Anda di halaman 1dari 2

Moderasi Sosio-Religius dalam Beragama dan Bernegara

Negeri ini seharusnya patut berbangga, karena tidak seperti negara-negara Islam yang ada di dunia, mayoritas umat muslim di Indonesia adalah
kalangan yang memproklamasikan diri sebagai garda moderat. Namun, belakangan hadir nuansa apatis yang sedang berupaya menggerus
sistem nilai yang sudah mapan di tengah masyarakat.

Ajaran-ajaran agama dipertentangkan dengan kebijakan-kebijakan negara. Demokrasi yang merupakan perwujudan kesepakatan politik manusia
dibenturkan dengan kekuasaan Tuhan yang absolut. Jika kita sadari, fenomena ini adalah salah satu bentuk kegelisahan teologis yang memantik
banyak peristiwa di bumi Ibu Pertiwi akhir-akhir ini. Hingga muncul suara-suara sumbang untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara
dengan bentangan bendera hitam-putih atau pekikan-pekikan takbir di jalanan yang tidak diimbangi dengan sikap kerendahan hati.

Mendamaikan Dua Ekstrem

Tantangan terbesar para pemikir di dunia saat ini, khususnya di Indonesia adalah mendamaikan apa yang disebut dengan ekstrem kanan
(fundamental) dan ekstrem kiri (liberal-sekuler). Indonesia sebagai negara kesatuan yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam agama, suku,
etnis, bahasa dan budaya tentu tidak boleh memihak salah satu dari kedua hal tersebut.

Indonesia harus memiliki cara berpikir dan bernarasi sendiri agar tidak terjebak dalam sekat ruang-ruang sosial. Pada titik ini, moderasi sosio-
religius sebagai integrasi ajaran inti agama dan keadaan masyarakat multikultural di Indonesia dapat disinergikan dengan kebijakan-kebijakan
sosial yang diambil oleh pemerintah negara. Kesadaran ini harus dimunculkan agar generasi bangsa ini bisa memahami bahwa Indonesia ada
untuk semua.

Sejak dahulu, fanatisme sektarian merupakan penyakit yang kerap menjangkiti akal sehat, sehingga akhirnya kehidupan manusia terkotakkan ke
dalam gerakan yang eksklusif dan merasa bahwa kelompoknyalah yang paling benar. Jika sudah seperti itu, inklusivitas kehidupan beragama
dan bernegara menjadi kabur bahkan tak terbaca di benak mereka.

Dari sini, kesadaran moderasi dalam beragama dan bernegara harus dinarasikan kembali. Bukan hanya sebagai kritik pemikiran semata, tentu
juga sebagai tindakan untuk menjaga kedaulatan Negara.

Kita tahu bahwa Muhammad SAW hidup di tengah masyarakat sosial yang juga memiliki banyak warna. Sama seperti di Indonesia, baik pada
periode Mekah maupun Madinah --di sana juga ada beragam agama, suku, budaya, dan juga dialek bahasa. Tapi, hebatnya dengan status
kenabian dan juga dikenal sebagai sosok Al-Amin, Muhammad tidak memberangus semua fenomena tersebut untuk menjadi hanya satu warna.

Dari perilaku Muhammad kita bisa belajar bahwa menghargai kehadiran pihak lain dan menghormati hak-haknya adalah tentang idealitas
keadilan sosial. Ini adalah salah satu bentuk kesadaran moral sosial yang oleh bangsa Indonesia --dalam sila ke-5 Pancasila dinarasikan dengan
"keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Agama dan Negara

Istilah moderasi sosio-religius merupakan sebentuk terjemahan dari konsep teoantroposentrik-integralistik. Artinya, yang kita tumbuh-
kembangkan bukan hanya tentang nilai dalam ajaran-ajaran agama, melainkan juga sekaligus tentang kepekaan-kepekaan sosial dalam
kehidupan bernegara. Hubungan antara agama dan negara memang idealnya diposisikan saling berdampingan dan beriringan, bukan saling
berhadap-hadapan.

Sebab, agama tidak sedang berupaya merebut otoritas bernegara, dan negara juga tidak sedang membatasi kehidupan beragama. Pada titik ini,
kesadaran moderasi sosio-religius dalam beragama dan bernegara menjadi perspektif kita bersama untuk menegaskan bahwa pemberlakuan
etika sosial adalah basis keberlangsungan kehidupan masyarakat multikultural.

Konsep moderasi sosio-religius dalam beragama sejatinya dapat kita rumuskan deskripsinya berdasarkan Quran Surat Al-Anbiya ayat 107 yang
artinya: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." Kita dapat menafsirkan kata rahmat dalam
konteks kehidupan di dunia ini dengan moderasi dua pola relasi sekaligus. Pertama, rahmatan likulli 'aqilin. Artinya, kita harus senantiasa berbuat
baik dan penuh kasih sayang kepada siapa saja.

Kedua, rahmatan likulli ghairi 'aqilin. Maksudnya adalah selain kepada siapa saja, kita juga harus bersikap rahmat kepada apa saja. Penafsiran
dua model relasi rahmat (kepada siapa dan apa saja sekaligus) ini dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya dengan menghadirkan bukti-
bukti sikap rahmat yang telah dicontohkan oleh Muhammad.

Pertama, rahmat kepada siapa saja. Rahmat sebagai sikap moderasi sosio-religius yang mengharuskan umat Islam berbuat baik kepada siapa
saja telah dicontohkan Muhammad dalam peristiwa renovasi Kabah bersama para pemimpin suku Qurays.

