Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi,
kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya.
Karena manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia
merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa
tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbagan manusia
dilandasi kepercayan beragama. sikap orang dewasa dalam beragama sangat menonjol jika,
kebutuaan akan beragama tertanam dalam dirinya. Kesetabilan hidup seseorang dalam
beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. adanya
perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan
mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki
persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya.

BAB II

Mengapa psikologi agama perlu PAI

Pengertian pendidikan PAI sendiri adalah kegiatan atau usaha yang sadar
atau pengertian sistematis dan berkesinambungan untuk mengembangkan potensi
agama manusia memberi sifat keislaman , serta kecakapan sesuai dengan
pendidikan. Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan suatu proses
pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud. H. M. Arifin,
dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam , mengatakan bahwa pendidikan Islam
bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim baik secara lahir
maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari
keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah
melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, satu sama
lain saling menunjang.

“Dengan adanya rasa agama seperti yang di ketahui setiap manusia, maka
akan timbul perasaan saling menghargai dengan sesama individu lainya, sehingga
akan timbul rasa saling toleransi kepada umat manusia beragama, dengan adanya
sifat tersebut manusia dapat menjaga diri pada hal-hal yang di larang dan di
anjurkan agama.

Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama
terhadapsikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang,
karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan
dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi

Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar,
tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan
kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya.Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan
ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau
sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.

Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan
bukan sekedar ikut-ikutan. Namun, masih banyak lagi yang menjadi kendala kesempurnaan
orang dewasa dalam beragama. kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan
dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang
dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Oleh kerana itu semua orang
berkepentingan dengan Psikologi Agama dan dapat memanfaatkannya sesuai dengan
kepentingannya masing-masing.

Bidang pendidikan anak misalnya, apabila si ibubapa ingin mendidik anaknya agar
kelak menjadi seorang yang taat beragama, berakhlaq terpuji, berguna bagi masyarakat dan
negaranya, dia dapat menggunakan pengetahuannya terhadap Psikologi Agama, disamping
mengetahui sekedarnya tentang perkembangan jiwa anak pada umur tertentu dan
perkembangan ciri remaja. Untuk itu dia dapat membaca buku tentang psikologi anak dan
psikologi remaja.
Bila para dakwah ingin mengajak umat hidup sesuai dengan ketentuan agama, taat
melaksanakan agama dalam kehidupan mereka, maka dia dapat menggunakan Psikologi
Agama dengan lebih dahulu mengatahui latar belakang kehidupan mereka, lalu menunjukkan
betapa pentingnya ajaran agama dalam kehidupan manusia.

Misalnya, manfaat iman bagi ketenteraman batin, manfaat solat, puasa, zakat dan haji
bagi penyembuhan jiwa yang gelisah (fungsi kuratif) dan bagaimana pula manfaatnya bagi
pencegahan gangguan jiwa (fungsi preventif) dan selanjutnya pentingnya iman dan ibadah
tersebut bagi pembinaan dan pengembangan kesihatan jiwa (fungsi konstruktif). Psikologi
Agama memberi gambaran tentang perkembangan jiwa agama pada seseorang, menunjukkan
pula bagaimana pembahasan keyakinan (konversi) agama terjadi pada seseorang. Dan
Psikologi Agama juga menjelaskan betapa seseorang mencari agama dan benar-benar
mencintainya dalam bentuk mistik.

Psikologi Agama dan pendidikan

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Agama


Psikologi agama terdiri dari dua paduan kata, yakni psikologi dan agama. Kedua kata
ini mempunyai makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin,
1979: 77). Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin
manusia. Menurut Harun Nasution, agama berasal dari kata Al Din yang berarti
undang-undang atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan
membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Dan kata agama terdiri dari tidak,
“gama”; pergi yang berarti tetap ditempat atau diwarisi turun menurun .

Dari definisi tersebut, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama
pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu
dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah darajat dikutip oleh
Jalaluddin, 2004: 15)
Berkaitan dengan ruang lingkup dari psikologi agama, maka ruang kajiannya adalah
mencakup kesadaran agama yang berarti bagian/ segi agama yang hadir dalam
pikiran, yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama, dan pengalaman agama
berarti unsur perasaan dalam kesadaran beragama yakni perasaan yang membawa
kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah) dengan kata lain bahwa
psikologi agama mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya
terlihat dalam kelakuan dan tindakan agama orang itu dalam hidupnya. (Jalaluddin,
2004: 17)
Dalam hal ini psikologi agama telah dimanfaatkan dalam berbagai ruang kehidupan,
misalnya dalam bidang pendidikan, perusahaan, pengobatan, penyuluhan
narapidana di LP dan pada bidang- bidang lainnya.

B. Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan


Pendidikan secara umum adalah setiap sesuatu yang mempunyai pengaruh dalam
pembentukan jasmani seseorang, akalnya dan akhlaqnya, sejak dilahirkan hingga
dia mati. Atau usaha sadar seorang pendidik kepada peserta didik dalam melatih,
mengajar berbagai ilmu pengetahuan (Civic Education Society; 2002). Sedang
menurut Aristoteles (Filosof terbesar dari Yunani, guru Iskandar Makedoni, yang
dilahirkan pada tahun 384 sebelum Masehi) mengatakan bahwa: Pendidikan itu ialah
menyiapkan akal untuk pengajaran, sebagaimana disiapkan tanah tempat
persemaian benih. Dia mengatakan bahwa di dalam diri manusia itu ada dua
kekuatan, yaitu pemikiran kemanusiaannya dan syahwat hewaniyahnya. Pendidikan
itu adalah alat (media) yang dapat membantu kekuatan pertama untuk
mengalahkan kekuatan yang kedua.2
Pendidikan ini juga diatur dalam syari’at Islam dalam surat Al-Qashas:77 yang
artinya sebagai berikut:
“Carilah apa yang dianugerahkan oleh Allah padamu dari kebahagiaan akhirat dan
jangan kamu melupakan bahagiamu dari kebahagiaan Dunia.”
Al-Qur’an menjamin kesuksesan bangsa mana pun yang menempuh cara/ jalan-jalan
yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an itu. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
menganjurkan untuk melaksanakan pendidikan dan pengajaran itu: misalnya firman
Allah, yang artinya:
Dan tentang dirimu apakah tidak memikirkannya? (S. Adz-riyat: 21)

C. Hubungan Psikologi Agama dengan Dunia Pendidikan


Pandangan agama dan psikologi berjumpa pada diri manusia sendiri sebagai salah
satu fenomena ciptaan Tuhan dengan segala karakter kemanusiaannya. Begitu juga
dengan pendidikan yang menjadikannya manusia sebagai objek sekaligus sebjek
penentu dari suatu keberhasilan system pendidikan dan tujuan pendidikan secara
umu.
Menurut Al Attas tujuan pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan dan
keadilan dalam diri seseorang baik sebagai manusia atau individu. Dengan demikian
yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai manusia sejati, sebagai warga
negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual.
Dalam menamkan nilai-nilai kebaikan khususnya nilai agama, seorang pendidik
harus memperhatikan perkembangan keberagamaan seseorang. Dalam hal yang
berkaitan dengan ketaatan dan kepatuhan dalam hal yang berkaitan dengan nilai-
nilai seseorang terhadap suatu system nilai termasuk nilai keagamaan, L Kohlberg,
secara teoristis mengemukakan bahwa seseorang dalam mengikuti tata nilai agar
menjadi insane kamil itu melalui tingkatan atau stadium, diantaranya adalah:
Stadium 1: Menurut aturan untuk menghindari hukum.
Stadium 2: Bersikap konformis (mengikuti nilai yang berlaku) untuk memperoleh
hadiah agar dipandang sebagai orang baik.
Stadium 3: Bersikap konformis untuk menhindari celaan orang lain.
Stadium 4: Bersikap konformis untuk menghindari hukum yang diberikan agar
beberapa tingkah laku tertentu dalam kehidupan bersama.
Stadium 5: Konformitas dilakukan karena membutuhkan kehidupan bersama yang
diatur.
Stadium 6 : Melakukan konformitas tidak karena perintah atau norma dari luar,
melainkan karena keyakinan sendiri untuk melakukannya.
Pada saat menanamkan nilai-nilai moral dan agama seorang pendidik harus
memperhatikan 6 stadium tersebut sebgai acuan dalam menentukan materi dan
metode yang sesuai bagi peserta didiknya. Hal ini bertujuan untuk membina sikap
positif dalam pembentukan pribadi anak dengan berbagai pengalaman keagamaan,
sehingga ketika dewasa mereka tak cenderung bersikap negatif kepada agama.
Seseorang pendidik juga harus mempelajari dan memahami dinamika dan
perkembangan moral, supaya dapat memahami bagaimana peranan agama dala
moral bagi anak didik.
Pembinaan moral terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan pembiasaan yang
diperoleh sejak kecil. Kebiasaan itu tertanam berangsur sesuai dengan kecerdasan
seseorang. Dalam pembianaan moral agama memiliki peranan yang sangat penting,
karena nilai moral yang bersumber dari agama bersifat tetap dalam setiap dimensi
waktu dan tempat. Berbeda dengan nilai social kemasyarakatan yang bersifat relatif
tergantung dari kondisi masyarakat sekitar, dimana suatu perbuatan dianggap baik
atau sopan di suatu daerah namun di tempat lain pandangan itu dapat berubah
menjadi tidak baik atau tidak sopan.
Dengan demikian nyatalah betapa pentinganya psikologi agama bagi duniawi
pendidikan. Untuk meraih kualitas insane paripurna, dalam dunia pendidikan dan
psikologi kontemporer banyak sekali dikembanghkan program pelatihan
pengembangan diri pribadi. Semuanya bertujuan untuk meningkatkan aspek
psikososial yang positif dan mengurangi aspek negatif.
Dalam pelatihan yang bercorak psiko-educatif diharapkan para peserta didik sadar
diri, mampu beradaptasi, menemukan arti dan tujuan hidupnya serta menyadari dan
menghayati intensitas ibadah. Dengan pelatihan semacam ini ungkapan “The man
behind the system” ditingkatkan menjadi “The spirit of the man behind the system”
yang berarti adanya peningkatan mental spiritual pada manusia penerap system.”

D. Urgensi Psikologi Agama dalam Pendidikan (keluarga, Sekolah, dan Masyarakat).


Education (pendidikan) dan jiwa keagamaaan sangat terkait, karena pendidikan
tanpa agama ibaratnya bagi manusia akan pincang. Sedang jiwa keagamaan yang
tanpa melalui menegemant pendidikan yang baik, maka juga akan percuma. Dengan
kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa
keagamaan pada seseorang.

a. Pendidikan Keluarga
Perkembangan agama menurut W.H. Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan
sehingga sulit untuk diidentifikasikan secara jelas, karenaa masalah yang
menyangkut kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian,
melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan
terlibat didalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah
agama itu bekembang (W.H. Clark, 1964: 4).
Menurut Rosul Allah swt, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk
membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang
dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama
yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan
pengaruh kedua orang tua mereka.
b. Pendidikan Kelembagaan
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh
bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya
pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbgai faktor yang dapat memotivasi
nak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya
merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititik beratkan
pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau
membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama
dalam keluarga.
Dalam konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar
menerima pendidikan agama yang diberikannya. Menurut Mc Guire, proses
perubahan sikap dari tidak menerima kesikap menerima berlangsung melalui tiga
tahap perubahan sikap. Proses:

- Pertama adalah adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya
penerimaa. Dengan demikian, pengaruh kelembagaan pendidikan dalam
pembentukan jiwa keagamaan pada anak sangat tergantung dari kemampuan para
pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama yang
diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian
itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat
bantu yang memungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya.
- Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak
didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih
mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari. Jadi, tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hapalan semata. Ketiga;
penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini
sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi
kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak
ditentukan oleh sikap pendidk itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang
agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan
dapat dipercaya. Kedua sikap ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap
para anak didik.

c. Pendidikan Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Peran psikologi agama
dalam lembaga ini adalah memupuk jiwa keagamaan karenma masyarakat akan
memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan baik fidik maupub psikis. Yang
mana pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Sehingga sangat
besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai
bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis.

Hati yang bersih dan sehat adalah cahaya yang seseorang pada langkah-langkah
kehidupan yang benar, dan yang memberikan rasa ketenangan dan kepuasan pada
jiwa. Apabila kita mendapat pendidikan dan kesadaran hati pada waktu kecil, artinya
kita telah menegakkan pilar-pilar pendidikan yang sangat kokoh. Berangkat dari
sinilah, kita wajib memberikan perhatian penuh utuk menghidupkan kontrol agama
pada jiwa seseorang dan kita jadikan hal itu sebagai sarana untuk menjaga nilai-nilai
akhlak yang ada padanya.
Umar bin Khattab r.a menyatakan “Barang siapa yang kebal dididik oleh syari’at,
maka Allah pun enggan menaikkanny. Artinya jka kekuatan rasa beragama atau
pengawasan jiwa, kontrol hati tidak ada pengaruhnya, maka peraturan atau undang-
undang apapun yang ada dimuka bumi ini juga tidak akan ada pengaruhnya
Hubungan psikologi agama dengan pendidikan adalah; kedua-duanya mempunyai
makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa
amnesia yang normal, dewasa dan beradab. Sedangkan agama memiliki sangkut
paut dengan kehidupan batin manusia. Menurut Harun Nasution, agama berasal
darikata Al-Din yang berarti undang-undang/ hokum, religi (latin) atau relege berarti
mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Dan kata Agama
terdiri dari kata akronim dari “a” ; tidak, “gam;” pergi yang berarti tetap di tempat
dan diwarisi turun menurun. Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan pengertian
psikologi agama adalah; suatu ilmu yang mempelajari kepercayaan jiwa manusia
secara keseluruhan baik dari sisi jasmani maupun rohani manusia.
Menurut Quraish Shihab, tujuan pendidikan al Qur`an (Islam) adalah membina
manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya
sebagai hamba dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep
yang ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan
oleh al Qur`an, untuk bertaqwa kepada-Nya. Dengan demikian pendidikan harus
mampu membina, mengarahkan dan melatih potensi jasmani, jiwa, akal dan fisik
manusia seoptimal mungkin agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di
muka bumi.
Pendidikan memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia, oleh
karena itu pendidikan agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan
mengantarkan umat islam kepada perkembangan rasa agama. Umat islam akan
lebih memahami dan terinternalisasi esensi rasa agama itu sendiri. Pertama yaitu
rasa bertuhan, rasa bertuhan ini meliputi merasa ada sesuatu yang maha besar yang
berkuasa atas dirinya dan alam semesta, ada rasa ikatan dengan sesuatu tersebut,
rasa dekat, rasa rindu, rasa kagum dan lain-lain. Kedua yaitu rasa taat, rasa taat ini
meliputi ada rasa ingin mengarahkan diri pada kehendak-Nya dan ada rasa ingin
mengikuti aturan-aturan-Nya.
Pendidikan agama adalah bentuk pendidikan nilai, karena itu maksimal dan tidaknya
pendidikan agama tergantung dari faktor yang dapat memotivasi untuk memahami
nilai agama. Semakin suasana pendidikan agama membuat betah maka
perkembangan jiwa keagamaan akan dapat tumbuh dengan optimal. Jiwa
keagamaan ini akan tumbuh bersama dengan suasana lingkungan sekitarnya.
Apabila jiwa keagamaan te;lah tumbuh maka akan terbentuk sikap keagamaan yang
termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya

Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama
terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri
seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku
tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam
kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar,
tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana
prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya.
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban.
Remaja adalah cikal bakal calon pemimpin Negara, membentuk psikologi yang benar
pada remaja telah di atur di dalam Islam sebagai agama yang satu-satunya Haq.
Iman yang bersikap dinamis , kata iman menunjukan adanya kehangatan emosi dan
mengandung keharusan-keharusan atau kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya
keimanan. Taules ; berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari
psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku
keagamaan dengan megaplikasikanprinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari
kajian terhadap perilaku bukan keagamaan .

Sedangkan menurut Zakiah Darajat, psikologi agama adalah meneliti dan


menelaah kehidupan beragama pada seseorang yang mempelajari berapa besar
pengaruh kenyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup
pada umumnya. Di sampinga itu, psikologi agama jua mempelajari pertumbuhan
dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mem
pengaruhi kenyakinan tersebut.

Sehubugan dengan psikologi agama Jalaludin berpendapat bahwa Psikologi


Agama menggunakan dua kata yaitu Psikologi dan Agama, kedua kata ini memiliki
pengertian yang berbeda. Dimana Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu
yang mempelajarigejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradap.

BAB III

PENUTUP

Psikologi agama yang memepelajari rasa agama dan perkembangannya mempunyai


peranan yang saling korelatif dalam pendidikan agama islam. Pendidikan islam
sebagi sebuah upaya penyadaran terhadap umat islam akan lebih mudah diterima
oleh masyarakat. Pertumbuhan rasa agama akan semakin meningkat dan juga bisa
dihubungkan dengan kondisi di sekitarnya, baik sosial,ekonomi, politik hukum dan
sebagainya. Peran psikologi agama dalam pendidikan islam lebih memudahkan
pemahaman masyarakat dalam menelaah agama secara komprehensif. Agama tidak
dipandang hanya sebagi kebutuhan orang-orang tertentu, tapi agama memang
menjadi kebutuhan stiap pribadi seseorang yang menjadikan perkembangan pribadi
secara psikisnya. Proses penyadaran dan perubahan untuk meningkatkan nilai jiwa
keagamaan pun akan mudah di kembangkan. Perkembangan kejiwaan seseorang
adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena
itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam mengarahkan proses
perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam, tentu akan
mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu
ditanamkan pada anak sejak usia dini.

DAFTAR PUSTAKA

 Rahmad, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama. (Edisi Revisi). Penerbit Putra Utama:
Jakarta.

 Rahmad, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama (sebuah pengantar). Penerbit: Mizan


media buku utama, Jakarta.

 Abu Bakar, Muhammad. 1981. Pedoman Pendidikan dan Pengajaran. Usaha Nasional:
Surabaya.

 Awwad, Jaudah Muhammad. 1995. Mendidik Anak Secara Islam. Gema Insani Press:
Jakarta.

 Quraish Shihab. 1992. Membumikan al Qur`an Bandung: Mizan,

 Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

 [3]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007

http://pujanggawati.blogspot.com/2010/03/makalah-psikologi-agama.html
I. Pengertian Konversi Agama

Dampak yang paling menonjol dari modernitas adalah


keterasingan (alienasi) yang dialami oleh manusia. Alienasi muncul dari cara
pandang dualisme, yaitu: jiwa-badan, makhluk-Tuhan, aku-yang lain, kapitalis-
proletar, dll. Akhirnya terjadilah gejala reifikasi atau pembedaan antar sisi dari
dualitas tersebut. Ini disebut pula objektivikasi, yaitu manusia memandang dirinya
sebagai objek, seperti layaknya sebuah benda.

Dalam filsafat kita mengenalnya dengan aliran materialisme. Semakin kuat pengaruh
materialisme, semakin kuat pula gejala alienasi (keterasingan) diderita umat
manusia. Anda pasti tidak menghendaki filosofi akan berdampak sedemikian
menyedihkan. Dan masyarakat dunia Barat adalah yang paling menderita karena
materialisme memang berkembang biak sangat subur di sana.

Jika Anda membayangkan bahwa Anda terasing dengan orang-orang di sekitar


Anda, mungkin Anda bisa mengalihkannya dengan sibuk dengan diri sendiri. Tetapi,
bagaimana jika Anda terasing dengan diri Anda sendiri? Degradasi moral sering
terjadi karena manusia tidak mampu mengatasi penyakit jiwa manusia modern ini.
Narkotika, seks bebas, bahkan bunuh diri sering menjadi pelarian. Hidup tampaknya
menjadi tidak berarti lagi. Mereka yang tertolong atau segera menemukan
pencerahan dari kekelaman jiwa ini akan bangkit dan memeluk suatu keyakinan
yang baru. Suatu keyakinan yang akan membuat hidupnya terasa lebih berarti,
hidup yang bertujuan, yaitu kembali kepada Tuhannya. Terjadilah pembalikan arah,
atau konversi. Dalam bahasa agama disebut pertobatan (taubat, metanoia).

Ada beberapa pendapat tentang pengertian konversi agama antara lain:

1. .Menurut Thouless (1992),

Menurut Thoules konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk
proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu bisa
terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba.

1. Pengertian Konversi Agama Menurutu Etimologi.

Pengertian konversi agama menurut etimologi konversi berasal dari kata latin
“conversio” yang berarti tobat, pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata
tersebut dipakai dalam kata Inggris “conversion” yang mengandung pengertian:
berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain ( change from
one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata
tersebut dapat di simpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian:
bertobat, berubah agama, berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran
agama atau masuk ke dalam agama.

1. Heirich.

Heirich (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan bahwa konversi agama adalah


merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang
masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang
berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya

1. James

James (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan konversi agama adalah dengan kata
kata: “to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to
gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or
sudden, by which a self hitherro devide, and consciously wrong inferior and
unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence
of its firmer hold upon religious realities”. “berubah, digenerasikan, untuk
menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk
mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu
berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan
terpisah-pisah, kuran bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang
berlandaskan kenyataan beragama”.

1. E.Clark

Clark (dalam Daradjat, 1979), memberikan definisi konversi sebagai berikut:


konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan
spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam
sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi,
konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-
tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi,
yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula
terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.

1. Kesimpulan Pengertian Konversi Agama

Yang dimaksud dengan konversi agama ialah: perobahan pandangan seseorang atau
sekelompok tentang agama yang dianutnya, atau perpindahan keyakinan dari
agama yang dianutnya kepada agama yang lain.

1. Ciri-ciri seseorang melakukan konversi agama, menurut Ramayulis (2002) adalah


1. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
2. Perubahan yang terjadi di pengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat
terjadi secara berperoses atau secara mendadak.
3. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu
agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama
yang di anutnya sendiri.
4. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun disebabkan
faktor petunjuk dari yang maha kuasa.
5. Jenis Konversi Agama

Menurut Moqsith, jenis-jenis konversi agama di bedakan menjadi dua, yaitu:

1. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke
mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama.
2. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama keagama lain.

Menurut Abdalla, senada dengan apa yang telah di ungkapkan Moqsith, konversi
internal terjadi dalam satu agama, dalam artian pola pikir dan pandang seseorang
berubah, ada yang dihilangkan dan tidak menutup kemungkinan banyak yang
ditambahkan (ibadah), tetapi konsep ketuhanan tetap sama. Sedangkan dalam
konversi eksternal pindah keyakinan ke konsep yang benar-benar berbeda dengan
konsep keyakinan sebelumnya. Dari uraian di atas maka dapat di simpulkan bahwa
pengertian konversi agama adalah merupakan suatu tindakan dimana seseorang
atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau
perilaku ke system kepercayaan yang lain.

II. Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama

A. Penido Penido (dalam Ramayulis, 2002), berpendapat bahwa konversi agama


mengandung dua unsur:

1. Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran
untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan
yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala
psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring
dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
2. Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau
kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan.
Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran
mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.
Sedangkan berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan factor yang manjadi
pendorong konversi (Motivasi konversi). James dan Heirich (dalam
Ramayulis, 2002), banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama
tersebut menurut pendapat dari para ahli yang terlibat dalam berbagai disiplin ilmu, masing-
masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama di sebabkan faktor yang
cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.

B. Para Ahli Agama,


Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya
konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supernatural berperan secara
dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau
kelompok.

C. Para Ahli Sosiologi,

Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi


agama karena pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi
itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:

1. Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non
agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain).
2. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok
untuk berubah kepercayaan jka dilakukan secara rutin hingga terbiasa. Misal, menghadiri
upacara keagamaan.
3. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga,
famili dan sebagainya.
4. Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan
salah satu pendorong konversi agama.
5. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang
berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
6. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin
berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja. Pengaruh-pengaruh tersebut
secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara
pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa).

D. Para Ahli Ilmu Jiwa,

Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi
agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh factor intern maupun faktor
ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok
hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk
mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu
secara psikologis kehidupan seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga
ia mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa
yang tenang dan tentram.

E.James,

Dalam uraiannya James (dalam Ramayulis, 2002) yang berhasil meneliti pengalaman
berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai
berikut:1.Konversi terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat
kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk
suatu ide yang bersemi secara mantap.2.Konversi agama dapat terjadi oleh karena
suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses).

Kemudian James mengembangkan Faktor Penyebab konversi itu mengembangkan


menjadi tipe Volitional (perubahan bertahap), konversi agama ini terjadi secara
berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan
kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu terjadi sebagai suatu
proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin
mendatangkan suatu kebenaran. Kedua, tipe Self-Surrender (perubahan drastis),
konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang
tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap
suatu agama yang dianutnya. Pada konversi agama tipe kedua ini James (dalam,
Ramayulis, 2002) mengakui adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa
terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri
seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa
sepenuh-penuhnya. Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama
tersebut berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa faktor
antara lain:

1. Faktor Intern meliputi, pertama, Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu
akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James (dalam
Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis
memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan
konversi agama adalah jika seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki
kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam
dirinya. Kedua, faktor pembawaan. Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada
semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan
anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan
pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak
tengah kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan
kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2. Faktor Ekstern meliputi, pertama faktor keluarga. keretakan keluarga, ketidakserasian,
berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum
kerabat dan alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami
tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan
tekanan batin yang menimpa dirinya. Kedua, Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa
terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat
merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang
mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hinggakegelisahan
batinnya hilang. Ketiga, Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung
secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya:
perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, menikah dengan
orang yang berbeda agama dan sebagainya. Keempat, Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi
yang sulit juga merupakan factor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi
agama.

