Disusun oleh:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga saya berhasil menyelesaikan laporan praktikum ini.
Diharapkan laporan praktikum ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Tiada
gading yang tak retak, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen saya yaitu Ibu Dra. Refdanita.,
M.Si., selaku Dosen Mata Kuliah Farmakologi dan pembimbing praktikum farmakologi yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusun laporan ini dengan baik.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Amin.
Penulis
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“CARA PEMBERIAN OBAT”
BAB I
PENDAHULUAN
DASAR TEORI
Rute pemberian obat salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari
rute pemberian obat.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk
sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika
obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang
bekerja setempat misalnya salep.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai
berikut:
8
e. Kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat
rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.
Intramuskular
Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang
lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat
dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel,
semakin cepat proses absorpsi).
a. Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di
otot pantat atau paha.
b. Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi
pembawa air untuk minyak.
c. Larutan sebaiknya isotonis.
d. Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
e. Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
f. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan.
g. Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot
dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain.
Subkutan
9
Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan
dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan,
menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes,
2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian
yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang
diberikan tidak lebih dari 1 ml.
a. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
b. Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
c. Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan
suspensi.
d. Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya
penyerapan.
e. Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke
dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di
jaringan dan membentuk abses.
f. Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v
g. Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise.
Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim,
1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang
dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di
metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.
10
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya
dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak
(Ansel, 1989).
Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per
oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah
usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada
pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke
seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna
antara lain:
1. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan
yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan
jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi
proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak.
3. Faktor Biologis
11
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran
cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya
pembuluh darah pada tempat absorpsi.
4. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.
Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak,
karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi
dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena
kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual
ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.
Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa
dilakukan saat pasien koma.
12
BAB III
PERCOBAAN
Alat
a. Kawat kandang
b. Alat suntik & Jarum Suntik
c. Sonde
d. Timbangan
e. Stopwatch
f. Spidol
g. Koran
h. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
i. Sarung tangan & Masker
j. Beaker Glass
Bahan
a. Kapas
b. Alkohol
c. Phenobarbital 50mg/ml
d. Tikus Putih Jantan 5 ekor
e. Aqua Pro Injeksi
III.2 Dosis
Factor konversi
Perhitungan Dosis
1.
Tikus 1 287g
287g - 197,5g = 89,5g x 0,9 mg/ml = 0,4 mg/ml
x 1ml = 0,008 ml
Pengenceran phenobarbital 10
ml
x 10 ml = 0,08 ml
2.
Tikus 2 319g
319g–197,5g = 121,5g x 0,9 ml = 0,5 ml
x 1 ml = 0,01 ml
14
3. Tikus 3
315g
315g–197,5g = 117,5g x 0,9 ml = 0,5 ml
x 1 ml = 0,01 ml
4. Tikus 4
293g
293g - 197,5g = 95,5 g x 0,9 ml = 0,4 ml
x 1 ml = 0,008 ml
Pengenceran phenobarbital 10
ml
x 10 ml = 0,08 ml
5. Tikus 5
298g
298g–197,5g =100,5 g x 0,9 ml = 0,4 ml
x 1 ml = 0,008 ml
Pengenceran phenobarbital 10
15
ml
x 10 ml = 0,08 ml
16
III.3 Prosedur Kerja
18
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
20
BAB V
PEMBAHASAN
Pada hasil percobaan, ini, kami memfokuskan pada rute pemberian obat. Hal ini
dimaksudkan untuk menguji apakah dengan merubah rute pemberian obat, suatu obat
dapat memberikan efek yang sama pada setiap individu. Hal ini penting mengingat
banyaknya jenis obat yang beredar dengan cara penggunaan yang berbeda beda untuk
menghasilkan efek yang berbeda pula. Dengan pengetahuan dasar ini diharapkan dapat
membantu dalam pemilihan jenis dan cara pemnggunaan obat sehinga hasil yang
diberikan menjadi maksimal.
Pada percobaan ini kami menggunakan tikus dengan berat badan yang berbeda-
beda untuk mendapatkan efek obat yang berbeda pula, hasil yang kami dapat jika
diurutkan dari yang tercepat hingga terlambat terlihat adalah rute pemberian obat dengan
cara intravena, intramuscular, intraperinoteal, subkutan, dan oral. Hal ini dikarenakan
rute pemberian obat secara intavena berhubungan dengan pembuluh darah langsung, oleh
karena itu rute pemberian ini cepat memberikan efek.
Selain itu faktor individual juga dapat mempengaruhi efek obat. Setiap orang
dapat memberikan respons yang berbeda terhadap suatu obat yang sama, hal ini
tergantung pada kepekaan masing-masing individu dalam menerima respon obat tersebut.
Perbedaan respons ini bisaberefek besar sekali, karena untuk setiap obat selalu ada
individu yang rentan, sehingga walaupun dengan dosis rendah sekali efek terapeutik
suatu obat sudah dapat terlihat jelas. Sebaliknya, ada pula individu yang hanya
memberikan efek dalam dosis yang amat tinggi. Hal ini menjadi dasar pertimbangan
mengapa dosis obat yang diberikan pada suatu pasien dengan hasil baik, namun tidak
berpengaruh pada pasien lain, meskipun kondisi tubuh dan dosisnya sama.
Hasil dari percobaan ini diketahui bahwa penggunaan rute secara intravena
adalah cara paling cepat bagi obat untuk dapat meberikan efek, hal ini didukung dengan
teori bahwa penggunaan obat secacra intravena dapat nghasilkan efek yang cepat karena
dengan cara ini obat dapat langsug berada pada peredaran darah tanpa perlu mengalami
proses absorbsi. Hal ini juga yang membedakan pemberian secara intravena dengan
pemberian dengan cara lain.
Penggunaan perorral dianggap paling aman, namun dengan reaksi yang paling
lambat jika dibandingkan dengan lainnya. Hal ini di sebabkan obat harus melewati
system gastroinstentinal sebelum akhirnya dapat doserap oleh pembuluh darah dan
diedarkan dalam tubuh.
22
BAB VI
KESIMPULAN
PENDAHULUAN
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja
obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme
akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi
tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim
metabolisme dan faktor-faktor lain.
Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal
Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi yang mempengaruhi respons
tubuh terhadap obat.
BAB II
DASAR TEORI
Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim
N-asetil transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh
lebih besar dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat
tergantung pada kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat
diekskresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat
mempunyai masa kerja pendek dan memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.
Pada asetilator lambat, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki
lebih besar, misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga
menunjukkan asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga berpengaruh
ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.
2. Perbedaan Spesies dan Galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang
cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies
dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi
metabolik atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan
kuantitatif.
Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata
berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek
27
androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat.
Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.
4. Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka
terhadap obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital,
bila diberikan pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan,
menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang
sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit.
Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang
pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk
metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru
lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung
enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan
memetabolisis kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi penumpukan obat pada
jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Bayi yang baru lahir
mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative sedikit.
Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan
neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi
pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan
hemoglobin dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis
terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
28
Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat
menghambat enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid,
sehingga menyebabkan kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan
isonizid, dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida,
sikloserin, dan para-amino salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah
meningkat dan meningkat pula toksisitasnya. Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat
menghambat metabolisme (S)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas
antikoagulannya (hipoprotrombonemi). Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.
7. Faktor Lain-Lain
Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting
secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif
terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan
menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas
individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari
pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran
yang relative pada efek-efek obat.
30
Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang
relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan
mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi
berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan
ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-
perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri
yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.
31
fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)
Faktor-faktor lain
Interaksi obat
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus
menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai
reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-
20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
32
Pengaruh lingkungan
Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah
pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang
diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang
mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien
apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu
tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan
seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan
dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga
mengoptimalkan proses penyembuhan.
33
BAB III
PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan
Alat
1) Kawat kandang
2) Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
3) Timbangan
4) Stopwatch
5) Spidol
6) Koran
7) Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8) Sarung tangan & Masker
9) Beaker Glass
Bahan
1) Kapas
2) Alkohol
3) Fenobarbital
4) Tikus Putih Jantan 3 ekor
5) Aqua Pro Injeksi
III.2 Prosedur Kerja
1. Tikus jantan putih ditimbang
2. Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
3. Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala
4. Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
5. Diamati kelakuan tikus setelah disuntikkan, catat waktu nya saat timbul efek dan
hilang efek. Lakukan hal yang sama pada tikus ke II dan III.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Setelah penyuntikan obat, masing-masing tikus ditempatkan dalam kadang dan amati
efeknya setelah 45 menit, catat waktu timbul setiap efek.
Sesuai dengan efek yang diamati, masing-masing tikus dikelompokkan sebagai berikut :
- Sangat resisten : tidak ada efek.
