Anda di halaman 1dari 9

Makalah Mengenal Biografi Ibnu Sina dan Pemikiranya tentang Filsafat Ketuhanan

Latar Belakang
Di Andalusia (Spanyol) muncul Bani Umayah II yang beribukota di Cordoba.[1] Tempat tumbuhnya
peradaban Islam serta tempat lahirnya pemikir-pemikir Islam, salah satunya adalah Ibn Sina. Dalam
sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, dalam sosok Ibn Sina banyak hal unik, sedang diantara
para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh pengharganaan yang semakin tinggi
hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun
sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat
muslim beberapa abad. Dengan lahirnya para tokoh filsafat di Cordoba merupakan bukti kemajuan
intelektual Islam yang sangat tinggi.[2]
Ilmu kedokteran dalam Islam merupakan perpanjangan dari ilmu pengetahuan peninggalan Yunani,
demikian pula konsep kedokteran Ibn Sina didasarkan pada temuan Galen, seorang ilmuwan
Yunani kuno. Akan tetapi, dikalangan timur terdapat sejumlah ilmu yang menuliskan naskah
kedokteran yang sederajat dengannya, ketokohannya dalam bidang ini tidak begitu dikenali, kecuali
ketokohannya sebagai penyebar pemikiran filsafat yang berusaha menggabungkan antara filsafat
Plato, Aristoteles, dan Neoplatonisme. Ibn Sina merupakan satu diantara sasaran al-Ghazali dalam
serangannya terhadap kaum filosof.[3]
Mehdi Nakosteen menulis dua ahli kedokteran Persia menduduki peringkat pertama, buku-bukunya
telah diakui dan telah lama dipakai sebagai buku pengobatan yang menjadi standar buku-buku
sumber di dalam sekolah-sekolah ilmu pengobatan Eropa hingga mendekati abad 17. Mereka
adalah al-Razi (865-925) atau Rhazes, yang telah mempelopori penemuan karakter (ciri-ciri)
penyakit menular dan memberikan penanganan klinis pertama terhadap penyakit cacar, dan Ibn
Sina atau Avicenna yang telah menemukan karakter penyakit menular melalui air. Konsep-konsep
al-Razi dan Ibn Sina atas sifat wabah penyakit, dibawa lebih lanjut oleh Ibn Khatib dari Granada
(1313-1374 M).[4]
Yang menjadi pembahasan pada makalah ini adalah sosok sangat terkenal sebagai pemikir Islam
dalam bidang filsafat, maka dalam makalah ini hanya mengulas tentang beberapa hal terkait dengan
Ibn Sina dengan intisari bahasan yaitu:
Bagaimana biografi Ibn Sina?
Bagaimana pandangan filsafat Ibn Sina tentang ketuhanan, kenabian, emanasi, dan jiwa?

Mengenal Biografi Ibnu Sina


Abu Alim al- Husain bin Abdulah bin Sina. Lahir pada tahun 370 H/980 M di Bukhara. Bapaknya
adalah wali kota Saman. Ia sangat memperhatikan pendidikan anaknya, sehingga sebelum umur 10
tahun, Ibn Sina telah menguasai al-qur’an dan sastra. Hal ini membangkitkan kekaguman yang luar
biasa terhadapnya. Kemudian Ibn Sina di bimbing oleh filosof yang bernama Abbdillah An-Natali
yang mengajarinya logika. Ketika mulai tertarik pada ilmu kedokteran, Ibn Sina belajar pada Isa bin
Yahya. Kemudian ia menekuni ilmu syariat dan geometri.[5]

