Anda di halaman 1dari 4

COVID-19 dan Kebijakan Publik

Oleh:
I Made Bram Sarjana

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah menimbulkan dampak


yang dahsyat terhadap kehidupan manusia. Selain mengakibatkan jatuhnya ratusan
ribu korban jiwa, pandemi COVID-19 juga menyebabkan kelesuan perekonomian
global. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) hingga 29 Juni 2020,
COVID-19 telah menjangkiti 216 negara dengan jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak
9.962.193 dan meninggal 498.723. Di Indonesia berdasarkan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19 hingga 29 Juni 2020 jumlah kasus positif tercatat
sebanyak 55.092, sembuh 23.800 dan meninggal 2.805. Pada saat yang sama,
jumlah kasus positif COVID-19 di Bali telah mencapai 1.444 orang.

Dari sisi ekonomi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi
pers tanggal 16 Juni 2020 menjelaskan prospek perekonomian Indonesia dan dunia
yang mengalami penurunan amat drastis sebagai dampak pandemi COVID-19.
Berdasarkan data Bank Dunia, perekonomian global pada tahun 2019 tumbuh 2,9%
namun akibat COVID-19 pada tahun 2020 diperkirakan akan turun drastis menjadi
negatif 3,0%. Potret yang sama juga terjadi terhadap perekonomian Indonesia, yang
pada kuartal pertama tahun 2020 tumbuh 3%, namun pada kuartal kedua tahun 2020
diperkirakan tumbuh negatif 3,1%.

Terdapat sejumlah faktor resiko yang akan mempengaruhi kinerja ekonomi


pada kuartal ketiga yaitu apabila terjadi gelombang kedua COVID-19, ketegangan
politik internasional seperti antara AS dan China, termasuk peningkatan suhu politik
domestik dan kerusuhan sosial di AS akibat isu rasisme. Pertumbuhan ekonomi
tahunan yang positif diestimasi baru akan terjadi pada tahun 2021 mendatang.

Negara-negara lain juga mengalami kondisi yang sama, seperti Amerika


Serikat yang pada kuartal pertama tumbuh 0,2% namun pada kuartal kedua merosot
tajam menjadi negatif 9,7%. Berbeda halnya dengan Tiongkok, yang pada kuartal
pertama tumbuh negatif 6,8% selanjutnya pada kuartal kedua diperkirakan tumbuh
1,2%. Bali pada kuartal pertama tahun 2020 berdasarkan data BPS tercatat
mengalami pertumbuhan negatif 1,14% dan menurut Bank Indonesia pada kuartal

1
kedua diperkirakan akan tumbuh negatif antara 9,5 %– 9,1%. Perkembangan
selanjutnya pada kuartal ketiga tahun 2020 baik di tingkat global, nasional dan Bali
nampaknya akan mengarah pada situasi yang kurang menguntungkan (resesi),
apabila perekonomian tidak segera bergerak menuju arah yang positif.

Pola pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut dipengaruhi oleh


kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah masing-masing dalam menghadapi
pandemi COVID-19 khususnya pada aspek pengetatan dan pelonggaran aktivitas
ekonomi. Pola ini misalnya dapat dilihat pada Tiongkok. Penyebaran virus corona
yang telah terjadi sejak Desember 2019 membuat Tiongkok menempuh kebijakan
lockdown di Wuhan. Kebijakan ketat ini nampaknya berkorelasi dengan pertumbuhan
ekonomi yang negatif pada kuartal pertama tahun 2020. Seiring dengan kemampuan
Tiongkok mengatasi COVID-19, maka pelonggaran aktivitas ekonomi telah dilakukan
sehingga berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi yang positif pada kuartal kedua.

Bercermin dari data tersebut terdapat pelajaran yang dapat dipetik para
pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakannya mengatasi permasalahan akibat
COVID-19. Yang pertama adalah bahwa pandemi COVID-19 tergolong wicked
problem, yaitu permasalahan dengan tingkat kompleksitas yang amat tinggi, belum
diketahui solusi yang pasti. Hingga saat ini belum diketahui bagaimana virus ini
muncul dan obat apa yang efektif untuk menyembuhkan pasien COVID-19. Para
peneliti di seluruh dunia tengah bekerja keras untuk dapat menemukan vaksin COVID-
19 dan obatnya. Hal yang sejauh ini diketahui tentang COVID-19 adalah bahwa
penularannya melalui medium air liur (droplet), penyebaran berlangsung amat cepat
dan orang yang telah terinfeksi tidak selalu menunjukkan gejala. Kedua, COVID-19
telah membuat seluruh negara di dunia mengalami kesulitan sosial ekonomi. Para
pembuat kebijakan dihadapkan pada dilema antara pengetatan dan pelonggaran
aktivitas ekonomi karena masing-masing pilihan akan menimbulkan resiko yang
serius. Di satu sisi pengetatan diperlukan untuk mencegah meluasnya penyebaran
COVID-19, namun di sisi lain pelonggaran juga diperlukan agar perekonomian dapat
bergerak dan masyarakat tidak terjerumus ke dalam jurang kemiskinan.

