Anda di halaman 1dari 23

BAB II

URAIAN TEORETIS

2.1 INDUSTRI

2.1.1 Pengertian Industri

Dalam istilah ekonomi, industri mempunyai dua pengertian, yaitu pengertian

secara luas dan pengertian secara sempit. Dalam pengertian secara luas, industri

mencakup semua usaha dan kegiatan bidang ekonomi yang bersifat produktif.

Sedangkan pengertian secara sempit, industri adalah suatu kegiatan yang mengubah

suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi

barang setengah jadi.

Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1984, industri adalah kegiatan ekonomi

yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi atau barang jadi

dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya termasuk rancang bangunan

dengan rekayasa industri.

Dikemukakan Dumairy tahun 1996, industri mempunyai dua pengertian.

Pertama, industri merupakan himpunan prusahaan-perusahaan kertas. Kedua, industri

adalah sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah

bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi.

Menurut G. Kartasapoetra (1997), yang dimaksud dengan industri adalah

kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku dan bahan setengah jadi

menjadi barang yang nilainya lebih tinggi.


Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik ( BPS ), industri adalah suatu

kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang jadi dan barang yang

kurang nilainya menjadi barang yang lebih nilainya.

Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa industri

merupakan salah satu kegiatan ekonomi manusia yang sangat penting. Melalui

kegiatan industri akan dihasilkan berbagai kebutuhan manusia, mulai dari peralatan

sederhana sampai pada peralatan modern. Jadi, pada dasarnya kegiatan itu lahir untuk

memenuhi kebutuhan manusia. Dengan kata lain, industri sudah dikenal sejak zaman

purbakala. Walaupun pada awal perkembangannya masih sangat sederhana dan

terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dalam lingkungan yang

terbatas.

2.1.2 Klasifikasi Industri

Selanjutnya BPS membagi industri menjadi empat golongan, yaitu :

1. Industri besar, apabila mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.

2. Industri sedang, apabila mempunyai tenaga kerja 20 – 99 orang.

3. Industri kecil, apabila mempunyai tenaga kerja 5 – 19 orang.

4. Industri rumah tangga, apabila memiliki tenaga kerja 1 – 4 orang.

Menurut Julian Luthan (1979) dalam bukunya yang berjudul “ Beberapa

Aspek Ketenagakerjaan Perusahaan Kecil di Indonesia “ mengklasifikasikan industri

ke dalam empat golongan, yaitu :


1. Industri besar, adalah industri yang menggunakan mesin dengan tenaga kerja

50 orang ke atas.

2. Industri sedang, adalah industri yang menggunakan mesin dengan tenaga

kerja 5 – 49 orang.

3. Industri kecil, adalah industri yang menggunakan mesin dengan tenaga kerja

1 – 4 orang.

4. Industri Rumah tangga, yaitu suatu usaha pengubahan atau pembentukan

suatu barang menjadi barang lain yang nilainya lebih tinggi dan tidak

menggunakan tenaga kerja yang dibayar, misalnya seorang istri yang

membantu suaminya dalam usaha atau kegiatan industri keluarga.

Industri dapat digolongkan berdasarkan beberapa sudut tinjauan atau beberpa

pendekatan. Di Indonesia, industri digolongkan berdasarkan kelompok komoditas,

skala usaha dan berdasarkan arus produknya. Penggolongan yang paling universal

adalah berdasarkan International Standard of Industrial Classification ( ISIC ), yaitu

berdasarkan pendekatan kelompok komoditas.


