Anda di halaman 1dari 36

BAB II

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipakai oleh peneliti merupakan metode pemetaan

geologi permukaan. Dalam hal ini metode yang digunakan meliputi tahapan

penelitian, alat yang digunakan, cara melaksanakan, pengumpulan data, analisis

data lapangan, analisa studio maupun laboratorium. Analisis laboratorium

meliputi analisis, Stratigrafi, Petrografi, Paleontologi dan analisa studio meliputi

Geomorfologi dan Struktur Geologi yang dijumpai di lapangan maupun data yang

diambil dari lokasi penelitian. Metode - metode penelitian geologi tersebut

dilakukan dengan mengikuti langkah - langkah atau tahapan standar dalam

melakukan penelitian geologi. Adapun tahap - tahap penelitian ini secara lebih

detail ditunjukkan (Gambar 2.1 )

2.1. Tahap Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam suatu skema alur penelitian

yang meliputi Input, Proses dan Hasil (Gambar 2.1). Alur penelitian ini secara

umum di bagi menjadi dua tahap yang terdiri dari tahap Tugas Akhir 1 dan tahap

Tugas Akhir 2.

Tugas Akhir 1 meliputi Input yang terdiri dari pendahuluan (studi pustaka,

penyiapan peta dasar dan perijinan) dan reconnaissance (pengenalan medan dan

mengetahui keadaan singkapan), proses ini juga terdiri dari pengurusan surat izin

ke Pemda Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Blora, kemudian melakukan

digitasi peta, perhitungan morfometri, interpretasi awal daerah penelitian dan

penyusunan proposal laporan Tugas Akhir 1, selanjutnya akan mendapatkan hasil

ANGGA PRADIPTA | 6
berupa peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi interpretasi, peta geologi

interpretasi dan draft laporan proposal Tugas Akhir 1.

Tahapan selanjutnya yaitu Tugas Akhir 2, terdiri dari input berupa

pemetaan rinci (perapatan data lapangan, pengukuran unsur - unsur struktur

geologi dan pengambilan contoh batuan), pekerjaan studio (identifikasi data

geomorfologi, stratigrafi dan data struktur geologi) dan pekerjaan laboratorium

(preparasi fosil, analisa geokimia dan sayatan tipis). Proses dari Tugas Akhir 2 ini

meliputi penelitian mengenai kondisi geologi rinci, sortasi lokasi pengamatan,

analisis geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, sejarah geologi, geologi

lingkungan, pengukuran ketebalan dan perhitungan volume komposisi batuan,

pengelompokan satuan batuan, analisis fosil, geokimia batuan dan petrografi serta

penyusunan laporan Tugas Akhir 2. Setelah melakukan proses - proses tersebut

akan menghasilkan zona kisaran/umur, nama batuan, peta lokasi pengamatan, peta

geomorfologi, peta geologi, peta geologi gunung api dan peta fasies gunung api

beserta draft laporan Tugas Akhir 2. Setelah semua tahap terlaksana, selanjutnya

akan dipresentasikan pada saat kolokium dan sidang pandadaran di hadapan dosen

penguji.

Pelakasanaan penelitian ini juga dapat di bagi menjadi beberapa tahapan,

meliputi tahap persiapan, tahap penelitian lapangan, tahap penelitian studio dan

laboratorium, tahap penyusunan laporan tugas akhir dan terakhir tahap presentasi.

Secara lebih jelas tahapan-tahapan penelitian, dapat dilihat dalam gambar diagram

alir berikut (Gambar 2.1.)

ANGGA PRADIPTA | 7
Gambar 2.1 Diagram alur Pelaksanaan Tugas Akhir (Hartono,1991)

2.1.1 Tahap Persiapan

Tahap persiapan ini merupakan tahap paling awal dalam melakukan

penelitian. Adapun tahap persiapan ini meliputi :

a) Pengajuan lembar peta topografi daerah penelitian yang akan dipetakan.

ANGGA PRADIPTA | 8
b) Pengajuan permohonan pembimbingan dari Ka Prodi Teknik Geologi

Kepada Dosen Pembimbing.

c) Pengurusan Surat Tugas dari Ketua ITNY untuk Dosen Pembimbing.

d) Studi literatur, yang relevan dengan kondisi geologi daerah yang akan

diteliti dengan melakukan pengumpulan buku - buku pedoman dan

mengkaji satu - persatu sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan

yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian

masalah.

e) Penyusunan dan pengajuan Proposal Tugas Akhir kepada Dosen

Pembimbing. Dalam penyusunan proposal ini dilakukan juga interpretasi

peta topografi daerah penelitian dan hasil analisis tersebut merupakan

analisis sementara yang diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui

gambaran umum tentang keadaan geologi daerah penelitian. Adapun

keadaan atau aspek geologi yang ditafsirkan antara lain :

a. Geomorfologi,

b. Stratigrafi,

c. Jenis dan penyebaran satuan batuan,

d. Struktur geologi.

f) Perizinan dalam tahap ini dilakukan untuk mendapatkan ijin dari pihak

terkait dalam melakukan kegiatan penelitian di daerah penelitian.

g) Melakukan persiapan alat - alat geologi dan alat - alat pendukung lainnya

sebelum melakukan penelitian di lapangan untuk memperlancar pekerjaan

lapangan.

ANGGA PRADIPTA | 9
2.1.2. Tahap Studi Pustaka

Tahap ini merupakan tahap mempelajari literatur yang relevan dengan

kondisi geologi daerah yang akan diteliti, baik berupa buku - buku pedoman, peta

regional, jurnal, laporan penelitian maupun publikasi jenis lain. Literatur ini akan

dikaji satu - persatu sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan yang dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian masalah.

