Anda di halaman 1dari 10

Meningkatkan Pemahaman Relasional Melalui Strategi Konflik Kognitif

Iskandar Zulkarnain
Prodi Pendidikan Matematika FKIP Unlam Banjarmasin

Abstract

This paper explores the findings in the field (South Kalimantan) on the
understanding of student / teacher in algebra. The findings indicate a difficulty in
high school students and misconceptions in the majority of teachers in the region
in solving algebra problems that are not conventional.

Based on these findings the author offers an alternative strategy, namely the
cognitive conflict strategy to analyze their understanding. This strategy is
expected to enhance students' understanding of relational and overcome the most
fundamental difficulties in learning algebra which in turn can contribute to
national identity.

Keywords: misconceptions, understanding, cognitive conflict, learning algebra

Latar Belakang

Dalam pembelajaran matematika tidak jarang siswa mengalami kesalahan


konsep atau ‘miskonsepsi’ dalam upaya untuk memahami suatu materi. Banyak
hal yang menyebabkan miskonsepsi terjadi, misalnya lemahnya konsep awal yang
ada pada siswa atau pemahaman yang tidak komprehensif. Kesalahan konsep
dapat menyebabkan kemampuan yang rendah dalam pendidikan matematika. Jika
miskonsepsi ini dibiarkan, siswa akan mengalami kesulitan dalam memahami
materi matematika lanjutan. Parahnya, para siswa bahkan tidak menyadari bahwa
konsep-konsep mereka yang sudah ada itu tidak konsisten dengan gambaran
ilmiah. Keadaan ini harusnya segera diatasi dengan menghadapkan mereka
dengan pengalaman yang memunculkan ketidakseimbangan dan kemudian
membantu untuk membentuk konsep yang ilmiah. Untuk itu perlu dikembangkan
strategi pengajaran yang dapat mengatasi masalah tersebut.
2

Banyak penelitian dalam pendidikan matematika menggunakan konflik


kognitif sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran siswa akan
kesalahpahaman mereka dan mendukung pemahaman konsep aljabar (misalnya,
Tall, 1977; Fujii, 2003; Zazkis & Chernoff, 2006; Hagit, 2008). Membangkitkan
konflik kognitif sering dianggap sebagai strategi pengajaran yang dapat
berkontribusi dalam pembelajaran. Beberapa peneliti memperlakukan pendekatan
pengajaran konflik sebagai sarana dalam membantu pelajar merekonstruksi
pengetahuan mereka (misalnya, Watson, 2002; Stylianides & Stylianides, 2008).

Landasan Teori

Teori Ekuilibrium Piaget


Teori Piaget berpendapat bahwa perkembangan intelektual manusia
dikendalikan oleh dua fungsi biologis utama yaitu organization dan adaptation
(Piaget, 1952). Organization adalah sebuah fungsi untuk membentuk struktur
kognitif yang oleh Piaget disebut ‘Skema’. Organization adalah konsep Piaget
yang berarti usaha mengelompokkan perilaku yang terpisah-pisah ke dalam urutan
yang teratur, ke dalam sistem fungsi kognitif. Setiap level pemikiran akan
diorganisasikan. Perbaikan terus menerus terhadap organisasi ini adalah bagian
inheren dari perkembangan (Santrock, 2008). Adaptation merupakan sebuah
fungsi untuk menyesuaikan individu terhadap lingkungan dimana individu itu
tinggal dan di dalamnya meliputi dua proses yang tak terpisahkan yaitu asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah sebuah proses yang menggabungkan
pengetahuan yang baru ke dalam skema yang dimiliki individu yang sudah ada.
Di lain pihak, proses adaptasi yang lainnya, akomodasi, cenderung untuk
menyesuaikan skema yang ada atau secara langsung menciptakan sebuah skema
yang baru untuk menyesuaikan pengalaman atau informasi yang baru.
Asimilasi dan akomodasi penting untuk proses ekuilibrasi. Piaget
berpendapat bahwa ada gerakan yang kuat antara keadaan ekuilibrium kognitif
dan disekuilibrium saat asimilasi dan akomodasi bekerja sama dalam
menghasilkan perubahan kognitif (Santrock, 2008). Ada sebuah kontrol biologis
3

yang digunakan untuk mengejar sebuah keadaan yang optimal tentang


keseimbangan antara struktur kognitif seorang individu dengan lingkungan yang
ditinggalinya. Ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya, orang itu
akan mencapai proses ekuilibrasi jika struktur kognitif yang sudah ada bekerja
dengan baik untuk menjelaskan pengetahuan yang baru didapatkan. Ketika
struktur kognitif yang sudah ada gagal untuk bereaksi terhadap informasi yang
baru, disekulibrium menyebabkan seseorang melakukan pengejaran terhadap re-
ekulibrasi terhadap struktur kognitif yang ada. Individu itu akan beranjak naik ke
tingkat perkembangan ekuilibrasi yang lebih tinggi setelah proses akomodasi
terlaksana.

