Cara sitasi: Indrastuti NA, Wulandari N, Palupi NS. 2019. Profil pengolahan ikan asin di wilayah pengolahan
hasil perikanan tradisional (PHPT) Muara Angke. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 22(2): 218-
228.
Abstrak
Kualitas akhir ikan asin ditentukan dari kualitas bahan baku serta teknologi pengolahan yang sangat
bervariasi antar pengolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi profil pengolahan ikan asin di
PHPT Muara Angke. Metode yang dilakukan melalui pengumpulan data sekunder produksi tahunan ikan
asin dari kantor UPT PHPT Muara Angke pada bulan Januari 2017 hingga Juli 2018, serta pengumpulan data
primer melalui observasi dan wawancara terhadap 25 pengolah ikan asin dengan teknik snowball sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ikan asin yang diolah di PHPT Muara Angke sangat beragam
dan masih menerapkan proses produksi secara tradisional. Bahan baku ikan sebagian besar diterima
dalam kondisi beku. air pengolahan berasal dari sumur pribadi para pengolah dan hanya menggunakan
satu jenis garam yaitu garam kristal. Metode penggaraman kombinasi (pickling) lebih banyak digunakan
dibandingkan dengan penggaraman kering dan penggaraman basah. Tahap pengeringan masih dilakukan
dengan bantuan sinar matahari. Sebagian kecil pengolah ditemukan masih menggunakan bahan kimia
pemutih. Berdasarkan hasil observasi, pengolahan ikan asin di PHPT Muara Angke belum menerapkan
proses produksi secara saniter dan higienis.
Profile of Salted Fish Processing in Pengolahan Hasil Perikanan (PHPT) Muara Angke
Abstract
The quality of salted fish depends on the quality of raw material as well as the processing methods.
The aim of this work was to study the processing profile of the salted fish in PHPT Muara Angke. Data was
collected from the annual salted fish production data in Muara Angke from January 2017 to July 2018, as
well as from observation and interview with 25 salted fish producers using snowball sampling method. The
results showed that the processed fish species were very diverse and the processing was carried out using
traditional methods. Frozen fish were used more frequently than the fresh one. The ground water and crystal
salt were used in the processing.Pickling was widely used for salting method rather than dry salting or wet
salting. Drying of the fish was carried out traditionally under the sun. However, bleaching agent was still
used by some producers. In conclusion, the processing of salted fish in PHPT Muara Angke has not applied
sanitized and hygiene production processes.
responden dilakukan dengan teknik snowball Muara Agke. Sampah plastik masih ditemukan
sampling karena target responden merupakan berserakan di pinggiran jalan maupun di
kelompok yang sulit untuk ditemui dengan dalam saluran air (parit) di sepanjang area
alasan sibuk atau tidak dapat berkomunikasi PHPT. Arianti (2007) menyatakan bahwa
dengan baik. Petugas UPT PHPT Muara Angke produksi sampah di kawasan Pusat Pendaratan
menjadi orang pertama dalam penelitian ini Ikan (PPI) Muara Angke mencapai 15-
yang kemudian menunjuk pengolah ikan 30 m3/hari dan diduga saat ini mengalami
asin manasaja yang dapat dijadikan sebagai peningkatan yang sangat signifikan seiring
responden. Responden terpilih juga dapat dengan berkembangnya aktivitas pendaratan
memberikan rekomendasi jika mereka dan pengolahan ikan di sekitar kawasan
mengetahui pengolah ikan asin di komunitas Muara Angke, selain itu air yang menggenang
mereka yang dapat memberikan informasi di sepanjang parit berwarna keruh kehijauan
serupa (Naderifar et al. 2017). Observasi sehingga dapat menjadi penyebab timbulnya
dilakukan dengan mengamati secara langsung penyakit. Hal ini mengakibatkan lingkungan
kondisi tempat pengolahan, bahan baku serta PHPT Muara Angke tampak kumuh dan
jalannya proses produksi yang diterapkan oleh beraroma tidak sedap.
