Anda di halaman 1dari 27

Pelatihan Aplikasi Praktis Sistem Informasi Geografis

(SIG) sebagai Pengayaan Bahan Ajar untuk Guru Sekolah


Menangah Atas dan Kejuruan

PENGANTAR SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


DAN PENGINDERAAN JAUH

A. Tujuan
Tujuan kegiatan pembelajaran adalah :
1. Menjelaskan pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh
2. Menjelaskan komponen SIG dan Sistem Penginderaan Jauh
3. Menjelaskan sumber-sumber data SIG dan bentuk data spasial.
4. Menjelaskan aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam pemanfaatan, pengelolaan
sumber daya dan perencanaan pembangunan.

B. Indikator Pencapaian Kompetensi


Indikator pencapaian kompetensi pada kegiatan pembelajaran ini adalah:
1. Memahami komponen SIG dan Sistem Penginderaan Jauh, urgensi dan aplikasi
dalam menghasilkan informasi spasial
2. Memahami dan dapat mengindentifikasi sumber dan bentuk data spasial yang tepat
untuk tujuan analisis dan pemanfaatan SIG tertentu.
3. Memahami penggunaan dan pemanfaatan SIG dan Penginderaan Jauh dalam
pengelolaan ruang/wilayah.

1
KONSEP SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH

A. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan untuk menyimpan, mengolah dan menampilkan data atau informasi geografis
representasi dari fenomena dunia nyata (Arnoff, 1989; Burrough, 1986). Sebagai system, SIG
dibentuk oleh komponen-komponen yang saling terhubung satu dengan lainnya. Komponen
SIG terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia
yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan
data dalam suatu informasi berbasis geografis.

Dengan demikian SIG sebagai sebuah system dapat pula diartikan ”sistem yang
menyediakan infrstruktur, alat dan metode untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan
data dalam suatu informasi berbasis geografis” (Goodchild, 1992; Maguire, 2010). Dari sudut
pandang keilmuan (Geographic Information Science), mengandung makna sebagai sebuah
kerangka pikir penggunaan terori informasi, analisis spasial dan statistik, serta kartografi yang
membantu kita memahami filosofi dan kontek informasi geografis dalam berbagai bidang
kehidupan (Longley, 2005; Maguire 2010).

A.1. Sumber Data SIG

Dalam sistem informasi secara umum, dan khususnya dalam membangun SIG, terdapat
empat proses yang dilakukan secara berurutan yaitu pemasukan data, manajemen (termasuk
pengelolaan, pemutakhiran) data, analisis data dan presentasi/penyajian data/informasi yang
dihasilkan. Dengan demikian, dalam membangun SIG, diperlukan sumber-sumber data sebagai
komponen masukan dalam proses tersebut. Oleh karena itu seorang yang bekerja dengan SIG
perlu mengetahui sumber-sumber data SIG. Data yang berasal dari berbagai sumber inilah
yang akan diproses dalam SIG. Berikut adalah beberapa sumber data yang biasa dikenal dalam
SIG.

2
A.1.1. Peta Analog

Peta analog adalah peta yang berbentuk cetakan hasil dari proses yang dilakukan dalam
SIG, peta ini berbentuk hardcopy yang dikerjakan dengan teknik kartografi. Contoh peta analog
adalah peta rupa bumi yang diterbitkan BIG, Atlas, atau peta cetak lainnya, baik peta dasar
maupun peta tematik.

Gambar 1. Salah satu contoh peta analog, Peta Rupa Bumi yang dicetak dalam kertas

Peta analog ini dapat digunakan dalam SIG, dengan menggunakan beberapa teknik dan
bantuan software pengolahan data SIG. Untuk memasukan peta analog dalam proses SIG,
terlebih dahulu peta cetak tersebut di-scan, sehingga menjadi sebuah data digital (berupa
gambar). Agar data digital tersebut memiliki informasi koordinat yang merujuk pada posisi
dipermukaan bumi, maka peta digital diberikan referensi koordinat yang benar melalui proses
georeferencing. Setelah diberikan referensi koordinat, lalu obyek yang ada dalam peta dapat
dijadikan data-data spasial berjenis vector (titik, garis dan polygon/area) melalui proses digitasi.

3
A.1.2. Data Penginderaan Jauh (Citra Satelit)

Data penginderaan jauh adalah data-data spasial berjenis raster yang berasal dari citra
satelit dan foto udara. Identifikasi dan klasifikasi obyek dari sebuah citra satelit dilakukan melalui
proses intepretasi, baik secara visual maupun digital (melalui proses komputasi), sehingga
obyek dalam citra satelit dapat diklasifikasi dan dibedakan ke dalam jenis tutupan lahan,
misalnya hutan, perkebunan sawit, lading, sawah permukiman dan lainnya.

