Anda di halaman 1dari 19

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/338262944

PERSENGKETAAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN YANG DISELESAIKAN OLEH


MAHKAMAH INTERNASIONAL (INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE)

Article · December 2019

CITATIONS READS

0 886

4 authors, including:

Fadhila Rachmat Windiarto


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

UK 3 Pak Yordan View project

All content following this page was uploaded by Fadhila Rachmat Windiarto on 31 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERSENGKETAAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN YANG DISELESAIKAN

OLEH MAHKAMAH INTERNASIONAL (INTERNATIONAL COURT OF

JUSTICE)

Oleh :

Risky Efriliani 20170610034


Fadhila Rachmat Windiarto 20170610061
Muhammad Fadli 20170610168
Muhammad Aldina Mufid 20170610459

PENDAHULUAN

Pada pertemuan teknis hukum laut yang dilakukan antara Indonesia dan

Malaysia yang diadakan pada tanggal 1967 merupakan awal mula munculnya

persengketaan antara kedua belah pihak, Disinilah titik sengketaan terhadap kedua

pulau Sipadan dan Ligitan antara dua belah pihak. Klaim dari pemerintah Indonesia

terlihat lemah karena dalam Perpu No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia

kedua Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dicantumkan. 1 Sedangkan dari pihak

Malaysia sendiri tidak pernah mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan dalam

petanya hingga tahun 1970.

Kemudian dengan saling klaim kepemilikan kedua pulau tersebut, akhirnya

Malaysia dan Indonesia menyepakati bahwa kedua pulau tersebut ditetapkan

sebagai “status quo”, tetapi pengertian ini tangkap berbeda dari pihak Malaysia.

Malaysia yang bekerjasama dengan pihak swasta setempat malah mengelola

1
Boer Mauna (2005). Hukum Internasional : Perngertian, Peranan Dan Fungsi Dalam

Era Dinamika Global. PT Almuni : Bandung. Hal : 280


pembagunan resort dan juga penangkaran penyu, karena dari pihak Malaysia

memahami bahwa ditetapkannya “status quo” berarti kedua pulau Sipadan dan

Ligitan masih dibawah kedaulatan Malaysia sampai persengketaan selesai,

sedangkan dari pihak Indonesia memahami bahwa status kepemilikan kedua pulau

ini tidak bukanlah kedaulatan dari kedua Negara bersengketa sampai kasus ini

selesai.

Berita akan kedua pulau ini lalu tiba-tiba tersebar kemana mana, gara-gara

terdapat cottage baru di dua pulau yang terleltak di laut Sulawesi ini. Di pulau

Sipadan, yang luasnya hanya 4km ini telah siap di datangi wisatawan dari

mancanegara. Karena penginapan tersebut hamper terdapat 20 kamar yang

dibangun oleh Pegusaha dari Malaysia. Dari jumlah tersebut mungkin fasilitasnya

belum dapat dikatakan memadai. Protes dikirimkan ke pihak Malaysia dari pihak

Indonesia karena Indonesia juga merasa memiliki kedua pulau tersebut dan

meminta agar pembagunan segera diberhentikan. Karena kedua pulau tersebut

masih dalam persengketaan, dan belum diputuskan oleh pengadilan siapa

pemiliknya. Lalu pada tahun 1968 Malaysia secara sepihak tiba-tiba memasukkan

pulau Sipadan dan Ligitan dalam peta nasionalnya.2

Berdasarkan “Special agreement” Mahkamah Internasional memiliki

Yurisdiksi tersendiri terhadap kasus yang dibawa. “special agreement” mempunyai

masalah pokok yang dimintakan yakni Mahkamah Internasional bisa saja

memutuskan suatu perkara berdasarkan perjanjian. Kedua belah pihak antara

2
Ika Wulan, “Sengketa Sipadan Dan Ligitan”, Diakses Dari

Https://Ikawulan30.Wordpress.Com/2013/04/07/Sengketa-Sipadan-Dan-Ligitan/ , Pada

Tanggal 15 Desember 2019 Pukul 17.21.


