Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Inkompatibilitas ABO merupakan suatu keadaan akibat reaksi ikatan antara
antibody dalam plasma darah dengan antigen pada sel darah merah. Keadaan ini
dapat di jumpai pada kesalahan memberikan transfuse darah dari donor ke
penerima dan ketidaksesuaian golongan darah ibu dan janinnya pada waktu
kehamilan. Inkompatibilitas ABO dalam kasus kesalahan memberikan transfuse
darah dapat mengakibatkan reaksi transfuse letal (lethal transfusion reaction),
sehingga membutuhkan penanganan dengan cepat dan tepat. Kasus
inkompatibilitas pada kesalahan transfuse sangat jarang ditemukan pada era
kesehatan modern seperti sekarang. Pengidentifikasian golongan darah donor dan
penerima (crossmatch test) sudah memadai, selain itu tuntutan sikap untuk disiplin
dan berhati hati dalam memberikan pelayanan kesehatan oleh praktisi kesehatan
menghindarkan dari kelalaian dalam pemberian tranfusi darah yang tidak sesuai
dengan resepien.
Inkompatibilitas ABO dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana umur
sel darah merah janin atau neonates yang memendek akibat antibody ibunya.
Inkompatibilitas ABO lebih sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B
dan ibu golongan darah O. angka kejadian dalam kasus ini lebih bermaksna
dibandingkan dengan kehamilan inkompatibel pada ibu golongan darah A atau B.
kehamilan inkompatibilitas ibu golongan darah O dengan janin golongan darah A
atau B ditemukan sekitar 15-40% dari seluruh kehamilan.
Inkompatibilitas ABO dalam keadaan ini dapat menyebabkan bayi kuning
(ikterus) dan kadar biliruin meningkat, jika ikterus pada bayi tidak mendapatkan
penanggulangan yang baik akan berakibat kernikterus (penimbunan bilirubin di sel
sel otak), yang berdampak keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (serebral
palsy), tuli, dan bahkan kematian.
Inkompatibilitas ABO didapatkan sekitar 20-30% pada penderita ikterus neonatal
dari berbagai ras. Sejumlah penelitian menemukan bahwa resiko kejadian PHN
(Penyakit Hemolitik Neonatal) – ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna
dibandingkan dengan ras kulit putih. Di Afrika selatan ditemukan 47% dari
penderita ikterus neonatal disebabkan oleh inkompatibilitas ABO. Dalam
masyarakat Indonesia, kelompok golongan darah O merupakan persentase tertinggi
dibandingkan kelompok darah lainnya yaitu 40,8%, diikuti golongan A, B
kemudian AB. Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta (RSUPN CM), 59,2% ibu bergolongan darah O melahirkan bayi golongan
darah A dan B.
Inkompatibilitas ABO sering ditemukan pada kasus ikterus neonatal,
meskipun bermanifestasi ringan sampai sedang jika tidak ditangani dengan segera
dapat berakibat buruk bagi kesehatan bayi. Pemahaman yang baik mengenai jenis
inkompatibilitas beserta gejala klinis yang muncul, dapat sangat membantu praktisi
kesehatan untuk dapat membedakan jenis inkompatibilitas yang dihadapi sehingga
dapat pula menentukan jenis terapi yang tepat guna bagi janin.

B.       Rumusan Masalah


1.         Apa yang Dimaksud dengan Inkompatibilitas ABO?
2.         Apa saja Penyebab dan Gejala dari Inkompatibilitas ABO
3.         Bagaimana Manifestasi Klinis dari Inkompatibilitas ABO?
4.         Bagaimana cara Mendiagnosis dan Pemeriksaan Inkompatibilitas ABO?