Gambar 2. Data Penginderaan Jauh (Citra Satelit) dari wilayah/kampus BIOTROP

Data penginderaan jauh yang berupa citra satelit dan foto udara yang dihasilkan melalui
perekaman wahana satelit, memerlukan pengolahan awal (pre-processing) berupa; (1) proses
koreksi radiometrik yang berfungsi untuk menghilangkan efek-efek gangguan akibat pembiasan
gelombang oleh partikel-partikel di atmosfer saat perekaman obyek, sehingga dapat
memperbaiki kualitas perbedaan warna melalui metode penajaman warna; dan (2) koreksi
geometrik yang berfungsi untuk memberikan informasi posisi koordinat (lintang/bujur) ke dalam
citra, sehingga posisi obyek dalam citra berasosiasi dan bertepatan dengan posisi obyek yang
sebenarnya di permukaan bumi.

4
Penginderaan jauh yang berasal dari citra satelit dan foto udara selalu berkembang
seiring berkembangnya teknologi dalam ilmu penginderaan jauh.

A.1.3. Data Pengukuran Lapangan

Data pengukuran lapangan adalah data yang diperoleh langsung di lapangan melalui
proses pengukuran dan perekaman dengan alat GPS, Teodolit, sketsa hasil pengamatan dan
lain-lain. Beberapa data yang dapat dihasilkan melalui pengukuran lapangan diantaranya peta
tata batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil dan lain-lain. Data-data hasil
pengukuran itu harus disertai keterangan-keterangan data/obyek yang diukur, dan tersimpan
sebagai data atribut dari sebuah data spasial.

Teknologi GPS (Global Positioning System) sangat membantu dan memudahkan dalam
melakukan pengukuran dan perekaman data secara langsung di lapangan. Teknologi GPS
terus berkembang sehingga akurasi GPS hingga kini semakin baik, dan tentunya berbeda pada
setiap jenis GPS. GPS Geodetik memiliki akurasi lebih tinggi disbanding GPS jenis Handheld.
Data GPS (data yang dukur dan direkam dengan GPS) dapat langsung dibaca/diimport oleh
software GIS. Sehingga dengan menggunakan GPS, tidak perlu lagi menggambar sketsa
tentang suatu lokasi. Data GPS yang dihasilkan berupa data spasial berjenis vektor yang dapat
langsung diproses atau diolah, diintegrasikan dengan data lainnya.

Gambar 3. Beberapa contoh GPS jenis handheld dan navigasi

5
A.2. Bentuk Data dan Informasi Spasial

Data spasial merupakan sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem
koordinat tertentu sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang
membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif
(attribute).

A.2.1. Data Vektor

Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis,
area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik dan
nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis). Obyek yang dibangun pada data
vektor umumnya tebagi pada tiga bentuk yaitu titik (point), garis (line) dan area (polygon). Di
dalam ArcGIS, data vektor ini tersimpan dalam format shapefile (*.shp).

Gambar 4. Tipe data vector

A.2.2. Data Raster

Data raster memiliki struktur yang tersusun dalam bentuk matriks atau piksel dan
membentuk grid. Setiap piksel memiliki nilai tertentu dan memiliki atribut tersendiri, termasuk
nilai koordinat (x,y atau lintang dan bujur). Tingkat keakurasian data raster sangat tergantung
pada ukuran piksel, yang dikenal dengan istilah resolusi. Data raster ini dihasilkan oleh rekaman
sensor satelit, rekaman airborne (pesawat terbang), dan rekaman oleh UAV (Unmmaned Aerial
Vehicle) atau yang lebih dikenal dengan Dron. Selain digunakan dalam analisis berbasis citra
satelit, bentuk data raster juga digunakan dalam membangun model ketinggian digital (DEM-

6
Digital Elevatin Model) dan model permukaan digital (DTM-Digital Terrain Model). Format umum
data raster yang sering digunakan adalah GeoTIFF, IMG, dan format khusus lainnya yang
dihasilkan oleh software-software pengolah data spasial.

Gambar 5. Struktur Model Data Raster

Gambar 6. Jenis data raster

A.2.3. Data Tabular

Data tabular merupakan data tabel, data ini dapat langsung menjadi bagian data spasial
dan dapat pula terpisah dari data spasial.

7
Gambar 7. Data tabular menunjukan keterangan suatu data spasial

A.2.4. Dataset Geodatabase

Dengan berkembangnya teknologi, data GIS mampu disimpan pada suatu data yang
terpusat, yang disebut dataset geodatabase. Data ini juga mampu dikembangkan hingga
disimpan dalam database. Berikut perbedaan data GIS dengan dataset geodatabase.

