Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

KECURANGAN (FRAUD) PADA BANK SYARIAH

Di susun oleh:

Kelompok 5

RANI RAHAYU

SINDI PRATIWI K. RAN

NENGSI LOLO ALLO

WAHYUNI WULANDARI

SRI RAHAYU

DIMAN

ILHAM DARWAWAN

i
ii
KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum warahmatullahi wabarokatu

Puji syukur kami ucapkan atas khadirat allah SWT, yang telah

memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas matakuliah

“Akuntansi Syariah” dengan judul “MAKALAH KECURANGAN (FRAUD)

PADA BANK SYARIAH”.

kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar dalam

makalah ini baik dari segi kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu kami

berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah di masa yang

akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang

membangun.

Kami akhiri “Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh”

Makassar, 26 desember 2018

Pemakalah

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................. 2

C. Tujuan ............................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Kecurangan laporan keuangan........................................................... 3

B. Faktor penyebab fraud dalam Bank Syariah...................................... 5

C. Kendala-kendala pada Bank Syariah................................................. 6

D. Badan pengawas ketentuan syariah dalam perbankan di Indonesia. .10

E. Mekanisme kerja fraud auditor pada Bank Syariah...........................13

BAB III PENUTUP.............................................................................................22

Kesimpulan..............................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................23

iv
v
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecurangan belakangan ini menjadi sorotan publik dan menjadi pusat
perhatian di kalangan pelaku bisnis di seluruh dunia. Di Indonesia pun
tindakan kecurangan sepertinya sudah menjadi kebiasaan dari tahun ke tahun.
Kecurangan (fraud)adalah tindakan berupa penipuan yang biasanya telah
direncanakan dan sengaja dilakukan untuk memberikan keuntungan pribadi
bagi sang pelaku dan dampaknya sangat besar bagi perusahaan karena
dirugikan secara finasial maupun non finansial (Alison, 2006) dalam Peni
(2012). Dalam dua dekade terakhir Fraud meningkat secara substansial.
Meningkatnya kecurangan keuangan di satu sisi memberikan keuntungan bagi
para pelaku,akan tetapi meningkatnya kecurangan merugikan pihak lain.Fraud
yang tidak terdeteksi dapat berkembang menjadi skandal besar yang
merugikan banyak pihak (Skousen et al., 2009). Menurut teori Crassey,
pressure, opportunity, dan rationalization selalu hadir pada situasi Fraud.Fraud
triangle secara umum terdiri dari tiga kondisi yang hadir ketika Fraudmuncul:
Incentive/pressure, Opportunity, dan Attitude/rationalizations (Skousen et al.,
2009). Frauddalam suatu organisasi dapat dilakukan oleh berbagai tingkatan
mulai dari level bawah, pihak manajemen sampai pemilik (Silverstone et al,
2007).Fraud juga dapat terjadi di berbagai bentuk dan karakter organisasi
(Silverstone et al, 2007). Untuk itu sebagai entitas yang memiliki karakter
khusus, bisnis keuangan syariah memiliki risiko yang tinggi dalam
pengelolaannya, sehingga dibutuhkan prinsip kehati-hatian para pelakunya
dalam aspek kepatuhan syariah sebagai upaya pencegahan kemungkinan risiko
terjadinya Fraud(Sula, 2014). Di Indonesia, kasusFraud pernah terjadi pada
Bank Syariah Mandiri yang melibatkan pihak internal bank, yaitu penyaluran
kredit fiktif pada BSM cabang Bogor sebesar 102 miliar rupiah kepada 197
nasabah fiktif. Akibat dari penyaluran kredit tersebut BSM berpotensi
mengalami kerugian sebesar 59 miliar rupiah.Atas kasus tersebut Bareskrim

6
Polri telah menetapkan empat tersangka yang mana tiga diantaranya
merupakan pegawai BSM (Prabowo, 2013). Dari kasus-kasus tersebut
membuktikan bahwa tidak ada jaminan bahwa lembaga syariah terutama bank
yang berbasis syariah bebas dari tindakan Frauddan hal ini menimbulkan
pertanyaan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Fraudpada bank
syariah, sehingga faktor-faktor tersebut dapat diperbaiki dan dapat
memberikan kontribusi untuk peningkatan integritas pada bank syariah untuk
kedepannya.

B. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kecurangan dalam laporan keuangan


2. Menjelaskan faktor penyebab fraud dalam bank syariah
3. Menjelaskan kendala-kendala pada bank syariah
4. Bagaimana badan pengawas ketentuan syariah dalam perbankan di
Indonesia
5. Bagaimana mekanisme kerja fraud auditor pada bank syariah

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui kecurangan dalam laporan keuangan
2. Untuk engetahui faktor penyebab farud dalam bank syariah
3. Untuk mengetahui kendala pada bank syariah
4. Untuk mengetahui badan pengawas ketentuan syariah dalam perbankan
di Indonesia
5. Untuk mengetahui mekanisme kerja fraud auditor pada bank syariah

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN


FRAUD (kecurangan) adalah tindakan ilegal yang dilakukan satu orang
atau sekelompok orang secara sengaja atau terencana yang menyebabkan
orang atau kelompok mendapat keuntungan, dan merugikan orang atau
kelompok lain.

Menurut associations of certified fraud examination (ACFE) memperluas


defenisi fraud yaitu: “fraud yaitu tidak hanya mengenai kecurangan laporan
keuangan dan penyalahgunaan asset melainkan juga termaksud korupsi.
Korupsi yang di maksud meliputi pertentangan kepentingan (conflict of
interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasaan
(economic extortion). Untuk lebih berhasilnya peran auditor dalam
pencegahan dan pendeteksian adanya kecurangan, sebaiknya internal auditor
perlu memahami kecurangan dan jenis-jenis kecurangan yang mungkin terjadi
dalam perusahaan. G.Jack Bologna, Robert J.Lindquist dan Joseph T.Wells
mendifinisikan kecurangan “ Fraud is criminal deception intended to
financially benefit the deceiver ( 1993,hal 3 )” yaitu kecurangan adalah
penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada
si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius yang
dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat tersebut ia
memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial. Biasanya
kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1) tindakan/theact., (2)
Penyembunyian/the concealment dan (3) konversi/the conversion Misalnya
pencurian atas harta persediaan adalah tindakan, kemudian pelaku akan
menyembunyikan kecurangan tersebut misalnya dengan membuat bukti
transaksi pengeluaran fiktif.

Jenis-jenis fraud sebagai berikut:

8
1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji
material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor.
Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial.
2. Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation)
Penyalahagunaan aset dapat digolongkan ke dalam ‘Kecurangan
Kas’ dan ‘Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya’, serta
pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement).
3. Korupsi (Corruption)
Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut
ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan TPK di
Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan
kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal
gratuity), dan pemerasan (economic extortion).
4. Cybercrime
fraud ini terjadi pada lembaga yang sudah berbasis komputer dan
menyerang data-data keuangan yang ada didalamnya. Ini dapat di deteksi
dengan suatu alat berupa software CAAT (Computer Assisted Audit Tool)

Pada dasarnya kecurangan sering terjadi pada suatu suatu entitas apabila :

a. Pengendalian intern tidak ada atau lemah atau dilakukan dengan longgar dan
tidak efektif.
b. Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas mereka.
c. Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalahgunakan atau
ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai sasaran dan tujuan
keuangan yang mengarah tindakan kecurangan.
d. Model manajemen sendiri melakukan kecurangan, tidak efsien dan atau tidak
efektif serta tidak taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.

9
e. Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak dapat
dipecahkan , biasanya masalah keuangan, kebutuhan kesehatan keluarga, gaya
hidup yang berlebihan.
f. Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah atau tradisi
kecurangan.

Untuk hal tersebut , kecurangan yang mungkin terjadi harus dicegah atau diatasi
antara lain dengan cara –cara berikut :

1) Membangun struktur pengendalian intern yang baik


Dengan semakin berkembangnya suatu perusahaan, maka tugas
manajemen untuk mengendalikan jalannya perusahaan menjadi semakin berat.
Agar tujuan yang telah ditetapkan top manajemen dapat dicapai, keamanan
harta perusahaan terjamin dan kegiatan operasi bisa dijalankan secara efektif
dan efisien, manajemen perlu mengadakan struktur pengendalian intern yang
baik dan efektif mencegah kecurangan.
2) Mengefektifkan aktivitas pengendalian
(1) Review Kinerja
(2) Aktivitas pengenda
3) Dengan menerapkan landasan standart operating procedures (SOP) yang
lengkap dan kuat teruji
4) Bank-bank syariah harus di wakili oleh orang-orang yang kafah (sempurna)
dalam memahami system perbankan syariah
5) Sumber daya manusia yang terlibat dalam perbankan syariah harus bersifat
amanah
6) Adanya transfarasi dari pihak bank yang bersifat mutlak dan harus di lakukan
7) Pengajaran ekonomi dan perbadaan islam tingkat SD sampai perguruan tinggi