Tabel 2.1
Penggolongan Industri menurut ISIC
Kode Kelompok industri
31 Industri makanan, minuman, dan tembakau
32 Industri Tekstil, pakaian jadi dan kulit
33 Industri kayu dan barang-barang dari kayu, termasuk
perabotan rumah tangga
34 Industri kertas dan barang-barang dari kertas,
percetakan dan penerbitan
35 Industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia,
minyak bumi, batu bara, karet dan plastik.
36 Industri barang galian bukan logam, kecuali minyak
bumi dan batu bara.
37 Industri logam dasar
38 Industri barang dari logam, mesin dan peralatan
39 Industri pengolahan lainnya
Sumber : Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Untuk keperluan perencanaan anggaran negara dan analisis pembangunan,

pemerintah membagi sektor pengolahan menjadi tiga subsektor, yaitu :

1. Subsektor industri pengolahan non migas

2. Subsektor pengilangan minyak bumi

3. Subsektor pengolahan gas alam cair.

Sedangkan untuk keperluan pengembangan sektor industri itu sendiri serta

berkaitan dengan administrasi departemen perindustrian dan perdagangan,

digolongkan atas hubungan arus produk, yaitu :


1. Industri Hulu, yang terdiri dari :

- Industri kimia dasar

- Industri mesin, logam dasar dan elektronika

2. Industri Hilir, yang terdiri dari :

- Aneka industri

- Industri kecil

2.1.3 Pengertian Industri Kecil

Secara lisan dan tulisan, banyak pihak menggunakan istilah yang berbeda

untuk membahas industri kecil ini. Di samping digunakan istilah industri kecil (small

industry), ada sejumlah istilah lain yang bermakna sama, seperti : usaha kecil (small

business), perusahaan kecil (small enterprise atau small firm), usaha skala kecil

(small scale busines ) dan lain-lain. Ada yang menyatakan industri kecil adalah

sektor, sedangkan industri kecil adalah subsektor. Anggapan ini sebaiknya diabaikan

saja karena semua istilah itu pada dasarnya memiliki kadar yang sama.

Pendefenisian industri kecil menurut lembaga atau departemen-departemen

adalah :

1. Badan Pusat Statistik mendefenisikan industri kecil adalah sebuah perusahaan

yang mempekerjakan 5-10 orang tenaga kerja.

2. Bank Indonesia mendefenisikan industri kecil adalah sebagai usaha yang

memiliki asset maksimal Rp 600.000.000 di luar tanah dan bangunan.


3. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mendefenisikan industri kecil

sebagai industri yang mempunyai nilai investasi seluruhnya sampai dengan

Rp 200.000.000 di luar tanah dan bangunan. Hal ini sesuai dengan surat

keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.254/MPP/Kep/7/1987

tanggal 28 Juni 1987.

4. Undang-Undang No.9 tahun 1999 tentang Usaha Kecil.

Di dalam Undang-Undang No.9 Tahun 1999 di tetapkan bahwa usaha kecil

adalah suatu unit usaha yang memiliki nilai asset neto ( tidak termasuk tanah

dan bangunan ) yang tidak melebihi Rp 200 juta, atau penjualan per tahun

tidak lebih besar dari 1 milyar.

2.1.4 Peranan Industri Kecil

Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, maka kebijakan pembangunan

ekonomi bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dapat dipandang

sebagai keseluruhan usaha pembangunan yang seimbang di berbagai daerah.

Laju pertumbuhan ekonomi suatu negara ataupun suatu daerah tercermin dalam

peningkatan pendapatan perkapita dan penyerapan tenaga kerja. Pencapaian tujuan

pembangunan regional tidak terlepas dari perencanaan pembangunan sesuai potensi

sumber daya yang tersedia di wilayah itu sendiri.

Agar pembangunan regional dapat memberikan manfaat bagi masyarakat

maka lingkungan pembangunan pedesaan merupakan suatu proses yang membawa


peningkatan kemampuan penduduk pedesaan menguasai lingkungan sosial disertai

peningkatan taraf hidup masyarakatnya.

Di Indonesia, Industri kecil merupakan tulang punggung pembangunan dan

merupakan salah satu syarat terciptanya suatu stabilitas politik karena kemampuannya

memperkecil jumlah pengangguran baik yang tinggal di daerah pedesaan, maupun

daerah perkotaan. Macetnya perkembangan industri kecil sebaliknya akan

menimbulkan situasi politik yang rawan karena banyaknya pengangguran di

Indonesia (James, 1993 ).

