Religiusitas PDF
Religiusitas PDF
Rakhmat, J. (2003). Psikologi Agama: Usa, M. (1991). Pendidikan Islam di Nur Azizah
Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan. Indonesia: antara Cita dan Fakta.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Sekolah Pascasarjana Program Studi Psikologi Universitas Gadjah Mada
Rogers, D. (1977). The Psychology of
Yatim, B., Murodi, Sanusi, Kohar, A, A.
Adolescence. Englewood Cliff, New
Ridwan, & M.D. Gaus, A. (2000).
Jersey: Prentice Hall.
Sejarah Perkembangan Madrasah. ABSTRACT between moral behavior and the religiousity
Suyanto. (2000), Refleksi dan Reformasi was significant (r = 0,419; p < 0,001).
Jakarta: Departemen Agama RI.
Pendidikan di Indonesia Memasuki The aim of this research was to examine
Direktorat Jendral Pembinaan
Millennium III. Yogyakarta: Adi the differences of moral behavior and Keywords: Moral behavior. Religiousity.
Kelembagaan Agama Islam.
Citra. religiousity between student’s public school
and students Moslem’s school in Bantul.
10%, mencontek sebanyak 40%, berke‐ agama belum tentu memiliki perilaku Camacho. C.J.E., Tory. H., & Lindsay. L. Hood, R.W. (1996). The Psychology of
lahi sebanyak 5% (data pada MTsN moral dan religiusitas yang tinggi bila (2003). Moral Value Transfer From Religion: an Empirical Approach. New
Gondowulung, 2003/2004). Fakta dan dibandingkan dengan siswa berlatar Regulatory Fit : What Feels Right Is York: The Guilford Press.
fenomena di atas juga terjadi di setiap belakang pendidikan umum. Begitupun Right and What Feels Wrong Is Hurlock, E.B. (1990). Perkembangan Anak.
sekolah namun memiliki prosentase sebaliknya siswa berlatar belakang Wrong. Journal Personality and Social Alih Bahasa: Meitasari Tjandrasa
yang berbeda. Hal ini menunjukkan pendidikan umum belum tentu memiliki Psychology, 84, 498‐510 dan Muslih Zarkasi. Jakarta:
indikasi tentang tidak adanya pening‐ perilaku moral dan religiusitas yang Chang, L. (2004). The Role of Classroom Erlangga.
katan yang signifikan dari perkem‐ tinggi bila dibandingkan dengan siswa Norm in Contextualizing the Jalaluddin, R. (2002). Psikologi Islam.
bangan perilaku moral siswa dengan berlatar belakang pendidikan agama. Relation of Children’s Social Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
pendidikan di sekolah. Penelitian ini dikhususkan kepada Behaviors to Peer Acceptance.
Jockson, P.W. (1998). Date The Moral life
Upaya membentuk religiusitas siswa SMP yang beragama Islam dan Journal of Developmental Psychology,
Of School. San Francisco: Jossey‐Bass
yang baik perlu adanya komitmen siswa MTs karena mereka mempunyai 40, 691‐702
Publishers.
beragama yang kuat. Pemerintah karakteristik yang sama, sebagian aturan Coles, R. (2000). Menumbuhkan Kecer‐
Kabupaten Bantul menganjurkan selu‐ di sekolah juga hampir sama seperti King. P.M, & Ames. L.F. (2004). Religion
dasan Moral pada Anak. Alih Bahasa:
ruh siswa sekolah setingkat SMP/MTs adanya kewajiban untuk mengenakan as a Resources for Positive Youth
T Hermaya. Jakarta: Gramedia
se‐Kabupaten Bantul yang beragama seragam busana muslim bagi siswa yang Development: Religion, Social
Pustaka Utama.
Islam untuk memakai seragam busana beragama Islam. Capital, and Moral Outcomes.
Daradjat, Z. (1997). Peranan Agama dalam Developmental Psychology, 40, 703‐
muslim. Peraturan ini diharapkan akan Bertitik tolak dari idealisme sekolah Kesehatan Mental. Jakarta: CV Haji 713
membawa para siswa untuk membentuk berlatar belakang pendidikan umum Masagung.
religiusitas yang tinggi. maupun agama untuk membentuk siswa Kochanska, G. (2002). Committed
Departemen Agama RI. (2004). Pedoman Compliance, Moral Self, and
Sebagai seorang muslim siswa yang memiliki pengetahuan yang luas
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Internalization: A Mediational
diharapkan dapat memiliki religiusitas dan mendalam, mempunyai perilaku
Umum. Jakarta: Direktorat Jendral Model. Developmental Psychology, 38,
yang baik di sekolah dengan cara moral dan religiusitas yang baik maka
Kelembagaan Agama Islam. 339‐351
melaksanakan rutinitas keagamaan di tujuan utama dari penelitian ini untuk
Direktorat Madrasah dan Pendi‐
sekolah tidak hanya sekedar mematuhi mengetahui apakah ada perbedaan Kohlberg, L. (1981). The Philosophy of
dikan Agama Islam pada Sekolah
peraturan. Namun kenyataannya, belum perilaku moral dan religiusitas antara Moral Development. San Fransisco:
Umum.
semua siswa yang mengaku beragama siswa berlatar belakang pendidikan Harper and Row.
