Anda di halaman 1dari 168

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

DOSEN : Dra. Refdanita, M.Si.

Disusun oleh:

Riski Nur Hayati (14334106)


KELAS M

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2016
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga saya berhasil menyelesaikan laporan praktikum ini.

Diharapkan laporan praktikum ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Tiada
gading yang tak retak, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen saya yaitu Ibu Dra. Refdanita.,
M.Si., selaku Dosen Mata Kuliah Farmakologi dan pembimbing praktikum farmakologi yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusun laporan ini dengan baik.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Amin.

Jakarta, Agustus 2016

Penulis
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“CARA PEMBERIAN OBAT”
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan, berbagai


produk kesehatan mulai di buat sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan fungsi
dan perannya dalam kesehatan. Hal ini juga berdampak pada perkembangan obat dan
cara penggunaan obat. Sebagai seorang farmasis, sudah seharusnya mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik,
dan juga dari segi farmakologi. Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah rute
pemberian obat, hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan efek obat yang akan
digunakan. Selain itu dengan memahami rute pemberian obat seorang farmasis dapat
menentukan cara tebaik yang dapat di gunakan untuk pemberian obat dengan
mempertimbangkan kondisi pasien apakah menggunakan obat peroral, parenteral,
tropical, vaginal atau dengan cara lain yang dianggap dapat memberikan hasil maksimal.

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat


2. Menyadari pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul
3. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis akibat perbedaan rute pemberian
obat terhadap efek yang timbul
4. Mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan
I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian obat kepada kelinci percobaan melalui oral, intraperitoneal,


intra muscular, intravena, dan subkutan dengan dosis yang berbeda yang
dipengaruhi berat badan hewan percobaan. Serta mengamati pengaruh yang
dihasilkan oleh masing masing cara pemberian.
BAB II

DASAR TEORI

Rute pemberian obat salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari
rute pemberian obat.

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik


b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk
sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika
obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang
bekerja setempat misalnya salep.

Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai
berikut:

Cara/bentuk sediaan parenteral


 Intravena
Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
“onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang
menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus
kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek).
Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume
kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar
(infuse) harus isotonis dan isohidris.
 Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of
action segera.
 Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100%
 Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak
boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak
banyak terpengaruh
 Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak
banyak berpengaruh.
 Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan
hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
 Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.
 Adanya partikel dapat menyebabkan emboli.
 Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas
pirogen.

Keuntungan rute ini adalah:


a. Jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan
tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC
b. Cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat
c. Efek sistemik dapat segera dicapai
d. Level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan

8
e. Kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat
rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.

Kerugiannya adalah meliputi:


1. Gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan
dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam
jumlah besar
2. Perkembangan potensial thrombophlebitis
3. Kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau
teknik injeksi septik, dan
4. Pembatasan cairan berair.

 Intramuskular
Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang
lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat
dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel,
semakin cepat proses absorpsi).
a. Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di
otot pantat atau paha.
b. Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi
pembawa air untuk minyak.
c. Larutan sebaiknya isotonis.
d. Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
e. Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
f. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan.
g. Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot
dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain.

 Subkutan
9
Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan
dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan,
menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes,
2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian
yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang
diberikan tidak lebih dari 1 ml.
a. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
b. Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
c. Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan
suspensi.
d. Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya
penyerapan.
e. Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke
dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di
jaringan dan membentuk abses.
f. Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v
g. Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise.

 Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim,
1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang
dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di
metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.

10
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya
dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak
(Ansel, 1989).

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam


darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna
(mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang
berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan atau
kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan
kegagalan pengobatan.

Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per
oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah
usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada
pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke
seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna
antara lain:

1. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan
yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan
jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi
proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak.

3. Faktor Biologis
11
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran
cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya
pembuluh darah pada tempat absorpsi.
4. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.

Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak,
karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi
dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena
kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual
ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.

Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi


bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di
dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut
(metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari
atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya
bersama makanan.

Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa
dilakukan saat pasien koma.

12
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat & Bahan

 Alat
a. Kawat kandang
b. Alat suntik & Jarum Suntik
c. Sonde
d. Timbangan
e. Stopwatch
f. Spidol
g. Koran
h. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
i. Sarung tangan & Masker
j. Beaker Glass

 Bahan
a. Kapas
b. Alkohol
c. Phenobarbital 50mg/ml
d. Tikus Putih Jantan 5 ekor
e. Aqua Pro Injeksi

III.2 Dosis

Factor konversi

Manusia tikus : BB tikus 200 g = 0,018


Bobot tikus

Hewan Berat Tikus Tara Timbangan


Tikus ke-1 287 g 197,5 g
Tikus ke-2 319 g 197,5 g
Tikus ke-3 315 g 197,5 g
Tikus ke-4 293 g 197,5 g
Tikus ke-5 289 g 197,5 g

Perhitungan Dosis

No. Hewan Bobot Tikus Dosis

1.
Tikus 1 287g
287g - 197,5g = 89,5g x 0,9 mg/ml = 0,4 mg/ml

x 1ml = 0,008 ml

Pengenceran phenobarbital 10
ml

x 10 ml = 0,08 ml

2.
Tikus 2 319g
319g–197,5g = 121,5g x 0,9 ml = 0,5 ml

x 1 ml = 0,01 ml

14
3. Tikus 3
315g
315g–197,5g = 117,5g x 0,9 ml = 0,5 ml

x 1 ml = 0,01 ml

4. Tikus 4
293g
293g - 197,5g = 95,5 g x 0,9 ml = 0,4 ml

x 1 ml = 0,008 ml

Pengenceran phenobarbital 10
ml

x 10 ml = 0,08 ml

5. Tikus 5
298g
298g–197,5g =100,5 g x 0,9 ml = 0,4 ml

x 1 ml = 0,008 ml

Pengenceran phenobarbital 10

15
ml

x 10 ml = 0,08 ml

16
III.3 Prosedur Kerja

a. Pemberian secara oral


1.  Ambil tikus jantan putih
2. Siapkan Sonde
3. Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum sonde yang telah dipasang pada alat
suntik berisi Phenobarbital, diselipkan dekat langit – langit tikus dan
diluncurkan masuk ke esofagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit
pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak melukai
esofagus.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

b. Pemberian secara intra peritoneal


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala, larutan oral obat disuntikkan pada bagian perut sebalah
kanan bawah tepat dibawah jantung diatas rongga hati.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

c. Pemberian secara intramuscular


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Suntikkan pada bagian paha tikus
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

d. Pemberian secara subkutan


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Lalu suntikkan dilakukan dibawah kulit tengkuk
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya
e. Pemberian secara intravena
1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar
sebelum disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor didilatasi
dengan penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organik seperti
alkohol. Penyuntikkan dimulai dari bagian distal ekor.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

18
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Hewan percobaan : Tikus putih jantan

Obat : Phenobarbital 50mg/ml

Hewan Cara Pemberian Dosis Waktu Waktu Timbul


Pemberian Efek
Tikus ke-1 Oral 0,014ml 09.56 10.52
Tikus ke-2 IP 0,014ml 10.37 11.17
Tikus ke-3 IM 0,014ml 10.46 11.15
Tikus ke-4 SC 0,014ml 11.10 11.26
Tikus ke-5 IV 0,013ml 11.36 11.39

Pengamatan ( waktu timbul efek )


Cara Perubahan Waktu Hipnotik Sedatif Anestesi Jarak
Pemberian aktivitas pemberian obat
Pernafasan cepat 09.56 10.31 10.52 11.56 ± 2jam
perlahan teratur,
Oral
hipnotik sedative
kemudian anastesi
Pernafasan cepat 10.37 10.57 11.17 11.37 ±1 jam
perlahan mulai
teratur, aktifitas
IP
fisik perlahan
menurun, hipnotik,
sedative, anastesi
IM Laju pernafasan 11.46 11.01 11.15 11.26 ± 40meit
cepat lama
19
kelamaan mulai
teratur,
menurunnya
aktivitas fisik,
hipnotik, sedative,
anastesi
Aktif 11.10 11.26 11.35 12.15 ± 1 jam 50
membersihkan menit
area suntikan,
SC
pernafasan teratur,
hipnotik, sedative,
anastesi
Usaha untuk 11.36 11.39 11.44 11.46 ± 10 menit
berdiri gagal,
IV
hipnotik,sedative,
kemudian anstesi

20
BAB V

PEMBAHASAN

Phenobarbital atau 5-etil-5fenilbarbiturat berbentuk hablur putih, tidak berbau,


tidak berasa, stabil di udara, sangat sukar larut dalam air, larut dalam etanol,eter, larutan
alkali hidroksida, sukarlarut dalam kloroform.

Phenobarbital merupakan antikonvulsan golongan barbiturate yang efektif


digunakan untuk mengatasi epilepsy. Karena merupakan golongan barbiturate maka
phenobarbital memiliki mekanisme menekan korteks sensor, menurunkan aktifitas
motoric, menyebabkan kantuk, efek sedasi dan hipnotik. Dosis yang dianjurkan untuk
dewasa 60-180mg diminum malam, sedangkan untuk anak anak 5-8mg/kg bb/hari.
Sedangkan untuk injeksi baik IM/IV 50-200mg dan bila perlu diulang setelah 6 jam.

Pada hasil percobaan, ini, kami memfokuskan pada rute pemberian obat. Hal ini
dimaksudkan untuk menguji apakah dengan merubah rute pemberian obat, suatu obat
dapat memberikan efek yang sama pada setiap individu. Hal ini penting mengingat
banyaknya jenis obat yang beredar dengan cara penggunaan yang berbeda beda untuk
menghasilkan efek yang berbeda pula. Dengan pengetahuan dasar ini diharapkan dapat
membantu dalam pemilihan jenis dan cara pemnggunaan obat sehinga hasil yang
diberikan menjadi maksimal.

Pada percobaan ini kami menggunakan tikus dengan berat badan yang berbeda-
beda untuk mendapatkan efek obat yang berbeda pula, hasil yang kami dapat jika
diurutkan dari yang tercepat hingga terlambat terlihat adalah rute pemberian obat dengan
cara intravena, intramuscular, intraperinoteal, subkutan, dan oral. Hal ini dikarenakan
rute pemberian obat secara intavena berhubungan dengan pembuluh darah langsung, oleh
karena itu rute pemberian ini cepat memberikan efek.
Selain itu faktor individual juga dapat mempengaruhi efek obat. Setiap orang
dapat memberikan respons yang berbeda terhadap suatu obat yang sama, hal ini
tergantung pada kepekaan masing-masing individu dalam menerima respon obat tersebut.
Perbedaan respons ini bisaberefek besar sekali, karena untuk setiap obat selalu ada
individu yang rentan, sehingga walaupun dengan dosis rendah sekali efek terapeutik
suatu obat sudah dapat terlihat jelas. Sebaliknya, ada pula individu yang hanya
memberikan efek dalam dosis yang amat tinggi. Hal ini menjadi dasar pertimbangan
mengapa dosis obat yang diberikan pada suatu pasien dengan hasil baik, namun tidak
berpengaruh pada pasien lain, meskipun kondisi tubuh dan dosisnya sama.

Hasil dari percobaan ini diketahui bahwa penggunaan rute secara intravena
adalah cara paling cepat bagi obat untuk dapat meberikan efek, hal ini didukung dengan
teori bahwa penggunaan obat secacra intravena dapat nghasilkan efek yang cepat karena
dengan cara ini obat dapat langsug berada pada peredaran darah tanpa perlu mengalami
proses absorbsi. Hal ini juga yang membedakan pemberian secara intravena dengan
pemberian dengan cara lain.

Sedangkan pemberian secara intramuscular, intraperitonial dan subcutan masing


masing memberikan efek yang berbeda, pada pemberian secara intramuscular obat dapat
diserap dengan cepat dan berkala yang disebabkan banyaknya vaskularisasi aliran darah
disekitar tempat penyuntikan. Intra peritoneal memngkinkan obat masuk kedalam
sirkulasi sistemik secara cepat, hal ini di karenakan rongga peritoneum memiliki
permukaan absorbs yang luas. Sedangkan pada subkutan obat yang digunakan hanya
berkisar 1-2 ml dan hanya ditujuan untuk obat yang tidak mengiritasi jaringan.

Penggunaan perorral dianggap paling aman, namun dengan reaksi yang paling
lambat jika dibandingkan dengan lainnya. Hal ini di sebabkan obat harus melewati
system gastroinstentinal sebelum akhirnya dapat doserap oleh pembuluh darah dan
diedarkan dalam tubuh.

22
BAB VI

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat kami peroleh dari percobaan ini adalah


1. Rute pemberian obat dapat melalui oral, intravena, intramuscular, intraperitonial,
dan subkutan, maupun cara lain.
2. Pada percobaan ini dihasilkan urutan efektifitas obat dari yang tertinggi hingga
yang terrendah yaitu intravena (IV), intramuscular (IM), intraperitonial (IP),
subcutan (SC), dan oral
3. Pada percobaan ini diketahui bahwa pemberian melalui intravena menghasilkan
efek tercepat dibandingkan rute lainnya, hal ini disebabkan obat tidak perlu
mengalami proses absorbs dan dapat masuk langsung melalui aliran darah yang
kemudian berefek pada individu.
4. Sedangkan pemberian oral menghasilkan efek yang lebih lambat, hal ini
disebabkan obat harus mengalami proses penceraan di gastroinstetina sehingga
memperlambat obat memberikan efek.
5. Masing masing pemberian obat memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri
seperti penggunaan oral memiliki absorbs yang lambat namun dapat digunakan
oleh siapa saja tanpa menggunakan tenaga ahli, sedangkan intravena dan
intramuscular memberikan efek yang cepat namun perlu bantuan tenaga ahli
untuk menggunakannya selain itu resiko infeksi juga dapat meningkat. Sedangkan
intraperitonial dan subcutan meski memiliki efek yang sama seperti intravena dan
intramuscular namun memiliki harga yang cukup tinggi.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI

“PENGARUH VARIASI BIOLOGIK

TERHADAP DOSIS OBAT”


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja
obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme
akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi
tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim
metabolisme dan faktor-faktor lain.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal

I.3 Prinsip Percobaan

Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi yang mempengaruhi respons
tubuh terhadap obat.
BAB II

DASAR TEORI

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat

1. Faktor Genetik atau Keturunan

Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang


terjadi dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan
ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.

Contoh : Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui


n-asetilasi. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada
perbedaan kemampuan asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo
merupakan asetilator cepat, sedang orang Eropa Timur dan Mesir adalah asetilator
lambat. Waktu paruh isoniazid pada asetilator cepat bervariasi antara 45-80 menit,
dan pada asetilator lambat antara 140-200 menit.

Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim
N-asetil transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh
lebih besar dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat
tergantung pada kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat
diekskresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat
mempunyai masa kerja pendek dan memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.
Pada asetilator lambat, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki
lebih besar, misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga
menunjukkan asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga berpengaruh
ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.
2. Perbedaan Spesies dan Galur

Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang
cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies
dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi
metabolik atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan
kuantitatif.

Contoh : Fenilasetat, pada manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine,


sedang pada kelinci dan tikus terkonjugasi pada glisin saja. Asam benzoate, pada
bebek diekskresikan sebagai asam orniturat, sedangkan pada anjing diekskresikan
sebagai asam hipurat. Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot mengalami
deaminasi oksidatif, sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol,
pada kucing terkonjugasi dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan
asam glukuronat, karena kucing mengandung lebih sedikit enzim glukuronil
transferase. Fenitoin, pada manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-
orto-hidroksifenitoin.

3. Perbedaan Jenis Kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin


terhadap kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan
yang sama baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata
memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus
jantan. Contoh : N-demetilasi aminopirin, oksidasi heksobarbital, dan glukuronidasi
O-aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa selain perbedaan jenis kelamin,
metabolisme juga tergantung pada macam substrat.

Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata
berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek

27
androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat.

Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.

4. Perbedaan Umur

Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka
terhadap obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital,
bila diberikan pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan,
menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang
sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit.
Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang
pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk
metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru
lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung
enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan
memetabolisis kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi penumpukan obat pada
jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Bayi yang baru lahir
mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative sedikit.
Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan
neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi
pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan
hemoglobin dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis
terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan.

5. Penghambatan enzim Metabolisme

Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu


senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan
intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga
meningkatkan efek samping dan toksisitas.

28
Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat
menghambat enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid,
sehingga menyebabkan kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan
isonizid, dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida,
sikloserin, dan para-amino salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah
meningkat dan meningkat pula toksisitasnya. Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat
menghambat metabolisme (S)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas
antikoagulannya (hipoprotrombonemi). Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.

6. Induksi enzim metabolism

Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu


senyawa obat dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan
bukan karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi
penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau
prases induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat
bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya
menjadi lebih singkat. Contoh : Fenobarbital, dapat menginduksi enzim mikrosom
sehingga meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya.
Oleh karena itu, penderita yang diobati dengan warfarin dan akan diberi fenobarbital,
maka dosis warfarin harus disesuaikan (diperbesar). Rokok mengandung polisiklik
aromatik hidrokarbon, seperti benzo(a)piren, yang dapat menginduksi enzim
mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat
seperti teofilin, fenasetin, pentazosin, dan profoksifen. Contoh : waktu paruh teofilin
pada perokok = 4,1 jam, sedang pada orang yang tidak merokok = 7,2 jam.
Fenobarbital, dapat meningkatkan metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin,
hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen, dan obat kontrasepsi oral.
Fenitoin, dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol, nortriptilin, dan obat
kontrasepsi oral. Fenilbutazon, dapat meningkatkan metabolisme aminopirin dan
kortisol. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat
meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif. Contoh induksi
enzim sitokrom P-450 oleh fenobarbital akan meningkatkan oksidasi asetaminofen,
29
sehingga pembentukan metabolit reaktif imidokuinon meningkat dan efek
hepatotoksisitasnya menjadi lebih besar.

