Anda di halaman 1dari 23

Makalah Autisme

Anggota Kelompok :

KRISTINA BAREK BALI NIM 1456 02719

SEBRIANA A LAPAIMALI NIM 1463 02719

Jurus : S1 Keperawatan (Alih Jenjang)


an

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

STIKES MARANATHA KUPANG

2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Di zaman sekarang, autisme nampaknya sudah bukan lagi suatu hal yang asing kita
dengar. Anak autis mengalami gangguan perkembangan yang kompleks sehingga mereka
juga disebut mengalami gangguan pervasif. Peeters (2004:4) mengartikan pervasif yaitu
menderita kerusakan jauh di dalam meliputi keseluruhan dirinya. Istilah pervasif juga
dilandasi oleh gangguan perkembangan yang diperlihatkan oleh anak autis.

Autisme memang bukan gejala yang cureable (tersembuhkan), namun ia treatable


(tertangani) dan dapat diatasi jika penanganannya dilakukan sedini mungkin. Semakin dini
kita mendapati diagnostik autisme pada anak dan sesegera mungkin memberikan
penanganan, semakin berdampak positif pada keoptimalan perkembangan anak-anak autisme
ini dimasa dewasanya. Bahkan tidak sedikit dari anak-anak autis yang menjalani masa
dewasanya dengan sangat optimal. Bahkan dengan prestasi yang melebihi anak-anak yang
tidak didiagnostik mengidap autisme

Autisme didapatkan pada sekitar 20 per 10.000 penduduk, dan pria lebih sering dari
wanita dengan perbandingan 4:1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukan
gejala yang lebih berat. Beberapa penyakit sistemik, infeksi dan neurologis menunjukan
gejala-gejala seperti autis atau memberi kecenderugan penderita pada perkembangan gejala
autis. Juga ditemukan peningkatan yang berhubungan dengan kejang.

B.RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah Anak berkebutuhan khusus autism adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan autisme?

2. Apa yang menyebabkan anak Autisme?

2
3. Bagaimana patofisiologi anak Autisme?

4. Apa saja gejala klinis anak Autisme?

5. Apa hambatan anak Autisme?

6. Apa saja penanganan anak Autisme?

7. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada anak dengan Autisme?

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

3
Autisme berasal dari kata ‘Auto’ yang artinya sendiri. Istilah ini dipakai
karena mereka yang mengidap gejala autisme sering memang terlihat seperti seorang
yang hidup sendiri. Mereka seolah-olah hidup di dunia sendiri dan terlepas dari
kontak sosial yang ada di sekitarnya.

Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa


sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang menyebabkan
fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang,
kemampuan komunikasi,dan kemampuan interaksi sosial seseorang. Gejala-gejala
autisme terlihat dari adanya penyimpangan dan ciri-ciri tumbuh kembang anak secara
normal.

B. Penyebab Autisme

1. Genetik

Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada
terjadinya autis. Menurut Nasional Institute of Health, keluarga yang memiliki
satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak
yang juga autis.

Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis,
kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama. Secara umum
para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autis.
Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan
cara sel-sel otak berkomunikasi. Namun gejala autis baru bisa muncul jika terjadi
kombinasi banyak gen. Bisa saja autis tidak muncul, meski anak membawa gen
autis. Jadi terkadang memerlukan faktor lain.

2. Pestisida

Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autis.


Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu fungsi gen di sistem saraf
pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida
berdampak pada mereka yang punya bakat autis.

3. Obat-obatan

4
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki
risiko lebih besar mengalami autis. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan
thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk
mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.
Obat thalidomide sendiri di Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya
laporan bayi yang lahir cacat. Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi
gangguan kulit dan terapi kanker. Sementara itu, valproic acid adalah obat yang
dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar disorder.

4. Usia Orangtua

Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak
menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan,
perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme
dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun.

5. Perkembangan Otak

Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang


bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan
dengan autisme. Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan
serotonin, di otak juga dihubungkan dengan autisme.

