Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PERIOPERATIF

CHOLELITIASIS

Oleh

EMILIA DYAH NOVITASARI

NIM. 1601460044

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN MALANG

2020
A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa
terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra
hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang
terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut
koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah
proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan
koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis. 

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain:

1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan
kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil
kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis),
puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan
penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak
(misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan
menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu
ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat
hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier
dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin
muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi
pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat
dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol
meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi
kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.

C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai
batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah
lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan
rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu
mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi
untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu
sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu
empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa
penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen
dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin
teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri
hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas,
biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan,
berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai
dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah
memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai,
serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan
membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi
yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik
melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan
ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.

3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin
ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu
proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi
disertai peritonitis generalisata.

D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea lain dari
sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung
empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher
cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu
tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu
empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
 Faktor yang mendukung :

1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu


2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung empedu
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT),
LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu
dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.

2. Pemeriksaan sinar-X abdomen


Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun
demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk
dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

Gambar 3: hasil sinar-x pada kolelitiasis

3. Foto polos abdomen


Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos.  Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di
fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik
bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.

Gambar 4: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat,
dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu,
pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan
memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya
sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound
berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi
biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.

Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis

5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung
empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh
bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada
foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi
terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna
pada penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak
waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi

6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)


Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai
duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus
dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP
juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.
Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara
langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang
disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut,
yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus,
duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
8. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.

Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis


9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP)

    

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut
nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan
jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi,
prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
  Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya
8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami
kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen
secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat.
Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5
mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran
kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan
dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan
dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme
kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi
besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12
bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau.
Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada
pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk
menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini  dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut
kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.

c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan


Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,
atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui
endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang
kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau
muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman
air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan
tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah
secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau
duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan
pelarut asam empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara
irigasi dan aspirasi.
2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris,
terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera
dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang
sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika
ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus
dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin
dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan
waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk
penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari
prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi
lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva
pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi
yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak
jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau
cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat
dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan
dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar
kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah
sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani
kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki
angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang
disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para
penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal,
paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus
ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu
dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk
memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah
kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi
saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri
dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang
dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter
ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.
Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu
biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan
bersama-sama kolesistektomi.
H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap
makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi
suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut
(kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat
sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian
menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di
duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis,
dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut
beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi  oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek
massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan
kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu
dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu
menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada
awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi.
Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik,
demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi
ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica
biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas
peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses
local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.

c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum,
dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga
terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara
kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas.
Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak
menutupi ampula vetri.
I. Rencana Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut yaitu
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik,
alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan
tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R)
yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana
yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T)
yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di
riwayat sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.
c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
3) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
4) B3-Brain
-
5) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
6) B5-Bowel
7) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
8) B6-Bone
-
2. Diagnosa Keperawatan
- Pre Operasi
a. Ansietas bd kurang pengetahuan tentang peristiwa operasi
- Intra Operasi
a. Syok Hipovolemik bd perdarahan
b. Resiko hipotermi bd berada diruangan yang dingin
- Post Operasi
a. Nyeri bd agent cidera biologis (trauma jaringan pembedahan)
b. Resiko Kerusakan Integritas Kulit bd Proses Insisi
c. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukkan secret
Diagnosa Keperawatan

1. Pre Operasi

a. Ansietas bd kurang pengetahuan tentang peristiwa operasi

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan pasein 1. Mengetahui tingkat kecemasan pasien
2. Berikan penjelasan yang akurat 2. Pasien mengetahui secara pasti apa
tentang kondisi penyakit saat ini dan yang sedang dihadapi saat ini.
proses terjadinya penyakit.
3. Bantu klien untuk mengidentifikasi 3. Usaha memberikan koping adaptif.
cara memahami berbagai perubahan
akibat penyakitnya.
4. Beri dukungan untuk tindakan operasi 4. Meningkatkan kekuatan diri untuk
berani menghadapi oprasi
5. Biarkan pasien mengekspresikan 5. Setelah pasien mengekpresikan
perasaan mereka. diharapkan pasien mampu
mengkontrol ansietasnya dikemudian.
6. Ciptakan lingkungan yang tenang dan 6. Mengurangi factor terjadinya
tidak menakutkan bagi pasien. kecemasan yang semakin mendalam

7. Kolaborasi dengan tim medis untuk


7. Mengurangi kegelisahan pasien pada
tindakan pemberian obat sedatif
saat operasi.

2. Intra Operasi

Syok Hipovolemik bd perdarahan

Intervensi Rasional
1. Monitor keadaan umum pasien 1. untuk monitor kondisi pasien selama
2. Observasi vital sign setiap 3 jam perawatan terutama saat terjadi
atau lebih. Pendarahan.
3. kolaborasi : Pemberian cairan 2. Perawat perlu terus mengobservasi
Intravena. vital sign untuk memastikan tidak
4. Kolaborasi : pemberian HB, PCV, terjadi presyok / syok.
trombosit 3. Cairan Intravena di perlukan untuk
mengatasi kehilangan cairan tubuh
secara hebat.
4. Untuk mengetahui tingakt
pembuluh darah yang dialami pasien
untuk acuan tindakan lanjut

Resiko hipotermi bd berada diruangan yang dingin

Intervensi Rasional
Kontrol temperatur ruangan Membantu menstabilkan suhu

3. Post Operasi

Nyeri bd agent cidera biologis (trauma jaringan pembedahan)

Intervensi Rasional
1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Untuk
komprehensif termasuk faktor mengetahui keadaan neri yang
pencetus, kualitas, lokasi, skala, dialami klien dan menentukan
durasi, dan frekuensi nyeri tindakan selanjutnya
2. Lakukan pengajaran tentang 2. Membantu
teknik distraksi mengurangi nyeri yang dialami klien
3. Kolaborasi pemberian obat-obatan dengan pengalihan nyeri
analgetik untuk meredakan nyeri 3. Membantu
4. Tingkatkan istirahat mengatsai nyeri secara farmakologi
5. Berikan informasi tentang nyeri 4. Menguran
seperti penyebab nyeri, berapa lama gi stimulus nyeri
nyeri akan berkurang dan antisipasi 5. Membantu
ketidaknyamanan dari prosedur klien dalam mengontrol nyeri yanag
dialami

Resiko Kerusakan Integritas Kulit bd Proses Insisi


Intervensi Rasional
1.Berikan perawatan luka operasi 1. mencegah terjadinya infeksi yang
yang bersih. dapat membuat terjadinya kerusakan
2.  2. Hindari terjadinya infeksi pada luka integritas kulit lebih lanjut.
operasi yang dapat membuat parahnya 2.Adanya infeksi dapat membuat
kerusakan integritas kulit lebih parah
integritas kulit. 

Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukkan sekret

Intervensi Rasional
1. Kaji fungsi pernapasan (bunyi nafas, 1. Penurunan bunyi nafas menunjukkan
kecepatan, irama, kedalaman dan atelektatis, ronkhi menunjukkan
penggunaan otot sensori) akumulasi sekret dan
2. Kaji kemampuan klien ketidakefektifan pengeluaran sekresi
mengeluarkan sekresi, catat kateter yang selanjutnya dapat menimbulkan
sputum penggunaan otot sesesori dan
3. Berikan posisi yang nyaman peningkatan kerja pernapasan
(fowler/semi fowler) 2. Pengeluaran sulit bila sekret sangat
4. Ajarkan klien latihan napas dalam kental (efek infeksi dan hidrasi yang
dan batuk efektif tidak adekuat)
5. Berikan cairan sedikitnya 2500 3. Posisi fowler memaksimalkan
ml/hari (kecuali kontraindikasi), ekspansi paru dan menurunkan
tawarkan air hangat, daripada upaya bernapas
dingin. 4. Ventislasi maksimal membuka area
6. Kolaborasi dalam pemberian obat atelektasis dan meningkatkan
ekspektoran gerakan sekret kedalam jalan napas
besar untuk dikeluarkan
5. Cairan khususnya yang hangat
mobilisasi dan mengeluarkan sekret
6. menurunkan spasme bronkus dengan
mobilisasi sekret. Analgetik
diberikan untuk memperbaiki batuk
dengan menurunkan
ketidaknyamanan tetapi harus
digunakan secara hati-hati, karena
dapat menurunkan upaya
batuk/menekan pernapasan.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan


Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
http://familiamedika.net/referensi-tindakan-medis/operasi-pengangkatan-kantung-empedu-
kolesistektomi.html

https://www.academia.edu/5802963/

http://www.njbariatricsurgeons.com/id/general-surgery/laparoscopic-gallbladder-removal-nj/

Kapita Selekta Kedokteran. 2009. Jakarta : Media Aesculapius

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Nanda.2015.Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda definisi dan Klasifikasi 2015.


Yogyakarta : MediAction

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC

Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

LAPORAN TEKNIK INSTRUMENTASI


CHOLESISTEKTOMI

DI RUMAH SAKIT RSUD KANJURUHAN


Oleh

EMILIA DYAH NOVITASARI


NIM. 1601460044

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN MALANG
2020

A. DEFINISI
Kolesistektomi atau pengangkatan kandung empedu merupakan salah satu
prosedur abdominal yang paling umum. Kolesistektomi adalah penatalaksanaan yang
definitif untuk batu empedu simtomatik (Chari & Shah, 2007). Kolesistektomi terbuka
merupakan penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk kolesistitis akut dan kronik
(Brunicardi, 2010).
B. INDIKASI
1. Penderita dengan simtomatik batu empedu yang telah dibuktikan secara imaging
diagnostic terutama melalui USG Abdomen
2. Penderita kolesterolosis simtomatik yang telah dibuktikan melalui USG
Abdomen
3. Adenomyomatosis kantung empedu simtomatik
4. Pasien dengan cholesistitis kronis

C. KONTRAINDIKASI
 Kontraindikasi Absolut :
- Koagulopati yang tidak terkontrol
- Penyakit liver stadium akhir
- Penyakit Paru Obstruktif berat dan penyakit jantung kongestif berat
 Kontraindikasi Relatif (tergantung keahlian operator) :
- Cirhosis hepatis
- Obesitas
- Gangrene dan empyema gall bladder
- Biliary entereic fistula
- Kehamilan
- Ventriculo-peritoneal shunt (VP-Shunt)

3.1 PERSIAPAN LINGKUNGAN


1) Pastikan AC ruangan berfungsi dengan baik yaitu:18-220C
2) Mengatur dan mengecek fungsi mesin couter, mesin saction,viewer dan lampu
operasi serta mengecek fungsinya
3) Menata meja instrument, meja mayo dan trolli waskhom
4) Mempersiapkan set linen, set waskhom dan instrument steril yang akan
dipergunakan.
5) Memasang perlak, doek besar dan U ped pada meja operasi
6) Mempersiapkan dan menempatkan tempat sampah medis agar mudah dijangkau

2.2 PERSIAPAN ALAT


A. INSTRUMENT DASAR
N NAMA ALAT JUMLAH
O
1 Scalp blade&handle (handvat mess) no 3 1
2 Dissecting forceps (Pinset anatomis) + manis 2/1
3 Tissue forceps (Pinset sirurgis) 2
4 Suture scisor (Gunting benang) 1
5 Metzenbaum scissor (Gunting mebzemboum) 1
8 Washing & dressing forceps (Desinfeksi klem) 1
9 Towel clems (Duk klem) 5
10 Delicate hemostatic forcep pean curve (Musquito 1
klem)
11 Klem Pean Bengkok 2
12 Nissen forceps (Klem pean manis) panjang 1
13 Hemostatic forceps kockher (kochker) sedang 2
14 Needle holder 2
15 Langenbek (Retractor us army) 2

