Anda di halaman 1dari 11

Naskah Nonfiksi 2

Mempertahankan dan Menambah Konsumen di Era Digital

Perdagangan online-ke-offline (Online-to-offline/O2O) menjadi topik panas di dunia pemasaran

eceran Asia saat ini, dan akan semakin panas ketika teknologi dan inovasi baru mempercepat

peluang bagi para pengecer. Perdagangan O2O adalah prinsip dasar untuk menghubungkan dunia

digital online dengan dunia offline melalui integrasi peranti yang terhubung dengan Internet.

Berkebalikan dari e-commerce, pendekatan O2O membawa konsumen untuk berbelanja atau

mendapatkan layanan di toko offline. Konsumen yang memulai perjalanan mereka online mereka

didorong secara offline melalui transaksi atau penemuan seperti e-coupon dan store locator atau

didorong secara online melalui undangan untuk memutuskan pembelian di dunia offline

menggunakan kode quick response (QR) dan sistem pembayaran mobile. Pertumbuhan

konektivitas dan kecepatan Internet mobile, serta peranti yang terkoneksi iInternet seperti

smartphone, tablet, PC tablet, netbook, dan sambungan nirkabel telah memungkinkan

perdagangan O2O tumbuh subur dan “menutup” lingkaran ini. Pizza Hut di Hong Kong—di

bawah manajemen Jardine Restaurant Group—memberi contoh bagus tentang bagaimana

penerapan O2O bisa meningkatkan kesetiaan konsumen (lihat Kotak 5.2).

Saat perdagangan O2O meraih popularitas di antara perusahaan-perusahaan B2C Asia,

para pemain di dunia B2B berurusan dengan tantangan yang agak berbeda. Rata-rata penjualan

B2B biasanya lebih besar daripada perusahaan B2C. Dan bagi perusahaan B2B, sejumlah kecil
konsumen bisa menjadi sumber sebagian besar pendapatan mereka. Dengan demikian,

perusahaan B2B sudah selayaknya lebih banyak menaruh perhatian pada konsumen yang sudah

ada. Bahkan, banyak yang mencurahkan sumber daya substansial mereka pada program-program

untuk membedah kebutuhan konsumen, mengedukasi calon konsumen potensial tentang produk

dan layanan yang tersedia, menciptakan hubungan personal, dan mempromosikan tawaran

mereka. Seminar, publikasi, riset pasar, dan call center adalah sebagian di antara alat paling

penting dalam “kotak peralatan” perusahaan B2B.

Namun, di dalam dunia yang penuh persaingan keras, dengan konektivitas teknologi yang

meningkat dan semakin kompleks, kegiatan semacam ini tak lagi cukup bagi perusahaan B2B.

Perusahaan B2B yang jumlahnya kecil, tetapi namun terus bertumbuh telah menyadari hal ini.

Walaupun Meskipun mungkin tidak mundur dari program interaksi dengan konsumen yang

sudah ada, mereka telah mengadopsi cara baru untuk memasuki benak pembeli setiap hari, yaitu

dengan cara menciptakan komunitas konsumen online. Ini sering kali dilakukan dalam bentuk

situs web pribadi yang memungkinkan konsumen untuk mengakses, mencipta, dan berkolaborasi

lewat diskusi, konten, dan informasi tentang topik yang menjadi minat bersama.

Buday dan DiMauro (2011), dalam Customer Intimacy on Steroids: Why B2B Firms

Need Online Communities, menguraikan tiga elemen kunci tentang komunitas konsumen online

berikut ini:

Konsumen: Komunitas online tipe ini berfokus untuk mencapai tujuan konsumen perusahaan B2B.
Perusahaan B2B telah membuat banyak komunitas online lain—untuk internal (dukungan virtual bagi
tim kerja), untuk rekan pemasok dan penyalur, dan lain-lain. Sebaliknya, tujuan komunitas konsumen
online adalah untuk membahas berbagai isu bisnis tempat para konsumen membeli dan menggunakan
produk dan layanan sebuah perusahaan B2B.
Kolaborasi: Komunitas konsumen online memungkinkan kolaborasi terbagi atas dua jenis—antara
perusahaan B2B yang menjamu komunitas dan para konsumennya, dan serta antara para konsumen itu
sendiri. Namun, sekali lagi, alasan pihak-pihak ini berkolaborasi secara online adalah untuk memecahkan
masalah-masalah konsumen terkait bisnis. Dibutuhkan lebih banyak perhatian pada aspek ini karena jika
pengelola komunitas menggunakan komunitas online untuk fokus pada pemecahan masalahnya sendiri
dan kurang memedulikan masalah yang dihadapi konsumen, konsumen akan keluar dari komunitas
tersebut. Pada penelitian tahun 2010, sebanyak 95% persen eksekutif mengatakan bahwa alasan utama
mereka menggunakan komunitas online adalah menambah wawasan tentang isu yang menjadi
minat/kepentingan mereka (DiMauro dan Bulmer, 20110).
Isu yang menjadi Minat Bersama: Isu yang tidak menjadi minat atau kepentingan utama kedua pihak
(B2B dan para konsumennya) bukanlah sesuatu yang bisa dibawa ke komunitas konsumen online.
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan B2B ingin menggunakan komunitas konsumennya untuk urusan
perekrutan pegawai dan penjualan langsung, itu mungkin memang minat/kepentingan utama perusahaan,
namun tetapi tentu saja itu bukan minat/kepentingan utama konsumen. Cara berpikir tentang komunitas
konsumen B2B seharusnya seperti berikut: ini bukan tentang Anda, ini tentang mereka (konsumen).

Komunitas konsumen online kini menjadi semakin penting, misalnya, dalam industri

teknologi informasi. Hampir dua pertiga (65% persen) dari 207 organisasi yang disurvei pada

2010 oleh perusahaan riset ITSMA menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam komunitas online

khusus yang dikelola oleh perusahaan yang menjual perangkat keras komputer, perangkat lunak,

dan layanan kepada mereka (Schwartz dkk., 2010). Perusahaan perangkat lunak seperti SAP dan

penyedia informasi bisnis seperti LexisNexis adalah pelopor dalam hal hubungan perusahaan-

konsumen ini. Adanya komunitas online ini membantu mereka mendapatkan keuntungan

kompetitif baru: kemampuan untuk lebih dekat dengan para konsumen—secara rasional dan

emosional—dan menjadi lebih terhubung ke konsumen setiap waktu.

Kotak 5.2: Proyek CRM Sosial dari Jardine

Didirikan sebagai perusahaan dagang di Cina pada 1832, Jardine Matheson kini menjadi

kelompok bisnis yang beraneka ragam, yang terutama berfokus di Asia. Jenis bisnisnya adalah

kombinasi dari kegiatan yang menghasilkan uang tunai dan aset properti jangka panjang. Anak

perusahaan kelompok ini di antaranya Jardine Pacific, Jardine Motors, Jardine Lloyd Thompson,

Hong Kong Land, Dairy Farm, Mandarin Oriental, Jardine Cycle & Carriage, and Astra
International. Perusahaan-perusahaan ini menjadi yang terdepan dalam bidang teknik mesin dan

konstruksi, layanan transportasi, makelar asuransi, investasi properti dan pengembang, pengecer,

restoran, hotel mewah, kendaraan bermotor dan kegiatan terkait, layanan keuangan, peralatan

berat, pertambangan, dan agribisnis.

Melalui Jardine Restaurant Group (JRG), Jardine Pacific, pada akhir 2014,

mengoperasikan 680 outlet dengan lebih dari 19 ribu pegawai, membuatnya menjadi salah satu

kelompok bisnis restoran terkemuka di Asia. JRG adalah pemegang lisensi salah satu waralaba

internasional terbesar dunia, yaitu Pizza Hut, dan berlokasi di Taiwan, Hong Kong, Makau, dan

Vietnam. Selain itu, JRG juga mengoperasikan outlet Kentucky Fried Chicken di Hong Kong,

Makau, Taiwan, dan Vietnam, dan menyediakan layanan pesan-antar pizza lewat Pizza Hut

Delivery (PHD) di Hong Kong.

Pada 2015, JRG memulai eksperimen pemasaran digital untuk bisnis Pizza Hut di Hong

Kong. Mereka menyebutnya Proyek CRM Sosial (Social Customer Relationship Management

Project), yang diklaim sebagai kampanye CRM sosial pertama di antara semua restoran Pizza

Hut di dunia. Ini proyek data raksasa yang bertujuan untuk menggerakkan para konsumen

setianya di Hong Kong.