F.Para Ahli Ilmu Pendidikan,

Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh
kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi bahwa
suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum dapat
dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap
konversi agama namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan
agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.
G. MenurutProf.DR.Zakiah. Daradjat (1986),

Faktor-faktor terjadinya konversi agama  meliputi:

1. Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, orang-orang yang gelisah, di
dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang-kadang dia merasa tidak berdaya
menghadapi persoalan atau problema, itu mudah mengalami konversi agama. Di samping itu
sering pula terasa ketegangan batin, yang memukul jiwa , merasa tidak tenteram, gelisah
yang kadang-kadang terasa tidak ada sebabnya dan kadang-kadang tidak diketahui. Dalam
semua konversi agama, boleh dikatakan, latar belakang yang terpokok adalah konflik jiwa
(pertentangan batin) dan ketegangan perasaan, yang mungkin disebabkan oleh berbagai
keadaan
2. Pengaruh hubungan dengan tradisi agama, diantara faktor-faktor penting dalam riwayat
konversi itu, adalah pengalaman-pengalaman yang mempengaruhinya sehingga terjadi
konversi tersebut. Diantara pengaruh yang terpenting adalah pendidikan orang tua di waktu
kecil mempunyai pengaruh yang besar terhadap diri orang-orang, yang kemudian terjadi
padanya konflik konversi agama, adalah keadaan mengalami ketegangan yang konflik batin
itu, sangat tidak bisa, tidak mau, pengalaman di waktu kecil, dekat dengan orang tua dalam
suasana yang tenang dan aman damai akan teringat dan membayang-bayang secara tidak
sadar dalam dirinya. Keadaan inilah yang dlam peristiwa-peristiwa tertentu menyebabkan
konversi tiba-tiba terjadi. Faktor lain yang tidak sedikit pengaruhnya adalah lembaga-
lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gerejagereja. Melalui bimbingan lembaga-lembaga
keagamaan itu, termasuk salah satu faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi
agama jika pada umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan
mengalamkonflik jiwa atau ketegangan batin yang tidak teratasi.
3. Ajakan/seruan dan sugesti, banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa konversi agama
terjadi karena pengaruh sugesti dan bujukan dari luar. Orang-orang yang gelisah, yang
sedang mengalami kegoncangan batin, akan sangat mudah menerima sugesti atau bujukan-
bujukan itu. Karena orang-orang yang sedang gelisah atau goncangan jiwanya itu, ingin
segera terlepas dari penderitaannya, baik penderitaan itu disebabkan oleh keadaan
ekonomi, sosial, rumah tangga, pribadi atau moral.
4. Faktor-faktor emosi, orang-orang yang emosionil (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh
emosinya), mudah kena sugesti, apabila ia sedang mengalami kegelisahan. Kendatipun
faktor emosi, secara lahir tampaknya tidak terlalu banyak pengaruhnya, namun dapat
dibuktikan bahwa, emosi adalah salah satu faktor yang ikut mendorong kepada terjadinya
konversi agama, apabila ia sedang mengalami kekecewaan.
5. Kemauan, kemauan yang dimaksudkan adalah kemauan seseorang itu sendiri untuk
memeluk kepercayaan yang lain Selain faktor-faktor diatas, Sudarno (2000) menambahkan
empat factor pendukung, yaitu:
6. Cinta, cinta merupakan anugrah yang harus dipelihara, tanpa cinta hidup tidak akan menjadi
indah dan bahagia, cinta juga merupakan salah satu fungsi sebagai psikologi dan merupakan
fitrah yang diberikan kepada manusia ataupun binatang yang banyak mempengaruhi
hidupnya, seseorang dapat melakukan konversi agama karena dilandaskan perasaan cinta
kepada pasangannya.
7. Pernikahan, adalah salah suatu perwujudan dari perasaan saling mencintai dan menyayangi.
8. Hidayah “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikendaki- Nya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qasas:56) “Barang
siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang
siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada
orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al An’am: 125) Ayat-ayat Al-Qur’an diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa bagaimanapun usaha orang untuk mempengaruhi seseorang
untuk mengikuti keyakinannya, tanpa ada kehendak dari Allah SWT tidak akan bisa. Manusia
diperintah oleh Allah SWT untuk berusaha, namun jangan sampai melawankehendak Allah
SWT dengan segala pemaksaan.
9. Kebenaran agama, menurut Djarnawi (Sudarno, 2000) agama yang benar adalah yang tepat
memilih Tuhannya, tidak keliru pilih yang bukan Tuhan dianggap Tuhan. Kebenaran agama
yang dimaksud tidak karena paksaan, bujukan dari orang lain, akan tetapi lewat kesadaran
dan keinsyafan antara lain melalui dialog-dialog, ceramah, mempelajari literatur, buku-buku
dan media lain.