- Resisten : tikus tidak tidur, tetapi mengalami ataksia.
- Efek sesuai : tidak tidur, tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri.
- Peka : tidur, tidak tegak meskipun diberi rangsang nyeri.
- Sangat peka : mati.
Tikus 1 : BB : 309 g
Pengamatan
Hewan Obat Dosis CP Keterangan
Sebelum Sesudah
36
BAB V
PEMBAHASAN
Pada percobaan variasi biologi, dilakukan menggunakan tiga tikus jantan putih.
Obat yang digunakan adalah Phenobarbital dengan dosis 50mg/kgBB melalui
Interperitonial. Fenobarbital merupakan golongan obat hipnotik sedative yang
mempengaruhi syaraf pusat.
38
BAB VI
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi terhadap
dosis obat dengan rute pemberian obat yang diberikan kepada beberapa tikus.
Besarnya respon obat terhadap beberapa tikus berbeda-beda, faktor yang
mempengaruhinya adalah : usia, jenis kelamin, bobot badan, metabolisme tubuh, serta
makanan yang di berikan
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
PENDAHULUAN
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja
obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme
akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi
tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim
metabolisme dan faktor-faktor lain.
Untuk mengetahui pengaruh variasi kelamin terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal
Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi kelamin yang mempengaruhi respons
tubuh terhadap obat.
BAB II
DASAR TEORI
Berat badan
Toleransi
Obesitas
Sensitivitas
Kehamilan
Laktasi
Circadian rhythm
43
BAB III
PERCOBAAN
Alat
1) Kawat kandang
2) Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
3) Timbangan
4) Stopwatch
5) Spidol
6) Koran
7) Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8) Sarung tangan & Masker
9) Beaker Glass
10) Botol Kaca
Bahan
1) Kapas
2) Alkohol
3) Phenobarbital 50mg/ml
4) Mencit Putih Jantan 3 ekor
5) Mencit Putih Betina 3 ekor
6) Aqua Pro Injeksi
45
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Data percobaan :
= = 50 mg X 0,0026 = 0,13
BB = X 0,13 = 0,3 ml
= = 50 mg X 0,0026 = 0,13
BB = X 0,13 = 0,2 ml
47
Pengamatan
1. untuk tiap mencit dicatat saat pemberian obat, saat mulai berbagai efek , tipe-tipe efek
yang muncul, lama berlangsungnya efek.
10.25
memberi
efek
10.25
memberi
efek
BAB V
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan yang telah diamati ternyata kesimpulannya jenis kelamin
tidak terlalu berpengaruh terhadap kecepatan efek obat yang digunakan dalam percobaan
terhadap mencit, tetapi ada beberapa obat yang factor tersebut sangat berpengaruh pada
kecepatan efek obat terhadap mencit contohnya: obat golongan hormone (progesterone).
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
51
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sebagai mahasiswa farmasi sedah seharusnya kita mengetahui dosis suatu obat yang akan
diberikan kepada pasien. Dosis obat adalah jumlah atau ukuran yang diharapakan dapat
menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami gangguan. Tujuan dari
penetapan dosis obat ini adalah untuk mendapatkan efek terapeutis dari suatu obat. Hampir
semua obat pada dosis yang cukup besar menimbulkan efek toksik dan pada akhirnya dapat
mengakibatkan kematian. Hal yang menjadi latar belakang materi ini adalah agar kita
mengetaui kaitan atara peningkatan dosis terhadap respon yang diberikan.
Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang
diberikan juga ditingkatkan.
2. Indeks terapi
a. Yaitu perbandingan antara DE50 dan DL50 yaitu dosis yang menghasilkan efek pada
50% dari jumlah binatang dan dosis yang mematikan 50% dari jumlah binatang
52
BAB II
DASAR TEORI
Dosis dan respon pasien berhubungan erat dengan potensi relative farmakologis dan efikasi
maksimal obat dalam kaitannya dengan efak terapefik yang di harapkan. Adapun respon dosis
sangat dipengaruhi oleh :
3. Kondisi jantung.
Respon obat masing – masing individu berbeda – beda. Respon idiosinkratik biasanya
disebabakan oleh perbedaana genetic pada metabolism obat / mekanisme -mekanisme
munologik, termasuk rasa alergi. Empat mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan
merespon suatu obat:
Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung
dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis penigkatan respon menurun. Pada
akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Pada system ideal
atau system in vitro hubungan antara konsentrasi obat dan efek obat digambarkan dengan
kurva hiperbolik pada EC50, di mana E adalah efek yang diamati pada konsentrasi C,
Emaks adalah respons maksimal yang dapat dihasilkan oleh obat. EC50 adalah
konsentrasi obat yang menghasilkan 50% efek maksimal.
1. Efikasi (efficacy)
Efikasi adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi tergantung pada
jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang diaktifkan
dalam menghasilkan suatu kerja seluler.
2. Potensi
Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif, adalah suatu ukuran berapa
bannyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah
dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin poten obat
tersebut.Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50%
dari respon maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada
obat dengan ED50 yang lebih besar.
3. Slope kurva dosis-respons
54
Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang
curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu
perubahan yang besar. (Katzung, 1989)
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu (ED50) disebut juga dosis
terapi median. Dosis letal median adalah dosis yang emnimbulkan kematian pada 50%
individu , sedangkan TD50 adalah dosis toksik 50% (Ganiswara, 1995).
INDEKS TERAPI
Obat mempunyai respon farmasetik sepanjang masih adanya dosis obat yang
terkandung dalam obat dan berada dalam margin/ batas keamanan obat. Beberapa obat
mempunyai batas terapi yang luas. Ini menunjukkan bahwa pasien dapat diberikan
dengan range tingkat dosis yang lebar tanpa terjadi efek toksik. Obat lainnya mempunyai
55
batas terapi yang sempit dimana perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan
efek samping yang tidak diinginkan atau bahkan efek toksik ( Yesi, 2009 ).
Dosis yang memberikan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median
atau dosis efektif median ( ED 50 ). Dosis letal median ( LD 50 ) adalah dosis yang
menimbulkan kematian pada 50% individu, sedangkan TD 50 adalah dosis toksik pada
50% individu ( Departemen Farmakologik dan Terapeutik, 2007 ).
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan racun dengan
dosis yang menghasilkan respon klinis yang diinginkan atau efektif dalam populasi
individu.
Dimana: TD50 adalah dosis obat yang menyebabkan respon beracun di 50% dari
populasi dan ED50 adalah dosis terapi obat yang efektif dalam 50% dari populasi.
Baik ED50 dan TD50 dihitung dari kurva dosis respon quantal, yang merupakan
frekuensi yang masing-masing dosis obat memunculkan efek respon atau beracun yang
diinginkan dalam populasi.
Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan efek terapi (respon positif) dalam 50%
dari populasi adalah ED50 tersebut.
Dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek toksik di 50% dari populasi
dikaji adalah TD50 tersebut. Untuk studi hewan, LD50 adalah dosis yang dapat
menyebabkan kematian 50% dari populasi ( Guzman, 2011)
57
BAB III
PERCOBAAN
Alat
1) Kawat kandang
2) Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
3) Timbangan
4) Stopwatch
5) Spidol
6) Koran
7) Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8) Sarung tangan & Masker
9) Beaker Glass
10) Kapas
Bahan
1) Alkohol
2) Na. Tiopental larutan 0,35% dan 0,7%, dosis 35mg/kg bb
3) Mencit Putih Jantan bobot badan rata-rata 18-22 gr
4) Aqua Pro Injeksi
58
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
- Mencit 3: 38,9 g
Perhitungan dosis:
- Mencit 1
- Mencit 2
59
Volume yang di ambil: 0,19 ml
- Mencit 3
- Mencit 4
239,6 – 198,2 = 42 g
- Mencit 5 (Blanko)
Tabel Pengamatan :
60
detik
61
BAB V
PEMBAHASAN
Dilakukan pemberian secara intravena yaitu obat yang diinjeksikan melalui vena
pada ekor mencit menggunakan jarum. Mencit dimasukkan ke dalam wadah penahan
tertutup dengan ekornya menjulur ke luar. Ekor di celupkan ke dalam air hangat (40-
50oC) untuk mendilatasi vena guna mempermudah penyuntikkan (atau ekor dapat diusap
dengan alcohol). Dengan pemberian secara intravena ini diharapkan efek yang cukup
cepat, kerena langsung menembus membrane pembuluh darah dan masuk ke pembuluh
darah. Hewan uji diamati apakah timbul efek atau tidak. Timbulnya efek ditandai dengan
hilangnya reflek balik badan. Dipilih obat phenobarbital karena bersifat sedative sehingga
efek dapat diamati. Pada mencit ke 1 timbul efek dengan waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan hewan uji lainnya, karena dosis yang lebih tinggi. Pada dosis kecil
sangat lama untuk menimbulkan efek karena jumlah reseptor yang ada lebih banyak dari
jumlah obat sehingga efek timbul sangat lama. Dari data pengamatan dari kelompok kami
yang tidur atau menerima efek di semua mencit berbeda. Hal ini disebabkan karena
kadar biologis dan ketahanan mencit berbeda- beda terhadap obat dengan dosis
pemberian yang sama. Pada percobaan phenobarbital yang diberikan tidak mengalami
induksi enzim karena hanya sekali diberikan atau tidak berulang- ulang.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
PENDAHULUAN
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem
saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa
juga disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya.