Dalam sejarah pemikir islam Ibn Sina dikenal sebagai intelektual dokter dan filsafat islam
termasyhur. Di barat dkenal dengan nama Avicenna. Sejak kecil Ibn Sina belajar menghafal al-
Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Kemudian mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi,
hukum islam, teologi, kedokteran, dan metafisika. Dengan demikian ia menguasai bermacam-
macam ilmu pengetahuan. Profesinya dibidang kedokteran di mulai sejak umur 17 tahun.
Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-
997) salah seorang penguasa dinasti Samaniah.[6]
Sejak saat itu Ibn Sina mendapat sambutan yang baik sekali dan dapat pula mengunjungi
perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku yang sukar di dapat dan kemudian dibacanya
dengan penuh keasyikan. Karena sesuatu, perpustakaan itu terbakar maka tuduhan orang
ditimpakan kepadanya bahwa ia sengaja membakarnya agar orang lain tidak lagi bisa mengambil
manfaat dari perpustakaan itu.[7]
Baca juga: Contoh Format Susunan Makalah yang Baik dan Benar
Pada usia 20 tahun ayah Ibn Sina meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan Bukhara untuk
menuju Jurjan dan dari sini ia pergi ke Khawarazn. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang tetapi tidak
lama tinggal di sini, karena kekacauan politik. Sesudah itu ia berpindah-pindah dari negeri satu ke
negeri yang lain, dan akhirnya sampai di Hamadzan. Oleh penguasa negeri ini yaitu Syamsuddaulah
ia di angkat menjadi menterinya beberapa kali sesudah ia dapat mengobati penyakit yang
dideritanya meskipun pada masa tersebut ia pernah dipenjarakan.[8]
Hidup Ibn Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang, penuh pula dengan kesenangan
dan kepahitan hidup, dan boleh jadi ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang tidak bisa
diobati lagi. Pada tahun 428 H/1037 M. ia meninggal dunia di Hamadzan pada usia 58 tahun.
Nama kebesaran Ibn Sina terlihat dari beberapa gelar yang diberikan orang kepadanya. Seperti
Asy-Syaikh al-Ra’is (Guru para Raja) dibidang filsafat dan Pangeran para Dokter di bidang
kedokteran. Dia banyak meninggalkan karya tulis, semuanya tidak kurang dari 200 buah, termasuk
buku saku dan surat-suratnya, kebanyakan berbahasa Arab, selainnya berbahasa Persia.
Karya dan Kitab-kitab Ibn Sina [9]

Kitab al-qaanuun fi ath-thib (peraturan-peraturan kedokteran) yang selama 5 abad menjadi literatur
penting bagi Fakultas-Fakultas kedokteran Eropa.
Kitab asy- syifa’ (penyembuhan), kitab yang membahas tentang filsafat dan sebagai karya
terbesarnya dalam bidng filsafat.
An-Najat ringkasan kitab Asy-Syifa.
Tis’u rasail fi ath-thabi’iyat wa al-ajram al uluwiyah wa al-quwa al-insaniyah.
Ia juga memiliki kitab tentang pembagian hikmah dan cabang-cabangnya, ilmu hudud, penetapan
nubuwah, makna huruf hijaiyah dan ilmu etika.
Rasail Ibn Sina: risalah hay bin yaqzhan, risalah ath their, risalah al-isyarat, risalah al-isyq, dan
risalah al-qadar.
Ibn Sina juga memiliki kasidah dan beberapa risalah dalam logika serta kasidah dalam psikologi.