Islam mau untuk menjalankan ibadah umum dengan siswa berlatar belakang Furhmann, B.S. (1990). Adolescence.
Kurtines, W.W & Gerwitz, J.L. (1992).
dengan baik ketika berada di sekolah, pendidikan agama. London: Scott, Foreman and
Moralitas, Perilaku Moral, dan
hanya sebagian siswa saja yang mau Company.
Manfaat yang diharapkan dari hasil Perkembangan Moral. Penerjemah:
melaksanakan ibadah disekolah, seperti penelitian ini adalah: (1) Memberikan Gunarsa, S.D. (1992). Psikologi Perkem‐ M.I. Soelaeman. Jakarta: UI Press.
mengerjakan sholat sunnat, maupun bahan masukan dan bahan evaluasi bangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
sholat wajib di masjid sekolah (data dari Muhaimin, (2005), Pengembangan
kepada pemerintah Kabupaten Bantul Heawood, G.L. (1939). Religion in School:
Dinas Pendidikan dan kebudayaan, Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
khususnya Kantor Departemen Agama A Study in Method and Outlook.
2004). sekolah, Madrasah, dan Perguruan
Kabupaten Bantul serta Dinas London: Student Christian Tinggi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Namun dari berbagai pengamatan Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Movement Press. Persada.
tidak dapat dimungkinkan bahwa Bantul atas kebijakan yang telah diambil
siswa berlatar belakang pendidikan untuk mewujudkan Bantul yang agamis,
dan siswa berlatar belakang pendidikan pendidikan moral harus dilakukan di (2) Memberi bahan masukan kepada adanya pertimbangan kesejahteraan
agama dimana guru harus memiliki sekolah yang berlatar belakang agama sekolah untuk mengoptimalkan pera‐ kelompok diatas keinginan atau
tujuan bukan hanya untuk mentransfer (MTs) untuk meningkatkan perilaku turan dalam mewujudkan masyarakat keuntungan pribadi.
ilmu tetapi juga untuk mendidik. moral siswanya yang cenderung lebih sekolah yang Islami. Proses pembentukan perilaku
Banyak terobosan yang bisa dilakukan rendah dari perilaku moral siswa Moral berasal dari bahasa latin moral menurut Kurtines dan Gerwitz
di sekolah, contohnya; kegiatan olim‐ berlatar belakang umum (SMP), dan (2) mores yang berarti tata cara, kebiasaan, (1992) melibatkan empat tahapan
piade, pertandingan olahraga, seni, dan Pendidikan agama harus selalu dilaku‐ perilaku, dan adat istiadat dalam penting yaitu: (1) Menginterpretasikan
kegiatan‐kegiatan keagamaan. Melalui kan secara intensif baik di sekolah yang kehidupan (Hurlock, 1990). Rogers situasi dalam rangka memahami dan
kegiatan ini diharapkan siswa berperan berlatar belakang pendidikan umum (1977) mengartikan moral sebagai menemukan tindakan apa yang mung‐
aktif sehingga siswa mengisi waktunya maupun agama. Hal ini bisa dilakukan pedoman salah atau benar bagi perilaku kin untuk dilakukan dan bagaimana
dengan kegiatan‐kegiatan maupun lewat peningkatan kegiatan keagamaan seseorang yang ditentukan oleh efeknya terhadap keseluruhan masalah
menerapkan peraturan sekolah dengan di sekolah seperti melalui kajian masyarakat. Simpton (dalam Allen, yang ada, (2) Menggambarkan apa yang
baik dan disiplin baik dengan metode keagamaan, peringatan hari besar Islam, 1980) mengartikan moral sebagai pola harus dilakukan dengan mengetrapkan
penerapan poin atau hukuman bagi tadarus sebelum pelajaran dimulai, perilaku, prinsip‐prinsip, konsep dan suatu nilai moral pada situasi tertentu
siswa yang melanggar peraturan di kultum, melakukan sholat berjama’ah aturan‐aturan yang digunakan individu dengan tujuan untuk menetapkan suatu
sekolah. disekolah dan lain sebagainya. atau kelompok yang berkaitan dengan perilaku moral, (3) Memilih diantara
Berdasarkan hasil penelitian yang baik dan buruk. nilai‐nilai moral untuk memutuskan apa
telah dikemukakan, dapat diambil Daftar Pustaka yang secara aktual akan dilakukan, dan
Kohlberg (1981) menyatakan bahwa
kesimpulan bahwa terdapat perbedaan Allen, D.E. (1980). Social Psychology as A moral pada dasarnya dipandang sebagai (4) Melakukan tindakan yang sesuai
perilaku moral yang signifikan dan tidak Social Process. California: penyelesaian antara kepentingan diri dengan nilai‐nilai moral.
