Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
CHOLELITIASIS
Oleh
NIM. 1601460044
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa
terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra
hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang
terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut
koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah
proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan
koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.
B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan
kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil
kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis),
puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan
penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak
(misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan
menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu
ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat
hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier
dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin
muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi
pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat
dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol
meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi
kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.
C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai
batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah
lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan
rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu
mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi
untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu
sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu
empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa
penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen
dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin
teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri
hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas,
biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan,
berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai
dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah
memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai,
serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan
membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi
yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik
melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan
ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin
ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu
proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi
disertai peritonitis generalisata.
D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea lain dari
sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung
empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher
cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu
tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu
empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat,
dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu,
pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan
memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya
sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound
berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi
biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.
5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung
empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh
bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada
foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi
terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna
pada penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak
waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut
nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan
jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi,
prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya
8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami
kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen
secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat.
Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5
mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran
kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan
dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan
dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme
kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi
besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12
bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau.
Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada
pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk
menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut
kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.
c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum,
dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga
terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara
kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas.
Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak
menutupi ampula vetri.
I. Rencana Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut yaitu
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik,
alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan
tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R)
yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana
yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T)
yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di
riwayat sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.
c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
3) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
4) B3-Brain
-
5) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
6) B5-Bowel
7) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
8) B6-Bone
-
2. Diagnosa Keperawatan
- Pre Operasi
a. Ansietas bd kurang pengetahuan tentang peristiwa operasi
- Intra Operasi
a. Syok Hipovolemik bd perdarahan
b. Resiko hipotermi bd berada diruangan yang dingin
- Post Operasi
a. Nyeri bd agent cidera biologis (trauma jaringan pembedahan)
b. Resiko Kerusakan Integritas Kulit bd Proses Insisi
c. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukkan secret
Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operasi
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan pasein 1. Mengetahui tingkat kecemasan pasien
2. Berikan penjelasan yang akurat 2. Pasien mengetahui secara pasti apa
tentang kondisi penyakit saat ini dan yang sedang dihadapi saat ini.
proses terjadinya penyakit.
3. Bantu klien untuk mengidentifikasi 3. Usaha memberikan koping adaptif.
cara memahami berbagai perubahan
akibat penyakitnya.
4. Beri dukungan untuk tindakan operasi 4. Meningkatkan kekuatan diri untuk
berani menghadapi oprasi
5. Biarkan pasien mengekspresikan 5. Setelah pasien mengekpresikan
perasaan mereka. diharapkan pasien mampu
mengkontrol ansietasnya dikemudian.
6. Ciptakan lingkungan yang tenang dan 6. Mengurangi factor terjadinya
tidak menakutkan bagi pasien. kecemasan yang semakin mendalam
2. Intra Operasi
Intervensi Rasional
1. Monitor keadaan umum pasien 1. untuk monitor kondisi pasien selama
2. Observasi vital sign setiap 3 jam perawatan terutama saat terjadi
atau lebih. Pendarahan.
3. kolaborasi : Pemberian cairan 2. Perawat perlu terus mengobservasi
Intravena. vital sign untuk memastikan tidak
4. Kolaborasi : pemberian HB, PCV, terjadi presyok / syok.
trombosit 3. Cairan Intravena di perlukan untuk
mengatasi kehilangan cairan tubuh
secara hebat.