Indonesia dan Malaysia sendiri memiliki fakta histori dan bukti beberapa

dokumen. Ketersediaan antara Malaysia dan Indonesia agar menerima hasil dan

menerima keputusan secara final dan mengikat juga tercantum dalam “special

agreement”.3

Pada tanggal 31 Mei 1997, kedua pihak menyepakati “Special Agreement

for the submission to the International Court of Justice the dispute between

Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau

Ligitan”. Tanggal 2 November 1998 “special agreement” disampaikan kepada

Mahkamah Internasional melalui Notifikasi Bersama. Dalam “special agreement”

terdapat masalah pokok yang diajukan supaya Mahkamah Internasional dapat

menentukan siapa yang berdaulat atas kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian,

yang terdapat di dokumen kedua belah pihak.

Lalu Mahkamah Internasional telah mempunyai keputusan terhadap kedua

pulau tersebut yang diberikan kepada Malaysia, tanggal 17 Desember 2002.

Argumen Indonesia tentang kedua pulau ini kurang disetujui oleh Mahkamah

Internasional sehingga tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.

Setelah keputusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional,

Malaysia secara resmi memiliki daerah territorial dan juga bertambahnya luas

wilayah. Serta Malaysia juga dapat mengelola segala sumber daya alam yang

terdapat di kedua pulau tersebut serta hasil lautnya.4

3
Ir Adi Sumardiman, S.H, “Sipadan Dan Ligitan”, Sk Kompas, Jakarta, 18 Desember

2002.
4
Wallensteen, Peter. 2002. Understanding Conflict Resolution. (London : Sage Publications), hal.96
Malaysia telah menunjukkan kedaulatannya di atas pulau Sipadan dan

Ligitan. Maka dalam paper ini kamu akan membahas konflik sengketa antara

Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan

PEMBAHASAN

A. Proses penyelesian Sengketa Pulau Sipadan Ligitan

Persengketaan antara Indonesia dan Malaysia, mulai muncul pada tahun

1967 karena masing-masing Negara ternyata memasukkan wilayah Sipadan dan

Ligitan kedalam batas-batas wilayahnya dalam pertemuan teknis hukum laut.

Setelah itu kedua Negara ini sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan

sebagai status quo akan tetapi pengertian ini berbeda. Pihak Indonesia

menganggap bahwa dalam status quo ini berarti pulau Sipadan dan Ligitan ini

tidak boleh diduduki/ditempati sampai persoalan ini selesai. Sedangkan dari

pihak Malaysia, memahami bahwa status quo ini pulau Sipadan dan Ligitan ini

tetapberada di bawah Malaysia sampai persengketaan ini selesai sehingga

Malaysia malah membangun resor pariwisata yang dikelola oleh pihak swasta

yang ada di Malaysia. Karena hal tersebut, pemerintah Indonesia tidak tinggal

diam karena merasa memiliki pulau-pulau tersebut, segera mengirim protes ke

Kuala Lumpur agar memberhentikan terlebih dahulu resor pariwisata yang

sedang dibangun. Alasannya, Sipadan dan Ligitan belum diputuskan siapa

pemilik pulau tersebut.5

5
Litbang Kompas, 2002, Kronologi Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, Jakarta
Setelah itu pada Oktober 1996 Presiden Soeharto dalam kunjungan ke

Kuala Lumpur menyetujui untuk menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan

ini dengan cara hukum melalui ICJ di Den Haag. Alasan Presiden Soeharto yang

pada akhirnya menyetujui untuk pergi ke ICJ karena :

- Untuk menyelesaikan masalah bilateral, sehingga suasana politik dan

stabilitas kerja sama di Asia Tenggara akan diperkuat;

- Agar Negara Indonesia dan Malaysia tidak membebani generasi mendatang

dengan mewariskan masalah perselisihan;

- Untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah Negara yang

cinta damai dan taat hukum Internasional

Setelah beberapa tahun melakukan pertemuan, pihak Indonesia dan

Malaysia bahwa secara billateralh masalah ini sangat sulit di selesaikan. Lalu

pihak Malaysia dan Indonesia setuju untuk menyelesakan kasus ini ke

Mahkamah Internasional melalui menandatangani “Perjanjian Khusus untuk

diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan

Malaysia menyangkut Kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan”.

Keputusan Presiden Soeharto untuk pergi ke ICJ itu mengejutkan banyak

orang Indonesia, bahkan beberapa menentangnya. Negosiasi bilateral yang telah

menemui jalan buntu, beberapa orang masih menunjukan bahwa mungkin

beberapa solusi melalui kompromi politik dapat dilakukan, sepert melalui

pengembangan bersama dua pula oleh kedua Negara, atau bahkan membagu

kedua pulau Sipadan dan Ligitan menjadi dua, satu untuk Indonesia dan satu lagi
untuk Malaysia. Proposal ini tidak dapat diterima di Malaysia. Beberapa orang

berpendapat bahwa bahkan setelah upaya mencari kompromi politik telah gagal,

penggunaan mekanisme "pihak ketiga" mungkin dapat dicoba terlebih dahulu

sebelum memutuskan atau setuju untuk pergi ke ICJ. Mekanisme ini disebutkan

dalam Pasal 33 Para (1) Piagam PBB, termasuk negosiasi, penyelidikan,

mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian peradilan, resor ke lembaga atau

pengaturan regional, atau cara damai lainnya sesuai pilihan mereka. Meskipun

beberapa mekanisme ini telah dicoba, seperti negosiasi dan resor ke lembaga

atau pengaturan regional, mekanisme lain belum dicoba, seperti mediasi,

konsiliasi, atau arbitrasi.

Setelah Indonesia dan Malaysia sepakat membuat keputusan untuk pergi

ke Mahkamah Internasional, masalah ini sekarang harus diselesaikan hanya

sebagai masalah hukum. Kedua negara sekarang harus merumuskan kesepakatan

untuk pergi ke Mahkamah Internasional.

Setelah kedua Negara melakukan negosiasi, pada tanggal 31 Mei 1997

Perjanjian kedua Negara akhirnya disimpulkan di Kuala Lumpur. Lalu akhirnya,

Malaysia mengesahkan perjanjian tersebut tepat pada tanggal 19 November

1997 lalu disusul oleh Indonesia yang mengesahkan perjanjian tersebut pada

tanggal 29 Desember 1997 lewat Keputusan Presiden No. 49/19997, setelah itu

melakukan instrument ratifikasi dan berlaku pada tanggal 14 Mei 1998. Lalu

kedua Negara mengajukan surat bersama pada tanggal 30 September 1998, dan

diterima Mahkamah Internasional tanggal 2 November 1998.


Jika melihat isi perjanjian antara Malaysia dan Indonesia pada tanggal 31

mei 1997 ada beberapa hal terpenting dari Perjanjian tersebut adalah sebagai

berikut:

- Dalam Pasal 1 nya menyatakan bahwa :

“pihak sepakat untuk mengajukan sengketa ini ke Mahkamah

berdasarkan Pasal 36 (1) Statuta Mahkama”.

- Dalam Pasal 2 :

“Mahkamah dimohon untuk menetapkan berdasarkan perjanjian-

perjanjian, persetujuan-persetujuan dan bukti-bukti lain yang diajukan

oleh para pihak, apakah kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau

Sipadan adalah milik Republik Indonesia atau Malaysia".

Berdasarkan Pasal 2 Tersebut bahwa Kasus-kasaus yang dirujuk

oleh para pihak di Pengadilan yaitu guna menentukan perjanjian, dan bukti

lain diberikan oleh kedua pihak. Bahwa Indonesia atau Malaysia yang

memiliki kedua pulau tersebut. Dalam hal tersebut Pengadilan tidak dapat

menentukan atau memutuskan dengan berdasarkan ketentuan lain,

kesepakatan yang disepakati oleh para pihak seperti kompromi ataupun

solusi yang tepat. Seharusnya perlu diketahui bahwa Statuta Mahkamah

terdapat istilah “ex aequo et bono” yang memungkinkan Pengadilan agar

dapat memutuskan suatu kasus apabila para pihak dapat meyetujui hal

tersebut. Sebenarnya, tidak terlalu dijelaskan mengapa antara pihak


Indonesia dan Malaysia Tidak membahas kemungkinan “ex aequo et bono”

seperti yang telah diatur dalam Pasal 38 (2) Statuta.

- Pasal 4. Mahkamah juga terbatasi oleh Perjanjian untuk menerapkan aturan

Hukum Internasional atau menerapkan prinsipnya sebagaimana yang diatur

pada Pasal 38 Statuta Pengadilan. Dengan terbatasnya arutan Hukum

Internasional dengan yang ditunjukkan Pasal 38 Statua, Nampak bahwa

pihak-pihak yang bersengketa membatasi ataupun mengesampingkan agar

Pengadilan dapat menerapkan kebiasaannya.

- Pasal 5. Kedua belah pihak antara Indonesia dan Malaysia juga setuju agar

menerima putusan Pengadilan sebagai keputusan yang mengikat ataupun

final. “revisi” keputusan bisa dilakukan jika terdapat fakta-fakta yang baru

dan tegas dapat megubah putusan sesuai dengan Pasal 61. Dalam pasal ini

terllihat bahwa kedua Negara mempunyai keinginan untuk menyeleksaikan

masalah ini sehingga tidak terdapat masalah dalam pengembangan hubunga

bilateral antara Indonesia dan Malaysia. 6

Poin-poin penting dalam litigasi adalah sebagai berikut:

a. Indonesia berargumen bahwa Pulau Sebatik mempunyai “Lintang Utara

mengarah ke laut Timur 4 ° 10 sebaga garis lokasi, sehingga Kepulauan

Utara dari garis tersebut dialokasikan ke Malaysia dan sebelah garis selatan

ke Indonesia akan tetapi tidak diteriman oleh Pengadilan.

6
Hasjim Djalal “Dispute Between Indonesia And Malaysia On The Sovereignty Over

Sipadan And Ligitan Islands” Jurnal Opinion Juris Vol.12 Januari-April 2013 Hal 16-

17
b. Niat Indonesia dan Malaysia ketika Konvensi 1891 tidak begitu jelas dalam

hal ini sulit disimpulkan mereka ingin membatasi garis laut atau ingin

mengalokasikan pulau-pulau di luar Sebatik, karena kedua pulau kecil

tersebut letaknya lebih dari 40 mil dari Sebatik karenanya tidak bisa

dianggap milik “geografis” dari pulau sebatik.

c. Peta yang ditunjukkan oleh Indonesia terlampir pada proses ratifikasi oleh

Belanda dari Perjanjian 1891, tidak sejauh Sipadan dan Ligitan atau tidak

secara resmi disepakati sebagai bagian dari lampiran hukum Konvensi.

d. Indonesia juga mempunyai argument bahwa dahulu Sipadan dan Ligitan

adalah kepemilikan dari Sultan Bulungan dari Kalimantan Timur, akan tetapi

hal tersebut tidak mempunyai bukti yang cukup kuat sehingga Pengadilan

menolaknya. Sama dengan halnya Malaysia juga mengeklaim hal serupa

tetapi hal itu tidak dibenarkan.

e. Kelanjutan dari Belanda yang di klaim sebagai “tindakan berdaulat” dan

“control efektif” terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan tidak berkelanjutan.

Walaupun dari pihak Angkatan Laut Belanda dan pesawat sering berpatroli

di daerah Sipadan dan Ligitan, tidaklah membuktikan bahwa pulau Sipadan

dan Ligitan adalah kedaulatan mereka

f. Pada tahun 1969 sebelum perselisihan antara Indonesia dan Malaysia

”control efektif” yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dalam hal ini

Pengadilan sudah mempunyai keputusan bahwa Malaysia dan Inggris telah

melakukan beberapa tindakan kedaulatan mengenai kepualauan Sipadan dan

Ligitan. Salah satunya ada membuat peraturan terkait bea cukai,

perlindungan lingkungan, pendirian mercusuar, dan mengumpulkan pajak.


Akan tetapi Pengadilan melepaskan diri terhadap legalitas Malaysia setelah

tahun 1969, karena melanggar pemahaman tentang “status quo”.7

B. Penyebab Kekalahan Indonesia dalam Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan

dengan Malaysia

Sebagaimana diketahui bahwa tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah

Internasional memutuskan Malaysia adalah Negara yang memiliki kedaulatan

penuh atas pulau Sipadan dan pulau Ligitan, dalam putusannya Mahkamah

Internasional menjadikan Doktirn “effective occupation” atau sering disebut

dengan prinsip “pendudukan efektif” sebagai pertimbangan utama untuk

menyatakan kedaulatan Malaysia atas pulau Sipadan dan pula Ligitan.

Prinsip perolehan wilayah dalam hukum internasional pada umumnya

didasarkan atas salah satu dari atau kedua hal sebagai berikut:

1. Argumen atas dasar Perjanjian Internasional yang telah ada sebelumnya

(treaty-based argument)

Dalam hal ini para pihak yang bersengketa menggunakan dasar hak

berdaulatnya yaitu atas dasar perjanjian di masa lalu yeng menyangkut

wilayah sengketa tersebut, seringkali dalam hal seperti ini prinsip "chain of

title" atau "hak berantai" dikemukakan oleh para pihak. dalam arti Negara

tersebut menerima haknya atas wilayah itu dari penguasa sebelumnya.

2. Argument atas dasar praktek-praktek Negara

7
Hasjim Djalal “Dispute Between Indonesia And Malaysia On The Soverignity Over

Sipadan And Ligitan” Jurnal Opinion Juris Vol.12 Januari-April 2013 Hal 17-18
Khususnya yang dilakukan oleh Negara yang bersengketa tersebut

atas wilayah sengketa yang pada dasarnya menunjukkan adanya bukti

penguasaan efektif.

Hukum internasional pada prinsipnya mensyaratkan dua hal yang

menjadi dasar bagi diajukannya argument praktek Negara ini yaitu :8

a. Adanya pernyataan kehendak (expression of inrelll)

b. Dilakukannya tindakan nyata (effeclive Gcriolls,) oleh negara itu atas

wilayah tersebut.

Jika melihat sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan ini, yang menjadi

argumen dasar dari Indonesia ialah perjanjian yang pernah dibuat oleh Belanda

dan Inggris pada tahu 1891 atau disebut dengan perjanjian 1891, Berdasarkan

perjanjian ini Indonesia berargumen bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan masuk

dalam wilayah Belanda pada waktu dibuatnya perjanjian itu, dan kemudian

setelah Indonesia merdeka maka Indonesia mewarisinya.

Dalam Memorial Indonesia menjelaskan secara jelas bagimana gambaran

dari Pula Sipadan dan Pulau Ligitan, hubungan antar Negara di wilayah Pulau

Sipadan dan Ligitan antara tahun 18245 sampai 1969, mengenai perjanjian 1891

dan dalil-dalil dimana perjanjian 1981 dihormati oleh kedua Negara, situasi

sebelum perjanjian 1981, sampai diakhir mengenai ringkasan sengketa dari

perspektif Indonesia.

8
Adijaya Yusuf, Penerapan Prinsip Pendudukan Efektif Dalam Perolehan Wilayah: Perspektif Hukum

Internasional. jurnal Hukum dan Pembangunan, jurnal Nomor 1 Tahun XXXIII, hlm 122
Kemudian yang menjadi argumen dasar pihak Malaysia ialah

berdasarkan 3 (Tiga) hal :

1. Hak atas kedua pulau tersebut berdasarkan pada beberapa transaksi (series of

transcations) dari Sultan Sulu hingga Inggris dan terakhir Malaysia.

2. Malaysia mengklaim bahwa dari Inggris hingga kemudian Malaysia telah

melakukan penguasaan damai secara berkesinambungan (continuoits

peaceful possession} sejak tahun 1878. Bahkan, Belanda dan kemudian

Indonesia telah lama menterlantarkan (inactivity} pulau Sipadan dan Ligitan

Tersebut tersebut.

3. Bahwa Perjanjian 1891 tidak mendukung klaim Indonesia atas pulau

Sipadan dan Pulau Ligitan.

Ketakutan banyak negara untuk menanggung biaya saksi dan atau klaim

suaka merupakan “keengganan” yang sebenarnya hanyalah hanya suatu bentuk

“ketidakmampuan”, bahkan negaranegara kaya pun (mungkin) tidak memiliki

sumber daya yang cukup untuk menanggung beban penuntutan yang mahal. 9

Atas Argumen tertulis Malaysia tersebut Indonesia membuat bantahan

dalam dua bentuk, yaitu Counter Memorial dan Reply dalam acara tertulis dan

dipertegas dalam acara lisan, yang pada pokoknya Indonesia Menurut Indonesia

Sultan Sulu tidak pernah memiliki kedua pulau tersebut, namun pernilik dari

kedua pulau tersebut ialah Sultan Bulungan.10

9
Y Gunawan, 2012, Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui Yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional, Jurnal Media Hukum, Vol 25, No 1 (2018), Yogyakarta, FH UMY. Diakses juga pada
laman http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959 pada tanggal 29 Desember 2019
Pukul 21.32 WIB

10
Hikmahanto Juwana , “Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan” Jurnal Nomor

1 Tahun XXXIII, hlm 117.


Kemudian Malaysia menyampaikan Counter Memorial yang

menyatakan bahwa argumentasi Indonesia dengan menggunakan perjanjian

1891 merupakan argumentasi tidak berdasar dan Malaysia juga

mengargumentasikan bahwa peta yang disampaikan oleh Indonesia bukanlah

peta yang sah karena masih terdapat peta-peta lainnya yang justru mendukung

klaim kedaulatan Malaysia.

Selanjutnya berdasarkan fakta-fakta dan argument yang disampaikan

para Pihak, Mahkamah Internasional menolak klaim kedaulatan baik yang

dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan

berdasarkan dalil “treaty based title” dan “chain of title”, karena keduanya tidak

mampu mengajukan bukti-bukti kuat yang mendukung argumentasi masing-

masing. 11

Akhirnya tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional

menetapkan bahwa Negara Indonesia dan Malaysia masih kurang memiliki

dasar hukum yang kuat untuk membuktikan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan merupakan bagian dari wilayah Negara Indonesia maupun Malaysia.

Karena Mahkamah Internasional telah diminta kedua pihak yang bersengketa

dan akhirnya harus memutuskan bahwa Malaysia berdasarkan pertimbangan

“effectivities” memiliki kedaulatan penuh atas pulau Sipadan dan pulau Ligitan

melalui perbandingan voting suara 16 hakim mendukung dan seorang hakim

menolak.

11
Ratna Ningrum, “Sengketa Pulau Sipadan Dan Ligitan antara Indonesia-Malaysia serta Penyelesaiannya

Melalui International Court Of Justice (ICJ)”, FISIP UI, 2010, hlm 45


Adapun juga bahwa Mahkamah Internasional berpendapat bahwa Inggris

sebagai penjajah Malaysia lebih melakukan effectivites daripada Belanda sebagai

penjajah Indonesia, bahkan Indonesia setelah ia merdeka.

Mahkamah Internasional hal ini mengacu pada putusan Denmark

melawan Norway dalam kasus “Legal Status of Eastern Greenland” mengenai

kriteria penting untuk menunjukkan adanya effectivites.12

Setelah jatuhnya kedua pulau tersebut terdapat dampak yang sangat

hebat di dalam domestic. Sangat banyak yang beranggapan bahwa Departemen

Luar Negerilah yang paling bertanggung jawab atas lepasnya kedua pulau

tersebut mengingat seharusnya bahwa Departemen Luar Negeri berada di bawah

Menteri Luar Negeri. 13

Kehilangan Sipadan dan Ligitan berarti ancaman terhadap wilayah

Indonesia. Ini dapat dikatan sangat penting, sengeketa terhadap pulau-pulau

yang dihadapi oleh Indonesia itu sendiri tidak hanya Sipadan dan Ligitan tetapi

masi terdapat pulau yang lainnya. Lain dari hal itu ini juga dapat membuat buruk

citra presiden itu sendiri14

PENUTUP

Kesimpulan

12
Hikmahanto Juwana, “ Putusan MI atas Pulau Sipadan dan Ligitan” Jurnal Hukum Internasional,

Volume 1, Nomor 1, Oktober 2003, hlm 179.

13
Kartodirdjo, Sartono 1993, Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional, Aditya Media,
Yogyakarta
14
Moh Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
Dalam kasus persengketaan perebutan pulau yang melibatkan Indonesia dan Malaysia

ini merupakan salah satu bukti Indonesia pernah melakukan perjanjian internasional,

yang dimana Indonesia mempertahankan kedua pulau tersebut yaitu pulau Sipadan dan

pulau Ligitan agar tidak berpindah ketangan kepada pihak Malaysia. Namun pada

kenyataannya Indonesia tidak dapat mempertahankannya karennya kurangnya agumen

atas dasar hukum sebelumnya yang pernah dibuat dalam perjanjian sebelumnya dan

juga kurangnya argumen atas dasar praktek-praktek negara yang meliputi;

pembangunan atau pemberdayaan pemanfaaan guna memajukan pulau tersebut.

Sehingga hal tersebut meyakinkan Mahkamah Internasional bahwa Malaysia mampu

memajukan pulau Sipadan dan pulau Ligitan.

REFERENSI

Dari Buku

“Mauna, Boer. 2005 Hukum Internasional : Perngertian, Peranan Dan Fungsi Dalam
Era Dinamika Global. PT Almuni : Bandung.”

“Wallensteen, Peter. 2002. Understanding Conflict Resolution. (London : Sage


Publications), hal.96”

“Irewati, Awani. 2015. Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand–Kamboja. Yogyakarta:


Penerbit ANDI. “

“Asvi Warman Adam dkk.1999. Konflik Territorial di Negara-negara ASEAN. ppw


LIPI. Jakarta.”

“Sri Setianingsih Suwardi, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI


Press,Jakarta.”
“Irewati, Awani. 2006. Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia-Malaysia di Laut
Sulawesi. Jakarta: P2P-LIPI”
“Kartodirdjo, Sartono 1993, Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional,
Aditya Media, Yogyakarta”
“Moh Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta”
Dhakidae, Daniel 2009, Hubungan Cinta–Benci antara Indonesia dan Malaysia, Prisma,
Jakarta
Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum organisasi internasional, UI Press,
Jakarta

Dari Jurnal

Juwana, Hikmahanto. 2003. Putusan MI atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Jurnal

Hukum Internasional. Volume 1 Nomor 1.

Ningrum, Ratna. 2010. Sengketa Pulau Sipadan Dan Ligitan antara Indonesia-

Malaysia serta Penyelesaiannya Melalui International Court Of Justice (ICJ). FISIP

UI.

Juwana, Hikmahanto. Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan.

Jurnal Nomor 1 Tahun XXXIII.

Yusuf, Adijaya. Penerapan Prinsip Pendudukan Efektif Dalam Perolehan Wilayah: Perspektif Hukum

Internasional. jurnal Hukum dan Pembangunan. Nomor 1 Tahun XXXIII.

Djalal, Hasjim. 2013. Dispute Between Indonesia And Malaysia On The Sovereignty

Over Sipadan And Ligitan Islands. Jurnal Opinion Juris Vol.12.

Sumardiman, Adi. 2002. Sipadan Dan Ligitan. Sk Kompas. Jakarta.

Syahiirah Erwin, Sarah. Makalah Tentang Konflik Antara Indonesia Dengan Malaysia

Mengenai Pulau Sipadan Dan Pulau Ligitan.

Y Gunawan, 2012, Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui

Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, Jurnal Media Hukum, Vol 25, No 1 (2018),

Yogyakarta, FH UMY. Diakses juga pada laman

http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1978/1959 pada tanggal 29

Desember 2019 Pukul 21.32 WIB


Tambahan

Wulan, Ika. 2019. Sengketa Sipadan Dan Ligitan. Diakses Dari

Https://Ikawulan30.Wordpress.Com/2013/04/07/Sengketa-Sipadan-Dan-Ligitan.

Litbang Kompas. 2002. Kronologi Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Jakarta.

LEMBAR PENILAIAN SEJAWAT

Presentase
No. Mahasiswa Nama Bekerja (0- UK 1 UK 2 UK 3
100)
20170610034 Risky Efriliani 80 Ya Ya Ya

20170610061 Fadhila Rachmat Windiarto 80 Ya Ya Ya

20170610168 Muhammad Fadli 80 Ya Tidak Ya

20170610459 Muhammad Aldina Mufid 80 Ya Ya Ya


View publication stats

Anda mungkin juga menyukai