6. Faktor Kelahiran

Sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2008 menunjukan bahwa


bayi yang lahir dengan berat badan sangat rendah dan lama dalam kandungan
( lebih dari 9 bulan ) memiliki resiko lebih tinggi terhadap Autisme. Keadaan saat
persalinanpun sangat mempengaruhi terhadap autis, bayi yang mengalami hipoksa
( gagal nafas) saat dilahirkan itu dapat memicu autisme. secara tidak langsung
bayi yang lahir prematur juga bisa menimbulkan autisme.beberapa bayi lahir
prematur biasanya mengalami pendarahan otak ada yang sebagian hidup dan ada
yang mati dan yang hidup biasanya akan mengalami kelainan otak yang
menyebabkan autisme.

7. Faktor Lingkungan

5
Bayi yang lahir sehat belum tentu tidak mengalami autisme. Faktor
lingkungan (eksternal) juga bisa menyebabkan bayi menderita autisme, seperti
lingkungan yang penuh tekanan dan tidak bersih.  Lingkungan yang tidak bersih
dapat menyebabkan bayi alergi melalui ibu.  Karena itu, hindari paparan sumber
alergi berupa asap rokok, debu atau makanan yang menyebabkan alergi.

C. PATOFISIOLOGI

Letak kerusakan sistem syaraf pada anak autis ada pada beberapa posisi dianbtaranya

1. Cerebrum

a. Pembesaran otak abnormal pada lobus frontalis

b. Terjadi perluasan pada area midsagittal serta peningkatan volume otak dan
volume jaringan otak (Puven, et al., 1992)

c. Perluasan serabut kortikal kelabu dan putih pada usia 2-4 thn disertai
penurunan serabut kortikal putih pada usia 6-16 th (Courchesne et al., 2001)

d. Cortex Cerebral: Lapisan tipis pada substansi hemisfer serebri. Responsif pada
fungsi mental tinggi, motorik, dan perilaku.

2. Cerebellum

Anak autis mengalami permasalahan pada daerah otak kecil, hal ini
menyembabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau
membedakan target, overselektivitas, & kegagalan mengeksplorasi lingkungan. Lobus
VI dan VII berukuran lebih kecil , area ini menghubungkan cerebellum dg cerebrum
terutama pada fungsi atensi dan stimulasi sensorik.
3. Sistem limbik

Amygdala bertanggung jawab pada respon emosi termasuk perilaku agresive,


hippocampus bertugas mengolah informasi baru dan memori jangka pendek. Pada
autis amydala dan hipocampus tidak berkembang, pada penelitian lain dilaporkan
adanya neuron yang abnormal di amigdala dan hipocampus pada individu dengan
autisme.

4. Neurotransmitter

6
Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa pesan
untuk komunikasi berbagai beagian di otak dan sistem syaraf. Senyawa
neurokimiawi ini, dikenal sebagai neurotransmiter, sangat esensial bagi semua
fungsi otak. Sebagai pembawa pesan, mereka datang dari satu tempat dan pergi ke
tempat lain untuk menyampaikan pesan-pesannya. Anak autis mengalami
permasalahan pada neurotransmitter antara lain:

a. Disfungsi serotonin: peningkatan serotonin berhubungan dengan


abnormalitias sensori dan persepsi pada autisme.

b. Peningkatan level beta endorfin (substansi endogen opiat), kecanduan opiat


menunjukkan perilaku sosial withdrawl, self stimulasi, dan toleransi nyeri
yang tinggi (gejala yang mirip autisme)

c. Abnormalitas sistem noradrenalin

D. Gejala Autisme

Gejala Umum Autisme

Ada tiga perilaku yang menjadi ciri khas autisme :

1. Anak autistik mengalami kesulitan dengan interaksi sosial

2. Bermasalah dengan komunikasi verbal dan nonverbal

3. Tampilnya perilaku repetitif atau tampilnya interest yang sempit atau obsesif
pada suatu objek tertentu.

Gejala-gejala autisme antara lain:

a. Perkembangan terhambat, terutama dalam kelakuan dasar hidup


bermasyarakat (misalnya : tersenyum dan berbicara).