Strategi Konflik Kognitif


Salah satu dari strategi pengajaran utama yang berdasarkan pada
konstruktifisme adalah strategi konflik kognitif. Strategi ini berkembang
berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan bahwa pengetahuan siswa yang
sebelumnya mempengaruhi bagaimana cara mereka mempelajari pengetahuan
yang baru dan membentuk gambaran ide yang baru. Strategi ini adalah sebuah
keadaan dimana siswa merasa adanya ketidakcocokan antara strukur kognitif
mereka dengan keadaan lingkungan sekitarnya atau antara komponen-komponen
dari struktur kognitif mereka (Lee et al, 2003).
Pada gambaran ide yang ada pada siswa saat ini ditemukan permasalahan
ilmiah, bila permasalahan ini terus dibiarkan, maka akan menghambat siswa untuk
mendapatkan ide yang ilmiah di kelas. Para siswa mungkin tidak sadar bahwa
pemahaman mereka itu tidak sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh para
pengajar (Tall, 1977). Pengajar pun justru memiliki kekurangan pada
kewaspadaan tentang kurangnya pemahaman diakibatkan oleh pemahaman siswa
yang tidak tepat terus dibiarkan.
Seperti yang dikatakan oleh Maier (Pathare & Pradhan, 2004), “Sebuah
cara untuk memecahkan atau mencegah miskonsepsi adalah menghadapkan secara
langsung miskonsepsi itu dengan sebuah pengalaman yang menyebabkan
ketidakseimbangan yang diikuti oleh akomodasi yang disebutkan pada teori
4

Piaget”. Strategi pengajaran konflik kognitif ini mengikuti cara yang secara nyata
menentang ide-ide siswa yang sudah ada dalam rangka untuk memberanikan
siswa dalam mengidentifikasi masalah pemahaman mereka sendiri dan untuk
memotivasi mereka dalam membangun sebuah pemahaman yang tepat. Menurut
Limon (2001), strategi ini secara umum adalah : 1). Menganalisis pengetahuan
yang sudah ada pada siswa ; 2). Menantang siswa dengan informasi yang
berlawanan ; 3). Mengevaluasi perubahan konsep antara ide-ide siswa yang sudah
ada dengan informasi yang terbaru.
Fujii (2003) menggunakan konflik kognitif sebagai alat untuk
menganalisis dan menilai kualitas dan kedalaman pemahaman siswa dalam
pelajaran aljabar.

Prosedur Perlakuan

Baru-baru ini (awal pekan keempat September 2010) kami diminta oleh
ketua program studi Pendidikan matematika FKIP Unlam di Banjarmasin untuk
membantu memberi pelatihan pada PLPG di Banjarmasin dengan topik
pendalaman materi. Peserta pelatihan adalah guru-guru SMA dari berbagai
kabupaten di Kalimantan Selatan yang berjumlah 20 orang. Sempat terpikir
dibenak kami, materi apa yang kiranya tepat diberikan pada pelatihan itu. Dengan
berbagai pertimbangan akhirnya dipilih materi aljabar. Alasan pemilihan topik
aljabar, khususnya persamaan dan pertidaksamaan kuadrat, adalah hasil ujicoba
informal yang kami lakukan di dua sekolah favorit sekitar bulan Maret 2009
memberikan hasil yang tidak menggembirakan. Saya berpikir apakah ada yang
keliru dalam pengajarannya sehingga siswa dengan kategori unggulan tidak
mampu menyelesaikan soal : x2 + x > -1 ?

Tahap I : Identifikasi potensi konflik


Nah, pada kesempatan pelatihan itu kami mengajukan soal pertama yang
sama kami berikan pada siswa SMA kelas X. Soal tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi potensi konflik yang mungkin muncul. Penulis instruksikan
5

bahwa soal dikerjakan dalam dua setting yang berurutan. Pertama, masing-masing
peserta bekerja secara individual untuk menyelesaikan soal dengan pemahaman
sendiri. Kemudian mereka berdiskusi dengan setidaknya satu peserta lain di kelas
pada soal yang sama. Ada yang bekerja berpasangan dan ada yang berkelompok
dengan empat anggota.
Penulis fokus mengamati situasi kelas sesaat setelah memberikan soal.
Beberapa saat kemudian terdengar jawaban yang mengejutkan saya (instruktur) :
“ Pak, tidak ada jawabannya”.
“ Jawabannya imajiner, pak”. Sahut peserta lainnya.
Penulis katakan, “silahkan diskusikan dulu dalam kelompok”.
Mereka menjawab hampir serentak, “jawabannya sama pak, tidak ada”.
………………………..
Penulis sudah hampir dapat menyimpulkan bahwa pemahaman peserta pelatihan
(yang notabene adalah guru) terhadap materi pertidaksamaan kuadrat belum
komprehensif. Selanjutnya, penulis menyusun strategi untuk menciptakan situasi
konflik kognitif.

