Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obstruksi intestinal merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang
sering dijumpai, merupakan 60--70% dari seluruh kasus akut abdomen yang
bukan appendicitis akuta. Penyebab yang paling sering dari obstruksi ileus adalah
adhesi/ streng, sedangkan diketahui bahwa operasi abdominalis dan operasi
obstetri-ginekologik makin sering dilaksanakan yang terutama didukung oleh
kemajuan di bidang diagnostik kelainan abdominalis.
Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana
merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi
usus (Sabara, 2007). Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia
didiagnosa ileus (Davidson, 2006). Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-
400.000 menderita ileus setiap tahunnya (Jeekel, 2003). Di Indonesia tercatat ada
7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif  tanpa hernia yang dirawat inap dan
7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank data Departemen
Kesehatan Indonesia.
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus
organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir
atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau
aseptik.Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi obstruksi usus, peritonitis, dan hepatitis?
2. Apa klasifikasi pada obstruksi usus, peritonitis, dan hepatitis?
3. Bagaimana penyebab pada obstruksi usus, peritonitis, dan hepatitis?
4. Bagaimana tanda gejala pada obstruksi usus, peritonitis, dan hepatitis?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostic pada obstruksi usus, peritonitis, dan
hepatitis?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada obstruksi usus, peritonitis, dan hepatitis?
7. Bagaimana pengkajian pada obstruksi usus, peritonitis, dan hepatitis?
8. SOP pemberian nutrisi enteral dan parenteral.

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep obstruksi usus, peritonitis, dan hepatitis
2. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan pemberian nutrisi enteral dan
parenteral.
3

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Obstruksi Usus


2.2.1 Pengertian
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang
traktus interstinal. Obstruksi usus dapat diartikan sebagai kegagalan usus untuk
melakukan propulsi (pendorongan) isi dari saluran cerna. Kondisi tersebut dapat
terjadi dalam berbagai bentuk baik yang terjadi pada usus halus maupun usus
besar (kolon). Obstruksi usus dapat akut dengan kronik, partial atau total. 
Terdapat 2 jenis obstruksi usus: (1) Non-mekanis (mis: ileus paralitik atau ileus
adinamik), peristaltik usus dihambat akibat pengaruh toksin atau trauma yang
mempengaruhi pengendalian otonom motilitas usus; (2) Mekanis, terjadi obstruksi
di dalam lumen usus atau obstruksi mural yang disebabkan oleh tekanan
ekstrinsik.
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi obstruksi usus berdasarkan:
1. Kecepatan timbul (speed of onset)
Akut, kronik, kronik dengan serangan akut.
2. Letak sumbatan
a. Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus (dari gaster sampai ileum
terminal).
b. Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (dari ileum terminal
sampai anus).
3. Sifat sumbatan
a. Simple obstruction: sumbatan tanpa disertai gangguan aliran darah.
b. Strangulated obstruction: sumbatan disertai gangguan aliran darah
sehingga timbul nekrosis, gangren dan perforasi.
4. Etiologi
Kelainan dalam lumen, di dalam dinding dan di luar dinding usus.
2.2.3 Penyebab
4

Berdasarkan penyebabnya, obstruksi usus dibagi menjadi dua jenis, yaitu


mekanik dan nonmekanik. Berikut ini adalah penjelasan lengkapnya.
 Obstruksi usus mekanik
Obstruksi usus mekanik terjadi ketika usus kecil tersumbat. Hal ini bisa
dipicu oleh adhesi atau perlengketan usus, yang biasanya muncul setelah operasi
perut atau panggul. Kondisi lain yang dapat memicu obstruksi usus mekanik
adalah:
a. Hernia yang mengakibatkan usus menonjol ke dinding perut.
b. Radang usus, seperti penyakit Crohn.
c. Benda asing yang tertelan (terutama pada anak-anak).
d. Batu empedu
e. Diverkulitis.
f. Instususepsi atau usus yang melipat ke dalam.
g. Meconium plug (feses pertama bayi yang tidak keluar).
h. Kanker usus besar atau ovarium (indung telur).
i. Penyempitan kolon akibat peradangan atau jaringan parut, misalnya
karena penyakit TBC usus.
j. Penumpukan tinja.
k. Volvulus atau kondisi usus yang terpelintir.
 Obstruksi usus nonmekanik
Obstruksi usus nonmekanik terjadi ketika muncul gangguan pada
kontraksi usus besar dan usus kecil. Gangguan dapat terjadi sementara (ileus), dan
dapat terjadi dalam jangka panjang (pseudo-obstruction).
Obstruksi usus nonmekanik dipicu oleh sejumlah kondisi, seperti:
a. Operasi daerah perut atau panggul.
b. Gastroenteritis atau peradangan pada lambung dan usus.
c. Apendisitis atau radang usus buntu.
d. Gangguan elektrolit.
e. Penyakit Hirschsprung.
f. Gangguan saraf, misalnya penyakit Parkinson atau multiple sclerosis.
g. Hipotiroidisme
5