Tabel Perbedaan Data GIS Dengan Dataset Geodatabase

8
A.3. Sistem Koordinat, Proyeksi dan Skala Peta

Sistem Koordinat merupakan bilangan yang digunakan untuk menunjukan lokasi suatu
titik, garis dan permukaan atau ruang. Informasi lokasi ditentukan berdasarkan sistem koordinat
yang diantaranya mencakup datum dan proyeksi peta. Datum adalah kumpulan parameter dan
titik kontrol yang hubungan geometriknya diketahui, baik melalui pengukuran atau
penghitungan. Sistem proyeksi peta adalah sistem yang dirancang untuk mempresentasikan
permukaan dari suatu bidang lengkung atau spheroid (seperti bumi) pada suatu bidang datar.

A.3.1. Proyeksi Kerucut

Proyeksi kerucut banyak digunakan di beberapa negara wilayah subtropics seperti di


negara-negara eropa dan amerika. Proyeksi ini mengikuti bentuk bumi yang semakin tinggi nilai
lintang, maka semakin sedikit luas areanya.

Gambar 8. Ilustrasi proyeksi kerucut

A.3.2. Proyeksi Silinder

Proyeksi silinder lebih tepat digunakan untuk wilayah-wilayah mendekati garis


khatulistiwa atau wilayah yang memiliki iklim tropis, karena pada proyeksi ini permukaan bumi
dianggap datar dan sama wilayahnya tanpa melihat koordinat dan garis lintang. Metode pada
proyeksi ini terbagi menjadi normal, transverse dan oblique.

9
Gambar 9. Ilustrasi proyeksi silinder

A.3.3. Proyeksi Azimut atau Planar

Proyeksi azimuth atau planar banyak digunakan untuk merepresentasikan muka bumi di
wilayah tertentu memperhatikan posisi lintang tinggi atau rendah, sehingga ini membantu
beberapa negara yang luasanya tidak cocok untuk proyeksi silinder dan kerucut. Proyeksi ini
memiliki beberapa metode yaitu polar, equatorial dan obilique, yang masing-masing metode
menyesuaikan bentuk wilayah suatu negara pada muka bumi.

10
A.4. Geographic Coordinate System (GCM)

Geographic Coordinate System (GCS) menggunakan sistem koordinat bola untuk


menunjukkan sebuah lokasi di permukaan bumi. Sebuah titik direferensikan dengan garis
lintang (latitude) dan garis bujur (longitude). Garis lintang dan garis bujur adalah sudut yang
diukur dari pusat bumi ke titik di permukaan bumi. Satuan ukur dari garis-garis ini adalah
derajat.

Gambar 10. Sistem Koordinat Geografi

A.5. Projected Coordinate System

Sistem koordinat terproyeksi adalah sistem koordinat yang didasarkan pada proyeksi
peta di bidang dua dimensi. Sistem koordinat ini memiliki panjang, sudut, luas wilayah yang
sama (konstan). Dalam sistem koordinat ini lokasi-lokasi diidentifikasi oleh koordinat (x, y)
dalam sebuah grid, dengan titik pusat yang terletak di tengah dari grid. Berikut gambar yang
menunjukkan grid dan contoh sistem koordinat terproyeksi Universal Transverse Mercator
(UTM) System.

11
Gambar 11. Zona UTM Dunia

Gambar 12. Zona UTM di Indonesia

A.6. Skala Peta

Dalam melakukan analisis menggunakan data-data spasial, yang paling berpengaruh


adalah tingkat kedalaman (kedetilan) data geospasial di dalamnya. Hal ini menujukan betapa
pentingnya mengetahui skala peta, karena skala ini menentukan tingkat kelengkapan informasi
geospasial suatu peta.

12
Gambar 13. Kedetailan suatu skala, semakin ke kanan semakin besar skala peta dan
semakin detail informasinya

Berdasarkan skala, maka semakin besar skala peta semakin lengkap/detil informasi
geospasial yang ditampilkan dalam peta. Seperti ilustrasi dalam gambar 13, skala 1:25.000
lebih lengkap informasi geospasialnya dibanding skala 1:100.000 dan 1:1.000.000. Sehingga
dapat di simpulkan bahwa untuk melakukan analisis spasial pada level kabupaten diperlukan
data yang lebih lengkap informasinya, atau skala data yang diperlukan lebih besar. Bila di
provinsi menggunakan skala 1:250.000 maka untuk menganalisis data spasial di level
kabupaten diperlukan data dengan skala lebih besar yaitu skala 1:50.000 atau 25.000
sedangkan untuk perkotaan bisa mencapa 1:10.000 dan 1:5000.