b. Bermain sendiri, tidak mau berkumpul dengan anggota keluarga atau


orang lain.

c. Lesu dan tidak acuh terhadap orang lain yang mencoba berkomunikasi
dengannya.
7
d. Sedikit atau tidak ada kontak mata.

e. Mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa dipikir dan berperangai buruk jika
dilarang akan membangkitkan kemarahan.

f. Pada umumnya pertumbuhan jiwa terbelakang (cacat mental).

g. Pada beberapa kasus, anak tersebut mempunyai keahlian tertentu dan


sangat pandai, misalnya : menggambar, matematika, musik, melukis
(Infokes, 2005).

Selain gejala-gejala seperti yang disebutkan di atas, beberapa sifat lainnya


yang biasa ditemukan pada anak autis antara lain :

a. Sulit bergabung dengan anak-anak yang lain

b. Tertawa atau cekikikan tidak pada tempatnya

c. Menghindari kontak mata atau hanya sedikit melakukan kontak mata

d. Menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri

e. Jarang memainkan permainan khayalan

f. Lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan, tidak


membentuk hubungan pribadi yang terbuka

g. Memutar benda

h. Terpaku pada benda tertentu, sangat tergantung kepada benda yang


sudah dikenalnya dengan baik

i. Secara fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif

j. Tidak memberikan respon terhadap cara pengajaran yang normal

k. Tertarik pada hal-hal yang serupa, tidak mau menerima/mengalami


perubahan

l. Tidak takut akan bahaya

m. Terpaku pada permainan yang ganjil

8
n. Ekolalia (mengulang kata-kata atau suku kata)

o. Tidak mau dipeluk

p. Tidak memberikan respon terhadap kata-kata, bersikap seolah-olah tuli

q. Mengalami kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya melalui


kata-kata, lebih senang meminta melalui isyarat tangan atau menunjuk

r. Jengkel/kesal membabi buta, tampak sangat rusuh untuk alasan yang


tidak jelas

s. Melakukan gerakan dan ritual tertentu secara berulang (misalnya


bergoyang-goyang atau mengepak-ngepakkan lengannya)

t. Anak autis mengalami keterlambatan berbicara, mungkin


menggunakan bahasa dengan cara yang aneh atau tidak mampu bahkan
tidak mau berbicara sama sekali. Jika seseorang berbicara dengannya,
dia akan sulit memahami apa yang dikatakan kepadanya. Anak autis
tidak mau menggunakan kata ganti yang normal (terutama menyebut
dirinya sebagai kamu, bukan sebagai saya).

u. Pada beberapa kasus ditemukan perilaku agresif atau melukai diri


sendiri.

v. Kemampuan motorik kasar/halusnya ganjil, tidak ingin menendang


bola tetapi dapat menyusun balok.

Gejala-gejala tersebut bervariasi, bisa ringan maupun berat. Selain itu,


perilaku anak autis biasanya berlawanan dengan berbagai keadaan yang terjadi
dan tidak sesuai dengan usianya

E. Hambatan Autisme

Gangguan-gangguan itu hampir meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara


lain komunikasi, interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola bermain, perilaku
khas, dan emosi (Riyanti, 2002:10, Peeters, 2004:5; Hidayat, 2006:2; Sunardi dan
Sunaryo, 2006:193). Gangguan-gangguan tersebut jelas akan mengahambat
perkembangan anak autis.

9
1. Hambatan dalam komunikasi

a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

b. Anak tampak seperti tuli, sulit bicara, atau pernah bicara, tetapi kemudian sirna.

c. Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.

d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh
orang lain.

e. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi

f. Senang meniru atau membeo (echolalia)

g. Bila senang meniru, dapat hapal betul kata-kata atau nyanyian tapi tidak mengerti
artinya.

h. Sebagian dari anak autis tidak bicara (non verbal) atau sedikit berbicara sampai usia
dewasa.

i. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan.