7. Faktor Lain-Lain

Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet


makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan,
pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan
patologis hati, misal kanker hati. (Siswandono, 1995)

Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat

Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons


suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk suatu
obat. Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat yang
sama diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan. Kadang-kadang,
individu menunjukkan respons obat yang tidak umum atau respons idiosinkratik obat,
suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar pasien. Respon-respon idiosinkratik
biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik dalam metabolisme obat atau oleh
mekanisme imunologik, termasuk reaksi-reaksi alergik.

Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting
secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif
terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan
menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas
individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari
pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran
yang relative pada efek-efek obat.

Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan


terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam ondividu
seorang pasien pada waktu yang berbeda.

a. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor

30
Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang
relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan
mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi
berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan
ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-
perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri
yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.

b. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen

Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons


terhadap antagonis-antagonis farmakologik.

c. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor

Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-


perubahan dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh
peningkatan atau penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahan-perubahan
efisiensi mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam
beberapa hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu
sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan
oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang
meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan pada konsentrasi-
konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah reseptor yang
diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis
endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.

d. Perubahan-Perubahan dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor


Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor,
respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional
proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan meregulasi secara

31
fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)

Faktor-faktor lain

 Interaksi obat

Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.

 Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus
menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai
reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.

Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.

 Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-
20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.

32
 Pengaruh lingkungan

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap


obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya
(makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam
asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu (misalnya
teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan
demikian mengurangi respons penderita.( Tanu, 2007;hal 828-829 )

 Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah
pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang
diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang
mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien
apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu
tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan
seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan
dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga
mengoptimalkan proses penyembuhan.

Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi


genting seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika
berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah pada
keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan oleh
tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).

33
BAB III

PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan

 Alat
1) Kawat kandang
2) Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
3) Timbangan
4) Stopwatch
5) Spidol
6) Koran
7) Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8) Sarung tangan & Masker
9) Beaker Glass
 Bahan
1) Kapas
2) Alkohol
3) Fenobarbital
4) Tikus Putih Jantan 3 ekor
5) Aqua Pro Injeksi
III.2 Prosedur Kerja
1. Tikus jantan putih ditimbang
2. Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
3. Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala
4. Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
5. Diamati kelakuan tikus setelah disuntikkan, catat waktu nya saat timbul efek dan
hilang efek. Lakukan hal yang sama pada tikus ke II dan III.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

 Setelah penyuntikan obat, masing-masing tikus ditempatkan dalam kadang dan amati
efeknya setelah 45 menit, catat waktu timbul setiap efek.
 Sesuai dengan efek yang diamati, masing-masing tikus dikelompokkan sebagai berikut :
- Sangat resisten : tidak ada efek.
- Resisten : tikus tidak tidur, tetapi mengalami ataksia.
- Efek sesuai : tidak tidur, tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri.
- Peka : tidur, tidak tegak meskipun diberi rangsang nyeri.
- Sangat peka : mati.

Hewan : tikus putih ; jantan ;usia dua bulan

Berat Badan tikus : (309g),(298g),(306g)

Tara timbangan : 198,4 g

Obat yang digunakan : Phenobarbital 50mg/ml (2tikus)

NaCl 0,9% (1tikus)

Tikus 1 : BB : 309 g

309 g – 198,4 g = 110,6 g

110,6 g : 200 g x 0,9 mg/ml = 0,5 mg/ml

0,5 mg/ml x 1 ml : 50 mg/ml = 0,01 ml


Pengenceran Fenobarbital 10 ml : 0,01 x 10 ml = 0,1 ml
Tikus 2 : BB :298 g
298 g – 198,4 g = 99,6 g
99,6 g : 200 g x 0,9 mg/ml = 0,4 mg/ml
0,4 mg/ml x 1 ml : 50 mg/ml = 0,008 ml
Pengenceran Fenobarbital 10 ml = 0,008 ml x 20 ml = 0,16 ml

Pengamatan
Hewan Obat Dosis CP Keterangan
Sebelum Sesudah

Tikus 1 Phenobarbital 0,1 ml IP Aktif Hipnotik Peka

Tikus 2 Phenobarbital 0,16 ml IP Aktif Mati Sangat Peka

Tikus 3 NaCl 0,5 ml IP Aktif Tidak ada efek Sangat Resisten

36
BAB V

PEMBAHASAN

Pada percobaan variasi biologi, dilakukan menggunakan tiga tikus jantan putih.
Obat yang digunakan adalah Phenobarbital dengan dosis 50mg/kgBB melalui
Interperitonial. Fenobarbital merupakan golongan obat hipnotik sedative yang
mempengaruhi syaraf pusat.

Berdasarkan hasil percobaan, terdapat perbedaan efek farmakologi pada beberapa


tikus yang diberikan obat dengan dosis yang sama. Pada tikus yang diberikan
fenobarbital melalui rute inteperitonial memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan
pemberian fenobarbital melalui intramuscular dan rektal.

Pengamatan selama 45 menit dapat di jelaskan bahwa pada percobaan tikus 1


dengan menyuntikan phenobarbital 0,5ml dengan cara intraperitonial, adalah “Peka”
dimana tikus tertidur tetapi bila di beri rangsangan nyeri tidak tegak. Pada percobaan
tikus 2 dengan berat badan 298gram dan menyuntikan phenobarbital 0,45ml dengan cara
IP adalah hasil pengamatannya “Sangat peka” dimna tikus pada saat masuk menit ke 5
reaksinya begitu cepat, tikus kolaps serta tangan dan kakinya terlihat kaku, memasuki
menit ke 10 tikus langsung mati. Pada percobaan tikus 3 dimana percobaan ini hanya
sebagai blanko atau pembanding saja dengan menyuntikan NaCl 0,5ml dengan cara IP,
hasil pengamatan yang kami dapat adalah “Sangat resisten” dimana tikus masih aktif dan
tidak ada reaksi sama sekali setelah disuntikan NaCl selama 45 menit.

Variasi biologi menyatakan perbedaan besarnya respon diantara individu berbeda


dalam suatu populasi yang diberi obat dengan dosis sama. Efek obat pada individu yang
berlainan tidak pernah sama, demikian juga efek obat yang diberikan pada individu yang
sama pada waktu yang berlainan. Variasi biologi juga menunjukan bahwa untuk
mendapatkan suatu intensitas efek yang sama pada individu-individu yang berlainan ,
diperlukan dosis obat yang berbeda-beda.
Variasi biologi akan memberikan efek farmakologi yang berbeda kepada dua atau
lebih individu berbeda dengan usia , jenis kelamin , dan bobot badan yang sama akan
berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Hal ini karena setiap individu
memiliki karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini pula yang
menyebabkan perbedaan pada respon terhadap suatu obat dengan dosis tertentu.
Perbedaan tersebut disebabkan karena metabolisme obat, jumlah reseptor obat yang ada
pada tubuh pengguna, jumlah enzim yang dimiliki pengguna ,keadaan emosi , dan
perbedaan jenis makanan yang dikonsumsi serta banyak hal lainnya berbeda pada setiap
individu.

38
BAB VI

KESIMPULAN

 Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi terhadap
dosis obat dengan rute pemberian obat yang diberikan kepada beberapa tikus.
 Besarnya respon obat terhadap beberapa tikus berbeda-beda, faktor yang
mempengaruhinya adalah : usia, jenis kelamin, bobot badan, metabolisme tubuh, serta
makanan yang di berikan
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI

“PENGARUH VARIASI KELAMIN

TERHADAP DOSIS OBAT”


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja
obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme
akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi
tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim
metabolisme dan faktor-faktor lain.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui pengaruh variasi kelamin terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal

I.3 Prinsip Percobaan

Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi kelamin yang mempengaruhi respons
tubuh terhadap obat.
BAB II

DASAR TEORI

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

a. CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

 Oral : dimakan /diminum

 Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

 Rektal, Vaginal, Uretral

 Lokal, Topikal, Transdermal

 Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

b. FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA

 Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

 Berat badan

 Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

 Ras : slow & fast acetylator

 Toleransi

 Obesitas

 Sensitivitas

 Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan

 Kehamilan
 Laktasi

 Circadian rhythm

43
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat

1) Kawat kandang
2) Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
3) Timbangan
4) Stopwatch
5) Spidol
6) Koran
7) Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8) Sarung tangan & Masker
9) Beaker Glass
10) Botol Kaca
 Bahan
1) Kapas
2) Alkohol
3) Phenobarbital 50mg/ml
4) Mencit Putih Jantan 3 ekor
5) Mencit Putih Betina 3 ekor
6) Aqua Pro Injeksi

III.2 Prosedur Kerja


Sebelum di suntik masing-masing mencit diamati selama 10 menit
kelakuan normal nya. Lalu di suntikan pada bagian perut tikus dengn cara hewan
di pegang punggung nya sehingga kulit abdomen nya menjadi tegang pada saat
penyuntikan posisi kepala mencit lebih rendah pada bagian posisi abdomen nya.
Jarum di suntikan dengan membentuk 100 dengan abdomen nya agak menepi dari
garis tengah, setelah obat di suntikan, masing-masing mencit di tempatkan
kembali ke dalam bejana kaca dan di amati sampai mencit hiper aktif kembali

45
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Data percobaan :

 Bobot mencit jantan = 47,1 g

= = 50 mg X 0,0026 = 0,13

BB = X 0,13 = 0,3 ml

 Bobot mencit betina = 31,3 g

= = 50 mg X 0,0026 = 0,13

BB = X 0,13 = 0,2 ml
47
Pengamatan

1. untuk tiap mencit dicatat saat pemberian obat, saat mulai berbagai efek , tipe-tipe efek
yang muncul, lama berlangsungnya efek.

Hewan Jenis Berat Cara Obat Dosis Waktu dan


kelamin pemberian Pengamatan

Mencit Jantan 47,1 g IP Phenobarbital 0,3 ml 10.15 waktu


suntik

10.25
memberi
efek

Mencit Betina 31,3 g IP Phenobarbital 0,2 ml 10.20 waktu


suntik

10.25
memberi
efek
BAB V

PEMBAHASAN

Pemberian obat secara intraperitoneal yaitu dengan cara Mencit dipegang dan


diposisikan telentang, pada penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum
disuntikkan dari abdomen yaitu, pada daerah yang menepi dari garis tengah, agar jarum
suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena
penyuntikan pada hati. 

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan adalah faktor


internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil
percobaan meliputi variasi biologic (usia dan jenis kelamin) pada usia hewan semakin
muda maka semakin cepat reaksi yang ditimbulkan, ras dan sifat genetik, status kesehatan
dan nutrisi, bobot tubuh dan luas permukaan tubuh. Factor eksternal yang dapat
mempengaruhi hasil percobaan meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan
fisologik (keadaan kandang,suasana asing atau baru, pengalaman hewan dalam
pemberian obat, keadaan rangan tempat hidup seperti sush, kelembaban, ventilasi,
cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), pemeliharaan keutuhan struktur ketika
menyiapkan jaringan  atau organ untuk percobaan (Adnan, 2013) .
BAB VI

KESIMPULAN

Dari hasil percobaan yang telah diamati ternyata kesimpulannya jenis kelamin
tidak terlalu berpengaruh terhadap kecepatan efek obat yang digunakan dalam percobaan
terhadap mencit, tetapi ada beberapa obat yang factor tersebut sangat berpengaruh pada
kecepatan efek obat terhadap mencit contohnya: obat golongan hormone (progesterone).
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI

“DOSIS OBAT DAN RESPON”

51
BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Sebagai mahasiswa farmasi sedah seharusnya kita mengetahui dosis suatu obat yang akan
diberikan kepada pasien. Dosis obat adalah jumlah atau ukuran yang diharapakan dapat
menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami gangguan. Tujuan dari
penetapan dosis obat ini adalah untuk mendapatkan efek terapeutis dari suatu obat. Hampir
semua obat pada dosis yang cukup besar menimbulkan efek toksik dan pada akhirnya dapat
mengakibatkan kematian. Hal yang menjadi latar belakang materi ini adalah agar kita
mengetaui kaitan atara peningkatan dosis terhadap respon yang diberikan.

I.2 Tujuan Percobaan

1. Memperoleh gambaran bagaimana merancang experiment untuk memperoleh DE 50 dan


DL 50.

2. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi-implikasinya

I.3 Prinsip Percobaan

1. Dosis respon obat

Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang
diberikan juga ditingkatkan.

2. Indeks terapi

a. Yaitu perbandingan antara DE50 dan DL50 yaitu dosis yang menghasilkan efek pada
50% dari jumlah binatang dan dosis yang mematikan 50% dari jumlah binatang

b. Indeks terapi merupakan ukuran keamanan untuk menentukan dosis obat

52
BAB II
DASAR TEORI

Dosis dan respon pasien berhubungan erat dengan potensi relative farmakologis dan efikasi
maksimal obat dalam kaitannya dengan efak terapefik yang di harapkan. Adapun respon dosis
sangat dipengaruhi oleh :

1. Dosis yang di berikan.

2. Penurunan / kenaikkan tekanan darah.

3. Kondisi jantung.

4. Tingkat metabolisme dan ekskresi.

Respon obat masing – masing individu berbeda – beda. Respon idiosinkratik biasanya
disebabakan oleh perbedaana genetic pada metabolism obat  / mekanisme -mekanisme
munologik, termasuk rasa alergi. Empat mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan
merespon suatu obat:

1. Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor.

2. Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen.

3. Perubahan dalam jumlah / fungsi reseptor – reseptor.

4. Perubahan – perubahan dalam komponen respondastal dari seseptor

Macam-macam dosis obat:

 Dosis toksik, yaitu dosis yang menimbulkan gejala keracunan.


 Dosis minimal, yaitu dosis yang paling kecil yang masih mempunyai efek terapeutik.
 Dosis maksimal,yaitu dosis terbesar yang mempunyai efek terapeutik, tanpa gejala/ efek
toksik.
53
 Dosis terapeutik, yaitu dosis diantara dosis minimal dan maksimal yang dapat
memberikan efek menyembuhkan/terapeutik. Dosis ini dipengaruhi oleh Umur, Berat
badan, jenis kelamin, waktu pemberian obat, cara pemberian obat.
(Dewi, 2010

Ada pula beberapa istilah yang berhubungan dengan dosis:

KONSENTRASI DAN RESPON OBAT

Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung
dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis penigkatan respon menurun. Pada
akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Pada system ideal
atau system in vitro hubungan antara konsentrasi obat dan efek obat digambarkan dengan
kurva hiperbolik pada EC50, di mana E adalah efek yang diamati pada konsentrasi C,
Emaks adalah respons maksimal yang dapat dihasilkan oleh obat. EC50 adalah
konsentrasi obat yang menghasilkan 50% efek maksimal.

Hubungan dosis dan respons bertingkat

1. Efikasi (efficacy)
Efikasi adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi tergantung pada
jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang diaktifkan
dalam menghasilkan suatu kerja seluler.
2. Potensi
Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif, adalah suatu ukuran berapa
bannyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah
dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin poten obat
tersebut.Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50%
dari respon maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada
obat dengan ED50 yang lebih besar.
3. Slope kurva dosis-respons

54
Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang
curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu
perubahan yang besar. (Katzung, 1989)

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu (ED50) disebut juga dosis
terapi median. Dosis letal median adalah dosis yang emnimbulkan kematian pada 50%
individu , sedangkan TD50 adalah dosis toksik 50% (Ganiswara, 1995).

Variabel Hubungan dosis-intensitas efek obat

Kurva sederhana yang menunjukkan hubungan dosis-intensitas efek obat selallu


mempunyai 4 variabel karakteristik, yaitu: potensi, kecuraman (Slope), efek maksimal,
dan variasi individual

a. Potensi: menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya


ditentukan oleh kadar obat yang mencapai reseptor.
b. Efek maksimal/efektivitas: respon maksimal yang dapat ditimbulkan oleh obat jika
diberikan pada dosis yang tinggi
c. Slope: menunjukkan batasan keamanan obat.
d. Variasi biologic: variasi antar individu dalam besarnya respons terhadap dosis obat
yang sama pada populasi yang sama. (Farmakologi dan Terapi, 2007)

INDEKS TERAPI

Obat mempunyai respon farmasetik sepanjang masih adanya dosis obat yang
terkandung dalam obat dan berada dalam margin/ batas keamanan obat. Beberapa obat
mempunyai batas terapi yang luas. Ini menunjukkan bahwa pasien dapat diberikan
dengan range tingkat dosis yang lebar tanpa terjadi efek toksik. Obat lainnya mempunyai
55
batas terapi yang sempit dimana perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan
efek samping yang tidak diinginkan atau bahkan efek toksik ( Yesi, 2009 ).

Dosis yang memberikan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median
atau dosis efektif median ( ED 50 ). Dosis letal median ( LD 50 ) adalah dosis yang
menimbulkan kematian pada 50% individu, sedangkan TD 50 adalah dosis toksik pada
50% individu ( Departemen Farmakologik dan Terapeutik, 2007 ).

Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan racun dengan
dosis yang menghasilkan respon klinis yang diinginkan atau efektif dalam populasi
individu.

