Penatalaksanaan Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik
Penatalaksanaan Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik
Pendahuluan
Anemia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai pada Penyakit Ginjal
Kronik (PGK). Anemia merupakan komplikasi yang penting karena merupakan
prediktor kejadian kardiovaskuler dan kematian pada PGK. Pada PGK umumnya
anemia mulai timbul pada stadium 3 dan hampir selalu ditemukan pada stadium 5,
namun pada beberapa pasien anemia telah timbul lebih awal dimana penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) masih relatif ringan.l
Anemia merupakan penyulit yang sangat penting pada PGK. Anemia merupakan
salah satu faktor risiko yang memperburuk perjalanan PGK. Anemia juga merupakan
komorbiditas gangguan kardiovaskuler, meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Berbagai penelitian melaporkan makin rendah hemoglobin ( Hb) makin tinggi
mortalitas, sehingga anemia disebut juga multiplier factor pada mortalitas5,6
Mengingat pentingnya peran anemia pada perjalanan PGK maka penangan anemia
sejak dini sangat penting dalam memperlambat progresivitas PGK serta menurunkan
morbiditas dan mortalitas.
Anemia renal merupakan anemia pada PGK yang terutama disebabkan oleh
penurunana kapasitas produksi eritropoetin. Disebut anemia jika kadar hemoglobin (Hb)
<14 g/dl (laki-laki) atau < 12 g/dl (perempuan). Pada pasien PGK yang belum
mengalami anemia, skrining anemia dianjurkan minimal 1 tahun sekali. Pada kondisi
tertentu skrining dilakukan lebih sering misalnya diabetes, kelainan jantung, riwayat
penurunana Hb sebelumnya.6
KDIGO (Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease 2012)
merekomendasikan pada pasien anemia yang tidak dalam terapi Erythropoietin
stimulating agent (ESA), pemeriksaan Hb dilakukan bila ada indikasi klinik atau
minimal setiap 3 bulan pada pasien dengan PGK 3-5-non dialisis (PGK 3-5-ND) dan
minimal setiap bulan pada PGK stadium 5 yang menjalani hemodialisis (PGK 5-HD).2
Profil zat besi menunjukkan adanya kemungkinan anemia oleh kekurangan zat besi
yang dapat diatasi segera setelah pemberian terapi. Dari pemeriksaan morfologi darah
tepi dapat juga dicurigai adanya kemungkinan anemia disebabkan oleh defisiensi vit
B12 atau asam folat.2
Rute suplementasi besi pada pasien PGK-ND tergantung dari derajat beratnya
defisiensi besi, ketersediaan akses vaskuler, respons terhadap terapi besi oral
sebelumnya, efek samping terapi besi oral, kepatuhan pasien dan biaya. Terapi besi oral
diindikasikan pada pasien PGK non-D dan PGK-PD dengan defisiensi besi. Jika setelah
3 bulan ST tidak dapat dipertahankan ≥20% dan/atau FS ≥ 100 ng/ml, maka dianjurkan
untuk pemberian besi parenteral. Terapi besi parenteral terutama diindikasikan pada
pasien PGK-HD.6
Hb < 10 g/dl
Status besi
Target Respon
Hb ↑ 0,5-1,5 g/dl dalam 4 minggu
* Keterangan :
Kotak hitam = terapi besi tidak diberikan
Kotak Abu-abu = diberikan terapi besi koreksi, ESA ditunda sementara
Kotak putih = ESA diberikan bersamaan dengan terapi besi fase pemeliharaan
Pada pasien yang dalam terapi ESA disarankan untuk mengevaluasi status besi
setiap 3 bulan, atau lebih serimg pada pasien dengan risiko kebutuhan besi yang tinggi
seperti, pada pasien yang baru mendapat terapi ESA, atau ada perdarahan. Hindari
pemberian terapi besi pada keadaan infeksi sistemik.2 Rute pemberian zat besi sebagai
persiapan terapi ESA pada pasien HD direkomendasikan untuk diberikan intravena.2,6
Terapi besi ada dalam 2 fase yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Terapi
besi fase koreksi bertujuan untuk koreksi anemia defisiensi absolut, sampai status besi
cukup yaitu ST ≥20% dan FS mencapai ≥200 ng/ml (PGK-HD). Dosis uji coba (test
dose) dilakukan sebelum mulai terapi besi intravena pertama kali untuk mengetahui
adanya hipersensivitas terhadap besi. Dosis terapi besi fase koreksi 100 mg 2X per
minggu, saat HD, dengan perkiraan dosis total 1000 mg (10× pemberian). Pemeriksaan
status besi ulang dilakukan satu minggu setelah dosis penuh selesai diberikan. 2,6
Terapi ESA dimulai setelah identifikasi faktor lain yang memperberat anemia dan
lakukan koreksi terlebih dahulu. Selain ltu pastikan bahwa status besi cukup untuk
memulai terapi ESA. Dalam pemberian ESA hendaknya dipertimbangkan antara potensi
manfaat pemberian ESA untuk mengurangi kebutuhan transfusi dan memperbaiki gejala
anemia dengan potensi risiko seperti stroke, trombosis akses vaskuler dan hipertensi.2
Indikasi terapi ESA bila Hb < 10 g/dl dan penyebab lain anemia sudah
disingkirkan.2 Terapi ESA juga harus memenuhi syarat yaitu tidak ada defisiensi besi
absolute dan tidak ada infeksi yang berat. Kontra indikasi ESA adalah bila hipersensitif
terhadap ESA. Perlu juga diperhatikan pada terapi ESA adalah tekanan darah yang
tinggi serta hiperkoagulasi.6 Keputusan untuk memulai terapi ESA hendaknya melihat
kebutuhan pasien secara individu, ada kemungkinan pasien tertentu sudah
membutuhkan ESA dan lebih mendapatkan manfaat bila dimulai pada tingkat Hb > 10
g/dL.2
Beberapa preparat ESA yang ada di Indonesia saat ini antara lain Eritropoietin alfa,
Eritropietin beta, dan CERA (continuous erythropoiesis receptor activator) suatu ESA
dengan masa paruh yang panjang.
Selama terapi ESA dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi dengan dosis
pemeliharaan sesuai kebutuhan. pada umumnya 50-100 mg setiap dua minggu.
Kemudian pemeriksaan status besi untuk monitoring diulang secara rutin setiap tiga
bulan. 1,6
Transfusi Darah
Tindakan transfusi darah sedapat mungkin dihindari pada pasien PGK, karena
banyak komplikasi yang bisa timbul baik saat transfusi maupun setelahnya. Penyulit
yang sering terjadi adalah: kelebihan cairan di sirkulasi, transmisi penyakit infeksi,
reaksi transfusi, kelebihan zat besi.Transfusi dipertimbangkan jika manfaatnya lebih
besar daripada risiko yang ditimbulkannya misalnya pada pasien yang terapi ESA nya
tidak efektif, keadaan mengancam jiwa karena perdarahan aktif, perioperatif yang
memerlukan koreksi cepat. Transfusi sebaiknya diberikan secara bertahap untuk
mencegah kelebihan cairan disirkulasi.
Ringkasan
Daftar Pustaka
6. Mandayam S, Mitch WE. Diteray protein restriction benefits patients with chronic
kidney disease. Nephrology. 2006;11:53-57.