h. Penggunaan obat-obatan yang memengaruhi otot dan saraf. Misalnya obat


golongan antidepresan trisiklik, seperti amitriptyline, atau obat
nyeri oxycodone
2.2.4 Tanda dan Gejala
a. Obstruksi Usus Halus
1) Gejala awal biasanya nyeri abdomen sekitar umbilicus atau bagian
epigastrium yang cenderung bertambah berat sejalan dengan beratnya
obstruksi dan bersifat intermitten. Jika obstruksi terletak di bagian tengah
atau letak tinggi dari usus halus maka nyeri bersifat konstan.
2) Klien dapat mengeluarkan darah dan mucus, tetapi bukan materi fekal dan
tidak terdapat flatus.
3) Umumnya gejala obstruksi usus berupa konstipasi, yang berakhir pada
distensi abdomen, tetapi pada klien dengan obstruksi parsial biasa
mengalami diare.
4) Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltic pada awalnya menjadi
sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kearah
mulut.
5) Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi.
Semakin kebawah obstruksi dibawah area gastrointestinal yang terjadi,
semakin jelas adanya distensi abdomen.
6) Jika obstruksi usus berlanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi
shock hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma,
dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi. Suhu tubuh biasanya
normal tapi kadang-kandang dapat meningkat. Demam menunjukkan
obstruksi strangulate.
7) Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi dan
peristaltic meningkat. Pada tahap lanjut dimana obstrusi terus berlanjut,
peristaltic akan menghilang dan melemah. Adanya feces bercampur darah
pada pemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai adanya keganasan dan
intususepsi.
b. Obstruksi Usus Besar
6

1) Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan obstruksi
pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah.
2) Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada
klien dengan obstruksi di sigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi
gejala satu-satunya dalam satu hari.
3) Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar menjadi
dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen.
4) Klien mengalami kram akibat nyeri abdomen bawah. (suratun & lusianah,
2010. Hal. 339 )
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostic
a. Laboratorium
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan
diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan
membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium
yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis
dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering
didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi
hanya terjadi pada 38%-50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27%-44%
pada obstruksi non strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada
dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas
darah mungkin terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan
metabolik asidosis bila ada tanda-tanda shock, dehidrasi dan ketosis.
b. Radiologik
Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid
level” pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu
obstruksi. Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada
obstruksi usus halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.
Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran ”step ladder dan air
fluid level” terutama pada obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak
tampak gas. Jika terjadi stangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran
berupa hilangnya muosa yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus.
Udara bebas pada foto thoraks tegak menunjukkan adanya perforasi usus.
7

Penggunaan kontras tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan peritonitis


akibat adanya perforasi.
CT scan kadang-kadang digunakan untuk menegakkan diagnosa pada
obstruksi usus halus untuk mengidentifikasi pasien dengan obstruksi yang
komplit dan pada obstruksi usus besar yang dicurigai adanya abses maupun
keganasan.
2.2.6 Penatalaksanaan
a. Obstruksi usus halus
Dekompresi usus melalui selang usus halus atau nasogatrik bermanfaat
dalam mayoritas kasus. Apabila usus tersumbat secara lengkap, maka
strangulasi yang terjadi memerlukan intervensi bedah. Sebelum pembedahan,
terapi IV diperlukan untuk mengganti penipisan air, natrium, klorida, dan
kalium.
Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus sangat tergantung pada
penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari obstruksi, seperti hernia dan
perlekatan, prosedur bedah mencakup perbaikan hernia atau pemisahan
perlekatan pada usus tersebut. Pada beberapa situasi, bagian dari usus yang
terkena dapat diangkat dan dibentuk anastomosis. Kompleksitas prosedur
bedah untuk obstruksi usus tergantung pada durasi obstruksi dan kondisi usus
yang ditemukan selama pembedahan.
b. Obstruksi usus besar
Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat dilakukan
untuk membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi, pembukaan secara
bedah yang dibuat pada sekum, dapat dilakukan pada pasien yang berisiko
buruk terhadap pembedahan dan sangat memerlukan pengangkatan obstruksi.
Prosedur ini memberikan jalan keluar untuk mengeluarkan gas dan sejumlah
kecil rabas. Selang rektal dapat digunakan untuk dekompresi area yang ada
dibawah usus.
Tindakan yang biasanya dilakukan, adalah reseksi bedah untuk
mengangkat lesi penyebab obstruksi. Kolostomi sementara atau permanen
mungkin diperlukan. Kadang-kadang anastomosis ileoanal dilakukan bila
pengangkatan keseluruhan usus besar diperlukan.
8

Penatalaksanaan penting yang dapat dilakukan pada penderita obstruksi


usus adalah:
1) Dekompresi usus yang mengalami obstruksi: pasang selang nasogastrik
2) Ganti kelilangan cairan dan elektrolit: berikan ringer laktat atau NaCl
dengan suplemen K+
3) Pantau pasien-diagram keseimbangan cairan, kateter urine, diagram suhu,
nadi, dan napas regular, pemeriksaan darah.
4) Minta pemeriksaan penunjang sesuai dengan penyebab yang mungkin
5) Hilangkan obstruksi dengan pembedahan jika:
a. Penyebab dasar membutuhkan pembedahan (misalnya hernia,
karsinoma kolon)
b. Pasien tidak menunjukan perbaikan dengan terapi konservattif
(misalnya obstruksi akibat adhesi); atau
c. Terdapat tanda-tanda starngulasi atau peritonitis.
2.2.7 Pengkajian
1. Umum
Anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan
abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rektal,
peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut),
retensi perkemihan dan leukositosis.
2. Khusus
a. Usus halus
1) Berat, nyeri abdomen seperti kram, peningkatan distensi
2) Distensi ringan
3) Mual
4) Muntah: pada awal mengandung makanan tak dicernadan kim:
selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal
5) Dehidrasi
b. Usus besar
1) Ketidaknyamanan abdominal ringan
2) Distensi berat
3) Muntah fekal laten
9