Dimana: TD50 adalah dosis obat yang menyebabkan respon beracun di 50% dari
populasi dan ED50 adalah dosis terapi obat yang efektif dalam 50% dari populasi.

Baik ED50 dan TD50 dihitung dari kurva dosis respon quantal, yang merupakan
frekuensi yang masing-masing dosis obat memunculkan efek respon atau beracun yang
diinginkan dalam populasi.

Ada beberapa karakteristik penting dari


kurva dosis- respons quantal (lihat
gambar di atas) yang patut dicatat:
56
a. Dosis obat dalam plasma diplot dalam sumbu horisontal sedangkan persentase
individu (hewan atau manusia) yang menanggapi atau menunjukkan efek toksik
direpresentasikan dalam sumbu vertikal.
b. Beberapa contoh respon positif meliputi: bantuan, sakit kepala untuk obat
antimigraine, peningkatan denyut jantung minimal 20 bpm untuk stimulan jantung,
atau 10 jatuh mmHg pada tekanan darah diastolik untuk antihipertensi.
c. Data diperoleh dari suatu populasi. Tidak seperti grafik dosis-respons dinilai, data
untuk kurva dosis-respons quantal diperoleh dari banyak individu.( Guzman, 2011 )

Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan efek terapi (respon positif) dalam 50%
dari populasi adalah ED50 tersebut.

Dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek toksik di 50% dari populasi
dikaji adalah TD50 tersebut. Untuk studi hewan, LD50 adalah dosis yang dapat
menyebabkan kematian 50% dari populasi ( Guzman, 2011)

57
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat
1) Kawat kandang
2) Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
3) Timbangan
4) Stopwatch
5) Spidol
6) Koran
7) Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8) Sarung tangan & Masker
9) Beaker Glass
10) Kapas
 Bahan
1) Alkohol
2) Na. Tiopental larutan 0,35% dan 0,7%, dosis 35mg/kg bb
3) Mencit Putih Jantan bobot badan rata-rata 18-22 gr
4) Aqua Pro Injeksi

III.2 Prosedur Kerja

1. Hewan dibagi enam kelompok, msing-masing kelompok dengan 2 ekor


mencit.
2. Tandai masing-masing mencit hingga mudah dikenali
3. Dosis yang digunakan lazimnya meningkat dengan factor perkalian 2 (untuk
obat tertentu dapat dengan factor perkalian yang berbeda

58
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

(Dosis obat dan respon)

Hewan : Mencit jantan 5 ekor (1 blanko)

Berat Badan : - Mencit 1: 45,8 g - Mencit 4: 42 g

- Mencit 2: 29,9 g - Mencit 5: 35,1g

- Mencit 3: 38,9 g

Obat : - Phenobarbital 50mg/ml (Mencit 1-4)

- Nacl 0,9% (Mencit 5/blanko)

Data Konversi : Manusia – Mencit (0,0026)

Perhitungan dosis:

Phenobarbital 50mg/ml 0.0026 x 50 mg/ml = 0,13 mg/ml

- Mencit 1

244,0 – 198,2 = 45,8 g

Volume yang di ambil: 0,29 ml

- Mencit 2

228,1 – 198,2 = 29,9 g

59
Volume yang di ambil: 0,19 ml

- Mencit 3

237,1 – 198,2 = 38,9 g

Volume yang di ambil 0,25 ml

- Mencit 4

239,6 – 198,2 = 42 g

Volume yang di ambil 0,3 ml

- Mencit 5 (Blanko)

Disuntikkan NaCl 0,9% = 0,5 ml

Tabel Pengamatan :

Hewan Obat CP Dosis Sedasi Hpnotik Anestesi

Mencit 1 Phenobarbital IV 0,29 ml Menit ke-5 Menit ke-7 Menit ke-15

Mencit 2 Phenobarbital IV 0,19 ml Menit ke-15 Menit ke-20

Mencit 3 Phenobarbital IV 0,25 ml Menit ke-10 Menit ke-20

Mencit 4 Phenobarbital IV 0,3 ml Mati dalam


jangka
waktu 30

60
detik

Mencit 5 Phenobarbital IV 0,5 ml Blanko Blanko Blanko

61
BAB V

PEMBAHASAN

Dilakukan pemberian secara intravena yaitu obat yang diinjeksikan melalui vena
pada ekor mencit menggunakan jarum. Mencit dimasukkan ke dalam wadah penahan
tertutup dengan ekornya menjulur ke luar. Ekor di celupkan ke dalam air hangat (40-
50oC) untuk mendilatasi vena guna mempermudah penyuntikkan (atau ekor dapat diusap
dengan alcohol). Dengan pemberian secara intravena ini diharapkan efek yang cukup
cepat, kerena langsung menembus membrane pembuluh darah dan masuk ke pembuluh
darah. Hewan uji diamati apakah timbul efek atau tidak. Timbulnya efek ditandai dengan
hilangnya reflek balik badan. Dipilih obat phenobarbital karena bersifat sedative sehingga
efek dapat diamati. Pada mencit ke 1 timbul efek dengan waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan hewan uji lainnya, karena dosis yang lebih tinggi. Pada dosis kecil
sangat lama untuk menimbulkan efek karena jumlah reseptor yang ada lebih banyak dari
jumlah obat sehingga efek timbul sangat lama. Dari data pengamatan dari kelompok kami
yang tidur atau menerima efek di semua mencit  berbeda. Hal ini disebabkan karena
kadar biologis dan ketahanan mencit berbeda- beda terhadap obat dengan dosis
pemberian yang sama. Pada percobaan phenobarbital yang diberikan tidak mengalami
induksi enzim karena hanya sekali diberikan atau tidak  berulang- ulang.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI

“HIPNOTIKA & SEDATIVA”


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem
saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa
juga disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya.
Sistem saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang
belakang (medula spinalis).

Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak
spesifik misalnya hipnotik sedativ. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi
menjadi obat depresan saraf pusat yaitu anastetik umum, hipnotik sedativ, psikotropik,
antikonvulsi, analgetik, antipiretik, inflamasi, perangsang susunan saraf pusat.

Dalam percobaan ini mahasiswa farmasi diharapkan mampu untuk mengetahui dan
memahami bagaimana efek farmakologi obat depresan saraf pusat dimana dalam
percobaan ini mahasiswa mengamati anastetik umum dan hipnotik sedativ yang diujikan
pada hewan coba mencit (Mus musculus).

Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk
diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa
farmasi dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf
pusat. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya percobaan ini.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui dan memahami efek dari obat golongan barbiturat dengan jangka


waktu kerja yang berbeda pada hewan tikus putih.

I.3 Prinsip Percobaan

Obat obat kelompok barbiturate termasuk yang bekerja depresan umum, berarti
nekerja depresif terhadap sejumlah besar fungsi dan organ organ system tubuh, tidak terbatas
hanya pada system saraf pusat, sama halnya dengan anastetika umum dan anastetika lokal ,
efek barbiturate pun tidak spesifik, dan reversible. Manifestasi efek depresinya mungkin
sekali tidak didasarkan pada mekanisme kerja yang sama. Variasi dan substituent pada
molekul barbiturate berpengaruh pada daya larut obat obta ini dalam lemak, yang
mempengaruhi pula secara langsung kecepatan muncul efek, jangka waktu berlangsung efek,
kecepatan biotransformasi, redistribusi, jenis efek dan toksisitas senyawa barbiturate.

65
BAB II

DASAR TEORI

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan


serta terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan
internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Susunan saraf terdiri dari susunan
saraf pusat dan susunan saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak (ensevalon)
dan medula spinalis (sumsum tulang belakang)

Anastetik umum adalah senyawa obat yang dapat menimbulkan anastesi


(an=tanpa, aesthesis=perasaan) atau narkosa, yakni suatu keadaan depresi umum yang
bersifat reversible dari banyak pusat sistem saraf pusat, dimana seluruh perasaan dan
kesadaran ditiadakan, agak mirip dengan pingsan.

Anastetik umum digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok


reaksi serta menimbulkan relaksasi pada pembedahan. Tahap-tahap anastesi antara
lain:

1. Analgesia

Kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria (rasa nyaman) yang
disertai impian-impian yang menyerupai halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida
memberikan analgesia yang baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental
tahap berikutnya.

2. Eksitasi

Kesadarn hilang dan terjadi kegelisahan (=tahap edukasi).

3. Anestesi

Pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur (pernapasan perut),
gerakan bola mata dan reflex bola mata hilang, otot lemas.
4. Pelumpuhan sumsum tulang

Kerja jantung dan pernapasan berhenti. Tahap ini harus dihindari.

Anastetik umum merupakan depresan sistem saraf pusat, dibedakan menjadi


anastetik inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anastetik parenteral.
Pada percobaan hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik menguap
dan anastetik parenteral.

Efek anastetik ini pada mencit/tikus antara lain dapat dideteksi dengan Touch
respon, yaitu dengan menyentuh leher mencit atau tikus dengan suatu benda misalnya
pensil. Jika mencit tidak bereaksi maka mencit/tikus terpengaruh oleh anastetik.
Selain itu pasivitas juga dapat mengindikasikan pengaruh anastesi. Pasivitas yaitu
mengukur respon mencit bila diletakkan pada posisi yang tidak normal, misalnya
mencit yang normal akan menggerakkan kepala dan anggota badan lainnya dalam
usaha melarikan diri, kemudian hal yang sama tetapi dalam posisi berdiri, mencit
normal akan meronta-ronta. Mencit yang diam kemungkinan karena terpengaruh oleh
senyawa anastetik. Uji neurologik yang lain berkaitan dengan anastetik ialah uji
ringhting refles.

Mekanisme terjadinya anesthesia sampai sekarang belum jelas meskipun


dalam bidang fisiologi SSP dan susunan saraf perifer terdapat kemajuan hebat
sehingga timbul berbagai teori berdasarkan sifat obat anestetik,misalnya penurunan
transmisi sinaps, penurunan konsumsi oksigen dan penurunan aktivitas listrik SSP.

Hipnotik atau obat tidur (hypnos=tidur), adalah suatu senyawa yang bila
diberikan pada malam hari dalam dosis terapi, dapat mempertinggi keinginan
fisiologis normal untuk tidur, mempermudah dan menyebabkan tidur. Bila senyawa
ini diberikan untuk dosis yang lebih rendah pada siang hari dengan tujuan
menenangkan, maka disebut sedativa (obat pereda). Perbedaannya dengan
psikotropika ialah hipnotik-sedativ pada dosis yang benar akan menyebabkan
pembiusan total sedangkan psikotropika tidak. Persamaannya yaitu menyebabkan
ketagihan.

Tidur adalah kebutuhan suatu makhluk hidup untuk menghindarkan dari


pengaruh yang merugikan tubuh karena kurang tidur. Pusat tidur di otak mengatur

67
fungsi fisiologis ini. Pada waktu terjadi miosis, bronkokontriksi, sirkulasi darah
lambat, stimulasi peristaltik dan sekresi saluran cerna.

Tidur normal terdiri dari 2 jenis:

1. Tidur tenang : (Slow wafe, NREM = Non Rapid Eye Movement), (ortodoks) yang
berciri irama jantung, tekanan darah, pernapasan teratur, otot kendor tanpa
gerakan otot muka atau mata.

2. Tidur REM (Rapid Eye Movement) atau paradoksal, cirinya otak memperlihatkan
aktivitas listrik (EEG=Electro encephalogram), seperti pada orang dalam keadaan
bangun dan aktif, gerakan mata cepat. Jantung, tekanan darah dan pernapasan naik
turun naik, aliran darah ke otak bertambah, ereksi, mimpi.

Istilah anesthesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya
tidak ada rasa sakit. Anesthesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. anesthesia lokal, yaitu hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran

b. anesthesia umum, yaitu hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. Anesthesia
yang dilakukan dahulu oleh orang Mesir menggunakan narkotik,  orang Cina
menggunakanCanabis indica, dan pemukulan kepala dengan tongkat kayu untuk
menghilangkan kesadaran.

Golongan obat hipnotik-sedatif yaitu:

1. Benzodiazepine

Contohnya: Klordiazepin, Klorozepat, Diazepam, Lorazepam, Oksazepam,


Temazepam

2. Barbiturat

Contohnya: Amobarbital, Aprobarbital, Barbital, Heksobarbital, Kemital,


Mefobarbital, Bupabarbital

Hipnotik lainnya contohnya: kloral hidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon,


meprobamat

68
Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam sistem saraf pusat sama dengan
sistem saraf otonom. Misalnya transmisi informasi dalam sistem saraf pusat dan
perifer keduanya menyangkut lepasnya neurotransmitter yang melintas pada celah
sinaptik untuk kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron postsinaptik. Dalam
pengenalan neurotransmitter oleh membran reseptor neuron postsinaptik memberikan
perubahan intraseluler.

Pada sebagian besar sinaps sistem saraf pusat, reseptor tergabung dalam
saluran ion, mengikat neurotransmitter ke reseptor membran postsinaptik sehingga
dapat membuka saluran ion secara cepat dan sesaat. Saluran yang terbuka ini
kemungkinan ion didalam dan luar membran sel mengalir kearah konsentrasi yang
lebih kecil. Perubahan komposisi dibalik membran neuron akan mengubah potensial
postsinaptik, menghasilkan depolarisasi atau hiperpolarisasi membran postsinaptik,
yang tergantung pada ion tertentu yang bergerak dan arah dari gerakan itu.

Gangguan neurotransmisi yang dapat diobati dibagi menjadi dua kelompok,


yaitu yang disebabkan oleh terlalu banyaknya neurotransmisi dan oleh terlalu
sedikitnya neurotransmisi.

Neurotransmisi yang terlalu banyak disebabkan oeh:

a. Sekelompok neuron yang terlalu mudah dirangsang yang bekerja tanpa adanya
stimulus yang sesuai, misalnya gangguan kejang, terapi diarahkan pada pengurangan
otomatisitas sel – sel ini.

b. Terlalu banyak molekul neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor


pascasinaptik. Terapi meliputi pemberian antagonis yang memblokir reseptor –
reseptor pascasinaptik.

c. Terlalu sedikit molekul neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor


pascasinaptik, misalnya parkinson. Beberapa strategi pengobatan yang meningkatkan
neurotransmisi, meliputi obat – obatan yang menyebabkan pelepasan neurotransmitter
dari terminal prasinaptik, dan prekursor neurotransmitter yang diambil kedalam
neuron prasinaptik dan dimetabolisme menjadi molekul neurotransmitter aktif.

Neurotransmitter otak terdiri dari:

69
 Norepinefrin

 Dopamin

 5-Hidroksitriptamin

 Asetilkolin

 Asam gamma amino butirat (GABA)

Barbiturat

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai


hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang
spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman,
pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak
digunakan. Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam
barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi
antara ureum dengan asam malonat

Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat
depresi dapat dicapai, mulaidari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek
antianseitas barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek
hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik.
Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek
anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital
untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat
yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.

 Pada SSP 

Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama
kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan
hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi
mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator.

Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan


inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian

70
menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat
sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat
menimbulkan depresi SSP yang berat.

 Pada susunan saraf perifer

Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi


eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah
setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat. 

 Pada pernafasan

Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis.


Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan,
sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan
dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2)
hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan
laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur
nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru
berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan
O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.

 Pada Sistem Kardiovaskular

Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system
kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang
ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat
dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada
intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat
depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat
vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.

Farmakokinetik

Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan
menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas

71
dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan
dalam lemak; tiopental yang terbesar.

Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital,
setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan
menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang
kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir
sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus,
perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital
diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30
%) pada manusia. Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat
dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari
penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang
dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat golongan barbiturat.

Indikasi

Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena
efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan
benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat
yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.

Tiopental

1. Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.

2. Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).

3. Sedasi pada analgesik regional

4. Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus

Fenobarbital

1. Untuk menghilangkan ansietas

2. Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)

72
3. Untuk sedatif dan hipnotik

Kontra Indikasi

Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati
atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada
penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari
yang terjadi pada penderita usia lanjut.

Efek Samping

Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik


berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu
mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional
dan fobia dapat bertambah berat. Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu,
pemakaian ulang barbiturat (terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih
menimbulkan eksitasi dari pada depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi
diantara penderita usia lanjut dan lemah.

Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama


pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan
nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium. Alergi, Reaksi
alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas dapat
timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal
pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan
kerusakan degeneratif hati. Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP
lain misal etanol akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid,
metilfenidat, dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.

73
BAB III
PERCOBAAN

3.1.1 Alat dan Bahan


Alat
1. spuit
2. Timbangan
3. Spidol
4. Stopwatch
Bahan
1. Tikus putih jantan
2. NaCl Fisiologis
3. Phenobarbital

3.2 Prosedur Kerja


1. Berikan 2 ekor tikus putih phenobarbital secara intravena
2. Berikan 1 ekor tikus yang lainnya NaCl fisiologis secara intravena
3. Amati efek yang terjadi, dan simpulkan mula dan lama kerja kedua
barbiturate tersebut.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

4.1.1 PERHITUNGAN

A. TABEL KONVERSI

Dosis Factor konversi

Mencit 0,0026  20 gram

Tikus 0,018  200 gram

Kelinci 0,07  1,5 kilogram

B. DOSIS

Phenobarbital yang digunakan : 50 mg/ml

Dosis tikus :

Konversi = 0,018 x 50mg/ml = 0,9 ml

- Tikus 1 (Berat 97 gram)

- Tikus 2 (Berat 96,4 gram)

- Tikus 3 (Berat 155,4 gram)


C. Pengamatan

Tabel Pengamatan

Hewan Waktu
Obat Dosis obat Pengamatan
Percobaan timbul efek

Tikus 1 Phenobarbital 0,4 ml 00:04:00 Tikus mulai tenang

00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative

Tingkah laku tikus mulai


00:60:00
berkurang dan lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:30:00
hipnotik

Efek hipnotika memasuki


02:00:00
fase anastesi

Tikus 2 Phenobarbital 0,4 ml 00:04:00 Tikus mulai tenang

00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative

Tingkah laku tikus mulai


00:60:00
berkurang dan lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:30:00
hipnotik

Efek hipnotika memasuki


02:00:00
fase anastesi

Tikus 3 Phenobarbital 0,7 ml 00:03:00 Tikus mulai tenang

00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative

Tingkah laku tikus mulai


00:50:00
berkurang dan lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:20:00
hipnotik

76
Efek hipnotika memasuki
02:00:00
fase anastesi

BAB V
PEMBAHASAN

77
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP)
yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau
kantuk, menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi
obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi
dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan
saraf lainnya didalam tubuh biasanya bekerja dibawah kesadaran atau kemauan.