Pemikiran Ibn Sina tentang Filsafat


Filsafat  Ketuhanan
Ibn Sina dalam membuktikan adanya Tuhan dengan dalil wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd
mengesankan duplikat al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetap, dalam
filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan di pandang memiliki daya
kreasi tersendiri sebagai berikut.
Wâjib al-wujûd, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini tidak bisa dipisahkan
dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian
berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.[10]
Lebih jauh Ibn Sina membagi wâjib al-wujûd kedalam wâjib al-wujûd bi dzâtihi dan wâjib al-wujûd bi
ghairihi. Kategori yang pertama adalah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika
diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua adalah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya
sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada yang pertama (wâjib al-wujûd li
dzâtihi lâ li sya’in akhar).
Mumkin al-wujûd, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan
istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh
ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-wujûd ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti ada karenanya ia disebut dengan
mumkin al-wujûd bi dzatihi. Ia pun dapat pula di lihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-
wujûd bi dzâtihi dan mumkin al-wujûd bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada, selain
Allah.
Mumtani’ al-wujûd, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga
kosmos lain di samping yang ada.
Ibn Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya,
tetapi cukup dengan dalil adanya wujud Pertama, yakni wâjib al-wujûd. Jagad raya ini mumkin al-
wujûd yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujudnya tidak dari
zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) kita tidak memerlukan
perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan
salah satu makhluk-Nya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian
dengan dalil di atas, lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut
telah digambarkan dalam al-qur’an dalam surat al-Fushshilat: 53 sebagai berikut:
Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah
benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.[11]
Ibn Sina dalam menetapkan adanya Allah mengemukakan dalil ontologi yang sebelumnya telah
dikemukakan al-Farabi. Sementara itu, ahli kalam biasanya mengemukakan dalil kosmologi dengan
berpijak pada konsep alam baharu. Namun, dalil yang disebut terakhir ini sekalipun tidak
memuaskan para filosof muslim, tetapi menurut Ibn Sina sangat cocok bagi orang  awam.
Tentang sifat-sifat Allah, Ibn Sina menyucikan Allah dari sifat segala sifat yang dikaitkan dengan
esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-
bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas
(ta’addud al-qudamâ).[12]
Filsafat Wahyu dan Nabi
Dalam filsafatnya tentang wahyu dan Nabi, Ibn Sina menjelaskan bahwa akal manusia yang telah
mencapai derajat akal perolehan dapat mengadakan hubungan dengan Jibril.
Menurut Ibn Sina Nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril
yang juga disebut akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara
memperolehnya, bagi Nabi hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads
(kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi menerima akal materiil
yang dayanya lebih kuat dari pada akal mustafad sebagai anugerah Tuhan kepada orang pilihan-
Nya. Sementara filosof memperoleh akal mustafad yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal
materiil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, sedangkan
pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi diantara keduanya tidaklah
bertentangan.[13]
Komunikasi itu bisa terjadi karena akal perolehan telah begitu terlatih dan begitu kuat daya
tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang abstrak murni, akan tetapi komunikasi
antara Nabi dan Tuhan dilakukan melalui akal dalam derajat materiil. Seorang Nabi menurut
pendapatnya, dianugerahi Tuhan dengan akal materil yang meskipun lebih rendah derajatnya dari
akal perolehan namun mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga tanpa latihan ia dapat
mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril.[14]
Filsafat Emanasi
Filsafat emanasi ini bukan hasil dari renungan Ibn Sina tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang
menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa. Kemudian filsafat Plotinus yang
berprinsip bahwa “dari yang satu hanya satu yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibn Sina bahwa
Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-Qur’an tidak
ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari
tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibn Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan
berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif
bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara
pancaran.[15]
Adapun proses terjadinya pancaran itu tersebut adalah ketika Allah Wujud (bukan dari tiada)
sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi
pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua,
jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah
dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh,
bumi, roh, materi pertama, yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan
tanah.[16]
Bagi Ibn Sina, akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah
dan sifat mungkin wujudnya jika di tinjau dari hakikat darinya. Dengan demikian, Ibn Sina membagi
objek-objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib
al-wujud li ghairihi), sebagai pancaran dari Allah dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud).
Akal-akal dan planet-planet dalam emanai dipancarkan (diciptakan) Allah secara hirarki keadaan ini
bisa terjadi karena ta’aqqul Allah tentang zatnya sebagai sumber energi yang maha dahsyat.
Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu tentang dirinya dan ilmu adalah daya (al-qudrat) yang
menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu diciptakan, cukup sesuatu itu diketahui oleh Allah. Dari
hasil ta’aqul Allah terhadap zatnya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan
lainnya memadat menjadi planet-planet.[17]
Emanasi Ibn Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet dan akal kesepuluh
mengurusi bumi. Bagi Ibn Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet,
karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal
adalah malaikat. Akal pertama adalah malaikat dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang
bertugas mengatur bumi dan segala isinya.
Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak qidam dan azali.
Akan tetapi, tentu saja Ibn Sina membedakan antara qadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang
mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh
zaman, maka alam qadim dari zaman Adapun dari segi esensi sebagai hasil ciptaan Allah secara
pancaran alam ini baru (huduus zaaty). Sementara Allah adalah taqaddum zaaty. Ia sebab semua
yang ada, Ia pencipta alam.
Filsafat Jiwa
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibn Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa di dalam
al-Qur’an dan hadits diistilahkan dengan al-nafs atau al-ruh sebagaimana terekam dalam QS. Shad:
71-72.
ِ ‫ت فِي ِه مِنْ ر ُْوحِي َف َقعُوا لَ ُه سَ ا‬
َ‫جدِين‬ ٍ ِ‫إِ ْذ َقا َل رَ بُّكَ ل ِْل َمالَ ِئ َك ِة إِ ِّني َخال ٌِق َب َشرً ا مِنْ ط‬.
ُ ‫ َفإِ َذا سَ َّو ْي ُت ُه َو َن َف ْخ‬. ‫ين‬