Sistem saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang
belakang (medula spinalis).
Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak
spesifik misalnya hipnotik sedativ. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi
menjadi obat depresan saraf pusat yaitu anastetik umum, hipnotik sedativ, psikotropik,
antikonvulsi, analgetik, antipiretik, inflamasi, perangsang susunan saraf pusat.
Dalam percobaan ini mahasiswa farmasi diharapkan mampu untuk mengetahui dan
memahami bagaimana efek farmakologi obat depresan saraf pusat dimana dalam
percobaan ini mahasiswa mengamati anastetik umum dan hipnotik sedativ yang diujikan
pada hewan coba mencit (Mus musculus).
Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk
diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa
farmasi dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf
pusat. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya percobaan ini.
Obat obat kelompok barbiturate termasuk yang bekerja depresan umum, berarti
nekerja depresif terhadap sejumlah besar fungsi dan organ organ system tubuh, tidak terbatas
hanya pada system saraf pusat, sama halnya dengan anastetika umum dan anastetika lokal ,
efek barbiturate pun tidak spesifik, dan reversible. Manifestasi efek depresinya mungkin
sekali tidak didasarkan pada mekanisme kerja yang sama. Variasi dan substituent pada
molekul barbiturate berpengaruh pada daya larut obat obta ini dalam lemak, yang
mempengaruhi pula secara langsung kecepatan muncul efek, jangka waktu berlangsung efek,
kecepatan biotransformasi, redistribusi, jenis efek dan toksisitas senyawa barbiturate.
65
BAB II
DASAR TEORI
1. Analgesia
Kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria (rasa nyaman) yang
disertai impian-impian yang menyerupai halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida
memberikan analgesia yang baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental
tahap berikutnya.
2. Eksitasi
3. Anestesi
Pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur (pernapasan perut),
gerakan bola mata dan reflex bola mata hilang, otot lemas.
4. Pelumpuhan sumsum tulang
Efek anastetik ini pada mencit/tikus antara lain dapat dideteksi dengan Touch
respon, yaitu dengan menyentuh leher mencit atau tikus dengan suatu benda misalnya
pensil. Jika mencit tidak bereaksi maka mencit/tikus terpengaruh oleh anastetik.
Selain itu pasivitas juga dapat mengindikasikan pengaruh anastesi. Pasivitas yaitu
mengukur respon mencit bila diletakkan pada posisi yang tidak normal, misalnya
mencit yang normal akan menggerakkan kepala dan anggota badan lainnya dalam
usaha melarikan diri, kemudian hal yang sama tetapi dalam posisi berdiri, mencit
normal akan meronta-ronta. Mencit yang diam kemungkinan karena terpengaruh oleh
senyawa anastetik. Uji neurologik yang lain berkaitan dengan anastetik ialah uji
ringhting refles.
Hipnotik atau obat tidur (hypnos=tidur), adalah suatu senyawa yang bila
diberikan pada malam hari dalam dosis terapi, dapat mempertinggi keinginan
fisiologis normal untuk tidur, mempermudah dan menyebabkan tidur. Bila senyawa
ini diberikan untuk dosis yang lebih rendah pada siang hari dengan tujuan
menenangkan, maka disebut sedativa (obat pereda). Perbedaannya dengan
psikotropika ialah hipnotik-sedativ pada dosis yang benar akan menyebabkan
pembiusan total sedangkan psikotropika tidak. Persamaannya yaitu menyebabkan
ketagihan.
67
fungsi fisiologis ini. Pada waktu terjadi miosis, bronkokontriksi, sirkulasi darah
lambat, stimulasi peristaltik dan sekresi saluran cerna.
1. Tidur tenang : (Slow wafe, NREM = Non Rapid Eye Movement), (ortodoks) yang
berciri irama jantung, tekanan darah, pernapasan teratur, otot kendor tanpa
gerakan otot muka atau mata.
2. Tidur REM (Rapid Eye Movement) atau paradoksal, cirinya otak memperlihatkan
aktivitas listrik (EEG=Electro encephalogram), seperti pada orang dalam keadaan
bangun dan aktif, gerakan mata cepat. Jantung, tekanan darah dan pernapasan naik
turun naik, aliran darah ke otak bertambah, ereksi, mimpi.
Istilah anesthesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya
tidak ada rasa sakit. Anesthesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a. anesthesia lokal, yaitu hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran
b. anesthesia umum, yaitu hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. Anesthesia
yang dilakukan dahulu oleh orang Mesir menggunakan narkotik, orang Cina
menggunakanCanabis indica, dan pemukulan kepala dengan tongkat kayu untuk
menghilangkan kesadaran.
1. Benzodiazepine
2. Barbiturat
68
Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam sistem saraf pusat sama dengan
sistem saraf otonom. Misalnya transmisi informasi dalam sistem saraf pusat dan
perifer keduanya menyangkut lepasnya neurotransmitter yang melintas pada celah
sinaptik untuk kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron postsinaptik. Dalam
pengenalan neurotransmitter oleh membran reseptor neuron postsinaptik memberikan
perubahan intraseluler.
Pada sebagian besar sinaps sistem saraf pusat, reseptor tergabung dalam
saluran ion, mengikat neurotransmitter ke reseptor membran postsinaptik sehingga
dapat membuka saluran ion secara cepat dan sesaat. Saluran yang terbuka ini
kemungkinan ion didalam dan luar membran sel mengalir kearah konsentrasi yang
lebih kecil. Perubahan komposisi dibalik membran neuron akan mengubah potensial
postsinaptik, menghasilkan depolarisasi atau hiperpolarisasi membran postsinaptik,
yang tergantung pada ion tertentu yang bergerak dan arah dari gerakan itu.
a. Sekelompok neuron yang terlalu mudah dirangsang yang bekerja tanpa adanya
stimulus yang sesuai, misalnya gangguan kejang, terapi diarahkan pada pengurangan
otomatisitas sel – sel ini.
69
Norepinefrin
Dopamin
5-Hidroksitriptamin
Asetilkolin
Barbiturat
Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat
depresi dapat dicapai, mulaidari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek
antianseitas barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek
hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik.
Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek
anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital
untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat
yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.
Pada SSP
Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama
kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan
hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi
mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator.
70
menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat
sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat
menimbulkan depresi SSP yang berat.
Pada pernafasan
Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system
kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang
ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat
dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada
intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat
depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat
vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.
Farmakokinetik
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan
menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas
71
dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan
dalam lemak; tiopental yang terbesar.
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital,
setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan
menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang
kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir
sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus,
perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital
diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30
%) pada manusia. Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat
dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari
penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang
dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat golongan barbiturat.
Indikasi
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena
efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan
benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat
yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.
Tiopental
Fenobarbital
72
3. Untuk sedatif dan hipnotik
Kontra Indikasi
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati
atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada
penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari
yang terjadi pada penderita usia lanjut.
Efek Samping
73
BAB III
PERCOBAAN
4.1.1 PERHITUNGAN
A. TABEL KONVERSI
B. DOSIS
Dosis tikus :
Tabel Pengamatan
Hewan Waktu
Obat Dosis obat Pengamatan
Percobaan timbul efek
76
Efek hipnotika memasuki
02:00:00
fase anastesi
BAB V
PEMBAHASAN
77
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP)
yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau
kantuk, menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi
obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi
dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan
saraf lainnya didalam tubuh biasanya bekerja dibawah kesadaran atau kemauan.
Dalam percobaan ini praktikan dapat memahami obat-obat apa saja yang
merangsang atau bekerja pada sistem saraf pusat. Obat yang bekerja pada sistem saraf
pusat terbagi menjadi obat depresan saraf pusat, yaitu anastetik umum (memblokir
rasa sakit), hipnotik sedativ (menyebabkan tidur), psikotropik (menghilangkan rasa
sakit), opioid. Analgetik – antipiretik – antiinflamasi dan perangsang susunan saraf
pusat. Anastetik umum merupakan depresan SSP, dibedakan menjadi anastetik
inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anestetik menguap dan anestetik
parental. Pada percobaan hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik
menguap dan anastetik parental.
