Anda di halaman 1dari 21

REFARAT

“COMPARTMENT SYNDROME ”

Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior


SMF Ilmu Bedah di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

Pembimbing :

dr. Rico Alexander, M.Kes, Sp.OT

Oleh:

1. Uswatul Khoirot 1808320039


2. Vici Vitricia Melja 1808320032
3. Zahir Husni 1808320030
4. Reza Fahlevi Y.P 1808320040
5. Ida Nuyani 1808320009

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
RSUD DELI SERDANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan refarat ini guna

memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF Ilmu Bedah di Rumah

Sakit Umum Deli Serdang, Lubuk Pakam dengan judul “Compartment Syndrome”.

Refarat ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori yang
diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Bedah di RSUD Deli Serdang
Lubuk Pakam dan mengaplikasikannya untuk kepentingan klinis kepada pasien. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada dr. Rico Alexander, M.Kes, Sp.OT yang telah
membimbing penulis dalam refarat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini masih memiliki kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak yang membaca
refarat ini. Harapan penulis semoga refarat ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang membacanya.

Lubuk Pakam, 16 Juni 2020

Penulis

DAFTAR ISI

ii
2
2
3
2.2.1 Definisi.............................................................................................3
2.2.2 Epidemiologi....................................................................................4
2.2.3 Klasifikasi.........................................................................................4
2.2.4 Etiologi.............................................................................................4
2.2.5 Patofisiologi......................................................................................6
2.2.6 Gejala Klinis.....................................................................................7
2.2.7 Diagnosis..........................................................................................8
2.2.8 Diagnosis Banding.........................................................................10
2.2.9 Penatalaksanaan..............................................................................10
2.2.10 Komplikasi...................................................................................15
2.2.11 Prognosis......................................................................................15
16
17

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi yang mengancam anggota tubuh dan
jiwa yang dapat diamati ketika tekanan perfusi dibawah jaringan yang tertutup mengalami
penurunan. Saat sindrom kompartemen tidak teratasi maka tubuh akan mengalami
nekrosis jaringan dan gangguan fungsi yang permanen, dan jika semakin berat dapat
terjadi gagal ginjal dan kematian. Kompartemen didefinisikan sebagai ruang tertutup
dalam dinding yang berlanjut, seperti fascia dan tulang yang berisi otot, pembuluh darah,
dan saraf. Lokasi yang dapat mengalami sindrom kompartemen telah ditemukan di
tangan, lengan bawah, lengan atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir
semua cedera dapat menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat.
Fraktur poros tibia dan lengan bertanggung jawab untuk sekitar 58% dari kasus
Sindrom kompartemen. Kunci keberhasilan pengobatan sindrom kompartemen akut
adalah diagnosis dini dan dekompresi dari kompartemen yang terkena. Tanda-tanda
klasik (5P) meliputi nyeri, pucat, parasthesia, kelumpuhan, tidak berdenyut. Tanda-tanda
yang harus diketahui adalah nyeri yang tiba-tiba berubah dalam karakter dan intensitas
kerusakan yang tidak proporsional, tidak sesuai dengan stimulus, nyeri mengintensifkan
pada peregangan pasif kompartemen otot, perubahan sensasi, kelemahan otot dan nyeri
tekan pada kompartemen otot.
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa hal seperti penentuan waktu masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju
bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak.


Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, saraf dan pembuluh darah
yang dibungkus oleh tulang dan fasia serta otot-otot yang masing-masing dibungkus oleh
epimisium. Berdasarkan letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa jenis, antara lain:1

1. Anggota gerak atas

a. Lengan atas:

1. Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus ulnar dan nervus median.
2. Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus interosseous posterior.
b. Lengan bawah:

1. Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus ulnar dan nervus median.
2. Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus interosseous posterior.
3. Mobile wad, berisi otot ekstensor carpi radialis longus, otot ekstensor carpi
radialis brevis, otot brachioradialis.
c. Wrist joint:

1. Kompartemen I, berisi otot abduktor pollicis longus dan otot ekstensor pollicis
brevis.
2. Kompartemen II, berisi otot ekstensor carpi radialis brevis, otot ekstensor carpi
radialis longus.
3. Kompartemen III, berisi otot ekstensor pollicis longus.
3

4. Kompartemen IV, berisi otot ekstensor digitorum communis, otot ekstensor


indicis.
5. Kompartemen V, berisi otot ekstensor digiti minimi.
6. Kompartemen VI, berisi otot ekstensor carpi ulnaris.

