PENDIDIKAN INKLUSIF Mahridha (1610118120010)
PENDIDIKAN INKLUSIF Mahridha (1610118120010)
MAKALAH
Diasuh Oleh :
Mirnawati, M.Pd.
Disusun Oleh :
Mahridha (1610118120010)
SEPTEMBER 2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Filosofi Pendidikan Inklusif.......................................................................................................2
B. Definisi Pendidikan Inklusif......................................................................................................2
C. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif.............................................................................................4
D. Sejarah Pendidikan Inklusif.......................................................................................................4
E. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia.............................................................................5
F. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia.......................................................................7
G. Landasan Pendidikan Inklusif....................................................................................................8
BAB III................................................................................................................................................13
PENUTUP...........................................................................................................................................13
A. Kesimpulan..................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................13
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah tentang “Konsep Pendidikan Inklusif” ini guna menyelesaikan
tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi.
Makalah ini saya susun bertujuan untuk memberikan pembahasan tentang filosofi,
pengertian, sejarah, perkembangan, dan macam-macam landasan pendidikan inklusif
sehingga dapat memberikan gambaran tentang pendidikan inklusif itu sendiri dimana akan
membantu meningkatkan pengetahuan mahasiswa pada khususnya dan semua orang pada
umumnya.
Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan yang
tidak saya sadari. Untuk itu, saya memohon maaf atas segala kekurangan yang ada dalam dan
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sebagai penyempurnaan
untuk kedepannya.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu
seluruh warga negaranya, dengan adanya pendidikan diharapkan semua akan mampu
mengaktualisasi dirinya dalam masyarakat. Pendidikan merupakan hak semua warga
negaranya tanpa terkecuali. Hak pendidikan tidak membedakan derajat, kondisi
ekonomi ataupun kelainannya, semua berhak memperoleh pendidikan yang layak.
Pendidikan inklusif menurut Sapon-Shevin didefinisikan sebagai suatu sistem
layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus
dilayani sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama dengan teman teman-teman
seusianya. untuk itu perlu adanya rekonstruksi di sekolah sehingga menjadi komunitas
yang mendukung kebutuhan khusus bagi setiap anak.
Keberadaan anak berkebutuhan khusus di masyarakat masih belum dapat
sepenuhnya diterima, sehingga banyak hal yang menyangkut hak anak-anak
berkebutuhan khusus belum dapat diperoleh atau dengan kata lain masih terjadi
deskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus baik dalam bidang sosial,
hukum ataupun pendidikan. Untuk itu banyak usaha dari pemerintah ataupun gerakan
masyarakat internasional yang peduli dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang
melahirkan kesepakatan dan perangkat hukum perundang-undangan yang mengikat.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa filosofi pendidikan inklusif?
2. Apa definisi pendidikan inklusif?
3. Bagaimana bentuk konsep dasar pendidikan inklusif?
4. Bagaimana sejarah terbentuknya pendidikan inklusif?
5. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di dunia?
6. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia?
7. Apa landasan pendidikan inklusif?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Menurut Permendiknas Nomor 70 tahun 2009, Pendidikan Inklusif
didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memilki kelainan dan memilki potensi
kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.
3
Inklusif diartikan juga bagaimana sistem sekolah dapat menyesuaikan dengan
kondisi dan kemampuan anak. Penyeseuaian sistem tidak hanya berlaku bagi
ABK saja namun diupayakan berlaku bagi semua anak.
Inklusif mengandung makna sekolah dapat mengatasi berbagai hambatan
belajar.
1) Setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh pendidikan, dan harus
diberi kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan tingkat pengetahuan
yang wajar,
2) Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan, dan kebutuhan belajar
yang berbeda-beda,
3) Sistem pendidikan seharusnya dirancang dan program pendidikan dilaksanakan
dengan memerhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan terebut,
4) Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus memeroleh akses
ke sekolah regular yang harus mengakomodasi mereka dalam rangka pedagogik
yang berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
5) Sekolah regular dengan orientasi tersebut merupakan alat yang paling efektif
untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah,
membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai pendidikan bagi semua.
