Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Abses Submandibular merupakan salah satu abses leher dalam yang banyak
disebabkan oleh Infeksi Gigi. Abses submandibula adalah suatu peradangan yang
disertai pembentukan pus pada daerah submandibula. Abses submandibula
menempati urutan tertinggi dari seluruh abses leher dalam. 70-85 % kasus yang
disebabkan oleh infeksi gigi merupakan kasus terbanyak, selebihnya disebabkan oleh
limfadenitis, laserasi dinding mulut atau fraktur mandibula. Pada umumnya sumber
infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut,
faring, kelenjar limfe submandibula.
Abses submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang sering
ditemukan. Angka kejadian Abses submandibula berada di bawah abses peritonsil dan
retrofaring. Selain itu, angka kejadian juga ditemukan lebih tinggi pada daerah dengan
fasilitas kesehatan yang kurang lengkap. Pada kasus infeksi leher dalam rentang usia
dari umur 1-81 tahun, laki-laki sebanyak 78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil
paling banyak ditemukan, yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus,
submandibula, sublingual dan submaksila masing-masing 7 kasus dan retrofaring 1
kasus. Kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%)
merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh
Ludwig’s Angina (12,4%), Parotis (7%) dan Retrofaring (5,9%).
Abses submandibula sudah semakin jarang dijumpai. Hal ini disebabkan
penggunaan antibiotik yang luas dan kesehatan mulut yang meningkat. Disamping
insisi drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi yang
adekuat. Walaupun demikian, angka morbiditas dari komplikasi yang timbul akibat
abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang
cepat dan tepat sangat dibutuhkan.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jln. Bambang Ismoyo No. 25, RT 006/ RW 002, Kel. Jawa,
Kec. Singkawang tengah, Kota Singkawang
Agama : Islam
No. RM : 050501
Tanggal Masuk IGD : 7 Februari 2018
Tanggal di rawat : 7 Februari 2018
Tanggal Pemeriksaan : 14 Februari 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Sulit menelan sejak ± 2 hari SMRS
Keluhan Tambahan
 Sulit membuka mulut
 Nafsu makan menurun

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Aziz dengan keluhan sulit menelan sejak ±
2 hari SMRS. Sebelumnya pasien dirawat di RS yang sama selama ± 11 hari dengan
diagnosa abses submandibula. Awalnya pasien sering mengeluhkan sakit gigi yang
hilang timbul dan gigi geraham bawah pasien bolong sejak ± 2 tahun yang lalu.
Kemudian ± 2 hari sebelum masuk RS yang sebelumnya, pasien mengeluhkan pipi
bawah dan sekitar leher sebelah kirinya perlahan membengkak yang disertai rasa
nyeri, demam, sulit membuka mulut, nyeri gusi kiri bawah, nyeri tenggorokan, nyeri
menelan, serta nafsu makan menurun. Pasien kemudian dirawat selama ± 11 hari.
Setelah dipulangkan, pasien mengeluhkan batuk setiap minum atau makan selama ± 2
hari sehingga pasien lemas dan harus dirawat lagi.

2
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien menderita gigi yang berlubang sejak ± 2 bulan yang lalu, yaitu 1 gigi
geraham belakang kiri bawah. Pasien belum pernah mengalami gejala seperti ini
sebelumnya. Riwayat DM tipe 2 yang baru diketahui saat masuk RS sebelumnya.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat di sangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien.

Riwayat Kebiasaan Sosial


Pasien mempunyai kebiasaan mengorek sisa makanan yang tersangkut pada gigi
yang berlubang menggunakan tusuk gigi kayu.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda Vital :
TD : 110/70 mmHg
N : 72 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,70C

Status Generalis

Kepala : Normosefal, Kontribusi rambut merata


Mata : Sklera Ikterik ( -/- ), Konjungtiva Anemis ( -/- )
Mulut : Bibir kering (+), sianosis (-), pucat (-), sulit membuka mulut(+)
Thorax : Simetris, retraksi ( -/-), Massa (-/-), Scar ( -/-)
Jantung : BJ I/II kuat angkat, Murmur (-), Gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Massa (-), Scar( -), BU (+), NTE (-)
Ekstremitas : Deformitas (-) , Oedema (-/-), Akral Hangat (+/+), CRT < 2”