78
BAB V
KESIMPULAN
Seluruh sel-sel tubuh terendam dalam suatu cairan yang disebut cairan intestinal, yang
bertindak sebagai lingkungan dalam dari sel-sel. Oleh sebab itu volume dan komposisi
cairan intestial harus tetap dalam berad batas-batas yang tertentu agar sel-sel dapat
berfungsi dengan normal. Perubahan dari volume dan komposisi cairan nintestial dapat
menimbulkan kelainan fungsi tubuh. Kelainan volume cairan vaskuler akan menganggu
fungsi kardiovaskuler, sedang perubahan komposisi cairan intestitial akan menganggu
fungsi.
Terdapat banyak keadaan – keadaan yang dapat mengganggu volume dan komposisi
cairan tubuh tersebut, antara lain ingesti (pemasukan) air atau defripasi (hilangnya) air,
ingesti atau defrivasi elektrolit, kelebihan asam atau alkali, produk metabolisme atau
pemberian bahan-bahan toksik.
Jadi jelas harus terdapat suatu regulasi aktif untuk mempetahankan lingkungan agar
tetap konstan, terutama dalam menghadapi faktor yang dapat mengganggu kestabilan
volume dan komposisi cairan interistitial
2. Untuk mengetahui volume urin yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat
diuretik.
Penentuan efek farmakologi dari obat – obat diuretik yaitu furosemid terhadap tikus
yang setelah diberikan air per oral, berupa pengamatan terhadap frekwensi urinasi dan
volume urinasi setiap interval waktu 20 menit selama 3 jam.
BAB II
DASAR TEORI
Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih
banyak. Jika pada peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan
saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit). (Mutschler,1991)
Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh.
Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni
keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume
total dan susunan cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+,
yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah.
MEKANISME KERJA OBAT DIURETIK
1. Diuretik osmotic
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan
cara menghambat reabsorpsi bikarbonat.
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli
distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida.
84
Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid,
hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid,
siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli
distal dan duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi
natrium dan sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton)
atau secara langsung (triamteren dan amilorida).
5. Diuretik kuat
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian
asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport
elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam
etakrinat, furosemid dan bumetamid.
6. Xantin
Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulansianya paa fungsi
jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh
meningkatnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus. Namun semua
derivat xantin ini rupanya juga berefek langsung pada tubuli ginjal, yaitu
menyebabkan peningkatan ekskresi Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan yang
nyata pada perubahan urin. Efek diuresis ini hanya sedikit dipengaruhi oleh
keseimbangan asam-basa, tetapi mengalami potensiasi bila diberikan bersama
penghambat karbonik anhidrase.Diantara kelompok xantin, theofilin
memperlihatkan efek diuresis yang paling kuat.
TOKSISITAS DIURETIK
Pada pengobatan hipertensi, sebagian besar efek samping yang lazim terjadi
adalah deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak
pasien , hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis, pasien
dengan aritmia kronis, pada infarktus miokardium akut atau disfungsi ventrikel kiri.
Kehilangan kalium diimbangi dengan reabsorpsi natrium. Oleh karenanya
,pembatasan asupan natrium dapat meminimalkan kehilangan kalium. Diuretik
glukosa, dan peningkatan konsentrasi lemak serum. Diuretik dapat meningkatkan
konsentrasi uric acid dan menyebabkan terjadinya gout (pirai). Penggunaan dosis
rendah dapat meminimalkan efek metabolik yang tidak diinginkan tanpa mengganggu
efek antihipertensinya. (Katzung, 1986).
85
BAB III
PERCOBAAN
Alat
- Spuite 1 cc
- Kapas
- Timbangan tikus
- Sonde oral
- Gelas ukur
Bahan
- Furosemid Na 10 mg/ml
- Alkohol
- NaCl 0,9 %
1. Tikus dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I kelompok uji dan kelompok II adalah
3. Suntikan furosemid pada tikus kelompok pertama secara IP dengan dosis yang telah
di tentukan.
4. Suntikan NaCl 0,9 % pada tikus kelompok II sebagai kontrol, perhitungan sama
seperti furosemid.
5. Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam kandang khusus yang
didesain untuk mengumpulkan urine tanpa kontaminasi feses selama 3 jam.
6. Waktu mulai munculnya efek, frekuensi urinasi dan volume urin yang diekresikan
dicatat pada table.
7. Hitung presentase volume urin kumulatif selama 3 jam terhadap volume air yang
berikan secara oral.
87
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Perhitungan Dosis:
1. Diketahui : Furosemid 10 mg
KELOMPOK I
Tikus I
Tikus II
Tikus III
KELOMPOK II
Tikus I
Tikus II
Tikus III
Rumus % = vol urin yang dieksresikan dalam waktu 3 jam/ volume air yang diberi per
oral x 100 %
HASIL PENGAMATAN
89
BAB V
PEMBAHASAN
Tikus 1 diberi furosemid dengan dosis 0,5 mg/kgBB sedangkan tikus 2 diberi
furosemid dengan dosis 13,5 mg/kgBB. Sebelum diberi obat, tikus terlebih dahulu
diberi air hangat menggunakan sonde. Tujuan nya adalah untuk membantu
mempercepat atau memperbanyak urin yang dikeluarkan. Setelah masing- masing
tikus disuntikkan, tikus langsung dimasukkan ke sebuah tempat yaitu kandang
metabolisme. Masing – masing tikus diletakkan pada kandang yang berbeda.
Kemudian urine tersebut di tampung menggunakan gelas ukur. Setelah itu urin yang
telah ditambung menggunakan gelas ukur tersebut diukur dan dicatat berapa banyak
keluarnya. Masing – masing urin tikus diukur dengan selang waktu 20 menit selama 3
jam.
Dari hasil data pengamatan dapat ditarik kesimpulan bahwa tikus kesatu
presentase kumulatif urin yang dieksresikan lebih tinggi dari pada tikus kedua. Tetapi
berdasarkan jumlah konsentrasi dosis obat seharusnya tikus kedua lebih banyak
mengeluarkan urine dari pada. konsentrasi dosis obat untuk tikus kesatu, karena tikus
kedua diberikan dosis yang lebih besar maka dosis yang lebih besar berpengaruh
terhadap kerja obat didalam tubuh.
Setelah dilihat dari prosedur kerjanya pada tikus kedua ditemukan bahwa pada
saat penyuntikkan obat kepada tikus, tikus tersebut terus bergerak saat dipegang oleh
salah satu pratikan sehingga mengakibatkan pratikan yang bertugas menyuntikan obat
merasa takut dan pada waktu obat disuntikan ke tikus obat tidak masuk secara
maksimal. Karena obat tidak tersuntik secara maksimal dari jumlah obat yang
seharusnya disuntikkan maka efek dari obat tersebut tidak efektif, dan mengakibatkan
tikus kedua mengeluarkan urin lebih sedikit dari tikus kesatu. Dan kemungkinan lain
efek dari stressnya tikus menyebabkan efek dari obat tersebut tidak menunjukkan
keadaan yang seharusnya.
BAB VI
KESIMPULAN
1. Zat zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecahkan
ikatan S-S pada keratin kulit, sehingga bulu mudah rusak dan gugur
2. Zat-zat korosif bekerja dengan cara oksidasi, mengendapkan protein kulit,
sehingga kulit/membrane mukosa akan rusak.
3. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda
pula, karena koefisien partisi yang berbeda-beda dalam berbagai
pelarutdan juga karena permeabilitas kulit akan mempengaruhi penetrasi
fenol kedalam jaringan
4. Zat-zat yang bersifat adstringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan
protein, sehingga permeabilitas sel sel pada kulit/membran mukosa yang
dikenainya menjadi turun, dengan akibat menurunnya sensitivitas dibagian
tersebur.
BAB II
DASAR TEORI
Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak
jarang juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh. Berdasarkan efek obat yang
diberikan obat kepada tubuh, maka obat dibagi menjadi:
1. Obat yang berefek sistemik adalah obat yang memberi pengaruh pada tubuh yang
bersifat menyeluruh (sistemik) dan menggunakan sistem saraf sebagai perantara.
Obat ini akan bekerja jika senyawa obat yang ditentukan bertemu dengan reseptor
yang spesifik.
Anastetika lokal atau yang dikenal dengan zat penghilang rasa setempat adalah
obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf
ke SSP dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal,
rasa panas atau dingin.
Anastetika pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang diperoleh dari
daun suatu tumbuhan alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Setelah tahun 1892,
perkembangan anastetik meningkat pesat hingga ditemukan prokain dan benzokain,
dan derivat-derivat lainnya seperti tetrakain dan cinchokain.