4
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama
sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi
dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi
“education for all”. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota
konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.
5
masalah ini. Jika kita mengacu pada data International Consultative Forum on
Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113 juta orang anak-anak usia
pendidikan dasar yang tidak sekolah. 90% dari jumlah itu berada di negara yang
penghasilannya rendah hingga menengah serta lebih dari 80 juta orang anak-anak
seperti itu tinggal di negara-negara Afrika. Kalaupun ada yang mampu sekolah,
sebagian dari mereka drop out atau putus sekolah padahal pendidikannya belum
selesai.
Selain data tersebut di atas, ada pula data yang menyebutkan bahwa ada
sekelompok orang karena perbedaan gender menyebabkan orang itu tidak dapat
sekolah, misalnya di Afghanistan, ada budaya yang melarang kaum perempuan untuk
bersekolah dan keluar rumah, kalaupun bisa sekolah dan keluar rumah sangatlah
terbatas. Masih banyak data lain yang menyebutkan persoalan mengapa seseorang
atau sejumlah orang tidak dapat menikamti haknya untuk memperoleh pendidikan,
diantaranya karena masalah geografis, kondisi peperangan, bencana alam, dan lain-
lain. Berdasarkan hal tersebut maka negara-negara yang tergabung dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya. Mereka, melalui
lembaga di bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan
suatu konferensi internasional. Usulan itu diterima oleh PBB karena tidak
bertentangan dengan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (1948) dan konvensi Hak
Anak (1989). Konferensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama
The Jomitien World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh
negara anggota PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO,
UNICEF, WHO) serta Lembaga Swadaya Masyarakta (LSM) nasional dan
internasional. Di dalam konferensi itu, mereka berupaya serius mencari solusi, dalam
konferensi ini lah munculnya konsep pendidikan untuk semua.
6
memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan
pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya hasil konfrensi belum
termasuk di dalamnya anak-anak berkebutuhan khusus.
7
Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengimpllementasikan
pendidikan inklusif bagi penyandang cacar, pada tahun 2002 pemerintah secara resmi
mulai melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang memiliki pusat
sumber dan sejak saat itu lebih dari 1.500 siswa berkelainan telah bersekolah di
sekolah reguler, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari
seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pada tahun 2007 meningkat
menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri
dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA.
8
maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi.
Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan finansial, kepangkatan, dan kemampuan pengendalian diri, sedangkan
kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, daerah, dan afiliasi politik.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan bakat
hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa
budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan
keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti
terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di bumi ini yang
diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik
satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.
Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antarsiswa yang beragam,
sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh (saling
mencerdaskan, saling mencinta, dan saling tenggang rasa).
2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hierarki dari undang-undang dasar, undang-undang,
peraturan pemerintah, kebijakan direktur jendral, peraturan daerah, kebijakan
direktur, hingga peraturan sekolah. Selain itu, juga melibatkan kesepakatan-
kesepakatan internasional yang berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan
UNESCO di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994 telah ditetapkan agar
pendidikan di seluruh dunia dilaksanakan secara inklusif, dalam kesepakatan
tersebut juga dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational
for all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin,
pendidikan juga tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan agama.
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin dintegrasikan
dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk segregasi hanya untuk
keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan
(education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak berkebutuhan khusus harus
disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada
umumnya.
Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut:
9
a) Instrumen Internasional
1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Jomtien)
1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para
Penyandang Cacat
1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus
1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia (Dakar)
2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan
Angka Kemiskinan dan Pembangunan
2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan
b) Instrumen Nasional
UUD 1945 (amandemen) pasal 31
UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45 ayat (1), 51, 52, 53.
UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5
Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-
14 Agustus 2004
Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20
Januari 2003 tentang pendidikan inklusif
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
3. Landasan Pedagogik
Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan anak didik di dalam dan di luar sekolah yang
berlangsung seumur hidup. Jelaslah melalui rumusan tersebut bahwa hakikatnya
pendidikan itu perlu atau dibutuhkan oleh siapa saja dan dimana saja.