4) Dehidrasi laten: asidosis jarang


2.2 Peritonitis
2.2.1 Pengertian
Peritonitis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan
pada peritoneum. Peritoneum adalah lapisan tipis dari jaringan yang melapisi
organ-organ perut dan terletak di dalam dinding perut. Peradangan ini disebabkan
oleh infeksi bakteri atau jamur pada membrane ini. Ada dua tipe peritonitis yaitu
primer dan sekunder. Peritonitis primer disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
pembuluh darah dan pembuluh limfe ke peritoneum. Penyebab peritonitis primer
yang paling umum adalah penyakit hati. Peritonitis sekunder adalah tipe
peritonitis yang lebih umum. Hal ini terjadi ketika infeksi yang berasal dari
saluran pencernaan atau saluran empedu menyebar ke dalam peritoneum.
Peritonitis juga dapat bersifat akut atau kronis. Peritonitis akut adalah peradangan
yang tiba-tiba pada peritoneum sedangkan peritonitis kronis adalah peradangan
yang berlangsung sejak lama pada peritoneum. Peritonitis adalah keadaan darurat
yang mengancam jiwa karena memerlukan perawatan medis secepatnya. Infeksi
menghentikan pergerakan usus yang normal (peristaltik). Tubuh segera
mengalami dehidrasi, dan zat-zat kimia penting yang disebut elektrolit dapat
menjadi sangat terganggu. Seseorang yang menderita peritonitis dan tidak dirawat
dapat meninggal dalam beberapa hari.
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau
sekunder, akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas peritoneal
oleh bakteri atau kimia. Primer tidak berhubungan dengan gangguan usus dasar
(contoh: sirosis dengan asites, system urinarius); sekunder inflamasi dari saluran
GI, ovarium/uterus, cedera traumatic atau kontaminasi bedah (Doenges, 1999).
Peritonitis adalah inflamasi peritonium yang bias terjadi akibat infeksi
bacterial atau reaksi kimiawi (Brooker, 2001). Peritonitis adalah infeksiseius atau
peradangan dari sebagian atau seluruh peritonium, penutup dari saluran usus
(Griffith, 1994)
2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peritonitis bakterial primer
10

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada


cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik: misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal
ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan
asites.
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal
tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel
organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob,
khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri
aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
a. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam cavum peritoneal.
b. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang
disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari
usus.
c. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal,
misalnya appendisitis.
3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier, misalnya:
a. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
11

b. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.


Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
c. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
1) Aseptik/steril peritonitis.
2) Granulomatous peritonitis.
3) Hiperlipidemik peritonitis.
4) Talkum peritonitis.
2.2.3 Penyebab
Ada dua jenis peritonitis jika dilihat dari penyebabnya. Spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) atau peritonitis primer adalah hasil dari infeksi cairan
dalam rongga peritoneum Anda. Gagal hati atau gagal ginjal dapat menyebabkan
kondisi ini. Orang-orang dengan kondisi dialisis peritoneal untuk gagal ginjal juga
mengalami peningkatan risiko untuk SBP.
Sementara peritonitis sekunder biasanya disebabkan oleh infeksi yang
menyebar dari saluran pencernaan. Selain itu, peritonitis adalah penyakit yang
juga dibedakan menjadi peritonitis lokal dan peritonitis generalisata.
Peritonitis lokal adalah peritonitis yang terjadi di area yang sangat
terbatas. Peritonitis lokal juga sering disebut sebagai intraperitoneal abses karena
inflamasi sering menghasilkan abses yang merupakan campuran dari bakteri dan
sel darah putih yang telah rusak. Selain itu, ada pula peritonitis yang disebut
sebagai peritonitis generalisata.
Peritonitis generalisata adalah inflamasi yang menyebar ke seluruh rongga
peritoneum, tidak hanya di area yang terbatas seperti peritonitis lokal. Peritonitis
generalisata adalah peritonitis yang juga sering disebut sebagai peritonitis difus.
Selain mengetahui jenis peritonitis, Anda juga perlu mengetahui beberapa kondisi
berikut yang dapat menyebabkan peritonitis.
a. Luka perut atau cedera
b. Usus buntu yang pecah
c. Ulkus atau luka lambung
d. Usus berlubang
12

