Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penyakit yang terjadi setelah berbagai macam
penyakit yang merusak masa nefron ginjal sampai pada titik keduanya tidak mampu untuk
menjalankan fungsi regulatorik dan ekstetoriknya untuk mempertahankan homeostatis (Lukman
et al., 2013). Gagal gijal kronik secara progresif kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu persatu
yang secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal (Sjamsuhidajat & Jong, 2011).

Penyakit gagal ginjal termasuk salah satu penyakit ginjal yang paling berbahaya.
Penyakit ginjal tidak menular, namun menyebabkan kematian. Penyakit gagal ginjal dibedakan
menjadi dua, yaitu gagal ginjal akut (GGA) dan gagal ginjal kronik (GGK) (Muhammad, 2012).
Penyakit GGK pada stadium akhir disebut dengan End Stage Renal Disease (ESDR). Penyakit
GGK merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi dan insidensi gagal
ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi (Word Kidney Day n.d.,
diakses 7 September 2018). Perawatan penyakit ginjal di Indonesia merupakan ranking kedua
pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung (Infodatin, 2017). Menurut
data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi GGK di Indonesia sekitar
0,2%. Prevalensi kelompok umur ≥ 75 tahun dengan 0,6% lebih tinggi daripada kelompok umur
yang lain.

Ginjal merupakan organ tubuh yang berperan penting dalam mempertahankan kestabilan
lingkungan dalam tubuh dan kelangsungan hidup dan fungsi sel secara normal bergantung pada
pemeliharan konsentrasi garam, asam dan elektrolit lain dilingkungan cairan internal. Apabila
kerusakan ginjal terjadi secara menahun dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis.

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau chronic kidney disease adalah suatu proses
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel sehingga tubuh gagal dalam
mempertahankan proses metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit sehingga menyebabkan
uremia (Smeltzer, 2008). Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang terjadi saat kedua
ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya.

Penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) pada GGK akan menimbulkan gangguan
faal ginjal dan endokrin. Hal ini akan menimbulkan penyakit penyerta sehingga dapat
mengancam kehidupan.
Meninjau dampak yang dapat ditimbulkan dari GGK, maka diperlukan penatalaksanaan
komprehensif bagi kelangsungan hidup penderita. Penatalaksanaan GGK tahap akhir yaitu
memberikan terapi yang dapat menggantikan fungsi ginjal (Aziz, Witjaksono & Rasjidi, 2008).
Hemodialisa adalah tindakan terapi yang paling banyak dipilih oleh pasien ginjal kronik. Proses
terapi hemodialisa dilakukan minimal seminggu dua kali seumur hidup untuk membantu
memperbaiki homeostasis tubuh penderita. Selama menjalani terapi hemodialisa, program
terapeutik tentang kepatuhan terhadap pembatasan asupan cairan untuk meningkatkan qualitas
hidupnya juga harus dijalani oleh pasien. Kepatuhan pasien tergambar dari seberapa jauh
perilaku seseorang dalam melakukan pengobatan, mengikuti program diet, dan atau menjalankan
perubahan pola hidup sesuai dengan yang disepakati atau rekomendasi dari petugas kesehatan
(WHO, 2003).

Penatalaksanaan lainnya meliputi preskripsi diet dan cairan, kontrol hipertensi dan
pencegahan penyakit penyerta dan komplikasi (Brunner & Suddarth, 2002). Selain itu,
kepatuhan diet rendah garam dan pembatasan cairan pada penderita GGK juga sangat
diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup pasien sebagai bagian dari preskripsi
pengobatannya.

2.1.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

Penyakit gagal ginjal berdasarkan waktu diklasifikasikan menjadi 2 yaitu penyakit ginjal akut dan
penyakit ginjal kronis. Dalam laporan tahunan IRR (Indonesian Renal Registry) menyebutkan ada 3 jenis
diagnosa penyakit pada pasien yang melakukan terapi dialisis di Indonesia yaitu:

1) Gagal Ginjal Akut (GGA) Penurunan fungsi ginjal yang terjadi mendadak pada ginjal yang sebelumnya
normal

2) Gagal Ginjal Terminal (End Stage Renal Disease) Fungsi ginjal sangat menurun GFR < 15 ml/min/1.73
sehingga dibutuhkan terapi ginjal pengganti untuk menggantikan fungsi ginjal membuang toksin dalam
tubuh

3) Gagal Ginjal Akut pada GGK (Acute on Chronic) Episode akut pada gagal ginjal kronik yang sebelumnya
stabil

2.1.3 Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

Umumnya GGK disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik difus dan menahun.
Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari
gagal ginjal kronik, kira-kira 60% (Sukandar, 2006). Selain itu juga faktor-faktor yang diduga
berhubungan dengan meningkatnya kejadian gagal ginjal kronik antara lain merokok (Ejerbald et
al, 2004), penggunaan obat analgetik dan OAINS (Fored et al, 2003 ; Levey et al, 2003),
hipertensi (Price & Wilson, 2006), dan minuman suplemen berenergi (Hidayati, 2008). Gagal
ginjal dapat disebabkan karena usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit seperti diabetes,
hipertensi maupun penyakit gangguan metabolik lain yang dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal

2.1.3.1 Umur

Usia Hasil hubungan variabel usia secara statistik dengan kejadian gagal ginjal kronik
mempunyai hubungan yang bermakna antara usia 60 tahun pada pasien hemodialisis. Secara klinik pasien
usia >60 tahun mempuyai risiko 2,2 kali lebih besar mengalami gagal ginjal kronik dibandingkan dengan
pasien usia < 60 tahun. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia, semakin berkurang fungsi
ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan memburuknya fungsi
tubulus. Penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap manusia seiring
bertambahnya usia, namun tidak menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala karena masih dalam
batas-batas wajar yang dapat ditoleransi ginjal dan tubuh. Namun, akibat ada beberapa faktor risiko dapat
menyebabkan kelainan dimana penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat atau progresif sehingga
menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat, kondisi ini disebut gagal ginjal kronik (GGK)
atau chronic renal failure (CRF). Mcclellan dan Flanders (2003) membuktikan bahwa faktor risiko gagal
ginjal salah satunya adalah umur yang lebih tua.

2.1.3.2 Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin secara statistik ada hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan dengan kejadian gagal ginjal kronik
pada pasien hemodialisis. Secara klinik lakilaki mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik 2 kali
lebih besar daripada perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan
kesehatan dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena
gagal ginjal kronik dibandingkan perempuan. Perempuan lebih patuh dibandingkan laki-laki dalam
menggunakan obat karena perempuan lebih dapat menjaga diri mereka sendiri serta bisa mengatur tentang
pemakaian obat (Morningstar et al., 2002).

2.1.3.3 Riwayat Penyakit Hipertensi

Secara klinik pasien dengan riwayat penyakit faktor risiko hipertensi mempunyai risiko
mengalami gagal ginjal kronik 3,2 kali lebih besar daripada pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko
hipertensi. Peningkatan tekanan darah berhubungan dengan kejadian penyakit ginjal kronik (Hsu et al.,
2005). Hipertensi dapat memperberat kerusakan ginjal telah disepakati yaitu melalui peningkatan tekanan
intraglomeruler yang menimbulkan gangguan struktural dan gangguan fungsional pada glomerulus.
Tekanan intravaskular yang tinggi dialirkan melalui arteri aferen ke dalam glomerulus, dimana arteri
aferen mengalami konstriksi akibat hipertensi (Susalit, 2003).

2.1.3.4 Riwayat Penyakit Diabetes Melitus

Secara klinik riwayat penyakit faktor risiko diabetes melitus mempunyai risiko terhadap kejadian
gagal ginjal kronik 4,1 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko
diabetes melitus. Salah satu akibat dari komplikasi diabetes melitus adalah penyakit mikrovaskuler, di
antaranya nefropati diabetika yang merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Berbagai teori
tentang patogenesis nefropati seperti peningkatan produk glikosilasi dengan proses non-enzimatik yang
disebut AGEs (Advanced Glucosylation End Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway),
glukotoksisitas, dan protein kinase C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus
disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia, dan hipertensi
intraglomerulus. Kelainan atau perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi
dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran
darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang
ditandai dengan timbulnya albuminuria (Sue et al., 2000). Beberapa penelitian lainnya juga meendukung
hal ini bahwa diabetes melitus lebih banyak mengarah pada penyakit-penyakit oklusi arteri diameter kecil
seperti ekstrimitas bawah, gagal ginjal, retinopati, dan saraf kranial atau perifer (Jorgensen, 1994).

2.1.3.5 Riwayat Penggunaan Obat Analgetika Dan OAINS

Beberapa bukti epidemiologi menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan obat
analgetik dan OAINS secara berlebihan dengan kejadian kerusakan ginjal atau nefropati. Nefropati
analgetik merupakan kerusakan nefron akibat penggunaan analgetik. Penggunaan obat analgetik dan
OAINS untuk menghilangkan rasa nyeri dan menekan radang (bengkak) dengan mekanisme kerja
menekan sintesis prostaglandin. Akibat penghambatan sintesis prostaglandin menyebabkan vasokonstriksi
renal, menurunkan aliran darah ke ginjal, dan potensial menimbulkan iskemia glomerular. Obat analgetik
dan OAINS juga menginduksi kejadian nefritis interstisial yang selalu diikuti dengan kerusakan ringan
glomerulus dan nefropati yang akan mempercepat progresifitas kerusakan ginjal, nekrosis papilla, dan
penyakit gagal ginjal kronik. Obat analgetika dan OAINS menyebabkan nefrosklerosis yang berakibat
iskemia glomerular sehingga menurunkan GFR kompensata dan GFR nonkompensata atau gagal ginjal
kronik yang dalam waktu lama dapat menyebabkan gagal ginjal terminal (Fored et al., 2003).

2.1.3.6 Riwayat Merokok

Pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis yang mempunyai riwayat merokok mempunyai
risiko dengan kejadian gagal ginjal kronik lebih besar 2 kali dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat
merokok. Efek merokok fase akut yaitu meningkatkan pacuan simpatis yang akan berakibat pada
peningkatan tekanan darah, takikardi, dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase akut
beberapa pembuluh darah juga sering mengalami vasokonstriksi misalnya pada pembuluh darah koroner,
sehingga pada perokok akut sering diikuti dengan peningkatan tahanan pembuluh darah ginjal sehingga
terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi filter (Grassi et al., 1994 ; Orth et al., 2000).

2.1.3.7 Riwayat Penggunaan Minuman Suplemen Energi

Pada pasien gagal ginjal kronik dengan riwayat penggunaan minuman suplemen mempunyai
hubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis.
Pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis yang mempunyai riwayat penggunaan minuman suplemen
energi dengan kejadian gagal ginjal kronik mempunyai risiko lebih kecil dibandingkan dengan faktor
risiko yang lain. Hasil penelitian ini dimungkinkan karena penggunaan minuman suplemen energi tidak
dalam jangka waktu lama dan tidak secara terus-menerus sehingga tidak menjadi faktor risiko kejadian
gagal ginjal kronik.

Namun beberapa psikostimulan (kafein dan amfetamin) terbukti dapat mempengaruhi ginjal.
Amfetamin dapat mempersempit pembuluh darah arteri ke ginjal sehingga darah yang menuju ke ginjal
berkurang. Akibatnya, ginjal akan kekurangan asupan makanan dan oksigen. Keadaan sel ginjal
kekurangan oksigen dan makanan akan menyebabkan sel ginjal mengalami iskemia dan memacu
timbulnya reaksi inflamsi yang dapat berakhir dengan penurunan kemampuan sel ginjal dalam menyaring
darah (Hidayati, 2007).

2.1.4 Etiologi Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

Penyebab GGK antara lain :

2.1.4.1 Diabetes

Diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada banyak organ tubuh, termasuk ginjal, pembuluh
darah, jantung, serta saraf dan mata.

2.1.4.2 Hipertensi

Tekanan darah tinggi atau hipertensi yang tidak terkendali dapat menyebabkan serangan
jantung, stroke dan penyakit ginjal kronik. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik juga dapat menyebabkan
tekanan darah tinggi.

2.1.4.3 Glomerulonephritis

Merupakan kumpulan penyakit yang menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada unit penyaring
pada ginjal.

2.1.4.4 Infeksi

Infeksi saluran kencing yang berulang.

2.1.4.5 Kista

2.1.4.6 Obstruksi, Dan

2.1.4.7 Penyakit Sistemik.

Penyakit tersebut menyebabkan kerusakan nefron yang progresif dan ireversibel. Pada stadium 5
yaitu laju filtasi glomerulus sebesar ≤15 ml/menit atau terjadi sindrom uremia yang parah, pasien mulai
membutuhkan terapi pengganti ginjal untuk mempertahankan hidupnya (Sudoyo et al., 2009).

2.1.5 Asupan Cairan

Asupan cairan dan natrium adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam
penatalaksanaan gagal ginjal untuk mencegah komplikasi akibat kelebihan volume cairan seperti
edema, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular (Sudoyo et al., 2009). Proporsi pasien yang tidak
patuh pada pembatasan cairan menurut Mardjun (2014) sebanyak 53,3% sedangkan menurut Sari
(2009) sebanyak 66,7%. Salah satu intervensi yang diberikan kepada penderita hemodialisa
adalah pembatasan asupan cairan.
2.1.6 Pembatasan Asupan Cairan

Pasien hemodialisa dianjurkan membatasi konsumsi cairan dalam sehari (Marantika &
Devi, 2014). Pasien hemodialisa mengeluarkan urin tidak lebih dari 200-300 mL setiap hari.
Karenanya, pasien disarankan mengkonsumsi cairan tidak lebih dari 500 mL atau setara 2 gelas
perhari. Anjuran ini disertai anjuran untuk membatasi konsumsi garam. Konsumsi air dan garam
berlebih akan menyebabkan pulmonary oedema yaitu kondisi dimana cairan memasuki paru-
paru, hipertensi, sesak nafas, menggigil, kecemasan, panik, kejang otot dan bahkan kematian
mendadak (Denhaerynck et al., 2007). Secara tidak langsung berat badan pasien juga akan
mengalami peningkatan berat badan yang cukup tajam, mencapai lebih dari berat badan normal
(0,5 kg /24 jam) (Brunner & Suddart, 2002; Hudak & Gallo, 2006). Oleh karena itu, pasien GGK
perlu mengontrol dan membatasi jumlah asupan cairan yang masuk dalam tubuh. Pembatasan
asupan cairan penting agar pasien yang menderita GGK tetap merasa nyaman pada saat sebelum,
selama dan sesudah terapi hemodialisa.

Pembatasan cairan sering kali sulit dilakukan oleh pasien, terutama jika mereka
mengkonsumsi obat-obatan yang membuat membran mukosa kering seperti diuretik. Karena
obat tersebut akan menyebabkan rasa haus yang berakibat adanya respon untuk minum (Potter &
Perry, 2008). Pembatasan asupan cairan akan mengubah gaya hidup dan dirasakan pasien
sebagai gangguan, sehingga beberapa pasien sering mengabaikan dietnya (Smeltzer dan Bare,
2002).

2.1.7 Faktor Yang Mempengaruhi Pembatasan Asupan Cairan

2.1.7.1 Pendidikan Pasien

Pendidikan merupakan suatu proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan
cara pengajaran, penyuluhan dan penelitian. Pendidikan kesehatan tidak lepas dari proses belajar
individu, kelompok masyarakat tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu dan mampu
mengatasai sendiri masalah-masalah kesehatan, sehingga kurangnya pendidikan seseorang dapat
memberikan pengaruh dalam menentukan sikap.

2.1.7.2 Keterlibatan Perawat

Perawat harus memperhatikan terkait faktor psikologis dan sosial yang mempengaruhi
kepatuhan pasien.

2.1.7.3 Keterlibatan Keluarga

Bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok disekitarnya yang
membuat penerima merasa nyaman, diperhatikan, dicintai dan dihargai, yang dapat diperoleh
dari teman, saudara, dan orang tua serta orang-orang disekitar.
2.1.7.4 Konsep Diri, Dan

Efikasi diri merupakan keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisasi
dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai suatu hasil yang
diinginkan (Bandura, 1994).

2.1.7.5 Tingkat Pengetahuan Pasien

Keyakinan individu mengenai adanya sinyal yang menyebabkan seseorang untuk


bergerak ke arah pencegahan (cues to action) pada pasien GGK berhubungan dengan
pemahaman pasien mengenai awareness terhadap ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Pasien yang dapat memahami adanya keluhan yang mulai muncul akibat kelebihan asupan
cairan, cenderung akan melakukan perilaku patuh terhadap pembatasan cairan agar keluhan tidak
berlanjut pada hal yang lebih buruk.

2.1.8 Akibat Ketidakpatuhan Pembatasan Asupan Cairan

Tidak melakukan pembatasan asupan cairan, akan mengakibatkan cairan menumpuk dan
akan menimbulkan edema di sekitar tubuh. Kondisi ini akan membuat tekanan darah meningkat
dan memperberat kerja jantung. Penumpukan cairan juga akan masuk ke paru-paru sehingga
membuat pasien mengalami sesak nafas. Keluhan ini akan berkembang menjadi penyakit
penyerta apabila tidak ditangani dengan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Maka dari
itu, pasien cenderung akan mulai patuh guna menghindari hal tersebut, sehingga akan
mempengaruhi kualitas hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai