonesia,
namun tidak jelas kapan waktunya, selain itu
Sumber : Jesus, (2003) juga pemanfaatannya bukan sebagai bahan baku
obat anti malaria, melainkan sebagai minyak
Gambar 1. Struktur kimia artemisinin
atsiri.

58 Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 57 - 67


Artemisia dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropis seperti Indonesia, tanaman
daerah dataran tinggi dengan ketinggian 1000 – artemisia masih dapat tumbuh dan berpeluang
1500 m dpl (Wang, 1961), tanah berpasir atau untuk dikembangkan.
berlempung yang berdrainase baik dengan pH Penanaman artemisia di daerah berlintang
5.5-8.5 (pH optimum 6-8), curah hujan 700-1000 rendah berpengaruh terhadap pertumbuhan
mm/tahun (Woerdenbag et al., 1994; Magalhaes antara lain sifat tanaman menjadi lebih
dan Delabays, 1996; Ban et al.,1999). Ketersediaan bervariasi. Penanaman artemisia di Teresina,
air merupakan faktor yang sangat berpengaruh Piaui Brazil (5°LU) menunjukkan tinggi tanaman
terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada bervariasi antara 40-120 cm sebelum terjadinya
umur 1-2 bulan. pembungaan. Sebaliknya pada daerah 5°LS yaitu
Tanaman artemisia berasal dari daerah di Calabar, Nigeria menunjukkan sifat
subtropis. Untuk dikembangkan di daerah tropis, pertumbuhan yang berbeda ada yang cepat dan
perlu diperhatikan beberapa hal antara lain lambat berbunga.
adaptasi lingkungan (Woerdenbag et al., 1994) Permasalahan yang dihadapi di dalam
dan adaptasi genetik (Magalhaes dan Delabays, mengintroduksi tanaman sub tropis ke tropis,
1996). adalah rendahnya produksi dan kadar
artemisinin, sebagai akibat dari perubahan
Adaptasi Lingkungan lingkungan antara lain tingginya suhu dan
Artemisia termasuk tanaman hari pendek intensitas cahaya, serta penyinaran matahari
apabila ditanam pada daerah dengan lama yang pendek (< 13 jam/hari) sehingga tanaman
penyinaran < 13 jam/hari, akan cepat membentuk cepat berbunga. Penelitian di Indiana USA
bunga. Sebaliknya pada daerah dengan menggunakan klon yang berasal dari Cina
penyinaran lebih dari 13 jam/hari akan lambat ditanam di rumah kaca pada suhu 27°C, tanaman
berbunga. Dengan demikian pada kondisi di berbunga pada umur 2 minggu pada perlakuan
daerah penyinaran > 13 jam tanaman artemisia penyinaran kurang dari 13 jam/hari, tetapi pada
akan tumbuh optimal, menghasilkan produksi perlakuan penyinaran lebih dari 13 jam/hari
herba dan artemisinin tinggi. Daerah yang tanaman tidak cepat berbunga. Penelitian lain
dimaksud adalah daerah iklim temperate yang menyatakan bahwa klon ini memiliki critical
terletak pada kisaran 30 – 40°LU/LS. Bila berada photoperiod 13 jam 31 menit. (Ferreira et al., 1995).
di bawah lintang tersebut maka lama penyinaran
< 13 jam/hari. Hubungan lama penyinaran
matahari, waktu dan letak posisi belahan bumi,
dapat dilihat pada Gambar 2 (Ferreira et al., 2005).
Daerah yang memenuhi kondisi tersebut
menghasilkan pertumbuhan tanaman yang
sangat baik. Seperti yang dikemukakan oleh
Laughlin (2002), klon Vietnam ditanam di
Denvort AS, pada musim hujan hingga musim
semi menghasilkan tanaman yang lambat
berbunga, bahkan ketinggian tanaman dapat
mencapai 2 m. Beberapa hasil penelitian Sumber: Ferreira et al. , (2005)
menunjukkan bahwa tanaman artemisia masih
mampu tumbuh baik pada daerah dengan
kisaran 40° LU (Indiana, USA) hingga 42° LS Gambar 2. Lama penyinaran matahari dalam
(Tasmania, Australia) (Laughlin, 2002; Ferreira satu tahun dari garis ekuator (12
dan Janick, 1995; Simon dan Cebert, 1988; Singh jam/hari) hingga 70°LU (24
et al., 1986). Data ini mengungkapkan bahwa di jam/hari).

Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia (GUSMAINI dan HERA NURHAYATI) 59
Klon yang sama berasal dari China tropis dengan cara adaptasi genetik/pemuliaan
dibandingkan klon Vietnam yang ditanam di (Magalhaes dan Delabays, 1996).
Brazil Selatan yang terletak pada 26°11’LS dan Klon-klon yang terdapat di daerah sub tropis
ketinggian 760 m. Klon China memerlukan 14 umumnya dapat diadaptasikan di daerah sub
hari pendek (13-15 jam) sebelum pembungaan. tropis, namun demikian klon-klon tersebut
Klon Vietnam rata-rata 33 hari pendek sebelum mempunyai karakteristik tertentu yaitu lambat
pembungaan. Pada kondisi suhu maksimum dan cepat berbunga. Klon yang cocok
37°C dan minimum 19°C, klon China telah dibudidayakan di daerah tropis adalah klon yang
berbunga 100% dengan penyinaran 7, 9, 11, dan pembungaannya lebih lambat karena di daerah
13 jam/hari, sedangkan klon Vietnam yang tropis waktu penyinarannya lebih pendek
berbunga 33%. Pada kondisi suhu maksimum daripada di daerah sub tropis. Adanya klon yang
29°C dan minimum 13°C dengan lama lambat berbunga dengan kandungan artemisinin
penyinaran 7 atau 9 jam/hari, klon Vietnam 100% 0,5-1,5%, memungkinkan tanaman artemisia
berbunga. Persentase lama pembungaan pada dikembangkan di daerah tropis (seperti Vietnam,
tanaman Vietnam menurun hingga 83,3% pada Madagaskar dan Sub Sahara, Afrika). Meskipun
11 jam penyinaran (Marchese et al., 2002). Respon produksi biomasnya tidak setinggi tanaman yang
tanaman terhadap lingkungan berbeda-beda, tumbuh di daerah sub tropis (Ferreira et al., 2005).
pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Oleh karena itu adaptasi nomor-nomor yang
klon China kurang tahan terhadap suhu tinggi dapat tumbuh di daerah tropis perlu dilakukan.
dan waktu penyinaran pendek akibatnya
tanaman cepat berbunga. Sebaliknya klon HUBUNGAN AGROKLIMAT,
Vietnam menunjukkan lebih tahan terhadap suhu PRODUKTIVITAS, DAN KADAR
tinggi dan kurang tahan terhadap suhu rendah. ARTEMISININ
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi permasalahan tanaman introduksi, Respon tanaman terhadap agroklimat dapat
dengan tujuan untuk memperpanjang fase meningkatkan atau menurunkan produktivitas
vegetatif dan memperlambat fase generatif, telah dan metabolik sekunder tanaman. Agroklimat
dilakukan di Vietnam dan Brazil. Meskipun yang memenuhi persyaratan tumbuh optimal
terletak di daerah tropis, negara-negara tersebut tanaman akan meningkatkan produktivitas dan
mampu membudidayakan artemisia yang dapat metabolik sekunder tanaman, dan sebaliknya.
menghasilkan kandungan artemisinin tinggi Hasil-hasil penelitian yang akan disampaikan
(Laughin, 2002). Adanya klon yang mampu mengacu kepada penelitian negara-negara luar,
beradaptasi, dan dihasilkannya klon hibrida karena di Indonesia artemisia belum
merupakan pemecahan masalah introduksi dibudidayakan dan penelitiannya sedang
tanaman. dilakukan pada tahap awal.
Ketinggian tempat dan iklim sangat
mempengaruhi kandungan bahan aktif.
Adaptasi Genetik Budidaya pada daerah lintang < 30° dan dataran
rendah menghasilkan produksi dan kadar
Budidaya tanaman artemisia di daerah tropis artemisinin rendah. Benih asal Kew Garden, UK.,
dapat dilakukan dengan memilih klon-klon yang yang ditanam di Lucknow, India, (ketinggian 123
cocok dengan iklim tropis untuk memperkecil m dengan iklim yang hangat), menghasilkan
permasalahan yang ada. Alternatif pengem- kandungan artemisinin yang rendah. Sementara
bangan tersebut dengan cara menanam klon-klon penanaman artemisia di Kashmir (ada ketinggian
lokal yang memang tumbuh di daerah tropis 305m, iklim temperate) menghasilkan kandungan
(Woerdenbag et al., 1994), selain itu melalui artemisinin cukup tinggi sekitar 1% (Ferreira et
adaptasi klon-klon di daerah subtropis ke daerah al., 2005). Penanaman artemisia pada dataran