2.1.3. Tahap Reconnaissance

Reconnaissance/survei pendahuluan adalah suatu tahapan pekerjaan

penelitian lapangan untuk pengenalan medan dan mengetahui keadaan singkapan

sehingga diperoleh gambaran geologi secara umum di daerah penelitian. Yang

termasuk dalam tahap ini adalah interpretasi peta topografi, melakukan cek

jalan/akses menuju daerah penelitian, cek lokasi yang diperkirakan terdapat

singkapan batuan, jejak struktur, dan hal lain yang bersifat penelitian awal.

2.2 Tahap Skripsi

Tahapan ini meliputi tiga sub tahap yaitu; pemetaan rinci, pekerjaan studio

dan pekerjaan laboratorium, sedangkan tahap akhir berupa penyusunan laporan

tugas akhir dan tahap presntasi. Sub tahapan dijelaskan sebagai berikut:

2.2.1 Tahap Pemetaan Rinci

Tahap pemetaan rinci dibagi ke dalam beberapa bagian, sehingga proses

penelitian dapat berjalan dengan lancar. Tahap ini meliputi perapatan lokasi

pengamatan, pemerian dan pengukuran aspek geologi dan pengambilan sampel

batuan.

ANGGA PRADIPTA | 10
1. Perapatan Lokasi Pengamatan

Perapatan lokasi pengamatan yaitu dengan cara penambahan dari hasil

reconnaissance agar mendapatkan data yang lebih rinci serta terpadu pada daerah

penelitian.

2. Pemerian dan Pengukuran Aspek Geologi

Pemerian dan pengukuran aspek geologi ini dilakukan secara sistematis dan

terukur. Pemerian aspek geologi meliputi ciri fisik batuan kaitannya dengan

morfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi serta geologi

lingkungan. Selanjutnya pengukuran aspek geologi meliputi morfometri,

ketebalan batuan, pengukuran struktur geologi, potensi sumber daya geologi dan

pengukuran cadangannya serta arah gerakan tanah dan luas wilayah dampak

gerakan tanah tersebut.

3. Pengambilan Sampel Batuan

Pengambilan sampel batuan dilakukan secara sistematis dengan cara yang

baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk memperoleh data geologi yang terekam di

dalam batuan dan representatif pada litologi yang ada di lapangan, syarat sampel

yang dapat dianalisis laboratorium yakni :

a) Pengambilan sampel batuan yang segar.

b) Pengambilan sampel batuan harus mewakili dari setiap jenis batuan.

c) Pengambilan sampel batuan harus dengan ukuran besar, minimal bisa untuk

dianalisis di laboratorium (analisis petrografi).

d) Serta pengambilan sampel batuan untuk analisis mikrofosil

ANGGA PRADIPTA | 11
2.2.2 Tahap Pekerjaan Studio

Tahap ini merupakan tahap pengumpulan dan pengolahan data primer

terkait aspek geologi pada daerah penelitian. Tahap ini dibagi ke dalam beberapa

bagian, meliputi identifikasi data geomorfologi, identifikasi data stratigrafi,

identifikasi data struktur geologi dan identifikasi data sejarah geologi serta

identifikasi data geologi lingkungan.

1. Identifikasi Data Geomorfologi

Aspek geomorfologi yang dapat diamati di lapangan adalah aspek morfologi

dan morfogenesa, aspek geomorfologi lainnya seperti morfoarrangement dan

morfokronologi tidak dapat diamati di lapangan. Selanjutnya stadia sungai juga

dapat diperhatikan di lapangan, dan ditambahkan juga data hasil analisis studio

2. Identifikasi Data Stratigrafi

Data stratigrafi yang dapat diamati di lapangan meliputi kedudukan batuan,

pemerian batuan, hubungan batuan dan genesa batuan. Kedudukan batuan terkait

dengan arah jurus dan kemiringan batuan serta arah pelamparan batuan. Pemerian

batuan meliputi warna, tekstur, struktur dan komposisi batuan serta tebal lapisan

batuan. Hubungan batuan terkait dengan hubungan lapisan batuan yang berada di

bawah dengan lapisan batuan yang berada di atasnya, seperti menjari, menerus

dan gradasi. Genesa batuan meliputi kejadian pembentukan batuan dan

lingkungan pengendapan batuan.

3. Identifikasi Data Struktur Geologi

Data struktur geologi yang dapat diamati di lapangan meliputi kekar, lipatan

dan sesar. Kekar secara umum merupakan retakan pada batuan yang relatif tidak

ANGGA PRADIPTA | 12
mengalami pergeseran pada bidang rekahnya, yang disebabkan oleh gejala

tektonik maupun non tektonik. Lipatan dapat diamati di lapangan, jika ditemukan

sumbu lipatannya. Secara umum terdapat dua jenis lipatan yakni antiklin, bentuk

tertutup ke atas dan sinklin, bentuk tertutup kebawah. Selanjutnya sesar yang ada

di lapangan dapat diamati jika ditemukan bidang sesarnya. Secara umum ada tiga

jenis sesar yang dapat diamati di lapangan yakni sesar mendatar, sesar normal dan

sesar naik.

4. Identifikasi Data Sejarah Geologi

Data sejarah geologi tidak dapat langsung secara pasti diidentifikasi di

lapangan, perlu pekerjaan studio dan pekerjaan laboratorium serta data geologi

lainnya untuk menginterpretasikan sejarah geologi di daerah penelitian.