Jenis-jenis pengendalian pada Bank Syariah

 Pengedalian diri sendiri, dengan cara pemilihan karyawan yang tepat


sehingga peran lapisan control yang pertama ini secara optimal

10
 Pengendalian menyatu, keryawan melaksanakan tugas sehari-hari tidak
terlepas dari prosedur dan aturan main yang telah di tetapkan.
B. FAKTOR PENYEBAB FRAUD DALAM BANK SYARIAH
Lemahnya pengedalian internal di Bank tersebut. Pengendalian internal
organisasi merupakan tugas manajemen, sementara auditor internal
bertanggungjawab menyakinkan bahwa system pengendalian internal telah
berjalan secara efektif dan mengidentifikasi area-area yang dapat (atau perlu).
Faktor-faktor utama penyebab fraud dalam bank syariah
 Internal control yang kurang memadai
 Kerjasma dengan pihak ketiga
 Keja sama antar karyawan perusahaan
 Kurangnya kesadaran terhdap perbuatan yang salah
 Adanya peluang (opportunity) untuk melakukan fraud
 Sikap atau rrasionalisme untuk membenarkan tindakan fraud
 Memiliki kendala-kendala

C. KENDALA-KENDALA PADA BANK SYARIAH


1. Minimnya Informasi Bank Syariah Masyarakat
Masih banyak memiliki persepsi yang salah tentang bank syariah. Secara
visual dan analogis masih banyak masyarakat yang menafsirkan bank syariah
adalah bank konvensional pada umumnya yang menggunakan dasar
pembagian hasil di dalam mendistribusikan pendapatan yang diperoleh bank.
Persepsi yang kurang tepat lagi bank syariah dianggap sebagai bank yang
sifatnya bank sektarian sehingga segala transaksi dan operasionalnya
diperuntukkan golongan umat agama tertentu, yang seakan-akan tertutup
mengadakan transaksi dengan golongan umat yang lain. Beberapa anggapan
atau persepsi yang tidak benar dari beberapa masyarakat dapat dipahami
karena masih minimnya informasi dan pemahaman tentang Bank Syariah.
Masih minimnya literatur, referensi dan karya tulis yang lain menyebabkan
terbatasnya sosialisasi tentang informasi dan pemahaman bank syariah.

11
Informasi dan pemahaman bank syariah yang masih terbatas disebabkan pula
masih langkanya universitas atau lembaga pendidikan di negara kita yang
menyediakan kurikulumekonomi dan perbankan syariah, terlebih untuk
mencari lembaga pendidikan tinggi yang memiliki Islamic Economic
Research Center masih jau dari harapan.
2. Sumber Daya Manusia Masih Terbatas Indonesia
dewasa ini bahkan di tingkat glonal dirasakan masih langka bankir yang
memiliki keahlian operasional bank syaraih. Bahkan para bankir yang telah
mengikuti berbagai kursus dan pelatihan dalam praktiknya masih merasakan
keterbatasan pengetahuan tentang aplikasi model penghimpunan dana,
pembiayaan dan jasa dari Bank Syariah. Perbankan syariah menuju abad
mendatang di era globalisasi harus memiliki sumber daya manusia (SDM)
yang mempunyai daya saing yang andal. Bank Syariah memerlukan SDM
yang memiliki kemampuan dua sisi yang meliputi ketrampilan pengelolaan
operasional dan pengetahuan syariah termasuk akhlak dan moral dengan
integritas yang tinggi. Persyaratan SDM Bank Syariah mendatang harus
memenuhi STAF merupakan kependekan dari Shidiq artinya SDM bank
syariah harus jujur dan pintar. Jujur dan pintas di dalam melaksanakan tugas
operasional bank sehari-hari, Tabligh yang berarti menyampaikan dan
menyebarluaskan kebaikan, berani menyatakan dan menyampaikan kebaikan
ataupun mengatakan dan mencegah kemungkaran. Amanah berarti dapat
dipercaya. Memegang teguh amanah dan kepercayaan yang telah
dipercayakan pimpinan kepadanya. Fathonah yang artinya pandai dan
memiliki kemampuan yang andal terhadap tugasnya. Bagi otoritas pengawas
persyaratan SDM Bank Syariah yang dirumuskan dalam STAD ini secara
eksplisit dan implisit harus ditetapkan dalam berbagai ketetntuan dan petunjuk
otoritas pengawas.
3. Jaringan dan Kantor Cabang yang Terbatas
Jaringan dan kantor cabang Bank Syariah di Indonesia masih jauh dari
jumlah jaringan dan kantor cabang yang dimiliki bank konvensional .
Tersedianya fasilitas untuk dapat melayani nasabah yang akan bertransaksi