B. PENGINDERAAN JAUH

B.1. Pengertian Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (atau disingkat inderaja) adalah pengukuran atau akuisisi data dari
sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan

13
objek tersebut atau pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh
sebuah alat dari jarak jauh, (misalnya dari pesawat, pesawat luar angkasa, satelit, kapal atau
alat lain. Menurut Lillesand dan Kiefer (1997, 2007), Colwell (1984), Lindgren (1985), Avery
(1985) dan Curran (1985), penginderaan jauh dapat disarikan sebagai ilmu, seni dan teknologi
untuk merekam informasi tentang obyek di permukaan bumi menggunakan alat/instrumen tanpa
kontak langsung, mengolah dan menganalisis objek dan fenomena berdasarakan rekaman
karakteristik elektromagnetik yang dipantulkan oleh obyek wilayah, atau gejala yang dikaji.

B.2. Komponen Dasar Penginderaan Jauh

Empat komponen dasar dari sistem PENGINDERAAN JAUH adalah target, sumber
energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk
mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber
energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak
diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk
meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang
mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke
stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra
ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi
biasanya berupa gabungan antara visual dan digital dengan bantuan komputer dan perangkat
lunak pengolah citra.

Gambar 14. Komponen Penginderaan Jauh: (1). Sumber Energi (matahari); (2). Target
(obyek di permukaan bumi); (3). wahana; dan (4). Sensor (alat perekam).

14
B.2. Teknologi Penginderaan Jauh

Berdasarkan sumber energi dalam proses PENGINDERAAN JAUH, dibagi dalam dua
jenis:

 Sistem pasif adalah sistem yang menggunakan sumber energi sinar matahari.
Sensor menangkap gambar obyek berdasarkan gelombang yang dipantulkan
oleh obyek di permukaan bumi.
 Sistem aktif adalah sistem yang menggunakan sumber energi buatan yang
memancarkan gelombang untuk menangkap kenampakan obyek di permukaan
bumi.

Pada system pasif, energi yang ditangkap sensor satelit ditentukan oleh jumlah energy
matahari yang diterima oleh obyek di setiap tempat. Perbedaan energy yang diterima obyek
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

Waktu penyinaran

Jumlah energi yang diterima oleh objek pada saat matahari tegak lurus (siang hari) lebih
besar daripada saat posisi miring (sore hari). Makin banyak energi yang diterima objek, makin
cerah warna obyek tersebut.

Bentuk permukaan bumi

Permukaan bumi yang bertopografi halus dan memiliki warna cerah pada permukaannya
lebih banyak memantulkan sinar matahari dibandingkan permukaan yang bertopografi kasar
dan berwarna gelap. Sehingga daerah bertopografi halus dan cerah terlihat lebih terang dan
jelas.

Keadaan cuaca

Kondisi cuaca pada saat pemotretan mempengaruhi kemampuan sumber tenaga dalam
memancarkan dan memantulkan. Misalnya kondisi udara yang berkabut menyebabkan hasil
inderaja menjadi tidak begitu jelas atau bahkan tidak terlihat.

Atmosfer

Lapisan udara yang terdiri atas berbagai jenis gas, seperti O2, CO2, nitrogen, hidrogen
dan helium. Molekul-molekul gas yang terdapat di dalam atmosfer tersebut dapat menyerap,
memantulkan dan melewatkan radiasi elektromagnetik.

Di dalam PENGINDERAAN JAUH terdapat istilah Jendela Atmosfer, yaitu bagian


spektrum elektromagnetik yang dapat mencapai bumi. Keadaan di atmosfer dapat menjadi

15
penghalang pancaran sumber tenaga yang mencapai ke permukaan bumi. Kondisi cuaca yang
berawan menyebabkan sumber tenaga tidak dapat mencapai permukaan bumi.

Gambar 15. Jendela atmosfir di mana transmisi berjalan penuh

B.2.1. Gelombang Elektromagnetik

Gelombang elektromaknetik adalah gelombang yang merambat secara kontinu dalam


gerak yang harmonis. Sumber dari gelombang ini secara alami adalah sinar matahari, selain
dapat pula dibuat secara artifisial seperti pada penginderaan dengan gelombang radar
(gelombang mikro). Selang panjang gelombang elektromaknit mulai dari sekitar 0.3 nm sampai
orde meter yang meliputi gelombang ultra ungu sampai radio (Gambar 16).

Gambar 16. Selang panjang gelombang elektromaknit dan jendela atmosfir

16
Tidak semua gelombang elektromaknit dapat dipakai dalam sistim perekaman data
karena sebagian dari selang panjang gelombang tersebut tidak dapat diteruskan (ditrasmit) ke
permukaan bumi. Perambatan gelombang ke permukaan bumi dipengaruhi oleh proses yang
terlihat pada gambar 13. Penghalang yang membendung jalannya gelombang tersebut di
antaranya adalah massa gas yang terdapat di atmosfir seperti O2, H2O, CO2. Oleh karena itu
ada celah-celah dimana transmisi gelombang berjalan penuh. Celah tersebut dikenal sebagai
jendela atmosfir (atmospheric window) seperti dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.