B. INSTRUMENT TAMBAHAN
N NAMA ALAT JUMLAH
O
1 Ring klem 2
2 Peritonium klem (Mikulik) 4
3 Timan 2
4 Canul suction 1
5 Klem 900C / stone tang 1/1

C. INSTRUMENT PENUNJANG (STERIL)


N NAMA ALAT JUMLAH
O
1 Handpiece Couter (monopolar) 1
2 Bengkok 2
3 Cucing 1
4 Kom 1
5 Mangkok besar 1

D. INSTRUMENT PENUNJANG (ON STERIL)


N NAMA ALAT JUMLAH
O
1 Mesin Couter 1
2 Mesin suction 1
3 Lampu Operasi 2
4 Meja Operasi + penunjang pengaman 1
5 Meja Instrument 1
6 Meja Mayo 1
7 Troli Waskom 1
8 Tempat Sampahmedis 2
9 Viewer 1

E. PERSIAPAN LINEN
N NAMA ALAT JUMLAH
O
1 Duk Besar 4
2 Duk Sedang 4
3 Duk Kecil 3
4 Sarung Meja Mayo 1
5 Handuk Tangan 5
6 Scort/ Gaun Operasi 6

3.1 PERSIAPAN NAHAN HABIS PAKAI


NO NAMA ALAT JUMLAH
1 Handscoon steril biasa no.7 /7.5 Sesuai ukuran
2 Mess no 10 1
3 Underpad steril / on steril 1/1 buah
4 Kassa kecil 10 lembar
5 Deppers 5 buah
6 Povidon Iodine 10% 120 cc
7 Cairan NS 0,9% 1 liter
8 Cairan wifi 25 cc 1buah
9 Towel 1buah
10 Hepavix Secukupnya
11 EMP 1 buah
12 Spuit 10cc 1 buah
13 Polley catheter cab 2 no 16 1
14 Urine bag 1
15 Sufratule 1
16 Premiline 3.0 1
17 Vicril 0/2.0 1/1
18 Mersilk 2.0 round 1
19 Big gause 5 lembar

3.4 PERSIAPAN PASIEN


Melakukan serah terima dengan perawat premidikasi kemudian mengecek hal-hal
berikut
1) Pasien telah menandatangani persetujuan tindakan pembedahan dan pembiusan
serta kelengkapan identitas pasien
2) Pasien dipersiapkan dalam kondisi bersih dan mengenakan pakaian khusus masuk
kamar operasi.
3) Pasien memakai gelang identitas pasien dengan benar dan mengecek identitas
digelang pasien
4) Melepas semua benda logam yang digunakan pasien seperti perhiasan dan gigi
palsu bila ada
5) Pasien dibaringkan di meja operasi dengan posisi supine sebelum tindakan
pembiusan selesai
6) Pasien telah menjalani dan disertakan hasilpemeriksaanlaborat serta hasil
pemeriksaan radiologi
7) Pasien datang ke kamar operasi dalam keadaan puasa minimal 6-8 jam sebelum
oprasi
8) Pastikan kondisi area operasi dalam keadaan bersih (bersih dari kotoran, tinta atau
lainnya)
9) Pasien dilakukan tindakan pembiusan dengan general anastesi
10) Site mark