Peran Industri kecil dalam proses pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak

dapat diabaikan begitu saja, karena selama ini usaha kecil telah memberikan

kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan domestik. Sektor perdagangan,

transportasi dan usaha kecil ternyata berperan penting sebagai penghasil devisa. Oleh

karena itu pengembangan usaha kecil dirasa cukup penting sampai 25 tahun

mendatang, diproyeksikan kemampuan penyerapan tenaga kerja dari berbagai sektor

seperti pertanian, jasa dan industri sangat terbatas. Dalam kondisi seperti ini industri

kecil diharapkan memainkan peranan khususnya dalam penyerapan tenaga kerja.

Oleh karena itu, industri kecil sangat penting untuk didukung mengingat

alasan-alasan berikut, pertama masalah fleksibilitas dan adaptabilitasnya di dalam

memperoleh bahan mentah dan peralatan. Kedua, relevansinya dengan proses

desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integrasi kegiatan pada

sektor-sektor ekonomi yang lain. Ketiga, potensinya terhadap penciptaan dan

perluasan kesempatan kerja bagi pengangguran. Dan keempat, peranannya dalam


jangka panjang sebagai basis bagi mencapai kemandirian pembagunan ekonomi,

karena usaha kecil umumnya diusahakan oleh pengusaha dalam negeri.

2.1.5 Kekuatan dan Kelemahan Industri Kecil

Kekuatan industri kecil adalah terutama dalam beberapa hal berikut :

a. Sangat padat karya dan persediaan tenaga kerja di Indonesia masih sangat

banyak, mengikuti laju pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang rata-

rata pertahun masih sangat tinggi. Sehingga, upah nominal tenaga kerja

khususnya dari kelompok berpendidikan rendah di Indonesia masih sangat

relatif murah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia dengan jumlah

penduduk dan angkatan kerja yang lebih sedikit.

b. Industri kecil di Indonesia masih lebih banyak membuat produk-produk

sederhana yang tidak terlalu membutuhkan pendidikan moral yang tinggi,

melainkan keahlian khusus yang dimiliki warga setempat lewat sumber-

sumber informal ( traditional skills ). Selain itu berbeda dengan industri kecil

Taiwan, Jepang, Korea Selatan, misalnya kebanyakan produk-produk yang

dihasilkan oleh industri kecil di Indonesia masih lebih banyak berbobot

teknologi sederhana yang dapat diperoleh di dalam negeri dengan harga

murah.

c. Banyak industri kecil membuat produk-produk yang bernuansa kultur seperti

kerajinan dari bambu dan rotan atau ukir-ukiran dari kayu yang pada dasarnya

merupakan kehalian tersendiri dari masyarakat di masing-masing daerah.


Hanya saja kelemahan pengusaha-pengusaha kecil tersebut selama ini tidak

membuat hak cipta terhadap produk-produk mereka, dan tidak melakukan

banyak inovasi baik dalam proses pembuatan maupun desain, sehingga

produk-produk mereka akan mudah ditiru oleh orang asing dengan kualitas

dan desain yang lebih baik dan memiliki hak cipta.

d. Secara umum, kegiatan industri kecil dan rumah tangga di Indonesia masih

sangat agricultured based, karena memang banyak komoditas-komoditas

pertanian yang dapat diolah dalam skala kecil. Karena sektor pertanian paling

tidak secara potensial merupakan sektor terbesar di Indonesia, maka

sebenarnya pengembangan industri kecil di Indonesia mempunyai suatu

prospek yang sangat baik, termasuk yang berorientasi ekspor. Selain itu

karena banyak industri kecil bergerak di bidang agroindustri, maka pada

umumnya kelompok industri lebih banyak menggunakan bahan baku dan

bahan penolong lokal atau tingkat ketergantungan terhadap impor jauh lebih

rendah dibandingkan intensitas impor industri besar dan menengah.

e. Pengusaha-pengusaha kecil dan rumah tangga lebih banyak menggantungkan

diri pada uang sendiri atau pinjaman dari sumber informal untuk modal kerja

dan investasi mereka. Walaupun banyak juga yang memakai fasilitas kredit

khusus dari pemerintah. Memang nilai investasi tetap di industri kecil dan

rumah tangga rata-rata jauh lebih rendah daripada industri besar menengah

yang bukan hanya skala usahanya yang besar, tetapi proses produksinya lebih

kompleks dan padat modal.