Agensi yang mereka tunjuk menggunakan teknologi cetak tiga dimensi (3-D) untuk

menciptakan delapan versi mini menu Pizza Hut paling populer. Data yang diambil dari

kebiasaan para pengguna saat memesan dipakai untuk memilih menu tersebut. Untuk setiap

pembelian di atas HK$250 (di restoran, bawa pulang, atau layanan pesan-antar), konsumen Pizza

Hut akan mendapatkan satu piring mini dan menerima menu sesuai ukuran piring itu secara

cuma-cuma. Setiap piring mini punya memiliki kode QR, yang kemudian ditautkan ke sistem
poin penjualan (point-of-sale). Selama akhir pekan, Pizza Hut mulai berkeliling ke tempat-

tempat strategis di Hong Kong untuk meluncurkan undian berhadiah di jalanan.

Rachel Wong, direktur perencanaan strategis UM Rally, mengatakan, indikasi awal

menunjukkan kampanye tersebut telah menghasilkan penjualan melebihi saat Tahun Baru Cina

tahun 2015. Ravel Lai, direktur teknologi informasi JRG, mengatakan: “Menyenangkan sekali

bagi kami ketika bisa menautkan data bisnis kami, aplikasi mobile, point of sale restoran, dan

Facebook untuk kampanye O2O ini.” Lai berkata bahwa konsumen Pizza Hut kini

mengharapkan peningkatan integrasi dan ingin terlibat dengan peranti mobile dalam cara yang

lebih cerdas. “Tidak ada lagi yang namanya sekadar CRM, kini semuanya adalah CRM sosial.”

Dia Ia menyebutkan salah satu contoh bagaimana cara membiarkan orang menggunakan

poin dengan lebih mudah. Cara ini membolehkan anggota mengakses poin mereka untuk

berbagai tujuan, dari berbagi poin dengan teman atau menggunakan poin untuk menghindari

antrean pembeli. “Kami membuat poin sebagai layanan. Analisis data menunjukkan bahwa

ketika menukarkan poin, orang-orang akan kembali ke restoran kami secara lebih sering. Poin

bisa meningkatkan penjualan. Kami ingin pelanggan kami terus menukarkan poin.”

Hal ini menghasilkan dampak langsung. Poin yang ditukarkan pada 2015 melonjak

hingga 57% persen dan penjualan yang dihasilkan dari CRM sosial dan usaha merebut loyalitas

konsumen naik lebih dari 27% persen.

Sumber: jardines.com; “Pizza Hut Activates Loyalty Club in Big Data Program”, marketing-

interactive.com, 26 Januari 2016; “How Jardine Is Revolutionising the Digital World”,

marketing-interactive.com, 19 February 2016.


Merebut Kembali Konsumen yang Hilang pada Era Digital

Yang namanya bisnis tidaklah sempurna. Terkadang terjadi kesalahan dan semua itu tanpa kita

sadari mengakibatkan konsumen kecewa dan marah. Kadangkala Terkadang kasusnya bukanlah

target yang tidak tercapai, tetapi. Kadang adanya konsumen yang juga membuat kesalahan, tapi

dengan cepat berubah kecewa akibat cara penanganan yang dilakukan penjual. Khusus dalam hal

kegagalan pelayanan, penting sekali bagi perusahaan untuk mengatasi masalah konsumen

dengan perhatian penuh dan merebut kembali konsumen yang hilang dengan tindakan cepat dan

efektif. Sebagai konsekuensinya, membuat kebijakan pemulihan layanan yang efektif menjadi

bagian integral agar konsumen mengambil inisiatif untuk mengingat bagaimana tanggapan

perusahaan. Kebijakan pemulihan layanan melibatkan tindakan yang diambil oleh para penyedia

layanan untuk merespons kegagalan layanan (Johnston dan Mehra, 2002).

Dua hal yang sudah dilakukan (misalnya ganti rugi dan kompensasi) dan bagaimana hal

itu dilakukan (misalnya interaksi pegawai dengan konsumen) dapat memengaruhi persepsi

konsumen terhadap pemulihan layanan (Andreassen, 2000). Ada sangat banyak organisasi di

Asia yang belum paham bahwa cara menangani dan mengurus keluhan konsumen sama

pentingnya dengan seberapa sukses mereka memecahkan keluhan-keluhan tersebut. Itu sebabnya

percakapan lewat call center yang ditangani dengan payah atau percakapan teks bisa menyebar

viral. Cara seorang konsumen mengeluh tentang bagaimana keluhannya ditangani dengan keliru

dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan masalah aslinya.