Anastesi bekerja dengan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan
tranmisi impuls melalui sel saraf dan ujungnya. Anastetik lokal juga dapat
menghambat penerusan impuls dengan jalan menurunkan permeabilitas sel saraf
untuk ion natrium.
Beberapa kireteria yang harus dipenuhi suatu jenis obat yang digunakan sebagai
anestetika lokal
d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lender
e. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan dapat larut
dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pernapasan
(sterilisasi).
Transdermal merupakan salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan
farmasi/obat berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan
kulit, namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit
( trans = lewat, dermal = kulit)
Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa-senyawa
kaustik, misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas
atau uap pada saluran napas. Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada
sel-sel hidup.
a. Inhalasi, yaitu larutan obat disemprotkan ke dalam mulut atau hidung dengan alat
seperti : inhaler, nebulizeer atau aerosol.
b. Penggunaan obat pada mukosa seperti: mata, telinga, hidung, vagina, dengan obat
tetes, dsb.
96
BAB III
PERCOBAAN
Alat
Alat-alat bedah
Batang pengaduk
Kertas saring
Wadah kaca
Pipet tetes
Bahan
Veet Cream
Larutan fenol 5%
Gliserin
Etanol
Aquades
Minyak lemak
Larutan tannin 1%
III.2 Prosedur Kerja
2. Efek korosif
Sediakan juga potongan kulit tikus yang baru diambil dan direndam
selama 15 menit dalam cairan-cairan obat.
Rasakan sensasi yang terjadi, jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit,
segera jari diangkat dan dibilas dengan etanol
4. Efek astringen
98
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
- Usus mengkerut
100
Percobaan Bahan Percobaan Larutan obat Pengamatan
diberikan pada usus Sifat korosif Kerusakan pada jaringan
- Jaringan mati
Larutan raksa (II)
√ - Urat-urat tidak
klorida 5%
nampak
- - Kulit melunak
Korosif Kulit Tikus NaOH 20%
(ke Iritasi) - Kulit memerah
4. Efek Adstringen
Larutan obat Pengamatan ( Secara
Percobaan Bahan percobaan
dikumur pada mulut Teori)
Setelah kumur
kumur, dimulut
Efek adstringen Mulut untuk kumur Tannin 1% rasanya sepat,
mukosa mulut
menjadi terasa tebal.
102
BAB V
PEMBAHASAN
1. Reagen expired
2. Reagen kontaminasi
Pada pemberian Larutan K2S Diamati selama 30 menit, tidak gugur bulu
keseluruhan namun saat 10 s, bulu bulu halus ada sedikit yang rontok. Pada
pemberian Veet Cream 15 menit dioleskan ke kulit tikus, dan dapat di kerok dengan
mudah bulu-bulunya. Dari ketiga reagen disimpulkan untuk menggugurkan bulu
dengan mudah baiknya menggunakan Veet Cream, lalu NaOH kemudian K2S sebagai
urutan paling baik hingga kurang baik dalam menggugurkan bulu.
Pada pengujian efek korosif, beberapa hasil yang dapat diamati adalah:
Maka dapat disimpulkan bahwa HgCl2 merupakan reagen yang paling korosif
Pada pengujian efek lokal fenol 5%, hasil/efek yang ditimbulkan sangat
tergantung pada campuran yang digunakan. Berikut hasil yang diperoleh:
Larutan Fenol 5% dalam air menyebabkan : Jari tangan terasa panas, perih,
keriput dan berwarna putih setelah 3 menit
Larutan Fenol 5% dalam etanol menyebabkan: Terasa dingin diawal dan terasa
tebal setelah jari diangkat (5menit)
104
BAB VI
KESIMPULAN
105
PEMBAHASAN SOAL
1. Apakah ada perbedaan bau yang jelas dari obat-obat yang bersifat menggugurkan
bulu sebelum dan sesudah digunakan?
Jawab : Ada
2. Apakah mungkin suatu obat bekerja korosif tanpa menghilangkan bulu dan
sebaliknya?
Jawab : Hal itu mungkin saja terjadi, namun kemungkinannya hanya sedikit sekali.
Obat yang bekerja korosif akan mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/ membran
mukosa akan menjadi rusak. Hal juga akan berpengaruh pada organ rambut. Rambut
merupakan struktur protein yang kompleks, yang terdiri dari bermacam-macam jenis.
3. Sebutkan obat-obat lain yang mempunyai efek lokal lain dari yang telah dilakukan
eksperimen dari berbagai landasan kerja masing-masing.
Jawab: Argentum nitricum dan berbagai asam ( asam triklorasetat, asam laktat, asam
kromat).
4. Sebutkan menurut saudara beberapa persyaratan yang sebaiknya dipenuhi obat atau
sediaan farmasi untuk dapat digunakan sebagai obat berefek lokal agar menjamin
keamanan pemakainya!
Jawab: Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu dapat bersatu dengan kulit,
obat tersebut memiliki derajat kelarutan yang baik dalam minyak dan air yang penting
untuk efektivitas absorpsi perkutan, obat tersebut tidak menimbulkan toksik.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“ANASTESI LOKAL PERMUKAAN”
BAB I
PENDAHULUAN
Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat
yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.
Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf
ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin. Obat bius lokal mencegah
pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir.
Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi
konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek
yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan
semua jaringan otot
Anastetika lokal ialah obat yang mnghambat konduksi saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan
anastetika lokal seperti kokain dan ester ester asam para amino benzoate (PABA),
contoh prokain dan lidokain. Asastesi lokal permukaan tercapai ketika anastetika
lokal ditempatkan didaerah yang ingin dianastesi. Anastetika lokal diberikan dengan
berbagai teknik pemberian, seperti; anastesi permukaan, anastesi spinal, anastesi
mukosa.
BAB II
DASAR TEORI
1. Anestesi permukaan.
2. Anestesi Infiltrasi.
3. Anestesi Konduksi
Salah satu obat anastetika local dari golongan amida. Lidokain terdiri
dari satu gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang
dihubungkan suatu rantai perantara (jenis amid) dengan suatu gugus yang
mudah mengion (amin tersier). Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya
disediakan dalam bentuk garam agar lebih mudah larut dan stabil. Didalam
tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak bermuatan atau sebagai suatu
kation. Perbandingan relative dari dua bentuk ini ditentukan oleh harga pKa
nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbalch.3
Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif
terhadap prokain dan juga epinefrin. Biasanya Lidokain digunakan untuk
anestesi permukaan dalam bentuk salep, krim dan gel. Efek samping Lidokain
biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP misalnya kantuk, pusing,
paraestesia, gangguan mental, koma, dan seizure.
Cara Kerja
1. Tidak mengiritasi
4. Mula kerja harus sesingkat mungkin, masa kerja harus cukup lama
7.
KEUNTUNGAN :
a. Kesadaran (+)
b. Gangguan fisiologis rendah
c. Angka morbiditas rendah
d. Penderita bisa pulang sendiri
e. Relatif mudah
f. Tidak perlu tenaga tambahan
g. Biaya relatif kecil
h. Tidak perlu puasa
KERUGIAN :
Tidak dapat digunakan pada:
a. Penderita dengan rasa takut tinggi
b. Penderita yang tidak kooperatif (anak-anak, retardasi mental)
c. Jaringan yang mengalami peradangan akut
d. Penderita pecandu alkohol
e. Prosedur pembedahan yang luas
111
BAB III
PERCOBAAN
Alat
Gunting
Pipet tetes
Aplikator
Stopwatch
Bahan
Larutan Tetrakain
4. Catat ada atau tidaknya reflek mata setiap 5 menit, dengan menggunakan
aplikator tiap kali pada permukaan kornea.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
0 = Mata me-merah
Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat
yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.
Pada hasil pengamatan, pada mata kanan diteteskan lidocain mempunyai efek
anastetik lokal, efek obat mulai bekerja pada menit ke 10 dan efek Lidocain mulai
hilang pada menit ke 45. Sedangkan pada Tetrakain efek obat bekerja pada menit ke 5
dan hilang pada menit ke 45.
Pada dasarnya, anestesi terbagi dua menjadi anestesi lokal dan anestesi umum.
Akan tetapi, anestesi lokal lebih sering digunakan karena memiliki tingkat
keselamatan yang lebih tinggi daripada anestesi umum. Anestetik lokal ialah obat
yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada tiap bagian susunan saraf.
Salah satu contoh obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah lidokain.
Lidokain diberikan secara suntikan dan cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan
maupun saluran cerna. Dan sebagaimana obat yang memiliki kandungan zat kimia,
lidokain pun tak lepas dari efek samping, yang di antaranya adalah mengantuk,
pusing, parestesia, kedutan otot, gangguan mental, dan koma.