Kelemahan industri kecil terutama dalam hal kemampuannya untuk bersaing

masih sangat lemah, tidak hanya di pasar domestik terhadap produk-produk dari IMB

atau impor tetapi juga di pasar ekspor. Tidak hanya tingkat daya saing globalnya,

tetapi tingkat diversifikasi produk dari industri kecil di Indonesia juga rendah.

Kelemahan ini juga disebabkan oleh banyak masalah-masalah yang dihadapi

kelompok industri tersebut yang menjadi kendala serius bagi perkembangan serta

pertumbuhannya.

Masalah-masalah tersebut termasuk keterbatasan dana, baik untuk modal kerja

maupun investasi, kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan penyediaan bahan baku

dan input-input lainnya, keterbatasan sumber daya manusia ( pekerja dan manajer )

dengan kualitas baik, pengetahuan/wawasan yang minim mengenai bisnis, tidak

hanya akses ke informasi, keterbatasan teknologi dan lainnya. Tingkat keseriusan dari

setiap masalah tersebut bervariasi, tidak hanya antara subsektor, tetapi juga antara

sesama pengusaha di subsektor yang sama ( Tambunan, 1999 : 118 ).

2.1.6 Pengembangan Industri Kecil

Basri ( 1994 : 153 ) menjelaskan bahwa untuk pengembangan industri kecil di

masa yang akan datang ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Dalam konteks kebijakan, peran penting pemerintah hendaknya menjamin

terintegrasinya kepentingan industri kecil dalam kebijakan makro ekonomi

dan tidak diskriminatif. Pengembangan industri kecil tidak hanya berdasarkan


atas asas pemerataan tetapi lebih terkait dengan kelangsungan pertumbuhan

ekonomi dan kesempatan kerja.

b. Di tingkat kelembagaan, mekanisme kerjasama antara lembaga pemerintah,

swasta, maupun swadaya harus dikembangkan berdasarkan pembagian kerja

fungsional.

c. Prioritas pengembangan industri kecil haruslah dalam konteks pertumbuhan

ekonomi dan kesempatan kerja. Ini berarti pengembangan infrastruktur

haruslah diorientasikan kepada pola distribusi sumber daya yang merata

terhadap pelaku ekonomi yang ada.

Inti dari pengembangan industri kecil sebagaimana dikemukakan di atas pada

dasarnya terletak pada upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Dengan adanya sumber daya yang bermutu, maka industri kecil akan dapat tumbuh

dan berkembang menjadi industri kecil yang tangguh.

Hingga saat ini sebenarnya sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk

membantu industri kecil. Mulai dari menciptakan banyak credit schemes dari

perbankan, keharusan BUMN menyisihkan sebagian dari profitnya untuk membantu

industri kecil, menciptakan sentra-sentra, hingga gerakan nasional kemitraan usaha.

Tapi sayangnya, fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini kinerja industri kecil di

Indonesia belum baik, terutama jika dibandingkan dengan industri kecil negara-

negara lain seperti Taiwan, Singapura dan Korea Selatan. Program-program

pemerintah selama ini ternyata tidak terlalu efektif ( Tambunan, 1999 : 221 ).
Menurut Tambunan, salah satu penyebabnya adalah bahwa selama ini

pemerintah belum memiliki visi yang jelas mengenai peranan industri kecil di dalam

perekonomian Indonesia, dan ini sangat mempengaruhi kebijaksanaan pengembangan

industri kecil selama ini. Industri kecil dianggap penting hanya sebagai salah satu

instrument politik untuk menaggulangi masalah-masalah kemiskinan dan

ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Industri kecil tidak hanya dilihat sebagai

suatu kelompok unit usaha yang seharusnya terintegrasi sepenuhnya di dalam dunia

usaha nasional secara nyata. Industri kecil harus dilihat sebagai unit usaha yang

terintegrasi sepenuhnya dengan IMB di dalam industri nasional.