60 Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 57 - 67


tinggi di daerah tropis dapat menghasilkan herba Pemupukan
dengan kandungan artemsinin tinggi. Hal ini
Pemupukan berperan penting pada produksi
ditunjukkan oleh hasil penelitian artemisia
biomas tanaman. Biomas tanaman berkorelasi
hibrida antara klon China dan Vietnam yang
langsung pada produksi total artemsinin.
ditanam di Madagaskar (ketinggian 1500 m dpl)
Kebutuhan pemupukan bervariasi menurut
terbukti mampu menghasilkan biomas berat
daerahnya dan tergantung jenis tanah dan status
kering daun 4.7 ton/ha dan artemisinin 41,3 kg/ha
ketersediaan haranya di dalam tanah.
(Magalhaes et al.,1996).
Di Missisipi pemberian pupuk anorganik
Tidak hanya faktor iklim dan ketinggian
dengan dosis 100 kg N, 100 kg P dan 100 kg K,
tempat, namun cara budidaya yang benar
menghasilkan bobot kering daun 1-2 t/ha (WHO,
berperan penting dalam menghasilkan herba
1988). Di Tasmania, pemberian pupuk dengan
yang terstandar. Beberapa hal lain yang perlu
dosis 60 kg N, 60 kg P dan 60 kg P menghasilkan
diperhatikan antara lain adalah waktu tanam,
berat kering daun 6-12 t/ha. Hasil penelitian di
pemupukan, tanah, dan air.
Indiana, menunjukkan penggunaan pupuk
dengan dosis 67 kg N/ha dengan populasi 55,555
Waktu Tanam
tanaman/ha, menghasilkan bobot segar biomas 30
Penanaman artemisia sebaiknya dilakukan t/ha dengan kandungan minyak atsiri 85 kg/ha.
pada awal musim hujan. Menurut Technoserve Pada populasi yang lebih tinggi (111.111
(2004), A. annua sangat rentan terhadap tanaman/ha), bobot segar biomas yang dihasilkan
kekeringan terutama pada 2-3 bulan pertama meningkat tetapi menurunkan rasio daun/batang
setelah penanaman. Melihat hal tersebut waktu (Simon et al., 1990). Penggunaan pupuk dengan
penanaman yang tepat dan ketersediaan air di dosis 64 kgN/ha dapat meningkatkan produksi
lokasi penanaman perlu diperhatikan untuk kering daun (3,88 t/ha) dan produksi artemisinin
menghasilkan herba dan kadar artemisinin yang (40,4 kg/ha) sebesar 51 % dibanding kontrol
optimal. (Magalhaes et al ., 1996).
Penelitian di Vietnam menunjukkan Penggunaan pupuk sebaiknya disesuaikan
artemisia yang ditanam pada bulan Januari dan dengan kebutuhan tanaman, selain menyangkut
dipanen saat masih dalam fase vegetatif (4 BST) efisiensi dan efektifitas pupuk juga berdampak
menghasilkan produksi biomas kering 5,3 t/ha pada biaya produksi yang pada akhirnya
dengan kandungan maksimum artemisinin 0,86% berdampak terhadap produktivitas dan kualitas
(produksi artemisinin 45,5 kg/ha). Lama tanaman. Penggunaan KH2PO4 pada kultur
penyinaran saat panen adalah 13 jam 24 menit. jaringan sampai dengan dosis 200 mg/l dapat
Panen yang kedua dilakukan pada saat tanaman meningkatkan kadar artemisinin (0,05-0,2%) dan
akan berbunga menghasilkan biomas kering 3.8 bobot biomas. Sebaliknya dosis di atas 200 mg/l
t/ha dengan kandungan artemisinin 0,46%. Lama menurunkan kadar artemisinin. Sedangkan bila
penyinaran saat panen kedua adalah 11 jam 41 kekurangan pupuk akan berakibat pada
menit. Hal ini menunjukkan klon asal Vietnam terganggunya proses pertum-buhan tanaman
lebih baik dipanen sebelum pembentukan bunga sehingga produktivitas menjadi rendah.
(Woerdenbag et al., 1994). Penelitian lain di Percobaan hidroponik di Brazil memperlihatkan
Madagaskar (1500m dpl) menggunakan artemisia bahwa kekurangan unsur N dan P menghambat
hibrid persilangan klon asal Cina dan Vietnam pertumbuhan tanaman dan menurunkan
(ditanam bulan Maret), menghasilkan produksi produksi biomas kering (Figueira, 1996).
biomas kering 4.7 t/ha dan produksi artemisinin Selain pupuk makro, di dalam proses
41,3 kg/ha saat tanaman dipanen umur 5 BST produksi tanaman dibutuhkan pupuk mikro.
(Magalhaes et al.,1996). Dengan memperhatikan Meskipun dibutuhkan dalam jumlah sedikit
waktu tanam yang tepat maka hasil herba namun apabila kekurangan dapat menurunkan
maupun kadar artemisinin menjadi optimal. produktivitas dan kualitas tanaman. Pada

Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia (GUSMAINI dan HERA NURHAYATI) 61
penelitian yang menggunakan media pasir ton/ha menjadi 6,5 ton/ha. Apabila menggunakan
memperlihatkan bahwa kekurangan Fe, Mn, Cu, klon China bobot kering biomas meningkat dari
Zn dan B menurunkan tinggi tanaman (23-63%), 4,5 ton/ha menjadi 9,0 ton/ha. Meskipun produksi
bobot segar biomas (19-45%), bobot kering kering biomas meningkat, kandungan artemi-
biomas (18-49%) dan kadar artemisin (Srivastava sinin dan asam artemisinin tidak terpengaruh
dan Sharma 1990). (Ferreira, 2005). Meskipun demikian dengan
Cara pemberian pupuk akan berpengaruh meningkatnya produksi biomas tanaman maka
terhadap efisiensi dan efektifitas pemupukan. total produksi artemisinin yang dihasilkan juga
Ketidakefisienan pemupukan akan memperbesar meningkat.
biaya produksi. Pemberian pupuk dengan cara
Air
membuat larikan 15 cm dari tanaman dengan
kedalaman 5 cm di bawah benih dan 7,5 cm di Pada awal pertumbuhannya artemisia
bawah tanaman. Lebar larikan + 7,5 cm. Cara memerlukan air yang cukup. Menurut
aplikasi dengan larikan ini sangat efektif Technoserve (2004), A. annua sangat rentan
terutama bila fiksasi P menjadi masalah. Hal ini terhadap kekeringan terutama pada 2-3 bulan
akan memperkecil efek pencucian daripada pertama setelah penanaman. Oleh karena itu
disebar atau dicampur dengan pupuk lain. Salah penanaman sebaiknya dilakukan pada awal
satu alternatif untuk memperkecil efek musim hujan agar kebutuhan air terpenuhi.
pencucian, terutama pada daerah dengan curah Namun apabila ditanam tidak pada awal musim
hujan tinggi, adalah dengan membagi dosis hujan, maka diperlukan irigasi ringan. Frekuensi
pupuk menjadi beberapa agihan (2-3 agihan) dan irigasi yang dilakukan tergantung dari tipe tanah,
juga menggunakan beberapa sumber pupuk iklim dan musim (Simon et al., 1990; Laughlin
(Laughlin, 1978). dan Chung, 1992).
Kelengasan tanah harus dipertahankan,
Tanah untuk mencegah terjadinya “fertilizer burn” yaitu
suatu kondisi dimana pengaruh osmotik dari
Tanaman artemisia dapat hidup dan tumbuh
konsentrasi yang tinggi dari unsur N atau K yang
dengan baik pada tanah-tanah yang mempunyai
akan menyebabkan tanaman menjadi kering
kisaran pH antara 5,5-8,5 (pH optimum 6-8).
karena “terbakar” (Simon et al., 1990; Laughlin
Sensitivitas tanaman artemisia terhadap tanah
dan Chung, 1992). Selain itu juga kekeringan
masam (basa), tergantung pada jenis klon yang
dapat mempercepat proses fase generatif yaitu
digunakan. Apabila klon yang ditanam sensitif
pembungaan cepat terbentuk . Dampak dari hal
pada tanah-tanah dengan pH rendah atau tinggi,
tersebut adalah tanaman menjadi pendek
maka produktivitas tanaman akan menurun,
akibatnya produktivitas tanaman dan artemisinin
sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan
menurun. Charles et al., (1993), menyatakan
atau menurunkan pH tersebut.
bahwa perlakuan stress air 2 minggu sebelum
Beberapa hasil penelitian terdapat klon-klon
panen, mengindikasikan penurunan kadar
yang toleran terhadap tanah-tanah masam atau
artemisinin, tetapi penelitian lain menyatakan
basa. Klon yang berasal dari China umumnya
perlakuan stress pada waktu sebelum panen
lebih tahan terhadap tanah asam ataupun basa
tidak mempengaruhi kadar artemisinin. Secara
karena dapat tumbuh pada kisaran pH 5,0-8,2.
umum, pemberian stres air sebelum panen tidak
Sedangkan klon yang berasal dari Yugoslavia
akan menurunkan kadar artemisinin (Ferreira et
dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH
al., 2005)
yang lebih sempit yaitu 5,4-7,4 (Laughlin, 1993).
Penggunaan kapur 10 ton/ha pada klon hibrida
BUDIDAYA ARTEMISIA DI INDONESIA
China dan Yugoslavia di tanah red kraznozem di
Tasmania dapat menaikkan pH dari 5 menjadi 5.5 Tingginya jumlah penderita penyakit malaria
dan meningkatkan bobot kering biomas dari 1 yang menyangkut kehidupan manusia karena

62 Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 57 - 67


berakibat sangat fatal yaitu dapat menyebabkan memenuhi persyaratan tumbuh secara umum
kematian, ditambah lagi satu-satunya obat yang masih memungkin untuk dilakukan
selama ini diandalkan untuk mengatasi hal pengembangan artemisia antara lain ketinggian
tersebut telah resisten terhadap penyakit malaria. tempat 1000 – 1500 m dpl, tanah berpasir atau
Hal ini mengindikasikan banyaknya kebutuhan berlempung yang berdrainase baik dengan pH
artemisinin untuk menanggulangi penyakit 5,5-8,5 (pH optimum 6-8), dan curah hujan 700-
malaria. Selain itu lingkungan persyaratan 1000 mm/tahun (Woerdenbag et al., 1994;
tumbuh yang sesuai dan adanya klon yang Magalhaes dan Delabays, 1996; Ban et al.,1999).
mampu beradaptasi dan menghasilkan produksi
tinggi, merupakan alasan yang tepat untuk
pengembangan artemisia di Indonesia. Dengan
tujuan untuk mengurangi ketergantungan Pemilihan Klon
terhadap negara-negara lain. Beberapa klon yang ada mempunyai
Seperti halnya di Malaysia (5°30’ LS), telah karakteristik tersendiri serta responnya berbeda-
dilakukan pembudidayaan artemisia, yang beda terhadap lingkungan. Adanya klon yang
dilaporkan oleh Chan et al., (1995), bibit yang lambat dan cepat berbunga (Gambar 3),
berasal dari klon Hanoi, berumur 3 minggu merupakan pilihan untuk dikembangkan dan
dipindah ke lapang. Pembungaan terbentuk pada masing-masing mempunyai kelemahan dan
umur 13 minggu, kadar artemisinin maksimum kelebihan. Pemilihan klon yang tepat untuk
(0,39%) diperoleh 1 minggu sebelum pembunga- daerah tropis menurut Ferreira et al., (2005)
an. Meskipun kendala yang dihadapi, umumnya adalah klon yang lambat berbunga dan
sama dengan daerah tropis lainnya yaitu diharapkan tanaman dapat tumbuh optimal yaitu
tanaman cepat berbunga dan kadar artemisinin bisa mencapai ketinggian > 1.5 m, sehingga
rendah. menghasilkan produksi herba dan artemisinin
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di tinggi. Pada klon pembungaan lambat,
dalam mengembangkan artemisia di Indonesia memerlukan waktu yang cukup lama dalam
harus memperhatikan beberapa hal. Upaya- proses produksi (± 7-8 bulan), dalam waktu satu
upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tahun hanya dapat dilakukan satu kali
tersebut antara lain: 1) pemilihan lokasi, 2) penanaman (sama dengan daerah sub tropis).
pemilihan klon, dan 3) memanipulasi ling- Akibat intensitas cahaya tinggi dan waktu
kungan. penyinaran yang pendek, menyebabkan tanaman
artemisia mempercepat proses generatif sehingga
Pemilihan Lokasi cepat berbunga. Namun demikian tidak menutup
Dalam upaya pengembangan artemisia di kemungkinan untuk pengembangan klon-klon
Indonesia pemilihan lokasi cocok untuk pertum- sperti ini. Hal tersebut merupakan permasalahan
buhan tanaman artemisia sangat penting dan sekaligus juga keuntungan dalam
dilakukan untuk memenuhi syarat tumbuhnya. mengembangkan artemisia dibandingkan dengan
Indonesia yang terletak antara 6° LU – 11° masih daerah sub tropis. Kondisi tersebut memungkin
memungkinkan untuk pembudidayaan artemisia. penanaman artemisia dapat dilakukan beberapa
Kisaran lingkungan tumbuh artemisia cukup kali dalam satu tahun, kapan saja dapat ditanam,
panjang antara 40°LU hingga 42°LS. asalkan ketersedian air terpenuhi untuk
Pemilihan lokasi yang optimal di Indonesia pertumbuhan awal. Hal lain yang dapat
paling tidak berada pada posisi 6° L dan 11° LS dilakukan untuk mengatasi klon yang cepat
yaitu pada daerah-daerah utara dan selatan berbunga adalah dengan optimalisasi lahan
Indonesia, dengan lama penyinaran matahari hingga jumlah populasi optimal. Dengan
lebih sedikit dari 12 jam (di atas garis ekuator 0°). demikian dapat dihasilkan produksi total herba
Namun demikian daerah-daerah lain yang maupun artemisinin per tahun cukup tinggi.

Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia (GUSMAINI dan HERA NURHAYATI) 63
(a) (b)

Gambar 3. Klon cepat berbunga (a) dan lambat berbunga (b)

Selain dua klon introduksi di atas, pemilihan Pemenuhan kebutuhan air pada awal-awal
klon lokal juga merupakan alternatif yang perlu pertumbuhan (2-3 bulan) atau waktu tanam yang
dipertimbangkan. Hal ini memerlukan penelitian tepat yaitu ditanam pada awal musim penghujan.
lebih lanjut seperti di Vietnam dengan Apabila kekurangan air pada awal penanaman
mengembangkan klon lokal setempat justru maka akan percepat pembungaan (Technoserve,
menghasilkan produksi dan kandungan 2004), sehingga fase vegetatif lebih cepat
artemisinin tinggi (Ferreira et al., 2005). Cara lain akibatnya pembentukan daun menjadi lebih
untuk menghasilkan klon yang lebih cocok sedikit dan berdampak pada produksi herba
dengan lingkungan Indonesia adalah melalui rendah. Selain itu pemberian bahan organik juga
hibridisasi. Namun untuk menghasilkan klon perlu dilakukan untuk menjaga kelembaban
hibrida membutuhkan waktu yang cukup lama tanah, juga memperbaiki sifat fisik, biologi dan
dan biaya yang tidak sedikit. kimia tanah.
Untuk merangsang fase vegetatif antara lain
Manipulasi Lingkungan Agroklimat pemangkasan, dan pemupukan N secara
bertahap (Ferreira et al., 2005). Melalui pemang-
Selain pemilihan wilayah dan klon yang
kasan akan terbentuk cabang-cabang baru
tepat, faktor agroklimat juga tidak kalah penting.
sehingga akan tumbuh daun-daun muda lebih
Permasalahan yang dihadapi rendahnya
banyak. Dengan demikian pemberian pupuk N
produktivitas tanaman artemisia di iklim tropis,
yang merangsang terbentuknya daun-daun baru,
perlu dilakukan upaya melalui memanipulasi
sehingga tanaman dapat menghasilkan produksi
lingkungan agroklimat antara lain; kebutuhan air
daun tinggi. Selain itu penggunaan naungan juga
dan waktu tanam yang tepat, bahan organik,
cukup penting untuk mengurangi tingginya
pemangkasan, pemupukan, bahan organik
intensitas cahaya dan suhu di Indonesia.
penaungan, dan pemberian mikroba.

64 Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 57 - 67


Bahan aktif artemisinin adalah hasil dari Kimia Farma, IPB, dan PT. SIL) dan uji coba skala
proses metabolik sekunder yang tergolong di industri (PT. Kimia Farma).
dalam bahan aktif terpenoid khususnya triterpen. Beberapa hasil penelitian dilaporkan antara
Pembentukan metabolik sekunder tersebut, lain Kimia Farma (2006), melaporkan produksi
dipengaruh oleh proses di dalam pembentukan daun kering A. annua 5 ton/ha dan menghasilkan
metabolik primer. Pada proses metabolik primer 10 – 15 kg Artemisinin. Kadar artemisinin dalam
terbentuk prekusor yaitu farnesyl pyrophosphate simplisia antara 0,25–0,41% (rendah). Sedangkan
(FPP) yang merupakan pusat molekul di dalam secara ekonomis untuk menanam artemisia
metabolisme tanaman dan berperan sebagai mengandung kadar artemisinin di dalam daun
prekusor langsung dari sesquiterpen (umumnya minimal 0,6%. Hasil penelitian menunjukkan
disintesis langsung di dalam sitoplasma dari FPP) bahwa perlakuan P meningkatkan kadar
dan triterpen yang dihubungkan dengan artemisinin, tapi merangsang pembungaan,
biosintesis monoterpen dan tetraterpen. sehingga produksi rendah (PT SIL, 2006).
Artemisinin disintesa dari FPP melalui aktivitas Budidaya dengan pupuk kandang pada
dari prenyltransferase farnesyl diphosphate (Souret et intensitas cahaya 70% (Kimia Farma, 2006), 83%
al., 2003). Pembentukan metabolik primer (BPTO, 2006).
tersebut dipengaruhi oleh input yang diberikan Beberapa penelitian budidaya sedang
termasuk unsur hara, karena penyusun FPP pada dilakukan antara lain; penelitian peningkatan
metabolik primer dipengaruhi oleh unsur fosfat. kadar artemisinin dengan cekaman air dan
Untuk meningkatkan kadar artemisinin dapat pupuk nitrogen, penentuan umur panen dan
dilakukan pemberian pupuk P. pelayuan untuk meningkatkan kadar artemisinin
Seperti yang dikemukakan di depan bahwa namun kadar artemisinin yang dilakukan oleh
ZPT dapat meningkatkan kadar artemisinin, BPTO. Sedangkan Balai Penelitian Tanaman Obat
karena harganya mahal maka sulit untuk dan Aromatik (Balittro) sedang melakukan
diaplikasikan di lapang. Alternatif lain yang penelitian yang dimulai tahun 2006 dalam upaya
dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan meningkatkan produksi dan kadar artemisinin,
mikroba, yang berfungsi selain dapat memfiksasi antara lain melalui pendekatan keragaman
hara sehingga serapan hara meningkat, juga genetik dengan menggunakan irradiasi,
mengandung fitohormon yang dibutuhkan pengujian adapatasi beberapa klon di dua
tanaman. agroklimat, dan penggunaan pupuk dan
mikroba.
PERKEMBANGAN PENELITIAN
ARTEMISIA DI INDONESIA KESIMPULAN