3.5 PELAKSANAAN TEKNIK ISTRUMENTASI


1) Pasien datang serah terima denganperawat premedikasi, cek kelengkapan data
pasien
2) Perawat instrument menata instrument pada meja instrument dan meja mayo serta
menata set linen yang sudah dibuka
3) Menulis identitas pasien di buku register , SSC (Surgical safety checklist)
danlembardepofarmasi
4) Perawat sirkuler membacakan Sign In (Identitas pasien, area operasi, tindakan
operasi, lembar persetujuan, penandaan area operasi,kesiapan mesin, obat-obatan
anastesi, pulse oksimetri, riwayat alergi serta penyulit airway serta resiko
operasidanperdarahan)
5) Bantu memindahkan pasien ke meja operasiyang sudah dialasi perlak, duk bersih
dan underpad dibagian bawah dada
6) Dokter anesthesi melakukan pembiusan dengan general anesthesi
7) Membantu memposisikan pasien dengan posisi supine dan meja operasi diatur
sehingga badan pasien mengikuti arah meja operasi dengan ditekuk pada letak
tumpu prosesus xifoideus dengan tujuan area operasi lebih menonjol (terangkat)
guna mempermudah proses operasi
8) Perawat sirkuler membersihkan area operasi dengan sabun antiseptik (hibiscrub)
dan dikeringkan dengan duk kecil steril serta memasang plat diatermi dibagian
betis pasien
9) Instrumen melakukan cuci tangan bedah (surgical scrub), memakai scort (gowning)
dan sarung tangan steril (gloving)
10) Instrumen membantu gowning dan gloving operator dan asisten
11) Berikan kepada operator bengkok yang berisi povidone iodine 10 % dan 3 deppers
steril dan desinfeksi klem untuk desinfeksi area operasi.
12) Melakukan Drapping:
- 1 Duk besar tebal (extremitas bawah)
- 1 Duk besar tebal (menutupi dada s/d bagian badan atas pasien)
- 2 Duk sedang panjang (kanan dan kiri)
- Fiksasi duk dengan menggunakam duk klem 4 buah
13) Dekatkan meja instrumen dan meja mayo pada area operasi
14) Pasang selang suction dan couter, ikat dengan kasa dan fiksasi dengan duk
klemsertacekfungsinya
15) Perawat sirkuler membacakan Time Out (Perkenalan tim operasi dan tugas
masing-masing, konfirmasi nama pasien, jenis tindakan dan area operasi,
pemberian antibiotik profilaksis, antisipasi kejadian kritis dan kebutuhan instrumen
radiologi) dan dilanjutkan berdoa yang dipimpin oleh operator
16) Memberikan pinset chirurgis kepada operator untuk menandai area insisi (marker)
17) Memberikan handvat messno. 3 dengan mess no.10 kepada operator untuk insisi
kulit, dan memberikan kassa kering dan klem mosquito untuk merawat perdarahan
pada asisten
18) Memberikan double pincet chirurgis dan couter pada operator dan asisten untuk
memperdalam area insisi samapai lemak
19) Memberikan double langenbeck untuk memperluas lapang operasi
20) Setelah tampak facia, operator membuka fasia menggunakan mess atau berikan
handvat mess dengan mess no. 10 untuk insisi fasia dan berikan 2 kochker untuk
menjepit fasia selanjutnya berikan gunting metzembaum untuk memperlebar facia
sampai otot
21) Pada lapisan otot, berikan pean cantik untuk membuka otot dan ditarik dengan
langenback lalu berikan couter untuk memotong otot
22) Setelah otot terbuka, berikan double pincet anatomi dan gunting metzenbaum
untuk membuka peritoneum
23) Berikan double klem peritonium ( Mikulicz) untuk menjepit lapisan peritonium,
lalu peritoneum diperlebar dengan menggunakan gunting metzemboum
24) Memberikan bigkas basah pada operator dan dimasukkan kerongga abdomen guna
melindungi bagian usus, omentum dan gaster.
25) Selanjutnya klem peritonium dilepas dan berikan double retraktor (timan), asisten
memperlebar lapangan operasi menggunakan retraktor hingga terlihat jelas kantung
empedu.
26) Setelah kantong empedu terlihat, operator melakukan punksi pada kantong empedu
untuk mengeluarkan cairan empedu agar nantinya mudah dipegang, berikanspuit