Dalam percobaan ini praktikan dapat memahami obat-obat apa saja yang
merangsang atau bekerja pada sistem saraf pusat. Obat yang bekerja pada sistem saraf
pusat terbagi menjadi obat depresan saraf pusat, yaitu anastetik umum (memblokir
rasa sakit), hipnotik sedativ (menyebabkan tidur), psikotropik (menghilangkan rasa
sakit), opioid. Analgetik – antipiretik – antiinflamasi dan perangsang susunan saraf
pusat. Anastetik umum merupakan depresan SSP, dibedakan menjadi anastetik
inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anestetik menguap dan anestetik
parental. Pada percobaan hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik
menguap dan anastetik parental.

Percobaan kali ini ingin diketahui bagaimana kerja dan efek suatu obat pada


sistem saraf pusat. Mekanisme kerja dari anestetik umum adalah bahwa anestetik
umum merupakan keadaan depresi umum yang sifatnya reversible dari banyak pusat
SSP, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan yang agak mirip dengan
pingsan.  Anastetik umum ini digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan
memblok reaksi serta menimbulkan relaksasi pada pembedahan.
Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah obat dengan zat aktif
phenobarbital kadar 50 mg. Pada saat praktikum obat ini dibagi menjadi beberapa
dosis (3 dosis berbeda) untuk mengetahui perbedaan onset dan durasi kerja dari
phenobarbital .
Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa pada tikus mengalami fase anastesi
setelah hipnotik dikeranakan kesalahan perhitungan dosis di saat praktikum
berlangsung. Seharusnya setelah mengalami efek hipnotika tingkah laku tikus akan
kembali normal.

78
BAB V
KESIMPULAN

Perbedaan kadar dalam pengobatan, dalam hal ini hipnotik-sedativ,


mempengaruhi daya kerja obat. Namun demikian perlu diperhatikan juga tempat
pemberiannya, karena berbeda tempat pemberian obat, berbeda pula onset dan durasi
kerjanya.
PERTANYAAN

Coba rumuskan hubungan antara perbedaan-perbedaan jangka waktu kerja berbagai


barbiturat ini dengan penggunaan praktis di klinik.
Jawab :
Nama internasional Lama kerja Dosis hipnotik
rata-rata (g)

Obat penghantar tidur


 Sekobarbital Singkat sampai sedang 0,1-0,2
Obat penghantar tidur
dan memperpanjang tidur
 Vinilbital Sedang 0,15
 Aprobarbital Sedang 0,1-0,2
 Sekbutabarbital Sedang 0,1-0,2
 Pentobarbital Sedang 0,1-0,2
 Heptabarbital Sedang 0,1-0,2
 Siklobarbital Sedang (lama) 0,1-0,2
 Fenobarbital Lama 0,1-0,3
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“DIURETIKA”
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Seluruh sel-sel tubuh terendam dalam suatu cairan yang disebut cairan intestinal, yang
bertindak sebagai lingkungan dalam dari sel-sel. Oleh sebab itu volume dan komposisi
cairan intestial harus tetap dalam berad batas-batas yang tertentu agar sel-sel dapat
berfungsi dengan normal. Perubahan dari volume dan komposisi cairan nintestial dapat
menimbulkan kelainan fungsi tubuh. Kelainan volume cairan vaskuler akan menganggu
fungsi kardiovaskuler, sedang perubahan komposisi cairan intestitial akan menganggu
fungsi.

Terdapat banyak keadaan – keadaan yang dapat mengganggu volume dan komposisi
cairan tubuh tersebut, antara lain  ingesti (pemasukan) air atau defripasi (hilangnya) air,
ingesti atau defrivasi elektrolit, kelebihan asam atau alkali, produk metabolisme atau
pemberian bahan-bahan toksik.

Jadi jelas harus terdapat suatu regulasi aktif untuk mempetahankan lingkungan agar
tetap konstan, terutama dalam menghadapi faktor yang dapat mengganggu kestabilan
volume dan komposisi cairan interistitial

I.2 Tujuan Percobaan

1. Untuk mengetahui efek dari obat diuretik pada hewan percobaan.

2. Untuk mengetahui volume urin yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat
diuretik.

3. Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat diuretik

I.3 Prinsip Percobaan

Penentuan efek farmakologi dari obat – obat diuretik yaitu furosemid terhadap tikus
yang setelah diberikan air per oral, berupa pengamatan terhadap frekwensi urinasi dan
volume urinasi setiap interval waktu 20 menit selama 3 jam.
BAB II
DASAR TEORI

Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih
banyak. Jika pada peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan
saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit). (Mutschler,1991)

Walaupun kerja nya pada ginjal,diuretika bukan ‘obat ginjal’,artinya senyawa


ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,demikian juga pada
pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialysis,tidak dapat ditangguhkan dengan
penggunaan senyawa ini. Beberapa diuertika pada awal pengobatan justru
memperkecil ekskresi zat-zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus
sehingga memperburuk insufisiensi ginjal.  (Mutschler,1991)

Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui


kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan
mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya
zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume
darah (dekstran), atau merintangi sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).

Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan


mengeluarkan semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah dimana
semuanya melintasi saringan ginjal kecuali zat putih telur dan sel-sel darah.

Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh.
Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni
keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume
total dan susunan cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+,
yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah.

MEKANISME KERJA OBAT DIURETIK

Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorbsi natrium,


sehingga pengeluaranya lewat kemih- dan demikian juga dari air-diperbanyak. Obat-
obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni di :

a. Tubuli proksimal, ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang disini


direabsorbsi secara aktif untuk kurang lebih 70%, antara lain ion-Na+ dan air,
begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara
proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap
plasma. Diuretika osmosis (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan merintangi
reabsorbsi air dan juga natrium.
b. Lengkungan henle. Dibagian menaik dari Henle’s loop ini k,l. 25% bsorbsi pasif
dari Na+ dan K+ tetapi tanpa hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika
lengkungan seperti furosemida, bumetamida dan etakrinat, bekerja terutama di
sini dengan merintangi transpor Cl- dan demikian reabsorbsi Na+. pengeluaran
K+dan air juga diperbanyak.

c. Tubuli distal. Dibagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula


tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis.sentawa
thiazidadan  klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak eksreksi
Na+ dan Cl –sebesar 5-10%. Dibagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan
dengan ion K + atau –NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak-ginjal
aldosteron antagonis aldosteron (spirolacton) dan zat-zat penghemat kalium
(amilorida, triateren) bertitik kerja disini dengan mengekibatkan ekskresi
Na+ (5%) dan retensi- K+.

d. Saluran pengumpul. Hormon antidiuretika ADH (vasoprin) dari hipofisis bertitik


kerja disini dengan jalan memengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran
ini.(mariska syafri ; 2011)

PENGGOLONGAN OBAT DIURETIK

Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :

1. Diuretik osmotic

Tempat Dan Cara Kerja : Tubuli Proksimal penghambatan reabsorbsi natrium


dan air melalui daya osmotiknya. Ansa Henle penghambatan reasorbsi natrium
dan air oleh karena hiperosmolaritas daerah medula menurun. Penghambatan
reasorbsi natrium dan air akibat adanya kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau
adanya faktor lain. Diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit
yang mudah dan cepat diekskresi oeh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah ;
manitol, urea, gliserin dan isosorbid.

2. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan
cara menghambat reabsorpsi bikarbonat.

Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan


meatzolamid.

3. Diuretik golongan tiazid

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli
distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida.

84
Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid,
hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid,
siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.

4. Diuretik hemat kalium

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli
distal dan duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi
natrium dan sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton)
atau secara langsung (triamteren dan amilorida).

Yang tergolong dalam kelompok ini adalah: antagonis aldosteron. triamterenc.


amilorid.

5. Diuretik kuat

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian
asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport
elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam
etakrinat, furosemid dan bumetamid.

6. Xantin

Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulansianya paa fungsi
jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh
meningkatnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus. Namun semua
derivat xantin ini rupanya juga berefek langsung pada tubuli ginjal, yaitu
menyebabkan peningkatan ekskresi Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan yang
nyata pada perubahan urin. Efek diuresis ini hanya sedikit dipengaruhi oleh
keseimbangan asam-basa, tetapi mengalami potensiasi bila diberikan bersama
penghambat karbonik anhidrase.Diantara kelompok xantin, theofilin
memperlihatkan efek diuresis yang paling kuat.

TOKSISITAS DIURETIK

Pada pengobatan hipertensi, sebagian besar efek samping yang lazim terjadi
adalah deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak
pasien , hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis, pasien
dengan aritmia kronis, pada infarktus miokardium akut atau disfungsi ventrikel kiri.
Kehilangan kalium diimbangi dengan reabsorpsi natrium. Oleh karenanya
,pembatasan asupan natrium dapat meminimalkan kehilangan kalium. Diuretik
glukosa, dan peningkatan konsentrasi lemak serum. Diuretik dapat meningkatkan
konsentrasi uric acid dan menyebabkan terjadinya  gout (pirai). Penggunaan dosis
rendah dapat meminimalkan efek metabolik yang tidak diinginkan tanpa mengganggu
efek antihipertensinya. (Katzung, 1986).

85
BAB III
PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat

- Spuite 1 cc

- Kapas

- Timbangan tikus

- Sonde oral

- Kandang khusus untuk pengamatan

- Tabung berskala untuk penampungan urin

- Gelas ukur

 Bahan

- Tikus putih jantan 6 ekor

- Aqua Pro Injeksi

- Furosemid Na 10 mg/ml

- Alkohol

- NaCl 0,9 %

III.2 Prosedur Kerja

1. Tikus dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I kelompok uji dan kelompok II adalah

kelompok kontrol. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 tikus.

2. Masing masing tikus diberikan air per oral sebanyak 5ml/kg bb

3. Suntikan furosemid pada tikus kelompok pertama secara IP dengan dosis yang telah
di tentukan.

4. Suntikan NaCl 0,9 % pada tikus kelompok II sebagai kontrol, perhitungan sama
seperti furosemid.
5. Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam kandang khusus yang
didesain untuk mengumpulkan urine tanpa kontaminasi feses selama 3 jam.

6. Waktu mulai munculnya efek, frekuensi urinasi dan volume urin yang diekresikan
dicatat pada table.

7. Hitung presentase volume urin kumulatif selama 3 jam terhadap volume air yang
berikan secara oral.

87
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Perhitungan Dosis:

1. Diketahui : Furosemid 10 mg

Faktor konversi  manusia  Tikus BB tikus 200 gr = 0,018

Dosis Obat untuk tikus (Furosemid Na)

Sediaan yang ada 10 mg/ml

KELOMPOK I

 Tikus I

88,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,07 mg/ml

= 0,07 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,007 ml x 10 = 0,07 ml

 Tikus II

85,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,08 mg/ml

= 0,08 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,008 ml x 10 = 0,08 ml

 Tikus III

118,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,106 mg/ml

= 0,106 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,007 ml x 10 = 0,1 ml

KELOMPOK II

 Tikus I

113,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,102 ml, dibulatkan menjadi 0,1 ml

 Tikus II

115,4 gr/200 gr x 0.18 = 0,103 ml, dibulatkan menjadi 0,1 ml

 Tikus III

135,4 gr/200 gr x 0.18 = 0,12 ml


Presentase volume kumulatif urin yang di ekskresikan dalam waktu 3 jam:

Rumus % = vol urin yang dieksresikan dalam waktu 3 jam/ volume air yang diberi per
oral x 100 %

Tikus kel. I : 4 ml/5 ml x 100% = 80 %

Tikus kel II : 0,6 ml/5 ml x 100 % = 12 %

HASIL PENGAMATAN

KELOMPOL I WAKTU FREKUENSI VOLUME %

Tikus I 11.21 Wib - 4 ml 80 %

Tikus II 11.21 Wib - 4 ml 80 %

Tikus III 11.21 Wib - 4 ml 80 %

KELOMPOK II WAKTU FREKUENSI VOLUME %

Tikus I 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

Tikus II 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

Tikus III 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

89
BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan diuretic dengan menggunakan


obat Furosemid dan tikus sebagai hewan ujinya. Diuretik sendiri berfungsi sebagai
obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urien. Dengan kata lain adalah
berfungsi membuat  pruduksi urine meningkat.  Hal ini dilakukan dengan maksud
mencuci atau membilas ginjal dari dari zat zat berbahaya.

Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipuasakan selama 16 jam


tetapi tetap di beri minum ini untuk mencegah sebelum diberikan obat untuk
menghilangkan factor makanan. Namun walaupun demikian faktor variasi biologis
dari hewan tidak dapat di hilangkan sehingga factor ini relative dapat mempengaruhi
hasil.

Tikus 1 diberi furosemid dengan dosis 0,5 mg/kgBB sedangkan tikus 2 diberi
furosemid dengan dosis 13,5 mg/kgBB. Sebelum diberi obat, tikus terlebih dahulu
diberi air hangat menggunakan sonde. Tujuan nya adalah untuk membantu
mempercepat atau memperbanyak urin yang dikeluarkan. Setelah masing- masing
tikus disuntikkan, tikus langsung dimasukkan ke sebuah tempat yaitu kandang
metabolisme. Masing – masing tikus diletakkan pada kandang yang berbeda.
Kemudian urine tersebut di tampung menggunakan gelas ukur.  Setelah itu urin yang
telah ditambung menggunakan gelas ukur tersebut  diukur dan dicatat berapa banyak
keluarnya. Masing – masing urin tikus diukur dengan selang waktu 20 menit selama 3
jam.

Dari hasil data pengamatan dapat ditarik kesimpulan bahwa tikus kesatu
presentase kumulatif urin yang dieksresikan lebih tinggi dari pada tikus kedua. Tetapi
berdasarkan jumlah konsentrasi dosis obat seharusnya tikus kedua lebih banyak
mengeluarkan urine dari pada. konsentrasi dosis obat untuk tikus kesatu, karena tikus
kedua diberikan dosis yang lebih besar maka dosis yang lebih besar berpengaruh
terhadap kerja obat didalam tubuh. 

Setelah dilihat dari prosedur kerjanya pada tikus kedua ditemukan bahwa pada
saat penyuntikkan obat kepada tikus, tikus tersebut terus bergerak saat dipegang oleh
salah satu pratikan sehingga mengakibatkan pratikan yang bertugas menyuntikan obat
merasa takut dan pada waktu obat disuntikan ke tikus obat tidak masuk secara
maksimal. Karena obat tidak tersuntik secara maksimal dari  jumlah obat yang
seharusnya disuntikkan maka efek dari obat tersebut tidak efektif, dan mengakibatkan
tikus kedua mengeluarkan  urin lebih sedikit dari tikus kesatu. Dan kemungkinan lain
efek dari stressnya tikus menyebabkan efek dari obat tersebut tidak menunjukkan
keadaan yang seharusnya.
BAB VI
KESIMPULAN

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin..


Diuretik dapat di golongkan menjadi beberapa golongan : diuretik kuat, diuretik
hemat kalium, diuretik golongan tiazid, golongan penghambat enzim karbonik
anhidrase, diuretik osmotic. Furosemid, adalah sebuah obat  yang digunakan untuk
meningkatkan produksi urin. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan
udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume
cairan ekstra sel kembali menjadi normal.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK OBAT PADA MEMBRAN DAN
KULIT MUKOSA”
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obat yang diberikan melalui kulit dan membrane mukosa pada


prinsipnya menimbulkan efek local. Pemberian topical dilakukan dengan
mengoleskannya di suatu daerah kulit, memasang balutan lembab, merendam
bagian tubuh dengan larutan, atau menyediakan air mandi yang dicampur obat.
Efek sistemik timbul. Selain dikemas dalam bentuk untuk diminum atau
diinjeksikan , berbagai jenis obat dikemas dalam bentuk obat luar seperti
lotion, liniment, pasta dan bubuk yang biasanya dipakai untuk pengobatan
ganggaun dermatologis misalnya gatal-gatal , kulit kering, infeksi dan lain-
lain.Obat topical juga dikemas dalam bentuk obat tetes (instilasi) yang dipakai
untuk tetes mata, telinga, atau hidung serta dalam bentuk untuk irigasi baik
mata, telinga, hidung, vagina, maupun rectum.Dalam memberikan pengobatan
kita sebagai tenaga kesehatan harus mengingat dan memahami prinsip dengan
benar agar kita dapat terhindar dari kesalahan dalam memberikan obat, namun
ada sebaiknya kita mengetahui peran masing-masing profesi yang terkait
dengan upaya pengobatan

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mahasiswa dapat memperkirakan bentuk manifestasi efek lokal dari


berbagai obat terhadap kulit dan membran mukosa berdasarkan cara-cara
kerja masing-masingnya, serta mengapresiasikan penerapan ini dalam
situasi praktis.
2. Menyadari sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membran
mukosa dari berbagai obat yang bekerja secara lokal.
3. Dapat mengapresiasikan peran pelarut terhadap intensitas kerja fenol dan
dapat mengajukan kemungkinan pemanfaatan ini dalam situasi praktis
4. Dapat merumuskan persyaratan-persyaratan farmakologi untuk obat-obat
yang secara local
I.3 Prinsip Percobaan

1. Zat zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecahkan
ikatan S-S pada keratin kulit, sehingga bulu mudah rusak dan gugur
2. Zat-zat korosif bekerja dengan cara oksidasi, mengendapkan protein kulit,
sehingga kulit/membrane mukosa akan rusak.
3. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda
pula, karena koefisien partisi yang berbeda-beda dalam berbagai
pelarutdan juga karena permeabilitas kulit akan mempengaruhi penetrasi
fenol kedalam jaringan
4. Zat-zat yang bersifat adstringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan
protein, sehingga permeabilitas sel sel pada kulit/membran mukosa yang
dikenainya menjadi turun, dengan akibat menurunnya sensitivitas dibagian
tersebur.
BAB II
DASAR TEORI

Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa


sakit, serta mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan (Ansel,
1985). Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71,
obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau kelainan badaniah dan rohaniah
pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau
bagian badan manusia.

Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak
jarang juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh. Berdasarkan efek obat yang
diberikan obat kepada tubuh, maka obat dibagi menjadi:

1. Obat yang berefek sistemik adalah obat yang memberi pengaruh pada tubuh yang
bersifat menyeluruh (sistemik) dan menggunakan sistem saraf sebagai perantara.
Obat ini akan bekerja jika senyawa obat yang ditentukan bertemu dengan reseptor
yang spesifik.

2. Obat yang berefek non-sistemik (lokal) merupakan  obat yang mempunyai


pengaruh pada tubuh bersifat lokal atau pada daerah yang diberikan obat. Contoh
obat ini adalah obat-obat yang bersifat anestesi lokal ataupun transdermal.

Berbagai produk obat yang bersifat lokal dibuat bertujuan untuk


menghilangkan segala sensasi yang tidak menyenangkan pada bagian yang spesifik di
tubuh. Beberapa contoh dari produk tersebut bersifat anastetik ataupun obat-obat yang
diberikan secara transdermal.

Anastetika lokal atau yang dikenal dengan zat penghilang rasa setempat adalah
obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf
ke SSP dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal,
rasa panas atau dingin.

Anastetika pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang diperoleh dari
daun suatu tumbuhan alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Setelah tahun 1892,
perkembangan anastetik meningkat pesat hingga ditemukan prokain dan benzokain,
dan derivat-derivat lainnya seperti tetrakain dan cinchokain.
Anastesi bekerja dengan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan
tranmisi impuls melalui sel saraf dan ujungnya. Anastetik lokal juga dapat
menghambat penerusan impuls dengan jalan menurunkan permeabilitas sel saraf
untuk ion natrium.

Beberapa kireteria yang harus dipenuhi suatu jenis obat yang digunakan sebagai
anestetika lokal

a. Tidak merangsang jaringan

b. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf

c. Toksisitas sistemik rendah.

d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lender

e. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan dapat larut
dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pernapasan
(sterilisasi).

Selain anestesi, obat-obatan yang digunakan melalui transdermal pun


mayoritas menggunakan prinsip efek lokal yang hanya mengobati/mencegah rasa
yang tidak nyaman pada bagian yang diolesi/ditempelkan obat.

Transdermal merupakan salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan
farmasi/obat berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan
kulit, namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit
( trans = lewat, dermal =  kulit)

Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa-senyawa
kaustik, misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas
atau uap pada saluran napas. Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada
sel-sel hidup.

Cara penggunaan obat yang memberi efek lokal adalah:

a. Inhalasi, yaitu larutan obat disemprotkan ke dalam mulut atau hidung dengan alat
seperti : inhaler, nebulizeer atau aerosol.

b. Penggunaan obat pada mukosa seperti: mata, telinga, hidung, vagina, dengan obat
tetes, dsb.

c. Penggunaan pada kulit dengan salep, krim, lotion, dsb.

96
BAB III
PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat

 Alat-alat bedah

 Batang pengaduk

 Kertas saring

 Wadah kaca

 Pipet tetes

 Bahan

 Veet Cream

 Larutan Raksa (II) klorida (HgCl2) 5%

 Larutan fenol 5%

 Larutan Tingtur Iod

 Larutan K2S 20%

 Gliserin

 Etanol

 Aquades

 Minyak lemak

 Larutan tannin 1%
III.2 Prosedur Kerja

1. Efek menggugurkan bulu

 Tikus yang sudah dikorbankan, diambil kulitnya dan dipotong-potong,


masing-masing berukuran 1 cm x 1 cm dan letakkan di kertas saring.

 Catat bau asli dari zat-zat yang digunakan

 Keatas potongan kulit tersebut, teteskan larutan-larutan obat yang


digunakan

 Setelah beberapa menit, dengan batang pengaduk dilihat adakah bulu


yang gugur.

 Catatlah hasil yang diperoleh dari pengujian.

2. Efek korosif

 Usus tikus diambil dan dipotong-potong 5 cm, letakkan diatas kertas


saring yang lembab dan diteteskan dengan cairan-cairan obat. Sebelum
digunakan, usus dicuci dahulu dari kotoran dan posisikan bagian dalam
yang terkena tetesan cairan korosif.

 Sediakan juga potongan kulit tikus yang baru diambil dan direndam
selama 15 menit dalam cairan-cairan obat.

 Amatilah kerusakan yang terjadi.

3. Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut

 Wadah kaca yang telah disiapkan diisi dengan larutan-larutan fenol.

 Serentak dicelupkan empat jari tangan selama 5 menit kedalam wadah


kaca yang masing-masing berisi fenol 5% + aquades, fenol 5% + etanol,
fenol 5% + gliserin, dan fenol 5% + minyak lemak.

 Rasakan sensasi yang terjadi, jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit,
segera jari diangkat dan dibilas dengan etanol

4. Efek astringen

 Mulut dibilas dengan larutan tanin 1%

 Rasakan sensasi yang terjadi didalam mulut.

98
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

1. Efek menggugurkan bulu

Percobaan Bahan Percobaan


Larutan Obat Efek diamati
diberikan pada
Bau awal Kaustik/gugur Efek lainnya
kulit
bulu (waktu)

Larutan K2S Khas Diamati Tidak ada


20% menyengat selama 30
menit, tidak
gugur bulu
keseluruhan
namun saat
10 s, bulu
bulu halus
ada sedikit
yang rontok

NaOH 20% Berbau Diamati Bulu berubah


khas selama 30 warna kuning
Gugur Bulu Kulit Tikus menit, tidak kecoklatan
gugur bulu
keseluruhan
namun saat
10 s, bulu
bulu halus
ada sedikit
yang rontok

Veet Cream Bau 15 menit Tidak ada


menyengat dioleskan ke
kulit tikus,
dan dapat di
kerok dengan
mudah bulu-
bulunya
2. Efek Korosif

Percobaan Bahan Percobaan Larutan obat Pengamatan


diberikan pada usus Sifat korosif Kerusakan pada jaringan

- Usus mengkerut

- Warna usus memutih


Larutan raksa (II)

klorida 5% - Cairan terabsorbsi
(tekstur terlihat
kering)

- Usus menjadi kering


dan mengkarut
Korosif Usus Tikus
NaOH 20% √ - Usus melunak

- Warna usus menjadi


bening

- Tidak ada perubahan


Tingtur Iod -
apapun

- Tidak ada perubahan


apapun
AgNO3 1% -

100
Percobaan Bahan Percobaan Larutan obat Pengamatan
diberikan pada usus Sifat korosif Kerusakan pada jaringan

- Jaringan mati
Larutan raksa (II)
√ - Urat-urat tidak
klorida 5%
nampak

- - Kulit melunak
Korosif Kulit Tikus NaOH 20%
(ke Iritasi) - Kulit memerah

- Tidak ada perubahan


Tingtur Iod -
apapun

AgNO3 1% √ - Kulit habis

3. Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut

Bahan Jari tangan dicelupkan pada beaker


Percobaan Pengamatan
percobaan glass yang telah diisi oleh

Jari tangan terasa


panas, perih, keriput
Larutan Fenol 5% dalam air
dan berwarna putih
setelah 3 menit

Terasa dingin diawal


dan terasa tebal
Larutan Fenol 5% dalam etanol
Fenol dalam setelah jari diangkat
berbagai Jari tangan (5menit)
pelarut Jari tangan terasa
Larutan Fenol 5% dalam gliserin
tebal, panas setelah 1
25%
menit 1 detik

Setelah jari tangan


Larutan Fenol 5% dalam minyak dikeluarkan terasa
lemak sedikit panas
(5menit)

4. Efek Adstringen
Larutan obat Pengamatan ( Secara
Percobaan Bahan percobaan
dikumur pada mulut Teori)

Setelah kumur
kumur, dimulut
Efek adstringen Mulut untuk kumur Tannin 1% rasanya sepat,
mukosa mulut
menjadi terasa tebal.

102
BAB V
PEMBAHASAN

Tikus yang digunakan dalam praktikum dilakukan pengorbanan terlebih


dahulu. pengorbanan dapat dilakukan dengan cara anastesi lokal maupun dengan cara
dislokasi lokal. Anastesi lokal dilakukan dengan cara memasukkan tikus kedalam
toples yang telah dijenuhkan dengan larutan eter dan tertutup, tunggu hingga tikus
dalam keadaan mati. Selain anastesi lokal, dislokasi lokal juga dapat digunakan
dengan cara memisahkan/menghambat pengaliran darah ke otak dengan
merenggangkan bagian-bagian tulang belakang dari tikus.

Tikus yang sudah dikorbankan kemudian dikuliti (ambil kulitnya) sesuai


dengan keperluan, baik dari segi jumlah maupun ukurannya. Selain kulit, bagian usus
dari tikus juga digunakan dengan cara membelah usus tikus dan membersihkan dari
sisa kotoran yang ada di usus. Kulit dan usus yang sudah ada tadi di letakkan diatas
kertas saring dan mulailah dengan pengujian yang sudah ditentukan.

Pada pengujian efek menggugurkan bulu, hasil uji menunjukkan adanya


kerontokan bulu setelah diberikan larutan natrium hidroksida 20% namun agak lama,
pada mulanya hanya sedikit yang rontok. Pada teorinya hal ini terjadi karena garam
natrium hidroksida bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada keratin kulit,
sehingga bulu akan rusak dan gugur. Namun pada praktikum pemberian NaOH tidak
terlalu ampuh dalam menggugurkan bulu, hal ini dapat disebabkan oleh :

1. Reagen expired

2. Reagen kontaminasi

3. Reagen telah terbentuk reaksi garam

Pada pemberian Larutan K2S Diamati selama 30 menit, tidak gugur bulu
keseluruhan namun saat 10 s, bulu bulu halus ada sedikit yang rontok. Pada
pemberian Veet Cream 15 menit dioleskan ke kulit tikus, dan dapat di kerok dengan
mudah bulu-bulunya. Dari ketiga reagen disimpulkan untuk menggugurkan bulu
dengan mudah baiknya menggunakan Veet Cream, lalu NaOH kemudian K2S sebagai
urutan paling baik hingga kurang baik dalam menggugurkan bulu.

Pada pengujian efek korosif, beberapa hasil yang dapat diamati adalah:

 HgCl2 pada usus menyebabkan : Membuat usus mengkerut, warna usus


memutih cairan terabsorbsi (tekstur terlihat kering)
 NaOH 20% pada usus menyebabkan : Usus menjadi kering dan mengkarut,
usus melunak dan warna usus menjadi bening

 Tingtur Iod pada usus menyebabkan : Tidak ada perubahan apapun

 AgNO3 1% pada usus menyebabkan : Tidak ada perubahan apapun

Maka dapat disimpulkan bahwa HgCl2  merupakan reagen yang paling korosif

Pada pengujian efek lokal fenol 5%, hasil/efek yang ditimbulkan sangat
tergantung pada campuran yang digunakan. Berikut hasil yang diperoleh:

 Larutan Fenol 5% dalam air menyebabkan : Jari tangan terasa panas, perih,
keriput dan berwarna putih setelah 3 menit

 Larutan Fenol 5% dalam etanol menyebabkan: Terasa dingin diawal dan terasa
tebal setelah jari diangkat (5menit)

 Larutan Fenol 5% dalam gliserin 25 menyebabkan: Jari tangan terasa tebal,


panas setelah 1 menit 1 detik

 Larutan Fenol 5% dalam minyak lemak menyebabkan: Setelah jari tangan


dikeluarkan terasa sedikit panas (5menit)

Efek astringen dilakukan dengan mengkumurkan kedalam mulut. Kita


ketahui bahwa astringen sangat banyak ditemukan pada tanaman yang memiliki rasa
kelat-pahit. Seperti gambir, sirih, teh, dan lain sebagainya. Namun karena saat
praktikum larutan tannin habiss, maka data yang kami tampilkan merupakan data
teori/ teori menurut text book.

104
BAB VI
KESIMPULAN

Obat yang berefek non-sistemik (lokal) merupakan  obat yang


mempunyai pengaruh pada tubuh bersifat lokal atau pada daerah yang
diberikan obat. Contoh obat ini adalah obat-obat yang bersifat anestesi lokal
ataupun transdermal. Beberapa efek dari obat lokal yang dapat ditemui adalah
menggugurkan bulu, korosif, dan astringen. Tingkat pengguguran bulu
tergantung kepada kadar dan jenis dari larutan yang digunakan Semakin tinggi
kadar suatu zat yang bersifat menggugurkan bulu, maka akan semakin
mendekati tingkat korosif.  Sama halnya dengan efek menggugurkan bulu.
Larutan yang bersifat korosif pun beraneka ragam, dan menghasilkan
mekanisme efek yang berbeda-beda, tergantung kepada kekuatan korosif yang
dikandungnya. Astringen merupakan salah satu efek dari efek lokal obat yang
mekanisme kerjanya di mulut. Senyawa ini banyak ditemukan pada gambir,
teh, dan tumbuhan lain yang memiliki rasa kelat hingga kepahitan.

105
PEMBAHASAN SOAL

1. Apakah ada perbedaan bau yang jelas dari obat-obat yang bersifat menggugurkan
bulu sebelum dan sesudah digunakan?

Jawab : Ada

2. Apakah mungkin suatu obat bekerja korosif tanpa menghilangkan bulu dan
sebaliknya?

Jawab : Hal itu mungkin saja terjadi, namun kemungkinannya hanya sedikit sekali.
Obat yang bekerja korosif akan mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/ membran
mukosa akan menjadi rusak. Hal juga akan berpengaruh pada organ rambut. Rambut
merupakan struktur protein yang kompleks, yang terdiri dari bermacam-macam jenis.

3. Sebutkan obat-obat lain yang mempunyai efek lokal lain dari yang telah dilakukan
eksperimen dari berbagai landasan kerja masing-masing.

Jawab: Argentum nitricum dan berbagai asam ( asam triklorasetat, asam laktat, asam
kromat).

4. Sebutkan menurut saudara beberapa persyaratan yang sebaiknya dipenuhi obat atau
sediaan farmasi untuk dapat digunakan sebagai obat berefek lokal agar menjamin
keamanan pemakainya!

Jawab: Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu dapat bersatu dengan kulit,
obat tersebut memiliki derajat kelarutan yang baik dalam minyak dan air yang penting
untuk efektivitas absorpsi perkutan, obat tersebut tidak menimbulkan toksik.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“ANASTESI LOKAL PERMUKAAN”
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat
yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.
Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf
ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin. Obat bius lokal mencegah
pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir.
Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi
konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek
yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan
semua jaringan otot

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mengtahui aktivitas anestetika lokal suatu obat.


2. Mengetahui gejala-gejala terjadinya anestetika lokal yang ditimbulkan oleh
anestetika lokal permukaan.

I.3 Prinsip Percobaan

Anastetika lokal ialah obat yang mnghambat konduksi saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan
anastetika lokal seperti kokain dan ester ester asam para amino benzoate (PABA),
contoh prokain dan lidokain. Asastesi lokal permukaan tercapai ketika anastetika
lokal ditempatkan didaerah yang ingin dianastesi. Anastetika lokal diberikan dengan
berbagai teknik pemberian, seperti; anastesi permukaan, anastesi spinal, anastesi
mukosa.
BAB II
DASAR TEORI

Menurut cara pemakaian anestesi lokal dibedakan menjadi:

1. Anestesi permukaan.

Anestetika local digunakan pada mukosa atau permukaan luka dan


berdifusi ke organ akhir sensorik dan ke percabangan saraf terminal. Pada
epidermis yang utuh (tidak terluka) maka anestetika local hampir tidak
bekhasiat karena tidak mampu menembus lapisan tanduk.

2. Anestesi Infiltrasi.

Anestetika local disuntikkan ke dalam jaringan, termasuk juga diisikan ke


dalam jaringan. Dengan demikian selain organ ujung sensorik, juga batang-
batang saraf kecil dihambat.