115
Pertanyaan
a. Senyawa ester
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan
dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan
mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida.
Contohnya: tetrakain, benzokain, kokain, prokain dengan prokain
sebagai prototip.
b. Senyawa amida
c. Lainnya
4. Keburukan apa yang dapat terjadi bila permukaan kornea dianastesi untuk
periode waktu yang lama? Jelaskan!
Jawab: Kebutaan
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK ANESTETIKA LOKAL”
“METODE REGNIER”
[Type text]
BAB I
PENDAHULUAN
Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa
adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap
bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik
penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan
demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas
atau rasa dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls
saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu, anestesia
lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari
beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting
terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan semua
jaringan otot
[Type text]
BAB II
DASAR TEORI
Anestetika lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Anestetika lokal
menghilangkan keterangsan dari organ akhir yang menghantarkan nyeri dan
menghilangkan kemungkinan pengahantaran dari serabut saraf sensibel secara bolak-
balik pada tempat tertentu sebagai akibat dari rasa sensasi nyeri hilang untuk
sementara hilang. Kerja Anestetika lokal pada ujung saraf sensorik tidak spesifik.
Hanya kepekaan berbagai struktur yang dirangsang berbeda. Misalnya, fungsi motorik
tidak terhenti dengan dosis umum untuk anestetika lokal terutama karena serabut saraf
motorik mempunyai diameter yang lebih besar daripada serabut sensorik.
Oleh karena itu efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter
serabut saraf maka mula-mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis
yang lebih besar serabut saraf motorik dihambat.
Cara Kerja
Mekanisme kerja anestetika lokal yang terkenal ialah bahwa obat ini
menurunkan ketelapan membran terhadap kation, khususnya ion Natrium.
Menurunnya ketelapan membrane mempunyai arti yang sama dengan suatu
penurunan keterangsangan termasuk juga pada konsentrasi anestetika local yang
tinggi tidak dapat terangsang sama sekali dan serabut saraf, karena suatu rangsang
hanya dapat terjadi atau dapat dihanmtarkan jika terjadi gangguan potensial istirahat
membran akibat suatu kenaikan mendadak dari ketelapan terhadap Natrium. Blokade
saluran ion, khususnya saluran Natrium, akibat anestetika local terjadi menurut
mekanisme berikut : semua anestetika local tersimpan dalam membran sel karena sifat
lipofilnya dan melalui ekspansi membrane yang tak spesifik menutup saluran
Natrium. Disamping itu pada anestetika lokal basa terjadi juga reaksi dengan reseptor
terjadi pada sisi dalam membran.
Metode Regnier
[Type text]
Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks
okuler (mata berkedip). Apabila mata di teteskan anestetika lokal, refleks okuler
timbul setelah beberapa kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja
anestetika dan besarnya sentuhan yang diberikan. Tidak adanya refleks okuler setelah
kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda adanya anestesi total.
[Type text]
BAB III
PERCOBAAN
* Alat *Bahan
- Gunting - Kelinci dewasa dan sehat
- Pipet tetes - Larutan Lidocain HCl 2%
- Aplikator - Larutan Tetracain 2%
- Stopwatch
[Type text]
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Obat Jumlah sentuhan memberi reflex berkedip pada mata di menit ke….
Hewan Mata yang di
0 8 15 20 25 30 40 50 60
berikan
[Type text]
BAB V
PEMBAHASAN
Maka hasil percobaan sesuai dengan teori bahwa tetrakain menimbulkan efek
anestetika cepat dan memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat dibandingkan lidokain .
[Type text]
BAB VI
VI.1 Kesimpulan
VI.2 Saran
[Type text]
Jawaban pertanyaan
1) Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat terjamin
khasiatnya?
2) Pada percobaan, mata kelinci harus terlindung dan cahaya langsung. jelaskan!
3) Sebutkan anestetika lokal mata yang digunakan, selain pada percobaan ini!
Jawab
1) Larutan obat mata harus dibuat isotonis dengan cairan mata, dosis dalam larutan obat
mata harus tepat/ sesuai, larutan obat mata harus steril, perhatikan cara penggunaan
larutan obat mata maka penggunaan harus diteteskan ke dalam kantong konyungtiva,
perhatikan pula toksisitas bahan obat, kebutuhan akan dapar, kebutuhan pengawet dan
sterilisasi.
2) karena cahaya dapat mempengaruhi reflek okuler mata kelinci, jadi mata kelinci harus
terlindung dari cahaya langsung sehingga benar-benar hanya sentuhan dari misai yang
yang mempengaruhi reflek okuler mata kelinci.
3) Mepivakain Hcl, Piperokain Hcl, Tetrakain, Prokain Hcl, Pilokain Hcl, Efineprin
bitartrat.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“ANASTESI KONDUKSI”
BAB I
PENDAHULUAN
Alat
Spuit 1 dan 3 ml
Klem/Pinset ekor
Silinder khusus mencit
Timbangan
Spidol
Stopwatch
Bahan
Mencit jantan 3 ekor
Tetracain
NaCl Fisiologis
Lidokain
1. Semua mencit dicoba dulu respon haffner (ekor mencit dijepit dan dilihat
angkat ekor atau menit bersuara) dan hanya dipilih hewan hewan yang
member respon haffner negatif, artinya hewan mengangkat ekor/bersuara
2. Hewan hewan dikelompokkan dan ditimbang dan diberi tanda
3. Mencit dimasukkan kedalam silinder (kotak penahan mencit) dan hanya
ekornya yang dikeluarkan. Jumlah silinder disesuaikan dengan jumlah
mencit dari satu kelompok
4. Ekor mencit kemudian dijepit pada jarak 0,5cm dari pangkal ekor.
Manifestasi rasa nyeri ditunjukkan dengan refleks gerakan tubuh mencit
atau dengan suara kesakitan. Respon demikian dicatat sebagai haffner
negatif.
5. Pada waktu t =0, masing masing mencit dari kelompok yang sama
disuntik. Pehacain divena ekor, kelompok control hanya disuntik larutan
pembawanya dengan cara penyuntikkan yang sama.
6. Setalah waktu t=10 menit, masing masing mencit diperiksa respon haffner;
dan selanjutnya dilakukan hal yang sama pada t=15 dan 20 menit. Hasil
pengamatan dicatat dalam sebuah tabel!
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
x 0,0026 = 0,052 mg
x 0,052 mg = 0,113 ml
x 0,0026 = 0,052 mg
x 0,052 mg = 0,0923 ml
x 0,0026 = 0,052 mg
x 0,052 mg = 0,1053 ml
a. Mencit 1 : x 1 ml = 0,00565
Pengenceran 10 Kalinya
Tetracain : 0,00565 x 10 = 0,056 = 0,06 ml
NaCl ad 10 ml
b. Mencit 2 : x 1 ml = 0,0046
NaCl : 0,0046 x 10 = 0,046 = 0,05 ml
c. Mencit 3 : x 1 ml = 0,0052
Pengenceran 10 Kalinya
Lidocain : 0,0052 x 10 = 0,052 = 0,05 ml
NaCl ad 10 ml
Pengamatan:
Tetracain Iv + + + + + + + + + + + - -
Mencit NaCl Iv + + + + + + + + + + + + +
Lidocain Iv + + + + + + + + - - - - -
Keterangan :
PEMBAHASAN
Dari hasil percobaan ternyata Lidocain memiliki efek anastesi yang lebih cepat.
Teknik pemberian anastesi konduksi disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju atau
injeksi tulang belakang, yaitu pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf hingga tercapai
anastesi dari suatu daerah yang lebih luas.
131
BAB VI
KESIMPULAN
Anastesi ini sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang
bawah. Mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasi anastesi infiltrasi pada anak-
anak cukup dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu kompak.
134
BAB II
DASAR TEORI
Teknik Anestesi
Ada dua teknik anestesi lokal yang memberikan hasil yang baik, yaitu blok
dan infiltrasi. Kedua cara ini masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.
1. Blok
Keuntungan:
Area yang teranestesi relatif bisa lebih luas dibandingkan dengan anestesi
infiltrasi
Kerugian
2. Infiltrasi
135
agar area yang diinfiltrasi menjadi luas. Kedalaman infiltrasi tergantung dari jenis
operasi. Jika masa yang diambil cukup dalam, maka perlu juga dilakukan infiltrasi
lebih dalam, bahkan sampai otot atau periosteum.
Teknik infiltrasi
2. Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari
kulit) sambil obat dikeluarkan.
3. Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarum dicabut sambil obat dikeluarkan.
5. Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari
kulit) sambil obat dikeluarkan
8. Masase
1. Hematom
2. Udem
3. Syok Anafilaktik
136
Syok anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas type I. Terjadi
vasodilatasi perifer sehingga terjadi pengumpulan darah di perifer. Akibatnya
terjadi penurunan venous return sehingga cardiac output pun menurun.
137
BAB III
PERCOBAAN
Alat
Gunting
Pisau cukur
Spuit 1 ml
Spidol
Peniti
Bahan
Larutan lidocain
1. Belah bulu punggung kelinci menjadi dua bagian, sisi kanan yang akan di
suntik larutan lidocain, dan sisi satunya sebagai blanko.
2. Gunting bulu kelinci pada kedua sisi punggungnya dan cukur hingga bersih
kulitnya (hindari terjadinya luka).
138
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
0= ++
5= +
10= -
15= -
Punggung kanan Lidocain IC
20= -
25= -
30= -
0= ++
Kelinci 5= ++
10= +
15= +
20= +
Punggung kiri NaCl IC
25= +
30= +
Keterangan :
139
- Tidak ada respon
++ Respon/nyeri
140
BAB V
PEMBAHASAN
Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk
anestesi permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang
digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih
cepat, lebih kuat, lebih lama, dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh
prokain. Lidokain ialah obat anestesi lokal yang banyak digunakan dalam bidang
kedokteran oleh karena mempunyai efek kerja yang lebih cepat dan bekerja lebih
stabil dibandingkan dengan obat-obat anestesi lokal lainnya. Obat ini mempunyai
kemampuan untuk menghambat konduksi di sepanjang serabut saraf secara reversibel,
baik serabut saraf sensorik, motorik, maupun otonom. Kerja obat tersebut dapat
dipakai secara klinis untuk menyekat rasa sakit atau impuls vasokonstriktor menuju
daerah tubuh tertentu. Lidokain mampu melewati sawar darah otak dan diserap secara
cepat dari tempat injeksi. Dalam hepar, lidokain diubah menjadi metabolit yang lebih
larut dalam air dan disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari lidokain dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain tempat injeksi, dosis obat, adanya vasokonstriktor,
ikatan obat, jaringan, dan karakter fisikokimianya.
Pada percobaan kali ini, punggung kelinci bagian kanan disuntikkan obat
anastesi lidocain, punggung bagian kiri sebagai balnko disuntikkan obat NaCl,
berdasarkan data pengamatan lidocain lah yang mempunyai efek obat yang cepat
namun pada percobaan ini. Dan pada punggung kiri yang disuntikkkan NaCl tidak
memberikan efek anastesi sama sekali.
Pada percobaan kali ini mungkin dipengfaruhi dari factor biologis dan factor
eksternal hewan percobaan sehingga mempengaruhi efek kerja dan lama waktu kerja
obat tersebut. Seperti berat badan, cara menyuntikkan, lokasi penyuntikkan, dan
tingkat stress dari hewan percobaan tersebut.
141
BAB VI
KESIMPULAN
142
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTI
KOLINERGIK PADA AIR LIUR”
143
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf
vegetatif, sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem
mengendalikan dan mengatur kesimbangan fungsi – fungsi intern tubuh yang
berada diluar pengaruh kesadaran dan kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas
serabut syaraf- syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi
jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, organ-organ dalam, otot- otot
polos. Meskipun tata penghantaran impuls syaraf di sistem syaraf pusat belum
diketahui secara sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi
menerima bahwa impuls syaraf dihantar oleh serabut syaraf melintasi
kebanyakan sinaps dan hubungan dengan neurofektor dengan pertolongan
senyawa-senyawa kimia khusus yang dikenal dengan istilah neurohumor-
transmitor. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf
otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya untuk meniru atau memodifikasi
aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf
otonom diganglion atau sel-sel (organ-organ) detektor.
144
BAB II
DASAR TEORI
Berat badan
Toleransi
Obesitas
Sensitivitas
Kehamilan
Laktasi
Circadian rhythm
145
BAB III
PERCOBAAN
Alat
Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
Stopwatch
Koran
Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
Sarung tangan & Masker
Beaker Glass
Corong
Bahan
Kapas
Alkohol
Atropine sulfas, Pilokarpin, fenobarbital
Kelinci
Aqua Pro Injeksi
146
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
Data percobaan
Berat kelinci : 2,4 kg
Perhitungan dosis
Phenobarbital
Rute pemberian : IV
BB kelinci 1,5kg 0,07
50mg/ml 0,07 × 50 mg/ml = 3,5 mg/ml
Pilokarpine
Rute pemberian : IM
Atropin sulfas
Rute pemberian : IV
10 mg/ml 0,07 × 10 mg/ml = 0,7 mg/ml
147
=
Pengamatan
untuk kelinci dicatat saat pemberian obat, saat mulai berbagai efek , tipe-tipe efek
yang muncul, lama berlangsungnya efek.
148
BAB V
PEMBAHASAN
149
BAB VI
KESIMPULAN
150
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTI
KOLINERGIK PADA MATA”
151
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif,
sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan
mengatur kesimbangan fungsi – fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh
kesadaran dan kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas serabut syaraf- syaraf,
ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah,
kelenjar-kelenjar, organ-organ dalam, otot- otot polos. Meskipun tata penghantaran
impuls syaraf di sistem syaraf pusat belum diketahui secara sempurna, namun ahli-
ahli farmakologi dan fisiologi menerima bahwa impuls syaraf dihantar oleh serabut
syaraf melintasi kebanyakan sinaps dan hubungan dengan neurofektor dengan
pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang dikenal dengan istilah neurohumor-
transmitor. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom,
bekerja berdasarkan kemampuannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas
neurohumor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom
diganglion atau sel-sel (organ-organ) detektor.
Mampu menjelaskan efek kholinergik dan anti kholinergik pada kelnjar ludah
152
BAB II
DASAR TEORI
Berat badan
Toleransi
Obesitas
Sensitivitas
Kehamilan
Laktasi
Circadian rhythm
153
BAB III
PERCOBAAN
PROSEDUR
1. Siapkan kelinci
2. Amati, ukur dan catat diameter pupil mata pada cahaya suram dan pada
penyinaran dengan senter. Bandingkan
3. Teteskan :
Pada mata kiri Pilokarpin HCl 3% sebanyak 3 tetes
4. Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
5. Ukur diameter kornea mata kiri setelah 15 menit
6. Mata kiri terjadi miosis kuat, segera teteskan atropin sulfat 2% sebanyak 3 tetes
7. Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
8. Ukur kembali diameter masing-masing kornea mata.
154
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
PENGAMATAN
Kelinci Mata kiri Pilokarpin HCl 3% 0,7cm 0,7cm 0,6cm 0,3cm Miosis Kuat
155
BAB V
PEMBAHASAN
Percobaan ini yang digunakan hanya pada satu mata saja di karenakan ada satu
zat aktif yang tidak tersedia di laboratorium yaitu larutan fisostigmin, jadi yang kami
amati hanya larutan pilokarpin HCl 3% dan Atropin sulfat 2%, setelah diamati 15
menit pada masing-masing obat terjadi reaksi pada pupil mata, untuk pilokarpin HCl
3% bekerja sebagai kholinergik “miosis” dimana pupil mata mengecil, hasil
pengamatan pada pupil mata yang kami dapat selama 15 menit adalah 0,3cm. Atropin
Sulfat 2% bekerja sebagai Antikholinergik yaitu menimbulkan “midriasis” dimana
pupil mata menjadi membesar, pengamatan yang kami dapat pada atropin sulfat ini
adalah 0,8cm pada menit ke 15. Kedua obat ini bekerja antagonis atau berlawanan.
Jadi percobaan ini sesuai dengan teori yang ada, dimana pilokarpin bekerja sebagai
kholinergik dan atropin sebagai antikholinergik pada syaraf otonom.
156
BAB VI
KESIMPULAN
157
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
“EFEK OBAT PADA SALURAN CERNA”
158
BAB I
PENDAHULUAN
Mengetahui sejauh mana aktivitas obat anti diare dapat menghambat diare
dengan metode uji antidiare yaitu metode transit intestinal.
159
BAB II
DASAR TEORI
KONSTIPASI
Konstipasi adalah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras. Otot polos
usus yang lumpuh misalnya pada megakolon congenital dan gangguan refleks
defekasi (konstipasi habitual). Sedangkan obstipassi adalah kesulitan defekasi
karena adanya obstruksi intra / ekstra lumen usus, misalnya karsinoma kolon
sigmoid. Faktor penyebab konstipasi adalah psikis, misalnya akibat perubahan
kondisi kakus, perubahan kebiasaan defekasi pada anak, perubahan situasi
misalnya dalam perjalanan / gangguan emosi, misalnya pada keadaan depresi
mental - penyakit, misalnya hemoroid sebagai akibat kegagalan relaksasi sfingter
nyari, miksuden dan skletoderma, kelemahan otot punggung / abdomen pada
kehamilan multipar dan obat, misalnya opium, antikolinergik, penghambatan
ganglion, klonidin, antasida aluminium dan kalsium.