terdapat perbedaan religiusitas antara Wodworten Publishing Company. dan kelompok, antara hak dan kewa‐ Menurut Jalaluddin (2002) kata
siswa berlatar belakang pendidikan jiban. Artinya moral diidentifikasikan religi berasal dari bahasa latin religio
Ancok, D & Suroso, N.S. (1994). Psikologi
umum dan siswa berlatar belakang dengan penyelesaian antara kepentingan yang akar katanya adalah religare yang
Islami. Jakarta: Pustaka Pelajar.
pendidikan agama; dimana siswa diri dan kepentingan lingkungan yang berarti mengikat. Maksudnya religi atau
berlatar belakang pendidikan umum Anshari, S.E. (1986). Wawasan Islam.
merupakan hasil timbang menimbang agama pada umumnya terdapat aturan‐
mempunyai perilaku moral yang lebih Jakarta: PT Rajawali Press.
antara komponen tersebut. aturan dan kewajiban‐kewajiban yang
tinggi daripada siswa berlatar belakang Atkinson, R.L., Richard C.A., & Ernest, harus dilaksanakan yang semua itu
Moral menurut Piaget (1976) adalah
pendidikan agama. R.H. (1996). Pengantar Psikologi, berfungsi untuk mengikat dan
kebiasaan seseorang untuk berperilaku
Berdasarkan hasil‐hasil penelitian Terjemahan: Nurjannah Taufiq dan mengutuhkan diri seseorang atau
lebih baik atau buruk dalam memikirkan
dan pembahasan yang telah dikemu‐ Agus Dharma. Jakarta: Penerbit sekelompok orang dalam hubungannya
masalah‐masalah sosial terutama dalam
kakan, ada beberapa saran yang dapat Erlangga. dengan Tuhan, sesama manusia dan
tindakan moral.
diajukan sebagai tindak lanjut penelitian Atwater, E. (1992). Adolescence. New alam sekitarnya.
Coles (2000) perilaku moral diung‐
ini adalah sebagai berikut: (1) Hendak‐ Jersey: Prentice Hall Englewood Anshari (1986) mengartikan religi,
kap dalam tingkat orang harus berperi‐
nya pihak sekolah selalu meningkatkan Cliffs. agama atau din sebagai sistem tata
laku dan bersikap kepada orang lain.
pembinaan perilaku moral kepada para keyakinan atau tata keimanan atas dasar
Budiningsih, C.A. (2004). Pembelajaran Perilaku tersebut muncul bersamaan
siswa agar perilaku moral para peserta sesuatu yang mutlak diluar diri manusia
Moral: Berpijak pada Karakteristik dengan peralihan eksternal ke internal
didik di sekolah dapat terkontrol dengan dan merupakan suatu sistem ritus (tata
Siswa dan Budayanya. Jakarta: yang disertai perasaan tanggung jawab
baik. Peningkatan dan pengembangan peribadatan) manusia kepada yang
Rineka Cipta. pribadi atas setiap tindakan seperti
dianggap mutlak, serta sistem norma knowledge), dan (5) Aspek konsekuensial melakukan kegiatan keagamaan yang yang dianutnya tidak akan dapat
yang mengatur hubungan manusia (the consequential dimension) yaitu aspek sama dengan siswa yang berlatar umum terealisasi dengan baik. Hal ini terjadi
dengan manusia, manusia dengan alam yang mengukur sejauhmana perilaku diluar pelajaran agama Islam secara pada siswa MTs dimana siswa MTs
lainnya dengan tata keimanan dan taata seseorang dimotivasi oleh ajaran formal di sekolah. hanya mempunyai tingkat pemahaman
peribadatan yang telah dimaksud. agamanya dalam kehidupan sosial, Apabila dilihat dalam realitasnya keagamaannya sebagian besar hanya
Menurut Gloc dan Stark (dalam yakni bagaimana individu berhubungan dalam melakukan aktivitas keagamaan sampai pada tingkat pengetahuan
Hood, 1996; dalam Rakhmat, 2003; dengan dunia terutama dengan sesama disekolah memang hampir sama keagamaan saja belum sampai terealisasi
Ancok & Nashori, 1994) ada lima aspek manusia (religious effect). dilakukan di masing‐masing sekolah dengan baik dalam kehidupan sehari‐
religiusitas yaitu: (1) Aspek ideologi (the Thouless (2000) mengemukakan baik sekolah yang berlatar belakang hari. Sedangkan siswa SMP mempunyai