3
Kulit : Scar ( - )

Status Lokalis (THT)

Pemeriksaan Dextra Sinistra


Orofaring
Tonsil Sulit dinilai Sulit dinilai
Kripta Sulit dinilai Sulit dinilai
Detritus Sulit dinilai Sulit dinilai
Perlengketan Sulit dinilai Sulit dinilai
Sikatrik Sulit dinilai Sulit dinilai
Faring
Mukosa Sulit dinilai Sulit dinilai
Granul Sulit dinilai Sulit dinilai
Bulging Sulit dinilai Sulit dinilai
Reflek muntah (+) (+)
Arkus faring Simetris Simetris
Maksilofasial
Simetri Tidak simetris Tidak simetris
Parese n. Kranialis Negatif Negatif
Massa Negatif Negatif
Hematoma Negatif Negatif
Oedem Positif Positif
Leher
Upper juguler Pembesaran Pembesaran
Mid juguler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
Lower juguler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
Sub mandibula Pembesaran Pembesaran
Sub mental Pembesaran Pembesaran
Supra Klavikula Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran

Dorsum nasi : Dalam batas normal


Palatum : Sulit dinilai
Gigi-geligi : Sulit dinilai
Trismus : (+) 2 jari
Nistagmus : (-)
Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium Darah 7 Februari 2018

4
Haemoglobin 11,8 g/dL
Leukosit 19.900/uL
Trombosit 455.000/uL
Hematokrit 35%
Eritrosit 4,18 x 106/uL
Natrium 130,98 mmol/L
Kalium 4,32 mmol/L
Clorida 95,49 mmol/L

Pemeriksaan Esofagografi
Pasien dicoba minum air putih  batuk
X foto polos tidak tampak gambaran soft tissue massa
Pemeriksaan Esofagografi:
Kontras water soluble yang telah diencerkan (1:1) diminumkan. Tampak kontras
mengisi esophagus proksimal, pasien tersedak dan tampak main bronkhus utama
kanan kiri terisi kontras
Kesan:
Kontras dari esofagus masuk ke main bronkhus kanan kiri  aspirasi

Pemeriksaan X-Foto thorax PA


Kesan:
Cor tak membesar
Pulmo: bronkhitis

1.
2.5 Diagnosis Kerja
Disfagia, Abses submandibula sinistra, DM tipe 2

2.6 Penatalaksanaan
Medikamentosa:
Terapi THT
- IVFD Ringer Laktat 500 cc 10 tpm
- Injeksi Cefazoline 1 gr per 12 jam IV

5
- Injeksi Omeprazole 40 mg per 12 jam IV
- Infus Metronidazole 500 mg vial per 8 jam IV
- Infus Parasetamol 1000 mg per 12 jam IV (jika nyeri)
- Pasang NGT
2.7 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Aziz dengan keluhan sulit menelan sejak ±
2 hari SMRS. Sebelumnya pasien dirawat di RS yang sama selama ± 11 hari dengan
diagnosa abses submandibula. Awalnya pasien sering mengeluhkan sakit gigi yang
hilang timbul dan gigi geraham bawah pasien bolong sejak ± 2 bulan yang lalu.
Kemudian ± 2 hari sebelum masuk RS yang sebelumnya, pasien mengeluhkan pipi