B.2.2. Komunikasi dan Pengumpulan Data

Pengiriman data yang dikumpulkan dari sebuah sistem Penginderaan Jauh kepada
pemakai kadang-kadang harus dilakukan dengan sangat cepat. Oleh karena itu, pengiriman,
penerimaan, pemrosesan dan penyebaran data dari sebuah sensor satelit harus dirancang
dengan teliti untuk memenuhi kebutuhan pemakai. Pada ground-based platforms, pengiriman
menggunakan sistem komunikasi ground-based seperti radio, transmisi microwave atau
computer network. Bisa juga data disimpan pada platform untuk kemudian diambil secara
manual. Pada aerial platforms, data biasanya disimpan on board dan diambil setelah pesawat
mendarat. Dalam hal satellite platforms, data dikirim ke bumi yaitu kepada sebuah stasiun
penerima. Berbagai cara transmisi yang dilakukan:

 langsung kepada stasiun penerima yang ada dalam jangkauan,


 disimpan on board dan dikirimkan pada saat stasiun penerima ada dalam
jangkauan, terus menerus, yaitu pengiriman ke stasiun penerima melalui
komunikasi satelit berantai pada orbit bumi, atau
 kombinasi dari cara-cara tersebut.

Data diterima oleh stasiun penerima dalam bentuk format digital mentah. Kemudian data
tersebut akan diproses untuk pengkoreksian sistematik, geometrik dan atmosferik dan
dikonversi menjadi format standard. Data kemudian disimpan dalam tape, disk atau CD. Data
biasanya disimpan di stasiun penerima dan pemproses, sedangkan perpustakaan lengkap dari
data biasanya dikelola oleh pemerintah ataupun perusahaan komersial yang berkepentingan.

B.3. Sistim Penginderaan Jauh

Sistim penginderaan jauh mencakup beberapa komponen utama yaitu: (1) sumber

17
energi;

(2) sensor sebagai alat perekam data; (3) stasiun bumi sebagai pengendali dan
penyimpan data; (4) fasilitas pemrosesan data; (5) pengguna data. Gambar 17 memperlihatkan
hubungan kelima komponen tersebut.

Gambar 17. Diagram sistim penginderaan jauh pada umumnya

Sumber energi yang umum dipergunakan dalam sistim penginderaan jauh yang
operasional saat ini adalah dari matahari (passive sensing) dan kebalikannya active sensing
dipakai dalam sistim imaging radar. Nilai intensitas pantul berkisar antara 0 - 255 dimana 0
merupakan intensitas terrendah (hitam) dan 255 intensitas tertinggi (putih). Ukuran pixel
berbeda tergantung pada sistim yang dipakai, menunjukkan ketajaman/ketelitian dari data
penginderaan jauh, atau yang dikenal dengan resolusi spasial. Makin besar nilai resolusi spasial
makin kurang detail data yang dihasilkan, sebaliknya makin kecil nilai resolusi spasial makin
detail data tersebut dihasilkan seperti dapat dilihat pada ambar 18.

18
Gambar 18. Gambaran perbedaan nilai resolusi spasial data penginderaan jauh.

Selain resolusi spasial data penginderaan jauh mengenal suatu istilah lain yaitu resolusi
spektral. Data penginderaan jauh yang menggunakan satu band pada sensornya hanya akan
memberikan satu data intensitas pantul pada tiap pixel. Apabila sensor menggunakan 5 band
maka data pada tiap pixel akan menghasilkan 5 nilai intensitas yang berbeda. Dengan
menggunakan banyak band (multiband) maka pemisahan suatu obyek dapat dilakukan lebih
akurat berdasarkan nilai intensitas yang khas dari masing-masing band yang dipakai. Sebagai
ilustrasi resolusi spektral diperlihatkan pada gambar 19.

Gambar 19. Diagram yang menunjukkan resolusi spektral dari


data penginderaan jauh multispectral.

19
Data penginderaan jauh merupakan data digital yang penggunaannya memerlukan
suatu perangkat keras dan lunak khusus untuk pemrosesannya. Komputer PC dan berbagai
software seperti ERMapper, ILWIS, IDRISI, ERDAS, PCI, ENVI, ArcGIS dsb dapat
dipergunakan sebagai pilihan. Untuk keperluan analisis dan interpretasi dapat dilakukan dengan
dua cara: (1). Pemrosesan dan analisis digital dan (2). Analisis dan interpretasi visual. Kedua
metoda ini mempunyai keunggulan dan kekurangan, seyogyanya kedua metoda dipergunakan
bersama-sama untuk saling melengkapi.