3. Anestesi Konduksi

Anestetika local disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju dan


hantaran rangsang pada tempat ini diblok. Bentuk khusus dari anestesi
konduksi ini adalah anestesi spinal, anestesi peridural, dan anestesi
paravertebral.

4. Anestesi Regional Intravena dalam daerah anggota badan

Sebelum penyuntikan anestetika local, aliran darah ke dalam dan ke


luar dihentikan dengan mengikat dengan ban pengukur tekanan darah dan
selanjutnya anestetika local yang disuntikkan berdifusi ke luar dari vena dan
menuju ke jaringan di sekitarnya dan dalam waktu 10-15 menit menimbulkan
anestesi.

Salah satu obat anastetika local dari golongan amida. Lidokain terdiri
dari satu gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang
dihubungkan suatu rantai perantara (jenis amid) dengan suatu gugus yang
mudah mengion (amin tersier). Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya
disediakan dalam bentuk garam agar lebih mudah larut dan stabil. Didalam
tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu
kation. Perbandingan relative dari dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa
nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbalch.3
Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif
terhadap prokain dan juga epinefrin. Biasanya Lidokain digunakan untuk
anestesi permukaan dalam bentuk salep, krim dan gel. Efek samping Lidokain
biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP misalnya kantuk, pusing,
paraestesia, gangguan mental, koma, dan seizure.

Cara Kerja

Isyarat dalam serabut saraf dihantarkan melalui impuls listrik yang


terbentuk pada awalnya di setiap membran sel syaraf. Setiap membran sel
syaraf ( demikian juga semua membran sel tubuh lainnya ) mempunyai
potensial listrik sebesar -90 mV pada keadaan istirahat. Potensial listrik ini
terbentuk karena adanya perbedaan konsentrasi ion natrium di dalam dan di
luar membran sel, dimana konsentrasi di luar membran ( 142 mEq/L) lebih
besar daripada di dalam membran sel ( 14 mEq/L), sementara konsentrasi
anionnya sama ( 150 mEq/L). Keadaan ini menyebabkan suasana di dalam
membran sel lebih negatif ketimbang di luar. Pada saat timbulnya rangsangan
terhadap sel syaraf ( baik rangsangan kimia, fisik maupun listrik ) membran
sel menjadi lebih permeabel terhadap ion natrium sehingga terjadi aliran ion
natrium dari luar ke dalam sel melalui kanal natrium. Hal ini menimbulkan
situasi dimana konsentrasi ion natrium di dalam membran sekarang menjadi
lebih besar ketimbang di luar membran sel dan menyebabkan potensial listrik
berubah dari -90mV menjadi +45mV. Perubahan ini disebut dengan peristiwa
depolarisasi. Impuls listrik inilah yang nantinya menghantarkan isyarat
sepanjang serabut syaraf.

Obat anestetik lokal berikatan dengan reseptor khusus di kanal natrium


sehingga menimbulkan blokade yang mencegah aliran natrium. Hal ini lebih
lanjut mencegah terjadinya perubahan potensial listrik yang artinya juga
mencegah timbulnya impuls listrik sehingga hantaran isyarat tidak terjadi.

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI


110
Sifat ideal yang diinginkan dari sebuah obat anestesik lokal :

1. Tidak mengiritasi

2. Tidak merusak jaringan saraf secara permanen.

3. Batas keamanan harus lebar

4. Mula kerja harus sesingkat mungkin, masa kerja harus cukup lama

5. Harus larut dalam air stabil dalam larutan

6. Dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.

7.

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

KEUNTUNGAN :

a. Kesadaran (+)

b. Gangguan fisiologis rendah

c. Angka morbiditas rendah

d. Penderita bisa pulang sendiri

e. Relatif mudah 

f. Tidak perlu tenaga tambahan

g. Biaya relatif kecil

h. Tidak perlu puasa

KERUGIAN :

Tidak dapat digunakan pada:

a. Penderita dengan rasa takut tinggi

b. Penderita yang tidak kooperatif (anak-anak, retardasi mental)

c. Jaringan yang mengalami peradangan akut

d. Penderita pecandu alkohol

e. Prosedur pembedahan yang luas

111
BAB III
PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat

 Gunting

 Pipet tetes

 Aplikator

 Stopwatch

 Bahan

 Kelinci dewasa dan sehat

 Larutan Lidocain HCl 2%

 Larutan Tetrakain

III.2 Prosedur Kerja

1. Gunting bulu mata kelinci, agar tidak mengganggu aplikator

2. Teteskan kedalam kantong kunjungtiva larutan anastetika lokal lidokain


0,5ml pada mata kanan dan larutan Tetrakain pada mata kiri

3. Tutup masing masing kelopak mata selama 1 menit

4. Catat ada atau tidaknya reflek mata setiap 5 menit, dengan menggunakan
aplikator tiap kali pada permukaan kornea.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Hewan Mata Obat yang diteteskan Pengamatan pada menit ke..

0 = Mata me-merah

5= Mata masih tertutup (+) Refleks

10= Mata terbuka (-) tidak merespon

15= Mata terbuka (-) tidak merespon


Kanan Lidocain
20= Mata terbuka (-) tidak merespon

30= Mata terbuka (-) tidak merespon

45= Sudah hilang efek lidokain (+)

60= Sangat merespon (+)


Kelinci
0 = merespon (+)

5= Mata terbuka (-) tidak merespon

10= Mata terbuka (-) tidak merespon

15= Mata terbuka (-) tidak merespon


Kiri Tetrakain TM
20= Mata terbuka (-) tidak merespon

30= Mata terbuka (-) tidak merespon

45= Sudah hilang efek prodokain (+)

60= merespon (+)


BAB V
PEMBAHASAN

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat
yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan anastesi permukaan dengan


menggunakan obat anastetik lokal yaitu Lidocain dan larutan Prokain  dan kelinci
sebagai hewan ujinya. Obat diteteskan kedalam kantong kunjungtiva larutan
anastetika lokal Lidokain 0,5ml pada mata kanan dan Prokain pada mata kiri.

Pada hasil pengamatan, pada mata kanan diteteskan lidocain mempunyai efek
anastetik lokal, efek obat mulai bekerja pada menit ke 10 dan efek Lidocain mulai
hilang pada menit ke 45. Sedangkan pada Tetrakain efek obat bekerja pada menit ke 5
dan hilang pada menit ke 45.

Lidokain merupakan derivate-asetanilida termasuk kelompok amida dan


merupakan obat pilihan utama untuk untuk anastesia permukaan ataupun filtrasi. Zat
ini digunakan pada selaput lendir dan kulit untuk nyeri,perasaan terbakar dan gatal.
Dibandingkan prokain, khasiatnya lebih kuat dan lebih cepat kerjanya ( setelah
beebrapa menit ) juga bertahan lebih lama.

Tetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat. Pada pemberian intravena,


zat ini 10 kali lebih aktif dan lebih toksik daripada prokain. Obat ini digunakan untuk
segala macam anestesia, untuk pemakaian topilak pada mata digunakan larutan
tetrakain 0.5%, untuk hidung dan tenggorok larutan 2%. Pada anestesia spinal, dosis
total 10-20mg. Tetrakain memerlukan dosis yang besar dan mula kerjanya lambat,
dimetabolisme lambat sehingga berpotensi toksik. Namun bila diperlukan masa kerja
yang panjang anestesia spinal, digunakan tetrakain.
BAB VI
KESIMPULAN

Pada dasarnya, anestesi terbagi dua menjadi anestesi lokal dan anestesi umum.
Akan tetapi, anestesi lokal lebih sering digunakan karena memiliki tingkat
keselamatan yang lebih tinggi daripada anestesi umum. Anestetik lokal ialah obat
yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf.

Salah satu contoh obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah lidokain.
Lidokain diberikan secara suntikan dan cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan
maupun saluran cerna. Dan sebagaimana obat yang memiliki kandungan zat kimia,
lidokain pun tak lepas dari efek samping, yang di antaranya adalah mengantuk,
pusing, parestesia, kedutan otot, gangguan mental, dan koma.

115
Pertanyaan

1. Jelaskan kokain sebagai anastetika lokal

Jawab: anestetikum dari kelompok ester ini berkhasiat vasokontriksi dan


bekerjanya lebih lama, mungkin karena merintangi re-uptake noradrenalin
di ujung neuron adrenergic sehingga kadarnya di daerah reseptor
meningkat. Selain itu , kokain juga memiliki efek simpatomimetik sentral
dan perifer.Daya kerja stimulasinya terhadap SSP (cortex) menimbulkan
beberapa gejala, seperti gelisah, ketegangan , konvulsi, eufori, dan
meningkatnya kapasitas dan tenaga sehingga tahan lama untuk bekerja
lama karena hilangnya perasaan lelah. Penggunaannya hanya untuk
anestesia permukaan pada pembedahan di hidung, tenggorok, telinga atau
mata. Penggunaannya sebagai tetes mata sudah di tinggalkan berhubung
resiko akan cacat kornea dan sifat midriasisnya. Penggunaannya yang
terlalu sering dengan konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan necrosis
(mati jaringan) akibat vasokontriksi setempat.

2. Jelaskan penggolongan kimia dari anastetika lokal

Jawab: Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut :

a. Senyawa ester

Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan
dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan
mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida.
Contohnya: tetrakain, benzokain, kokain, prokain dengan prokain
sebagai prototip.

b. Senyawa amida

Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan


prilokain.

c. Lainnya

Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran

3. Sebutkan anastetika lokal yang dapat digunakan sebagai anastetika


permukaan

Jawab: Kokain, Lidocain, Benzokain, Pramokain

4. Keburukan apa yang dapat terjadi bila permukaan kornea dianastesi untuk
periode waktu yang lama? Jelaskan!

Jawab: Kebutaan
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK ANESTETIKA LOKAL”
“METODE REGNIER”

[Type text]
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa
adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap
bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik
penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan
demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas
atau rasa dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls
saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu, anestesia
lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari
beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting
terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan semua
jaringan otot

I.2 Tujuan percobaan :

1. Mengenal tiga teknik (Anestesi permukaan, mukosa /metoda regnier,


konduksi) untuk menyebabkan anestesi lokal pada beberapa hewan
percobaan.
2. Memahami faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat
dan potensi anestetika lokal.
3. Mengenal berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anestetika lokal
4. Menghubungkan potensi kerja Anestetika lokal dengan manifestasi gejala
toksisitasnya serta pendekatan rasional untuk mengatasi toksisitas
anestetika.

I.3 Prinsip percobaan


Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon
refleks okuler (mata berkedip). Apabila mata di teteskan anestetika lokal,
refleks okuler timbul setelah beberapa kali kornea disentuh, sebanding dengan
kekuatan kerja anestetika dan besarnya sentuhan yang diberikan. Tidak adanya
refleks okuler setelah kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda adanya
anestesi total.

[Type text]
BAB II
DASAR TEORI

Anestetika lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Anestetika lokal
menghilangkan keterangsan dari organ akhir yang menghantarkan nyeri dan
menghilangkan kemungkinan pengahantaran dari serabut saraf sensibel secara bolak-
balik pada tempat tertentu sebagai akibat dari rasa sensasi nyeri hilang untuk
sementara hilang. Kerja Anestetika lokal pada ujung saraf sensorik tidak spesifik.
Hanya kepekaan berbagai struktur yang dirangsang berbeda. Misalnya, fungsi motorik
tidak terhenti dengan dosis umum untuk anestetika lokal terutama karena serabut saraf
motorik mempunyai diameter yang lebih besar daripada serabut sensorik.

Oleh karena itu efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter
serabut saraf maka mula-mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis
yang lebih besar serabut saraf motorik dihambat.

Cara Kerja

Mekanisme kerja anestetika lokal yang terkenal ialah bahwa obat ini
menurunkan ketelapan membran terhadap kation, khususnya ion Natrium.
Menurunnya ketelapan membrane mempunyai arti yang sama dengan suatu
penurunan keterangsangan termasuk juga pada konsentrasi anestetika local yang
tinggi tidak dapat terangsang sama sekali dan serabut saraf, karena suatu rangsang
hanya dapat terjadi atau dapat dihanmtarkan jika terjadi gangguan potensial istirahat
membran akibat suatu kenaikan mendadak dari ketelapan terhadap Natrium. Blokade
saluran ion, khususnya saluran Natrium, akibat anestetika local terjadi menurut
mekanisme berikut : semua anestetika local tersimpan dalam membran sel karena sifat
lipofilnya dan melalui ekspansi membrane yang tak spesifik menutup saluran
Natrium. Disamping itu pada anestetika lokal basa terjadi juga reaksi dengan reseptor
terjadi pada sisi dalam membran.

Sifat-sifat dari anestetika lokal yang ideal, yaitu :

- Tidak mengiritasi dan merusak jaringan saraf secara permanen.


- Toksisitas sistemisnya rendah.
- Efektif pada penyuntikan dan penggunaan lokal
- Mula kerja dan daya kerjanya singkat untuk jangka waktu yang lama.
- Larut dalam air dengan menghasilkan larutan yang stabil dan tahan pemanasan
(proses sterilisasi)

Metode Regnier

[Type text]
Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks
okuler (mata berkedip). Apabila mata di teteskan anestetika lokal, refleks okuler
timbul setelah beberapa kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja
anestetika dan besarnya sentuhan yang diberikan. Tidak adanya refleks okuler setelah
kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda adanya anestesi total.

[Type text]
BAB III
PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

* Alat *Bahan
- Gunting - Kelinci dewasa dan sehat
- Pipet tetes - Larutan Lidocain HCl 2%
- Aplikator - Larutan Tetracain 2%
- Stopwatch

III.2 Prosedur Kerja

1. Kelinci ditempatkan ke dalam kotaknya 1 jam sebelurn percobaan dimulai.


Gunting bulu matanya, kemudian periksa refleks normal dari ke dua
kornea dengan sentuhan misai secara tegak lurus.
2. Pada waktu t=0, teteskan 0,1 ml larutan obat yang akan diuji ke dalam
mata kelinci. Percobaan ini diulangi setelah 1 menit (gunakan stopwatch).
3. Pada menit ke 8, dengan bantuan misai diperiksa refleks mata, yaitu
dengan menyentuhkan misai tegak lurus dibagian tengah kornea sebanyak
100 kali dengan kecepatan yang sama. Jangan terlalu keras menyentuhnya
dan ritme harus diatur. Apabila sampai 100 x tidak ada refleks (kelopak
mata tettutup), maka dicatat angka 100 untuk repon negatif. Tetapi jika
sebelum 100 kali sudah ada refleks, maka yang dicatat adalah respon
negatif sebelum mencapai angka 100.
4. Perlakuan yang sama diulang pada menit-menit ke: 15; 20; 25; 30; 40; 50;
dan 60. Jika sebelum menit-menit yang ke 60 pada sentuhan pertama
sudah ada refleks, maka menit-menit yang tersisa diberi angka satu.
5. Setelah percobaan di atas selesai, mata sebelahnya diperlakukan seperti ad
4, tetapi hanya diteteskan larutan fisiologis.
6. Jumlah respon negatif disnuat dalam sebuah tabel dan dimulai dan menit
ke 8. Jumlah tersebut menunjukkan angka regnier. dimana anestesi lokal
rnencapai angka regnier 800. sedangkan angka regnier minimal angka 13.
7. Hitunglah/jumlahkan untuk waktu-waktu tertentu semua respon negatif.
Apabila pada sekali sentuhan teijadi refleks kornea, maka angka yang
dicatat adalah 1. Hitung angka rata-rata yang diberikan untuk masing-
masing larutan yang diperoleh pada 8 kali pemeriksaan refleks kornea.

[Type text]
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Obat Jumlah sentuhan memberi reflex berkedip pada mata di menit ke….
Hewan Mata yang di
0 8 15 20 25 30 40 50 60
berikan

Kanan Lidokain 9 sentuh 27 16 32 52 20 22 16 24


2% tidak sentuh sentuh sentuh sentuh sentuh sentuhan sentuhan
ada
0,5 ml kedipan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak sentuhan
ada ada ada ada ada ada ada
kedipan kedipan kedipan kedipan kedipan kedipan kedipan Tidak
ada
Kelinci kedipan

Kiri Tetrakain Berkedi 4 7 3 8 16 3 5


p sentuhan sentuhan sentuhan sentuhan sentuhan sentuhan sentuhan
0,5 ml berkedip Tidak
Tidak Tidak Tidak ada Tidak Tidak Tidak
ada ada ada kedipan ada ada ada
kedipan kedipan kedipan kedipan kedipan kedipan

[Type text]
BAB V
PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan, ternyata tetrakain memberikan efek anestetika lokal


cepat dan memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat jika dibandingkan prokain.
Berdasarkan teori, tetrakain berkhasiat sekitar 10 kali lebih kuat dari pada prokain,
akan tetapi juga 10 kali lebih toksik daripada prokain(Dinamika Obat,1999)

Maka hasil percobaan sesuai dengan teori bahwa tetrakain menimbulkan efek
anestetika cepat dan memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat dibandingkan lidokain .

[Type text]
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan

Terdapat beberapa macam obat anestetika lokal, masing-masing obat


memiliki kekuatan kerja dan toksisitas yang berbeda. Sebagai contoh
perbandingan antara tetrakain dan prokain, dimana tetrakain berkhasiat sekitar
10 kali lebih kuat daripada prokain akan tetapi juga 10 kali ltebih toksik
daripada prokain.

VI.2 Saran

Saya berharap, adanya suatu perpustakaan khusus farmakologi dan


makin ditingkatkan dalam menyediakan sarana dan prasarana dalam
laboratorium farmakologi.

[Type text]
Jawaban pertanyaan

1) Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat terjamin
khasiatnya?
2) Pada percobaan, mata kelinci harus terlindung dan cahaya langsung. jelaskan!
3) Sebutkan anestetika lokal mata yang digunakan, selain pada percobaan ini!

Jawab
1) Larutan obat mata harus dibuat isotonis dengan cairan mata, dosis dalam larutan obat
mata harus tepat/ sesuai, larutan obat mata harus steril, perhatikan cara penggunaan
larutan obat mata maka penggunaan harus diteteskan ke dalam kantong konyungtiva,
perhatikan pula toksisitas bahan obat, kebutuhan akan dapar, kebutuhan pengawet dan
sterilisasi.
2) karena cahaya dapat mempengaruhi reflek okuler mata kelinci, jadi mata kelinci harus
terlindung dari cahaya langsung sehingga benar-benar hanya sentuhan dari misai yang
yang mempengaruhi reflek okuler mata kelinci.
3) Mepivakain Hcl, Piperokain Hcl, Tetrakain, Prokain Hcl, Pilokain Hcl, Efineprin
bitartrat.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“ANASTESI KONDUKSI”
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau


lokade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang
transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.
Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf
secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.
Anestetik lokal menghilangkan penghantaran saraf ketika digunakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi tepat. Bekerja pada sebagian
Sistem Saraf Pusat (SSP)  dan setiap serabut saraf. Kerja anestetik lokal pada
ujung saraf sensorik tidak spesifik. Hanya kepekaan  berbagai struktur yang
dapat dirangsang berbeda. Serabut saraf motorik mempunyai diameter yang
lebih besar daripada serabut sensorik. Oleh karena itu, efek anestetika lokal
menurun dengan kenaikan diameter serabut saraf, maka mula-mula serabut
saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis lebih besar serabut saraf
motorik dihambat.

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mengenal tiga teknik untuk mencapai anestetika lokal pada


berbagai hewan percobaan
2. Memahami faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat
dan potensi anestetika lokal
3. Mengenal berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anestetika lokal
4. Dapat mengkaitkan daya kerja anestetika lokal dengan menifestasi gejala
keracunan serta pendekatan rasional untuk mengatasi keracunan

I.3 Prinsip Percobaan

Anastetika Konduksi adalah Anestetika local yang disuntikkan di


sekitar saraf tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini
diputuskan.
BAB II
DASAR TEORI

Anestesia konduksi (juga di sebut blockade-saraf perifer), yaitu injeksi di tulang


belakang pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf, hingga tercapai anesthesia dari suatu
daerah yang lebih luas, terutama pada operasi lengan atau kaki, juga bahu. Lagi pula
digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat. Pada anestesi konduksi, Anestetika lokal yang
di suntikan di sekitar saraf tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini
diputuskan. Bentuk khusus dari anestesi konduksi ini adalah anestesi spinal, anestesi epidural
dan anestesi kaudal.
BAB III
PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat
 Spuit 1 dan 3 ml
 Klem/Pinset ekor
 Silinder khusus mencit
 Timbangan
 Spidol
 Stopwatch
 Bahan
 Mencit jantan 3 ekor
 Tetracain
 NaCl Fisiologis
 Lidokain

III.2 Prosedur Kerja

1. Semua mencit dicoba dulu respon haffner (ekor mencit dijepit dan dilihat
angkat ekor atau menit bersuara) dan hanya dipilih hewan hewan yang
member respon haffner negatif, artinya hewan mengangkat ekor/bersuara
2. Hewan hewan dikelompokkan dan ditimbang dan diberi tanda
3. Mencit dimasukkan kedalam silinder (kotak penahan mencit) dan hanya
ekornya yang dikeluarkan. Jumlah silinder disesuaikan dengan jumlah
mencit dari satu kelompok
4. Ekor mencit kemudian dijepit pada jarak 0,5cm dari pangkal ekor.
Manifestasi rasa nyeri ditunjukkan dengan refleks gerakan tubuh mencit
atau dengan suara kesakitan. Respon demikian dicatat sebagai haffner
negatif.
5. Pada waktu t =0, masing masing mencit dari kelompok yang sama
disuntik. Pehacain divena ekor, kelompok control hanya disuntik larutan
pembawanya dengan cara penyuntikkan yang sama.
6. Setalah waktu t=10 menit, masing masing mencit diperiksa respon haffner;
dan selanjutnya dilakukan hal yang sama pada t=15 dan 20 menit. Hasil
pengamatan dicatat dalam sebuah tabel!
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Perhitungan Konfersi Mencit :

1. Mencit ke-1 (BB= 43,7 g)


Tetracain = 20 mg/ml

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,113 ml

2. Mencit ke-2 (BB= 35,5 g)


NaCl = 20 mg

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,0923 ml

3. Mencit ke-3 (BB= 40,5 g)


Lidocain = 20 mg/ml

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,1053 ml

Dosis Pemakaian pada mencit :

a. Mencit 1 : x 1 ml = 0,00565

Pengenceran 10 Kalinya
Tetracain : 0,00565 x 10 = 0,056 = 0,06 ml
NaCl ad 10 ml

b. Mencit 2 : x 1 ml = 0,0046
NaCl : 0,0046 x 10 = 0,046 = 0,05 ml

c. Mencit 3 : x 1 ml = 0,0052

Pengenceran 10 Kalinya
Lidocain : 0,0052 x 10 = 0,052 = 0,05 ml
NaCl ad 10 ml

Pengamatan:

Cara Respon Haffner pada waktu t= menit


Hewan Obat
pemberian
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Tetracain Iv + + + + + + + + + + + - -

Mencit NaCl Iv + + + + + + + + + + + + +

Lidocain Iv + + + + + + + + - - - - -

Keterangan :

(+) : Menandakan masih adanya respon

(-) : Menandakan sudah tidak ada respon (Sudah teranastesi)

PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan ternyata Lidocain memiliki efek anastesi yang lebih cepat.
Teknik pemberian anastesi konduksi disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju atau
injeksi tulang belakang, yaitu pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf hingga tercapai
anastesi dari suatu daerah yang lebih luas.

131
BAB VI
KESIMPULAN

Anestesi konduksi merupakan teknik anestetika lokal yang di suntikan di


sekitar saraf tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diputuskan.
Terdapat bermacam-macam obat anestesi yang dapat digunakan dengan teknik
anestesi konduksi, dimana masing-masing obat memiliki kekuatan kerja, toksisitas,
kecepatan absorpsi yang berbeda-beda. Lidocain adalah anastetik lokal yang kuat dan
lebih cepat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntik.
Anestesi konduksi (penyaluran saraf) yaitu dengan penyuntikan di suatu tempat
dimana banyak saraf terkumpul, sehingga mencapai anestesia dari suatu daerah yang
luas, misal pada pergelangan tangan atau kaki, juga untuk mengurangi nyeri yg hebat.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“ANASTESI LOKAL INFILTRASI”
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Anestesi infiltrasi adalah anestesi yang bertujuan untuk menimbulkan anestesi


ujung saraf melalui injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa dikulit dan jaringan yang terletak lebih dalam misalnya
daerah kecil dikulit atau gusi (pencabutan gigi).

Anastesi ini sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang
bawah. Mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasi anastesi infiltrasi pada anak-
anak cukup dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu kompak.

I.2 Tujuan Percobaan

a. Mengtahui aktivitas anestetika lokal suatu obat.


b. Mengetahui gejala-gejala terjadinya anestetika lokal yang ditimbulkan
oleh anestetika lokal infiltrasi.

I.3 Prinsip Percobaan

Obat anastetika lokal yang disuntikkan kedalam jaringan akan mengakibatkan


kehilangan sensasi pada struktur sekitarnya.

134
BAB II
DASAR TEORI

Teknik Anestesi

Ada dua teknik anestesi lokal yang memberikan hasil yang baik, yaitu blok
dan infiltrasi. Kedua cara ini masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.

1. Blok

Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi di area tertentu dimana saraf


yang mempersarafinya diblok agar rangsang nyeri tidak dilanjutkan. Jadi dengan
teknik blok, anestesi dilakukan di proksimal daerah operasi. Pada daerah
operasinya dapat juga ditambahkan anestesi infiltrasi.  Penguasaan anatomis
persarafan sangat penting diketahui. 

Keuntungan:

 Keberhasilan cukup tinggi

 Area yang teranestesi relatif bisa lebih luas dibandingkan dengan anestesi
infiltrasi

 Obat yang dipakai lebih sedikit sehingga menurunkan toksisitas

Kerugian

 Teknik lebih rumit

 Penyuntikan tergantung daerah operasi

 Tidak semua daerah operasi dapat dilakukan tindakan anestesi ini

 Cedera saraf permanen

2. Infiltrasi

Dilakukan penyuntikan di sekitar area operasi. Suntikan dilakukan di daerah


subkutis. Teknik yang berkembang saat ini adalah field blok,  yaitu menginfiltrasi
suatu area dengan terget operasi ditengahnya. Setelah seluruh pinggir area
diinfiltrasi, area tepat diatas insisi diinfiltrasi lagi.  Jarak antara pinggir daerah
yang diinfiltrasi dengan target operasi tidak melebihi 2 cm. Jika lebih maka
kemungkinan masih ada impuls saraf yang tidak terblok. Jika memang masa yang
akan operasi cukup besar, kemungkinan diperlukan infiltrasi beberapa lingkaran,

135
agar area yang diinfiltrasi menjadi luas. Kedalaman infiltrasi tergantung dari jenis
operasi. Jika masa yang diambil cukup dalam, maka perlu juga dilakukan infiltrasi
lebih dalam, bahkan sampai otot atau periosteum.

Teknik infiltrasi

1. Masukan jarum di salah satu sudut area operasi. 

2. Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari
kulit) sambil obat dikeluarkan.

3. Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarum dicabut sambil obat dikeluarkan.

4. Masukan jarum di sudut yang bersebrangan dengan sudut tadi

5. Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari
kulit) sambil obat dikeluarkan

6. Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarumdicabut sambil obat dikeluarkan.

7. Lanjutkan penyuntikan ketiga tepat diatas garis yang akan   diinsisi

8. Masase

9. Cek dengan menjepitkan pinset

Komplikasi Tindakan Anestesi

1. Hematom

Terjadi karena pecahnya pembuluh darah ketika anestesi yang kemudian


darah berkumpul di submukosa sehingga menimbulkan benjolan. Hematom ini
dapat terus membesar atau berhenti tergantung dari besarnya pembuluh darah
yang terkena. Pada pembuluh darah kecil biasanya hematom tidak membesar
karena platelet plug sudah cukup untuk menghentikan kebocoran tadi. Jika
terjadi hematom, kita evaluasi beberapa saat apakah hematom itu terus
membesar atau tetap. Jika terus membesar, kita harus berusaha mencari
pembuluh darah yang pecah dan mengikatnya kemudian membuang bekuan
darah yang terkumpul. Tetapi jika hematom tidak membesar  hanya diperlukan
membuang masa hematomnya saja.  

2. Udem

Disebabkan terlalu banyaknya obat anestesi yang diberikan sehingga obat


tersebut berkumpul dalam jaringan ikat longgar mukosa dan sub mukosa. Hal
ini akan mempersulit ketika melakukan penjahitan. Udem akibat anestesi ini
diabsorpsi dalam 24 jam

3. Syok Anafilaktik
136
Syok anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas type I. Terjadi
vasodilatasi perifer sehingga terjadi pengumpulan darah di perifer. Akibatnya
terjadi penurunan venous return sehingga cardiac output pun menurun. 

137
BAB III
PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat

 Gunting

 Pisau cukur

 Spuit 1 ml

 Spidol

 Peniti

 Bahan

 Kelinci dewasa dan sehat

 Larutan lidocain

III.2 Prosedur Kerja

1. Belah bulu punggung kelinci menjadi dua bagian, sisi kanan yang akan di
suntik larutan lidocain, dan sisi satunya sebagai blanko.

2. Gunting bulu kelinci pada kedua sisi punggungnya dan cukur hingga bersih
kulitnya (hindari terjadinya luka).

3. Buat daerah penyuntikkan dengan spidol dengan jarak minimal 3 cm

4. Uji getaran otot dengan memberikan sentuhan ringan pada daerah


penyuntikkan dengan peniti, setiap kali enam sentuhan

5. Suntikkan larutan diatas pada daerah penyuntikkan secara intrakutan

6. Lakukan uji getaran setelah penyuntikkan

7. Catat data pengamatannya!

138
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Getaran otot punggung kelinci


dengan 6sentuhan setiap kali
Bagian yang Obat yang Cara
Hewan dengan peniti pada
disuntiikan disuntikkan pemberian
waktu….menit setelah
pemberian obat

0= ++

5= +

10= -

15= -
Punggung kanan Lidocain IC
20= -

25= -

30= -

0= ++
Kelinci 5= ++

10= +

15= +

20= +
Punggung kiri NaCl IC
25= +

30= +

Keterangan :

139
-  Tidak ada respon

+  Mulai ada respon

++  Respon/nyeri

Jumlah pemberian obat:

- Lidocain = 0,06 ml dalam 2%

- NaCl = 0,2 ml dalam 0,9 %

140
BAB V
PEMBAHASAN

Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk
anestesi permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang
digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih
cepat, lebih kuat, lebih lama, dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh
prokain. Lidokain ialah obat anestesi lokal yang banyak digunakan dalam bidang
kedokteran oleh karena mempunyai efek kerja yang lebih cepat dan bekerja lebih
stabil dibandingkan dengan obat-obat anestesi lokal lainnya. Obat ini mempunyai
kemampuan untuk menghambat konduksi di sepanjang serabut saraf secara reversibel,
baik serabut saraf sensorik, motorik, maupun otonom. Kerja obat tersebut dapat
dipakai secara klinis untuk menyekat rasa sakit atau impuls vasokonstriktor menuju
daerah tubuh tertentu. Lidokain mampu melewati sawar darah otak dan diserap secara
cepat dari tempat injeksi. Dalam hepar, lidokain diubah menjadi metabolit yang lebih
larut dalam air dan disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari lidokain dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain tempat injeksi, dosis obat, adanya vasokonstriktor,
ikatan obat, jaringan, dan karakter fisikokimianya.

Pada percobaan kali ini, punggung kelinci bagian kanan disuntikkan obat
anastesi lidocain, punggung bagian kiri sebagai balnko disuntikkan obat NaCl,
berdasarkan data pengamatan lidocain lah yang mempunyai efek obat yang cepat
namun pada percobaan ini. Dan pada punggung kiri yang disuntikkkan NaCl tidak
memberikan efek anastesi sama sekali.

Pada percobaan kali ini mungkin dipengfaruhi dari factor biologis dan factor
eksternal hewan percobaan sehingga mempengaruhi efek kerja dan lama waktu kerja
obat tersebut. Seperti berat badan, cara menyuntikkan, lokasi penyuntikkan, dan
tingkat stress dari hewan percobaan tersebut.

141
BAB VI
KESIMPULAN

Anestesi Infiltrasi bertujuan untuk menimbulkan anestesi ujung saraf melalui


injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan
hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak lebih dalam, misalnya daerah kecil
di kulit atau gusi (pada pencabutan gigi).

142
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTI
KOLINERGIK PADA AIR LIUR”

143
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf
vegetatif, sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem
mengendalikan dan mengatur kesimbangan fungsi – fungsi intern tubuh yang
berada diluar pengaruh kesadaran dan kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas
serabut syaraf- syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi
jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, organ-organ dalam, otot- otot
polos. Meskipun tata penghantaran impuls syaraf di sistem syaraf pusat belum
diketahui secara sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi
menerima bahwa impuls syaraf dihantar oleh serabut syaraf melintasi
kebanyakan sinaps dan hubungan dengan neurofektor dengan pertolongan
senyawa-senyawa kimia khusus yang dikenal dengan istilah neurohumor-
transmitor. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf
otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya untuk meniru atau memodifikasi
aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf
otonom diganglion atau sel-sel (organ-organ) detektor.

I.2 Tujuan Percobaan

Mampu menjelaskan efek kholinergik dan anti kholinergik pada


kelnjar ludah

I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian zat kholinergik pada hewan percobaan menyebabkan


salivasi dan hipersalivasi, yang dapat diinhibisi oleh zat antikholinergik.
Eksperimen ini dapat digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi efek zat
kholinergik pada neuroefektor dan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang
dapat berfungsi sebagai antagonisme. Hewan yang dapat digunakan adalah
kelinci dan mencit.

144
BAB II
DASAR TEORI

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

 Oral : dimakan /diminum

 Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

 Rektal, Vaginal, Uretral

 Lokal, Topikal, Transdermal

 Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA

 Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

 Berat badan

 Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

 Ras : slow & fast acetylator

 Toleransi

 Obesitas

 Sensitivitas

 Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan

 Kehamilan

 Laktasi

 Circadian rhythm

145
BAB III
PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

 Alat
 Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
 Stopwatch
 Koran
 Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
 Sarung tangan & Masker
 Beaker Glass
 Corong
 Bahan
 Kapas
 Alkohol
 Atropine sulfas, Pilokarpin, fenobarbital
 Kelinci
 Aqua Pro Injeksi

III.2 Prosedur Kerja


Pengaruh obat otono pada kelenjar ludah
Sedasikan kelinci dengan fenobarbital secara IM, catat munculnya saliva
selama 5 menit, tampung dan ukur volume saliva. Suntikan atropin sulfat
secara IV denagan dosis 0,25 mg/kg BB. Catat munculnya saliva selama 5
menit, tampung dan ukur volume saliva.