6
bawah dan sekitar leher sebelah kirinya perlahan membengkak yang disertai rasa
nyeri, demam, sulit membuka mulut, nyeri gusi kiri bawah, nyeri tenggorokan, nyeri
menelan, serta nafsu makan menurun. Pasien kemudian dirawat selama ± 11 hari.
Setelah dipulangkan, pasien mengeluhkan batuk setiap minum atau makan selama ± 2
hari sehingga pasien lemas dan harus dirawat lagi..
Di laporkan pasien laki-laki berusia 45 tahun dengan diagnosis Abses
Submandibula Sinistra. Pasien datang dengan keluhan nyeri pada leher yang
dirasakan sejak 11 hari SMRS sebelumnya. Nyeri pada gigi yang berlubang dirasakan
pasien 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien sering
mengeluhkan sakit gigi yang hilang timbul dan gigi geraham bawah pasien bolong
sejak ± 2 bulan yang lalu. Kemudian ± 2 hari sebelum masuk RS yang sebelumnya,
pasien mengeluhkan pipi bawah dan sekitar leher sebelah kirinya perlahan
membengkak yang disertai rasa nyeri, demam, sulit membuka mulut, nyeri gusi kiri
bawah, nyeri tenggorokan, nyeri menelan, serta nafsu makan menurun. Pada
pemeriksaan fisik pada regio submandibula sinistra terdapat udem (+), eritema (+),
kalor (+), nyeri tekan (+), Fluktuasi (+) dan tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening.
Penegakan diagnosis Abses Submandibula Sinistra pada pasien ini berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan. Hal
ini sesuai yang dikemukana Smeltzer dan Bare (2001) gejala abses tergantung kepada
lokasi dan pengaruhnya terhadap suatu organ, gejala tersebut yaitu: nyeri, teraba
hangat pada lesi, pembengkakan, kemerahan dan demam. Hal ini sesuia dengan teori
yang dikemukakan Smeltzer dan Bare, pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembengkakan dibawah rahang baik unilateral maupun bilateral dan berfluktuasi.
Adanya pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol ke arah media.
Diagnosis banding pasien ini adalah Angina Ludovici merupakan infeksi ruang
submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan
submandibula. Sumber infeksi berasal dari gigi dan dasar mulut, oleh kuman aerob
dan anaerob. Gejala klinis berupa nyeri tenggorokan dan leher, disertai
pembengkakan di daerah submandibula yang hiperemis dan keras pada perabaan,
dasar mulut yang membengkak dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga
menimbulkan sesak napas .

7
Pada kasus tersebut, pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan
darah lengkap, pada darah ditemukan leukosit 19.900 mm3, ini menunjukkan bahwa
terdapat tanda infeksi (leukositosis) pada pasien.
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula. Abses mandibula menempati urutan tertinggi dari seluruh
abses leher dalam mencapai 70-85% kasus yang disebabkan oleh infeksi gigi ini
merupakan kasus terbanyak selebihnya disebabkan oleh sialandenitis, limfadenitis,
laserasi dinding mulut atau fraktur mandibula. Pada pasien ini abses submandibula
diduga kuat disebabkan oleh dentogenik yaitu infeksi ini terjadi akibat perjalanan dari
infeksi gigi yaitu sakit gigi yang hilang timbul dan gigi geraham bawah pasien
bolong sejak ± 2 bulan yang lalu, ini lah yang juga ikut menjadi faktor terjadinya
abses submandibula yaitu pasien tidak pernah berobat ke dokter gigi dengan baik.
Prinsip pengelolaan abses adalah pemberian antibiotik perenteral dosis tinggi
dan evakuasi abses. Evakuasi abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal untuk abses
yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam
dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi. Antibiotik yang
diberikan pada pasien ini Cefazoline 1 gr/12 jam yang sensitif pada kuman aerob dan
Metronidazole 500 mg/8 jam yang sensitif pada kuman anaerob. Cefazoline
merupakan golongan antibiotik golongan sepalosphorin generasi pertama yang efektif
terhadap gram positif dan gram negatif. Kuman aerob memiliki angka sensitifitas
tinggi terhadap Cefazoline. Metronidazole memiliki sensitifitas yang tinggi terutama
untuk kuman anaerob gram negatif.
Sebagian besar abses leher disebabkan oleh campuran berbagai kuman baik
kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering
ditemukan Staphylococcus, Streptococcus sp, Haemifilus influenza, Streptococcus
pneumonia, Moraxtella cattarrhalis, Klebsiella sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang
sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok basil gram negatif, seperti
Bacteroides, Prevotella dan Fusobacterium. Namun pada pasien belum dilakukan
pemeriksaan patologi sehingga pada hasil mikrobiologi pasien ini belum dapat
disebutkan bakteri penyebabnya.
Prognosis pasien pada kasus ini ad bonam jika pasien mengatasi etiologi dari
abses yaitu merawat gigi geraham dan menjalankan odontektomi pada gigi yang
mengalami kerusakan serta mengikuti nasehat dari tenaga medis.