e. Diverticulitis, ketika kantung terbentuk pada dinding usus besar dan


menjadi meradang
f. Pankreatitis, merupakan peradangan pada pankreas
g. Sirosis hati atau jenis lain dari penyakit hati
h. Infeksi kandung empedu, usus, atau aliran darah
i. Penyakit radang panggul, yang merupakan infeksi organ reproduksi wanita
j. Penyakit Crohn, merupakan jenis penyakit inflamasi usus
k. Prosedur medis invasif, termasuk pengobatan untuk gagal ginjal, operasi,
atau penggunaan selang untuk makan
2.2.4 Tanda dan Gejala
Gejala yang sering terjadi pada peritonitis meliputi:
a. Nyeri di perut
b. Sakit di perut yang lebih intens dengan gerakan atau sentuhan
c. Perut kembung atau distensi
d. Mual dan muntah
e. Diare
f. Sembelit atau ketidakmampuan untuk kentut
g. Output urine minimal (kencing sedikit)
h. Anoreksia, atau kehilangan nafsu makan
i. Haus yang berlebihan
j. Kelelahan
k. Demam dan menggigil.
Jika Anda berada dalam kondisi dialisis peritoneal, cairan dialisis mungkin
buram atau memiliki bintik-bintik putih atau gumpalan di dalamnya. Anda juga
dapat melihat adanya kemerahan atau merasa sakit di sekitar kateter.
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostic
a. Test laboratorium
1) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebihdari 3 gram/100 ml) danb anyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
13

memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupaka


ndasardiagnosasebelum hasil pembiakan didapat.
a) Hematokritmeningkat
b) Asidosis metabolic (darihasilpemeriksaanlaboratoriumpadapasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
2) X. Ray
Dari tesX Ray didapat:
Fotopolos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
a) Illeus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis.
b) Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi
1) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan fotopolos abdomen 3 posisi, yaitu :
a) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c) Tiduran miring kekiri (left lateral decubitus = LLD), dengansinar
horizontal proyeksianteroposterior.
2.2.6 Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir
semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan
(laparotomieksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
a. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defansmuskuler yang meluas, nyeri
tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda
perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panastinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat
ditangani).
14

b. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensiusus,


extravasasi bahan kontras, tumor, danoklusi vena atau arteri mesenterika.
c. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan
saluran cerna yang tidak teratasi.
d. Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
a. Mengeliminasi sumber infeksi.
b. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
c. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :
a. Mempuasakanpasienuntukmengistirahatkansalurancerna.
b. Pemasangan NGT untukdekompresilambung.
c. Pemasangankateteruntuk diagnostic maupun monitoring urin.
d. Pemberianterapicairanmelalui I.V.
e. Pemberian antibiotic.
Terapi bedah pada peritonitis a.l :
a) Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan
luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan
infeksinya.
b) Pencucian rongga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,
kainkassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk
menghilangkan pus, darah, danjaringan yang nekrosis.
c) Debridemen: mengambiljaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
d) Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi post operasi a.l:
a) Pemberiancairan I.V, dapat berupa air, cairanelektrolit, dannutrisi.
b) Pemberian antibiotic
c) Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, peristaltic usus pulih, dan tidak
ada distensi abdomen.
2. Terapi
15

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokusseptik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan
nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonic adalah penting.
Pengembalian volume intravascular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine
tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
1) Terapi antibiotic harus diberikan segera setelah diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian
dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan
pada organism mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika
berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia
dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakterei akan berkembang
selama operasi.
2) Pembuangan focus septic atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertical di garis tengah yang
menghasilkan jalan masuk keseluruh abdomen dan mudah dibuka serta
ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan di atas tempat
inflamasi.Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi
tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan
menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
3) Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ke tempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika
(misalsefalosporin) atau antiseptik (misalpovidon iodine) pada cairan irigasi.
Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum,
karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteri menyebar ke tempat lain.
16

4) Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa


drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan
dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminaneksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimanater jadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
3. Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat,
terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi
atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitisakut) atau penyakit
radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan.
Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotic
diberikan bersamaan.
2.2.7 Pengkajian
Pemeriksaan Fisik
1. Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu
pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
2. Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia
vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama jantung irregular
akibat pasien syok (neurogenik, hipovolemik atau septik), akral : dingin,
basah, dan pucat.
3. Sistem persarafan (B3)
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun
hanya mengalami penurunan kesadaran.
4. Sistem pekemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
5. Sistem pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul akibat
proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder
akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus
menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).
17

6. Sistem muskuloskeletal dan integumen (B6)


Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan
aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot
mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat kekurangan
volume cairan.
2.3 Hepatitis
2.3.1 Pengertian
Hepatitis adalah inflamasi hepar yang disebabkan oleh salah satu dari lima
agen virus yang berbeda, hepatitis dapat ringan dan dapat disembuhkan sampai
kronis dan vatal (Carpenito L. J, 1996 page 1332). Hepatitis adalah keadaan
radang atau cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat, atau alkohol (Dr.
Jan Tambayong,2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan.page 145) Kesimpulan
hepatitis adalah inflamasi sebagai reaksi yang disebabkan agen virus, obat, atau
alkohol.
2.3.2 Klasifikasi
Adapun 6 jenis hepatitis viral yaitu (Sylvia A. Price.2006.Patofisiologi
konsep klinis proses-proses penyakit. Page 485) :
1. Hepatitis A
Seringkali infeksi hepatitis A pada anak-anak tidak menimbulkan gejala,
sedangkan pada orang dewasa menyebabkan gejala mirip flu, rasa lelah,
demam, diare, mual, nyeri perut, mata kuning dan hilangnya nafsu makan.
Gejala hilang sama sekali setelah 6-12 minggu. Orang yang terinfeksi hepatitis
A akan kebal terhadap penyakit tersebut. Berbeda dengan hepatitis B dan C,
infeksi hepatitis A tidak berlanjut ke hepatitis kronik.
Masa inkubasi 30 hari. Penularan melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi feces pasien, misalnya makan buah-buahan, sayur yang tidak
dimasak atau makan kerang yang setengah matang. Minum dengaN es batu
yang prosesnya terkontaminasi.
Saat ini sudah ada vaksin hepatitis A, memberikan kekebalan selama 4
minggu setelah suntikan pertama, untuk kekebalan yang panjang diperlukan
suntikan vaksin beberapa kali. Pecandu narkotika dan hubungan seks anal,
termasuk homoseks merupakan risiko tinggi tertular hepatitis A.
18