Tahap II : Contoh penyangkal/kontradiksi


Instruktur mulai dengan mengatakan :
“ bagaimana bila x = 0 ?”
Jawab sebagian mereka, “bisa pak”.
Lainnya menjawab, “ memenuhi pak”
Bagaimana bila x saya ganti dengan “1” ?, kata instruktur selanjutnya .
“Juga memenuhi pak” sahut mereka serentak.
“Lantas mengapa anda mengatakan tidak ada jawaban, bukankah 0 dan 1
bilangan real?” kata instruktur.

Mereka tercengang.
Sebagian kelihatan bingung dan ada yang memandang penulis dengan
pandanga heran.
6

Ada yang terlihat penasaran dengan mengatakan, “ biasanya difaktorkan


untuk mendapatkan nilai x, tapi karena diskriminannya kurang dari nol
maka tidak ada nilai x yang memenuhi”.
Instruktur katakan, “Apakah tidak ada cara selain dengan cara yang
saudara lakukan sekarang ?”

Salah satu peserta berucap, “Di buku prosedurnya seperti itu pak, yaitu
menentukan harga x kemudian menguji interval dengan batas-batas x
tadi”.
“Karena diskriminannya kurang dari nol maka x tidak ada pak”, Sahut
peserta lainnya.
“Cara apa saja yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan
kuadrat ?” kata instruktur.
“Dengan pemfaktoran” kata salah satu peserta.
“Dengan menggunakan rumus abc, pak” kata peserta lainnya.
“Dengan melengkapkan kuadrat” yang lain menyahut.

Tahap III : Resolusi konflik


“Baik, mana diantara cara tersebut yang belum anda coba?” kata
instruktur.
“Dengan pemfaktoran tidak bisa pak” jawab hampir semua peserta.
“Dengan rumus abc juga tidak, karena diskriminannya kurang dari nol”

kata peserta lainnya.

“ Silahkan coba cara ketiga” kata instruktur.


…………………………. (suasana hening sejenak).

Sesaat kemudian ada yang telah memperoleh hasil perhitungan dengan


mengatakan, “ sama saja pak, ruas kanannya bernilai negatif sehingga
tidak dapat ditarik akarnya”.
7

“Bagaimana yang lainnya, adakah hasil yang beda” kata instruktur.

“Sama semua pak” hampir serentak jawaban peserta.

Penulis sudah dapat menduga permasalahan yang dihadapi oleh peserta


pelatihan. Mereka hanya bekerja secara prosedural, tanpa melihat (membaca)
ekspressi yang ada. Padahal alat-alat bukti yang mereka gunakan sudah cukup. Ini
adalah sebuah indikasi bahwa, kemampuan untuk mengkombinasikan aktifitas
matematika seperti membaca, mentransformasikan dan mengekspresikan masih
perlu dikembangkan.
Penulis meminta salah satu peserta untuk menunjukkan apa yang sudah
dikerjakannya. Hasil pekerjaannya adalah (persis seperti yang telah diduga) :
x2 + x > -1
x2 + x + 1 > 0
x2 + x + 1 = 0
(x + ½)2 + 1 = (½)2
(x + ½)2 + 1 = ¼
(x + ½)2 = -3/4

Pada contoh ini, kita dapat melihat bagaimana sebuah prosedur untuk
penyelesaian pada persamaan kuadrat terbawa dan menjadi sebuah model yang
kuat yang tidak berubah. Tentu saja mereka mendapat kesukaran bila harus
menarik akar kuadrat di ruas kanan yang bernilai negatif.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut kami meminta pada peserta agar


pada langkah ketiga tidak mengubah tanda pertidaksamaan menjadi tanda
persamaan dan hanya bekerja pada ruas kiri dengan membiarkan ruas kanan
pertidaksamaan tetap nol. Melalui bantuan dengan petunjuk (hint) yang kami
berikan, ekspresi aljabar yang mereka peroleh adalah :
(x + ½)2 + ¾ > 0
Dengan demikian pertidaksamaan kuadrat :
8

x2 + x > -1 ekivalen dengan (x + ½)2 + ¾ > 0


Melalui ekspresi terakhir ini, peserta mulai memahami bahwa berapapun nilai x
yang diberikan tetap akan memenuhi pertidaksamaan. Dengan cara itu pula
mereka mendapat pemahaman baru bahwa dengan melengkapkan kuadrat dapat
digunakan untuk menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat. Hal yang baru bagi
mereka.

Penutup

Melalui diskusi dengan peserta pelatihan terungkap bahwa, mereka


mengajar persis seperti urutan yang ada pada buku. Dari satu bab ke bab yang lain
tanpa membuat peta materi prioritas. Penguasaan konsep mereka dapat dikatakan
tidak dangkal, namun masing-masing konsep berdiri sendiri tidak saling terkait.
Keadaan seperti ini memicu munculnya kesalahan konsep seperti yang disinyalir
oleh Santi & Sbaragli (2008) bahwa sebuah ‘miskonsepsi’ itu bukanlah kurangnya
pengetahuan atau sekedar sebuah kesalahpahaman konsep melainkan pengetahuan
yang tidak berfungsi pada sebuah keadaan yang lebih luas.

Strategi konflik kognitif dalam pembelajaran matematika mempunyai


peran yang penting untuk mengubah konsepsi yang salah dengan menghadapkan
miskonsepsi dengan pengalaman yang memunculkan ketidakseimbangan yang
diikuti oleh proses akomodasi. True Learning terjadi bila seorang individu dapat
menyelesaikan konflik dengan menata ulang struktur kognitif mereka sedemikian
rupa sehingga konflik ditampung dan berasimilasi ke dalam struktur kognitif
individu.

Daftar Pustaka

Fujii, T. (2003). Probing Student’s Undestanding Of Variables Through


Cognitive Conflict Problem. Is The Concept Of A Variable So
9

Difficult For Student To Understand ? [Online]. Tersedia : http//


onlinedb.terc.edu/PME2003/ PDF/Plen5fujii.pdf [26 Pebruari 2010]
Lee, G. et al. (2003). Development of an Instrument for Measuring Cognitive
Conflict in Secondary-Level Science Classes. [Online]. Tersedia : http//
www.rhodes.aegean.gr/ptde/labs/lab-fe/downloads /articles/cognitive_
conflict.pdf [20 April 2010]

Limon, M. (2001). On the cognitive conflict as an instructional strategy for


conceptual change: a critical Appraisal. [Online]. Tersedia :
www.elsivier.com/locate/learninstruc [18 Pebruari 2010]

Pathare, S & Pradhan, H.C. (2004). Students’ Alternative Conceptions in Pressure

Heat and Temperature. [Online]. Tersedia : http://www.hbcse.tifr.res.in/


episteme/episteme-1/allabs/shirish_abs.pdf [20 April 2010]

Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children. New York :


International Universities Press,Inc.

Santi, G. & Sbaragli, S. (2008). Misconceptions and semiotics : a comparasion.


[Online].Tersedia : http://www.dm.unibo.it/rsddm/it/articoli/sbaragli/2008
Cipro [ 1 April 2010]

Santrock, JW. (2008). Psikologi Pendidikan, edisi kedua. Jakarta: Kencana.

Sela, H. (2008). Coping With Mathematical Contradictions With Peers. [Online].


Tersedia : http//tsg.icme11.org/document/get/632 [28 Pebruari 2010]

Stylianides, A.J. & Stylianides G.J. (2008). Cognitive Conflict as a Mechanism


For Supporting Developmental Progressions in Students, Knowledge
About Proof. [Online]. Tersedia :http// tsg.icme11.org/document/get/283
[21 Januari 2010]

Tall, D. (1977). Cognitive Conflict and the Learning of Mathematics. [Online]


Tersedia : http:// www.warwick.ac.uk/staff/David.Tall/pdfs/dot1977a-cog-
confl-pme.pdf [21 Januari 2010]

Watson, JM. (2002). Creating Cognitive Conflict a Controlled Research Setting :


Sampling. [Online]. Tersedia : http// www.stat.auckland.ac.nz/~iase/
publications/1/6a1_wats.pdf [28 Pebruari 2010]

Zazkis, R. & Chernoff, E. (2006). Cognitive Conflict and its Resolution Via
Pivotal/Bridging Example. [Online]. Tersedia : http// www.emis.de/
proceedings /PME30/5/465.pdf [20 Januari 2010]
10

Anda mungkin juga menyukai