ideological dimension) berkaitan dengan empat kelompok faktor yang mempe‐ pendidikan umum (SMP) maupun tingkat pemahaman keagamaannya
tingkatan seseorang dalam menyakini ngaruhi perkembangan religiusitas, sekolah yang berlatar belakang agama sebagian besar tidak hanya sampai pada
kebenaran ajaran agamanya (religious yaitu: (1) Faktor sosial, meliputi semua (MTs), seperti; sholat dhuhur tingkat pengetahuan keagamaan saja
belief). Tiap‐tiap agama memiliki pengaruh sosial seperti; pendidikan dan berjama’ah, kultum, mengadakan kajian namun sudah ditambah aspek
seperangkat keyakinan yang harus pengajaran dari orangtua, tradisi‐tradisi keislaman, peringatan hari besar religiusitas yang lain sehingga dapat
dipatuhi oleh penganutnya, misalnya dan tekanan‐tekanan social, (2) Faktor keagamaan. Namun perbedaannya terealisasi dengan baik.
kepercayaan adanya Tuhan, (2) Aspek alami, meliputi moral yang berupa kalau di sekolah yang berlatar belakang Menurut Darajat (1997) bahwa
ritualistik (the ritulistic dimension) yaitu pengalaman‐pengalaman baik yang ber‐ pendidikan agama (MTs) ditambah religiusitas dapat memberikan jalan
tingkat kepatuhan seseorang menger‐ sifat alami, seperti pengalaman konflik dengan kegiatan tadarus al Qur’an. keluar kepada individu untuk menda‐
jakan kewajiban ritual sebagaimana moral maupun pengalaman emosional, Banyaknya kegiatan dan pendi‐ patkan rasa aman, berani, dan tidak
yang diperintahkan dalam agamanya (3) Faktor kebutuhan untuk memperoleh dikan keagamaan yang diikuti oleh cemas dalam menghadapi permasalahan
(religious practice), misalnya kewajiban harga diri dan kebutuhan yang timbul siswa berlatar belakang pendidikan yang melingkupi kehidupannya. Agama
bagi orang Islam seperti; sholat, zakat, karena adanya kematian, dan (4) Faktor umum (SMP secara informal diluar Islam sendiri mengajarkan bahwa
puasa, pergi haji bila mampu, (3) Aspek intelektual yang menyangkut proses sekolah maka pengetahuan agama siswa dengan mendekatkan diri kepada Allah
eksperiensial (the experiential dimension) pemikiran verbal terutama dalam pem‐ SMP akan pengetahuan kegamaan maka seseorang akan mendapatkan
yaitu tingkatan seseorang dalam bentukan keyakinan‐keyakinan agama. mereka akan bertambah sehingga ketenangan hidup lahir dan batin serta
merasakan dan mengalami perasaan‐ Ada beberapa jenis lembaga mereka dapat lebih memahami ajaran‐ dapat mengontrol perilakunya.
perasaan atau pengalaman‐pengalaman pendidikan yang ada dan berkembang ajaran agama dengan baik. Hal inilah Pendidikan agama melalui berbagai
keagaman (religious feeling). Semua di Indonesia. Dalam penelitian ini ada yang menyebabkan tidak adanya institusi dan media belum mampu
agama memiliki harapan bagi individu dua jenis lembaga pendidikan yaitu: (1) perbedaan religiusitas siswa berlatar mencapai hasil sebagaimana yang
penghayatannya akan mencapai suatu Latar Belakang Pendidikan Umum yaitu belakang pendidikan umum dan agama. diharapkan. Agama dengan ajaran dan
pengetahuan yang langsung mengenai Sekolah yang mempunyai latar belakang nilai‐nilainya masih menjadi sesuatu
Kuantitas individu yang mempu‐
realitas yang paling sejati atau meng‐ pendidikan umum dalam penelitian ini yang formal. Tegasnya, bagi banyak
nyai tingkat pemahaman keagamaannya
alami emosi‐emosi religius misalnya; diwakili oleh Sekolah Menengah pihak, keberagamaan belum berkorelasi
hanya sampai pada tingkat pengetahuan
merasa doanya dikabulkan, merasa Pertama (SMP) yang merupakan salah dengan perilaku sosialnya (Departemen
keagamaan tentang ajaran agama yang
diselamatkan Tuhan, (4) Aspek inteklek‐ satu lembaga pendidikan dibawah Agama RI, 2004).
kuat dan pengetahuan agama yang luas,
tual (the intelectual dimension) berkaitan pembinaan Departemen Pendidikan akan tetapi kalau individu itu tidak Untuk meningkatkan perilaku
dengan tingkatan pengetahuan dan Nasional. Pemberian mata pelajaran di berusaha mengamalkannya dalam moral dan religiusitas baik siswa
pemahaman seseorang terhadap ajaran SMP lebih banyak diberikan mata kehidupan sehari‐hari maka nilai agama berlatar belakang pendidikan umum
agama yang dianutnya (religious
belakang pendidikan agama disebabkan yang bisa membuahkan pemikiran pelajaran umum dari pada mata tangan dengan aturan moral di sekolah
karena adanya lingkungan sosial sekolah maupun perilaku dan akhlak yang pelajaran agama, dan (2) Latar Belakang (Atwater, 1992). Hal ini berhubungan
dan penerapan peraturan yang berbeda Islami (Usa, 1991). Pendidikan Agama, yaitu Sekolah yang dengan penelitian (Camacho dkk, 2003)
antara SMP dan MTs. Lingkungan sosial Menurut Paloutzian (1996) bahwa mempunyai latar belakang pendidikan yang menunjukkan perpindahan nilai
sekolah di SMP lebih kondusif untuk tingkat personal agama secara fungsio‐ agama dalam penelitian ini diwakili oleh moral yang signifikan dimana individu
melakukan kegiatan belajar mengajar nal memberikan makna pada berbagai Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang harus dapat memilih hal‐hal yang
dan penerapan peraturan di SMP lebih peristiwa yang dihadapinya atau mem‐ merupakan salah satu lembaga dianggap benar dan salah. Penelitian
disiplin dibandingkan lingkungan sosial berikan bimbingan moral bagaimana pendidikan dibawah sistem pendidikan Chang (2004) menunjukkan peran
sekolah di MTs yang kurang kondusif seharusnya ia bertindak ditengah‐tengah nasional dan ditempatkan dibawah aturan‐aturan yang berlaku didalam
dan penerapan peraturan di MTs kurang manusia. pembinaan Kantor Departemen Agama, kelas sangat menentukan tingkat
disiplin sehingga dapat dilihat bahwa dalam perkembangannya pada tahun perilaku moral dan prososial antara
Religiusitas pada siswa berlatar
perilaku moral siswa berlatar belakang 1990‐an MTs dikenal sebagai sekolah siswa laki‐laki dan perempuan.
belakang pendidikan umum sama
pendidikan umum (SMP) lebih tinggi umum yang berciri khas agama Islam Penelitian yang menghubungkan
dengan siswa berlatar belakang agama,
dibandingkan dengan siswa berlatar karena di MTs disamping diberikan religiusitas dan perilaku moral mempu‐
hal ini kemungkinan disebabkan karena
belakang pendidikan agama (MTs). mata pelajaran umum yang sama nyai hasil yang positif sehingga dapat
pada siswa berlatar belakang pendi‐
Hasil uji hipotesis untuk religiusitas dengan SMP juga ditambah mata mendasari proses dan pengaruh agama
dikan umum mempunyai keinginan
menunjukkan bahwa tidak terdapat pelajaran agama yang lebih banyak apabila disesuaikan dengan proses sosial
yang kuat untuk mempelajari agama
perbedaan religiusitas antara siswa daripada SMP. pada ukuran perilaku moral dan sikap
lebih luas diluar pendidikan agama
berlatar belakang pendidikan umum Islam didalam kelas. Penelitian yang dilakukan oleh (King & Ames, 2004).
dan siswa berlatar belakang pendidikan Hassett tahun 1981 (dalam Atwater, Laki‐laki dan perempuan dalam
Jumlah jam pelajaran yang berbeda
agama yang tidak signifikan. 1992) tentang moral menunjukkan ada mempelajari agama dikendalikan dan
antara sekolah berlatar belakang
Hal ini menunjukkan bahwa faktor hubungan yang signifikan antara diilhami oleh semangat adanya Tuhan,
pendidikan umum dengan sekolah
kuantitas pemberian materi pelajaran religiusitas dan perilaku moral. dan dipenuhi dengan kepastian dan
dengan berlatar belakang pendidikan
agama tidak mempengaruhi kualitas Responden yang mempunyai skor pengetahuan. Sekolah adalah salah satu
agama bukan satu‐satunya sumber yang
keagamaan para siswa dimana siswa religiusitas dan skor perilaku moral tempat dimana individu dikenalkan
mempengaruhi pembentukan religiu‐
yang berlatar belakang pendidikan yang tinggi hanya dihasilkan oleh tentang adanya Tuhan dan diajarkan
sitas yang berbeda bagi siswa. Hal
agama (Mts) mendapatkan pelajaran beberapa orang, sedangkan yang lainnya tentang masalah moral (Heawood, 1939).