Sekitar lima tahun sebelum Muhammad menerima wahyu pertamanya, para pemimpin Qurays mengandalkan keputusannya yang adil untuk
memecahkan persoalan yang sangat sensitif, yaitu siapakah yang paling berhak meletakkan batu hitam (hajar aswad) di tempatnya. Akhirnya,
Muhammad diminta untuk memberikan solusi terbaiknya.

Solusi jenius yang ditawarkan oleh Muhammad adalah dengan meletakkan batu hitam tersebut di atas sorbannya dan kemudian diangkat
bersama-sama oleh semua pemimpin Qurays yang hadir di tempat itu.

Jika kita perhatikan sepenggal kisah rahmat di atas, Muhammad sebenarnya bisa saja mengangkat hajar aswad itu sendirian, lantas kemudian
meletakkannya di tempatnya, namun mengapa hal itu tidak dilakukan? Karena Muhammad mengerti bahwa sikap egois atau egosentris hanya
akan memperkeruh keadaan. Dari sini, sejatinya Muhammad telah mengajarkan kita tentang bagaimana caranya berinteraksi sosial dalam
kehidupan beragama dan bernegara.

Kita semua tentu paham bahwa para pemimpin Qurays tadi tidak sama keyakinan dan konsep ketuhanannya dengan Muhammad. Peristiwa ini,
sekali lagi, menyadarkan kita bahwa rahmat harus ditebar kepada siapa saja. Perbedaan keyakinan, etnis, suku, budaya, dan bahasa tidak boleh
menjadi sekat kita untuk tetap menebar dan menabur rahmat.
Kedua, rahmat kepada apa saja. Apakah cukup bagi kita untuk menebarkan rahmat kepada siapa saja? Tentu jawabannya masih belum cukup.
Karena kita hidup tidak hanya dengan manusia, tetapi juga dengan lingkungan di sekitar kita. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap
kalimat rahmatan lil 'alamin harus juga sampai kepada apa saja yang berada di lingkungan kehidupan kita.

Hal tersebut sebagaimana diperintahkan oleh Muhammad bahwa jangankan dalam keadaan damai, dalam keadaan perang sekalipun kita
dilarang untuk merusak rumah-rumah ibadah kendati rumah-rumah ibadah tersebut milik umat non-Muslim. Bahkan juga menebang pohon
sembarangan atau merusak sarana umum juga tidak diperkenankan.

Ajaran berbuat rahmat kepada lingkungan ini bahkan diteruskan oleh Umar Bin Abdul Aziz ketika melarang pasukannya agar tidak
menghancurkan gereja dan rumah peribadatan lainnya. Umar Bin Abdul Aziz menuliskan sebuah surat kepada pasukan perangnya: "Janganlah
kalian semua menghancurkan rumah peribadatan Baiah umat Yahudi, gereja umat Nasrani bahkan juga Bait Nar sebagai rumah peribadatan
umat Majusi."

Konteks Indonesia

Dari beberapa kisah di atas, dapatkah kita mengaktualisasikan konsep moderasi sosio-religius ke dalam realitas kontekstual di Indonesia saat
ini? Tentu jawabannya dengan penuh keyakinan, pasti bisa. Keanekaragaman masyarakat Arab pada saat itu juga sama dengan
keanekaragaman yang ada di Indonesia pada saat ini. Hanya saja memang Indonesia jauh lebih kaya keragaman agama, suku, budaya, dan
bahasanya.

Lantas, dapatkah kita meneladani akhlak Sang Nabi ketika berinteraksi dengan umat-umat agama lain? Pasti bisa! Keanekaragaman dalam
kehidupan manusia merupakan keabsahan kalam Tuhan, seperti tersirat dalam Quran Surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: "Hai manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Pemberi Berita."

Berita tentang keniscayaan keanekaragaman dalam ayat tersebut justru sangat sesuai dengan kondisi sosio-kultur di Indonesia saat ini. Berbagai
macam agama, etnis, suku, budaya, dan bahasa berada di bawah kesatuan bumi persada Nusantara Republik Indonesia. Tugas kita ke depan
adalah menjaga bangsa ini agar tetap utuh dan bertahan dari segenap upaya-upaya separatisme. Sehingga generasi bangsa ini tetap bisa
bersatu untuk mewujudkan baldatun thayibatun wa rabbun ghaffur.

Dalam upaya kontekstualisasi konsep moderasi sosio-religius di Indonesia, kita bisa belajar dari peristiwa renovasi Kabah dan peletakan hajar
aswad tadi, bahwa kita sebagai umat Islam di Indonesia bersama-sama dengan umat beragama yang lainnya seharusnya juga bisa membangun
peradaban baru menuju Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur. Karena berdasarkan bunyi surat Al-Hujurat ayat 13 kita bisa menegaskan
bahwa perbedaan keyakinan harus dijadikan sebagai semangat keanekaragaman untuk bisa saling memahami dan saling mengenal satu sama
lain.

Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, jihad yang kita butuhkan bukanlah jihad mengangkat senjata apalagi sampai perang saudara.
Tetapi, jihad mengendalikan diri untuk mendorong terciptanya sebuah sistem sosial yang bermartabat, berkeadilan, dan dapat menyejahterakan
masyarakat. Oleh karena itu, marilah kita tumbuh-kembangkan spirit moderasi sosio-religius sebagai semangat kebersamaan dalam memelihara
kerukunan antarsesama warga negara bangsa Indonesia.

Hijrian A Prihantoro pegiat literasi syariat dan filsafat; aktif menulis jurnal ilmiah, esai, penerjemah, dan kini sebagai aktivis Keluarga Mahasiswa
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bagian Riset

Anda mungkin juga menyukai