pengolah ikan asin. Berdasarkan hasil observasi, kondisi
area pengolahan tidak memungkinkan para
Analisis Data pekerja untuk melakukan proses produksi
Jumlah responden yang digunakan dalam secara saniter dan higienis. Kondisi ruangan
penelitian ini ditentukan menggunakan rumus pengolahan yang terbuka tanpa dilengkapi
Slovin (Sevilla et al. 2007) sebagai berikut: pintu, berhubungan langsung dengan akses
keluar masuk para pekerja pada bagian
N
n= depan dan dengan area penjemuran ikan asin
N(d2)+1 pada bagian belakang. Graham et al. (2005)
Keterangan: menyatakan bahwa idealnya area pengolahan
n = jumlah responden dibangun dengan dilengkapi pintu untuk
N = jumlah populasi mencegah kontaminasi yang mungkin terbawa
d = toleransi kesalahan (%) melalui angin, di antaranya sampah atau debu
dengan ketentuan: (1) Nilai d = 0,1 (10%) dan juga mencegah masuknya hewan-hewan
untuk populasi dalam jumlah besar; (2) Nilai antara lain tikus, kecoa atau burung. Dinding,
d = 0,2 (20%) untuk populasi dalam jumlah lantai dan langit-langit area pengolahan ikan
kecil. asin tidak dirancang dari bahan yang mudah
Analisis data yang digunakan terhadap dibersihkan, sehingga akumulasi kotoran dan
hasil wawancara adalah analisis statistik kondensasi debu sulit dicegah serta memicu
deskriptif, yaitu dengan cara menggambarkan tumbuhnya lumut di beberapa tempat
keadaan dan kondisi pengolahan ikan asin karena kondisi yang lembab. Konstruksi atap,
dengan bantuan tabel, grafik, gambar maupun lantai serta dinding area pengolahan harus
histogram. mampu mencegah akumulasi air, mudah
dikeringkan dan mudah dibersihkan. Saluran
HASIL DAN PEMBAHASAN pembuangan air juga harus diperhatikan
Kondisi Bangunan dan Lingkungan agar tidak menimbulkan genangan. Bahan
PHPT Muara Angke yang direkomendasikan adalah beton atau
Tempat pengolahan ikan asin yang berada semen yang dilapisi dengan bahan anti air.
di kawasan PHPT Muara Angke merupakan Sambungan antara atap dengan dinding atau
bangunan permanen dua lantai di atas lahan lantai dengan dinding harus mampu menahan
seluas 150 m2, lantai bagian bawah digunakan perubahan cuaca, mencegah invasi hewan
untuk produksi ikan asin sedangkan lantai pengerat dan serangga serta mengurangi
bagian atas digunakan untuk tempat istirahat. akumulasi debu.
Kebersihan lingkungan dan higienis proses Bagian penyimpanan garam, penerimaan
masih menjadi salah satu masalah di PHPT bahan baku ikan, pencucian dan penggaraman
juga tidak dilengkapi dengan sekat sehingga dengan kondisi wadah atau keranjang
memungkinkan terjadinya kontaminasi ikan. Transportasi ikan dari PPI ke PHPT
silang, bahkan ditemukan beberapa kamar Muara Angke tidak menggunakan rantai
mandi berada persis di sebelah area pencucian dingin sehingga memungkinkan terjadinya
ikan. Blanchfield (2005) menyatakan bahwa penurunan mutu ikan, terutama untuk ikan
area penyimpanan bahan baku harus yang dibeli dalam kondisi segar. FAO (2003)
dipisah dan kondisinya disesuaikan dengan tentang kode praktik untuk ikan dan produk
spesifikasi bahan. Ruang penyimpanan harus perikanan menyatakan bahwa alat pengangkut
kering dan memiliki ventilasi yang baik serta produk perikanan diusahakan berasal dari
mencegah kontaminasi fisik, kimia maupun bahan yang tahan korosi dengan permukaan
mikrobiologi. halus dan tidak menyerap serta kondisi lantai
harus dikeringkan secara memadai. Instalasi
Kondisi Bahan Baku Ikan dan pendingin diperlukan untuk menjaga suhu
Komposisi Pembuatan Ikan Asin produk perikanan berada disekitar 0oC atau
Ikan untuk mempertahankan suhu -18°C untuk
Berdasarkan data produksi ikan asin di produk beku selama transportasi. Selama
PHPT Muara Angke selama bulan Januari proses transportasi, ikan harus terhindar dari
2017 hingga Juli 2018, kurang lebih ada kemungkinan adanya kontaminasi, paparan
sekitar 30 jenis ikan yang digunakan sebagai suhu ekstrem atau sinar matahari serta terpaan
bahan baku pembuatan ikan asin dengan total angin. Kondisi bahan baku pembuatan ikan
produksi mencapai angka 18,6 ribu ton (PHPT asin berdasarkan hasil wawancara dapat
2018). Para pengolah biasanya membeli ikan dilihat pada Figure 1.
