Ada sebuah rumah tingkat di ujung jalan kabupaten. Rumah itu bersih, lantai
tegel dan tiang dipenuhi ukiran etnik membuatnya terlihat mewah di antara rumah-
rumah kampung berdinding kayu. Halamannya terawat di berbagai sisi, kelopak
bunga mencuat sumringah menembus bagian depan pagarnya.
Rumah itu milik Mbah Ijan. Dukun, istilah orang-orang di kampung sini
menyebut pekerjaan si nenek. Momok yang ditakuti, namun disegani sepenuh hati.
Orang yang cukup religius akan sebisa mungkin menghindar rumah Mbah Ijan,
sementara yang lain ngebet menghampiri.
Mungkin terinspirasi dari bangunan kantor minimalis di kota, lantai atas
rumah Mbah Ijan dirombak mirip kantor, terdiri dari ruang tunggu dilengkapi
dengan resepsionis serta ruang kerja yang cukup luas. Ruang tunggu itu sendiri
dilengkapi dengan kursi untuk para kliennya dengan AC yang mengoarkan angin
sepoi, yang mana merupakan barang mewah di desa ini. Jumlah klien si dukun
memang tidak main-main.
Dengan keponakannya yang berjaga di bangku resepsionis, Mbah Ijan cukup
duduk anteng di ‘kantor pribadi’nya, kamar bercahayakan lampu temaram
berukuran empat kali tiga meter. Atmosfir yang berbau klenik pun dimulai; segala
peralatan perdukunan tersebar di depan ‘altar’ kecil di hadapannya; bakaran
kemenyan, keris kecil, air kembang dalam mangkuk kayu. Kadang ada berbagai
hewan kecil, tergantung ritual perdukunan apa yang dilakukannya. Bisa juga benda-
benda lain seperti patung kayu mungil berbentuk manusia. Bau bakaran kemenyan
dan dupa selalu menguar, mengepung ruangan itu.
Kontras dengan rasa modern yang ingin dilihat dari luar, aura kelabu berpedar
di sekeliling ruangan itu, menimbulkan rasa menggigil yang tanpa isyarat merambat
tengkuk.
***
Ingatanku terlontar ke siang ketika aku diajak Pak Suan datang ke rumah
Mbah Ijan.
1
“Toro, malam besok kamu ada acara?” Pertanyaan Pak Suan menyapa aku
yang sedang kalut karena ayam aduanku kalah untuk ke tiga kalinya kemarin.
“Tidak, Pak. Kenapa?”
“Kau mau tahu alat yang bisa bikin jagoku ini selalu menang?” Pak Suan
terkekeh, menepuk-nepuk punggung ayam kesayangannya girang. Si Jago, ayam
jagoan Pak Suan, bersuara pelan. Mungkin protes sayapnya ditepuk Pak Suan.
Pak Suan, kawan sekantorku yang tinggal tidak jauh messku, sering
mengikutkan si Jago sabung ayam dan menjadi jawara. Apalagi dalam setahun ini
beliau sudah memugar rumahnya dan membeli motor baru.
“Jadi, apa rahasianya?”
“Ayo kita ke rumah Mbah Ijan malam besok.”
Aku terdiam. Aku bukanlah manusia agamis. Namun, upaya untuk
bersenggolan dengan hal mistis membuat nalarku agak gusar.
“Malas kalau harus main dengan hal-hal begitu, Pak .”
“Ayolah, Toro. Tak irikah kau melihat ayamku terus-terusan menang?” suara
Pak Suan, terdengar merayu semanis madu
“Tapi, Pak… Ngeri saya main yang begituan.”
“Aku tahu kondisi keuanganmu sudah makin seret. Kemarin kudengar, kau
sudah ditagih sama Bu Adam. Sudah dua bulan kau belum bayar kas bon di
warungnya kan? Belum lagi kemarin kau pinjam uang ke aku karena tagihan kredit
motormu nunggak.”
Aku merenung, teringat perkataan emak di telepon dua bulan lalu. Bapakmu
masuk rumah sakit, ginjalnya sudah tidak bagus sebelah kata dokter, harus operasi,
suara emak terdengar begitu risau. Sebagai anak pertama, tentulah aku ingin
membantu. Namun aku tahu, kirimanku kemarin masih jauh dari kata cukup.
