Anda di halaman 1dari 10

Catatan utk Webinar Menyoal Kebebasan

Berpendapat dan Konstitusionalitas


Pemakzulan Presiden di Era Pandemi
Webinar Mahutama dan KJI
1 Juni 2020
Bivitri Susanti (bivitri.susanti@jentera.ac.id)
4 pokok bahasan
1. Mengenai kebebasan berpendapat
2. Soal “agen” dalam melawan kebebasan berpendapat
3. Mengenai Pemakzulan
4. Refleksi
1Mengenai kebebasan berpendapat
• Tekanan terhadap kebebasan berpendapat bukan hal baru, tetapi sekarang
semakin menguat. Pertanyaannya, mengapa?
• Ada anggapan bahwa kritik itu harus disertai solusi, kalau tidak, maka kita
hanya menciptakan “noise” yang tidak bermanfaat atau sering disebut
“kegaduhan.”
• Ada anggapan juga, kalau mau mengkritik pemerintah, maka harus di
hadapan pemerintah (“mana unsur pemerintahnya, berarti nggak benar
ini”)
• Sering dilupakan bahwa kritik adalah bagian penting dari demokrasi. Tapi
ini tidak perlu dibahas lebih lanjut, karena sudah dibahas dengan sangat
baik oleh pembicara2 sebelumnya. Namun yang ingin saya garisbawahi
adalah fenomena menguatnya ini, yang sangat terkait dengan situasi politik
belakangan ini.
2 Refleksi Tekanan terhadap kebebasan
berpendapat
• Dapat dilakukan oleh negara dan oleh perantara (proxy).
• Perantara ini bisa “agen” bisa juga bukan“agen”, tetapi independen. “Agen”
didorong, didukung, difasilitasi. Bukan agen, bergerak karena rasa
mendukung yang kuat, yang bisa jadi juga merupakan suasana psikologis
yang dibangun, keinginan masuk dalam lingkaran kekuasaan, dll.
• Apa yang harus dilakukan oleh negara untuk membuktikan ketiadaan
agensi ini? Dengan melakukan dukungan nyata pada kebebasan
berpendapat dan melakukan penegakan hukum terhadap yang melakukan
tekanan.
• Misalnya: siapa yang mempunyai otoritas mengetahui data pengguna
telepon? Bukankah ada sistem registrasi untuk SIM Card? Ada Direktorat
Tindak Pidana Siber (Dirtippidsiber) Bareskrim POLRI, dll.
3 Mengapa tidak mudah menjatuhkan
presiden di Indonesia?
Berbeda dengan sistem parlementer, dalam sistem
presidensil, kepala pemerintahan tidak bisa dijatuhkan
berdasarkan kebijakannya. Harus ada alasan yang
“berstruktur”.
Di Indonesia, bahkan juga diberi aspek hukum di M, yang
artinya ada aspek pembuktian. Siapa MK? 3 dari presiden,
3 dari DPR, 3 dari MA.

Membutuhkan dukungan politik yang kuat, baik di DPR


maupun di MPR (DPR dan DPD)
3 pasal penegasan
presidensialisme
dalam UUD pasca-
amandemen.
Presiden tidak lagi
bisa dijatuhkan oleh
DPR karena alasan
politis dan Presiden
juga tidak bisa
membubarkan DPR.
Model US dan Model Indonesia
• “Impeachment” adalah proses di DPR • “Pemakzulan” berarti keseluruhan
(House of Representatives). Tapi proses pemberhentian atau “removal
“removal from office” itu ada di from office.” Kata ini tidak ada dalam
Senate UUD, tetapi konsep dan pasal-
• Alasan: treason, bribery or "other high pasalnya jelas.
crimes and misdemeanors." • Alasan: (1) apabila terbukti telah
• Proses: The House of Representatives melakukan pelanggaran hukum
votes for impeachment, and if a berupa pengkhianatan terhadap
majority of members vote in favor, the negara, korupsi, penyapan, tindak
Senate conducts a trial. A two-thirds pidana berat lainnya, atau perbuatan
majority in the Senate is required to tercela maupun (2) apabila terbukti
convict and remove a president from tidak lagi memenuhi syarat sebagai
office — which has never successfully Presiden dan/atau Wakil Presiden. (ps.
happened. 7 UUD)
• 2/3 DPR minta ke MK. Bila disetujui,
2/3 MPR (dari ¾ total hadir) harus
setuju.
Pemecatan presiden bukan perkara mudah,
apalagi di Indonesia.

• Di AS: Bill Clinton (1998) dan Andrew Jackson (1867) di-impeached,


tapi tidak berhasil “dijatuhkan”. Richard Nixon (1974) mengundurkan
diri.
• Alasan pada umumnya: obstruction of justice, abuse of power.
Clinton: perjury (sumpah palsu).
• Perbandingan ini, sekadar untuk menunjukkan bahwa pemakzulan
dalam sistem presidensil tidak mudah.
• Di Indonesia, tidak hanya berstruktur, tetapi juga diberi aspek hukum
di MK, yg artinya ada proses pembuktian yang harus bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum.
4 Refleksi
• Apakah ini baik atau buruk? Dalam hukum tata negara, tidak ada yang
“terbaik,” yang ada hanya konsistensi dan konsekuensi. Banyak kritik pada
sistem presidensil, sama banyaknya dengan sistem parlementer. Tetapi kita
sudah memilih sistem presidensil dan ini yang harus dijalankan dengan
konsisten.
• Dalam sistem presidensil, tidak semua masalah kebijakan diselesaikan
secara politik (Verney, 1998: fokus politik bukan parlemen), karena itu,
memunculkan: (1) dorongan yang kuat untuk reformasi pemerintahan, (2)
mendorong perbaikan teknokratis, (3) mendorong bekerjanya sistem
peradilan.
• Dalam konteks sekarang? Cari akar masalahnya dan perbaiki di situ. Diskusi
ttg kebijakan, tidak akan dengan mudah berujung pada menjatuhkan
presiden. Kedua, gunakan saluran hukum yang ada untuk mengkritik
pemerintah (PTUN, perdata).

Anda mungkin juga menyukai