Pemrosesan digital berfungsi untuk membaca data, menampilkan data, memodifikasi


dan memproses, ekstraksi data secara otomatik, menyimpan, mendesain format peta dan
mencetak. Sedangkan analisis dan interpretasi visual dipergunakan apabila pemrosesan dat
secara digital tidak dapat dilakukan dan kurang berfungsi baik. Pemrosesan secara digital lain
sangat bervariasi seperti misalnya deteksi tepi (edge enhancements), filtering, histogram
transformations, band ratioing, Principle Component Analysis (PCA), Classifications,
penggunaan formula dan sebagainya.

Di samping pemrosesan digital suatu metoda lain yang tidak dapat dikesampingkan
adalah pemrosesan, interpretasi dan analisis secara visual. Cara seperti ini dilakukan seperti
halnya diterapkan dalam interpretasi potret udara konvensional yang telah lama dilakukan
sebelum era citra satelit diperkenalkan. Parameter interpretasi seperti pengenalan obyek
berdasarkan bentuk, ukuran, pola dan tekstur topografi, struktur, rona warna dan sebagainya
dipergunakan dalam mengenal dan membedakan obyek/benda antara satu dengan yang lain.

Pengguna data merupakan komponen akhir yang penting dalam sistem inderaja, yaitu
orang atau lembaga yang memanfaatkan hasil penginderaan jauh. Data penginderaan jauh
dapat digunakan dalam berbagai bidang, seperti: militer, kependudukan, pemetaan, meteorologi
dan klimatologi, dan bidang-bidang lainnya.

B.4. Keunggulan Penginderaan Jauh

Menurut Sutanto (1994), penggunaan penginderaan jauh baik diukur dari jumlah bidang
penggunaannya maupun dari frekuensi penggunaannya pada tiap bidang mengalami
pengingkatan dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

 Citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan


wujud dan letak obyek yang mirip dengan kenyataannya di permukaan bumi.

20
 Dapat menjangkau daerah-daerah remote (yang tidak dapat dijangkau dengan
transportasi secara terestrial), dan cakupan luas.
 Dari jenis citra tertentu dapat dibuat gambaran tiga dimensional.
 Sumber data utama untuk monitoring, pemetaan tutupan lahan, area bencana,
dll.
 Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek (time series).

C. APLIKASI DAN PEMANFAATAN SIG DAN PENGINDERAAN JAUH

C.1. Data GIS untuk Mendukung Pembangunan Wilayah

Informasi Geospasial (IG) amatlah penting dalam mendukung perencanaan


pembangunan dan pengembangan wilayah. Negara dan pemerintah telah mengatur dan
menetapkan perangkat kebijkan dalam bentuk peraturan perundangan yang menekankan
pentingnya data spasial, berikut ini:

 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa seluruh kegiatan pembangunan
haruslah direncanakan berdasarkan data (spasial dan nonspasial) dan informasi
yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan.
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan di daerah harus
berdasarkan pada data dan informasi, termasuk data dan informasi spasial, serta
Pemerintah daerah harus membangun sistem informasi daerah yang terintegrasi
secara nasional.
 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005-2025 menegaskan bahwa aspek wilayah/spasial
haruslah diintegrasikan ke dalam - dan menjadi bagian - kerangka perencanaan
pembangunan di semua tingkatan pemerintahan. Dalam kaitan ini, terdapat 33
provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota yang harus mengintegrasikan
rencana tata ruangnya ke dalam perencanaan pembangunan daerahnya masing-
masing.
 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial,
menegaskan bahwa salah satu tujuan ditetapkan undang-undang ini adalah
untuk mendorong penggunaan informasi geospasial dalam penyelenggaraan

21
pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Keempat amanat Undang-Undang tersebut menegaskan pentingnya data spasial dalam


proses perencanaan pembangunan.

Selain merupakan proses politik, teknokratik dan partisipatif, perencanaan


pembangunan nasional dan pembangunan daerah memerlukan pula proses komunikasi
intensif, koordinasi dan sinergi yang saling menguntungkan. Tuntutan akan kualitas produk
perencanaan pembangunan yang muncul pada saat ini antara lain mencakup:

 adanya perencanaan spasial yang terintegrasi;


 adanya pendekatan holistik (menyeluruh) berupa integrasi pembangunan
ekonomi dan sosial;
 terwadahinya interaksi lokal dengan global;
 teridentifikasinya kegiatan berdasarkan konsensus bersama antara institusi
publik dan swasta;
 terkaitnya perencanaan dengan investasi swasta/masyarakat.