Peranan pemerintah juga harus berubah. Peranan pemerintah dalam

mendukung industri kecil dan menengah hanyalah sebagai fasilitator, stimulator,

regulator dan stabilisator. Hal utama yang perlu dilakukan pemerintah, khususnya

pemerintah daerah setempat, bukan memberikan segala macam fasilitas-fasilitas

kemudahan seperti credit schemes dengan suku bunga murah, melainkan

menghilangkan segala market distortions, pengaturan-pengaturan tata niaga yang

kenyataannya selama ini hanya memperbesar distorsi pasar yang lebih merugikan

industri kecil itu sendiri.

2.1.7 Peranan Industri Kecil Dalam Pembangunan Khusunya Terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja

Kontribusi sektor industri dalam perekonomian secara makro cukup berarti.

Sumbangan tersebut terutama dari segi penyerapan tenaga kerja. Di samping itu
mereka juga memberikan kontribusi dalam penciptaan nilai tambah dan devisa ekspor

non migas meskipun nilainya relative kecil.

Melihat sifat industri kecil yang banyak menggunakan tenaga manusia, maka

sangat intensif dalam penggunaan sumber-sumber alam lokal. Lokasinya yang

banyak terdapat di daerah pedesaan, maka diperkirakan bahwa pertumbuhan tenaga

kerja yang bekerja, pengurangan jumlah pengangguran dan kemiskinan, pemerataan

dalam distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi di daerah pedesaan.

Apabila industri kecil ini dibina dan dikembangkan dengan baik,

sumbangannya akan lebih besar bagi perekonomian nasional pada umumnya dan

memberikan sumbanagn bagi daerah di mana industri kecil itu tumbuh dan

berkembang. Hal ini dapat dilihat dari peranan industri kecil terhadap perluasan

kesempatan kerja, pemerataan dan peningkatan penghasilan masyarakat serta

peningkatan ekspor.

2.2 TEORI KETENAGAKERJAAN

Di Indonesia, pengertian tenaga kerja atau manpower mulai sering

diperdengarkan. Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja,

yang sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah

dan mengurus rumah tangga. Secara praktis pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga

kerja hanya dibedakan oleh batas umur. Di Indonesia semula dipilih batas umur

minimum adalah 10 tahun. Pemilihan 10 tahun sebagai batas umur minimum adalah
berdasarkan kenyataan bahwa dalam umur tersebut sudah banyak penduduk berumur

muda terutama di desa-desa sudah bekerja atau mencari pekerjaan.

Dengan bertambahnya kegiatan pendidikan maka jumlah penduduk dalam

usia sekolah yang melakukan kegiatan ekonomi akan berkurang. Bila wajib sekolah

sembilan tahun diterapkan, maka anak-anak sampai dengan umur 14 tahun akan

berada di sekolah. Dengan kata lain jumlah penduduk yang bekerja dalam batas umur

tersebut akan menjadi sangat kecil, sehingga batas umur minimum lebih tepat

dinaikkan menjadi15 tahun.

Atas pertimbangan tersebut, Undang-Undang N0. 25 tahun 1997 tentang

ketenagakerjaan telah menetapkan batas usia kerja menjadi 15 tahun.

Tenaga kerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan

kerja. Angkatan kerja atau labor force terdiri dari golongan yang bekerja, golongan

yang menganggur dan golongan yang mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan

kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga

dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga golongan dalam kelompok

angkatan kerja sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab

itu kelompok ini sering juga dinamakan sebagai potential labor force.

Selanjutnya angkatan kerja dibedakan pula menjadi dua sub kelompok, yaitu

pekerja dan penganggur. Yang dimaksud dengan pekerja ialah orang-orang yang

mempunyai pekerjaan dan memang sedang bekerja, serta orang yang mempunyai

pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja ( misalnya :

wanita karir yang sedang hamil ).