C.       Tujuan
1.         Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Inkompatibilitas ABO
2.         Untuk mengetahui apa saja Penyebab dan Gejala dari Inkompatibilitas ABO
3.         Untuk mengetahui bagaimana Manifestasi Klinis dari Inkompatibilitas ABO
4.         Untuk mengetahui bagaimana cara Mendiagnosis dan Pemeriksaan
Inkompatibilitas ABO
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian
Inkompatibilitas ABO merupakan suatu kondisi sebagai akibat dari
ketidaksesuaian golongan darah antara ibu dan janin yang dikandungnya. (Ann
Longsdon, 2012). Kondisi inkompatibilitas terjadi pada perkawinan yang
inkompatibel di mana darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum
darah ibu bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga
tidak jarang embrio hilang pada waktu yang sangat awal secara misterius atau
tiba-tiba, bahkan sebelum ibu menyadari bahwa ia hamil (Suryo, 2005).
Inkompatibilitas   ABO   merupakan   salah   satu   penyebab   dari   penyak
it   hemolitik   pada neonatus yang biasanya terjadi pada janin dengan golongan
darah A,B atau AB dari ibu yang bergolongan darah O, karena antibodi yang
ditemukan pada golongan darah O ibuadalah dari kelas IgG yang dapat
menembus plasenta (Wagle, 2010).
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO). Antibodi dalam
plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun
volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel
maka akan semakin meningkatkan risiko. Penyebab terbanyak reaksi hemolisis
intravaskular akut adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi
akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien
ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada
tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi.
Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien
melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari
darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.

B.       Penyebab (Etiologi)


1.         Inkompabilitas ABO pada Kesalahan Tranfusi Darah
Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan karena
ketidaksesuaian golongan darah antara penerima dan pendonor.
Ketidaksesuaian ini mengakibatkan adanya reaksi penghancuran pada sel
darah merah donor oleh antibodi penerima. Keadaan ini disebut lethal
tranfusion reaction (Joyce Poole, 2001)
Keadaan ini terjadi karena kurang hati-hati dan teliti dalam
memberikan transfusi darah pada:
a.      Golongan A, B, atau AB kepada penerima yang bergolongan darah O
b.     Golongan darah A atau AB kepada penerima yang bergolongan darah B
c.      Golongan darah B atau AB kepada penerima yang bergolongan darah A
(Joyce Poole, 2001)

2.         Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)


Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh
ketidakcocokan dari golongan darah ibu dengan golongan darah janin,
dimana umumnya ibu bergolongan darah O dan janinnya bergolongan darah
A, atau B, atau AB. Dikarenakan dalam kelompok golongan darah O,
terdapat antibodi anti-A dan anti-B (IgG) yang muncul secara natural, dan
dapat melewati sawar plasenta. Situasi ini dapat juga disebabkan oleh karena
robekan pada membran plasenta yang memisahkan darah maternal dengan
darah fetal, sama halnya seperti pada previa plasenta, abruptio placenta,
trauma, dan amniosentesis. (Joyce Poole, 2001)

Tanda-tanda klinis :
1.      Segera :
Nyeri lumbal, nyeri sternal dan nyeri di tempat masuknya darah, demam
disertai menggigil dan kekakuan, gelisah, mual, muntah, urtikaria,
dispnea, dan hipotensi.
2.      Lanjut :
Perdarahan yang tidak dapat diatasi, hemoglobinuria, oliguria sampai
anuria, ikterus dan anemia. Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat
penyimpanan darah yan kurang baik, darah kadaluwars atau darah yang
sudah hemolisis karena terlalu dipanaskan/terlalu didinginkan

C.       Manifestasi Klinis


1.         Inkompabilitas pada Kesalahan Tranfusi Darah 
Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam
menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi,
hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria).
Pada reaksi hemolitik akut yang terjadi di intravaskular dapat timbul
komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular coagulation (DIC),
gagal ginjal akut (GGA), dan syok  (Joyce Poole, 2001).
Pada reaksi hemolitik tipe lambat memunculkan gejala dan tanda
klinis reaksi timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang
tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan
darah tepi. Beberapa kasus reaksi hemolitik tipe lambat  tidak
memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai
DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya
hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat
jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, reaksi ini 
akan memperburuk kondisi penyakit (Rizky Adriansyah, et.al., 2009).