Terkait dengan perencanaan wilayah, data spasial yang diperlukan meliputi data-data
geografis dasar serta data-data tematik yang umum dipakai dan sering dibutuhkan, sebagai
berikut:

 Data dasar antara lain meliputi geodesi (batuan), citra satelit, elevasi (ketinggian
dan kemiringan), transportasi, hidrografi (sumber daya air), kadastral (peta
kepemilikan tanah), unit wilayah administratif dan lain-lain.
 Data tematik antara lain meliputi tema-tema pertanian, kelautan dan perikanan,
kehutanan, pengairan, perhubungan, sumberdaya mineral dan energi,
pertanahan, sosial-ekonomi, dan sejenisnya.

Perencanaan pembangunan daerah hakekatnya adalah merencanakan upaya mobilisasi


sumber daya yang ada untuk menghasilkan barang, jasa, dan pertambahan nilai, bagi
kesejahteraan masyarakat. Pengembangan daerah diselenggarakan dengan memperhatikan
potensi dan peluang keunggulan sumber daya darat dan/atau laut di setiap wilayah, serta
meperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan.

Pelaksanaan pembangunan daerah dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan


semua rencana pembangunan sektor dan bidang. Rencana pembangunan dijabarkan dan
disinkronkan ke dalam rencana tata ruang yang konsisten, baik materi maupun jangka
waktunya. Rencana Tata Ruang (RTR) merupakan landasan kebijakan pengembangan wilayah

22
sebagai pedoman pembangunan ekonomi daerah. Rencana tata ruang digunakan sebagai
acuan kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor, lintas sektor, maupun wilayah agar
pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 3, mengamanatkan:

Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional


yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional dengan:

 terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;


 terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
 terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang

Dengan demikian RTRW dan RDTR merupakan muara dari rencana Pembangunan
Daerah.

Gambar 20. Informasi Geospasial sebagai input dasar perencanaan pembangunan


untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah (Sumber: RPJMN 2015-2019)

Beberapa contoh nyata penerapan dan pemanfaatan SIG dan penginderaan jauh dalam

23
konteks perencanaan dan pembangunan wilayah, diantaranya:

 Bidang Pertanian
o Delineasi lahan baku sawah
o Analisis dan zonasi kesesuaian lahan pertanian
o Dikombinasikan dengan pemodelan spasial dapat menghitung umur padi dari data
citra pada waktu perekaman tertentu dan estimasi waktu dan luas panen
o Valuasi tegakan dalam perkebunan
 Bidang Kelautan
o Pemetaan perubahan pantai, abrasi, sedimentasi.
o Identifikasi suhu permukaaan dan klorofil untuk menentukan daerah tangkapan
 Bidang Hidrologi
o Pemetaan daerah aliran sungai (DAS) dan konservasi sungai.
o Pemetaan sungai dan studi sedimentasi sungai.
o Pemetaan luas daerah dan intensitas banjir.
 Bidang Geologi
o Pemetaan daerah bencana (gempa, kebakaran, longsor, dll)
o Pemetaan distribusi sumber daya alam.
o Pemantauan pencemaran laut dan lapisan minyak di laut.
 Bidang Meteorologi dan Klimatologi
o Permodelan meteorologi dan data klimatologi.
 Bidang Kebijakan Spasial
o Penyusunan RDTR
o Penyusunan RTRW
o Delineasi dan Pemetaan Kawasan Hutan
 Bidang Sosial
o Pemetaan jumlah dan kepadatan penduduk
o Pemetaan kualitas SDM, integrasi dengan data statistic (IPM, tingkat pendidikan,
lama sekolah, dll)
 Dan dalam bidang-bidang lainnya.

24
C.2. Sistem Basisdata Geospasial dalam Perencanaaan

Undang-Undang No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang dikoordinasikan


oleh BIG (Badan Informasi Geospasial) mengamanatkan agar kebijakan satu peta dapat
membangun informasi geospasial dasar dan tematik serta pembangungan infrastruktur jaringan
informasi geospasial, yang dibangun menggunakan satu referensi, satu standar, satu basisdata
dan satu portal.

Basis data geospasial menyediakan informasi spasial yang diperlukan dalam


merumuskan, menyusun dan merencanakan pembangunan dan melakukan analisis
pemanfaatan lahan terhadap perencanaan wilayah dan pemodelan spasial. Basis data
geospasial secara optimal mendukung penyusunan strategi percepatan dan perluasan
pembangunan yang diharapkan berintegrasi dengan simpul jaringan geospasial data nasional.
Hal ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2014 tentang JARINGAN
INFORMASI GEOSPASIAL NASIONAL yang merupakan kebijakan cost effective dan efisien
dalam pengadaan, pengelolaaan, pemanfaatan dan penyebarluasan informasi geospasial.
Jaringan Informasi Geospasial Nasional (IGN), adalah Suatu sistem penyelenggaraan
pengelolaan Informasi Geospasial secara bersama, tertib, terukur, terintegrasi dan
berkesinambungan serta berdayaguna (Pasal 1, Butir 7. Pepres No.27/2014) Informasi
Geospasial adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat
bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan
yang berhubungan dengan ruang kebumian (Pasal 1, Butir 4. Pepres No.27/2014).