Bagi perusahaan-perusahaan Asia, mengurus permintaan dan keluhan konsumen dengan

baik tentu saja merupakan kompetensi inti yang mendasar dalam pelibatan konsumen. Karena

kita hidup di zaman digital, pemulihan layanan dan penanganan keluhan harus menggunakan

metode online yang efektif, tanpa melupakan pendekatan offline yang sungguh-sungguh. Apa
yang berbeda secara radikal dari sepuluh tahun lalu adalah—bagi setiap organisasi konsumen-

sentris—transparansi dan kecepatan saat menangani konsumen sama pentingnya dengan

interaksi itu sendiri. Beberapa elemen pemulihan layanan yang tegas dan efektif tersedia melalui

integrasi online-offline seperti yang tercantum dalam (Ollila, 2016) berikut in:

(1) Pemantauan masalah: Tempatkan sistem dengan tepat

Sangat penting bagi perusahaan untuk merumuskan rencana yang baik tentang mekanisme untuk

menanggapi keluhan konsumen yang dimuat online. Perusahaan harus secara rutin memantau

semua saluran digital yang ada, lalu menugasi tim internal membuat strategi untuk

mengidentifikasi konsumen yang tidak senang, dan menciptakan proses langkah-demi-langkah

untuk melaksanakan strategi ganti rugi.

Teknologi digital memungkinkan perusahaan untuk membuat sinyal atau tanda guna

memberi tahu ketika nama perusahaan mereka disebut secara online. Ada beberapa saluran

digital yang harus dipantau perusahaan secara rutin:

- Situs media sosial, seperti Facebook, Twitter, Google+, LinkedIn, Reddit, dan Quora.

- Situs web review, seperti Yelp, Zillow, Google, Amazon, dan situs yang spesifik tentang

industri (misalnya Tripadvisor untuk industri pariwisata).

- Surel dari konsumen.

- Blog dan media sosial berpengaruh.

(2) Manajemen waktu: Cepatlah menanggapi

Semakin lama waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk menanggapi keluhan online dapat

mengakibatkan efek berantai, dari ulasan yang jelek, yang bisa disebar hingga berkali-kali,
hingga cuitan negatif di Twitter yang di-retweet oleh ratusan orang. Tanggapan yang tepat waktu

sangat penting untuk meredakan ketidakpuasan konsumen, yang mungkin butuh beberapa saat

untuk akhirnya menghargai tanggapan yang cepat. Begitu perusahaan melakukan kontak

personal dengan konsumen, pasti butuh waktu beberapa saat untuk memahami masalah

seutuhnya. Perusahaan harus mengidentifikasi masalah yang dihadapi konsumen dan

menawarkan solusi yang efektif.

(3) Penyampaian solusi: Selesaikan masalahnya di bawah 24 jam

Walaupun Meskipun penting untuk memahami keluhan konsumen, lebih penting lagi segera

bertindak guna menyediakan solusi atas keluhan konsumen. Semakin cepat Anda menyelesaikan

sebuah masalah, semakin besar kemungkinan bagi konsumen untuk pulih dari pengalaman

buruk. Jika memantau semua saluran digital dengan baik, seharusnya perusahaan merespons

konsumen dalam waktu kurang dari 24 jam.

(4) Tindak lanjut: Gunakan pendekatan offline yang personal

Akhirnya, ketika masalah sudah dipecahkan, perusahaan harus membuat janji layanan.

Pendekatan offline manusia-ke-manusia (human-to-human/H2H) terkadang lebih baik hasilnya.

Beberapa perusahaan menulis surat menggunakan tulisan tangan pribadi dan mengeposkannya

kepada konsumen. Dalam konteks B2B, pertemuan tatap muka secara langsung sebagai tindak

lanjut dapat menghasilkan dampak emosional yang berkesan selamanya. Pendek kata, teknologi

mesin-ke-mesin (M2M) bisa menciptakan hasil yang lebih baik jika dipadukan dengan interaksi

H2H.
Referensi

Andreassen, T.W. (2000). “Antecedents Tto Ssatisfaction Wwith Sservice Rrecovery”. European

Journal of Marketing, 24(1/2), 156–175.

Asia Pacific Network Information Center. (2014). “Internet Infrastructure Development in the Asia

Pacific: What’s Needed for Sustainable Growth”. https://www.apnic.net/ events/apnic-

speakers/presentations/other/files2/2014-04-29-apnic-at-adb-itu.pdf. (last accessed March 18, 2016).

Buday, R. and V DiMauro, V. (2011). “Customer Intimacy on Steroids: Why B2B Firms Need

Online Communities”. http://bloomgroup.com/content/part-i-customer-intimacysteroids. (last accessed

March 19, 2016).

Dawar, N. (December 2013). “When Marketing Is Strategy”. Harvard Business Review.

Desforger, T. and Mike Anthony. (2013). The Shopper Marketing Revolution. Illinois: PTC

Publishing.

DiMauro, V., and& Donald Bulmer, D. (2009). The New Symbiosis of Professional Networks:

Social Media’s Impact on Business and Decision-Making. New York: Society for New Communications

Research.

___________DiMauro, V and D Bulmer . (2010). The New Symbiosis of Professional Networks.,

SNCR Press.

Jardines.com. (2016). Overview. http://www.jardines.com/group-companies.html. (terakhir

diakses pada 19 Maret 2016).

Johnston, R. and S. Mehra. (2002). “Best Ppractice Ccomplaint Mmanagement”. Academy of

Management Executive, 16(4), 145–154.

Keith, R.J. (January 1960). “The marketing revolution”. Journal of Marketing, 24, 35–38.
Kotler, et. al. (2003). Rethinking Marketing: Sustainable Marketing Enterprise in Asia. Singapore:

Prentice Hall.

Lecinski, J. (2011). “Winning the Zero Moment of Truth”., Google.

_________.Lecinski, J (August 2014). “ZMOT: Why It Matters Now More Than Ever”.

https://www. thinkwithgoogle.com/articles/zmot-why-it-matters-now-more-than-ever.html.

Levitt, T. (July–August 1960). “Marketing Myopia”. Harvard Business Review.

Marketing-interactive.com. (2016). “Pizza Hut Activates Loyalty Club in Big Data Program”.

http://www.marketing-interactive.com/pizza-hut-activates-loyalty-club/. (terakhir dimodifikasi pada 26

Januari 2016; terakhir diakses pada 20 Maret 2016).

Marketing-interactive.com. (2016). “How Jardine is Revolutionising the Digital World”.

http://www.marketing-interactive.com/how-jardine-is-revolutionising-the-digitalworld/. (terakhir

dimodifikasi pada 19 Februari 2016; terakhir diakses pada 20 Maret 2016).

Mumbrella. (2015). “Why Thai Life Insurance Ads Are So Consistently, Tear-jerkingly Brilliant”.

http://www.mumbrella.asia/2015/01/thai-life-insurance-ads-consistentlytear-jerkingly-brillant/.( terakhir

dimodifikasi pada Januari 2015; terakhir diakses pada 20 Maret 2016).

News.com.au .(2015). “Thailand Television Commercials will Make You Cry, or At Least Get a

Bit Sad”. http://www.news.com.au/entertainment/tv/thailand-television- commercials-will-make-you-cry-

or-at-least-get-a-bit-sad/news-story/8640bf2660d bd5c84140dcd7452b3c08 .(terakhir dimodifikasi pada

8 September 2015; terakhir diakses pada 20 Maret March 2016).

Ollila, E. (2016). How to Win Back Lost Customers Who Feel Burned. https://www.nowblitz.

com/blog/how-to-win-back-lost-customers-that/. (last accessed March 20, 2016).

Quelch, J.A. and K.E. Jocz. (Winter 2008). “Milestone in Marketing”. Business History Review,

82, 827–838.
Schwartz, J., K. Espinola, and O.N. Van Tan .(2010). How Customers Choose Solutions Providers:

The New Buyer Paradox. ITSMA 2010 Report. London: ITSMA.

Treacy, M. and F. Wiersema. (1997). The Discipline of Market Leaders: Choose Your Customers,

Narrow Your Focus and Dominate Your Market. New York: Basic Books.

Anda mungkin juga menyukai