2.         Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)


Manifestasi yang ditimbulkan Inkompatibilitas ABO neonatus terhadap janin
bervariasi mulai dari ikterus ringan dan anemia sampai hidrops
fetalis. Manifestasi yang muncul pada bayi setelah persalinan meliputi :
a.         Asfiksia
b.         Pucat (oleh karena anemia)
c.         Distres pernafasan
d.        Jaundice
e.         Hipoglikemia
f.          Hipertensi pulmonal
g.         Edema (hydrops, berhubungan dengan serum albumin yang rendah)
h.         Koagulopati (penurunan platelets dan faktor pembekuan darah)
i.           Ikterus mengarah pada Kern ikterus oleh karena hiperbilirubinemia
(University of Califorrnia, 2004).

D.       Patofisiologi
1.         Inkompatibilitas ABO pada transfusi darah
Terjadinya inkompatibilitas ABO pada transfusi darah disebabkan
karena kesalahan transfusi yaitu kesalahan dalam pemberian darah dimana
golongan darah resipien berbeda dengan golongan darah pendonor. Hal ini
mengakibatkan antibodi didalam golongan darah resipien akan melisiskan sel
darah merah  yang inkompatibel. Reaksi hemolitik pada kejadian
inkompatibilitas ABO dapat terjadi secara akut dan secara lambat(Rizky
Adriansyah, 2009).
Reaksi hemolitik akut pada transfusi merupakan masalah yang serius
karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat cepat ( kurang dari 24 jam
). Pada umumnya dikarenakan kesalahan dalam mencocokan sample darah
resipien dan donor. Proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah
(intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor
yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen yang berinteraksi
dengan antibodi pada resipien berupa IgM anti-A, anti – B atau anti-Rh.
Proses hemolitik dibantu oleh  reaksi komplemen sampai terbentukmembran
attack complex. Pada beberapa kasus terjadi interaksi plasma donor sebagai
antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen. Pada reaksi hemolitik akut
juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan komplemen, dan
proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen dan antibodi
akan meningaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K yang
menghasilkan perforin dan mengakibatkan lisis dari eritrosit(Rizky
Adriansyah, 2009).
Reaksi hemolitik lambat pada transfusi diawali dengan reaksi antigen-
antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara
ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen
yang berinteraksi dengan IgG atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit
yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika
eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan
komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh
sirkulasi darah dandihancurkan di limpa (Rizky Adriansyah, 2009).

2.         Inkompatibilitas ABO pada Neonatus


Timbulnya penyakit Rh dan ABO pada neonates terjadi ketika sistem
imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah pada janin
yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa
insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan Fetomaternal Microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen
seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut dapat melewati
plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-
sel eritrosit janin akan diselimuti dengan antibodi tersebut dan akhirnya
terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia.
Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan
melepaskan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara
berlebihan.Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan
pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.
Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah,
sepertiplatelet dan faktorpenting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat
berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
yang banyak dan dapat memperberat komplikasi.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen
darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan
bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang
telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam
sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan
terjadinya penumpukan bilirubin ,yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi
dapat berkembang menjadi kernikterus.

E.        Komplikasi
1.         Inkompabilitas pada Kesalahan Tranfusi Darah
Dalam kasus ini penderita dapat mengalami masalah yang serius
hingga kematian. Penatalaksanaan yang tepat dapat menyelamatkan jiwa
penderita. Komplikasi yang mungkin muncul pada inkompatibilitas ABO
sebagai akibat reaksi tranfusi adalah gagal ginjal, syok anafilaktik, dan
kematian (Rizky Adriansyah, et.al., 2009)

2.         Inkompabilitas pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)


Apabila janin sampai aterm dilahirkan hidup maka dapat terjadi ikterus
yang dapat mengarah pada ikterus patologis atau hiperbilirubinemia. Apabila
hal ini tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan kematian atau
kelainan perkembangannya seperti gangguan perkembangaan mental, tuli,
lambat bicara dan lain-lain (Suryo, 2005). 