2. Hepatitis B
Gejala mirip hepatitis A, mirip flu, yaitu hilangnya nafsu makan, mual,
muntah, rasa lelah, mata kuning dan muntah serta demam. Penularan dapat
melalui jarum suntik atau pisau yang terkontaminasi, transfusi darah dan
gigitan manusia. Pengobatan dengan interferon alfa-2b dan lamivudine, serta
imunoglobulin yang mengandung antibodi terhadap hepatitis-B yang diberikan
14 hari setelah paparan.
Vaksin hepatitis B yang aman dan efektif sudah tersedia sejak beberapa
tahun yang lalu. Yang merupakan risiko tertular hepatitis B adalah pecandu
narkotika, orang yang mempunyai banyak pasangan seksual. Mengenai
hepatitis C akan kita bahas pada kesempatan lain.
3. Hepatitis C
Hepatitis C mencakup sekitar 20% dari semua kasus hepatitis viral dan
paling sering ditularkan melalui yang ditransfusi dari donor asimtomatik,
berbagi jarum dengan pengguna obat intra vena dan cairan tubuh atau didapat
dari tato.
4. Hepatitis D
Hepatitis D Virus ( HDV ) atau virus delta adalah virus yang unik, yang
tidak lengkap dan untuk replikasi memerlukan keberadaan virus hepatitis B.
Penularan melalui hubungan seksual, jarum suntik dan transfusi darah. Gejala
penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-
infeksi) atau amat progresif.
5. Hepatitis E
Gejala mirip hepatitis A, demam pegel linu, lelah, hilang nafsu makan dan
sakit perut. Penyakit yang akan sembuh sendiri ( self-limited ), keculai bila
terjadi pada kehamilan, khususnya trimester ketiga, dapat mematikan.
Penularan melalui air yang terkontaminasi feces.
6. Hepatitis F
Baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum sepakat
hepatitis F merupakan penyakit hepatitis yang terpisah.
7. Hepatitis G
19

Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan hepatitis B


atau C. Tidak menyebabkan hepatitis fulminan ataupun hepatitis kronik.
Penularan melalui transfusi darah jarum. Hepatitis B , dapat terjadi tanpa
gejala. Namun dapat juga terjadi artalgia dan ruam pada kulit.

2.3.3 Penyebab
Hepatitis dapat disebabkan karena infeksi maupun bukan karena infeksi.
Pembagian jenis hepatitis yang disebabkan oleh infeksi virus adalah sebagai
berikut:
 Hepatitis A. Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV).
Hepatitis A biasanya ditularkan melalui makanan atau air minum yang
terkontaminasi feses dari penderita hepatitis A yang mengandung virus
hepatitis A.
 Hepatitis B. Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis B
(HBV). Hepatitis B dapat ditularkan melalui cairan tubuh yang terinfeksi
virus hepatitis B. Cairan tubuh yang dapat menjadi sarana penularan
hepatitis B adalah darah, cairan vagina, dan air mani. Karena itu, berbagi
pakai jarum suntik serta berhubungan seksual tanpa kondom dengan
penderita hepatitis B dapat menyebabkan seseorang tertular penyakit ini.
 Hepatitis C. Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C
(HCV). Hepatitis C dapat ditularkan melalui cairan tubuh, terutama
melalui berbagi pakai jarum suntik dan hubungan seksual tanpa kondom.
 Hepatitis D. Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis D (HDV).
Hepatitis D merupakan penyakit yang jarang terjadi, namun bersifat serius.
Virus hepatitis D tidak bisa berkembang biak di dalam tubuh manusia
tanpa adanya hepatitis B. Hepatitis D ditularkan melalui darah dan cairan
tubuh lainnya.
 Hepatitis E. Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis E (HEV).
Hepatitis E mudah terjadi pada lingkungan yang tidak memiliki sanitasi
yang baik, akibat kontaminasi virus hepatitis E pada sumber air.
20

Ibu yang menderita hepatitis B dan C juga dapat menularkan kepada


bayinya melalui jalan lahir.
Selain disebabkan oleh virus, hepatitis juga dapat terjadi akibat kerusakan
pada hati oleh senyawa kimia, terutama alkohol. Konsumsi alkohol berlebihan
akan merusak sel-sel hati secara permanen dan dapat berkembang menjadi gagal
hati atau sirosis. Penggunaan obat-obatan melebihi dosis atau paparan racun juga
dapat menyebabkan hepatitis.
Pada beberapa kasus, hepatitis terjadi karena kondisi autoimun pada tubuh.
Pada hepatitis yang disebabkan oleh autoimun, sistem imun tubuh justru
menyerang dan merusak sel dan jaringan tubuh sendiri, dalam hal ini adalah sel-
sel hati, sehingga menyebabkan peradangan. Peradangan yang terjadi dapat
bervariasi mulai dari yang ringan hingga berat. Hepatitis autoimun lebih sering
terjadi pada wanita dibanding pria.
2.3.4 Tanda gejala
 Gejala Hepatitis A
Pada minggu pertama, individu yang dijangkiti akan mengalami sakit
seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah,
pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat. Demam yang terjadi adalah
demam yang terus menerus, tidak seperti demam yang lainnya yaitupada
demam berdarah, tbc, thypus, dll.
Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah
demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih/sklera).
Namun bagi penderita hepatitis B kronik akan cenderung tidak tampak tanda-
tanda tersebut, sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.
Penderita Hepatitis C sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak
menunjukkan gejala, walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Namun beberapa gejala yang samar diantaranya adalah ; Lelah, Hilang selera
makan, Sakit perut, Urin menjadi gelap. Pada beberapa kasus dapat ditemukan
peningkatan enzyme hati pada pemeriksaan urine, namun demikian pada
penderita Hepatitis C justru terkadang enzyme hati fluktuasi bahkan normal.
2.3.5 Pemeriksaan diagnostic
21

Pemeriksaan diagnostic yang dilakukan menurut Marilynn E.


Doenges.2000. Rencana Asuhan Keperawatan.page 535-536 :
1. Laboratorium
a. Tes fungsi hati seperti :
 AST (SGOT)/ ALT (SGPT) : awalnya meningkat dapat meningkat 1-2
minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun.
 Alkali Fospatase : agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat )
 Bilirubin serum : di atas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml prognosis
buruk mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler).
b. Darah lengkap : SDM menurun sehubungan dengan penurunan
hidup SDM (gangguan enzim hati).
c. Leukemia : trombositopenia mungkin ada (splenomegali).
d. Feses : warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
e. Albumin serum menurun.
f. Anti-HAVIgM : positif pada tipe A.
g. HbsAG : dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A).
h. Urinalisa : peninggian kadar bilirubin, protein/hematuria dapat
terjadi.
i. Tes ekskresi BSP : kadar darah meningkat
2. Radiologi
a. Foto polos abdomen : menunjukkan densitas kalsifikasi pada
kandung empedu, pankreas, hati juga dapat menimbulkan
splenomegali.
b. Skan hati : membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan
parenkim.
3. Pemeriksaan Tambahan
Biopsi hati : menunjukkan diagnosis dan luasnya nekrosis
2.3.6 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Istirahat sesuai kebutuhan
b. Pendidikan mengenai menghindari pemakaian alkohol/obat lain
22

c. Pendidikan mengenai cara penularan kepada mitra sehubungan dan


anggota keluarga
2. Penatalaksanaan Medis
a. Memberikan Gamma Globulin murni yang spesifik terhadap
HAV/HBV pada keluarga pasien hepatitis yang dapat memberikan
imunitas pasif terhadap infeksi, imunitas ini bersifat sementara.
b. Tersedia vaksin untuk HBV, karena sifat virus yang sangat menular
dan berpotensi menyebabkan kematian, maka sangat dianjurkan
bahwa semua individu yang termasuk kelompok berisiko tinggi,
termasuk pekerja kesehatan atau orang-orang yang terpajan ke
produk darah, divaksinasi. Yang juga dianjurkan untuk divaksinasi
adalah orang-orang yang beresiko terinfeksi virus termasuk
homosek atau heterosek yang aktif secara seksual, pecandu obat
bius dan bayi.
c. Medikametosa
 Kortikosteroid tidak diberikan bila mempercepat penurunan
bilirubin darah, kortikosreroid dapat digunakan pada kolestasis.
 Yang berkepanjangan, dimana transaminase serum sudah kembali
normal tetapi bilirubin masih tinggi.
 Berikan obat-obat yang bersifat melindungi hati.
 Antibiotik jika diperlukan.
 Antiemetik jika diperlukan.
d. Vitamin K diberikan pada kasus dengan kecenderungan
pendarahan.

2.3.7 Pengkajian
23

STANDART OPRASIONAL PROSEDUR


3.1 SOP NGT
3.1.1 Pengertian
Memasang selang / pipa khusus melalui saluran pencernaan atas secara langsung
yang berakhir di lambung
3.1.2 Tujuan
1. Memasukkan makanan, obat pasien yang tidak bisa makan melalui mulut
2. Mencegah distensigaster
3. Melakukan bilas lambung
4. Mengambil specimen asam lambung untuk diperiksa di laboratorium
3.1.3 Kebijakan
1. Pasien yang tidak dapat makan melalui mulut
2. Pasien yang Illeusatau Peritonitis trauma abdoment (untuk dekompresi)
3. Pasien perdarahan lambung/bilas lambung
3.1.4 Petugas
Perawat
3.1.5 Peralatan
1. Selang NGT (no. 14-20 untuk dewasa, 8-16 untuk anak-anak, 5-7 untuk
bayi)
2. Klem
3. Spuit 10 cc
4. Stetoskop atau gelas berisi air matang
5. Plester & gunting
6. Kain kassa
24