10 cc pada operator untuk punksi
27) Lalu berikan ring klem pada operator untuk memegang kantong empedu
28) Berikan pincet cantik dan couter untuk memisahkan kantung empedu dari hepar,
sampai tampak duktus sistikus.
29) Kemudian berikan klem 90 pada operator untuk mengklem duktus sistikus beserta
arterinya
30) Berikan jahitan dengan benang mersilk 2-0 raound untuk ligasi pangkal kantong
empedu beserta arteri sistikus, dengan klem 90 dipertahan untuk mempermudah
proses ligasi
31) Setelah ligasi dilakukan, berikan gunting metzenbaum pada operator untuk
memotong duktus sistikus selanjutnya kantong empedu yang sudah dipotong
diberikan pada perawat sirkuler guna pemeriksaan patologi
32) Berikan couter pada operator untuk diatermi (membakar) ujung dari potongan
kantong empedu
33) Keluarkan big kasa serta pastikan tidak ada kassa dan instrument yang tertinggal di
dalam rongga abdoment
34) Operator melakukan evaluasi perdarahan, berikan deppres kecil dan cuci area
operasi dengan cairan NS 0.9%
35) Setelah tidak tampak perdarahan, berikan 4 peritoneum klem pada operator untuk
menjepit peritoneum
36) Perawat sirkuler mengembalikan posisi meja operasi (meja operasi diluruskan)
37) Perawat sirkuler membacakan Sign Out ( Jenis tindakan, Kecocokan jumlah
instrumen, kassa jarum sebelum dan sesudah operasi, permasalahan pada alat dan
Perhatian khusus pada masa pemulihan)
38) Selanjutnya, memberikan jahitan dengan benang vicryl no.0 dan pinset anatomis
pada operator untuk menjahit peritoneum, otot dan fasia sekaligus dengan jahitan
jelujur serta berikan klem pean manis, langenback dan gunting benang pada asisten
untuk membantu operator
39) Memberikan jahitan dengan benang vicryl no 2-0 pada operator untuk menjahit fat
sampai subcutis
40) Memberikan jahitan dengan benang premilene no 3-0 dan pinset chirurgis pada
operator untuk menjahit lapisan kulit dengan jahitan satu-satu
41) Setelah lapisan kulit tertutup, membersihkan daerah incisi dengan kassa basah lalu
dikeringkan dengan kassa kering
42) Menutup luka dengan sofratul sesuai panjang luka, tutup dengan kassa kering dan
fiksasi dengan hipavix
43) Rapikan pasien, bersihkan bagian tubuh pasien dari bekas betadin yang masih
menempel dengan menggunakan towel
44) Operasi selesai, bereskan semua instrument, selang suction dan kabel couter
dilepas.
45) Rapikan pasien, bersihkan bagian tubuh pasien dari bekas betadin yang masih
menempel dengan menggunakan kassa basah dan keringkan.
46) Pindahkan pasien ke brankart, dorong ke ruang recovery.
47) Semua instrument didekontaminasi menggunakan larutan presep 2.5 gram (9 buah)
dalam 5 liter air. Rendam selama 10 menit lalu cuci, kemudian cuci dengan
detergent enzymatic lalu bersihkan, bilas dan keringkan, kemudian alat diinventaris
dan diset kembali bungkus dengan kain danberi indicator lalusiap untuk disterilkan.
48) Bersihkan ruangan dan lingkungan kamar operasi, rapikan dan kembalikan alat-
alat yang dipakai pada tempatnya.
49) Inventaris bahan habis pakai pada lembardepo farmasi

DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F.C., 2010. Gallblader and the Extrahepatic Biliary System. Dalam: Swartz’s
Principle of Surgery. Edition ke-9. USA: McGraw-Hill. 2160-2203.

Chari, R.S., dan Shah, S.A., 2007. Biliary System. Dalam: Townsend Ed, Sabiston Textbook
of Surgery. Edisi ke-18. USA: Saunders.

http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview

http://familiamedika.net/empedu dan pankreas/operasi pengangkatan kantong empedu.html

http://bedahunmuh.wordpress.com

http://ikabdi.org.com

Price,S.A.2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed.6. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidayat-de jong.2010. Buku Ajar ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai