Dari data pembangkit EBT tahun 2019, pemakaian pembangkit listrik tenaga angin
(PLTA) mencapai 7,61%, tenaga panas bumi (PLTP) 4,95%, pembangkit listrik tenaga diesel
0,59%, dan sisanya biomassa,angin,dll. Hal ini sangat miris dan berkebalikan dengan
banyaknya diskusi yang dilakukan “Berada di garis khatulistiwa, sinar matahari di
Indonesia dikenal sangat melimpah, matahari bersinar sepanjang tahun, suatu
keuntungan yang gak semua negara bisa miliki. Angin lalu lalang dengan kerasnya,
sungai-sungai mengalir deras, panas bumi bergelora” ujar salah satu pembicara Diskusi
Energi Terbarukan.
Sementara itu produsen listrik EBT yang terbesar terletak di pulau jawa dengan kapasitas
berkisar 58% total EBT, Sumatera 31% total EBT, Sulawesi 10% Total EBT dan Kalimantan
1% dari Total EBT. Namun utnuk pemakaiannya sendiri, Sulawesi merupakan konsumen
Pembangkit listrik EBT tertinggi sekitar 28%, dan hal ini sangat berdampak sekali terhadap
Sulawesi yang mengandalkan pembangkit EBT tersebut namun sangat berkebalikan dengan
pulau jawa hanya memanfaatkan potensi EBT sebesar 6%.
Menurut beberapa akademisi dari beberapa acara diskusi online “penggunaan EBT
masih minim dikarenakan biaya teknologinya yang sangat mahal sehingga masih sulit
bersaing dengan fosil terutama batubara”. Kementrian ESDM Sutijastoto, telah
memproyeksikan dalam 5 tahun mendatang bahwa biaya investasi peningkatan pembangkit
EBT mencapai USD36,95 milliar. Ditambah lagi dengan keterpurukan perekonomian
Indonesia sejak pandemi COVID-19 melanda membuat perekonomian Indonesia memburuk,
dan menurunnya harga minyak bumi, tampaknya pembangkitan EBT belum memiliki
urgensi untuk segera direalisasikan. Nanti, setelah minyak bumi menipis dan harganya
mencekik baru semua akan kocar-kacir membangun pembangkit EBT.
Untuk menerapkan bauran EBT tahun 2025 sebesar 23% pemerintah seharusnya
sudah memulai pembangunan pembangkit EBT meskipun dengan biaya investasi yang sangat
tinggi, karena akan menghasilkan insentif yang seimbang pula, yang akan berpengaruh
terhadap lingkungan dalam jangka Panjang (Environment Cost) dan perekonomian negara.
Pemerintah seharusnya bertindak “gercep” dan tidak biasa-biasa saja dengan pembangkitan
EBT ini, misalnya dapat langsung melakukan kontrak dengan PLN agar resikonya dapat
dikurangi dan beberapa pihak bank agar pembangkit EBT dapat segera terealisasikan.
Dari sisi konsumen saja, penggunaan EBT memiliki nillai investasi yang cukup
tinggi. Kalkulasi ekonomi dengan PLTS misalnya, hanya butuh biaya Rp. 39.500.000,00
(minim perawatan dan kerusakan) yang disandingkan dengan tarif listrik sebsar Rp.
60.000.000,00 (flat tanpa kenaikan tarif) dalam 10 tahun mendatang. Namun untuk PLN
sendiri masih bisa terjadi kenaikan tarif atau dengan kata lain biaya bisa lebih besar lagi.
Sumber Data :
https://pvinasia.com/penggunaan-sistem-panel-surya-untuk-rumah-dengan-daya-2200-va/
https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/ob30ZYAk-target-23-ebt-di-2025-berpotensi-tergerus
https://industri.kontan.co.id/news/skema-feed-in-tariff-ebt-disiapkan-ini-kata-pengusaha
https://mediaindonesia.com/read/detail/276489-banyak-pembangkit-listrik-energi-terbarukan-
rusak-di-ntt
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200311195902-85-482642/esdm-ubah-cara-pembelian-
listrik-hasil-energi-terbarukan
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200311195902-85-482642/esdm-ubah-cara-pembelian-
listrik-hasil-energi-terbarukan
https://sekarpalupi.wordpress.com/2017/08/19/kita-indonesia-punya-energi-yang-tak-terbatas-
matahari/
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-outlook-energi-indonesia-2019-bahasa-
indonesia.pdf