Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH USHUL FIQH II

MAKALAH
Ijtihad

DOSEN PEMBIMBING :
Al-Ustadz Muhammad Ilham Lc., MA.

DISUSUN OLEH :
M. SYAKBAN
ABDUL AZIZ AL MUHSYI

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR


INSTITUT SAINS AL-QUR’AN SYEKH IBRAHIM
PASIR PENGARAIAN TAHUN PELAJARAN 2019/2020

1
PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi di dunia,


menyebabkan adanya masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Banyak umat Islam yang mulai bertanya status hukum
Islam tentang hal-hal baru tersebut. Sehingga, perlu yang namanya ijtihad untuk
menjawab bagaimana status hukumnya dalam syari’at islam.
Namun pada abad ke 4 H, ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Sehingga menyebabkan ulama’ zaman sekarang
merasa tidak pantas untuk melakukan ijtihad.
Berangkat dari hal tersebut diatas, perlu kiranya kita meneliti atau
mempelajari kembali tentang ijtihad. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dibahas tentang pengertian ijtihad, dasar-dasar hukum ijtihad, fungsi melakukan
ijtihad, syarat-syarat melakukan ijtihad, macam-macam ijtihad.

Al-Qur’an dan Hadits sampai kepada kita masih otentik dan orisinil.
Untuk mengetahui hukum-hukum tidak cukup dengan adanya petunjuk,
melainkan perlu dengan cara khusus untuk mengetahui atau mendalaminya dari
petunjuk-petunjuk tersebut. Cara khusus itulah yang disebut Metode. Ilmu untuk
mengetahui cara itu disebut metodologi. Salah satu cara ataupun metode untuk
mengetahui hukum-hukum yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadits,
maka bisa diketahui hukumnya dengan cara melakukan Ijtihad.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan membahas tentang bagaimana
ijtihad, bagaimana hukum ijtihad dan apa saja macam-macam ijtihad. Di kalangan
ulama’ ushul fiqih, terdapat berbagai redaksi dalam mendefinisikan ijtihad, namun
pada intinya adalah sama.
Pada dasarnya ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam menggunakan
tenaga, baik fisik, maupun fikiran. Penjelasan lebih lanjutnya akan kami jelaskan
didalam makalah ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti masyaqqat (kesulitan atau kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan atau
kemampuan). Ijtihad adalah masdar dari fi’il madzi Ijtahada.1

Ijtihad yang berasal dari kata ‫ اجتهد‬artinya berusaha dengan bersungguh-


sungguh. Sedangkan secara terminologi, sebagaimana didefinisikan oleh
Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu:

ِ َ‫بَذُ َل ْال ِف ِق ْي ِه ُو ْسعَةﹰفِى ا ْستِ ْنب‬


ِ ‫اط اْ َﻷحْ ك َِام اْلعَ َم ِليَّ ِة ِم ْن أَ ِدلَّتِ َهاالت َّ ْف‬
ِِ ‫ص ْي ِليَّة‬
Artinya:
“pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat)
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci
(satu persatu).”2
Definisi ijtihad lain yang dikemukakan oleh Abu Zahra adalah
“mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal. Baik yang meng-istinbat-
kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”.3
Jadi, menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang
sungguh-sungguh. Perkataan ini tidak dipergunakan dalam suatu yang tidak
mengandung kesulitan dan keberatan.
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan seorang
faqih (pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu
melalui dalil syara’.

1 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2015) hal. 97-98.
2
A. Mu’in, dkk, Ushul fiqh II (Jakarta: Departemen Agama, 1986) hal. 111.
3
Satria Effandi. Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014) hal. 245-246.

3
B. Dasar Hukum Ijtihad dan Hukum Melakukan Ijtihad
Ijtihad merupakan salah satu metode untuk istinbath hukum Islam.
Dibolehkannya ijtihad ini tentunya berdasarkan firman Allah dan hadits
Rasullullah SAW. Baik yang dinyatakan dengan jelas maupun yang dinyatakan
dengan isyarat, diantaranya yaitu firman Allah SWT dalam surah An Nisaa’ ayat
105 yang artinya :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan
pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di
rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah
menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh
kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi Muhammad SAW dan mereka meminta
agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun
mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri hampir-
hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang
Yahudi.
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad yaitu berupa qiyas.
Dibolehkannya ijtihad juga berdasarkan keterangan dari Sunnah, diantaranya
yaitu :
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
‫اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران و اذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر‬
Artinya:
Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka itu mendapat dua
pahala, dan bila dia salah maka dia mendapat satu pahala.
Dan hadits Muadz Bin Jabal ketika Rasulullah SAW. Mengutusnya ke
Yaman untuk menjadi Hakim. Rasulullah SAW. Bertanya, “Dengan apa kamu
menghukumi?” ia menjawab “Dengan apa yang ada dalam Kitab Allah”.
Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Kitab Allah ?”.
Dia menjawab “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”.