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
agama lebih banyak dibandingkan mempunyai skor yang berbeda antara Perilaku moral juga mempengaruhi
faktor diantaranya siswa yang berlatar
dengan siswa berlatar belakang pendi‐ skor religiusitas dan skor perilaku sekolah dan para guru sebagai agen
belakang umum selain mendapatkan
dikan umum yang hanya mendapat moralnya. Artinya hubungan antara moral namun aspek lingkungan kelas
pelajaran agama Islam secara formal di
pelajaran agama 2 jam pelajaran dalam religiusitas dan perilaku moral lebih dan sekolah secara keseluruhan mempe‐
sekolah, siswa SMP juga mendapatkan
satu minggu (Nawawi, 1993). Namun banyak ditunjukkan pada perilaku yang ngaruhi dalam mencapai tujuan akhir
pelajaran agama secara informal melalui
dalam realitasnya terkadang muncul bersifat instutional dibandingkan dari perilaku moral (Jackson, 1998).
keluarga, kegiatan keagamaan di masjid,
kecenderungan bahwa pendidikan perilaku yang bersifat pribadi.
dan kegiatan‐kegiatan keagamaan Penelitian King dan Ames (2004)
agama di sekolah hanya dipelajari secara lainnya seperti Taman Pendidikan Al Siswa harus mampu menjelaskan menunjukkan bahwa agama sebagai
rasional teoritik sehingga agama tidak Quran, kajian‐kajian keagamaan dan tentang perilaku moral yang dianggap sumber pengembangan moral karena
lebih dari sekedar ilmu daripada agama lain‐lain. Sedangkan siswa yang berlatar sudah bertentangan dengan aturan yang agama berhubungan positif dengan
sebagai tuntutan (pandangan hidup) belakang agama atau siswa MTs juga telah ditetapkan disekolah dan berten‐ moral. Mata rantai antara perilaku moral
dan religiusitas yang dibentuk dalam metode pendidikan daan lingkungan Hal ini menunjukkan adanya pendidikan umum lebih tinggi diban‐
tradisi akan menjadi sangat kuat karena yang berbeda dari kedua sekolah perbedaan skor skala perilaku moral dan dingkan dengan siswa berlatar belakang
masih banyak orang yang peduli dengan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi adanya skor skala religiusitas. Artinya pendidikan agama.
perilaku moral dan religiusitas yang perilaku moral dan religiusitas para bahwa terdapat perbedaan perilaku Hal ini membuktikan bahwa
merupakan dua hal yang tidak dapat siswanya. moral yang signifikan antara siswa terdapat pengaruh yang berbeda dari
dipisahkan. Suyanto (2000) menyatakan bahwa berlatar belakang pendidikan umum masing‐masing jenis sekolah terhadap
Steenbrink (Yatim dkk, 2000) sekolah umum mempunyai pelajaran dan siswa berlatar belakang pendidikan perilaku moral siswa. Adanya perbe‐
membedakan antara Madrasah (MTs) yang lebih menitik beratkan pada segi agama dimana perilaku moral siswa daan pengaruh ini disebabkan karena
dengan sekolah (SMP) karena keduanya akademis dan kurang menekankan pada berlatar belakang pendidikan umum masing‐masing sekolah mempunyai
memiliki karakteristik atau ciri khas pengetahuaan dan pengalaman agama lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kondisi lingkungan sosial yang berbeda
yang berbeda diantaranya adalah jika dibandingkan dengan sekolah yang berlatar belakang pendidikan agama. dan mempunyai muatan mata pelajaran
Madrasah (MTs) mempunyai kuriku‐ berbasis agama yang memperoleh Sementara itu tidak terdapat perbedaan yang berbeda.
lum, metode dan cara mengajar yang pengetahuan agama lebih banyak religiusitas antara siswa berlatar
Atkinson (1996) selanjutnya mene‐
berbeda dengan sekolah (MTs) dan dibanding dengan sekolah umum. belakang pendidikan umum dan siswa
gaskan bahwa kita sering mengetahui
kedua lembaga tersebut juga memiliki berlatar belakang pendidikan agama
Mudzhar (dalam Muhaimin, 2005) bagaimana sebaiknya bertindak tetapi
tujuan pendidikan yang berbeda. mengemukakan hasil studi Litbang mungkin tidak melakukannya jika
Analisis Tambahan
Perbedaan jumlah jam dan jumlah Agama dan Diklat Keagamaan tahun kepentingan diri sendiri ikut terlibat.