4. Untuk mengetahui tingakt
pembuluh darah yang dialami pasien
untuk acuan tindakan lanjut
Intervensi Rasional
Kontrol temperatur ruangan Membantu menstabilkan suhu
3. Post Operasi
Intervensi Rasional
1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Untuk
komprehensif termasuk faktor mengetahui keadaan neri yang
pencetus, kualitas, lokasi, skala, dialami klien dan menentukan
durasi, dan frekuensi nyeri tindakan selanjutnya
2. Lakukan pengajaran tentang 2. Membantu
teknik distraksi mengurangi nyeri yang dialami klien
3. Kolaborasi pemberian obat-obatan dengan pengalihan nyeri
analgetik untuk meredakan nyeri 3. Membantu
4. Tingkatkan istirahat mengatsai nyeri secara farmakologi
5. Berikan informasi tentang nyeri 4. Menguran
seperti penyebab nyeri, berapa lama gi stimulus nyeri
nyeri akan berkurang dan antisipasi 5. Membantu
ketidaknyamanan dari prosedur klien dalam mengontrol nyeri yanag
dialami
Intervensi Rasional
1. Kaji fungsi pernapasan (bunyi nafas, 1. Penurunan bunyi nafas menunjukkan
kecepatan, irama, kedalaman dan atelektatis, ronkhi menunjukkan
penggunaan otot sensori) akumulasi sekret dan
2. Kaji kemampuan klien ketidakefektifan pengeluaran sekresi
mengeluarkan sekresi, catat kateter yang selanjutnya dapat menimbulkan
sputum penggunaan otot sesesori dan
3. Berikan posisi yang nyaman peningkatan kerja pernapasan
(fowler/semi fowler) 2. Pengeluaran sulit bila sekret sangat
4. Ajarkan klien latihan napas dalam kental (efek infeksi dan hidrasi yang
dan batuk efektif tidak adekuat)
5. Berikan cairan sedikitnya 2500 3. Posisi fowler memaksimalkan
ml/hari (kecuali kontraindikasi), ekspansi paru dan menurunkan
tawarkan air hangat, daripada upaya bernapas
dingin. 4. Ventislasi maksimal membuka area
6. Kolaborasi dalam pemberian obat atelektasis dan meningkatkan
ekspektoran gerakan sekret kedalam jalan napas
besar untuk dikeluarkan
5. Cairan khususnya yang hangat
mobilisasi dan mengeluarkan sekret
6. menurunkan spasme bronkus dengan
mobilisasi sekret. Analgetik
diberikan untuk memperbaiki batuk
dengan menurunkan
ketidaknyamanan tetapi harus
digunakan secara hati-hati, karena
dapat menurunkan upaya
batuk/menekan pernapasan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/5802963/
http://www.njbariatricsurgeons.com/id/general-surgery/laparoscopic-gallbladder-removal-nj/
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC
A. DEFINISI
Kolesistektomi atau pengangkatan kandung empedu merupakan salah satu
prosedur abdominal yang paling umum. Kolesistektomi adalah penatalaksanaan yang
definitif untuk batu empedu simtomatik (Chari & Shah, 2007). Kolesistektomi terbuka
merupakan penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk kolesistitis akut dan kronik
(Brunicardi, 2010).
B. INDIKASI
1. Penderita dengan simtomatik batu empedu yang telah dibuktikan secara imaging
diagnostic terutama melalui USG Abdomen
2. Penderita kolesterolosis simtomatik yang telah dibuktikan melalui USG
Abdomen
3. Adenomyomatosis kantung empedu simtomatik
4. Pasien dengan cholesistitis kronis
C. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi Absolut :
- Koagulopati yang tidak terkontrol
- Penyakit liver stadium akhir
- Penyakit Paru Obstruktif berat dan penyakit jantung kongestif berat
Kontraindikasi Relatif (tergantung keahlian operator) :
- Cirhosis hepatis
- Obesitas
- Gangrene dan empyema gall bladder
- Biliary entereic fistula
- Kehamilan
- Ventriculo-peritoneal shunt (VP-Shunt)
B. INSTRUMENT TAMBAHAN
N NAMA ALAT JUMLAH
O
1 Ring klem 2
2 Peritonium klem (Mikulik) 4
3 Timan 2
4 Canul suction 1
5 Klem 900C / stone tang 1/1
E. PERSIAPAN LINEN
N NAMA ALAT JUMLAH
O
1 Duk Besar 4
2 Duk Sedang 4
3 Duk Kecil 3
4 Sarung Meja Mayo 1
5 Handuk Tangan 5
6 Scort/ Gaun Operasi 6
DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi, F.C., 2010. Gallblader and the Extrahepatic Biliary System. Dalam: Swartz’s
Principle of Surgery. Edition ke-9. USA: McGraw-Hill. 2160-2203.
Chari, R.S., dan Shah, S.A., 2007. Biliary System. Dalam: Townsend Ed, Sabiston Textbook
of Surgery. Edisi ke-18. USA: Saunders.
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
http://bedahunmuh.wordpress.com
http://ikabdi.org.com