4
Rasul Bertanya lagi “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?”
Berkata Mu’adz “Aku berjihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda, “Aku
bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.”
Ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
Mereka selalu berijtihad ketika mendapatkan masalah-masalah baru yang belum
dijelaskan secara jelas baik dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Ada banyak kriteria hukum berijtihad menurut para ulama’, diantaranya:


a. Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum sesuatu
peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya.
Demikian pula seseorang yang segera ingin mendapatkan kepastian hukum untuk
dirinya sendiri dan tidak ada mujtahid yang bisa segera ditemui untuk
mendapatkan fatwa perihal hukumnya.
b. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa
hukum, dan tidak dikhawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara
disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c. Sunnah, yakni berijtihad terhadap sesuatu peristiwa hukum yang belum
terjadi baik ditanyakan ataupun tidak ada yang mempertanyakan.4
d. Haram, yakni apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
ditetapkan secara qat’i, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil
syara’.
e. Juga dihukumi fardu ‘ain jika ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan
harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang
lain.5
Berijtihad hukumnya sunnah dalam dua hal yaitu :
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi sebelum ditanya, seperti
yang pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi
(fiqh pengandaian).

4
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta : Teras, 2009) hal. 196
5
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2015) hal. 107-108

5
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan
pertanyaan seseorang.
Sedangkan berijtihad haram hukumnya dalam dua hal yaitu :
1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qhat’i) baik berupa ayat
atau hadits Rasulullah SAW, atau hasil ijtihad yang menyalahi ijma’.
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seorang
mujtahid.6

C. Syarat-Syarat Berijtihad
Mujtahid adalah orang yang berijtihad. Berbicara tentang syarat-syarat
ijtihad tidak lain dari berbicara syarat-syaratnya mujtahid begitu pula sebaliknya.
Ada beberapa Imam yang menjelaskan syarat-syaratnya Ijtihad.
1. Imam Al–Ghazali
Menurut Imam Al–Ghazali didalam kitabnya Al–Musthofa, mengatakan
mujtahid memiliki dua syarat :
a. Mengetahui dan menguasai ilmu syara’ dan dapat melihat dzon yang
sesuai dengan syar’i dengan mendahulukan apa yang wajib di dahulukan dan
sebaliknya.
b. Hendaknya seseorang itu bersikap adil, menjauhi maksiat yang dapat
mencemarkan sifat dan sikap keadilannya karena ini menjadi landasan apakah
fatwanya dapat menjadi pandangan atau tidak.
2. Imam Asy Syathiby
Beliau mengatakan seseorang dapat diterima ijtihadnya apabila memiliki
dua sifat, yaitu:
a. Mengerti dan faham akan tujuan-tujuannya syari’at dengan sepenuhnya,
secara keseluruhan.
b. Mampu melakukan istinbat berdasarkan kepahaman terhadap tujuan
syariat tersebut.
3. Al Amidi dan Al Baidlawi
Menjelaskan seseorang dapat melakukan Ijtihad apabila ia memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
6
Satria Effandi. Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014) hal. 255-256