Penelitian artemisia di Indonesia diawali Artemisia annua L. cukup potensial untuk


dengan pembentukan konsorsium dari beberapa dibudidayakan dan dikembangkan di Indonesia
instansi termasuk perguruan tinggi yang mengingat banyaknya penderita penyakit
dimotori oleh Departemen Kesehatan pada tahun malaria, besarnya kebutuhan obat antimalaria,
2006. Hasil pertemuan di Balai Besar Penelitian adanya daerah yang mempunyai lingkungan
Tanaman Obat (BPTO) di Tawangmangu, tumbuh yaitu ketinggian tempat 1000 – 1500 dpl,
menghasilkan beberapa kesepakatan mengenai iklim dengan curah hujan minimal 700-1000
pembagian tugas antara lain dari aspek budidaya mm/tahun, intensitas cahaya yang rendah dan
dan penanganan pasca panen (Balittro, BPTO, klon yang sesuai untuk ditanam di daerah tropis
Universitas Satya Wacana, dan IPB); dan metode yaitu yang lambat berbunga. Beberapa hal yang
analisis fitokimia, ekstraksi dan isolasi harus diperhatikan di dalam membudidayakan
kandungan kimia tanaman A. annua (Puslit Kimia artemisia di Indonesia agar dapat berproduksi
LIPI, Puslit Medicine dan Farmasi Depkes, PT. dan mengandung kadar artemisinin tinggi,

Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia (GUSMAINI dan HERA NURHAYATI) 65
antara lain adalah pemilihan lokasi, klon yang _________, J.C. Laughlin, N. Delabays and P.M.
cocok dan memanipulasi lingkungan agroklimat de Magalhaes. 2005. Cultivation and
antara lain pemangkasan, pemberian pupuk, genetics of Artemisia annua L. for
naungan, bahan organik dan mikroba. increase production of the antimalarial
artemisinin. Plant Genetic Resources. III
DAFTAR PUSTAKA (2) : 206-229.
Figueira, G.M. 1996. Mineral nutrition, product-
Acton, N., Klayman D.L. and Rollman I.J. 1985. ion, and artemisinin content in Artemisia
Eductive electrochemical HPLC assay annua L. Proceedings of the Interna-
for artemisinin (qinghaosu). Planta tional Symposium on Medicinal and
Medica 51: 445–446. Aromatic Plants. Acta Horticulturae
Ban, N.T., Y.X. Phuong an C.B. Lugt. 1999. 426: 573–577.
Artemisia, L.. In Medicinal and Poison- Jesus, L.D. 2003. Effects of Artificial Polyploidy
ous Plants. I, Edited by L.S de Padna, N. in Transformed Roots of Artemisia annua
Bunyapraphatasara and R.H.M.J. Lem- L. A thesis. Submitted to the Faculty of
mens. Prosea. 12 (1) : 139-147 Worcester Polytechnic Institute. USA.
BPTO. 2006. Laporan Hasil Penelitian Artemisia. Kimia Farma. 2006. Laporan hasil penelitian
Disampaikan pada Pertemuan Penyu- Artemisia. Disampaikan pada pertemu-
sunan Grand Proposal Artemisia di an penyusunan grand proposal artemi-
Tawangmangu, 12-14 September 2006. sia di Tawangmangu, 12-14 September
Chan K.L., Teo K.H., Jinadasa S. and Yuen K.H. 2006.
1995. Selection of high artemisinin Laughlin, J.C. 1978. The effect of band placed
yielding Artemisia annua. Planta Medica nitrogen and phosphorus fertilizer on
61: 185–187. the yield of poppies (Papaver somniferum
Charles, D.J., Simon J.E., Shock C.C., Feibert L.) grown on krasnozem soil. Acta
E.B.G. and Smith R.M. 1993. Effect of Horticulturae. 73: 165–172.
water stress and post-harvest handling _________ and Chung B. 1992. Nitrogen and
on artemisi-nin content in the leaves of irrigation effects on the yield of poppies
Artemisia annua L. In: Janick J. and (Papaver somniferum L.). Acta Horticul-
Simon J.E. (eds), New Crops. New York: turae 306: 466–473.
John Wiley and Sons, pp. 640–643. __________. 1993. Effect of agronomic practices
Ebadi, N. 2002 . Pharmacodynamic Basis of Herbal on plant yield and antimalarial
Medicine. CRC Press. London- New constituents of Artemisia annua L. Acta
York- Washington D.C. Horticulturae 331: 53–61.
ElSohly, H.N. 1990. A large-scale extraction tech- __________. 2002. Post-harvest drying treatment
nique of artemisinin from Artemisia effects on antimalarial constituents of
annua. Journal of Natural Products 53: Artemisia annua L. Acta Horticulturae
1560–1564. 576: 315–320.
Ferreira, J.F.S., Simon J.E. and J. Janick. 1995. Liersch, R, Soicke H., Stehr C. and Tullner H.V.
Developmental studies of Artemisia 1986. Formation of artemisinin in
annua: flowering and artemisinin pro- Artemisia annua during one vegetation
duction under greenhouse and field period. Planta Medica 52: 387–390.
conditions. Planta Medica 61: 167–170. Klayman, D.L. 1993. Artemisia annua: from weed
_________, and Janick J. 1996. Immunoquan- to respectable antimalarial plant. In:
titative analysis of artemisinin from Kinghorn AD and Balandri MF (eds)
Artemisia annua using polyclonal Human Medicinal Agents from Plants.
antibodies. Phytochemistry 41: 97–104.