F.        Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu.
Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs
tak langsung. (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini
bergantung kepada pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk
mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit
yang diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi,
lalu eritrosit dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi
listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi
eritrosit. Serum Coombs ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam
eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih
lanjut untuk menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat
bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca
persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam
darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan
darah tepi.

G.       Pemeriksaan Penunjang


1.         Pemeriksaan penunjang pada inkompatibilitas ABO kesalahan tranfusi
a.         Pemeriksaan crossmatch ulang antara darah pendonor dan penerima
b.         Direct Antiglobulin Test (DAT)
c.         Pemeriksaan serologis rhesus
d.        Urinalisis didapatkan adanya hemoglobinuria
e.         Pemeriksaan lain untuk mengetahui komplikasi dari reaksi hemolitik,
antara lain:
1)        Renal function test
2)        LDH, bilirubin dan haptoglobin
3)        Status koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time,
dan fibrinogen) (Rizky Adriansyah, et.al., 2009).
2.         Pemeriksaan penunjang pada Inkompatibilitas ABO neonatus, meliputi:
a.         Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis neonatus pada kasus inkompatibilitas ABO
merujuk pada pemeriksaan klinis pada ikterus neonatorum karena secara
klinis neonatus dengan inkompatibilitas ABO akan mengalami ikterus/
hiperbilirubinemia. Ikterus/ hiperbilirubinemia adalah pewarnaan di
kulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar
bilirubin dalam darah (Djoko Waspodo et.al., 2005)
Klinis akan menunjukkan ikterus bila kadar bilirubin dalam serum
adalah ≥ 5mg/dl (85µmol/L). Disebut hiperbilirubin adalah keadaan
kadar bilirubin serum mencapai 13 mg/dl (Djoko Waspodo et.al., 2010).
Pemeriksaan klinis ikterus dilakukan menggunakan pencahayaan yang
memadai. Pemeriksaan dimulai dari kepala, leher, dan seterusnya. Cara
pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-
lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor
disesuaikan dengan angka rata-rata di dalam gambar di bawah ini :
Pemeriksaan tanda klinis lain, meliputi adanya gangguan minum,
keadaan umum, apnea, suhu yang labil, sangat membantumenegakkan
diagnosa penyakit utama disamping keadaan hiperbilirubinemianya
(Djoko Waspodo et.al., 2010).
1)      Hitung sel darah merah
Pada kasus inkompatibilitas ABO pada neonatus, pemeriksaan
sel darah merah menunjukkan adanya retikulositosis (retikulosit > 4,
6%) dan mikrosferosit pada hapusan darah tepi (Desiana Dharmayani,
et.al., 2009)
Retikulosit merupakan sel darah merah imatur. Jika terjadi
anemia, sumsum tulang berusaha mengkompensasi dengan
meningkatkan aktivitas eritropoiesis, yang tercermin pada
peningkatan hitung retikulosit. Jika produksi sumsum tulang
terganggu maka hitung retikulosit akan tetap rendah (Desiana
Dharmayani, et.al., 2009).
2)      Direct Coomb Test (DCT)
Neonatus yang mengalami inkompatibilitas ABO, menunjukkan hasil
positif pada pemeriksaan ini. Tujuan dari pemeriksaan DCT untuk
mengetahui apakah sel darah merah diselubungi oleh IgG atau
komplemen, artinya apakah ada proses sensitisasi pada sel darah
merah di invivo (pada tubuh pasien). Bahan yang dipergunakan
adalah sel darah merah pasien. Pada pemeriksaan ini menggunakan
sampel darah dengan antikoagulan EDTA (Desiana Dharmayani,
et.al., 2009).