6
a. Mengetahui apa yang ada pada Allah SWT dari sifat-sifat yang wajib,
percaya pada Rasul dan apa yang dibawa olehnya, dari mukjizat-mukjizat dan
ayat-ayat yang nyata. Sehingga pendapat dan hukum yang dia sandarkan itu
memang nyata dan benar. Dan tidak disyaratkan baginya mengetahui ilmu kalam
secara detail. Cukup mengetahui perkara dengan global.
b. Hendaknya dia seorang yang pandai (Alim) dan bijaksana (Arif) tentang
keseluruhan hukum syariat dan pembagiannya.
Memang sulit menjadi seorang mujtahid mutlak. Ada saja kelemahan
seseorang dibeberapa bidang. Agar seseorang mencapai tingkatan ijtihad yang
sesungguhnya. Ia dituntut untuk mengerti makna ayat-ayat hukum dalam Al–
Quran baik secara bahasa maupun secara syara’. Dan juga mengetahui Hadits
Ahkam atau hadits-hadits hukum serta mampu memilih hadits mana yang sesuai
dengan permasalahan yang ada.
Seorang Mujtahid memang seharusnya hafal akan Al-Quran dan Hadits
yang diperlukan serta mengetahui Nasikh dan Mansukhnya, baik yang terdapat
dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
Terlepas dari pendapat ulama’, maka dapat di simpulkan bahwa syarat-
syarat mujtahid atau ulama’ untuk melakukan ijtihad, yaitu:
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits hukum, baik menurut bahasa
maupun syari’ah.
c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, supaya
tidak salah dalam menetapkan hukum.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama’,
sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’ ulama’.
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta menginstinbatnya, karena
qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan
bahasa, serta berbagai problematikanya.
g. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.

7
h. Mengetahui maqashidu al syari’ah (tujuan syariat) secara umum, karena
bagaimanapun juga syari’at itu berhubungan dengan maqashidu al syari’ah
atau rahasia yang disyariatkannya suatu hukum.7

D. Fungsi Ijtihad
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak
sampai ke tingkat Hadis Mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya
memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak
langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal ini, yaitu
pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah
penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas
jumlahnya itu dapat menjawab permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.

E. Macam-Macam Ijtihad

Ijtihad dilihat dari jumlah pelakunya dibagi menjadi dua yaitu :


1) Ijtihad fardhi, yaitu ijtuhad yang dilakukan oleh perorangan atau beberapa
mujtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh imam mujtahid besar ; Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ahmad Ibnu Hanbal.
2) Ijtihad jama’i, adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab
ushul fiqih, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad Saw. setelah
Rasulullah Saw. wafat dalam masalah teetentu.8
Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya
sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu :
1) Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’
dari nash.
2) Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahn yang terdapat di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan mertode qiyas.

7
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2015) hal. 105-106.
8
Satria Effandi. Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014)hal. 258.

8
3) Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah
istishlah.
Sedangkan menurut Muhammad Taqiyu Al-Hakim ijtihad dibagi menjadi
dua bagian saja, yaitu :
1) Ijtihad Al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebasjan berfikir dengan mengikuti kadah-
kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemudharatan, hukum itu jelek bila tidak
disertai penjelasan dan lain-lain.
2) Ijtihat syar’i, yaitu ijtihad yang di dasarkan pada syara’, termasuk dalam
pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istislah, ‘urf, istishab dan lain-lain.9

9
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2015).,104

9
PENUTUP

Kesimpulan
Secara terminologi Ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan
(istinbat) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat. Sedangkan Secara
etimologi ijthad berasal dari bahasa Arab yaitu ijtihada yang di ambil dari masdar
ghoiru mim yang artinya bersungguh-sungguh, rajin, dan giat.
Dasar hukum yang membolehkan Ijtihad adalah Alquran dan hadits Rasul.
Salah satunya yaitu Alquran Surah Annisaa’ ayat 105 serta Hadits Rasul yang
diriwayatkan oleh Umar.
Syarat-syarat untuk menjadi mujtahid yaitu: mengetahui dan menguasai
ayat-ayat hukum dalam Alquran, mengetahui dan mengasai Hadits-hadits Ahkam,
mengetahui nasakh dan mansukh dari Alquran dan Assunnah, mengetahui
permasalahan yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama’, mengetahu qiyas dan
berbagai persyaratannya, mengetahu bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang
berkaitan, dan mengetahui Ilmu Ushul Fiqih, mengetahu Maqasidu As Syari’ah.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al Dzarwy, Ibrahim Abbas. 1987. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Jakarta
Indo.
Al Qardawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Jakarta Indo.
Khalaf, Abdul Wahab. 2004. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Rineka Cipta.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih, Yogyakarta : Teras.
Effandi, Satria. 2014. Ushul Fiqh Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.
Mu’in, Ahmad, dkk. 1986. Ushul fiqh II, Jakarta: Depertemen Agama.
Syafe’i, Rachmat, , 2015. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia.

11

Anda mungkin juga menyukai