Anak dengan Sindrom Asperger biasanya menunjukkan kemampuan bahasa yang


sangat artikulatif dan verbose ekspresif dengan kosakata besar, khususnya mengenai topik
tertentu (daerah bunga tinggi). Namun, keterampilan meyakinkan nya bahasa dapat
mudah disalah artikan sebagai kemampuan komunikasi canggih. Pada gilirannya, ini
dapat menghasilkan mislabeling tindakan anak sebagai tujuan atau manipulatif, bukan
perilaku yang signifikan karena kesulitan anak dalam memahami dan menggunakan
keterampilan yang sesuai komunikasi sosial.

Anak-anak dengan Sindrom Asperger sering tidak memiliki keterampilan komunikasi


sosial untuk mempertahankan bahkan minim interaksi sosial komunikatif dalam salah
satu bidang berikut:

a. Keterampilan wacana Percakapan: Anak-anak dengan Sindrom Asperger


umumnya dapat terlibat dalam interaksi sosial rutin seperti salam. Namun,
mereka mungkin menunjukkan kesulitan yang signifikan terlibat dalam
interaksi diperpanjang, atau “dua arah” hubungan.Mereka dapat mengalami
10
kesulitan memulai dan mempertahankan percakapan yang sesuai, terlibat
dalam gilirannya pengambilan percakapan, dan mengubah topik dengan cara
yang tepat. Bahasa mereka bisa sangat egosentris dalam bahwa mereka
cenderung berbicara pada orang, bukan kepada mereka, menunjukkan
tampaknya satu sisi percakapan
b. Memahami dan menggunakan komunikasi non-verbal sosial (wacana)
keterampilan: Anak-anak dengan Sindrom Asperger dapat mengalami
kesulitan yang signifikan menafsirkan non-verbal kemampuan komunikasi
sosial yang digunakan untuk mengatur interaksi sosial (misalnya, nada suara,
ekspresi wajah, postur tubuh, gerak tubuh, ruang pribadi, vokal volume,
penggunaan kontak mata untuk “membaca” wajah, dll). Misalnya, mereka
mungkin tidak mengerti bahwa volume vokal mengangkat dapat
menyampaikan keadaan emosi seperti marah (misalnya, Seorang mahasiswa
dengan Sindrom Asperger menyatakan, “Mengapa Anda berbicara lebih
keras? Saya dapat mendengar Anda” ketika ibunya mengangkat suaranya
untuk berkomunikasi amarah). Anak-anak juga mungkin mengalami kesulitan
menafsirkan isyarat non-verbal, yang pendengar mungkin memberikan untuk
berkomunikasi bahwa kerusakan percakapan telah terjadi (misalnya, ekspresi
wajah untuk menunjukkan tidak memahami pesan, kebosanan, dll). Beberapa
anak dengan Sindrom Asperger dapat menunjukkan percakapan bicara dengan
mempengaruhi agak datar: perubahan vokal terbatas tentang nada vokal, pitch
stres volume, dan ritme, terutama untuk menunjukkan emosi dan menekankan
kata kunci.

c. Keterampilan wacana narasi: Anak-anak dengan Sindrom Asperger dapat


menunjukkan kesulitan dengan keterampilan wacana narasi mereka, termasuk
yang berkaitan peristiwa masa lalu, atau menceritakan kembali film, cerita,
dan acara TV dengan cara yang kohesif dan berurutan. Mereka mungkin
meninggalkan informasi penting relasional, serta rujukan, dan dapat
menggunakan banyak revisi, jeda dan atau pengulangan.
Contohnya : Seorang anak dengan Sindrom Asperger ini berhubungan akhir
pekan ke kelas. Anak dengan Sindrom Asperger yang berhubungan: “Kembali
melalui waktu, uhm, uhm, padaNenek saya, eh, itu (jeda) kembali melalui
waktu aku, aku, aku (jeda) Saya eh, lama lalu saya berada di Nenek saya
11
2. Hambatan dalam interaksi sosial

a. Anak autis lebih senang menyendiri.

b. Tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindari untuk bertatapan.

c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.

d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.

3. Gangguan dalam sensoris

a. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.

b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.

d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit atau rasa takut.

4. Hambatan dalam pola bermain

a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.

b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.

c. Tidak kreatif dan tidak imajinatif.

d. Tidak bermain sesuai fungsinya, misalnya mobil-mobilan dielus-elus


kemudian diciumi dan diputar-putar rodanya.

e. Senang pada benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda, dan lain-
lain.

f. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu kemudian dipegang terus


dan dibawa kemana-mana.

5. Gangguan perilaku khas

a. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif).

12
b. Memperlihatkan stimulasi diri, seperti bergoyang-goyang, mengepakkan
tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan pada pada layar TV,
lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang berulang-ulang.

c. Tidak suka pada perubahan.

d. Dapat duduk benging dengan tatapan kosong.

6. Gangguan emosi

a. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa


alasan.

b. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau dipenuhi


keinginannya.

c. Kadang-kandang suka menyerang dan merusak.

d. Kadang-kadang anak autis berperilaku menyakiti dirinya sendiri.

e. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.

Hambatan-hambatan di atas tidak semuanya ada pada anak autis. Hambatan dapat
beraneka ragam sehingga hambatan yang dimiliki seorang anak autis belum tentu
sama dengan anak autis lainnya. Itulah yang menyebabkan tidak ada anak autis yang
benar-benar sama dalam semua tingkah lakunya.

F. Penanganan

Tujuan dari penanganan pada penyandang autisme adalah:

1. Membangun komunikasi dua arah yang aktif,

2. Mampu melakukan sosialisasi ke dalam lingkungan yang umum dan bukan


hanya dalam lingkungan keluarga,

3. Menghilangkan dan meminimalkan perilaku tidak wajar,

4. Mengajarkan materi akademik, serta

5. Meningkatkan kemampuan Bantu diri atau bina diri dan keterampilan lain.
13
Hal terpenting yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah menemukan program
intervensi dini yang baik bagi anak autis. Tujuan pertama adalah menembus tembok
penghalang interaksi sosial anak dan menitikberatkan komunikasi dengan orang lain
melalui cara menunjuk jari, menggunakan gambar dan kadang bahasa isyarat serta
kata-kata. Program intervensi dini menawarkan pelayanan pendidikan dan
penanganan untuk anak-anak berusia dibawah 3 tahun yang telah didiagnosis
mengalami ketidakmampuan fisik atau kognitif.

Saat ini banyak penanganan yang bisa di terapkan pada anak dengan autisme
(Adriana S. Ginanjar), antara lain:

1. Penanganan Biomedis

Memperhatikan pola, asupan makanan anak dengan intensif.

2. Menidamentosa

Terapi dengan obat ditujukan untuk mengurangi hiperaktifitas, stimulasi diri,


menarik diri, agresfitas, gangguan tidur.

3. Terapi sensory Integration

Terapi ini dilakukan dalam ruang khusus dengan berbagai alat yang akan memberi
input sensorik, mendukung terjadinya respon adaptif, memperbaiki fungsi batang
otak dan thalamus.

4. Terapi ABA

Tujuan terapi adalah membentuk tingkah laku yang dapat diterima lingkungan dan
menghilangkan/ mengurangi tingkah laku bermasalah

5. Pendidikan Khusus

Beberapa terapi lain yang bisa dilakukan pada anak dengan autis antara lain:

a. Terapi – Terapi okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki


koordinasi dan keterampilan otot pada anak autis.

14
b. Terapi wicara – Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan,
karena anak autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.

BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian data focus pada anak dengan gangguan perkembangan pervasive menurut
Isaac, A (2005) dan Townsend, M.C (1998) antara lain:

a. Tidak suka dipegang

b. Rutinitas yang berulang

c. Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukan

d. Terpaku pada benda mati

e. Sulit berbahasa dan berbicara

f. 50% diantaranya mengalami retardasi mental

g. Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan emosi diri


sendiridengan orang lain

h. Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan dengan orang
lainKetidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri dengan
orang lainMengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang lain
atau gerakkan-gerakkan mimik orang lain.

i. Penolakan atau ketidakmampuan berbicara yang ditandai dengan ketidakmatangan


stuktur gramatis, ekolali, pembalikan pengucapan, ketidakmampuan untuk
menamai benda-benda, ketidakmampuann untuk menggunakan batasan-batasan
abstrak, tidak adanya ekspresi nonverbal seperti kontak mata, sifat responsive pada
wajah, gerak isyarat.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
15
Menurut Townsend, M.C (1998) diagnose keperawatan yang dapat dirumuskan pada
pasien/anak dengan gangguan pervasive autisme antara lain :

a. Resiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan :

a. Tugas-tugas perkembangan yang tidak terselesaikan dari rasa percaya terhadap


rasa tidak percaya

b. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan

c. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap


kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu, fenilketonuria tidak
teratasi, ensefalitis, tuberkulosa sclerosis, anoksia selama kelahiran dan
sindroma fraggilis.

d. Deprivasi ibu

e. Stimulasi sensosrik yang tidak sesuai

f. Prilaku-prilaku mutilatif/melukai diri sebagai respons terhadap ansietas yang


meningkat

g. Ketidakacuhan yang nyata terhadap lingkungan atau reaksi-reaksi yang histeris


terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan.

b. Kerusakan interaksi social berhubungan dengan

a. Gangguan konsep diri

b. Tidak adanya orang terdekat

c. Tugas perkembangan tidak terselesaikan dari percaya versus tidak percaya

d. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap


kondisi-konsidi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak
teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom
fragilis

e. Deprivasi ibu

f. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai

16
c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan

a. Ketidakmampuan untuk mempercayai

b. Penarikan diri dari diri

c. Perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi


fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis,
tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis

d. Depresi ibu

e. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai

d. Gangguan identitas diri/pribadi berhubungan dengan :

a. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan

b. Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa percaya versus rasa tidak percaya

c. Depresi ibu

d. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Menurut Townsend M.C (1998) perencanaan dan rasionalisasi untuk mengtasi


masalah keperawatan pada anak dengan gangguan perkembangan pervasife autism
antara lain :

1.Resiko terhadap mutilasi diri

Tujuan : Pasien akan mendemonstrasikan prilaku-prilaku alternative (misalnya


memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respons terhadap
kecemasan dengan kriteria hasil :

a. Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat anak merasa tidak memerlukan


prilaku-prilaku mutilatif diri

17
b. Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas

Intervensi:

a. jamin keselamtan anak dengan memberi rasa aman,lingkunagn yg kondusif


untuk mencegah perilaku merusak diri

Rasional :perawat bertanggung jawab untuk mejamin keselamtan anak

b Kaji dan tentukan penyebab perilaku-perilaku mutilatif sebagi respon


terhadap kecemasan

Rasional: pengkajian kemungkinan penyebab dapt memilih cara/ alternative


pemecahan yg tepat.

c.Pakaikan helm pada anak untuk menghindari trauma saat anak memukul-
mukul kepala, sarung tangan untuk mencegah menarik narik rambut,
pemberian bantal yang sesuai untuk mencegah luka pada ekstremitas saat
gerakan- gerakan histeris.

Rasional : untuk menjaga bagian-bagian vital dari cedera

d.tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu-waktu meningkatnya


kecemasan agar tidak terjadi mutilasi

Rasional : Dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada perilaku-perilaku


mutilasi diri dan memberi rasa aman.

2. Kerusakan interaksi social

Tujuan : Anak akan mendemonstrasikan kepercayaan pada seseorang pemberi


perawatan yang ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak mata dalam waktu
yang di tentukan dengan kriteria hasil:

- Anak mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain

- Anak menggunakan kontak mata, sifat responsive pada wajah dan


perilaku-perilaku nonverbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang lain

- Anak tidak menarik diri dari kontak fisik dengan orang lain

18
Intervensi

- Jalin hubungan satu-satu dengan anak untuk meningkatkan kepercayaan

Rasional : interaksi dengan anak yang konsisten meningkatkan


pembentukan kepercayaan.

- Berikan benda-benda yang dikenal (misalnya : mainan kesukaan, selimut)


untuk memberikan rasa aman dalam waktu-waktu tertentu agar anak tidak
mengalami distress.

Rasional : benda-benda ini memberikan rasa aman dalam waktu-waktu


anak mengalami distress.

- Sampaikan sikap yang hangat, dukungan, dan kebersediaan ketika anak


berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya untuk
meningkatkan pembentukan dan mempertahankan hubungan saling
percaya.

Rasional : Karakteristik-karakteristik ini meningkaatkan pembentukan dan


mempertahankan hubungan saling percaya.

- Lakukan dengan perlahan-lahan, jangan memaksakan interaksi-interaksi,


mulai dengan penguatan yang positif pada kontak mata, perkenalkan
dengan berangsur-angsur dengan sentuhan, senyuman dan pelukan.

Rasional : Anak autisme dapat merasa terancam oleh suatu rangsangan


yang gencar pada anak yang tidak terbiasa.

- Dengan kehadiran kita beri dukungan pada anak yang berusaha keras
membentuk hubungan dengan orang lain dilingkungannya.

Rasional : Kehadiran seorang yang telah terbentuk hubungan saling


percaya dapat memberikan rasa aman.

3.Kerusakan komunikasi verbal

Tujuan : Anak akan membentuk kepercayaan dengan seseorang pemberi


perawatan ditandai dengan sikap resposiv dan kontak mata dalam waktu yang telah ditentukn
dengan kriteria hasil :
19
- Anak mampu berkomunikasi dengan cara yang dimengerti oleh orang lain

- Pesan – pesan nonverbal anak sesuai dengan pengungkapan verbal

- Anak memulai berinteraksi verbal dan nonverbal dengan orang lain.

Intervensi

- Pertahankan konsistensi tugas perawat untuk memahami tindakan-tindakan


dan kumunikasi anak

Rasional : hal ini memudahkan kepercayaan dan kemampuan untuk


memahami tindakan-tindakan dan komunikasi anak

- Antisipasi dan penuhi kebutuhan-kebutuhan anak sampai kepuasan pola


komunikasi terbentuk

Rasional : Pemenuhan kebutuhan anak akan dapat mengurangi kecemasan


anak sehingga anak mulai menjalin komunikasi dengan orang lain dengan
asersif.

- Gunakan teknik validasi konsensual dan klarifkasi untuk menguraikan


kode pola komunikasi (misalnya : apakah anda bermaksud untuk
mengatakan bahwa…..?)

Rasional : teknik – teknik ini digunakan untuk memastikan akurasi dari


pesan yang diterima, menjelaskan pengertian-pengertian yang tersembunyi
didalam pesan.

- Gunakan pendekatan tatap muka berhadapan untuk menyampaikan


ekspresi – ekspresi nonverbal yang benar dengan mengunakan contoh

Rasional : Kontak mata mengekspresikan minat yang murni terhadap dan


hormat kepada seseorang

4.Gangguan Identitas pribadi

Tujuan : Anak akan menyebutkan bagian – bagian tubuh diri sendiri dan bagian-
bagian tubuh dari pemberi perawatan dalam waktu yang ditentukan untuk mengenali fisik dan
emosi diri terpisah dari orang lain saat pulang dengan kriteria hasil :

20
- Anak mampu untuk membedakan bagian – bagian dari tubuhnya dengan
bagian – bagian dari tubuh orang lain

- Anak menceritakan kemampuan untuk memishkan diri dari lingkungannya


dengan menghentikan ekolalia (Mengulangi kata-kata yang didengar) dan
ekopraksi ( meniru gerakan –gerakan yang dilihatnya)

Intervensi

- Fungsi pada hubungan satu-satu dengan anak

Rasional : interaksi anak dengan perawat meningkatkan pembentukan dan


kepercayaan

- Membantu anak untuk mengetahui hal-hal yang terpisah selama kegiatan-


kegiatan perawatan diri, seperti berpakaian dan makan

Rasional : kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan


terhadap diri sebagai suatu yang terpisah dari orang lain

- Jelaskan dan bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya

Rasional : Kegiatan – kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anak


terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari orang lain

- Tingkatkan upaya anak untuk mempelajari bagian-bagian dari batas-batas


tubuh dengan menggunakan cermin dan lukisan serta gambar-gambar dari
anak

Rasional : dapat memberikan gambaran tentang bentuk tubuh dan


gambaran diri pada anak secara tepat.

21
BAB 1V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Autis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis
ditandai oleh gejala-gejala diantaranya kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi
social dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi social dan
emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik dan minat yang
terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan – gerakan berulang tanpa tujuan (Stereotipik).
Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik yang terlihat
sebelum usia 3 tahun. Sampai saat ini penyebab pasti autis belum diketahui tetapi beberapa
hal yang dapat memicu adanya perubahan genetika dan kromosom, dianggap sebagai factor
yang berhubungan dengan kejadian autis pada anak, perkembangan otak yang tidak normal
atau tidak seperti biasanya dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada neurotransmitter,
dan akhirnya dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku pada penderita. Dalam
kemampuan intelektual anak autis tidak mengalami keterbelakangan, tetapi pada hubungan
social dan respon anak terhadap dunia luar, anak sangat kurang, anak cenderung asik dengan
dunianya sendiri dan cenderung suka mengamati hal-hal kecil yang bagi orang lain tidak
menarik, tapi bagi anak autis menjadi sesuatu yang menarik.

Terapi perilaku sangat dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup dengan normal
seperti anak pada umumnya, dan melatih anak untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar.

B. SARAN

Semoga makalah ini dapat bermanfaaat bagi para pembaca khususnya bagi
mahasiswa keperawatan dapat memahami asuhan keperawatan pada anak berkebutuhan
khusus autis dan bagi orang tua yang memiliki anak autis.

DAFTAR PUSTAKA

Andri Priyatna. (2010).Amazing Autism ! (Memahami, Mengasuh, dan Mendidik Anak


Autis).Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

22
Christopher Sunu. (2012). Unlocking Autism.Yogyakarta:Lintangterbit.

Joko Yuwono, M.Pd. Memahami Anak Autis. November 2012. Jakarta Barat : Alfabeta

Agus Suryana. Terapi Autisme. 2004. Jakarta : Progres

Nattaya Lakshita. Panduan Simpel Mendidik Anak Autis. 2012. Yogyakarta : Javalitera

Bloom, Emanuel dkk. The Developmental Neurobiology of Autism Spectrum Disorder.


Diakses dari http://www.jneurosci.org/content/26/26/6897 pada 14 September 2014
pukul 16.00
Ginanjar, Adsriana. Penanganan Terpadu Bagi Anak Autis. Diakses dari
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCYQFjAA
&url=http%3A%2F%2Fwww.lspr.edu%2Fcsr%2Fautismawareness%2Fmedia
%2Fseminar%2FPenanganan%2520Terpadu%2520bagi%2520Anak%2520Autis
%2520-%2520Dr%2520Adriana%2520S%2520Ginanjar%252009-09-
08.pdf&ei=b0M_VLeDG6LPmwWu1oHYDg&usg=AFQjCNF5gg12fWRUA3PLEi
g9wgX83DlzTw&bvm=bv.77648437,d.c2E pada tanggal 3 Oktober 2014

23

Anda mungkin juga menyukai