8
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi

9
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus

organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang

potensial.
Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis
dan fasia servikalis profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh m. plastima yang tipis
dan meluas ke anterior leher. Muskulus platisma sebelah inferior berasal dari fasia
servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian
inferior mandibula.(Gambar 1)

Gambar 2.1 Anatomi Leher

Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke
arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia
servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial,
saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.

Fasia Servikalis P
rofunda terdiri dari 3 lapisan yaitu :

1. Lapisan Superfisial

10
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan
melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m. trapezius,
m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan
eksternal, investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior.

2. Lapisan Media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian
superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat
pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid,
trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian
posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago
tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea
dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian
dari divisi viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m.
konstriktor dan m. buccinator.

3. Lapisan Profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang
berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi
viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian
posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral
meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan
dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari
danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra.
Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis
(carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris
sampai ke toraks.

Fasia Servikalis:

11
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
- Divisi muskular
- Divisi viscera
3. Lapisan profunda :
- Divisi alar
- Divisi prevertebra
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh
midline raphe. Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring
yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung
aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius
dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus
dan ruang viscera posterior.
Ruang potensial leher dibagi menjadi ruang yang melibatkan seluruh leher,
ruang suprahioid dan ruang infrahioid. Ruang yang melibatkan seluruh leher terdiri
dari ruang retrofaring, ruang bahaya (danger space) dan ruang prevertebra.
Prevertebral space dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus
vertebra pada bagian posterior (tepat di belakang danger space). Ruang ini berjalan
sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi leher dalam
ke daerah koksigeus. Danger space dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan
divisi prevertebra pada bagian posterior (tepat di belakang ruang retrofaring).
Ruang suprahioid terdiri dari ruang submandibula, ruang parafaring, ruang
parotis, ruang peritonsil dan ruang temporalis. Ruang infrahioid meliputi bagian
anterior dari leher mulai dari kartilago tiroid sampai superior mediastinum setinggi
vertebra ke empat dekat arkus aorta.

Ruang Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan submental.
Muskulus milohioid memisahkan ruang sublingual dengan ruang submental dan
submaksila. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan anterior,

12
pada bagian inferior oleh m. milohioid, di bagian superior oleh dasar mulut dan lidah,
dan di posterior oleh tulang hioid. Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjer liur
sublingual beserta duktusnya.
Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher dalam dan kulit dagu, di
bagian lateral oleh venter anterior m. digastrikus, di bagian superior oleh m.
milohioid, di bagian inferior oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang
submental terdapat kelenjer limfa submental.

Gambar 2.2 Ruangan leher dalam

Ruang maksila bagian superior dibatasi oleh m. milohioid dan m. hipoglossus.


Batas inferiornya adalah lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Batas
medial adalah m. digastrikus anterior dan batas posterior adalah m. stilohioid dan m.
digastrikus posterior. Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjer liur submaksila
atau submandibula beserta duktusnya. Kelenjar limfa submaksila atau submandibula
beserta duktusnya berjalan ke posterior melalui tepi m. milohioid kemudian masuk ke
ruang sublingual. Akibat infeksi pada ruang ini mudah meluas dari satu ruang ke
ruang lainnya.

II. Definisi
Abses submandibular didefinisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang

13
potensial di regio submandibular yang disertai dengan rasa nyeri tenggorok, demam
dan terbatasnya gerakan membuka mulut. Abses submandibular merupakan bagian
dari abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di ruang potensial diantara fasia
leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik
biasanya berupa nyeri dan pembengkakan diruang leher dalam yang terlibat.

III. Epidemiologi
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan
kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%)
merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh angina
Ludovici (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Sakaguchi dkk, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 91 kasus dari
tahun 1985 sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki sebanyak 78%
dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan, yaitu 72 kasus,
diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan submaksila 7 kasus dan
retrofaring 1 kasus.
Fachruddin, melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991-
Desember 1993 di bagian THT FKUI-RSCM dengan rentang usia 15-35 tahun yang
terdiri dari 20 laki-laki dan 13 perempuan. Ruang potensial yang tersering adalah
submandibula sebanyak 27 kasus, retrofaring 3 kasus dan parafaring 3 kasus.
Di subbagian laring faring FK Unand/RSUP M Djamil Padang selama Januari
2009 sampai April 2010, tercatat kasus abses leher dalam sebanyak 47 kasus, dengan
abses submandibula menempati urutan ke dua dengan 20 kasus dimana abses
peritonsil 22 kasus, abses parafaring 5 kasus dan abses retrofaring 2 kasus.

IV. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjer liur atau kelenjer
limfa submandibula. Sebagian lain dapat merupakan kelanjutan infeksi ruang leher
dalam lainnya.
Sebelum ditemukan antibiotika, penyebab tersering infeksi leher dalam adalah
faring dan tonsil, tetapi sekarang adalah infeksi gigi. Bottin dkk, mendapatkan infeksi
gigi merupakan penyebab yang terbanyak kejadian angina Ludovici (52,2%), diikuti
oleh infeksi submandibula (48,3%), dan parafaring.

14
Sebagian besar kasus infeksi leher dalam disebabkan oleh berbagai kuman, baik
aerob maupun anaerob. Kuman aerob yang paling sering ditemukan adalah
Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Neisseria sp, Klebsiella sp, Haemophillus sp.
Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan kuman anaerob
Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococcus dan yang jarang
adalah kuman Fusobacterium.

V. Patogenesis
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi
anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat
meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke
parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.

15
Gambar 2.3 Infeksi Submandibula

Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu limfatik,
melalui celah antara ruang leher dalam dan trauma tembus.

Gambar 2.4 Patofisiologi Penyebaran Abses Leher

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang terbentuk
dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri, parasit atau
benda asing lainnya. Abses merupakan pus yang terlokalisir akibat adanya infeksi dan
supurasi jaringan. Abses merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan mencegah
agen-agen infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya. Pus itu sendiri merupakan suatu
kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab
infeksi atau benda-benda asing dan racun yang dihasilkan oleh organisme dan sel-sel
darah. Abses bisa terjadi pada semua struktur atau jaringan rongga mulut.
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Abses di ruang submandibula adalah salah satu

16
abses leher dalam yang sering ditemukan. Ruang submandibula terdiri dari ruang
sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid. Ruang submaksila
dibagi lagi menjadi ruang submental dan submaksila (lateral) oleh otot digastrikus
anterior.
Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses
infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. Selain disebabkan oleh infeksi gigi,
infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh sialadenitis kelenjar
submandibula, limfadenitis, trauma, atau pembedahan dan bisa juga sebagai
kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh
kuman aerob, anaerob atau campuran. Infeksi di ruang submandibula biasanya
ditandai dengan pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral dan
atau di bawah lidah yang berfluktuasi, dan sering ditemukan trismus. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa infeksi gigi atau odontogenik merupakan penyebab
terbanyak dari abses leher dalam. Berhubungan dengan ini, ruang submandibula
sering terkena infeksi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya

Gambar 2.5 Penyebaran Infeksi melalui Gigi

Lee dkk melaporkan 83,3% hasil kultur positif untuk kuman aerob dan 31,3%
untuk anaerob pada abses leher dalam. Pada abses leher dalam yang bersumber dari
infeksi gigi, bakteri yang paling sering ditemukan adalah grup Streptococcus milleri
dan bakteri anaerob. Mazita dkk, melaporkan mayoritas hasil kultur tidak ditemukan
pertumbuhan kuman. Di Bagian THT-KL Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang,
periode April sampai Oktober 2010 dari hasil kultur didapatkan 73% spesimen
tumbuh kuman aerob, 27% tidak tumbuh kuman aerob. Pada pemeriksaan ini tidak
dilakukan kultur pada kuman anaerob.

17
VI. Gejala Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi
dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejala tersebut dapat berupa :
- Nyeri
- Teraba hangat
- Pembengkakan
- Kemerahan
- Demam
Pada abses submandibular didapatkan pembengkakan dibawah dagu atau
dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok dan
trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan dapat
berfluktuasi atau tidak.

VII. Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus kadang-
kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan beberapa daerah
leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis. Pada
foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan gambaran
pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di subkutis dan
pendorongan trakea. Pada foto polos toraks, jika sudah terdapat komplikasi dapat
dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga dapat ditemukan gambaran
pneumomediastinum.
Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan abses
leher dalam, maka pemeriksaan tomografi komputer idealnya dilakukan. Tomografi
Komputer (TK) dengan kontras merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher
dalam. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara selulitis dengan abses, menentukan
lokasi dan perluasan abses. Pada gambaran TK dengan kontras akan terlihat abses
berupa daerah hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema
jaringan sekitar. TK dapat menentukan waktu dan perlu tidaknya operasi.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan resonansi
magnetik (Magnetic resonance Imaging/MRI) yang dapat mengetahui lokasi abses,
perluasan dan sumber infeksi. Sedangkan Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan

18
penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih murah dibandingkan TK,
cepat dan dapat menilai lokasi dan perluasan abses.
Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses pada
gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang diduga
sumber infeksinya berasal dari gigi. Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya
peningkatan leukosit yang merupakan tanda infeksi. Analisis gas darah dapat menilai
adanya sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan kultur dan resistensi kuman harus
dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang sesuai.

VIII. Tatalaksana
Penatalaksanaan abses submandibula umumnya adalah dengan evakuasi abses
baik dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum serta dengan
pemberian antibiotik intravena dosis tinggi. Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman
aerob dan anaerob diberikan secara parenteral. Hal yang paling penting adalah
terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase abses yang baik.
Infeksi leher dalam sering disebabkan campuran bakteri (gram positif, gram
negatif, aerob dan anaerob) sehingga diberikan antibiotik kombinasi secara empiris
menunggu hasil kultur keluar. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu seftriakson dan
metronidazole.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotik adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman minimal,
toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid,
tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai mencapai
ruang sublingual, kemudian dipasang salir. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala
dan tanda infeksi reda.

IX. Komplikasi
Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat dan
tidak adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes mellitus,
adanya kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Komplikasi yang berat dapat
menyebabkan kematian.
Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai struktur
neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan n. X. Penjalaran infeksi

19
ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi sarung karotis atau
menyebabkan trombosis vena jugularis interna. Infeksi yang meluas ke tulang dapat
menimbulkan osteomielitis mandibula dan vertebra servikal. Dapat juga terjadi
obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis, dehidrasi dan sepsis.

X. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses retrofaring baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase
awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang
tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna.
Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40 - 50%
walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka
mortalitas 20 – 40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas
60%.

20
BAB V
KESIMPULAN

Tn. S, laki-laki, usia 45 tahun dengan keluhan utama sulit menelan sejak ± 2
hari SMRS, didiagnosa dengan disfagia, abses submandibula sinistra dan DM tipe 2
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Disfagia pada pasien ini merupakan komplikasi dari abses submandibula
sinistra yang telah pasien alami sejak sebelumnya. Penatalaksanaan pada pasien ini
adalah dengan antibiotik kombinasi cefazoline dan metronidazole dosis tinggi secara
intravena, antipiretik dan anti nyeri Pparasetamol secara intravena dan dilakukan
pemasangan NGT sebagai jalur pemberian nutrisi. Prognosis pasien ini dubia ad
bonam jika pasien mengatasi etiologi dari serta mengikuti nasehat dari tenaga medis.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit


Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh dari:
repository.usu.ac.id pada tanggal 12 Februari 2015.

2. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a


transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317,
2009. Diunduh dari: www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 12 Februari
2015

3. Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001,


Volume 2, Number 8. Diunduh dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html
pada tanggal 12 Februari 2015

4. Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections of


the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari:
www.otohns.net pada tanggal 12 Februari 2015
5. Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-
DALAM-Revisi pada tanggal 12 Februari 2015
6. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ,
Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
7. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku
ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit
FK-UI. 2007:p. 185-8
8. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli
2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial
plastic surgery.com pada tanggal 12 Februari 2015
9. Anonim. Diunduh dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Abses pada 16 April 2011

22
10. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007. Diunduh
dari: www.entjournal.com pada tanggal 12 Februari 2015
11. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring.
Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi
VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.
12. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.
13. Porter MJ, Deep Neck Space Infection. Seminar in Otorhinolaryngology. 2005.
Diunduh dari: www.sunzi.lib.hku.hk pada tanggal 12 Februari 2015
14. Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig. Journal
of Oral Pathology & Medicine. 12 Februari 2015
15. Damayanti. Kumpulan Kuliah Stomatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara.
16. Hartmann RW. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family Physician.
July1999; Vol. 60.

23

Anda mungkin juga menyukai