di Pusat Pelelangan Ikan (PPI) Muara Angke. Ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke
Ikan tersedia dalam dua bentuk, yaitu segar digolongkan berdasarkan nilai ekonomis,
dan beku. Berdasarkan hasil wawancara yaitu hasil tangkapan dengan nilai ekonomis
diketahui bahwa sebanyak 40% responden tinggi, menengah dan rendah. Ikan yang
menggunakan ikan beku saja sebagai bahan dijadikan sebagai bahan baku pembuatan
baku, sedangkan sebagian besar responden ikan asin bukan merupakan ikan sisa yang
(44%) menggunakan ikan segar dan ikan telah mengalami penurunan mutu akan tetapi
beku, sisanya (16%) hanya menggunakan ikan merupakan hasil tangkapan dengan nilai
segar saja (Figure 1). Pemilihan jenis bahan ekonomis rendah. Bagian tubuh ikan masih
baku ikan ini tergantung dari ketersediaannya dalam kondisi utuh dengan insang berwarna
di PPI. Daerah tangkapan nelayan yang cukup merah dan masih berbau segar. Hal ini sesuai
jauh, membuat kapal-kapal nelayan kini dengan FAO (2004) yang menyatakan bahwa
telah dilengkapi dengan instalasi pendingin bahan baku ikan untuk pembuatan ikan
sehingga ketersediaan ikan beku lebih banyak asin harus dibuat dari ikan sehat, segar dan
dibandingkan dengan ikan segar. Ikan segar memenuhi kualitas layak untuk dikonsumsi
biasanya berasal dari daerah tangkapan di oleh manusia setelah melalui tahap persiapan
sekitar teluk Jakarta sehingga membutuhkan yang tepat serta terbebas dari infeksi parasit.
waktu transportasi relatif singkat. Ikan langsung diolah pada hari yang
Berdasarkan hasil observasi, ikan yang sama karena pengolah tidak memiliki
diperoleh dari proses lelang kemudian dibawa instalasi pendingin yang memadai di tempat
ke PHPT Muara Angke menggunakan lori pengolahan. Ikan yang diterima dalam kondisi
atau gerobak kayu terbuka. Ikan disimpan segar dapat langsung diolah menjadi ikan
dalam sebuah wadah atau keranjang yang asin, sedangkan ikan yang diterima dalam
tidak memiliki tutup sehingga memungkinkan kondisi beku perlu dicairkan terlebih dahulu.
terjadinya paparan udara dan sinar matahari Terdapat dua metode pencairan ikan yang
secara langsung. Lori atau gerobak yang biasa dilakukan, yaitu perendaman dalam air
digunakan juga tidak dicuci dengan bersih, garam dan tanpa perendaman. Berdasarkan
masih terdapat sisik ikan, bekas darah hasil wawancara, responden sebanyak
serta lendir yang mengering begitupun 66,67% melakukan metode pencairan
of salt
KIND OF
SALT
Solar salt
SOURCE OF Kind 100%
WATER
of
water
Source
0 5 10 15 20 25 30
n
dengan cara direndam dalam larutan garam. selama proses penggaraman karena proses
Konsentrasi garam yang digunakan selama penetrasi garam berjalan sangat lambat (FAO
proses perendaman kurang lebih 10-15%. 2003).
Perendaman di larutan garam dilakukan untuk Jenis garam tambak yang digunakan
mencegah terjadinya proses pembusukan di PHPT Muara Angke memiliki ukuran
pada ikan terutama terhadap ikan-ikan yang kristal berkisar 5-20 mm dengan warna
berukuran sedang dan besar. Perendaman putih kekuningan dan memiliki rasa asin
dengan larutan garam ini juga berfungsi untuk tanpa menimbulkan rasa pahit pada produk
membantu meningkatkan penyerapan garam akhir. Garam biasanya dikemas dalam wadah
ke dalam otot ikan sehingga meningkatkan karung berukuran 5 kg dan disimpan begitu
bobot rendemen serta menurunkan waktu saja di atas lantai yang kotor dan lembab
penggaraman (Oliveira et al. 2012). sehingga tidak adanya kontrol terkait dengan
penurunan mutu garam selama penyimpanan.
Garam Garam seharusnya disimpan di tempat yang
Berdasarkan hasil wawancara (Figure bersih dan kering agar tidak mengalami
1), semua responden menggunakan garam penurunan mutu dan jumlah. Garam yang
tambak berbentuk kristal berwarna putih, disimpan pada lingkungan lembab akan
karena harganya lebih murah serta tersedia mengalami penyusutan jumlah karena dapat
dalam jumlah banyak. Garam berasal dari larut secara perlahan-lahan. Permenperin
daerah Pati, Rembang, Madura dan Nusa RI (2010) tentang pedoman cara produksi
Tenggara Timur dengan harga berkisar pangan olahan yang baik menjelaskan bahwa
Rp 1.700/kg. Pengolah lebih menyukai bahan baku seharusnya disimpan di tempat
garam yang berasal dari daerah Pati karena yang tidak menyentuh lantai, menempel
harganya lebih murah dan ukuran kristalnya dinding dan jauh dari langit-langit.
pas sehingga menghasilkan kualitas ikan
asin yang baik. Ukuran kristal garam perlu Air pengolahan
menjadi perhatian, penggunaan garam Berdasarkan hasil wawancara, air yang
yang sangat halus mengakibatkan penetrasi digunakan dalam pembuatan ikan asin
garam terlalu cepat sehingga menyebabkan sebagian besar (88%) berasal dari air sumur
distribusi garam ke dalam jaringan ikan tidak yang berada di sekitar area pemukiman
seragam dan bagian permukaan daging cepat pengolah ikan asin. Air yang berasal dari
mengeras. Kristal garam yang terlalu kasar sumur tersebut memiliki sedikit rasa asin.
dapat menyebabkan kerusakan daging ikan Jika dilihat dari kondisi geografis wilayah
Muara Angke yang berada di pesisir pantai Produksi Pangan Olahan yang Baik, lantai
utara Jakarta, maka hal ini disebabkan oleh ruang produksi yang digunakan untuk proses
intrusi (peresapan) air laut. Kondisi air tanah pencucian harus mempunyai kemiringan yang
di Muara Angke memiliki kadar Na yaitu 200- cukup atau lubang pembuangan sehingga
500 mg/L serta kadar Cl yaitu 100-250 mg/L tidak menimbulkan genangan air. Permukaan
yang dikategorikan ke dalam kelompok anta/ yang kontak langsung dengan bahan pangan,
payau (Matahelumual 2010). Kondisi fisik air dalam hal ini lantai pengolahan, seharusnya
pengolahan berwarna keruh dan beraroma didesain agar mampu menjamin mutu dan
laut. Kondisi fisik ini belum memenuhi keamanan produk yang dihasilkan. Ikan
persyaratan mutu air minum sesuai (BSN kemudian dimasukkan ke dalam bak dan
2006), bahwa air pengolahan yang kontak dicuci hingga sisa-sisa kotoran, lendir dan
langsung dengan bahan pangan harus darah hilang dari tubuh ikan. Dua jenis
tidak berbau dan tidak berasa. Berdasarkan metode pencucian yang biasa diterapkan
informasi dari responden, agar air produksi oleh pengolah ikan asin, yaitu melalui
tidak terlalu asin, beberapa pengolah ikan perendaman dan menggunakan air mengalir.