Bahkan sudah membuatku terlilit hutang. Keadaanku yang berkerja di daerah
terpencil juga semakin menyulitkanku mencari uang tambahan.
“Baiklah, Pak.”
Pak Suan memukul punggungku. Puas sekali dia nampaknya. “Besok
kujemput kau jam delapan!”
***
2
Malam itu, Pak Suan memboncengiku menuju rumah Mbah Ijan. Kami
membawa seekor ayam serta sekilo pakan ayam yang biasa aku berikan ke ayamku.
Itu saja sudah cukup untuk malam ini.
Langkah kakiku masih terasa berat ketika kami memarkirkan motor di
halaman rumah Mbah Ijan. Yang membuatku bertahan hanyalah iming-iming
lunasnya hutang kali ini.
Kami jalan menuju tangga di samping rumah yang langsung membawa kami
menuju lantai dua rumah Mbah Ijan. Ada tiga orang yang duduk terpekur di bangku
yang disusun di tengah ruangan. Rosma, yang merupakan keponakan Mbah Ijan,
tersenyum memandang kami dari sebuah meja di depan sebuah pintu.
“Sudah janjian sama Mbah Ijan kemarin,” sahut Pak Suan.
“Tunggu setelah bapak yang pakai baju biru itu ya Pak,” balas Rosma.
Kuikuti Pak Suan mengambil bangku yang kosong. Dari tiga orang yang ada
di ruang tunggu itu, hanya satu yang aku kenal. Mungkin benar kata kawan-
kawanku bahwa Mbah Ijan cukup terkenal.
Hatiku sudah makin gusar menunggu ketika kami sudah menunggu hampir
sejam. Ketika orang berbaju biru akhirnya keluar dari pintu, Rosma
mempersilahkan kami masuk.
Mbah Ijan menyambut kami dengan pandangannya yang tajam dari balik
‘altar’nya.
“Selamat malam, Mbah. Ini kawan yang saya bilang kemarin di telepon,”
sahut Pak Suan membuka pembicaraan.
“Silahkan duduk.”
Pak Suan memberiku kode untuk duduk bertelut di depan altar Mbah Suan.
Takut-takut, aku melirik si dukun.
Pandangan Mbah Ijan yang terbentur dengan mataku terasa menusuk. Aku
mematung, kebingungan menunggu si dukun melihatku, menyelidik.
“Jadi?” sahut Mbah Ijan akhirnya.
“Begini, Mbah. Kawan saya juga mau ikutan menang sabung ayam. Ini Mbah,
saya bawa sesajen ayam, apa cukup?”
“Kalau cuma untuk menang, ini cukup. Kamu juga bawa pakan ayamnya
kan?” Pak Suan mengangguk, menyerahkan semua bawaan ke tangan Mbah Ijan.
3
Si dukun mengambil ayam tersebut. Diambilnya keris dari atas meja. Ayam di
tangannya bergerak panik, sayapnya terkibas, meronta-ronta tak keruan.
“Tahan badannya,” perintah si dukun padaku. Aku pun mematuhinya. Mbah
Ijan mulai mengayunkan kerisnya.
Sret! Keris itu tanpa ampun menebas leher si ayam, badannya menggelepar-
gelepar sejenak sebelum tenang tak berkutik. Darahnya mengucur, tumpah ke
dalam mangkuk kecil yang sebelumnya ada di ujung meja.
Aku hanya terdiam dalam situasi tenang yang mencekam ini.
Mbah Ijan melanjutkan ritualnya. Didekatkannya mangkuk darah ayam
tersebut ke bibirnya, mulutnya terdengar komat kamit dalam bahasa yang terdengar
memburu di telingaku. Setelah selesai merapal, darah ayam dicampur ke dalam
pakan.
“Ini cukup.” Mbah Ijan menyodorkan pakan tersebut ke tanganku. “Beri
pakan ini ke ayam jagoanmu, berikan seperti biasa kau memberinya makan.”
Setelah menyodorkan pakan itu, Mbah Ijan berseru pelan. “Tiga ratus ribu.”
Astaga.
***
Jangan ditanya apakah pakan yang berisi jampi-jampi Mbah Ijan manjur.
Ayam jagoku seperti menggila ketika memakannya, Kuberi segenggam, habis
sekejap mata. Aksinya di arena sabung pun bagai kesurupan. Yah, kalau memang
ada ayam kesurupan. Tak sekalipun serangannya kendor. Dihajarnya ayam lawan
sampai menggelepar tewas.
Jawara baru, kata penjudi sabung ayam yang lain.
Ayam jawara berarti uang mengalir ke kantongku. Deras tanpa jeda. Kubayar
semua hutangku, kontan tak tersisa. Kakiku rasanya lebih lapang tanpa kekangan
hutang.
Namun panggilan dari emak membuatku gundah kembali. Dana kemarin
memang belum cukup untuk biaya operasi. Aku tahu emak tidak ingin memberati
aku, tapi selain ke anaknya, kemana lagi emak bisa mengeluh?
4
Pakan yang kuberikan ke ayamku sudah hampir habis. Akupun berinisiatif
mengajak Pak Suan kembali ke rumah Mbah Ijan. Segan rasanya kembali kesana
sendiri.
Malam itu, ketika aku sudah menyiapkan seekor ayam dan pakan seperti
kemarin, Pak Suan menggelengkan kepalanya dan berkata, “Ayamnya saja yang
dibawa.”
***
Sesampai di sana, kami kembali lagi dibawa ke kamar yang sama. Namun
kali ini, yang ada di atas meja tersebut terdapat beberapa barang tambahan. Sebakul
kembang aneka rupa, sirih, pinang, dan entah apa lagi. Tersembul boneka kayu
berbentuk manusia di sebelah keris. Aura di dalam kamar itu bukan lagi sekedar
membangkitkan bulu kuduk, namun menekan batin.
Ada apa ini?
“Duduklah.” Kali ini senyum Mbah Ijan kelihatan lebih mistis dimataku.
Tangannya terangkat, meminta ayam yang ada di tanganku. Ritual yang sama
terjadi lagi.
Namun, jika sebelumnya si dukun menaburkan darah ke atas pakan, kali ini
tangannya terjulur padaku. “Apa, Mbah?”
“Mana tanganmu?”
Aku mulai ragu, “Buat apa, Mbah?”
Mbah Ijan memicingkan matanya, lalu melirik Pak Suan.
“Lakukan saja seperti yang mbah suruh. Biar makin tokcer ayam jagomu
nanti,” jawab Pak Suan di belakangku.
Ragu-ragu, kuletakkan tanganku di atas tangan Mbah Ijan. Dengan sigap
Mbah Ijan menusuk jari tengahku dengan ujung keris, menempelkan darah yang
mengalir ke patung kayu, kemudian menenggelamkannya di mangkuk berisi
kembang aneka rupa Bersama dengan darah ayam. Air kembang yang bening
berlahan berpedar menjadi merah.
Rasanya waktu berhenti bergulir di antara lantunan mantra Mbah Ijan yang
mengalun setelahnya. Hatiku berdetak, menanti akhirnya.
5
Rapalan si dukun terhenti. “Sudah. Pulanglah.”
“Berapa Mbah?”
Dalam keheranan aku pulang. Mbah Ijan tidak sepeserpun menarik biaya
dariku.
****
6
Pandanganku tenggelam dalam hitam pekat.
***
Pak Suan memandangi motor Toro yang menabrak dinding tebing yang
membatasi jalan curam yang biasa mereka lewati setiap pulang pergi ke kantor. Dia
hanya terdiam melihat tubuh Toro melambung tinggi, membentur aspal, kemudian
bergeming, seperti tidak ada sakit yang mendera tubuhnya.
Di sekeliling Toro, dilihatnya ada bayangan hitam mencengkram tak mau
pergi.
Senyuman tersungging di bibirnya. Setidaknya dia tidak perlu mencari tumbal
dalam waktu dekat ini.