5. Identifikasi Data Geologi Lingkungan

Secara umum ada dua jenis data geologi lingkungan yang harus di identifikasi

di lapangan, yakni sesumber geologi dan bencana geologi. Pada pekerjaan studio

dilakukan dengan menganalisa data yang telah didapat baik data primer maupun

data sekunder. Analisis studio meliputi analisis data geomorfologi, analisis data

stratigrafi dan analisis data struktur geologi, selanjutnya dari data tersebut

digunakan untuk menginterpretasikan kondisi geologi pada daerah penelitian

mengacu pada konsep dari para peneliti terdahulu yang merupakan konsep-konsep

dasar dalam ilmu geologi dan telah banyak diakui maupun disepakati oleh

kalangan ahli geologi.

ANGGA PRADIPTA | 13
1. Aspek Geomorfologi

Morfologi merupakan hasil interaksi antara proses endogen dan eksogen

(Thornbury, 1969). Proses endogen merupakan proses yang bersifat konstruktif,

yaitu berupa pengangkatan, pelipatan, dan pematahan. Sedangkan proses eksogen

merupakan proses yang bersifat destruktif, yaitu berupa pelapukan, pelarutan, dan

erosional. Berdasarkan analisis geomorfologi, maka dapat diketahui bagaimana

proses-proses yang membentuk bentang alam masa kini. Analisis geomorfologi

ini akan membahas mengenai aspek-aspek tersebut di atas dengan berdasarkan

analisis pada analisis peta topografi, analisis pola aliran sungai, dan pengamatan

langsung kondisi di lapangan seperti tingkat erosional, litologi, dan struktur

geologi.

Pembagian satuan geomorfologi dilakukan dengan 2 metode yaitu satuan

geomorfologi morfometri dan satuan geomorfologi morfogenesa. Satuan

geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan satuan geomorfologi

yang didasarkan pada kemiringan lereng dan beda tinggi (Tabel 2.1) menurut van

Zuidam - Cancelado (1979). Pembagian morfogenesa didasarkan pada faktor

pengontrol utama proses geologi, hal tersebut mengacu pada klasifikasi van

Zuidam (1983) membagi satuan geomorfologi menjadi 8 satuan (Tabel 2.2), setiap

satuan dicantumkan kode huruf, untuk sub satuan dengan penambahan angka di

belakang.

Tabel 2.1 Klasifikasi hubungan antara relief dan beda tinggi


(van Zuidam-Cancelado, 1979).
slope
rel.height diff.
no relief unit steepness
(M)
(%)

ANGGA PRADIPTA | 14
1 flat or almost flat topography 0–2 <5

2 undulating / gently sloping topography 3–7 5 – 50

3 undulating-rolling / sloping topography 8 – 13 25 – 75

4 rolling-hilly / moderately steep topography 14 – 20 50 – 200

5 hilly-steeply dissected / steep topography 21 – 55 200 – 500

Steeply dissected – mountainous / very steep


6 56 – 140 500 – 1000
topography

7 Mountainous / extreamely steep topography > 140 > 1000

Tabel 2.2 Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem


pewarnaan (van Zuidam, 1983).
No Genesa Pewarnaan
1 Denudasional (D) Coklat
2 Struktural (S) Ungu
3 Vulkanik (V) Merah
4 Fluvial (F) Biru tua
5 Laut (M) Hijau
6 Karst (K) Jingga
7 Es (G) Biru muda
8 Angin (E) Kuning

Tabel 2.3. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal Fluvial (Van Zuidam,
1983)

Kode Unit Karakteristik Umum

Hampir datar, topografi teratur dengan garis


batas permukaan air yang bervariasi
F1 Rivers beds
mengalami erosi dan bagian yang
terakumulasi.

F2 Lakes Tubuh air.

F3 Flood plains Hampir datar, topografi tidak teratur, banjir


musiman.

ANGGA PRADIPTA | 15
Topografi dengan lereng landai,
Fluvial levees, alluvial ridges
berhubungan erat dengan peninggian dasar
F4 and point bar
oleh akumulasi fluvial.

Topografi landai-hampir landai (swamps,


F5 Swamps, fluvial basin
tree vegetation)

Topografi dengan lereng hampir datar-


F6 Fluvial terraces
landai, tersayat lemah-menengah.

Lereng landai-curam menengah, biasanya


F7 Active alluvial fans banjir dan berhubungan dengan peninggian
dasar oleh akumulasi fluvial.

Lereng landai-curam menengah, biasanya


F7 Active alluvial fans banjir dan berhubungan dengan peninggian
dasar oleh akumulasi fluvial.

Lereng curam-landai menengah, jarang


F8 Inactive alluvial fans banjir dan pada umumnya tersayat lemah-
menengah.

Topografi datar tidak teratur lemah, oleh


F9 Fluvial-deltaic karena banjir dan peninggian dasar oleh
fluvial, dan pengaruh marine.

Topografi hampir datar,teratur,jarang


Fluvia-deltaic backswarmps
F10 banjir,lumpur dari fluvial pengaruh
and basins
lacustrine dan marine.

Topografi datar,pengunungan atau topografi


F11 Delta Shores
teratur atau jarang banjir.

Tabel 2.4 Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal


denudasional (van Zuidam, 1983).
Code Unit General Characteristic

Denudational slopes Gentle to moderately steep slopes / undulating


D1
and hills to rolling topography.

Moderately steep to steep slopes / rolling to


Denudational slopes hilly topography. Moderately to severely
D2 and hills dissected.

D3 Denudational hills Steeply to very steeply sloping hilly to


and mountains mountainous topography. Moderately to

ANGGA PRADIPTA | 16
severely dissected.