2. Anggota gerak bawah

a. Tungkai atas : terdapat tiga kompartemen, yaitu: anterior, medial dan


posterior

b. Tungkai bawah (regio cruris):

1. Kompartemen anterior, berisi otot tibialis anterior dan ekstensor ibu jari kaki,
nervus peroneal profunda.
2. Kompartemen lateral, berisi otot peroneus longus dan brevis, nervus peroneal
superfisial.
3. Kompartemen posterior superfisial, berisi otot gastrocnemius dan soleus, nervus
sural.
4. Kompartemen posterior profunda, berisi otot tibialis posterior dan flexor ibu jari kaki,
nervus tibia.

2.2 Sindroma Kompartemen

2.2.1 Definisi
4

Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan


intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang
tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah. Ketika tekanan
intrakompartemen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di dalam
kompartemen akan menjadi iskemik.2

2.2.2 Epidemiologi

Di Amerika, ekstremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak dipelajari
untuk sindroma kompartemen. Dianggap sebagai yang kedua paling sering untuk trauma
sekitar 2-12%. Dari penelitian McQueen (2000), sindroma kompartemen lebih sering
didiagnosa pada pria daripada wanita, tapi hal ini memiliki bias, dimana pria lebih sering
mengalami luka trauma. McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindroma
kompartemen, 69% berhubungan dengan fraktur dan sebagian adalah fraktur tibia. Menurut
Qvarfordt, sekelompok pasien dengan nyeri kaki, 14% pasien dengan sindroma kompartemen
anterior. Sindroma kompartemen ditemukan 1-9% fraktur pada kaki.3,4

2.2.3 Klasifikasi

Sindroma kompartemen dibagi menjadi dua tipe, yaitu :1,2

1. Sindroma Kompartemen Akut.


Sindroma kompartemen akut merupakan suatu tanda kegawatan medis.
Ditandai dengan pembengkakan dan nyeri yang terjadi dengan cepat. Tekanan dalam
kompartemen yang meningkat dengan cepat dapat menyebabkan tekanan pada saraf,
arteri dan vena sehingga tanpa penanganan yang tepat akan terjadi paralisis, iskemik
jaringan bahkan kematian. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut
adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar.
2. Sindroma Kompartemen Kronik.

Sindroma kompartemen kronik bukan merupakan suatu kegawatan medis dan


seringkali dikaitkan dengan nyeri ketika aktivitas olahraga. Ditandai dengan
meningkatnya tekanan kompartemen ketika melakukan aktivitas olahraga saja. Gejala
ini dapat hilang dengan hanya menghentikan aktivitas olahraga tersebut . Penyebab
umum sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas
berulang – ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket, sepak bola dan militer.
5

2.2.4 Etiologi

Ada banyak penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang
kemudian menyebabkan sindroma kompartemen, akan tetapi ada tiga mekanisme yang
seringkali mendasari terjadinya sindroma kompartemen yaitu adanya peningkatan akumulasi
cairan dalam ruang kompartemen, menyempitnya ruang kompartemen dan tekanan dari luar
yang menghambat pengembangan volume kompartemen.3

1. Peningkatan akumulasi cairan dalam ruangan kompartemen.

Merupakan mekanisme yang paling sering menyebabkan sindroma kompartemen. Hal ini
dapat disebabkan oleh hal – hal dibawah ini :