mata pelajaran agama Islam diantara 2000, bahwa merosotnya moral dan Analisis tambahan dilakukan untuk Menurut Atkinson (1996) Perilaku moral
SMP dan MTs adalah terletak pada akhlak peserta didik disebabkan antara memperkuat hasil uji hipotesis yang tergantung pada sejumlah faktor
pemberian materi dan pengembangan lain akibat kurikulum pendidikan agama telah dilakukan. Analisis tambahan kemampuan yaitu: (a) berpikir tentang
pelajaran agama Islam yang terkait yang terlampau padat materi, dan dilakukan dengan uji regresi untuk dilema moral, (b) mempertimbangkan
dengan materi‐materi keagamaan dan materi tersebut lebih mengedepankan memprediksi pengaruh antara variabel akibat jangka panjang dari setiap
pola pembinaan keagamaan yang aspek pemikiran ketimbang memba‐ perilaku moral dan variabel religiusitas. tindakan, dan (c) merasakan apa yang
dikembangkan pada masing‐masing ngun kesadaran keberagamaan yang Hasil analisis regresi untuk keseluruhan dirasakan oleh orang lain.
sekolah. Pola dan kualitas pembinaan utuh. Untuk membentuk peserta didik subjek penelitian diperoleh F hitung = Menurut Paul Suparno, dkk. (dalam
agama di sekolah akan mempengaruhi menjadi manusia yang beriman dan 30,653 dengan taraf signifikansi p = Budiningsih, 2004), untuk memiliki
perkembangan moral para siswa. Hal ini bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 0,001, dan R = 0,419 dengan sumbangan moralitas yang baik dan benar,
sesuai dengan pendapat Gunarsa (1992) serta berakhlak mulia diperlukan efektif R2 = 0,176, (p < 0,001) maka seseorang tidak cukup sekedar telah
yang menyatakan bahwa segi pengembangan ketiga dimensi moral perilaku moral dan religiusitas berko‐ melakukan tindakan yang dapat dinilai
keagamaan akan berpengaruh terhadap secara terpadu yaitu moral knowing, moral relasi dengan sangat signifikan. baik dan benar. Seseorang dapat
perkembangan moral. feeling, dan moral Action (Muhaimin, dikatakan sungguh‐sungguh bermoral
Beberapa fakta di lapangan menun‐ 2005). Diskusi apabila tindakannya disertai dengan
jukkan adanya perbedaan karakter Wujud pemberian materi keaga‐ Dari hasil uji hipotesis menun‐ keyakinan dan pemahaman akan
antara siswa berlatar belakang pendi‐ maan dan materi pendidikan moral yang jukkan bahwa terdapat perbedaan kebaikan yang tertanam dalam tindakan
dikan umum dan siswa berlatar diselipkan dalam kurikulum berbasis perilaku moral antara siswa berlatar tersebut.
belakang pendidikan agama. Salah satu kompetensi diharapkan dapat memberi‐ belakang pendidikan umum dan siswa Adanya perbedaan perilaku moral
hal yang diduga menjadi penyebab kan pengaruh kepada siswa dalam berlatar belakang pendidikan agama. antara siswa berlatar belakang pendi‐
terjadinya realitas tersebut adalah berperilaku, berfikir, berucap, dan Perilaku moral siswa berlatar belakang dikan umum dan siswa berlatar
sudah tersedia. Cara penilaiannya alat ukur kedua dilaksanakan pada Rerata hipotetik dan rerata empiris III (skala Religiusitas II) yang berjumlah
dimana skor 4 untuk jawaban SS, skor 3 tanggal 13 September 2005 bertempat di skala 24 aitem. Skor bergerak dari 0 sampai 1,
untuk jawaban S, skor 2 untuk jawaban MTsN Sumberagung Bantul dengan skor terendah 0 dan skor tertinggi
Data perilaku moral dengan
TS dan skor 1 untuk jawaban STS. jumlah siswa sebanyak 51 siswa. Jumlah adalah 24. skor rerata hipotetiknya
menggunakan skala I (skala perilaku
Jumlah butir skala religiusitas I untuk seluruh responden dalam uji coba alat adalah (0+25)/2=12.25 jadi jumlah skor
moral) yang berjumlah 35 aitem. Skor
ujicoba adalah sebanyak 35 butir dan ukur ini sebanyak 86 siswa SMP dan rerata hipotetiknya adalah 75+12 = 87,25.
bergerak dari 1 sampai 4, skor terendah
butir untuk penelitian sebanyak 30 butir MTs. Hasil analisis menunjukkan
32 dan skor tertinggi adalah 140. skor
dengan nilai koefisien alpha dari mean=129,27 dan standar deviasi=9,886.
rerata hipotetiknya adalah (32+140)/2=86.
Cronbrach reliabilitas alat ukur sebesar r Prosedur Hasil tersebut menggambarkan bahwa
Hasil analisis menunjukkan mean =
= 0,665. skor rerata hipotetik lebih tinggi dari
Subyek penelitian mengisi format 118,22 dan standar deviasi = 11,554.
Skala Religiusitas II. Skala religiu‐ skor rerata empirik, yaitu 9,886.
identitas singkat kemudian mengisi tiga Hasil tersebut menggambarkan
sitas II adalah aspek pengetahuan yang berbanding 87,25. Berdasarkan hasil
alat ukur (skala perilaku moral, skala bahwa skor rerata hipotetik lebih tinggi
terdiri dari Al Qur’an dan hadits, Fiqih tersebut dapat disimpulkan bahwa
religiusitas I, dan skala religiusitas II) dari skor rerata empirik, yaitu 11,554
(Ibadah/syari’ah), Aqidah Akhlak, dan religiusitas siswa adalah rendah. (norma
selama 1 jam pelajaran atau 45 menit. berbanding 86. Berdasarkan hasil
Sejarah. Skala ini untuk mengungkap mana?)
Hasil isian subyek untuk masing‐masing tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan keagamaan subyek yang alat ukur dijumlahkan, sehingga didapat Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan
perilaku moral siswa secara umum
disusun berdasarkan buku Pendidikan skor total untuk masing‐masing alat bahwa siswa berlatar belakang pendi‐
adalah rendah. (norma mana?)
Agama Islam untuk siswa kelas 8 baik di ukur. Skor total inilah yang digunakan dikan umum mempunyai rerata perilaku
SMP/MTs. Butir dalam skala ini Data Religiusitas dengan menggu‐ moral sebesar 122,87 dan rerata
dalam analisis data. Untuk menguji
berbentuk pertanyaan pilihan ganda nakan skala II (skala Religiusitas I) yang religiusitas sebesar 128,75. Sedangkan
hipotesis digunakan teknik manova.
yang memiliki empat alternatif jawaban berjumlah 30 aitem. Skor bergerak dari 1 siswa berlatar belakang pendidikan
dengan satu jawaban yang benar. sampai 4, skor terendah 30 dan skor agama mempunyai rerata perilaku
HASIL tertinggi adalah 120. skor rerata
Penyekoran dilakukan dengan pembe‐ moral sebesar 113,17 dan rerata
rian skor 1 untuk jawaban benar dan Penelitian ini dilaksanakan pada hipotetiknya adalah (30+120)/2 = 75. Data religiusitas sebesar 129,83.
skor 0 untuk jawaban salah. Jumlah butir tanggal 23 November 2005 di SMPN 2 Religiusitas dengan menggunakan skala
skala religiusitas II ujicoba sebanyak 25 Bantul dan pada tanggal 24 November
butir dan butir untuk penelitian 2005 di MTsN Gondowulung Bantul. Tabel 1. Deskripsi data rerata perilaku moral dan religiusitas
sebanyak 25 butir dengan nilai koefisien Deskripsi subyek berdasarkan jenis Pendidikan Mean SD N
alpha dari Cronbrach reliabilitas alat kelamin bahwa jumlah subyek berlatar Perilaku Moral Umum 122,87 9,022 76
ukur sebesar r = 0,661. belakang pendidikan umum sebanyak Agama 113,17 11,933 70
Pelaksanaan uji coba alat ukur 76 siswa yang terdiri dari 28 siswa putra Total 118,22 11,554 146
pertama dilaksanakan pada tanggal 12 dan 48 siswa _mpiri sedangkan jumlah Religiusitas Umum 128,75 9,435 76
September 2005 bertempat di SMPN 3 subyek berlatar belakang pendidikan Agama 129,83 10,392 70
Jetis Bantul dengan jumlah siswa agama sebanyak 70 siswa yang terdiri Total 129,27 9,886 146
sebanyak 40 namun ada 5 siswa yang dari 36 siswa putra dan 34 siswa _mpiri.
tidak memenuhi _mpiric_ sebagai
subyek penelitian sehingga jumlahnya
menjadi 35 siswa. Pelaksanaan uji coba