Steeply to very steeply sloping hilly to


D4 Residual hills / mountainous topography. Moderately to
inselbergs severely dissected.

Nearly flat, undulating to rolling topography.


D5 Peneplains Slightly dissected.

Upwarped peneplains / Nearly flat, undulating to rolling topography.


D6
plateaus Slightly to moderately dissected.

Relatively short, nearly horizontal to gentle


D7 Footslopes slopes. Nearly flat, undulating topography. Not
or slightly dissected.

Gently to moderately steeply sloping undulating


to rolling topography at the feet of hilly and
D8 Piedmonts mountainous upland zone. Moderately
dissected.

Steep to very steep slopes. Moderately to


D9 Scraps severely dissected.

Gentle to steep slopes. Slightly to moderately


D10 Scree slopes and fans dissected.

Irregular, moderately to steeply sloping rolling


Area with severe mass
D11 to hilly topography. Moderately dissected.
movements
(slides, slump, and flows).

Steeply to very steeply sloping topography.


D12 Badlands Severely dissected. (knife-edged,round crested
and castellite typyes).

Tabel 2.5 Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal


struktural (van Zuidam, 1983).
Code Unit General Characteristic
Undulating to rolling
topography with
drainage system Gentle to moderately sloping. Moderately
S1
predominantly related dissected.
to joint, fault or
schistosity

ANGGA PRADIPTA | 17
Undulating to rolling
ridge and basin
topography with Gentle to moderately steeply sloping
S2 drainage system topography with linear pattern.
predominantly related
to outcropping bedded
rocks
Rolling to hily,
topography with
drainage systems Moderatelly steeply to very steeply sloping
S3 predominantly topography with linear pattern. Moderately to
related to joint, fault severely dissected.
or schistosity
patterns
Hilly to mountainous
ridge and basin
Moderately steeply to very steelpy sloping
topography with
S4 drainage system topography with linear pattern. Moderately to
predominantly related severely dissected
to outcropping bedded
rocks
Flat to undulating topography, near horizontal
S5 Mesas/structurally to gently sloping on the plateau and steeply
controlled plateaus sloping in the scarp zones.

Gently sloping back slopes and steeply sloping


S6 Cuestas front slopes. Slightly to moderately dissected.

Moderately to steeply sloping ridges.


S7 Hogback and flatirons Moderately dissected.

Structural Gently to moderately steep slopes. Slightly to


S8 denudational moderately disected.
terraces
Synclinal and anticlinal Moderately to steeply sloping ridges.
S9 ridges, noses and Moderately dissected.
flexure zones
Moderately to steeply sloping hills. Moderately
S10 Domes/residual hills dissected.

Moderately to very steeply sloping ridges.


S11 Dikes
Moderately dissected.

ANGGA PRADIPTA | 18
Fault scarps and fault
Moderately to very steeply sloping slopes.
S12 line
Moderately to severely dissected.
scarps/escarpments

Gentle to moderately steep slopes/undulating to


S13 Graben depressions
rolling topography. Slightly dissected

Moderately steep slopes/undulating to hilly


S14 Horst uplands
topography. Slightly to moderately dissected

Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan

klasifikasi Howard 1967, dalam Thornbury, 1969 (Tabel 2.5). Pola pengaliran

(drainage pattern) merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang merupakan

hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu

pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969)

Tabel 2.6 Jenis pola aliran dasar (Howard, 1967, dalam Thornbury, 1969).
Pola Aliran Dasar Karakteristik
Pola aliran ini berbentuk seperti cabang-cabang
pohon, dimana cabang-cabang sungai tersebut
berhubungan dengan induk sungai membentuk
sudut-sudut yang runcing. Pada umumnya terdapat
pada batuan yang homogen dengan sedikit atau
tanpa adanya pengendalian oleh struktur.
Contohnya pada batuan beku atau lapisan
horisontal.

Pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar,


mengalir pada daerah kemiringan lereng sedang
sampai curam, dapat pula pada daerah dengan
morfologi yang paralel dan memanjang. Pola aliran
ini mempunyai kecenderungan untuk berkembang
ke arah pola dendritic ataupun trellis. Contohnya
pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.

ANGGA PRADIPTA | 19
Pola aliran ini menyerupai bentuk tangga, dimana
cabang-cabang sungai membentuk sudut siku-siku
dengan sungai utama, mencirikan daerah lipatan
dan kekar.

Pola aliran ini dibentuk oleh percabangan sungai-


sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih
banyak dikontrol oleh faktor kekar dan sesar.

Pola aliran ini dicirikan oleh suatu jaringan yang


memancar keluar dari satu titik pusat, pada
umumnya mencirikan suatu kubah atau daerah
gunungapi.

Pola aliran ini berbentuk melingkar mengikuti


batuan lunak suatu kubah yang tererosi pada bagian
puncaknya atau struktur basin atau juga suatu
intrusi stock.

Pola aliran ini terbentuk oleh banyaknya cekungan-


cekungan kecil dan biasanya dapat mencirikan
daerah topografi kars.

ANGGA PRADIPTA | 20
Tabel 2.7 Jenis pola aliran ubahan (Howard, 1967, dalam Thornbury, 1969).
Pola Aliran Ubahan Karakteristik

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik yang sudah mulai berkembang
proses-proses struktur.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada batuan bertekstur halus dengan material
yang mudah tererosi.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada lingkungan floodplains, deltaic, dan tidal
marshes.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada lingkungan alluvial fans dan deltaic.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada morfologi dengan kemiringan menengah.

ANGGA PRADIPTA | 21
Pola aliran ini relatif sejajar berbentuk
kelurusan aliran yang muncul dan tenggelam
pada pematang pasir.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran trellis, pada umumnya berkembang pada
morfologi homoklin.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran trellis, pada umumnya berkembang pada
daerah penunjaman lipatan.

Dalam menentukan stadia geomorfologi suatu daerah pada suatu daerah,

maka sangat penting untuk memperhatikan berbagai aspek seperti proses

pelarutan, denudasional, stadia sungai yang telah terbentuk dan beberapa aspek

penunjang lainnya. Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui

proses – proses geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut. Proses

tersebut bisa berupa proses endogen (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme) dan

proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian dikontrol

oleh litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi.

Perkembangan stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh

morfologi suatu daerah yang telah berubah dari morfologi aslinya. Tingkat

kedewasaan daerah atau stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat bentang

alam dan kondisi sungai yang terdapat di daerah tersebut. Penentuan stadia daerah

ANGGA PRADIPTA | 22
dilakukan untuk mengetahui proses-proses geologi yang telah berlangsung dan

sedang berlangsung pada daerah tersebut. Proses tersebut dapat berupa proses

endogen (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme) dan proses eksogen (erosi,

pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian dikontrol oleh litologi, struktur

geologi, dan proses geomorfologi. Pengelompokan stadia daerah ini sebagai data

yang digunakan untuk membantu peneliti dalam mengintepretasi lebih jauh

terhadap aspek-aspek geologi yang ada di daerah penelitian. Menurut Lobeck

(1939), stadia suatu daerah dapat dibagi menjadi empat dan masing-masing

mempunyai ciri tersendiri (Gambar 2.2), yaitu stadia muda, stadia dewasa, stadia

tua serta rejuvenation.

Gambar 2.2 Stadia daerah (Lobeck, 1939).

ANGGA PRADIPTA | 23
Menurut Thornbury (1969) tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga

stadia. Ketiga stadia tersebut meliputi stadia muda, stadia dewasa dan stadia tua,

untuk karakteristik stadia dapat dilihat pada (Tabel 2.7).

Tabel 2.8 Tingkat stadia sungai menurut (Thornbury, 1969).


Karakteristik
Stadia Muda 1. Anak sungai dan parit dalam jumlah banyak
mengalir dan masuk ke dalam sistem lembah.
2. Ada beberapa badan sungai konsekuen, tetapi
merupakan anak sungai utama.
3. Lembah akan mempunyai profil berbentuk “V”,
agak dalam atau sangat dalam, tergantung
ketinggian regional di atas muka air laut.
4. Umumnya tidak memiliki dataran banjir dan
batas antar sungai susah untuk dipisahkan.
5. Danau dan rawa mungkin ada pada bekas sungai
musiman yang kering, jika ketinggian air sungai
tidak terlalu tinggi dibandingkan batas ketinggian
air tanah.
6. Kemungkinan muncul air terjun, biasanya pada
litologi yang resisten. Hal ini merupakan ciri khas
pada stadia muda.
1. Lembah semakin luas, sehingga sungai secara
regional mempunyai sistem aliran sungai sendiri.
2. Beberapa litologi pada dasar dan tebing sungai
Stadia Dewasa mungkin muncul akibat erosi oleh arus sungai.
3. Batas penyebaran sungai jelas dan cabang sungai
tidak terlalu banyak.
4. Semua danau dan air terjun yang muncul pada
stadia muda akan hilang.
5. Dataran banjir terbentuk sepanjang sungai utama
dan bahkan akan membentuk lantai lembah.
6. Kelokan sungai muncul intensif, bedanya dengan
stadia muda, pada stadia muda agak jarang.
7. Luas dataran lembah tidak lebih besar dibanding
luas dari sabuk kelokan sungai.
8. Relief atau topografi tertinggi kemungkinan akan
muncul pada stadia ini.

ANGGA PRADIPTA | 24
1. Anak sungai banyak bermunculan dibandingkan
Stadia Tua dengan stadia dewasa.
2. Lembah sungai landai dan dataran serta lembah
sungai lebih luas dibandingkan kelokan sungai.
3. Sungai musiman sudah tidak terlihat dan batas
antar sungai tidak sejelas pada stadia dewasa.
4. Danau dan rawa mungkin muncul namun tidak
sama jenisnya seperti pada stadia muda.

2. Aspek Stratigrafi

Dalam pengerjaan peta geologi penulis menggunakan metode

pengelompokan satuan batuan yang ada di daerah penelitian berdasarkan pada

penyebaran batuan tersebut dari hasil pemetaan geologi dengan melihat kesamaan

ciri fisik litologi yang dominan, kombinasi jenis batuan, dan gejala-gejala lain

yang dapat diamati secara langsung di lapangan dan mengacu paada geologi

regional daerah penelitian menurut (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992). Metode

pengelompokan satuan batuan penulis mengacu pada litostratigrafi tidak resmi

yaitu penamaan satuan batuan berdasarkan pada litologi yang dominan pada

penyusun satuan batuan tersebut dan diikuti formasinya.

Penarikan batas satuan batuan dilakukan dengan cara interpolasi dan

ekstrapolasi. Interpolasi adalah metode penarikan batas satuan berdasarkan

kuantitas lokasi pengamatan yang didapatkan di lapangan. Hal tersebut

memperhatikan keadaan dan karakteristik singkapan yang dijumpai di lapangan

dengan mempertimbangkan logika dan konsep geologi yang diaplikasikan di

lapangan.

ANGGA PRADIPTA | 25
Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai

stratigrafi, yaitu :

a. Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)

Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif

lebih tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum

mengalami deformasi. Konsep ini untuk perlapisan berurutan (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Pemodelan dari hukum superposisi, diilustrasikan


berdasarkan (Steno, 1669 dalam Treman, 2014)

b. Prinsip Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity)

Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral dan

hanya membaji pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu terbentuk, tapi

lapisan tersebut di pisahkan oleh lembah atau ada bidang yang tererosi

Gambar 2.4 Pemodelan hukum kesinambungan lateral (Steno, 1669


dalam Treman, 2014)

ANGGA PRADIPTA | 26
c. Prinsip Original Horizontality  

Lapisan-lapisan sedimen awalnya diendapkan mendekati horisontal dan pada

dasarnya sejajar dengan bidang permukaan dimana lapisan sedimen tersebut

diendapkan. Susunan lapisan yang kedudukannya tidak horisontal berarti telah

mengalami proses geologi lain setelah pengendapannya, misalnya dipengaruhi

oleh gaya tektonik (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Pemodelan hukum original horizontality (Steno, 1669


dalam Treman, 2014)

d. Hukum “V” oleh Ragan (1973),

Hukum ini menyatakan hubungan antara lapisan yang mempunyai

kemiringan dengan relief topografi yang menghasilkan suatu pola singkapan.

Morfologi yang berbeda akan memberikan pola singkapan yang berbeda

meskipun dalam lapisan dengan tebal dan dip yang sama. Hukum V digunakan

untuk mengetahui pola penyebaran dari singkapan sehingga memudahkan untuk

mendeterminasi kearah mana kira-kira singkapan berlanjut. Jika lapisan batuan

mempunyai kemiringan 0o-5o, maka akan memberikan gambaran arah penyebaran

batuan yang mengikuti garis kontur dan jika lapisan batuan tersebut memiliki

kemiringan yang lebih besar dari 60o-90o, maka akan memberikan gambaran

ANGGA PRADIPTA | 27
penyebaran batuan yang tegak lurus dan membelah lereng. Hukum tersebut

sebagai berikut :

Tabel 2.9 Ekspresi hukum “V” hubungan kedudukan perlapisan batuan


dengan morfologi (Lisle, 2004).
Ekspresi Hukum “V” Keterangan
Lapisan dengan kemiringan yang
berlawanan arah dengan arah slope akan
membentuk pola singkapan berbentuk
huruf “V” yang memotong lembah
dimana pola penyebaran singkapannya
berlawanan dengan arah slope.

Lapisan horizontal akan membentuk pola


penyebaran singkapan yang mengikuti
pola garis kontur.

Lapisan dengan kemiringan yang searah


dengan arah slope, dimana besar
kemiringan lapisan batuan lebih kecil
daripada slope, maka pola penyebaran
singkapannya akan membentuk huruf
“V” yang berlawanan dengan arah slope.

Lapisan dengan kemiringan yang searah


dengan arah slope, dimana besarnya
kemiringan lapisan batuan sama dengan
besarnya slope, maka pola penyebaran
singkapannya akan terpisah oleh lembah.

Lapisan dengan kemiringan yang searah


dengan arah slope, dimana kemiringan
lapisan batuan lebih besar daripada slope,
maka pola penyebaran singkapannya
akan membentuk huruf “V” yang
mengarah sama dengan arah slope

ANGGA PRADIPTA | 28
Lapisan tegak akan membentuk pola
penyebaran singkapan berupa garis lurus,
dimana pola penyebaran singkapannya
tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi

6. Aspek Struktur Geologi

Dalam mempelajari dan menentukan struktur geologi yang berkembang di

daerah penelitian dan mencoba menerangkan proses dan mekanisme struktur

geologi yaitu kekar, lipatan, dan sesar digunakan konsep struktur yang umumnya

digunakan oleh para ahli geologi. Struktur geologi daerah penelitian ditentukan

berdasarkan pengamatan unsur-unsur struktur geologi dan hasil analisis dari data-

data pengukuran di lapangan. Dalam mempelajari struktur yang berkembang pada

daerah penelitian dilakukan pendekatan dengan model struktur yang dikemukakan

oleh Moody dan Hill, 1976 (Gambar 2.6). Konsep tersebut menerangkan

mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat adanya gaya kompresi yang

disebabkan oleh tektonik. Akibat dari gaya tersebut akan diikuti beberapa orde

yang menerangkan mekanisme pembentukannya, yaitu prediksi struktur yang

terbentuk dan arah gaya yang terjadi.

Gambar 2.6 Model Struktur Geologi (Moody dan Hill, 1976).

ANGGA PRADIPTA | 29
Kekar (joint) adalah struktur rekahan dalam batuan yang belum mengalami

pergeseran, merupakan hal yang umum bila terdapat pada batuan dan bisa

terbentuk pada setiap waktu. Dalam proses deformasi, kekar bisa terjadi pada saat

mendekati proses akhir atau bersamaan dengan terbentuknya struktur lain, seperti

sesar atau lipatan. Selain itu kekar bisa terbentuk sebagai struktur penyerta dari

struktur sesar maupun lipatan yang diakibatkan oleh tektonik.

Pemodelan dan analisis kekar menggunakan pendekatan klasifikasi

Billings (1974) yang menerangkan mengenai struktur geologi pada batuan sebagai

akibat adanya gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik (Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings,1974).

Dalam analisa sesar menggunakan data kekar pada daerah penelitian,

peneliti menggunakan analisa stereonet, jenis sesar pada analisa menggunakan

pendekatan klasifikasi (Rickard, 1972)

ANGGA PRADIPTA | 30
Gambar 2.8 Diagram klasifikasi sesar (Rickard, 1972).

Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami

pergeseran melalui bidang rekahannya. Selain itu, adapun klasifikasi sesar yang

berdasarkan pergerakan blok sesar menurut Twiss dan Moores (2007) (Gambar

2.9) dan dapat dibagi menjadi beberapa kelas sebagai berikut :

1. Sesar mendatar (strike slip fault) adalah pergerakan antar blok yang sejajar

jurus bidang dan biasanya terbentuk akibat gaya kompresi. Sesar mendatar ini

dibagi menjadi sesar mendatar mengkanan (right-handed strike-slip fault) dan

sesar mendatar mengkiri (left-handed strike-slip fault).

2. Dip-slip fault adalah pergeseran sesar searah dip. Berdasarkan besar dari

kemiringan bidang sesarnya maka dip-slip fault dibagi menjadi normal-slip

fault atau sesar turun dimana HW relatif turun terhadap FW dengan dip > 45o,

low-angle normal slip fault dimana HW relatif turun terhadap FW dengan dip

< 45o dan biasanya kedua jenis sesar tersebut terbentuk akibat gaya tarikan

(tension), reverse-slip fault dimana HW relatif naik terhadap FW dengan dip

ANGGA PRADIPTA | 31
> 45o, thrust-slip fault dimana HW relatif naik terhadap FW dengan dip < 45 o

atau sekitar 30o.

3. Oblique-slip fault adalah pergerakan antara strike-slip fault dan dip-slip fault

dengan besarnya rake berkisar antara > 10o - < 80o

Strike-slip
fault

Gambar 2.9 Pergerakan relatif blok-blok sesar (Twiss dan Moores, 2007).

Lipatan dijumpai dalam berbagai bentuk geometri (fold style) dan ukuran.

Variasi geometri lipatan terutama tergantung pada sifat dan keragaman bahan

serta asal kejadian mekanik pada saat terjadinya proses perlipatan. Rekonstruksi

lipatan dilakukan berdasarkan data pengukuran kedudukan perlapisan batuan di

lapangan dan penggambarannya menggunakan metode busur, yaitu metode yang

berdasarkan pada anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu

lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu-sumbu kemiringan

yang berdekatan. Selain itu, unsur-unsur lipatan yang dapat ditunjukkan pada

suatu penampang lipatan adalah sebagai berikut :

1. Hinge point adalah titik maksimum pelengkungan pada lapisan yang terlipat.

2. Crest adalah titik tertinggi pada pelengkungan.

3. Trough adalah titik terendah pada pelengkungan.

4. Inflection point adalah titik batas dari dua pelengkungan yang berlawanan.

ANGGA PRADIPTA | 32
5. Fold axis (sumbu lipatan/hinge line) adalah garis maksimum pelengkungan

pada suatu permukaan bidang yang terlipat.

6. Axial plane (bidang sumbu) adalah bidang yang dibentuk melalui garis-garis

sumbu pada suatu lipatan. Bidang ini tidak selalu berupa bidang lurus

(planar), tetapi dapat melengkung yang umum disebut sebagai axial surface.

Selanjutnya, secara umum lipatan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

antiklin, merupakan lipatan yang dicirikan dengan bentuk yang tertutup ke atas

(antiform) dengan bagian lapisan batuan tertua yang paling dekat dengan sumbu

lipatan, sedangkan sinklin, merupakan lipatan yang dicirikan dengan bentuk yang

tertutup ke bawah (synform) dengan bagian lapisan batuan termuda yang paling

dekat dengan sumbu lipatan. Untuk analisis penentuan jenis lipatan dapat

menggunakan klasifikasi Fleuty (1964), dalam Fossen (2016) berdasarkan hinge

surface dan hinge line nya (Gambar 2.10).

ANGGA PRADIPTA | 33
Gamabar 2.10 Klasifikasi (Fleuty, 1964 dalam Fossen, 2016) berdasarkan hinge
surface dan hinge line.
Rekontruksi lipatan dilakukan berdasarkan hasil pengukuran kedudukan

lapisan dari lapangan , atau pembuatan penampang dari peta geologi. Metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode busur lingkaran. Dasar dari

metode ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu

lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu –sumbu kemiringan

yang berdekatan . Rekontruksi lipatan bisa dilakukan dengan menghubungkan

busur lingkaran secara langsung apabila data yang ada hanya kemiringan dan

batas lapisan hanya setempat.

Gambar 2.11. Pembuatan busur lingkaran (Busk,1929 dalam Groshong, 2006).

Apabila batas-batas lapisan dijumpai berulang pada lintasan yang akan


direkonstruksi, maka pembuatan busur lingkaran dilakukan dengan interpolasi.

ANGGA PRADIPTA | 34
Gambar 2.12. Interpolasi antara dua dip terukur pada lapisan yang sama
(Busk,1929 dalam Groshong, 2006)
2.2.3 Tahap Pekerjaan Laboratorium

Terdapat dua tahapan pekerjaan laboratorium, yaitu analisis paleontologi

untuk memperoleh data umur relatif batuan dan lingkungan pengendapan serta

analisis petrologi dan petrografi untuk menentukan penamaan batuan.

1. Analisis Fosil

Pada kegiatan analisis fosil ini menggunakan metode preparasi mikrofosil.

Preparasi adalah proses pemisahan mikrofosil dari batuan dan material pengotor

lainnya. Setiap jenis mikrofosil memerlukan metode preparasi tertentu. Proses ini

umumnya bertujuan untuk memisahkan mikrofosil yang terdapat dalam batuan

dari material lempung yang menyelimutinya. Polusi, terkontaminasi, dan

kesalahan dalam prosedur maupun kekeliruan pada pemberian label disetiap

sampel preparasi harus tetap menjadi perhatian agar mendapatkan hasil yang baik.