146
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Data percobaan
Berat kelinci : 2,4 kg

Faktor konversi kelinci


Manusia ~ kelinci BB kelinci 1,5 kg ~ 0,07

Perhitungan dosis
 Phenobarbital
Rute pemberian : IV
BB kelinci 1,5kg 0,07
50mg/ml 0,07 × 50 mg/ml = 3,5 mg/ml

 Pilokarpine
Rute pemberian : IM

20 mg/ml 0,07 ×20 mg/ml = 1,4 mg/ml

 Atropin sulfas
Rute pemberian : IV
10 mg/ml 0,07 × 10 mg/ml = 0,7 mg/ml

147
=

Pengamatan

untuk kelinci dicatat saat pemberian obat, saat mulai berbagai efek , tipe-tipe efek
yang muncul, lama berlangsungnya efek.

HEWAN OBAT DOSIS WAKTU PENGAMATAN

Kelinci Phenobarbital 0,112 5 menit Normal, tenang

Kelinci pilokarpine 0,112 5 menit Mengeluarkan


saliva

Kelinci Atropin sulfas 0,112 8 menit Kembali normal


tidak lagi
mengeluarkan
saliva

148
BAB V
PEMBAHASAN

   Semakin besar bobot hewan percobaan, maka volume pemberian obat


semakin besar. Pilokarpin sebagai zat klinergik yang dapat meningkatkan sekresi
saliva. Atropin sebagai zat antikolinergik mampu menginhibisi hipersaliva pada
hewan percobaan. Semakin tinggi dosis atropin yang diberikan terhadap hewan
percobaan, semakin sedikit saliva yang dikeluarkan oleh hewan percobaan tersebut

149
BAB VI
KESIMPULAN

Pilokarpin dapat berkhasiat sebagai obat kholinergik karena dapat


menyebabkan efek saliva sedangkan atropin sulfas berkhasiat sebagai antikholinergik
karena dapat efek menghentikan efek saliva pada kelinci percobaan tersebut.

150
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTI
KOLINERGIK PADA MATA”

151
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif,
sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan
mengatur kesimbangan fungsi – fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh
kesadaran dan kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas serabut syaraf- syaraf,
ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah,
kelenjar-kelenjar, organ-organ dalam, otot- otot polos. Meskipun tata penghantaran
impuls syaraf di sistem syaraf pusat belum diketahui secara sempurna, namun ahli-
ahli farmakologi dan fisiologi menerima bahwa impuls syaraf dihantar oleh serabut
syaraf melintasi kebanyakan sinaps dan hubungan dengan neurofektor dengan
pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang dikenal dengan istilah neurohumor-
transmitor. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom,
bekerja berdasarkan kemampuannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas
neurohumor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom
diganglion atau sel-sel (organ-organ) detektor.

I.2 Tujuan Percobaan

Mampu menjelaskan efek kholinergik dan anti kholinergik pada kelnjar ludah

I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian zat kholinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan


hipersalivasi, yang dapat diinhibisi oleh zat antikholinergik. Eksperimen ini dapat
digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi efek zat kholinergik pada
neuroefektor dan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi sebagai
antagonisme. Hewan yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.

152
BAB II
DASAR TEORI

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

 Oral : dimakan /diminum

 Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

 Rektal, Vaginal, Uretral

 Lokal, Topikal, Transdermal

 Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA

 Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

 Berat badan

 Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

 Ras : slow & fast acetylator

 Toleransi

 Obesitas

 Sensitivitas

 Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan

 Kehamilan

 Laktasi

 Circadian rhythm

153
BAB III
PERCOBAAN

BAHAN DAN ALAT

Hewan Percobaan Kelinci

Obat dan Dosisnya Larutan pilokarpin HCl 3%

Larutan atropine sulfat 2%

Alat yang digunakan Pipet tetes; alat pengukur diameter pupil


mata ; senter

PROSEDUR

1. Siapkan kelinci
2. Amati, ukur dan catat diameter pupil mata pada cahaya suram dan pada
penyinaran dengan senter. Bandingkan
3. Teteskan :
Pada mata kiri Pilokarpin HCl 3% sebanyak 3 tetes
4. Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
5. Ukur diameter kornea mata kiri setelah 15 menit
6. Mata kiri terjadi miosis kuat, segera teteskan atropin sulfat 2% sebanyak 3 tetes
7. Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
8. Ukur kembali diameter masing-masing kornea mata.

154
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

PENGAMATAN

Diameter kornea mata Kelinci

Kelinci Cahaya suram Cahaya senter

Mata kanan 1,2cm 0,8cm

Mata kiri 1cm 0,7cm

Daerah Diameter kornea mata


Hewan pemberian Obat Keterangan
obat 0 5 10 15

Kelinci Mata kiri Pilokarpin HCl 3% 0,7cm 0,7cm 0,6cm 0,3cm Miosis Kuat

Atropin sulfat 2% 0,3cm 0,3cm 0,3cm 0,8cm Midriasis

155
BAB V
PEMBAHASAN

Percobaan ini yang digunakan hanya pada satu mata saja di karenakan ada satu
zat aktif yang tidak tersedia di laboratorium yaitu larutan fisostigmin, jadi yang kami
amati hanya larutan pilokarpin HCl 3% dan Atropin sulfat 2%, setelah diamati 15
menit pada masing-masing obat terjadi reaksi pada pupil mata, untuk pilokarpin HCl
3% bekerja sebagai kholinergik “miosis” dimana pupil mata mengecil, hasil
pengamatan pada pupil mata yang kami dapat selama 15 menit adalah 0,3cm. Atropin
Sulfat 2% bekerja sebagai Antikholinergik yaitu menimbulkan “midriasis” dimana
pupil mata menjadi membesar, pengamatan yang kami dapat pada atropin sulfat ini
adalah 0,8cm pada menit ke 15. Kedua obat ini bekerja antagonis atau berlawanan.
Jadi percobaan ini sesuai dengan teori yang ada, dimana pilokarpin bekerja sebagai
kholinergik dan atropin sebagai antikholinergik pada syaraf otonom.

156
BAB VI
KESIMPULAN

1. Pilokarpin merupakan obat kolinergik dan memberikan efek kolinergik


2. Atropine merupakan obat antikolinergik dan memberikan efek antikolinergik

157
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK OBAT PADA SALURAN CERNA”

158
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Tujuan Percobaan

Mengetahui sejauh mana aktivitas obat anti diare dapat menghambat diare
dengan metode uji antidiare yaitu metode transit intestinal.

I.2 Prinsip Percobaan

Aktivitas obat yang dapat memperlambat peristaltik usus dengan mengukur


rasio normal jarak yang ditempuh marker terhadap panjang usus sepenuhnya.

159
BAB II
DASAR TEORI

KONSTIPASI

Konstipasi adalah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras. Otot polos
usus yang lumpuh misalnya pada megakolon congenital dan gangguan refleks
defekasi (konstipasi habitual). Sedangkan obstipassi adalah kesulitan defekasi
karena adanya obstruksi intra / ekstra lumen usus, misalnya karsinoma kolon
sigmoid. Faktor penyebab konstipasi adalah psikis, misalnya akibat perubahan
kondisi kakus, perubahan kebiasaan defekasi pada anak, perubahan situasi
misalnya dalam perjalanan / gangguan emosi, misalnya pada keadaan depresi
mental - penyakit, misalnya hemoroid sebagai akibat kegagalan relaksasi sfingter
nyari, miksuden dan skletoderma, kelemahan otot punggung / abdomen pada
kehamilan multipar dan obat, misalnya opium, antikolinergik, penghambatan
ganglion, klonidin, antasida aluminium dan kalsium.
Mekanisme pencahar yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan,
karena kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kolon transport air
dan elektrolit, dapat dijelaskan antara lain:
1. Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat
massa konsistensi dan transit tinja bertambah.
2. Pencahar bekerja langsung ataupun tidak langsung terhadap mukosa kolon
dalam menurunkan (absorpsi) air dan NaCl, mungkin dengan mekanisme
seperti pada pencahar osmotik.
3. Pencahar dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya
absorpsi garam dan selanjutnya mengurangi waktu transit tinja.
Contoh obat pencahar adalah:
 Pencahar rangsang : minyak jarak
 Pencahar garam : magnesium sulfat
 Pencahar pembentuk massa : metil selulosa
 Pencahar emolien : paraffin cair

160
LAKSANSIA OSMOTIK

Karena air dapat diabsorpsi dengan mudah, maka tak dapat disunakan sebagai
laksansia. Akan tetapi jika ditambahkan garam yang sulit diabsorpsi, sesuai
dengan tekanan osmotik garam ini, pada penggunaan larutan normotoni, absorpsi
air dari usus akan diperkecil, sedangkan pada pemasukan larutan hipertoni, air
akan dibebaskan ke dalam lumen usus dan dengan demikian pengosongan feses
dalam jumlah besar dapat tercapai. Saat mulai kerja tergantung kepada jumlah dan
konsentrasi larutan garam : pada larutan hipertoni waktu relatif lama sampai air
cukup banyak yang masuk ke lumen usus sehingga pengosongan dapat dimulai
biasanya sekitar 10-12 jam. Pada larutan normotoni atau hipotoni, kerja sudah
mulai dalam waktu beberapa jam saja. Mengingat akibat bahaya dehidrasi, harus
dihindari larutan hipertoni.
Laksansia garam : magnesium sulfat ( garam pahit ) dan natrium sitrat ( garam
glauber), natrium fosfat dan natrium sitrat. Yang paling banyak digunakan adalah
garam pahit dan garam glauber. GARAM MAGNESIUM (MgSO4 = garam
inggris)
Obat yang termasuk didalam golongan laksansia osmotik mekanisme kerjanya
dalam usus berdasarkan penarikan air ( osmosis ) dari bahan makanan karena tiga
perempat dari dosis oral tidak diserap, akibatnya adalah pembesaran volume usus
dan meningkatnya peristaltik di usus halus dan usus besar di samping melunakkan
tinja.merupakan senyawa yang mudah diabsorpsi melalui usus kira-kira 15-30 %
dan diekskresikan melalui ginjal.  Dari dosis di serap oleh usus yang dapat
mengakibatkan  kadar magnesium dalam darah terlampau tinggi, khususnya bila
fungsi ginjal kurang baik. Oleh karena itu garam inggris jangan digunakan untuk
jangka waktu yang lama. Boleh digunakan selama kehamilan, obat ini masuk ke
dalam air susu ibu.

NaCl  FISIOLOGIK

161
Obat ini merupakan cairan yang isotonus terhadap cairan tubuh sehingga tidak
menghasilkan efek apa-apa. Biasanya digunakan untuk membandingkan efek yang
dihasilkan oleh suatu obat pada hewan percobaan. NaCl ini menghasilkan efek
yang tidak begitu berarti didalam tubuh serta penggunaannya tidak
dipermasalahkan.
Penyalahgunaan pencahar yang banyak terjadi dimasyarakat dengan alasan
menjaga kesehatan sama sekali tidak rasional karena akan menurunkan
sensitivitas mukosa, sehingga usus gagal bereaksi terhadap rangsangan fisiogik.
Penggunaan pencahar secara kronik dapat menyebabkan diare dengan akibat
kehilangan air dan gangguan keseimbangan elektrolit. Disamping itu dapat pula
terjadi kelemahan otot rangka, berat badan menurun dan paralisis otot palos.
Pengeluaran kalsium terlalu banyak dapat menimbulkan osteomalasia.

162
BAB III

PERCOBAAN

 Bahan danAlat
1. Tikus putih jantan
2. Larutan Pentobarbital Natrium 4%
3. Larutan magnesium sulfat 25%,3% dan 0,2%
4. Natrium klorida fisiologik
5. Spuit 1ml atau 2ml
6. Gunting benang steril
7. Kaca arloji
8. Pipet tetes
9. Kleenex
10. Jarum bedah

 Prosedur
1. Tikus dipuaskan makan selama 24 jam, minum tetap diberikan.
2. Tikus dibius dengan pentobarbital Na 40 mg/kg bb secarara ip.
3. Usus dipamerkan melalui toreahn ventral sagital, usus jangan sampai
terluka, selama pembedahan da percobaan usus harus basahi dengan
NaCI fisiologik.
4. Pada jarak sekitar 2,5 cm dari pilorus, ikat usus dengan benang steril
pada jarak lebih kurang 8 cm, hingga diperoleh tiga segmen terpisah.
Pengikatan jangan sampe menganggu aliran darah usus.
5. Suntikan berturut-turut kedalam segmen masing-masing larutan 1 ml
(MgSO4 25% NaCI 0,9 % dan MgSO4 0,2%)
6. Tempatkan kembali usus ke dalam rongga abdomen dan jahit kembali
otot dan kulit perut tikus. Basaahi terus jahitan dengan NaCI fisiologis.
7. Setelah 2 jam, buka jahitan dan isi tiap segmen usus dikeluarkan dan
catat volume yang diperoleh.

163
8. Tabelkan hasil-hasil eksperimen dan diskusikan pengaruh masing-
masing larutan terhadap retensi cairan.

164
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Perhitungan dan Dosis

Faktor konversi : Manusia –> Tikus, BB Tikus 200gram –> 0.018

 Perhitungan dosis Fenobarbital


Tara timbangan : 198.5
Berat tikus : 291

= 291- 198.5 = 92.5


= 92.5/200 x 0.9 = 0.416
= 0.416/50 x 1ml = 0.0083 ml
Diencerkan x10 = 0.08, karena ingin efek anestesi dix 2= 0.16
Jadi, fenobarbital yang disuntikan 0.16ml

 MgSO4 25%  = 25/100 X 50ML = 12.5 gram /50 ml


 MgSO4 0,2% = 0,2/100 X 1OOML = 0.2gram/100ml

165
BAB V
PEMBAHASAN

Di era yang serba modern ini, manusia sering di tuntut untuk dapat memenuhi
berbagai macam tugas sekaligus di waktu yang bersamaan. Hal ini berakibat pada
menurunnya waktu luang, diantaranya adalah waktu istirahat yang pendek sehingga
tidak jarang manusia modern sekarang lebih memilih untuk memilih makanan cepat
saji yang menfandung banyak karbohidrat, lemak, dan protein namun miskin serat.
Hal ini dapat memicu berbagai masalah kesehatan yang dapat berakibat fatal
dikemudian hari.

Masalah yang paling sering timbul dari kondisi kurang serat adalah konstipasi
dimana tubuh mengalami kesulitan defekasi tinja yang mengeras, otot polos yang
lumpuh atau masalah lainnya. Hal ini di perparah dengan kurangnya konsumsi air
putih dan olahraga. Sehingga sebagian orang menggunakan obat pencahar untuk
mengatasi masalah ini. Padahal penggunaan obat pencahar yang sembarangan dapat
merugikan si pengguna karena dapat menyebabkan ketergantungan, pendarahan anus,
gas berlebih pada saluran cerna dan efek lainnya.

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan efek garam pada saluran cerna
dan tikus sebagai hewan ujinya. Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu
dipuasakan selama 24 jam. Tikus disuntikkan secara ip dengan Pentobarbital 0.16 ml,
setelah itu tikus dibiarkan sampai tidak sadar. Kemudian tikus diletakan diatas kayu
dengan kondisi masing-masing kaki diikat, setelah itu dilakukan pembedahan pada
jarak 2.5cm dari piloris, usus diikat dengan benang steril pada jarak kurang lebih 8 cm
, hingga diperoleh tiga segmen terpisah.  Setelah itu disuntikan berturut-turut ke
dalam masing-masing segmen larutan 1ml ( mgso4 24%, nacl 0,9% dan mgso4 0,2%)
pada saat percobaan usus terus dibasahi dengan larutan Nacl fisiologik. Setelah selesai
disuntikan usus ditempatkan kembali pada rongga abdomen, pada jam 10.39 tikus
mulai dijait kembali dan terus dibasahi Nacl fisiologik,, pada jam 10.45 tikus sudah
selesai dijahit. Sebelum 2 jam setelah tikus dijahit , tikus tersebut MATI.

166
BAB VI

KESIMPULAN

Setelah dilihat dari prosedur kerjanya penyebab tikus tersebut mati adalah
peralatan yang kurang steril, terlalu banyak tangan yang melakukan proses
pembedahan tersebut dan usus tikus terlalu lama diluar badannya sehingga resiko
infeksi meningkat.

167
DAFTAR PUSTAKA

Bisono. Operasi Kecil. Jakarta: EGC. 2003.p. 24-29


Boulton TB, Colin EB. Anestesiologi. Jakarta: EGC; 1994.p.108-133
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : DEPKES RI

Dobron, Michael B. Penuntun Praktis anestesi.Jakarta: EGC. 1994.p. 89-103


Harvey, Richard A dan Champe, Pamela P.Farmakologi. Edisi IV.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran

Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: EGC, 1997


Karakata S, Bob Bachsinar. Bedah Minor. Edisi 2. Jakarta: Hipokrates; 1996

Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian    Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.97-104.
Raharhja, Drs Kirana dan Drs Tan Hoan Tjay. Obat – obat Penting. Edisi VI. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo

Sabiston. Buku Ajar Ilmu Bedah.bagian I. Jakarta: EGC. 1995.


Stringer, Janet L.Konsep Dasar Farmakologi.Edisi III. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran

Schrock TR. Ilmu Bedah. Edisi 7. Jakarta: EGC; 1995.p.113-119.


Sjamsuhidayat R, Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC:2004.p.247-253.
Syarif, Amin. dkk. Farmakologi dan Terapi. Jakarta. Gaya Baru. 2007

168

Anda mungkin juga menyukai