12
dengan bs masih sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Bank Syariah
yang ada di Indonesia terdapat satu bank umum dan 78 BPR perkembangan
perbankan syaraih ini dibandingkan dengan total volume usaha dan jumlah
perbankan nasional secara keseluruhan relatif masih sangat kecil yaitu di
bawah 1 % sehingga peranannya terhadap ekonomi makro belum signifikan.
Kuran volume usaha dan jaringankantor yang sangat kecil tersebut merupakan
salah satu kendala utama dalam pengembangan perbankan syariah
sebagaimana yang telah diindikasikan oleh M. Umer Chapra sehingga
mempengaruhi kemampuan bank untuk melakukan pelatiha yang memadai,
penelitian pasar, pengembangan produk dan pengembangan teknoligu.
Kondisi yang masih serba terbatas tersebut akan mempengaruhi pada
akademisi maupun praktisi untuk melakukan kegiatan penelitian yang terbukti
dengan masih sangat terbatasnya literatur maupun keterlibatan para pakar
dalam pengembangan Bank Syariah. Termasuk dalam hal ini keterbatasan
bank syariah di dalam taraf pengembangan adalah masih terbatasnya sistem
informasi. Teknologi sistem informasi yang tepat guna akan menjadikan bank
beroperasi lebih efisien seperti di beberapa negara kaya minyak di Timur
Tengah seperti Bahrain, Arab Saudi, Kuwait, Qatar. Kecanggihan sistem
informasi bank syariah sangat menonjol, sehingga mampu menyediakan data
dan pelayananjasa kepada masy melalui produk-produk bank yang modern
seperti phone banking, smart card dan investment product.
4. Penerapan Standar Tingkat Kesehatan Perbankan
Masalah standar laporan keuangan perbankan syariah yang dituntut
menyajikan laporan keuangan sebagai lembaga mencari untung juga terkait
dengan laporan keuangan bank yang fungsinya sebagai fungsi sosial. Hal ini
berkaitan dengan konsep dasar usaha perbankan syariah di samping
mempunyai konsep investasi juga berkonsep pada norma moral atau sosial.
Memperhatikan dasar keadilan dan dasar kebenaran maka konsep Islam dalam
pencatatan keuangan tetap mengacu pada konsep dasar laporan keuangan yang
dapat dipertanggungjawabkan, transparan, adil dan dapat diperbandingkan.
Dalam laporan keuangan ini bank syariah dapat berpedoman kepada standar

13
akuntansi lembaga keuangan Organisasi Akuntansi dan Auditing bagi lembaga
keuangan Islam atau AAQIFI yang berkedudukan di Bahrai. Maslahnya
sekarang Bank Sentral sebagai otoritas pengawas harus mengadakan
pengawasan terhadap kegiatan bank syariah. Dalam tugasnya otoritas
pengawas harus mengadakan pengawasan terhadap kegiatan bank syariah.
Dalam tugasnya otoritas pengawas mutlak memerlukan piranti pengaturan
dalam bentuk standar. Standar pengukuran kinerja atau tingkat kesehatan
perbankan seperti standar CAMEL, KPMM (Ketentuan Pemenuhan Modal
Minimum) atau CAR, PDN (Posisi Devisa Neto), BMPK (Batas Maksimum
Pemberian Kredit) dan NPTS (Nisbah Pembiayaan terhadap Simpanan) yang
telah diterapkan pada sistem perbankan konvensional yang kita kenal selama
ini. Dengan beroperasinya bank syariah timbul pertanyaan apakah standar
CAMEL dan prinsip atau ketentuan kehati-hatian atau prudentialbanking
tersebut dapat diterapkan pada sistem perbankan syariah yang mempunyai
sistemkonsep yang berbeda dalam operasionalnya dengan bank konvensional.
Penerapan prudential banking pada bank syariah ini telah lama menjadi isu
pakar perbankan. Working paper IMF (Maret 1998) Banking : Issues in
prudential regulation and supervision, menyatakan bahwa implementasi
prinsip kehati-hatian pada bank syariah dapat menggunakan referensi standar
Bask Committee on Banking Supervision (BIS). Seperti yang diterapkan pada
bank konvensional. Namun standar BIS tidakdapat sepenuhnya diadopsi
dalam perbankan syariah karena terdapat kendala yaitu adanya perbedaan
penerapan prinsip syariah di tiap-tiap negara muslim. Perbedaan derajat
penerapan prinsip syariah dalam lembaga atau instrumen perekonomian
seperti misalnya Iran dengan Islam. Konservatif dan Malaysia dengan Islam
Liberal.
Kendala-kendala pada lembaga keuangan syariah
 Pemahaman yang belum tepat terhadap kegiatan operasional Bank
Syariah
 Peraturan perbankan yang berlaku beleum sepenuhnya
mengakomodasikan bank syariah

14
 Jaringan kantor bank syariah yang belum lunas
 Sumber daya manusia yang memiliki keahlian bank syariah masih
sedikit
 Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah belum lengkap
 Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif
 Efesiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal

D. BADAN PENGAWAS KETENTUAN SYARIAH DALAM PERBANKAN


DI INDONESIA

1. Bank Indonesia sebagai Otoritas Pengawasan Bank

Pengaturan dan pengawasan yang efektif sangat diperlukan bagi keamanan


dan kesehatan lembaga keuangan, tak terkecuali bank syariah. Regulasi tidak akan
memiliki peran yang cukup berarti tanpa disertai sistem monitoring yang tepat.
Oleh karena itulah, efektivitas pengawasan merupakan suatu keharusan. Agar
pengawasan bisa berjalan secara efektif, maka tujuannya harus dinyatakan secara
jelas dengan mekanisme yang tepat. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa
sistem keuangan bisa berjalan secara aman dan sehat, sesuai dengan ajaran Islam
dan bisa menyesuaikan dengan ketentuan internasional serta mampu bersaing
dalam tataran domestik atau di pasar keuangan internasional. Kesehatan atau
kondisi keuangan dan non-keuangan bank merupakan kepentingan semua pihak
terkait, baik pemilik, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia
selaku otoritas pengawasan Bank di Indonesia,sehingga untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan beberapa pendekatan yaitu:1. Kebijakan memberikan
keleluasaan berusaha (deregulasi); 2. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank
(prudential banking); dan 3 Pengawasan bank yang mendorong bank untuk
melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self
regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap
mengacu kepada prinsip kehati-hatian. Hal diatas kemudian di atur dalam
Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan
Bank Indonesia sebagai otoritas yang melakukan Pengaturan dan Pengawasan
Bank. Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia menetapkan

15
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap
bank. Selain itu, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan
perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. Pengawasan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung.Dalam hal ini,
Bank Indonesia berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan,
keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan
anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank.Hal ini sangat penting untuk
dilakukan agar prudential regulation yang diterapkan dapat secara efektif dengan
melakukan transparansi dan akuntabilitas melalui accounting dan auditing serta
good corporate governance. Selanjutnya, Bank Indonesia dapat menugasi pihak
lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap
bank. Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara
sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank
Indonesia transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang
perbankan. Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia
membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau
membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Perbankan yang
berlaku.

B. Sistem Pengawasan pada Bank oleh Bank Indonesia

Industri perbankan yang sehat juga perlu didukung dengan pengawasan bank
yang independen dan efektif.Untuk itu, dalam menjalankan tugas pengawasan
bank, saat ini BI melaksanakan sistem pengawasannya dengan menggunakan 2
(dua) pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based
supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS).
Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti mengesampingkan
pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk

16
menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan
yang diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan
berdasarkan risiko.

1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)


Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya
menekankan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan
ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini
lebih terfokus pada mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan
untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan
benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)
Tujuan utama dari pengawasan Bank adalah melindungi kepentingan
masyarakat penyimpan (deposan dan Kreditur) yang mempercayakan
dananya pada bank untuk memperoleh pembayaran kembali dan manfaatnya
dari bank sesuai dengan sifat, jenis, dan cara pembayaran yang telah
dijanjikan.Untuk itu Bank Indonesia menyempurnakan sistem
pengawasannya melalui pendekatan pengawasan berdasarkan risiko. Dengan
menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank
difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas
fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system).
Untuk mendukung efektivitas implementasi pengawasan berbasis risiko,
terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, tersedianya
kerangka ketentuan (regulatory framework). Kedua, terjalinnya komunikasi
dan sinergi antara pengawas dengan manajemen bank yang memungkinkan
tercapainya kesamaan cara pandangmengenai penilaian dan risiko dan tindak
lanjut. Ketiga, adanya transparansi dan kesadaran manajemen bank terhadap
pentingnya manajemen risiko. Melalui pendekatan ini akan lebih
memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan
pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.

17
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko memiliki siklus pengawasan
sebagai berikut :

Jenis-Jenis Risiko Bank :

a. Risiko Kredit : Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty


memenuhi kewajibannya.
b. Risiko Pasar : Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel
pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank,yang
dapat merugikan Bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan
nilai tukar.
c. Risiko Likuiditas : Risiko yang antara lain disebabkan Bank tidak mampu
memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu.
d. Risiko Operasional : Risiko yang antara lain disebabkan adanya
ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal,kesalahan
manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
e. Risiko Hukum : Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek
yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan
hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau
kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontra.
f. Risiko Reputasi : Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi
negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif
terhadap Bank.
g. Risiko Strategik : Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan
dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat dalam pengambilan
keputusan bisnis atau kurang responsifnya Bank terhadap perubahan
eksternal.
h. Risiko Kepatuhan : Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain
yang berlaku.

18
Pada dasarnya pengaturan dan pengawasan bank syariah dimaksudkan
untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan
dengan bank, bahwa bank-bank dari segi finansial tergolong sehat, dan sesuai
dengan ajaran Islam serta di dalam bank tidak terkandung segi-segi yang
merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya
di bank. Berdasarkan kerangka keuangan Islam pengawasan setidaknya harus
mencakup dua dimensi utama, yakni patuh terhadap standar yang telah
ditentukan oleh Basel Committee dan Ketentuan hukum tentang bank dan
keuangan di Negara masing-masing; patuh terhadap norma-norma syariah untuk
memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa produknya tidaklah sama
dengan produk yang ditawarkan system konvensional. Di Indonesia, Bank
Indonesia secara spesifik membuat aturan dalam Peraturan Bank Indonesia No.
11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah yang mengatur secara konprehensif mekanisme pengawasan di
bank syariah meliputi komposisi, karakteristik, struktur, dan mekanisme dasar
yang harus dimiliki oleh Dewan Komisaris dan Direksi. Selain itu, diatur juga
tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah.

Berikut dijelaskan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi,


dan Dewan Pengawas Syariah.

Dewan Komisaris.

Peraturan perundang-undangan memberikan tanggung jawab yang jelas dan


tegas terhadap tanggung jawab Dewan Komisaris. Mengingat kedudukan Dewan
Komisaris sebagai organ perseroan, tanggung jawab ini bertujuan untuk menjamin
agar Dewan Komisaris melakukan fungsi pengawasan dengan I’tikad baik, kehati-
hatian, dan bertanggung jawab. Kesalahan maupun kelalaian Dewan Komisaris
yang menyebabkan kerugian bagi perseroan harus dipertanggung jawabkan oleh
Dewan Komisaris bahkan sampai pertanggungjawaban pribadi. Untuk itu PBI-
2009 mengatur tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris Jumlah anggota
dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga) orang dan paling banyak sama dengan

19
jumlah anggota Direksi, terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen. Jumlah
Komisaris Independen Paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
anggota dewan Komisaris. Semua Anggota dewan Komisaris harus memenuhi
persyaratan telah lulus Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test). Selain itu, Anggota dewan Komisaris hanya
dapat merangkap jabatan sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat
Eksekutif pada 1 (satu) lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan dan tidak
memiliki hubungan keluarga dengan anggota dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi.

Selanjutnya, mengenai tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris pada


perbankan sebagaimana diatur dalam PBI-2009, antara lain:
1. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya
pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh
tingkatan atau jenjang organisasi
2. Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada
Direksi.
3. Dalam melakukan pengawasan, Dewan Komisaris wajib memantau dan
mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis BUS dan Dewan Komisaris
dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional BUS,
kecuali pengambilan keputusan untuk pemberian pembiayaan kepada
Direksi sepanjang kewenangan Dewan Komisaris tersebut ditetapkan
dalam Anggaran Dasar BUS atau dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
4. Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti
temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia,
auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
5. Dewan Komisaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya, baik itu
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan

20
perbankan maupun suatu kondisi yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha BUS.
6. Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Pemantau Risiko,
Komite Remunerasi dan Nominasi, dan Komite Audit. Pengangkatan
anggota komite ditetapkan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat
Dewan Komisaris.
7. Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk
menjalankan tugasnya secara efektif dan wajib memiliki pedoman dan tata
tertib kerja. Pedoman dan tata tertib kerja komite harus dievaluasi dan
dilakukan pengkinian secara berkala, dan pedoman dan tata tertib kerja ini
sifatnya mengikat bagi setiap anggota Dewan Komisaris. Dalam pedoman
dan tata tertib ini harus mencantumkan waktu kerja dan pengaturan rapat.
8. Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Minimal rapat
dilakukan 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan dan wajib dihadiri paling
kurang oleh 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Komisaris.
9. Rapat Dewan Komisaris wajib dipimpin oleh Komisaris Utama. Jika
Komisaris Utama berhalangan hadir maka rapat Dewan Komisaris dapat
dipimpin oleh salah seorang anggota Dewan Komisaris. Seluruh keputusan
Dewan Komisaris yang dituangkan dalam risalah rapat merupakan
keputusan bersama seluruh anggota Dewan Komisaris dan hasil rapat
Dewan Komisaris wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik. Jika terjadi perbedaan pendapat
(dissenting opinions) atas hasil keputusan rapat Dewan Komisaris, maka
perbedaan pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah
rapat beserta alasannya.

Dewan Direksi.

Dewan direksi memiliki fungsi utama dalam manajemen, yakni menetapkan


tujuan stratejik dan prinsip-prinsip yang akan dijadikan sebagai acuan lembaga

21
keuangan islam. Kewajiban dan tanggung jawab otoritas pengambilan keputusan
untuk masing-masing level manajemen harus ditentukan berdasarkan wewenang
dan tanggung jawab masing-masing anggota dewan direksi. Dewan direksi juga
memiliki kewajiban untuk menjaga transparansi dalam menjalankan operasional
perusahaan yang mengacu pada standar operasional Lembaga Keuangan Syariah
yang ditentukan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS),
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI), Islamic Financial Service Board (IFSB), ataupun atas otoritas
pengawas. Dewan direksi tidak akan mampu menjalankan tanggung jawabnya
secara efektif tanpa didukung oleh sistem control internal yang bagus, prosedur
akuntansi yang relevan, audit internal dan eksternal yang efektif, manajemen
risiko yang efisien, memiliki aturan cheks and balances, serta adanya perangkat
regulasi dan prosedur yang komprehensif. Dewan direksi tidak mungkin akan bisa
melakukan semua tugas tersebut secara efektif, jika mereka hanya
mengedepankan self interest dan mengabaikan kepentingan para stakeholder yang
meliputi para pemegang saham, depositor, pegawai ataupun pihak lain yang
berkepentingan. Dengan demikian, kehadiran otoritas pengawas dan auditor
eksternal adalah sebuah keniscayaan guna mendorong dan memastikan dewan
direksi untuk menjalankan tugas-tugas sebagaimana yang telah ditentukan. Selain
itu, dewan direksi harus memiliki profesionalitas, kompetensi, dan integritas
moral yang sangat diperlukan untuk mengelola bank syariah. Kualifikasi ini
sangat diperlukan bagi bank syariah, dikarenakan keberadaan bank syariah yang
dibangun berdasarkan nilai-nilai moral kemanusiaan, bersifat altruistik dan tidak
mementingkan self-interest. Dengan kata lain, dewan direksi tidak boleh
menerima keuntungan terselubung untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka
tidak diperkenankan memanipulasi harga saham, atau mendapatkan keuntungan
lainnya terkait dengan pengetahuan mereka atas usaha bank. Hal ini sangat
penting untuk dilakukan secara jujur dan sehat untuk mencegah terjadinya moral
hazard dalam manajemen bank.

22
Untuk itu, Bank Indonesia secara spesifik mengatur tugas dan tanggung jawab
dewan direksi dalam PBI 2009, antara lain:

1. Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan BUS


berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
2. Direksi wajib mengelola BUS sesuai dengan kewenangan dan tanggung
jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar BUS dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Direksi wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada
seluruh tingkatan atau jenjang organisasi, Direksi wajib menindaklanjuti
temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank
Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor
ekstern.
4. Dalam rangka melaksanakan GCG, Direksi wajib memiliki fungsi paling
kurang: a. Audit Intern; b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen
Risiko; dan c. Kepatuhan.
5. Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
6. Direksi harus mengungkapkan kepada pegawai kebijakan BUS yang
bersifat strategis di bidang kepegawaian.
7. Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain
yang mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi.
8. Direksi hanya dapat menggunakan jasa konsultan, penasihat, atau yang
dapat dipersamakan dengan itu sepanjang memenuhi persyaratan sebagai
berikut: a. proyekbersifat khusus yang sangat diperlukan untuk kegiatan
usaha BUS; b. didasari oleh kontrak yang jelas, yang sekurang-kurangnya
mencakup tujuan, ruang lingkup kerja, tanggung jawab, jangka waktu
pelaksanaan pekerjaan dan biaya; dan c. konsultan merupakan pihak
independen yang profesional dan memiliki kualifikasi yang cukup untuk
melaksanakan proyek secara efektif dan efisien.

23
9. Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan dan
tepat waktu kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah.
10. Setiap anggota Direksi wajib memiliki kejelasan tugas dan tanggung
jawab sesuai dengan bidang tugasnya.
11. Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat
mengikat bagi setiap anggota Direksi. Pedoman dan tata tertib kerja paling
kurang mencantumkan: a. waktu kerja; dan b. pengaturan rapat.
12. Setiap keputusan Direksi bersifat mengikat dan menjadi tanggung jawab
seluruh anggota Direksi.
13. Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat
Direksi. Hasil rapat Direksi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat
(dissenting opinions) atas hasil keputusan rapat Direksi, maka perbedaan
pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat
beserta alasannya.

Dewan Pengawas Syariah.

Secara umum pengawasan Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia


sebagai otoritas Pembina dan pengawas bank. Namun secara khusus dilakukan
oleh Dewan Pengawas Syariah yang ada pada tiap bank yang menjalankan
usahanya berdasarkan prinsip syariah.

Dewan Pengawas Syariah merupakan badan independen yang bertugas


melakukan pengarahan (directing), pemberian konsultasi (consulting), melakukan
evaluasi (evaluating), dan pengawasan (supervising) terhadap kegiatan bank
syariah dalam rangka memastikan bahwa kegiatan usaha bank syariah tersebut
mematuhi (compliance) terhadap prinsip syariah sebagaimana telah ditentukan
oleh fatwa dan syariah islam. Dewan Pengawas Syariah merupakan keunikan
tersendiri yang dimiliki oleh lembaga keuangan syariah. Organisasi ini terdiri dari
cendekiawan Syariah yang bertugas mengawasi dan memantau kegiatan lembaga
keuangan untuk memastikan bahwa lembaga tersebut patuh terhadap prinsip

24
syariah. Adanya Dewan Pengawas Syariah ini merupakan salah satu hal pokok
yang membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah. Tugas utama
DPS adalah mengawasi pelaksanaan operasional bank dan produk-produknya
supaya tidak menyimpang dari aturan syariah.

Menurut Standar AAOIFI, dewan syariah setidaknya harus terdiri atas tiga
anggota cendekiawan syariah yang diangkat berdasarkan rapat umum pemegang
saham (RUPS) dan dalam keadaan tidak merangkap jabatan sebagai konsultan di
seluruh Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah.30 Hal ini perlu
dilakukan karena DPS sebagai badan independen dapat terlepas dari konflik
kepentingan.

Dalam pelaksanaan tugasnya, diatur dalam pasal 46 PBI-2009. Berikut Tugas dan

Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah:

1. Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab


sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
2. Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
3. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah meliputi:
menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan Bank, mengawasi proses
pengembangan produk baru Bank agar sesuai dengan fatwa Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia, meminta fatwa kepada Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada
fatwanya, melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah
terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan
jasa Bank, dan Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari
satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
a. Apabila dalam pelaksanaan produk baru yang telah ditawarkan ternyata
tidak memenuhi prinsip syariah, maka dalam hal ini Dewan Pengawas

25
Syariah tidak memiliki wewenang untuk menghentikan produk tersebut
karena ini merupakan otoritas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang
menghentikan produk yang dimaksud.
4. Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan
Dewan Pengawas Syariah secara semesteran yang disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester dimaksud
berakhir.
a. Dalam laporannya dibuat pernyataan bahwa bank yang diawasinya telah
berjalan sesuai
b. dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini kemudian dimuat dalam laporan
keuangan bank.
c. Dari segi kinerja bisa jadi tugas Dewan Pengawas Syariah lebih berat dari
dewan komisaris. Hal ini bisa dilihat dari jumlah rapat yang wajib
dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah dibandingkan oleh Dewan
Komisaris. Dalam Pasal 49 ayat 1 PBI-2009 disebutkan rapat Dewan
Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam
1 (satu) bulan. Sedangkan bagi dewan komisaris wajib diselenggarakan
paling kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan
E. MEKANISME FARUD DALAM AUDITOR PADA BANK SYARIAH
1. Fraud auditor melakukan audit dengan teknik investigasi ke bank syariah.
2. Hasil investigasi akan diperiksa apakah terdapat tanda-tanda terjadinya
fraud, jika terjadi maka auditor akan mengumpulkan bukti-bukti yang
kuat.
3. Setelah mendapatkan bukti yangcukup maka di diskusikan dengan atasan
auditor,apakah bias diterima atau tidak bahwa fraud benar-benar terjadi.
4. Sebelum menyusun laporan audit, fraud auditor meminta pendapat DPS
untuk mengetahui standar syariah.
5. Menyusun laporan bahwa bank yang bersangkutan telah terjadi fraud.
6. Laporan audit dan bukti-buktinya dilaporkan ke BI \dan
kepolisian/kejaksaan bila terjadi fraud.

26
7. Jika terjadi fraud maka kejaksaan/kepolisian meyidang pelaku fraud
tersebut dan menjatuhkan hukuman pidana sesuia yang diatur dalam UU.
8. BI akan meberikan peringatan terhadap bankyang mengalami fraud agar
laporan keuangan diperbaiki.

KESIMPULAN

Fraud adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau benda, statistik, atau
dokumen-dokumen , dengan maksud untuk menipu. Tetapi fraud bisa kita cegah
dan bisa kita hindari.

27
DAFTAR PUSTAKA
 arda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cybercrime di Indonesia , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
http://www.tunardy.com/pengertian-cybercrime/di
 Etika Profesi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jakarta : AMIK BSI
 http://id.wikipedia.org/wiki/Cybercrime
 CHR.H.Van Dijk dan J.M.J Keltjens, Computercriminaliteit

28
29

Anda mungkin juga menyukai