H.       Penatalaksanaan
1.         Inkompabilitas ABO pada Kesalahan Tranfusi
a.         Pemberian tranfusi harus diberhentikan
b.          Pemberian cairan intravena dilakukan dengan hidrasi PZ
(3000ml/m2/hari)

c.         Untuk pencegahan GGA :


1)        Dapat diberikan dopamin dosis rendah 1-5 mcg/kg/menit
2)        Diuretik osmotik: manitol (100 ml/kg/hari), selanjutnya diberikan
30ml/kg/hari atau furosemid 1-2ml/kgBB
d.        Jika dijumpai tanda DIC, pertimbangkan untuk dilakukan tranfusi FFP,
kriopresipitat, dan/ atau trombosit (Rizky Adriansyah, et.al., 2009). 

2.         Inkompabilitas ABO pada Kondisi Kehamilan (Neonatus)


a.         Tata laksana pada inkompatibilitas ABO dengan ikterus fisiologis  di
rumah adalah :
1)        Anjurkan ibu untuk menyusui bayi secara dini, dan ASI eksklusif
lebih sering minimal tiap 2 jam.
2)        Jika bayi tidak dapat menyusu, ASI eksklusif dapat diberikan
melalui pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok
3)        Gendong bayi untuk mendapatkan sinar matahari pagi selama 30
menit pada pukul 07.00-07.30 WIB, dalam 3-4 hari (Tunjung
Wibowo, 2010)
4)        Pada dasarnya inkompatibilitas ABO dengan ikterus fisiologis tidak
memerlukan penanganan khusus dan dapat menjalani rawat jalan
dengan nasehat untuk kembali jika ikterik berlangsung lebih dari 2
minggu (Djoko Waspodo et.al., 2010).
b.         Pemberian fototerapi
Fototeraapi merupakan terapi yang dilakukan dengan
menggunakan cahaya dari lampu fluorescent khusus dengan intensitas
tinggi, secara umum metode ini efektif untuk mengurangi serum
bilirubin dan mencegah ikterus (Potts and Mandleco, 2007).
Fototerapi dilakukan dengan memberikan sinar ultraviolet, baik
sinar biru (δ 400-550 nm), sinar hijau (550-800nm) maupun sinar putih
(300-800 nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang
larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu atau urin dan tinja.
Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu
isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer
kimia lainnya yang disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan
dari plasma saluran empedu. Lumirubin merupakan produk terbanyak
dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar (fototerapi). Sejumlah kecil
bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya
menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Hanya produk foto
oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin (Ali Usman, 2007).
Foto terapi menggunakan bola lampu sejumlah 6-8 buah, terdiri
dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau
daylightfluorescent tubes (Porter and Dennis, 2002). Spektrum cahaya
yang dikirim oleh unit fototerapi ditentukan oleh tipe sumber cahaya
dan filter yang digunakan, biasanya terdiri dari daylight, cool white,
blue atau special bluefluorescent tubes dan diberi label F20T12/BB
atau TL 52/20W. Durasi fototerapi dihitung berdasarkan waktu
dimulainya fototerapi sampai fototerapi dihentikan. Durasi fototerapi
ditentukan oleh penurunan nilai total serum bilirubin sampai mencapai
nilai yang diharapkan, sehingga tidak ada penentuan berapa jam
sebaiknya fototerapi diberikan (American Academy of Pediatric,
2004).
Fototerapi diberikan pada bayi yang mengalami ikterus berat,
kemudian tentukan apakah bayi memiliki faktor resiko, seperti: BBLR,
preterm, dan hemolisis. Hentikan fototerapi jika bilirubin serum berada
di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, akan tetapi jika bilirubin
serum berada pada atau di atas nilai yang dibutukan terapi sinar, maka
lanjutkan fototerapiPengukuran kadar bilirubin dilakukan tiap 24 jam,
kecuali pada kasus-kasus tertentu. Fototerapi dihentikan jika kadar
bilirubin serum kurang dari 13mg/dL. Jika kadar bilirubin tidak dapat
diukur, lanjutkan sampai 3 hari kemudian dan lakukan pemeriksaan
bilirubin serum jika memungkinkan. Akan tetapi jika tetap tidak bisa
dilakukan pemeriksaan bilirubin serum, maka lakukan pemeriksaan
ikterus dengan metode klinis (Moeslichan, et.al., 2004; American
Academy of Pediatric, 2004).
Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi oleh
jarak antara lampu (semakin dekat sumber cahaya, semakin besar
irradiasinya) dan permukaan kulit yang terkena cahaya, karena itu
dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi pada fototerapi intensif
(Maisels,et al, 2008). Jarak antara kulit bayi dan sumber cahaya.
Dengan lampu neon, jarak harus tidak lebih besar dari 50 cm (20 inch).
Jarak ini dapat dikurangi sampai 10-20 cm jika homeostasis suhu
dipantau untuk mengurangi resiko overheating (Judarwanto, 2012).
Efek samping ringan yang harus diwaspadai perawat meliputi
feses encer kehijauan, ruam kulit transien, hipertermia, peningkatan
kecepatan metabolisme,seperti hipokalsemia dan priaspismus. Untuk
mencegah atau meminimalkan efek tersebut, suhu dipantau untuk
mendeteksi tanda awal hipotermia atau hipertermia, dan kulit
diobservasi mengenai dehidrasi dan kekeringan, yang dapat
menyebabkan ekskoriasi dan luka (Wong, 2009).
Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, jarang terjadi dan
reversibel. Komplikasi yang sering terjadi (Sastroasmoro, 2004) :
1)        Bronze baby sindrom: mekanisme berkurangnya ekresi hepatic
hasil penyinaran bilirubin
2)        Diare: bilirubin indirek menghambat lactase
3)        Hemolisis: fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
4)        Dehidrasi: Insesible Water Loss ↑ (30-100%) karena menyerap
energi foton.
5)        Ruam kulit: Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit
dengan pelepasan histamin.

BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Bayi usia 38 minggu yang pada saat usianya 12 jam terdapat warna kuning
yang menjalar dari muka hingga ke seluruh badannya dalam waktu 24 jam
mengalami ikterus neonatorum yang termasuk keadaan patologis karena
munculnya ikterus kurang dari 24 jam. Selain itu, pembuktian bahwa bayi
ini tergolong ikterus patologis adalah dengan cara memeriksa kadar
bilirubinnya. Kemudian, untuk mengetahui penyebabnya, diperlukan
adanya pemeriksaan penunjang seperti Tes Coomb. Karena bayi ini baru lahir,
penyebab tersering ikterus ini adalah ketidakcocokan golongan darah bayi dengan
golongan darah ibu, sehingga untuk terapinya, tergantung dari keparahan anemia
yang ditimbulkan (akibat adanya hemolysis) dan hiperbilirubinemia pada bayi.
Ada beberapa pilihan terapi, di antaranya immunoglobulin, fototerapi, transfusi
tukar, atau jika sudah sangat parah kombinasi antara transfusi tukar dengan
fototerapi.

DAFTAR PUSTAKA

Sabiston, David C. Buku ajar bedah (sabiston’s essentials surgery).alih bahasa


PetrusAndrianto, Timan I.S; editor: Jonathan Oswari. Jakarta: EGC, 1995
Wang, et.al., (2005). Hemolytic Disease of the Newborn Caused by a High Titer Anti-
Group B IgG From a Group A Mother. Pediatric Blood & Cancer
Haque KM, and Rahman M. (2000). An Unusual Case of ABO-Haemolytic Disease
ofthe Newborn. Bangladesh Medical Research Council
Mennuti, M. (2011). Management of Pregnancy with ABO
Incompatibility.TheFoundation for Exxcellence in Women's Health Care
Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian IKA
FKUI, 1991: 332-334

Anda mungkin juga menyukai