66 Volume 6 Nomor 2, Desember 2007 : 57 - 67


Washington, DC: American Chemical promising antimalarial drug. Indian
Society, pp. 242–255 Journal of Pharmaceutical Sciences
Magalhaes, P.M. de., B. Fereira, A. Santoratto, J. 48:137–138.
Oliveira and N. Debruner. 1996. New Souret, Fre´de´ ric F., Yoojeong Kim, Barbara E.
hybrid of the antimalarial species Wyslouzil, Kristin K. Wobbe, 3 Pamela
Artemisia annua L. Abstract. J. Weathers. 2003. Scale-Up of Artemisia
Magalhaes, P.M.N. Delabays. 1996. The Selection annua L. Hairy Root Cultures Produces
of Artemisia annua L. for cultivation in Complex Patterns of Terpenoid Gene
tropical region. Proc. Internal Plants Expression. Biotechnology And Bioengi-
Symposium on Breeding Research on neering. 83 (6).
Medicinal and Aromatic Plants. Srivastava, N.K. and Sharma S. 1990. Influence of
Quedlinburg-Germany: 185-188. micronutrient imbalance on growth and
Marchese, J.A., Casiraghi V., Lira R., Tedesco A.C artemisinin content in Artemisia annua.
and Rehder V.L.G. 2002. Flowering of Indian Journal of Pharmaceutical
Artemisia annua L. plants submitted to Sciences 52: 225–227.
different photoperiod and temperature Technoserve. 2004. Report into the feasibility of :
conditions. Proceedings of the 1st Latin Production of Artemisia annua in
American Symposium on MAP. Acta Tanzania and Kenya and extraction of
Horticulturae 569: 275–280. artemisisnin in Tanzania and Kenya.
McVaugh, R. 1984. A descriptive account of the Technoserve, Tanzania, October 2004.
vascular plants of Western Mexico. In: Wang, C.W. 1961. The forests of China, with a
Andersohn WR (ed.) Flora Novo- survey of grassland and desert vegeta-
Galiciana Vol. 12. Compositae. Ann tions. In Harvard University Maria
Arbor: University of Michigan Press. Moors Cabot Foundation No. 5.
Simon, J.E. and Cebert E. 1988. Artemisia annua: a Cambridge, MA: Harvard University
production guide. In: Simon JE and Press, pp. 171–187.
Clavio LZ (eds). Third National Herb Woerdenbag, H.J., N. Pras N.G. Chan, B.T. Bang,
Growing and Marketing Conference. R. Bos, W. Uden, T.P. Boi, S. Batterman
Purdue University Agricultural Experi- and C.B. Laught. 1994. Artemisinin
mental Station Bulletin No. 552. West related sesquiterpenes and essential oil
Lafayette, IN: Purdue University, pp. in Artemisia annua during vegetation
78–83. period in Vietnam. Planta Medica. 60 :
Simon, J.E., Charles D., Cebert E., Grant L., Janick 272-275.
J. and Whipkey A. 1990. Artemisia WHO/MAL. 1998. The Use of Artemisinin and its
annua L.: a promising aromatic and Derivatives as Anti-malarial Drugs:
medicinal. In: Janick J. and Simon J. Report of a Joint CTD/DMP/TDR Infor-
(eds) Advances in New Crops. Portland, mal Consultation. Division of Control of
OR: Timber Press, pp. 522–526 Tropical Diseases, Malarial Unit: 33.
Singh A, Kaul V.K., Mahajan V.P., Singh A., Geneva: WHO.
Misra L.N., Thakur R.S. and Husain A. WHO. 2004. More than 600 million people need
1986. Introduction of Artemisia annua in effective malaria treatment to prevent
India and isolation of artemisinin, a unacceptably high death rates. Press
release WHO/29, 22 April.

Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia (GUSMAINI dan HERA NURHAYATI) 67

Anda mungkin juga menyukai