Badan Pusat Statistik mendefinisikan bekerja adalah melakukan pekerjaan

dengan maksud memperoleh upah atau membantu memperoleh pendapatan atau

keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara kontiniu dalam

seminggu. Termasuk dalam batas ini pekerja keluarga tanpa upah yang membantu

dalam satu usaha / kegiatan ekonomi.

Penganggur ialah orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Lengkapnya, orang

yang tidak bekerja dan (masih atau sedang) mencari pekerjaan. Penganggur inilah

oleh BPS dinyatakan sebagai penganggur terbuka.

2.2.1 Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja

Permintaan tenaga kerja adalah kebutuhan yang sudah didasarkan atas

kesediaan membayar upah tertentu sebagai imbalannya. Pemberi kerja bermaksud

menggunakan atau meminta sekian orang karyawan dengan kesediaan membayar

upah sekian rupiah setiap waktu. Jadi, dalam permintaan ini sudah ikut

dipertimbangkan tinggi rendahnya upah yang berlaku dalam masyarakat, atau yang

dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

Persediaan tenaga kerja ialah jumlah orang yang tersedia, mampu dan

bersedia untuk melakukan pekerjaan. Dalam pengertian inipun faktor upah tidak ikut

dipertimbangkan. Sedangkan dalam penawaran tenaga kerja sudah ikut

dipertimbangkan factor upah. Dalam hal ini pencari kerja bersedia menerima

pekerjaan itu, atau menawarkan tenaga kerjanya apabila kepadanya diberikan upah

sekian rupa setiap waktunya. Misalkan dengan menggunakan teknologi tertentu,


seorang pengusaha mungkin membutuhkan 500 orang tenaga. Akan tetapi karena

upah yang dituntut terlalu tinggi, mungkin ia hanya mampu mempekerjakan atau

meminta 400 orang saja, sedangkan yang lainnya ditunda dahulu atau dibatalkan.

Oleh karena itu, kebutuhan tenaga kerja merupakan permintaan potensial (Suroto,

1992:21-22).

Salah satu masalah yang biasa muncul dalam bidang angkatan kerja adalah

ketidakseimbangan antara permintaan akan tenaga kerja (demand for labor) dan

penawaran tenaga kerja (supply of labor), pada suatu tingkat upah.

Ketidakseimbangan tersebut dapat berupa, (a) lebih besarnya penawaran dibanding

permintaan terhadap tenaga kerja (adanya excess supply of labor) dan (b) lebih

besarnya permintaan dibanding penawaran tenaga kerja (adanya excess demand for

labor).

Excess
SL
W SL W SL

We W2
E

DL DL

0 Ne N 0 N3 N4 N
(i) ( ii )
W
SL

W2
Excess DL
DL
0 N3 N4 N
( iii )

Gambar 2.1
Ketidakseimbangan Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja

Keterangan:

SL = Penawaran tenaga kerja (supply of labor)

DL = Permintaan tenaga kerja

W = Upah riil

N = Jumlah tenaga kerja

Penjelasan gambar:

1. Jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah sama dengan

jumlah tenaga kerja yang diminta, yaitu masing-masing sebesar Ne pada

tingkat upah keseimbangan We. Titik keseimbangan dengan demikian adalah

titik E. Di sini tidak ada excess supply of labor maupun excess demand for

labor. Pada tingkat upah keseimbangan We maka semua orang yang ingin
bekerja telah dapat bekerja. Berarti tidak ada orang yang menganggur. Secara

ideal keadaan ini disebut full employment pada tingkat upah We tersebut.

2. Pada gambar kedua terlihat adanya excess supply of labor. Pada tingkat upah

W1 penawaran tenaga kerja (SL) lebih besar daripada permintaan tenaga kerja

(DL). Jumlah tenaga kerja yang menawarkan dirinya untuk bekerja adalah

sebanyak N2 sedangkan yang diminta hanya N1. Dengan demikian ada orang

yang menganggur pada tingkat upah W1 ini sebanyak N1 N2.