10
Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan berkebutuhan
khusus atau berkelainan dibentuk menjadi manusia yang bertanggung jawab dan
menjadi warga negara yang demokratis yaitu individu yang mampu menghargai
perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat.
4. Landasan Religius
Pendidikan inklusif telah diakui dan diterima kalangan agama islam. Dalam
konsepsi islam, sebenarnya telah mengamanatkan bahwa kita tidak boleh membeda-
bedakan perlakuan terhadap mereka yang memiliki perbedaan, hal ini dapat kita
simak dalam Al-Qur’an, yaitu Surah An-Nur ayat 61 yang artinya, “Tidak ada
halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang
sakit dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah
kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-
saudaramu….”.
Dalam ayat tersebut menyiratkan makna bahwa Allah SWT tidak membeda-
bedakan kondisi, keadaan, dan kemampuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga sangat jelas bahwa sebagai ciptaan-Nya, setiap manusia harus menerima
adanya perbedaan sebagai anugerah maha pencipta, ada laki-laki dan perempuan,
ada yang cacat dan tidak cacat,. Dengan demikian, inklusif adalah fitrah’yang harus
menjadi kewajiban manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan penuh
kasih sayang.
5. Landasan Psikologis
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk
merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan
Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural yang dapat membantu
peserta didik mengerti, menerima, serta menhargai orang lain yang berbeda suku,
budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.
11
Tujuan luhur pendidikan inklusi yang berdasar pada keunikan setiap individu
termasuk dalam tahapan perkembangannya yang sejalan dengan paham pada ilmu
psikologi yang disemua referensinya menekankan bahwa setiap individu akan
tumbuh dan berkembang sesuai dengan ritme serta karakterisktik khas masing-
masing.
6. Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak
1980-an, namun penelitian yang berskala besar yang dipelopori oleh the National
Academy of Science (AS). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan
anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan
diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat.
Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan
identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik
mereka yang sangat heterogen.
Prisoner yang melakukan survei pada kepala sekolah tentang sikap mereka
terhadap pendidikan inklusif dan menemukan bahwa hanya satu dari lima sekolah
yang memiliki sikap postif tentang penerapan pendidikan inklusif. Meyer
mengatakan bahwa siswa yang memiliki kecacatan yang cukup ditemukan untuk
memiliki keberhasilan yang lebih besar manakala mereka memperoleh pendidikan
dalam lingkungan yang menerima mereka, khususnya yang berkaitan dengan
hubungan sosial dan persahabatan mereka dengan masyarakatnya
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Filosofi pendidikan inklusif adalah mengakui bahwa setiap manusia mempunyai
keunikan dan perbedaan dan keunikan itu harus diakomodir dalam pendidikan
2. Definisi pendidikan inklusif adalah sebagai sistem layanan pendidikan khusus yang
mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah
terdekat di kelas biasa (sekolah reguler) bersama teman-teman seusianya.
3. Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan
diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia
tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “education
for all”. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar
13
semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan
layanana pendidikan secara memadai.
4. Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia hakikatnya sudah
berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil
diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum,
meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambat laun terjadi perubahan
sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima
siswa tunanetra.
5. Adapun landasan pendidikan inlklusif, diantaranya :
Landasan filosofis
Landasan yuridis
Landasan pedagogik
Landasan religious
Landasan psikologis
Landasan empiris
DAFTAR PUSTAKA
Stubbs, Sue. 2002. Terjemahan (Inclusive Education, Where There Are Few Resources).
Norway: the Atlas-Alliance.
UNESCO. 1994. Penyataan Salamanca dan Kerangka Aksi Mengenai Pendidikan Kebutuhan
Khusus(Online).
(http://www.idpeurope.org/indonesia/docs/SALAMANCA_indo.pdf, diakses 19
November 2018).
Yuwono Imam, dan Utomo. 2016. Pendidikan Inklusif. Banjarmasin : Pustaka Banua.
14
15