Mekanisme pencahar yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan,
karena kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kolon transport air
dan elektrolit, dapat dijelaskan antara lain:
1. Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat
massa konsistensi dan transit tinja bertambah.
2. Pencahar bekerja langsung ataupun tidak langsung terhadap mukosa kolon
dalam menurunkan (absorpsi) air dan NaCl, mungkin dengan mekanisme
seperti pada pencahar osmotik.
3. Pencahar dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya
absorpsi garam dan selanjutnya mengurangi waktu transit tinja.
Contoh obat pencahar adalah:
Pencahar rangsang : minyak jarak
Pencahar garam : magnesium sulfat
Pencahar pembentuk massa : metil selulosa
Pencahar emolien : paraffin cair
160
LAKSANSIA OSMOTIK
Karena air dapat diabsorpsi dengan mudah, maka tak dapat disunakan sebagai
laksansia. Akan tetapi jika ditambahkan garam yang sulit diabsorpsi, sesuai
dengan tekanan osmotik garam ini, pada penggunaan larutan normotoni, absorpsi
air dari usus akan diperkecil, sedangkan pada pemasukan larutan hipertoni, air
akan dibebaskan ke dalam lumen usus dan dengan demikian pengosongan feses
dalam jumlah besar dapat tercapai. Saat mulai kerja tergantung kepada jumlah dan
konsentrasi larutan garam : pada larutan hipertoni waktu relatif lama sampai air
cukup banyak yang masuk ke lumen usus sehingga pengosongan dapat dimulai
biasanya sekitar 10-12 jam. Pada larutan normotoni atau hipotoni, kerja sudah
mulai dalam waktu beberapa jam saja. Mengingat akibat bahaya dehidrasi, harus
dihindari larutan hipertoni.
Laksansia garam : magnesium sulfat ( garam pahit ) dan natrium sitrat ( garam
glauber), natrium fosfat dan natrium sitrat. Yang paling banyak digunakan adalah
garam pahit dan garam glauber. GARAM MAGNESIUM (MgSO4 = garam
inggris)
Obat yang termasuk didalam golongan laksansia osmotik mekanisme kerjanya
dalam usus berdasarkan penarikan air ( osmosis ) dari bahan makanan karena tiga
perempat dari dosis oral tidak diserap, akibatnya adalah pembesaran volume usus
dan meningkatnya peristaltik di usus halus dan usus besar di samping melunakkan
tinja.merupakan senyawa yang mudah diabsorpsi melalui usus kira-kira 15-30 %
dan diekskresikan melalui ginjal. Dari dosis di serap oleh usus yang dapat
mengakibatkan kadar magnesium dalam darah terlampau tinggi, khususnya bila
fungsi ginjal kurang baik. Oleh karena itu garam inggris jangan digunakan untuk
jangka waktu yang lama. Boleh digunakan selama kehamilan, obat ini masuk ke
dalam air susu ibu.
NaCl FISIOLOGIK
161
Obat ini merupakan cairan yang isotonus terhadap cairan tubuh sehingga tidak
menghasilkan efek apa-apa. Biasanya digunakan untuk membandingkan efek yang
dihasilkan oleh suatu obat pada hewan percobaan. NaCl ini menghasilkan efek
yang tidak begitu berarti didalam tubuh serta penggunaannya tidak
dipermasalahkan.
Penyalahgunaan pencahar yang banyak terjadi dimasyarakat dengan alasan
menjaga kesehatan sama sekali tidak rasional karena akan menurunkan
sensitivitas mukosa, sehingga usus gagal bereaksi terhadap rangsangan fisiogik.
Penggunaan pencahar secara kronik dapat menyebabkan diare dengan akibat
kehilangan air dan gangguan keseimbangan elektrolit. Disamping itu dapat pula
terjadi kelemahan otot rangka, berat badan menurun dan paralisis otot palos.
Pengeluaran kalsium terlalu banyak dapat menimbulkan osteomalasia.
162
BAB III
PERCOBAAN
Bahan danAlat
1. Tikus putih jantan
2. Larutan Pentobarbital Natrium 4%
3. Larutan magnesium sulfat 25%,3% dan 0,2%
4. Natrium klorida fisiologik
5. Spuit 1ml atau 2ml
6. Gunting benang steril
7. Kaca arloji
8. Pipet tetes
9. Kleenex
10. Jarum bedah
Prosedur
1. Tikus dipuaskan makan selama 24 jam, minum tetap diberikan.
2. Tikus dibius dengan pentobarbital Na 40 mg/kg bb secarara ip.
3. Usus dipamerkan melalui toreahn ventral sagital, usus jangan sampai
terluka, selama pembedahan da percobaan usus harus basahi dengan
NaCI fisiologik.
4. Pada jarak sekitar 2,5 cm dari pilorus, ikat usus dengan benang steril
pada jarak lebih kurang 8 cm, hingga diperoleh tiga segmen terpisah.
Pengikatan jangan sampe menganggu aliran darah usus.
5. Suntikan berturut-turut kedalam segmen masing-masing larutan 1 ml
(MgSO4 25% NaCI 0,9 % dan MgSO4 0,2%)
6. Tempatkan kembali usus ke dalam rongga abdomen dan jahit kembali
otot dan kulit perut tikus. Basaahi terus jahitan dengan NaCI fisiologis.
7. Setelah 2 jam, buka jahitan dan isi tiap segmen usus dikeluarkan dan
catat volume yang diperoleh.
163
8. Tabelkan hasil-hasil eksperimen dan diskusikan pengaruh masing-
masing larutan terhadap retensi cairan.
164
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
165
BAB V
PEMBAHASAN
Di era yang serba modern ini, manusia sering di tuntut untuk dapat memenuhi
berbagai macam tugas sekaligus di waktu yang bersamaan. Hal ini berakibat pada
menurunnya waktu luang, diantaranya adalah waktu istirahat yang pendek sehingga
tidak jarang manusia modern sekarang lebih memilih untuk memilih makanan cepat
saji yang menfandung banyak karbohidrat, lemak, dan protein namun miskin serat.
Hal ini dapat memicu berbagai masalah kesehatan yang dapat berakibat fatal
dikemudian hari.
Masalah yang paling sering timbul dari kondisi kurang serat adalah konstipasi
dimana tubuh mengalami kesulitan defekasi tinja yang mengeras, otot polos yang
lumpuh atau masalah lainnya. Hal ini di perparah dengan kurangnya konsumsi air
putih dan olahraga. Sehingga sebagian orang menggunakan obat pencahar untuk
mengatasi masalah ini. Padahal penggunaan obat pencahar yang sembarangan dapat
merugikan si pengguna karena dapat menyebabkan ketergantungan, pendarahan anus,
gas berlebih pada saluran cerna dan efek lainnya.
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan efek garam pada saluran cerna
dan tikus sebagai hewan ujinya. Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu
dipuasakan selama 24 jam. Tikus disuntikkan secara ip dengan Pentobarbital 0.16 ml,
setelah itu tikus dibiarkan sampai tidak sadar. Kemudian tikus diletakan diatas kayu
dengan kondisi masing-masing kaki diikat, setelah itu dilakukan pembedahan pada
jarak 2.5cm dari piloris, usus diikat dengan benang steril pada jarak kurang lebih 8 cm
, hingga diperoleh tiga segmen terpisah. Setelah itu disuntikan berturut-turut ke
dalam masing-masing segmen larutan 1ml ( mgso4 24%, nacl 0,9% dan mgso4 0,2%)
pada saat percobaan usus terus dibasahi dengan larutan Nacl fisiologik. Setelah selesai
disuntikan usus ditempatkan kembali pada rongga abdomen, pada jam 10.39 tikus
mulai dijait kembali dan terus dibasahi Nacl fisiologik,, pada jam 10.45 tikus sudah
selesai dijahit. Sebelum 2 jam setelah tikus dijahit , tikus tersebut MATI.
166
BAB VI
KESIMPULAN
Setelah dilihat dari prosedur kerjanya penyebab tikus tersebut mati adalah
peralatan yang kurang steril, terlalu banyak tangan yang melakukan proses
pembedahan tersebut dan usus tikus terlalu lama diluar badannya sehingga resiko
infeksi meningkat.
167
DAFTAR PUSTAKA
Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.97-104.
Raharhja, Drs Kirana dan Drs Tan Hoan Tjay. Obat – obat Penting. Edisi VI. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo
168