3. Pada gambar ketiga terlihat adanya excess demand for labor. Pada tingkat

upah W2 permintaan akan tenaga kerja (DL) lebih besar daripada penawaran

tenaga kerja (SL). Jumlah orang yang menawarkan dirinya untuk bekerja pada

tingkat upah W2 adalah sebanyak N3 orang, sedangkan yang diminta adalah

sebanyak N4. (Subri, 2003 : 54-56)

Terdapat beberapa teori yang membahas mengenai tenaga kerja, diantaranya :

a. Teori Adam Smith ( 1729 – 1790 )

Smith menganggap bahwa manusia merupakan faktor produksi utama

yang menentukan kemakmuran suatu bangsa. Alasannya, alam (tanah) tidak ada

artinya kalau tidak ada sumber daya manusia yang mengolahnya, sehingga

bermanfaat bagi kehidupan.

Smith juga melihat bahwa alokasi sumber daya manusia yang efektif

adalah awal pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal

(fisik) baru mulai dibtuhkan untuk menjaga agar ekonomi tetap tumbuh. Dengan
kata lain, alokasi sumber daya manusia yang efektif merupakan syarat perlu

(necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi.( Subri, 2003:2 )

b. Teori Lewis ( 1959 )

Lewis menyebutkan bahwa kelebihan pekerja bukan merupakan suatu

masalah, melainkan suatu kesempatan. Kelebihan pekerja satu sector akan

memberikan andil terhadap pertumbuhan out put dan penyediaan pekerja di sector

lain.

Ada dua struktur di dalam perekonomian Negara berkembang, yaitu sector

kapitalis modern dan sector subsisten terbelakang. Menurut Lewis sector

subsisten terbelakang tidak hanya terdiri dari sector pertanian, tetapi juga sector

informal lainnya.

Sektor subsisten terbelakang mempunyai kelebihan penawaran pekerja

dan tingkat upah relative murah daripada sector kapitalis modern. Lebih

murahnya biaya upah pekerja asal pedesaan akan dapat menjadi pendorong bagi

pengusaha di perkotaan untuk memanfaatkan pekerja tersebut dalam

pengembangan industri modern perkotaan. Selama berlangsungnya proses

industrialisasi, kelebihan penawaran pekerja di sector subsisten terbelakang akan

diserap.

Bersamaan dengan terserapnya kelebihan pekerja di sector industri

modern, maka pada suatu saat tingkat upah di pedesaan akan meningkat.
Selanjutnya peningkatan upah ini akan mengurangi perbedaan/ketimpangan

tingkat pendapatan antara perkotaan dan pedesaan.

Dengan demikian menurut Lewis, adanya kelebihan penawaran pekerja

tidak memberikan masalah pada pembangunan ekonomi. Sebaiknya kelebihan

pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan, dengan

asumsi bahwa perpindahan pekerja dari sector subsiten ke sector kapitalis modern

berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak akan pernah menjadi “terlalu

banyak”.( Subri, 2003:56 )

c. Teori Fei-Ranis (1961)

Teori Fei-Ranis berkaitan dengan Negara berkembang yang mempunyai

ciri-ciri kelebihan buruh, sumber daya alamnya belum dapat diolah, sebagian

besar penduduknya bergerak di sector pertanian, banyak pengangguran, dan

tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Menurut Fei-Ranis ada tiga tahap pembangunan ekonomi dalam kondisi

kelebihan buruh. Pertama, di mana para penganggur semu dialihkan ke sector

industri dengan upah institusional yang sama. Kedua, tahap di mana pekerja

pertanian menambah out put tetapi memproduksi lebih kecil dari upah

institusional yang mereka peroleh, dialihkan pula ke sector industri. Ketiga, tahap

ditandai awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan

out put lebih besar daripada perolehan upah institusional. Dan dalam hal ini

kelebihan pekerja terserap ke sector jasa dan industri yang meningkat terus
menerus sejalan dengan pertambahan out put dan perluasan usahanya.(Subri,

2003:57)

2. 2. 2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Tenaga Kerja

a. Tingkat Upah

Tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi

perusahaan. Kenaikan tingkat upah akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi

yang selanjutnya akan meningkatkan harga per unit produk yang dihasilkan.