Basis data geospasial merupakan sistem manajemen basisdata relasi yang berbasis
sistem informasi geografi (SIG), yang juga merupakan kumpulan data spasial baik peta dasar,
tematik dan rencana. Data spasial ini mengacu pada kebijakan satu peta dimana memiliki satu
referensi, satu standar (skala atau resolusi), sehingga data spasial dapat dijadikan acuan dasar
dalam analisis dan pemodelan pemanfaatan lahan, pemanfaatan sumber daya alam.

Menyusun basisdata geospasial yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan


wilayah, memerlukan langkah-langkah identifikasi, analisis hingga pemanfaatan teknologi untuk
mengoptimalkan peranan informasi geospasial dalam menyusun scenario pengembangan
wilayah. Berikut salah satu contoh langkah-langkah identifikasi potensi informasi geospasial
dalam konteks perencanaan.

25
Gambar 21. Identifikasi potensi informasi geospasial merupakan langkah penting untuk
membangun basisdata spasial untuk mendukung perencanaan wilayah.

Pemanfaatan Informasi geospasial tematik dibangun melalui inventarisasi data hasil


pengumpulan data spasial dari beberapa instansi pemerintahan baik pusat dan daerah yang
terlibat dalam analisis keruangan dan pemanfaatan lahan. Survey dilakukan untuk memperkuat
dan memperbaharui data-data geospasial dengan memperhatikan sektor-sektor yang dikaji
dalam pembangunan yang tertera dalam RTR Kabupaten/Kota dan RPJMD, sehingga
pengumpulan dan pemanfaatan peta tematik sesuai dengan kebutuhan analisis.

Basis data geospasial terdiri dari 3 jenis peta diantaranya peta dasar, peta tematik dan
peta rencana. Ketiga peta ini dapat digunakan untuk melakukan valuasi lahan yang telah
dimanfaatkan sesuai kebijakan atau tata ruang, juga untuk melihat distribusi sumber daya alam
dan lahan yang bisa dimanfaatkan mengikuti kebijakan strategis (Gambar 17).

Oleh karena itu, dengan informasi geospasial diharapkan perencanaan wilayah berbasis
pemanfaatan informasi geospasial tematik dapat memberi peringatan tentang dampak-dampak
lingkungan dan juga mampu memberikan gambaran wilayah-wilayah potensial yang dapat
dijadikan kawasan perhatian investasi untuk mendukung pengembangan strategis wilayah.

26
ANALISIS PEMANFAATAN
PENGUMPULAN DATA
LAHAN

PETA PETA
INVENTARISASI SURVEY PETA DASAR
TEMATIK RENCANA

RTRW
ANALISIS/KAJIAN Sumber Daya
SESUAI KAIDAH ONE Wilayah
ANALISIS
MAP POLICY
SPASIAL

PETA-PETA
BASISDATA GEOSPASIAL KESESUAIAN LAHAN

Gambar 22. Alur Pemanfaatan Basisdata Geospasial Tematik


dalam Pengembangan Wilayah

DAFTAR PUSTAKA

Burrough, P. A., and McDonnell, R.A. (1998). Principle of Geographical Information Systems,
2nd edition.New York: Oxford University Press.

Goodchild, M.F. 1992. Geographic Information Science.. International Journal of Geographical


Information Systems 6(1): 31–45. Reprinted in P.F. Fisher, editor, Classics from IJGIS:
Twenty years of the International Journal of Geographical Information Science and
Systems. Boca Raton: CRC Press.

Lillesland, Thomas. M dan Ralph W. Kiefer. 2007. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Longley, P., Goodchild, M., Maguire, D. & Rhind, D. 2005. Geographic Information Systems and
Science. England, UK:John Wiley & Sons, Ltd.

Maguire, D.J. 2010. GIS: A tool or science. https://www.geospatialworld.net/article/gis-a-tool-or-


science/

Pickles, J. 1997. Tool or Science? GIS, Technoscience and the Theoretical Turn. Annals of the
Association of American Geographers, Vol. 87, No.2 (Jun., 1997) p 363-372.
Washington, DC:Taylor & Francis, Ltd.

Sutanto. 1979. Pengetahuan Dasar Interpretasi Citra. Yogyakarta :Gadjah Mada University
Press.

27

Anda mungkin juga menyukai