III. Proses Konversi Agama

Perubahan yang terjadi tetap melalui tahapan yang sama dalam bentuk kerangka
proses secara umum, kerangka proses itu dikemukakan:

A.Carrier

Carrier (dalam Ramayulis, 2002)membagi proses tersebut dalam tahapan-tahapan


sebagai berikut:

1. Terjadi desintegrasi sintesis kognitif (kegoncangan jiwa) dan motivasi sebagai akibat dari
krisis yang dialami.
2. Reintegrasi (penyatuan kembali) kepribadian berdasarkan konsepsi agama yang  .Dengan
adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur
yang lama.
3. Tumbuh sikap menerima konsepsi (pendapat) agama yang baru serta peranan yang di tuntut
oleh ajarannya.
4. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.

B. Prof.Dr.Zakiah Daradjat

Prof.Dr. Zakiah. Daradjat (1979) memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses


kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu:

1. Masa tenang, disaat ini kondisi seseorang berada dalam keadaan yang tenang karena
masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi semacam sikap apriori (belum
mengetahui) terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan
mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tentram.
Segala sikap dan tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh atau menentang agama.
2. Masa ketidaktenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi
batinnya. Mungkin di karenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang di
alami.Hal tersebut menimbulkan semacam kegoncangan dalam kehidupan batin sehingga
menyebabkan kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa,
ragu, tegang dan bimbang. Perasaan tersebut menyebabkan seseorang lebih sensitif dan
hampirhampir putus asa dalam hidupnya dan mudah terkena sugesti. Pada tahap ini terjadi
proses pemilihan terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
3. Masa konversi, tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena
kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk
memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan
makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, hidup yang tadinya seperti
dilamun ombak atau di porak porandakan oleh badai topan persoalan, tiba-tiba angin baru
berhembus, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi
yang dialami sebagai petunjuk ilahi. Karena disaat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan
atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan
sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama.
4. Masa tenang dan tentram, masa tenang dan tentram yang kedua ini berbeda dengan tahap
yang sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap yang acuh tak
acuh, maka ketenangan dan ketentraman pada tahap ketiga ini di timbulkan oleh kepuasan
terhadap keputusan yang sudah di ambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana
batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. Setelah krisis konversi
lewat dan masa menyerah di lalui, maka timbullah perasaan atau kondisi jiwa yang baru,
rasa aman dan damai di hati, tiada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan Yang Maha Esa,
tidak ada kesalahan yang patut di sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan menjadi
mudah dan terselesaikan. lapang Dada, menjadi pemaaf dan dengan mudah untuk
memaafkan kesalahan orang lain.
5. Masa ekspressi konversi, sebagai ungkapan dari sikap menerima, terhadap konsep baru dari
ajaran agama yang diyakininya, maka tindak tanduk dan sikap hidupnya diselaraskan dengan
ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal
perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu
dalam kehidupan.

C. Wasyim.

Menurut Wasyim (dalam Sudarno, 2000) secara garis besar membagi proses
konversi agama menjadi tiga, yaitu:

1. Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara
seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditandai dengan adanya konflik
dan perjuangan mental aktif.
2. Adanya rasa pasrah
3. Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya
realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya.

IV. Kessimpulan

1. Kesimpulan Pengertian Konversi Agama

Yang dimaksud dengan konversi agama ialah: perobahan pandangan seseorang atau
sekelompok orang tentang agama yang dianutnya, atau perpindahan keyakinan dari
agama yang dianutnya kepada agama yang lain.

1. Jenis konversi agama dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:


1. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu
ke mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama.
2. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama keagama lain.
3. Faktor penyebab konversi agama pertama, faktor Intern, meliputi kepribadian,
emosi, kemauan, konflik jiwa, kebenaran agama, hidayah. kedua, faktor ekstern,
meliputi, factor keluarga, lingkungan tempat tinggal, pengaruh hubungan dengan
tradisi agama, cinta, pernikahan.
4. Tahap Proses Konversi Agama meliputi: masa tenang, masa ketidaktenangan,  masa
konversi,  masa tenang dan tentram, masa ekspressi konversi.

DAFTAR BACAAN

Jalaludin drs, Cs : Pengantar Ilmu Jiwa Agama; Penerbit Kalam Mulia, Jakarta,1987.

Sujanto, Agus Drs :Psikologi Umum; Penerbit Aksara Baru, Cet Ketujuh,
Jakarta,1989

setiyo purwanto http://klinis.wordpress.com/2007/12/27/konversi-agama

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama; Penerbit Bulan Bintang 1970

Anda mungkin juga menyukai