Apabila harga per unit produk yang dijual ke konsumen naik, reaksi yang

biasanya timbul adalah mengurangi pembelian atau bahkan tidak lagi membeli

produk tersebut. Kondisi ini memaksa produsen untuk mengurangi jumlah produk

yang dihasilkan, yang selanjutnya juga dapat mengurangi akibat perubahan skala

produksi disebut efek skala produksi (scale effect).

Suatu kenaikan upah dengan asumsi harga barang-barang modal yang lain

tetap, maka pengusaha mempunyai kecenderungan untuk menggantikan tenaga

kerja dengan mesin. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat adanya penggantian

dengan mesin disebut efek substitusi (substitution effect)

b. Teknologi

Penggunaan teknologi dalam perusahaan akan mempengarui beberapa

jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Kecanggihan teknologi saja belum tentu

mengakibatkan penurunan jumlah tenaga kerja. Karena dapat terjadi kecanggihan


teknologi akan menyebabkan hasil produksi yang lebih baik, namun

kemampuannya dalam menghasilkan produk dalam kuantitas yang sama atau

relative sama. Yang lebih berpengaruh dalam menetukan permintaan tenaga kerja

adalah kemampuan mesin untuk menghasilkan produk dalam kuantitas yang jauh

lebih besar daripada kemampuan mesin.

c. Produktivitas Tenaga Kerja

Berapa jumlah tenaga kerja yang diminta dapat ditentukan oleh berapa

tingkat produktivitas dari tenaga kerja itu sendiri. Apabila untuk menyelesaikan

suatu proyek tertentu dibutuhkan 30 karyawan dengan produktivitas standard

yang bekerja selama 6 bulan. Namun, dengan karyawan yang produktivitasnya

melebihi standard, proyek tersebut dapat diselesaikan oleh 20 karyawan dengan

waktu 6 bulan.

Arsyad Anwar mengemukakan bahwa produktivitas tenaga kerja

dipengaruhi oleh enam hal, yaitu perkembanagn barang modal per pekerja,

perbaikan tingkat ketrampilan, pendidikan dan kesehatan, meningkatkan skala

usaha, perpindahan pekerja antar jenis kegiatan, perubahan komposisi out put dari

tiap sektor atau subsektor, serta perubahan teknik produksi.

Di lain pihak, Basri mengemukakan bahwa tinggi rendahnya produktivitas

tenaga kerja juga dipengaruhi oleh pemanfaatan kapasitas dari berbagai sector.

Produktivitas tenaga kerja rendah karena pemanfaatan kapasitas produksi rendah.


d. Kualitas Tenaga Kerja

Pembahasan mengenai kualitas ini berhubungan erat dengan pembahasan

mengenai produktivitas. Karena dengan tenaga kerja yang berkualitas akan

menyebabkan produktivitasnya meningkat. Kualitas tenaga kerja ini tercermin dari

tingkat pendidikan, ketrampilan, pengalaman, dan kematangan tenaga kerja dalam

bekerja.

e. Fasilitas Modal

Dalam prakteknya faktor-faktor produksi, baik sumber daya manusia

maupun yang bukan sumber daya manusia, seperti modal tidak dapat dipisahkan

dalam menghasilkan barang atau jasa. Pada suatu industri, dengan asumsi factor-

faktor produksi yang lain konstan, maka semakin besar modal yang ditanamkan akan

semakin besar permintaan tenaga kerja. Misalnya, dalam suatu industri rokok, dengan

asumsi faktor-faktor lain konstan, maka apabila perusahaan menahan modalnya,

maka jumlah tenaga kerja yang diminta juga bertambah.

Anda mungkin juga menyukai