asin biasanya mencampurnya dengan air Pengolah sebagian besar (96%) mencuci ikan
yang mereka beli dari PDAM, sedangkan menggunakan air mengalir. Berdasarkan
sebagian kecil di antaranya menggunakan air informasi dari beberapa responden, proses
PDAM murni sebagai bahan baku produksi pencucian ini menghasilkan ikan yang lebih
(Figure 1). Hal ini dilakukan untuk kebutuhan bersih tetapi memerlukan jumlah air yang
produksi ikan asin yang dijual ke supermarket lebih banyak, karena air akan dibiarkan
agar menghasilkan ikan yang lebih bersih. mengalir secara terus menerus hingga ikan
Penggunaan air PDAM diakui pengolah dapat bersih.
menghasilkan ikan asin yang lebih bersih,
akan tetapi membutuhkan biaya produksi Tahap penggaraman
yang sangat tinggi. Tiga jenis metode penggaraman ikan asin
yang umum diterapkan yaitu penggaraman
Kondisi Pengolahan Ikan Asin kering (dry salting, kench salting atau pile
Tahap persiapan ikan salting), penggaraman basah (wet salting
Tahapan ini merupakan perlakuan atau brining) dan kombinasi keduanya
pendahuluan sebelum ikan diolah menjadi (pickling). Berdasarkan hasil wawancara,
ikan asin, yang meliputi pencucian dan teknik penggaraman kombinasi lebih banyak
penyiangan. Ikan yang berukuran kecil dan diaplikasikan oleh pengolah. Teknik ini
sebagian ikan berukuran sedang diolah dalam dilakukan dengan cara meletakkan ikan dan
bentuk utuh, tidak dilakukan penyiangan dan kristal garam secara berselang-seling di dalam
pencucian. Hal ini dilakukan karena sebagian wadah tertutup, sehingga air yang keluar dari
besar ikan yang diterima oleh pengolah sudah dalam tubuh ikan tetap dipertahankan di
dalam kondisi bersih terutama yang diterima dalam wadah sampai proses penggaraman
dalam kondisi beku. Nelayan biasanya telah selesai (Bras dan Costa 2010). Pengolah
melakukan pencucian saat tangkapan masih biasanya menerapkan teknik penggaraman
berada di kapal, sebelum disimpan di dalam basah untuk ikan berukuran kecil, yaitu
unit pendingin. dilakukan dengan merendam ikan di dalam
Tahap pencucian hanya dilakukan untuk larutan garam selama 12-48 jam.
ikan berukuran besar dan sebagian ikan Mutu dan karakteristik produk ikan asin
berukuran sedang yang harus disiangi. Proses ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya
penyiangan juga belum dilakukan secara kesegaran ikan, jenis, konsentrasi dan kualitas
saniter dan higienis. Ikan yang belum atau garam, serta metode penggaraman yang
sudah disiangi diletakkan begitu saja di atas diterapkan (Oliveira et al. 2012). Berdasarkan
lantai pengolahan yang kotor dan dibiarkan hasil wawancara di lapangan, konsentrasi
dalam keadaan terbuka. Berdasarkan garam serta lama waktu penggaraman
Permenperin RI (2010) tentang Pedoman Cara yang diaplikasikan oleh masing-masing
responden sangat bervariasi. Hal ini sesuai selama 72 jam. Berdasarkan hasil wawancara,
dengan pendapat Bellagha et al. (2007) yang sebaran konsentrasi garam dan lama waktu
menyatakan bahwa konsentrasi garam, penggaraman berdasarkan ukuran ikan
metode, serta lama waktu penggaraman ikan disajikan dalam Figure 2.
asin tergantung dari karakteristik produk Pengolah harus benar-benar memahami
akhir yang diinginkan. Konsentrasi garam kombinasi antara konsentrasi garam dan lama
yang terlalu tinggi dapat menghasilkan produk waktu penggaraman yang diperlukan untuk
yang terlalu asin sehingga tidak disukai oleh menghasilkan produk dengan rendemen tinggi
konsumen (Yapar 1999). dan memiliki atribut sensori yang diinginkan
Ukuran ikan menentukan jumlah garam (Bellagha et al. 2007). Konsentrasi garam
yang digunakan serta lama waktu penggaraman yang terlalu tinggi atau waktu penggaraman
yang dibutuhkan. Daging ikan yang tebal yang terlalu lama dapat menurunkan bobot
dan besar membutuhkan konsentrasi garam akhir produk. Hal ini disebabkan karena
yang lebih tinggi dan waktu penggaraman adanya denaturasi protein yang cukup tinggi
yang lebih lama untuk memaksimalkan sehingga kapasitas pengikatan air (water
proses penetrasi garam ke dalam daging ikan holding capacity) dari produk akan mengalami
(Ariyarathna 2011). Ikan yang berukuran penurunan (Barat et al. 2002).
kecil contohnya ikan teri dan ikan bulu ayam Proses penggaraman dikatakan cukup
memerlukan konsentrasi garam yaitu 25% ketika terjadi perubahan secara fisik pada
dengan lama waktu penggaraman selama 12 daging ikan, yaitu daging ikan menjadi
jam. Ikan yang berukuran sedang, misalnya kaku atau keras. Penggaraman menginduksi
tembang, selar, dan layang membutuhkan terjadinya perubahan protein otot yang
waktu penggaraman selama 24 jam dengan mengakibatkan terjadinya perubahan
konsentrasi garam yaitu 30%. Ikan dengan tekstur dan kapasitas pengikatan air (water
ukuran besar cenderung memiliki data holding capacity) (Gallart-Jornet et al. 2007).
yang menyebar, hal ini disesuaikan dengan Ikan dicuci menggunakan air mengalir
ukuran ikan yang akan diolah, jika ukuran setelah proses penggaraman selesai untuk
tubuh ikan sangat besar, misalnya hiu maka menghilangkan sisa-sisa garam yang
garam yang digunakan dapat mencapai 75- menempel di tubuh ikan.
100% dengan lama waktu penggaraman
Figure 2 Distribution of salt concentration (%) and salting period (hour) based on fish size
(●: small fish; ■ : medium fish; ♦: big fish).
No Yes
56% 44%
Blanchfield JR. 2005. Handbook of Hygiene [diunduh 21 Sep 2018]. Tersedia pada:
Control in the Food Industry. Lelieveld http://www.inchem.org/documents/
HLM< Mostert MA, Holah J, editor. jecfa/jeceval/jec_1068.htm.
England (UK): Woodhead Publishing Logesh AR, Pravinkumar M, Raffi SM,
Ltd. Kalaiselvam M. 2012. An investigation on
Bras A, Costa R. 2010. Influence of brine microbial screening on salt dried marine
salting prior to pickle salting in the fishes. Journal of Food Respurce Science.
manufacturing of various salted-dried fish 1(1): 15-21.
species. Journal of Food Enginering.100(3): Masrifah E, Noorachmat BP, Sukmawati
490-495. A. 2015. Kesesuaian penerapan
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. manajemen mutu ikan pindang bandeng
Persyaratan Mutu Air Minum. SNI (Chanos chanos) terhadap Standar
01-3553-2006. Jakarta (ID): Badan Nasional Indonesia. Manajemen IKM.
Standardisasi Nasional. 10(2): 163-172.
[FAO/WHO] Food and Agriculture Matahelumual BC. 2010. Kajian kondisi
Organization of the United Nation/ air tanah Jakarta tahun 2010. Jurnal
World Health Organization. 2003. Code Lingkungan dan Bencana Geologi. 3(1):
of practice for fish and fishery products. 31-149.
CAC/RCP 52-2003. Rome(IT): FAO/ Naderifar M, Goli H, Ghaljaie F. 2017.
WHO. Snowball sampling: a purposeful method
[FAO/WHO] Food and Agriculture of sampling in qualitative research. Strides
Organization of the United Nation/World in Development of Medical Education.
Health Organization. 2004. Standard for 14(3): 1-6.
salted atlantic herring and salted spart. Oliveira H, Pedro S, Nunes ML, Costa R, Vaz-
Codex Stan 244-2004. Rome (IT): FAO/ Pires P. 2012. Processing of salted cod
WHO. (Gadus spp.): a review. Comprehensive
Center for Food Safety. 2017. Use of hydrogen Reviews in Food Science and Food Safety.
peroxide in food. https://www.cfs.gov. 11(6): 546-564.
hk/english/programme/programme_ Omolara TE. 2015. Effects of salting and
rafs/programme_rafs_fa_02_02.html. drying on quality attributes of snoel
[Diakses pada 18 November 2018]. (Thyrsites atun) [Tesis]. South Afrika
Gallart-Jornet L, Barat JM, Rustad T, Erikson (ZA): Stellenbosch University.
U, Escriche I, Fito P. 2007. A comparative [Permenperin RI] Peraturan Menteri
study of brine salting of Atlantic cod Perindustian Republik Indonesia.
(Gadus morhua) and Atlantic salmon 2010. Pedoman cara produksi pangan
(Salmo salar). Journal of Food Enginering. olahan yang baik (Good Manufacturing
79(1): 261-270. Practices). Jakarta (ID): Peraturan
Graham DJ. 2005. Handbook of Hygiene Menteri Perindustrian RI.
Control in the Food Industry. Lelieveld [PHPT] Pengolahan Hasil Perikanan
HLM, Mostert MA, Holah J, editor. Tradisional. 2018. Data Bahan Baku dan
England (UK): Woodhead Publishing Produksi Pengolahan Hasil Perikanan
Ltd. Tradisional (PHPT) Muara Angke, Bulan
Heruwati ES. 2002. Pengolahan ikan secara Januari 2017-Juli 2018.
tradisional: prospek dan peluang Rojas AAS, Jager M, Argyoropoulus D. 2010.
pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian. Application of HACCP principles to local
21 (3): 92-99. drying processes of capsicum species in
[Jecfa] Joint FAO/WHO Expert Committee Bolivia and Peru. Makalah. Conference
on Food Additives. 2006. Summary on International Research on Food
of evaluations performed by the joint Security, Natural Resource Management
FAO/WHO expert committee on food and Rural Developmeny di Tropentag,
additives, hydrogen peroxide [internet]. 14-16 September.
Rossa IM, Nurlaela L. 2018. Keamanan pangan dried fish. International Journal Food
ikan asin di Desa Labuhan Kecamatan Microbiology. 7(1): 73-78.
Brondong Kabupaten Lamongan. Yapar A. 1999. Quality changes in salted
E-Journal Boga. 7(2): 174-155. anchovy (Engraulis encrasicolus)
Sevilla CG, Ochave JA, Punsalan TG, Regala produced using three different salt
BP, Uriarte GG. 2007. Research Methods. concentration. Journal of Veterinary and
Quezon City (PH): Rex Printing Animal Science. 23 (3): 441-445.
Company. Yuliana E, Indrawati E, Farida I. 2007.
Susianawati R. 2006. Kajian penerapan GMP Kontribusi industri pengolahan
dan SSOP pada produk ikan asin kering hasil perikanan tradisional terhadap
dalam upaya peningkatan keamanan pendapatan nelayan pengolah. Jurnal
pangan di Kabupaten Kendal. [Tesis]. Matematika, Sains dan Teknologi.
Semarang (ID): Universitas Diponegoro. 8(1): 41-61.
Szymczak M. 2011. Comparison Yuliana E, Suhardi DA, Susilo A. 2011. Tingkat
of physicochemical and penggunaan bahan kimia berbahaya pada
sensory changes in fresh pengolahan ikan asin: kasus di Muara
and frozen herring (Clupea harrengus L.) Angke dan Cilincing, Jakarta. Jurnal
during marinating. Journal of Science Food Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia.
Agriculture. 91(1): 68-74. 14(1): 14-21.
Wheeler KA, Hocking AD. 1988. Water Yusra N. 2016. Kajian penerapan GMP
relations of Paecilomyces variotii, dan SSOP pada pengolahan ikan nila
Eurotium amstelodami, Aspergillus (Oreochromis niloticus) asap di Kecamatan
candidus, and Aspergillus sydowii, Tanjung Raya Kabupaten Agam. Jurnal
xerophilic fungi isolated from Indonesian Katalisator. 1(1): 10-19.