Anda di halaman 1dari 4

NAMA : URSULA S.

ROSARI
PRODI : ADMINISTRASI NEGARA/sore
NIM : 201921020008
SMESTER : 2
MATAKUL : SANRI

Masalah di Sistem Administrasi Negara Indonesia


Sering kita temui masalah yang menyebabkan nama baik Indonesia tercoreng. Semua
dikarenakantindakan dari oknum aparat negara yang mencari keuntungan sendiri dan
kadang merugikankepentingan orang banyak. Beberapa diantaranya adalah:

1.Transaksi jual beli hukum

Adalah nama samaran dari suap. Dan ini tergolong pada tindak pidana korupsi.
Indonesia tergolong dalam Negara yang melakukan tindak korupsi terbesar di dunia
dengan mendapat predikat nomor 5. Ternyata praktik suap menyuap sudah menjadi hal
yang lumrah di Indonesia dan banyak terjadi dalam instansi yang berkaitan dengan
pelayanan Publik. Contohnya dalam pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM). Tanpa
melakukan tes uji berkendara sebagian orang bisa mendapatkan SIM cukup dengan
memberi biaya tambahan dalam pembuatan SIM.Padahal sudah ada Undang-undang yang
mengatur bagaimana seorang aparat dan warga negara berprilaku tetapi masih saja
dilanggar. Contohnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 TentangTindak Pidana Suap.
Namun masih saja banyak korupsi dan para koruptor rupanya tidak jera dengan hukuman
yang diberikan. Banyak cara yang sudah dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun
masih belum saja masalah ini dapat diselesaikan. Salah satunya dengan adanya
lembaga negara yang bertugas untuk memberantas korupsi, yaitu KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi). Dengan adanya KPK diharapkan korupsi dapat diberantas.
Walaupun ada penurunan presentase korupsi dari tahun ke tahun tetap saja korupsi
tidak di berantas sampai ke akar.Penulis menilai bahwa ternyata para oknum aparatur
negara tidak jera akibat hukum diIndonesia yang tidak tegas. Bagaimana bisa para
penegak hukum juga malah tersangkut tindak pidana korupsi. Pantas saja ternyata
hukuman untuk koruptor di Indonesia terlalu ringan. Bukan hanya hukuman kurungan
penjara selama 1 sampai 18 tahun terlalu ringan untuk koruptor yang melakukan suap
sampai milyaran rupiah.Solusinya? Adalah hukum yang tegas.
Mari berkaca pada negara maju yang menghukum para koruptornya. Berikut hukuman
korupsinegara-negara di dunia:
1. Di Inggris di tembak mati
2.Di Amerika di tembak 100 kali
3. Di Malaysia di gantu
4. Di Cina ditembak mati ditonton oleh masyarakat banyak serta keluarga
dimiskinkan
5. Di Jepang pejabat yang Korup dihukum serta bunuh diri
6 Di Uruguay di perangi
7. Di Negara timur tengah( Arab) dipotong tangannya
8. Di Indonesia di potong masa tahanan.

2.Moral Penegak Hukum yang Buruk

Bagaimana bisa para aparat yang seharusnya menegakan hukum dan memberi contoh
kepada masyarakatnya justru adalah pihak yang melanggar dan merugikan kepentingan
umum. Selain melakukan tindak pidana KKN perbuatan mereka juga melanggar norma,
aturan hukum, dan etika seorang aparatur negara. Tidur ketika siding, menonton
video tidak senonoh ketika sidingmerupakan tindakan tidak terpuji. Maka jangan
harap masyarakat bisa mengikuti aturan apa bila yang membuatnya saja tidak
melakssanakan dan memberi contoh yang baik.
Solusinya? Adalah selektif memilih pemerintah.
Maka perlu ada seleksi yang bisa menjamin dan mencetak aparatur negara yang
benar-benarbaik. Tidak semata-mata pintar saja tapi harus memiliki akhlak yang baik
pula. Justru orang yangbenar-benar pintar mereka akan pintar untuk menipu,
mengelabui hukum. Berbeda dengan orangbaik yang akan mentaatinya.

3.Intervensi Petinggi Negara

Mungkin saja ada intervensi dari petinggi negara yang menekan bawahannya juga untuk
melakukan perbuatan yang menguntungkan dirinya (KKN). Dengan adanya intervensi,
para pelaksana pun tidak akan bebas dalam bekerja, membuat inovasi karena dipaksa
untuk melakukan apa yang diinginkan petingginya.
Solusinya? Adalah pengawasan yang ketat serta memberi jaminan agar para pelaksana
untuk terbebas dari intervensi dari petinggi negara.Dengan terjaminnya para
pelaksana untuk bekerja kreatif dan berinovasi ini akan mendorongmereka untuk
berprestasi dan memberikan hasil yang baik demi tercapainya tujuan negara.

4.Kurang kesadaran dari masyarakat

Aparatnya saja sudah melanggar bagaimana dengan masyarakat? Kurang kesadaran dari
masyarakat mungkin karena para wakil rakyat tidak memberi contoh yang baik bahkan
hanya memberikan masalah-masalah untuk negara ini.Solusinya?
Alangkah baiknya jika masyarakat memulai menyadarkan diri sendiri untuk mentaati
hukumyang berlaku. Mengamalkannya dan saling menebar kebaikan kepada sesamanya
untuk bersama-sama mengamalkan hukum yang berlaku.

5.Ketimpangan Hukum Antara Pasal-pasal

Ketimpangan Hukum di Indonesia yang menghasilkan ketidakadilan di Indonesia. UUD


1945telah menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pelaksanaannya
didasarkan padahukum, bukan pada asas kekuasaan. Keadilan sosial yang seharusnya
didapatkan masyarakat justru Teracuni karena ketimpangan hukum

.Contoh ketimpangan hukum adalah lemah dan tidak adilnya hukum untuk para koruptor.
Seperti kasus Anggodo Widjojo.
Tragedi hukum seperti tak ada habisnya di negeri ini.Ketika Anggodo Widjojo, yang
diduga ikut merekayasa kasus pimpinan KPK, dan para makelarkasus nyaris tak
tersentuh jerat hukum, seorang wanita setengah baya di Banyumas harus merasakan
pahitnya menjadi tahanan hanya karena didakwa mengambil tiga biji kakao sehargaRp
2.100.

Sudah seharusnya kita mulai tegas. Namun alasan untuk menindak tegas pencuri
uangnegara itu juga terbentur dengan apa yang disebut HAM (Hak Asasi Manusia). HAM
juga di aturdalam undang-
undang no 39 th 1999. “Para Koruptor juga mempunyai hak untuk hidup dan lengkap
organ tubuhnya” bisik para pencuri uang negara. Disisi lain juga undang
-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan kepada warga negara juga
memberikan ketidakadilan.

.Solusi? Benahi Negara


Benahi negara mulai dari peraturan, perencanaan pembangunan, dan utamakanlah
pembentukan karakter bangsa dengan akhlak yang baik agar para generasi muda
bisamenjanjikan sesuatu yang cerah di masa depan.
Banyaknya keterlambatan yang terjadi dalam proses pergantian kepengurusan
sejumlah lembaga dan komisi negara diyakini menunjukkan sistem administrasi
pemerintahan yang tidak tertib serta kacau balau.

Sistem yang ada seperti itu dipercaya tidak mampu membuat pemerintahan, terutama
Presiden, bekerja efektif mengantisipasi amanat konstitusi dan perundang-undangan
terkait kelanjutan dan keberadaan lembaga serta komisi negara tadi.

Tidak hanya itu, kelambatan dan penundaan disinyalisasi juga bisa menjadi indikasi
rendahnya tingkat kepedulian pemerintah terhadap keberadaan berbagai lembaga dan
komisi negara itu.

kesalahan dan ketidakberesan administrasi negara macam itu kan dianggap sebagai
suaut kesalahan yang bisa dimaafkan. Padahal seharusnya itu jadi masalah serius
karena pastinya pemerintah melanggar amanat aturan yang ditetapkan dalam sebuah
Undang-Undang. Jadi bisa menjadi pelanggaran UU oleh pemerintah atau dalam hal ini
presiden.kasus terakhir yang terjadi pada Komisi Yudisial, yang belakangan harus
diperpanjang masa kerja komisionernya. Seperti diwartakan, Ketua KY Busyro Muqodas
mengaku sudah dua kali melayangkan surat pemberitahuan kepada Presiden soal tenggat
waktu masa kepengurusannya

Isu konflik kepentingan pejabat publik sering menjadi perbincangan. Paling


aktual, keterlibatan perusahaan milik Staf Khusus Milenial Presiden dalam proyek
pemerintah cukup menyita perhatian publik. Dalam kasus lain, perilaku pejabat
seperti menteri juga banyak mendapat sorotan konflik kepentingan ketika melakukan
aktivitas yang berkaitan dengan partai politik. Bahkan dalam beberapa kasus, tak
jarang konflik kepentingan bermuara pada praktik-praktik korupsi.
Secara umum, konflik kepentingan dapat didefinisikan sebagai kondisi yang
dialami oleh pejabat publik ketika kewajibannya menjalankan fungsi publik
berbenturan dengan kepentingan pribadi (OECD, 2005). Menurut Boyce (2008)
kepentingan pribadi ini mencakup baik kepentingan finansial seperti kepemilikan
perusahaan, kepemilikan saham, pemberian hadiah atau sumber pendapatan ganda serta
kepentingan non-finansial yang identik dengan afiliasi personal seperti hubungan
keluarga, organisasi politik maupun kelompok organisasi tertentu.
Konsep konflik kepentingan ini sebenarnya sudah dikenal lama dalam isu
administrasi publik. Studi Ackerman (2014) menyebut kemunculan konflik kepentingan
paling kentara terdapat dalam sistem monarki klasik, di mana kekuasaan raja yang
tak terbatas membuat setiap kebijakan publik sangat kental dengan aroma kepentingan
raja. Paradigma tersebut mulai bergeser seiring dengan sistem demokrasi modern saat
ini. Pemerintahan yang demokratis dijalankan berdasar atas kehendak dan kedaulatan
rakyat. Oleh karena itu, pejabat publik dituntut untuk membawa kepentingan publik
dan menjauhkan segala pengambilan keputusan dari pengaruh kepentingan pribadi.

Dua Hal yang Berbeda

Pada prinsipnya konflik kepentingan dan korupsi adalah dua hal yang berbeda.
Seperti diungkapkan oleh Bruno Speck (2006) dan Quentin Reed (2008) bahwa konflik
kepentingan merupakan sebuah kondisi sementara korupsi merujuk pada tindakan yang
aktual. Kondisi konflik kepentingan tidak serta membuat seorang pejabat publik
menjadi seseorang yang buruk atau jahat. Namun, membiarkan pejabat publik dalam
kondisi konflik kepentingan akan mengancam integritas pelayanan publik. Pejabat
publik yang mengambil keputusan atau membuat kebijakan strategis dalam kondisi
konflik kepentingan menjadi celah masuk praktik korupsi.
Hal ini tergambar jelas dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia. Misalnya
korupsi yang menjerat Wali Kota Madiun serta korupsi PT Tradha yang dikendalikan
oleh Bupati Kebumen. Keduanya dihukum berdasarkan Pasal 12 huruf I Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang konflik kepentingan dalam pengadaan.
Bahkan jika melihat pola korupsi suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat
publik, sebagian besar di antaranya berkaitan erat dengan dimensi konflik
kepentingan.

Sebut saja beberapa kasus korupsi di sektor perizinan sumber daya alam yang
didorong akibat konflik kepentingan pribadi pejabat publik dengan menerima hadiah
(gratifikasi) atau uang suap. Begitu pula modus korupsi jual beli jabatan yang
sebagian bersifat politik dinasti yaitu dengan mengedepankan kepentingan afiliasi
keluarga atau kelompok politik. Berdasarkan pada fenomena ini, maka tidak
berlebihan jika konflik kepentingan disebut sebagai akar dari praktik korupsi
pejabat publik.
Sebenarnya beberapa kebijakan telah dibuat untuk mencegah konflik kepentingan
pejabat publik. Hampir sebagian besar lembaga negara, kementerian, dan pemerintah
daerah memiliki regulasi konflik kepentingan. Baik berupa peraturan maupun
tercantum dalam kode etik. Dalam kerangka peraturan perundang-undangan, setidaknya
terdapat tiga kebijakan yang menyangkut konflik kepentingan, yaitu Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN-RB) Nomor
37 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Penanganan Benturan Kepentingan, Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi (pasal 12 huruf i yang berkaitan dengan konflik kepentingan
dalam pengadaan), serta Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (Pasal 42-45).

Jika ditarik benang merah, ketiga regulasi tersebut memiliki semangat


pemberantasan korupsi. Baik itu penindakan maupun pencegahan korupsi. Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan bahkan telah secara tegas melarang pejabat publik untuk
bertindak atau mengambil keputusan yang memiliki potensi konflik kepentingan.
Terdapat enam komponen yang dikategorikan sebagai konflik kepentingan dalam
peraturan tersebut, yaitu kepentingan pribadi dan/atau bisnis, hubungan kerabat dan
keluarga, hubungan dengan wakil pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang
bekerja dan mendapat gaji dari pihak yang terlibat, hubungan dengan pihak yang
memberikan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat, serta hubungan dengan pihak-
pihak lain yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.Namun
sayangnya, hari ini kita masih dihadapkan pada berbagai fenomena konflik
kepentingan. Banyak pejabat publik yang mengambil keputusan atau membuat kebijakan
sembari dirinya merangkap jabatan di perusahaan maupun partai politik. Maraknya
kasus korupsi, suap, dan gratifikasi juga merusak kebijakan pemerintah yang pada
akhirnya banyak disetir oleh kepentingan finansial pejabat publik. Hal ini
diperparah dengan tidak adanya transparansi pejabat publik yang berada dalam
kondisi konflik kepentingan. Tentu kondisi ini mengakibatkan rawan terjadinya
pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan publik tidak responsif sehingga
merugikan publik secara luas.

Anda mungkin juga menyukai