Selanjutnya, hasil analisis mikrofosil ini akan digunakan untuk

menentukan umur relatif satuan batuan dan untuk menentukan lingkungan

pengendapan. Dalam penentuan umur relatif satuan batuan digunakan pembagian

zonasi kisaran umur menurut (Blow, 1969) dan untuk penentuan lingkungan

pengendapan menggunakan pembagian zonasi batimetri menurut (Tipsword,

1966). Sehingga, dapat diketahui umur relatif dari suatu satuan batuan dalam

rentang waktu tertentu dan lingkungan dimana batuan tersebut terendapkan atau

terbentuk.

2. Analisis Petrografi

ANGGA PRADIPTA | 35
Dasar penamaan batuan dalam litostratigrafi tidak resmi di daerah penelitian

secara petrologi didasarkan pada aspek identifikasi jenis dan karakter litologi

dengan melihat ciri-ciri megaskopis menggunakan beberapa klasifikasi yang telah

dibuat oleh peneliti sebelumnya. Klasifikasi perlapisan batuan (McKee dan Weir,

1953; Ingham, 1954; dalam Boggs, 2009), yaitu pembagian perlapisan batuan

yang berdasarkan pada ketebalannya (Gambar 2.13) dan klasifikasi ukuran butir

sedimen klastika oleh Wenthworth (1922) yang telah disederhanakan (Tabel 2.9).

Dalam penamaan batuan klastik karbonat, digunakan klasifikasi (Grabau, 1904)

yang dapat dilihat pada (Tabel 2.10), yaitu penamaan batuan klastik karbonat

berdasarkan ukuran butir. Sedangkan untuk penamaan batuan karbonat non-

klastik, digunakan klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapan

oleh (Embry & Klovan, 1972) dapat dilihat pada (Gambar 2.14).

Metode dalam analisis petrografi dilakukan berdasarkan pengamatan

sayatan tipis batuan menggunakan mikroskop polarisator dengan tujuan untuk

mendapatkan data komposisi mineral, dan ciri fisik batuan secara mikroskopis.

Data tersebut sebisa mungkin dapat mewakili masing-masing satuan batuan yang

ada pada daerah penelitian. Dalam melakukan analisis petrografi ini menggunakan

klasifikasi batupasir, yang mana pada klasifikasi ini digunakan berdasarkan

presentasi mineral kuarsa, feldspar dan presentasi mineral litik batuan (Rock

fragment) (Pettijohn, 1975), dapat dilihat pada (Gambar 2.15). Sedangkan untuk

penamaan pencampuran batuan silisiklastik dan karbonat menggunakan klasifikasi

(Mount, 1985), yang mana mengunakan Sand (kuarsa, feldspar yang berukuran

pasir), Mud campuran silt dan clay, allochem butiran karbonat (peloid, ooid,

ANGGA PRADIPTA | 36
bioklas yang berukuran >20 µm), dan limpur karbonat atau mikrite (berukuran

<20 µm), dapat dilihat pada (Gambar 2.13).

Gambar 2.13 Klasifikasi ketebalan perlapisan batuan menurut McKee dan Weir
(1953) dalam Boggs (2009).

Tabel 2.10 Klasifikasi ukuran butir sedimen klastika menurut


Wentworth (1922)

ANGGA PRADIPTA | 37
Tabel 2.11 Klasifikasi batuan karbonat (Grabau , 1904).

Nama Batuan Pengertian

Batugamping yang ukuran butirnya > pasir


Kalsirudit
(> 2 mm)

Batugamping yang ukuran butirnya = pasir


Kalkarenit
(1/16 - 2 mm)

Batugamping yang ukuran butirnya < pasir


Kalsilutit
(< 1/16 mm)

Kalsipulverite Batugamping hasil presipitasi kimiawi

Batugamping hasil dari pertumbuhan


Batugamping
organisme secara insitu
organik

ANGGA PRADIPTA | 38
Tab
el 2.14 Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan teksur pengendapan dalam
(Embry & Klovan 1972).

ANGGA PRADIPTA | 39
Gambar 2.15 klasifikasi pencampuran silisiklastik dengan karbonat (Mount, 1985)

Gambar 2.16. Klasifikasi batupasir (Pettijohn, 1975)

ANGGA PRADIPTA | 40
2.3 Tahap Checking Lapangan

Checking merupakan kegiatan meninjau lapangan yang dilakukan oleh

peneliti bersama dengan dosen pembimbing yang memiliki tujuan untuk

mengecek hasil kerja lapangan yang telah dilakukan oleh peneliti.

2.4 Tahap Penyusunan Naskah

Meliputi penulisan naskah akhir dan pembuatan peta geologi, peta

geomorfologi dan peta lokasi pengamatan. Peneliti dalam penulisan naskah skripsi

ini berusaha untuk mematuhi dan mengikuti kaidah penulisan ilmiah yang berlaku

secara umum. Output dari tahapan ini adalah laporan resmi atau laporan skripsi,

peta geologi, peta geomorfologi dan peta lokasi pengamatan.

2.5 Tahap Ujian Skripsi

Tahap akhir dari seluruh rangkaian kegiatan penelitian. Pada tahap ini

laporan yang telah disusun dalam bentuk laporan skripsi kemudian

dipresentasikan dihadapan dosen pembimbing dan penguji untuk

mempertanggungjawabkan hasil penelitian yang telah dilakukan.

ANGGA PRADIPTA | 41

Anda mungkin juga menyukai