Anda di halaman 1dari 2

MENDUGA GEMPA; MENDUGA PUSAT MAKNA (Bag.

3)

Minggu lalu ada sekelompok orang membubarkan tradisi Sedekah Laut di Bantul. Jaman now, tradisi
semacam ini (sedekah bumi, sedekah laut, ruwatan, dll) barangkali sukar dipahami --atau dipahami
sebagai kesyirikan –meskipun ritual tradisi ini telah mengalami “modifikasi ideologi dan budaya”
setelah monoteisme dipercayai oleh sebagian besar manusia di dunia ini. Saya tak akan membahas
tentang apa itu sedekah laut beserta esensinya. Ada banyak tulisan dan wacana yang bagus dengan
berbagai sudut pandang berkaitan dengan tradisi tersebut. Asal mau terbuka saja, membebaskan
dulu sejenak konsep atau pandangan yang sudah tertanam di kepala kita saat membacanya,
mungkin ada sesuatu yang jernih bisa kita pahami di balik kekeruhan prasangka.

Saya hanya ingin merentangkan pandangan jauh ke belakang, saat manusia memandang, memroses,
dan membentuk jati dirinya selama ribuan tahun y.l. dan mewariskan data-data genetis dan historis
pada generasi saat ini. Saat manusia belum memutuskan untuk menetap di satu tempat saja
--mungkin karena lelah menjadi pengumpul dan pemburu selama ribuan tahun-- mereka masih
berbagi makna dengan hewan, tanaman, gunung, dan laut. Pada masa itu orang berbicara dengan
binatang, pohon, dan batu, juga dengan peri, setan, jin, dan hantu. Kemudian dari jejaring
komunikasi ini muncul nilai-nilai dan norma-norma yang mengikat manusia, gajah, pohon beringin,
dan hantu-hantu sekaligus. Para arkeolog dan antropolog menyebutnya sebagai masyakat animis:
masyarakat yang meyakini tidak ada celah esensial yang memisahkan antara manusia dan binatang.
Semua sejajar, semua berbagi makna.

Pandangan dunia animis ini masih menuntun sebagian komunitas pemburu-pengumpul bertahan
hingga abad modern. Evolusi budaya barangkali bisa menjawab ini: mereka yang bertahan adalah
yang mampu “memodifikasi” pandangannya dunianya (asimilasi, akulturasi, enkulturasi,
sinkretisme). Konon buyut saya setelah memanen padi menyisakan sedikit padinya untuk “jatah”
tikus-tikus agar tidak mengganggu jatah manusia. Ia menembar padi-padi itu sambil memberi pesan
pada tikus-tikus itu,”pek dahar ieu pare. Omat tong ngaganggu pepelakan kami.” Ketika seorang
Nayaka (masyarakat yang hidup di hutan-hutan tropis India Selatan) masuk hutan daan bertemu
binatang buas, dia akan berbicara dengan binatang itu bahwa ia hanya akan mengumpulkan umbi-
umbian dan akar, bukan untuk membunuhnya. Ia dan binatang itu sama-sama mencari makan di
hutan tanpa harua saling mengganggu.

Masih banyak lagi contoh-contoh lain dari berbagai komunitas adat di dunia ini yang memiliki
pandangan dunia yang berbeda dari masa selanjutnya hingga kini. Komunikasi yang terjalin diantara
mahluk selain manusia menandakan bahwa manusia bukanlah pusat makna yang memiliki privilese
atau wakil Tuhan yang monoteistik di dunia ini untuk menguasai yang lain. Bahkan sesuatu yang
lebih sakti dan berkuasa di atas semua mahluk pun, seperti dewa-dewi, bukanlah sosok yang maha
kuasa. Mereka masih bisa ditipu oleh manusia atau hewan, atau diantara mereka sendiri suka
bertengkar. Coba deh nonton film animasi “Moana”, di sana diceritakan bagaimana Te Fiti, dewi
pulau yang menciptakan semua kehidupan dan menjadi sebuah pulau, malah dicuri jantungnya oleh
Maui, manusia setengah dewa. Begitu rapuhnya hidup sang pencipta kehidupan ini, tapi juga
mencerminkan betapa egaliternya hubungan diantara mereka.

Saat manusia memutuskan untuk menetap, terjadilah domestifikasi hewan dan tumbuhan. Hewan
mulai dipelihara (ternak) dan tumbuhan dipastikan lahannya (pertanian). Para dewa ditempatkan
pada posisi lebih tinggi dan dimanifestasikan dlm bentuk-bentuk tertentu. Lalu terciptalah kelas-
kelas masyarakat dan meminggirkan “suara” binatang dan tetumbuhan. Pada milenium pertama
sebelum Masehi muncul pandangan monoteisme yang menantang dan menggantikan pandangan
ini. Mengganti pandangan ini berarti ia menjadi rejim makna yang menguasai sebagian besar
pandangan manusia di dunia. Pandangan sebelumnya tetap ada, cuma ia tak mampu melawan arus
pandangan yang baru ini dan berada di tubir peradaban saja. Bertahan dengan memodifikasi
pandangannya dengan pandangan yang baru, monoteisme.

Monoteisme dan peradaban berhasil mengubah manusia menjadi kalifah di muka bumi ini hingga
sekarang sekaligus menjadi “rejim” makna yang membingkai kembali makna yang sebelumnya
disuarakan juga oleh hewan, tetumbuhan, gunung, laut, dan angin, dan makna yang diciptakan
dewa-dewa.

Sementara pandangan purba memodifikasi dirinya agar bisa bertahan, sebaliknya, dunia sains
“melirik” serpihan-serpihan pandangan purba itu dan mengolahnya sebagai data yang berguna
untuk kehidupan sekarang dan masa depan. Prof. M. Ikeya yang menulis buku “Earthquakes and
Animal; From Folk Legends to Science” (2004) menyebutkan bahwa legenda-legenda rakyat adalah
sumber data yang berharga untuk meneliti hubungan antara fenomena alam dan perilaku binatang
saat merespon sesuatu yang akan terjadi, terutama gempa. Dengan menghilangkan aspek animisme
atau mistis pada fenomena tersebut, ia mengatakan bahwa binatang memiliki sensitifitas atas
pergerakan geografis yang menandai peristiwa sesudahnya. Berbekal peristiwa gempa di Cina pada
bulan Februari 1975 sebagai satu-satunya gempa yang bisa diprediksi karena perilaku aneh binatang-
binatang 2 bulan sebelum gempa terjadi, ia meluaskan penelitiannya pada fenomena alam lainnya:
bentuk awan, cahaya di langit, cuaca, air, suara, di samping perilaku hewan dan tanaman.

Apakah pandangan sains ini dengan berbagai perangkat teknologi yang makin berkembang suatu
saat akan menggeser pusat atau rejim makna saat ini? Atau apakah rejim makna saat ini akan
memodifikasi pandangannya agar bisa bergandengan tangan dengan makna yang dihasilkan oleh
sains? Entahlah. Ia mungkin sudah renta jika yang keluar dari mulutnya sekadar kutukan, atau
sumpah serapah, sambil bercerita tentang masa lalu yang gemilang.

Bandung, 19102015

Imam Maulana

Anda mungkin juga menyukai