Terjemahannya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan


menciptakan manusia dari tanah”.   Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya“.(QS. Shaad 38:
71-72)[18]
Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa yang lain dan segala yang terdapat di bawah rembulan
memancar dari akal sepuluh. Secara garis besar pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi pada
dua bagian berikut.[19]
Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia:
Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya; makan, tumbuh, dan berkembang. Jadi, jiwa pada
tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang.
Jiwa hewan mempunyai dua daya; bergerak dan menangkap. Daya terakhir ini mempunyai dua
bagian:
Menangkap dari luar dengan pancaindera.
Menangkap dari dalam dengan indera-indera batim yang terdiri atas lima indera berikut:
Indera bersama (al-hiss al-musytarak) yaitu menerima segala apa yang di tangkap oleh indera luar.
Indera (al-khayyal) yang menyimpan segala yang di terima oleh indera bersama.
Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang di simpan dalam khayal.
Indera estimasi (wahmiyah) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari
materinya seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala
Indera pemelihara (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh indera
estimasi

Dengan demikian, jiwa hewan lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan
sekedar makan, tumbuh, dan berkembang biak tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah
merasakan sakit dan senang seperti manusia.
Jiwa manusia
Jiwa manusia yang biasa disebut al-nafs al-nâthiiqat mempunyai dua daya; praktik (al-‘âmilaat) dan
teoritis (al-‘âlimat). Daya praktis dalam hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoritis dalam
hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan berikut;
Akal materiil (al-‘aql al-hayûlâny) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum
dilatih walaupun sedikit.
Akal bakat (al-‘aql  bi al-malakat)  yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal nyata.
Akal perolehan (al-‘aql al-mustafaat) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak
tanpa perlu daya upaya. Akal ini akal tertinggi dan terkuat dayanya. Akal yang seperti inilah yang
dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (akal kesepuluh).
Menurut penjelasan Ibn Sina akal aktif itu adalah jibril.

Ia menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana pada ketiga jiwa tersebut yang
berpengaruh pada dirinya, jika jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berkuasa pada dirinya,
maka orang itu akan dekat menyerupai sifat-sifat binatang dan dan tumbuh-tumbuhan. Sebaliknya,
jika jiwa manusia yang dominan berpengaruh, maka orang itu dekat menyerupai sifat-sifat malaikat
dan dekat pada kesempurnaan. Jiwa manusia berlainan dengan jiwa binatang dan tumbuh-
tumbuhan, ia bersifat kekal. Jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum ia berpisah
dengan badan, maka ia memperoleh kesempurnaan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah
dengan badan dalam kondisi tidak sempurna, akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia
akan sengsara selama-lamanya di akhirat.[20]
Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut:
Wujud jiwa

Dalam membuktikan adanya wujud jiwa, Ibn Sina mengemukakan empat dalil sebagai berikut:
Dalil alam kejiwaan
Dalil ini berdasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan, gerak terbagi menjadi dua jenis:
Gerak paksaan, yaitu gerak yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar.
Gerak tidak paksaan, yaitu gerak yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang
berlawanan. Gerak yang sesuai dengan hukum alam seperti manusia berjalan dan burung terbang.
Padahal menurut berat badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke
bumi. Hal ini dapat terjadi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim.
Penggerak ini disebut jiwa.

Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis

Dalil ini oleh Ibn Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya
atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksud hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya.
Ketika anda berkata “saya akan keluar” atau “saya akan tidur” maka ketika itu yang dimaksud
bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.[21]
Dalil kontinuitas (al-istimrar)

Dalil ini didasarkan pada perbanding jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami
perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun
yang lewat karena telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula
halnya dengan bagian jasad yang lain, selalu mengalami perbahan. Sementara itu, jiwa bersifat
kontinu (istimrar), tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah
jiwa sejak lahir juga dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena
itu, jiwa berbeda dengan jasad.
Dalil manusia terbang atau melayang di udara
Diandaikan ada seseorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian
diletakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-
pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa
dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi organ
jasad tersebut ia khayalkan bukan dari bagian dirinya. Dengan demikian, berarti penetapan tentang
wujud dirinya bukan hal dari indera dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang berbeda
dengan jasad, yakni jiwa.[22]
Hakikat jiwa
Definisi jiwa yang dikemukakan Aristoteles yang berbunyi “kesempurnaan awal bagi jasad alami
yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibn Sina. Pasalnya, definisi tersebut belum memberikan
gambaran tentang hakikat jiwa yang membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles, manusia
sebagaimana layaknya benda alam lain terdiri dari dua unsur: mâdat (materi) dan shûrat (form).
Materi adalah jasad manusia dan form dalah jiwa manusia.  Form inilah yang dimaksud Aristoteles
dengan kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasi hancurnya materi atau jasad akan membawa
hancurnya form atau jiwa.
Justru itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa dengan
rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari
materi-materi sebagaiman jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad
tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan
jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs jauhar qâ’im bi zâtih).
Untuk mendukung filsafatnya Ibn Sina mengemukakan beberapa argument berikut:
Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (ma’qûlât) dan ini tidak dapat dilakukan oleh jasad.
Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan objek pemikiran hanya terdapat dalam akal dan tidak
mempunyai tempat.
Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak (kulliy) dan juga zatnya tanpa alat. Sementara itu indra
dan khanyal hanya dapat mengetahui yang konkret (juz’iy) dengan alat. Jadi, jiwa memiliki hakikat
yang berbeda dengan hakikat indra dan khayal.

Jasad atau organnya jika dilakukan kerja berat atau berulang-ulang dapat menjadikan letih, bahkan
dapat menjadi rusak, sebaliknya jiwa jika dipergunakan terus menerus berpikir tentang masalah
besar tidak dapat membuat lemah atau rusak.
Jasad dan perangkatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya pada umur 40
tahun. Sealiknya, jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat, kecuali jika ia sakit. Karenanya, jiwa bukan
bagian dari jasad dan keduanya merupakan dua substansi yang berbeda.
Hubungan jiwa dengan jasad
Dalam hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan Plato bahwa hubungan keduanya bersifat
accident, binasanya jasad tidak membawa binasa kepada jiwa.
Menurut Ibn Sina, selain erat hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga sering mempengaruhi
atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak
terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa akan terjadinya jasad yang akan
ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu
jasad ditempati beberapa jiwa.[23]
Kekekalan jiwa
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, jiwa manusia diciptakan setiap kali jasad yang akan
ditempatinya telah diadakan. Pendapat ini sekaligus konsep Plato yang berkesimpulan bahwa jiwa
sudah ada di alam idea sebelum jasad yang akan ditempati ada. Jika pendapat Plato ini diterima,
seperti dikemukakan di atas, akan terjadinya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu tubuh ditempati
beberapa jiwa, sementara itu, diakhirat terjadi pembalasan secara kolektif.
Ibn Sina kelihatannya lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan al-
qur’an. Menurutnya, jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan
hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima
pembalasan (bahagia dan celaka) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulûd).
Jadi, jiwa adalah baharu (al-hudûs) karena diciptakan (punya akal) dan kekal (tidak punya akhir).
Dalam menerapkan kekalnya jiwa, Ibn Sina mengemukakan tiga dalil berikut:
Dalil al-infishâl, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksiden, masing-masing unsur
mempunyai substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan lainnya. Karenanya, jiwa kekal
walaupun jasad binasa. Sementara, jasad tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
Dalil al-basâthat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati.
Pasalnya, hidup (hayât) merupakan sifat bagi jiwa, dan mustahil bersifat dengan lawannya, yakni
fana dan mati. Karena jiwa dinamakan juga dengan jauhar bashît (hidup selalu).
Dalil al-musyâbahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia, sesuai filsafat emanasi, bersumber
dari akal fa’al (akal sepuluh) ini merupakan esensi yang berpikir, azali, dan kekal, maka jiwa sebagai
ma’lûl (akibat)-nya akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)-nya.

Kesimpulan
Pada dasarnya semua tokoh filsafat/pemikir islam sangat memperhatikan akidah ketauhidan
termasuk juga ibn Sina. Dari hasil filsafat mereka bahwa tujuan dari berfilsafat mereka adalah untuk
mengesakan tuhan. Sehingga salah apabila dikatakan ibn Sina itu kafir seperti tudingan al-Gazali
dan ini sudah dijawab oleh ibn Rusyd.
Menurut Ibn Sina Allah adalah wâjib al-wujûd, Allah ada tanpa diawali dari ketiadaan, Dengan
demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) kita tidak memerlukan perenungan selain
terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-
Nya. Dalam hal keNabian, Ibn Sina mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa yang
mempunyai akal perolehan sehingga mampu berkomunikasi dengan akal aktif (Jibril) sedangkan
filosof tidak mampu kederajat itu. Nabi dapat menerima wahyu sedangkah ilham diberikan kepada
filosof.  Dalam filsafat emanasi, menurut Ibn Sina, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan
pancaran, ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai Akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-
ta’aqqul) terhadap zat-Nya, maka mumancarlah Akal Pertama, dari akal pertama memancarlah Akal
Kedua, Jiwa Pertama, dan Langit Pertama dan seterusnya sampai akal kesepuluh menghasilkan
bumi, roh, materi pertama sebagai dasar bagi keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Jiwa
manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan
celaka) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulûd). Jadi, jiwa adalah baharu (al-
hudûs) karena diciptakan (punya akal) dan kekal (tidak punya akhir).
Saran
Pembahasan tentang filsafat Ibn Sina pada makalah ini penulis rasa belum tuntas dan perlu
penjabaran lebih rinci, semua dikarenakan lemahnya pemahaman penulis dan kurangnya referensi
sehingga memungkinkan kritikan dan input-input dari teman-teman peserta seminar demi
kesempurnaan makalah ini. Perlu penulis rekomendasikan kepada pemakalah yang lain yang
mungkin membahas masalah yang sama untuk dapat mengambil informasi dan bahan masukan dari
makalah ini sehingga tidak mengurangi bobot nilai dari makalah yang pernah penulis tuangkan
dalam makalah ini. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam seminar lebih khusus
kepada yang terhormat dosen pemandu penulis sampaikan terimakasih.
Catatan Kaki
[1] Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
(Cet. III; Jakarta: Kencana, 2007), h. 17
[2] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Cet. I; Jakarta: Rajawali
Pers, 2008), h. 101
[3] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002) h.
155
[4] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan
Islam) (Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 260
[5] DR. Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat: (Cet. 1; Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar
Grup, 2005), h. 10
[6] Ensiklopedi Islam, PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, h. 167
[7] Drs. Sudarso, SH. Filsafat Islam (Cet. 1; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), h. 40
[8] Ibid, 140
[9]  Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Lok.cit, h. 11
[10] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) (Cet. 1; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 96
[11] Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Syamil Qur’an, 2005), h. 382
[12] Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 99
[13] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), h. 18-84
[14] Ensiklopedi Islam, Loc. cit,168
[15] Ibid, h. 100-104
[16] Ibid, h. 99
[17] Ibid, h. 102
[18] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op Cit, h. 457
[19] Ibid, h. 100
[20] Ensiklopedi Islam, Lok. cit, h. 168
[21] Sirajuddin, Op Cit, h. 107
[22] Ibid, h. 108
[23] Ibid, h. 110
Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Syamil Qur’an, 2005. 
Ensiklopedi Islam, PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas, cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan
Islam) cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
Sudarso. Filsafat Islam cet. 1; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam cet. III; Jakarta:
Kencana, 2007.
Asy-Syarafa, Ismail. Ensiklopedi Filsafat cet. 1; Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup,
2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) cet. 1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004.

Read more https://www.tongkronganislami.net/makalah-mengenal-biografi-ibnu-sina-dan-
pemikiranya/

Anda mungkin juga menyukai