Bali jelas mengalami situasi ini yang amat berat dan dilematis tersebut. Dengan
industri pariwisata sebagai mesin penggerak ekonomi, pengetatan aktivitas
masyarakat termasuk pariwisata telah menimbulkan stagnasi pada sektor pariwisata

2
yang berpengaruh pada kelesuan sektor ekonomi lainnya. Ketika pada fase awal
dampak langsung dirasakan oleh pekerja pariwisata, pada perkembangan berikutnya
pekerja pada sektor lainnya, termasuk petani pun turut merasakan kelesuan ekonomi
Bali. Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya serapan industri pariwisata terhadap
produk-produk pertanian serta turunnya daya beli masyarakat. Distribusi logistik
barang-barang dari luar Bali juga dapat turut terganggu menyusul kebijakan
penghentian pembiayaan rapid test terhadap pengemudi angkutan barang dari luar
Bali sejak tanggal 18 Juni 2020. Ketika para pengusaha barang bersedia melakukan
rapid test secara mandiri kepada para pengemudinya, hal ini akan berimplikasi pada
peningkatan biaya operasional, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
harga barang-barang tersebut. Dengan kondisi demikian langkah-langkah kebijakan
bagaimana yang perlu menjadi perhatian para pembuat kebijakan dalam menghadapi
pandemi COVID-19?

Sepanjang kasus penularan baru harian dalam jumlah besar masih tetap
terjadi, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk memutuskan dilakukannya
pelonggaran untuk menggerakkan perekonomian. Di tingkat elit, Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19 di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang
dipimpin langsung oleh para kepala daerah perlu berkolaborasi semakin intensif
dalam mensinergikan kebijakannya masing-masing untuk membendung penyebaran
COVID-19. Pengawasan dan edukasi kepada masyarakat untuk melaksanakan
protokol kesehatan harus semakin diperkuat. Informasi, data dan analisanya
(evidence based policy) harus menjadi pedoman dalam memutuskan dilakukan
kebijakan pengetatan atau pelonggaran. Apabila data menunjukkan bahwa diperlukan
langkah yang lebih progresif untuk menekan penularan, misalnya melalui karantina
pada wilayah tertentu, maka diperlukan keberanian untuk melakukan langkah yang
tegas dan efektif. Tentu saja segala aspek yang menyertainya sudah harus
dipersiapkan dengan matang sebelum kebijakan tersebut ditempuh. Di tingkat akar
rumput, segala agenda kebijakan pemerintah harus pula dipahami dengan baik agar
mendapatkan dukungan penuh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

Selanjutnya adalah pengelolaan anggaran sebagai salah satu instrumen


kebijakan dalam menangani COVID-19. Di tengah-tengah keterbatasan fiskal,
kebijakan APBD tahun 2020 mesti tetap berfokus pada upaya pemulihan kesehatan
masyarakat dan pemulihan perekonomian daerah, baik pendapatan pemerintah

3
daerah maupun masyarakat. Keterbatasan fiskal akan sangat membatasi ruang
belanja daerah, sehingga seharusnya tidak ada kebijakan yang tidak terkait langsung
dengan penanganan COVID-19. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak
mengingat dalam waktu dekat akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak pada 9 Desember 2020. Telah menjadi kelaziman bahwa menjelang pilkada,
para calon petahana umumnya menempuh kebijakan anggaran yang populis untuk
meraih dukungan. Integritas dan kepemimpinan efektif dalam menghadapi krisis
kesehatan dan sosial ekonomi akibat COVID-19 sebenarnya sudah menjadi modal
kampanye yang amat memadai bagi para calon petahana yang berkeinginan untuk
berkompetisi kembali dalam pilkada serentak nanti.

Pandemi COVID-19 telah mengubah kehidupan kita dan seharusnya juga


memberikan banyak pelajaran baru. Agar dapat segera pulih dari krisis akibat COVID-
19, kebijakan publik tidak dapat lagi ditempuh melalui pendekatan sebagaimana
biasanya (business as usual) yang lebih cenderung pada kalkulasi politis daripada
teknokratis. Menghadapi wicked problem seperti COVID-19, kebijakan publik sudah
seharusnya turut diperkuat dengan pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence
based policy) dan kepemimpinan yang efektif. Kebijakan publik tentu saja merupakan
sebuah proses politik, namun dengan dukungan metode ilmiah dan kepemimpinan
yang efektif, maka kebijakan publik akan semakin memperoleh legitimasinya di mata
publik.

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Penelitian dan Pengembangan


Kabupaten Badung

Anda mungkin juga menyukai