 Fraktur, terutama fraktur tibia merupakan penyebab yang paling sering


menyababkan peningkatan akumulasi cairan dalam ruangan kompartemen.
 Cedera pada pembuluh darah besar, dapat menyebabkan sindroma kompartemen
melalui tiga mekanisme yaitu :
- Perdarahan yang masuk ke dalam ruang kompartmen.
- Sumbatan partial pada pembuluh darah sedang tanpa disertai adanya sirkulasi
kolateral yang adekuat.
- Pembengkakan post iskemia dan sindroma kompartemen terjadi bila perbaikan arteri
dan sirkulasi tertunda terlebih dari enam jam.
 Olahraga berat, dapat menyebabkan sindroma kompartemen akut dan kronik.
Seringkali dihubungkan nyeri pada kompartemen anterior pada tungkai. Bila gejala ini
timbul maka olahraga tersebut harus segera dihentikan.
 Luka bakar, selain dapat menyebabkan penyempitan ruang kompartemen. Luka bakar
juga dapat meningkatkan akumulasi cairn dalam ruang kompartemen dengan
timbulnya edema yang massif. Maka dekompresi melalaui escharotomy harus segera
dilakukan untuk menghindari tamponade kompartemen.

Penyebab lain akumulasi cairan adalah perdarahan akibat pemeberian


antikoagulan, infiltrasi cairan dalam ruang kompartemen, gigitan ular dan lain – lain.3

2. Menyempitnya ruang kompartemen.


6

 Jahitan tertutup pada fascia, seringkali terjadi pada atlit marathon yang memiliki
otot hernia serta kerusakan fascia. Hernia biasanya bilateral dan berkembang pada
sepertiga tungkai bawah pada kompartemen anterior dan lateral. Selama ini
seringkali dilakukan jahitan ketat pada hernia otot yang mengalami kerusakan
fascia. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengurangan volume kompartemen dan
meningkatkan tekanan intra kompartemen sehingga menimbulkan sindroma
kompartemen akut. Oleh karena itu terapi utama pada pelari dengan nyeri pada
tungkai dan hernia otot adalah fascial release bukan fascial closure.
 Luka bakar derajat tiga, luka bakar ini mengurangai ukuran kompartemen dan
menimbulkan jaringan parut pada kulit, jaringan subkutan dan fascia menjadi satu.
Hal ini membutuhkan dekompresi escharotomy segera.3

3. Tekanan dari luar.


 Intoksikasi obat, ketidaksadaran akibat penggunaan obat yang overdosis dapat
memicu tidak hanya multiple sindroma kompartemen akan tetapi sindroma crush
bila orang tersebut berbaring dengan tungkai terjepit. Tertekannya lengan serta
tungkai menghasilkan peningkatan tekanan intra kompartemen lebih dari 50
mmHg.
 Penggunaan gips yang terlalu ketat, hal ini dapat menimbulkan tekanan eksternal
dikarenakan membatasi perkembangan dari kompartemen.3

2.2.5 Patofisiologi

Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan local normal


yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan tekanan darah kapiler, dan
nekrosis jaringan local yang disebabkan oleh hipoksia. Sindrom komparten diawali oleh
beberapa kondisi seperti fraktur, cedera pembuluh darah, exercise yang berlebih, penekanan
area seperti tungkai dalam waktu lama maupun hanya sebuah benturan. Beberapa contoh
keadaan traumatic seperti yang disebutkan diatas menyebabkan terjadinya rupture pembuluh
darah dan edema pada sebuah kompartemen otot yang ditutupi oleh fascia yang kemampuan
meregang nya terbatas atau bahkan tidak dapat meregang sama sekali. Tekanan yang
meningkat pada kompartemen menghasilkan sebuah keadaan tamponade kompartemen.1,5
7

Tamponade yang terjadi akan menyebabkan tersebarnya tekanan ke sekitar area


tamponade, termasuk ke saraf perifer. Tekanan pada saraf perifer akan menimbulkan sebuah
nyeri yang hebat. Selain itu, tamponade juga akan menyebabkan aliran darah dalam kapiler
akan terhenti dan pendistribusian oksigen ke jaringan sekitar akan terganggu, sehingga akan
terjadi kedaan hipoksia. Jika hal ini terus berlangsung, mungkin akan terjadi kerusakan yang
bersifat irreversible.6

Terdapat 3 teori yang menyebabkan hipoksia pada sindrom kompartemen, yaitu

 Spasme akibat peningkatan tekanan

 Theory of critical closing pressure

 Tipis nya dinding vena

2.2.6 Gejala Klinis


8

Gejala klinik pada sinrom kompartemen dikenal dengan 5 P, yaitu :5

1. Pain

Dikarenakan peregangan yang berlebihan ataupun karena desakan pada saraf perifer.

2. Pallor

Akibat perfusi kapiler yang terganggu.

3. Pulselesness

Denyut nadi yang makin lemah bahkan menghilang. Oleh karena adanya desakan dari
tamponade yang terbentuk sehingga fungsi distribusi pembuluh darah menjadi
terganggu.

4. Parestesia

Rasa kesemutan ataupun baal yang terjadi akibat dari terganggu nya saraf perifer oleh
desakan yang ada.

5. Paralisis

Merupakan kelanjutan dari gambaran parestesi. Semakin lama dibiarkan dalam


keadaan terdesak oleh tamponade yang terbentuk, bukan hanya sensasi saraf yang
terganggu, fungsi nya pun akan ikut terganggu

Pada sindrom kompartemen akan timbul beberapa gejala khas, antara lain

 Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutma saat olahraga. Biasanya setelah berlari atau
beraktivitas kuarang lebih 20 menit
 Nyeri bersifat sementara dan akan mereda setelah istirahat.
 Terjadi kelemahan atau atrofi otot

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis kompartemen sindrom didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.6

 Anamnesis
9

o Riwayat trauma

Perlu ditanyakan riwayat trauma, terutama pada daerah daerah tertentu yang
beresiko tinggi untuk sindrom kompartemen seperti tibia dan antebrachii. Laly
ditanyakan penanganan bila memang terdapat trauma, apa di–imobilisasi
dengan segera,apa dibalut terlalu kencang.

o Nyeri

Gambaran yang cukup penting, namun penilaiannya mutlak subjektif.


Tergantung persepsi nyeri masing masing orang.

o Parestesi

 Pemeriksaan fisik

o Inspeksi

Apa terlihat bengkak, apa pasien tampak keakitan hebat

o Palpasi

Apa terdapat nyeri tekan, nyeri raba. Coba diraba apa masih dapat teraba
denyut nadi. Coba periksa sensorik bilamana dicurigai ada sindroma
kompartemen.

 Pemeriksaan penunjang

o Foto rontgent

o Pengukuran tekanan kompartemen

Tekanan kompartemen normal nya adalah 0. Perfusi yang tidak


adekuat dan iskemia relative terjadi ketika tekanan meningkat 10-30 mmHg
dari tekanan diastolic. Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanan
kompartemen sama dengan tekanan diastolic.

Ada 3 teknik pengukuran tekanan kompartemen, yaitu

 Pengukuran langsung dengan teknik injeksi


10

 Teknik wick kateter

 Teknin slit kateter

Indikasi pengukuran tekanan kompartemen dianjurkan pada semua pasien bila


gejala dan tanda tidak ada atau membingungkan dan pada 3 kelompok pasien
khusus, yaitu.3

 Pasien yang tidak kooperatif

 Pasien yang tidak respon

 Pasien dengan cedera neurovascular

2.2.8 Diagnosis Banding

Beberapa hal yang dapat dijadikan diagnosis banding untuk sindrom kompartemen,
antara lain :6

 Cellulitis
 Coelenterate and jellyfish envenomation
 DVT dan thrombophlebitis
 Gas gangrene
 Necrotizing fasciitis
 Cedera vascular perifer
 Rhabdomyolisis

2.2.9 Penatalaksanaan

Tujuan dari tatalaksana sindrom kompartemen adalah mengurangi atau mencegah


deficit neurologis lebih jauh dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah local melalui
bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi terbaik, namun beberapa
hal seperti timing masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa terdapat nya
disfungsi neuromuscular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Waktu adalah
inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan nervus irreversible akan
terjadi 6 jam pasca terjadinya peningkatan tekanan kompartemen. Jika dicurigai terdapatnya
11

hipertensi kompartemen, maka pengukuran tekanan dan dekompresi harus segera


dilakukan.5,7

Penanganan sindrom kompartemen umum meliputi :

 Medikamentosa (non bedah)6

o Tempatkan kaki setinggi jantung. Tujuan nya adalah untuk mempertahankan


ketinggian kompartemen yang minimal. Hindari elevasi karena dapat
memperberat iskemia

o Pada kasus penurunan unuran kompartemen, lepas gips dan pembalut kontriksi

o Koreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah bila diperlukan

o Gunakan manitol atau diuretic lain nya untuk mengurangi tekanan


kompartemen

 Operatif

Indikasi untuk dilakukan terapi operatif pada sindrom kompartemen yaitu


apabila tekanan intrakompartemen >30 mmHg dan memerlukan tindakan yang cepat
dan segera untuk dilakukan fasciotomi. Tujuan dari tindakan tersebut adalah
memperbaiki perfusi otot dan menurunkan tekanan intrakompartemen.

Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu insisi tunggal dan ganda. Insisi
ganda pada tungkai bawah sering digunakan karena lebih aman dan efektif, sedangkan
insisi tunggal memerlukan diseksi yang lebih luas dan juga resiko untuk kerusakan
arteri dan vena lebih besar.7,8

Indikasi untuk melakukan dekompresi antara lain,

 Adanya tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat

 Gambaran klinik yang tidak terlalu jelas atau meragukan, namun pasien
dalam resiko tinggi (koma, masalah psikitrik atau dalam pengaruh
alcohol/obat obatan)
12

Bila terdapat indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena


penundaan operasi akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan
intrakompartemen yang lebih luas. Kerusakan ireversibel terjadi 6 jam pasca
hipertensi intrakompartemen.

Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua


sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa turniket untuk mencegah
episode iskemia lebih lanjut dan agar operator dapat memperkirakan derajat dari
sirkulasi yang masih ada. Setiap hal yang berpotensi membatasi ruang termasuk kulit
dibuka sepanjang daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada
pemeriksaan palpasi pasca operasi. Debridemen otot harus seminimal mungkin
salama operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang nekrosis.

Adapun indikasi untuk melakukan fasciotomi adalah :

1. Ada tanda-tanda klinis dari sindroma kompartemen.


2. Tekanan intrakompartemen melebihi 30 mmHg.

FASCIOTOMI PADA REGIO CRURIS

Ada 3 pendekatan fasciotomi untuk kompartemen regio cruris : fibulektomy,


fasciotomi insisi tunggal perifibular, dan fasciotomi insisi ganda. Fibulektomi adalah
prosedur radikan dan jarang dilakukan, dan jika ada, termasuk indikasi pada sindrom
kompartemen akut. Insisi tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada ektremitas.
Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif.7

Fasciotomi insisi tunggal (davey, Rorabeck, dan Fowler) :

Dibuat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula, sepanjang mulai dari distal caput
fibula sampai 3-4 cm proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian anterior dan
jangan sampai melukai nervus peroneal superficial. Dibuat fasciotomy longitudinal pada
kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit dibuka ke bagian posterior dan dilakukan
fasciotomi kompartemen posterior superficial. Batas antara kompartemen superficial dan
lateral dan interval ini diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula. Otot dan
13

pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang. Kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis
posterior ke fibula dan dilakukan inisisi secara longitudinal.

Fasciotomi insisi ganda (Mubarak dan Hargens) :

Insisi sepanjang 20-25 cm dibuat pada kompartemen anterior, setengah antara fibula
dan caput tibia. Diseksi subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen.
Insisi tranversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal
superficial pada bagian posterior septum. Buka kompartemen anterior kearah proksimal dan
distal pada garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen lateral
ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula.

Insisi kedua dibuat secara longiotudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.


Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi fascia. Vena dan nervus
saphenus ditarik ke anterior. Dibuat insisi tranversal untuk mengidentifikasi septum antara
kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka fascia gastrocsoleus
sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan
seluruh kompartemen posterior profunda. Setelah kompartemen posterior dibuka, identifikasi
kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada kompartemen ini,
segera dibuka.7,8

FASCIOTOMI PADA REGIO ANTEBRACHIUM

Pendekatan volar (Henry)

Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat dilakukan


dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti sampai ke palmar
pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur selama operasi untuk
mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket. Insisi kulit mulai dari medial
ke tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke sisi radial tangan dan diperpanjang
kea rah distal sepenjang brachioradialis, dilanjutkan ke palmar. Kemudian kompartemen
fleksor superficial diinsisi, mulai pada titik 1 atau 2 cm di atas siku kearah bawah sampai di
pergelangan.
14

Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya kemudian


ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis ditarik ke sisi ulnar
yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor pollicis longus, pronatus
quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom kompartemen biasanya melibatkan
kompartemen fleksor profunda, harus dilakukan dekompresi fascia disekitar otot tersebut
untuk memastikan bahwa dekompresi yang adekuat telah dilakukan.

Pendekatan Volar Ulnar

Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan Henry.
Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep, melewati lipat
siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai ke carpal tunnel
sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris diinsisi ke atas sampai ke
aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal. Kemudian dicari batas antara fleksor
carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis. Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat
arteri dan nervus ulnaris, yang harus dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor
profunda kemudian diinsisi.8

Pendekatan Dorsal

Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi,


harus diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik
ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan
fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen dorsal
yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi
lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan. Batas antara ekstensor carpi
radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi kemudian dilakukan
fasciotomi.7,8
15

2.2.10 Komplikasi
 Kegagalan dalam mengurangi tekanan intrakompartemen dapat menyebabkan
nekrosis jaringan, selama perfusi kapiler masih kurang dan menyebabkan hipoksia
pada jaringan tersebut.
 Kontraktur volkmann adalah deformitas pada tungkai dan lengan yang merupakan
kelanjutan dari sindroma kompartemen akut yang tidak mendapat terapi selama lebih
dari beberapa minggu atau bulan.
16

 Infeksi.
 Hipestesia dan nyeri.
 Komplikasi sistemik yang dapat timbul dari sindroma kompartemen meliputi gagal
ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang fatal jika
terjadi sepsis kegagalan organ secara multisistem.

2.2.11 Prognosis

Sindroma kompartemen akut cenderung memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi
otot untuk terjadinya iskemia adalah 4 jam. Kerusakan irreversibel terjadi bila lebih dari 8
jam. Jika diagnosa terlambat, dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi otot.
Walaupun fasciotomi dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami
defisit motorik dan sensorik yang persisten.

BAB III
KESIMPULAN

Sindroma kompartemen adalah suatu kegawatdaruratan medis dibidang ortopedi yang


dapat mengancam anggota tubuh dan jiwa, dan prevalensinya paling sering terjadi pada
tungkai bawah. Penyebab Sindrom kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana
45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah. Gejala
klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5-P yaitu: Pain (nyeri) , Pallor
(pucat), Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi), Parestesia (rasa kesemutan),
Paralysis. Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi
dan dilakukan jika tekanan intra-kompartemen mencapai >30 mmHg. Prognosis ditentukan
oleh trauma penyebab. Diagnosis dan pengobatan yang tepat, umumnya menberikan hasil
yang baik dan diagnosis yang terlambat dapat menyababkan kerusakan saraf yang permanen
serta malfungsi dari otot yang terlibat.
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Marc F Swiontkowski. Compartmental syndromes in Manual of orthopaedics. Ed 5th.


Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2001. p : 20-8.
2. Azar Frederick. Compartment syndrome in Campbell`s operative orthopaedics. Ed
10th. Vol 3. Mosby. USA. 2003. p : 2449-57.
3. Paula Richard. Compartment syndrome, extremity. Available at
http://www.emedicine.com. Accessed on Juny 28th 2014.
4. Rasul Abraham. Compartment syndrome. Available at http://www.emedicine.com.
Accessed on Juny 28th 2014.
5. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and Fracture
9th ed. Bristol, UK. Hodder Arnold An Hachette UK Company; 2010
6. Kalb L Robert. Compartment syndrome evaluation in Procedures for primary care.
Mosby. USA. 2003. p : 1419-29
7. Amendola, Bruce Twaddle. Compartment syndromes in Skeletal trauma basic
science, management, and reconstruction. Vol 1. Ed 3rd. Saunders. 2003. p : 268-92
8. Braver Richard. Surgical pearls : How to test and treat exertional compartment
syndrome. American College of Foot and Ankle Surgeons. May 2002. p : 22-4
18

Anda mungkin juga menyukai