7. Pelumas (jelly)
8. Perlak atau pengalas
9. Bengkok atau baskom muntah.
10. Sarung tangan
3.1.6 Prosedur pelaksanaan
A. Tahap PraInteraksi
1. Melakukan pengecekan program terapi
2. Mencuci tangan
3. Menempatkan alat di dekat pasien
B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
3. Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
C. Tahap Kerja
1. Menjaga privacy
2. Mengatur posisi pasien dalam posisi semi fowler atau fowler (jika
tidak ada kontra indikasi)
3. Memakai sarung tangan
4. Membersihkan lubang hidung pasien
5. Memasang pengalas diatas dada
6. Meletakkan bengkok atau baskom muntah di depan pasien.
7. Mengukur panjang selang yang akan dimasukkan dengan cara
menempatkan ujung selang dari hidung klien keujung telinga atas lalu
dilanjutkan sampai processusxipodeus.
8. Mengolesi ujung NGT dengan jelly sepanjang 20-30 cm.
9. Meminta pasien untuk relaks dan tenang, masukkan selang secara
perlahan sepanjang 5-10 cm lalu meminta pasien untuk menundukkan
kepala (fleksi) sambil menelan.
10. Masukkan selang sampai batas yang ditandai.
11. Jangan memasukkan selang secara paksa jika ada tahanan.
a. Jika pasien batuk atau bersin, hentikan lalu ulangi lagi. Anjurkan pasien untuk
melakukan teknik nafas dalam.
25

b. Jika tetap ada tahanan, tarik selang perlahan-lahan dan masukkan selang
kembali kelubang hidung yang lain secara perlahan.
c. Jika pasien terlihat muntah, tarik tube dan inspeksi tenggorokan lalu
melanjutkan memasukkan selang secara perlahan.
d. mengatur pasien pada posisi fleksi kepala, dan masukan perlahan ujung NGT
melalui hidung (bila pasien sadar menganjurkan pasien untuk menelan ludah
berulang-ulang
e. memastikan NGT masuk kedalam lambung dengan cara : menginspirasi NGT
dengat spuit 10 cc sambil di auskultasi di region lambung atau memasukan
kedalam gelas berisi air.
f. F. menutup ujung ujung NGT dengan spuit/klem atau disesuaikan dengan
tujuan pemasangan.
g. melakukan fiksasi NGT di depan hidung dan pipi dengan menggunakan
plester.
3.1.7 Tahap Terminasi
1. Melakukan evauasi tindakan
2. Berpamitan dengan klien
3. Membereskan alat-alat
4. Mencuci tangan
5. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan
3.1.8 Dokumentasi
Catatat jam, hari, tanggal, serta respon pasien setelah dilakukan tindakan NGT

3.2 SOP ENTERNAL


3.2.1 Pengertian
Pemberian nutrisi enteral merupakan pemberian nutrient melalui saluran
cerna dengan menggunakan sonde (tube feeding). Nutrisi enteral
direkomendasikan bagi pasien-pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
nutrisinya secara volunter melalui asupan oral.
3.2.2 Tujuan
a. Untuk suplementasi, untuk pasien yang masih dapat makan dan minum tetapi
tidak dapat mencukupi kebutuhan energy dan protein.
26

b. untuk pengobatan, dan digunakan untuk mencukupi seluruh kebutuhan zat gizi
bila pasien tidak dapat makan sama sekali
3.2.3 Jenis pemberian nutrisi enteral
1. Nasogastrik
2. Gastrostomi
3. Jejunostomi

3.2.4 Peralatan
1. Naso Gastrik Tube
2. lubrikan
3. Kateter Tip
4. Plester
5. Segelas Air dan Sedotan
6. Sarung Tangan
7. Pinset
8. Semprit Irigasi Berukuran 20 ml-50 ml
3.2.5 Langkah kerja
1. Mengecek identitas pasien dan menjelaskan prosedur penggunaan
2. Menyiapkan alat alat
3. Menempatkan pasien pada posisi duduk atau fowler tinggi dengan leher
hiperekstensi. Jika klien koma, menempatkan dengan posisi semi fowler.
4. Melakukan pengukuran
5. Mencuci tangan
6. Memakai sarung tangan
7. Lubrikasi selang 10-20 cm
8. Memasukkan secara lembut hingga ke posterior nasofaring
9. Merefleksikan kepala setelah selang masuk ke nasofaring, merelaksasikan
pasien.
10. Mendorong klien untuk menelan
11. Jangan memaksa untuk memasukkan
12. Melepaskan sarung tangan dan memasang plester
27

13. Mengecek pemasangan dengan auskultasi lambung ( pemasangan benar


terdengar suara udara) dan aspirasi isi lambung.
3.2.6 Tahap terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan klien
3. Membereskan alat-alat
4. Mencuci tangan
5. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

3.2.7 Dokumentasi
Catatat jam, hari, tanggal, serta respon pasien setelah dilakukan tindakan
pemberian nutrisi enteral

3.3 SOP INTERNAL


3.3.1 Pengertian
Nutrisi parenteral adalah suatu bentuk pemberian nutrisi yang diberikan
langsung melalui pembuluh darah tanpa melalui saluran pencernakan (Wiryana,
2007).
3.3.2 Tujuan
a. Untuk suplementasi
b. untuk pengobatan
c. Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
3.3.3 Indikasi
1. Pasien dengan Gangguan absorbsi makanan
2. Pasien kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada
3. pankreastitis berat, status preoperative dengan malnutrisi berat, angina
4. intertinal, diare berulang
5. Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan
6. Makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis
7. gravidarum (Wiryana, 2007).
8. Pasien Syok
9. Pasien yang mengalami pengeluaran cairan berlebih
28

10. Intoksikasi berat


3.3.4 Persiapan alat
a. Alat steril
1. Bak instrument berisi handscoon dan kasa steril
2. Infus set steril
3. Jarum/wingnedle/abocath dengan nomer yang sesuai
4. Korentang dan tempatnya
5. Kom tutup berisi kapas alcohol
b. Alat tidak steril
1. Standart infuse
2. Perlak dan alasnya
3. Pembendung (tourniquet)
4. Plester
5. Gunting verban
6. Bengkok
7. Jam tangan
c. Obat-obatan
Alcohol 70%
Cairan sesuai anjuran dokter
3.3.5 Persiapan pasien
1. Memberitahu pasien dan menjelaskan tujuan tindakan yang akan
dilakukan
2. Mengatur posisi pasien yang nyaman (posisi supine)
3.3.6 Persiapan lingkungan
Memasang sketsel
3.3.7 Cara kerja
a. Mengisi selang infus:
 Mencuci tangan
  Memeriksa etiket
 Desinfeksi karet penutup botol
 Menusukkan infus set ke dalam botol infuse
 Pengatur tetesan infus ditutup, jarak 24 cm dibawah tempat tetesan
29

 Menggantungkan botol infuse


 Ruang tetesan diisi setengah (Jangan sampai terendam) Selang infus diisi
cairan infus dikeluarkan udaranya
b. Melakukan kateterisasi vena (prosedur kateterisasivena di lengan bawah)
 Memasang torniket di sebelah proksimal vena yang akan dipungsi
 Meletakkan perlak kecil dan alasnya dibawah bagian yang akan dipunksi
 Menentukan vena yang akan dikateter bila perlu dipalpasi
 Melakukan tindakan antisepsis dengan kapas alkohol 70% pada lokasi
vena tempat masuk kateter dan sekitarnya.
 meregangkan kulit kearah distal. Menusukkan jarum dengan sudut
200 terhadap permukaan kulit. Lubang menghadap keatas. Memasukkan
jarum sesuai dengan arah garis vena.
 Menahan kanula dan tarik jarum sedikit. Bila tampak darah keluar berarti
kanula telah masuk ke vena. Menahan jarum dan mendorong kanula
kateter.
 Melepaskan torniket, menempelkan kapas ditempat pungsi.
 Memasang selang infus berisi cairan infus yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
 Fiksasi kateter dan selang infus dengan plester.
 Mengatur tetesan dalam satu menit sesuai intruksi
 Menutup kulit dengan kassa steril.
 Merapikan pasien
 Mencuci tangan
 Mencatat: tanggal dan jam pemberian cairan, macam cairan
3.3.8 Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan klien
3. Membereskan alat0alat
4. Mencuci tangan
5. Mencatatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan
3.3.9 Dokumentasi
30

Catatat jam, hari, tanggal, serta respon pasien setelah dilakukan tindakan
pemberian nutrisi parenteral

BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus
interstinal yang disebabkan oleh factor mekanik atau nonmekanik (fungsional).
Manifestasi klinis yang dapat dilihat adalah adanya sakit yang hebat pada
abdomen,  mual, muntah.  Peneeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium dan foto rontgen abdomen. Penatalaksanaan yang penting yang
harus dilakukan adalah pemberian cairan yang hilang melalui muntah, dekompresi
usus, dan tindakan operasi bila ada indikasi. Adapun masalah keperawatan yang
muncul pada klien dengan obstruksi usus adalah Ketidakefektifan pola napas
berhubungan dengan nyeri dan distensi abdomen, Risiko kekurangan volume
cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan absorpsi, Nyeri akut
berhubungan dengan peningkatan tekanan intralumen usus, dan Ansietas
berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus
organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir
atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau
aseptik.
31

Peritonitis juga dapat bersifat akut atau kronis. Peritonitis akut adalah
peradangan yang tiba-tiba pada peritoneum sedangkan peritonitis kronis adalah
peradangan yang berlangsung sejak lama pada peritoneum.

4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami,
menangani dan dapat mengatasi apabila pasien dengan obstruksi usus, peritonitis,
dan hepatitis. Mahasiswa diharapakan dapat memahami dan melaksanakan asuhan
keperawatan dengan baik kepada klien dengan obstruksi usus, peritonitis, dan
hepatitis.

DAFTAR PUSTAKA

Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2012, Buku Saku Diagnosis Keperawatan:


Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (Edisi
9). Jakarta: ECG
Pierce A. Grace & Neil R. Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi III,
Penerbit Erlangga: Jakarta
Brooker, Chris. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Alih bahasa oleh Hartono, dkk.
Jakarta: EGC.
Dongoes, M.E., Mary F.M., dan Alice C. G. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC.
http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/peritonitis-_-
951000103799. diakses tanggal 27 Maret 2015 pukul 10.30 WIB
Heather, Herdman. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.
Jakarata : EGC
Wilkinson, J.M, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai