Anda di halaman 1dari 49

LAMPIRAN:

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : 55 TAHUN 2012
TANGGAL : 23 Mei 2012

STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI


JANGKA PANJANG TAHUN 2012-2025
DAN JANGKA MENENGAH TAHUN 2012-2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Sekilas Stranas PPK


Pemberantasan korupsi telah menjadi salah satu fokus utama
Pemerintah Indonesia pasca reformasi. Berbagai upaya telah ditempuh,
baik untuk mencegah maupun memberantas tindak pidana korupsi
(tipikor) secara serentak oleh pemegang kekuasaan eksekutif (melalui
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), legislatif, dan yudikatif.
Upaya-upaya itu mulai membuahkan hasil: itikad pemberantasan
korupsi terdorong ke seluruh Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya keuangan/aset negara yang terselamatkan pada
setiap tahunnya dalam pencegahan dan penuntasan kasus korupsi.
Sejumlah instansi pelaksana dan pendukung pemberantasan korupsipun
terbentuk, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Presiden juga telah menerbitkan sejumlah instruksi dan arahan
untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK), misalnya Instruksi
Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
- 2 -

Korupsi. Melalui Inpres ini, Presiden mengamanatkan berbagai langkah


strategis, diantaranya berupa Rencana Aksi Nasional (RAN)
Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009. Dokumen yang
dimaklumatkan sebagai acuan bagi para pihak di Pemerintahan Pusat dan
Daerah dalam memberantas korupsi ini menekankan pada upaya-upaya
pencegahan dan penindakan, selain juga sebagai pedoman bagi
pelaksanaan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.
Di tingkat kebijakan pemerintah, berlangsung dinamika menarik.
Pada satu sisi, terjadi pembentukan dan konsolidasi kelembagaan;
sementara di sisi lain, masyarakat makin sadar dan kritis akan
pentingnya pemberantasan korupsi. Hal ini bukan saja telah diakomodasi
dalam RAN Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009, sejumlah Daerah
bahkan sudah mengembangkan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan
Korupsi secara swakarsa. Pantaslah kiranya jika ada daerah yang
memelopori inovasi kebijakan yang terbukti mampu mencegah praktik
korupsi di birokrasi pemerintahan.
Pemberantasan korupsi di Indonesia telah menarik perhatian dunia
internasional. Indonesia, melalui Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2006,
telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti korupsi, UNCAC) 2003. Pada tahun
2011, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang dikaji oleh
Negara Peserta lainnya di dalam skema UNCAC. Upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia diperbandingkan dengan klausul-klausul di dalam
UNCAC melalui kajian analisis kesenjangan (gap analysis study). Hasil
kajiannya menunjukkan bahwa, sejumlah penyesuaian perlu segera
dilakukan untuk memenuhi klausul-klausul di dalam UNCAC, terkhusus
bidang kriminalisasi dan peraturan perundang-undangan.
Tak kurang, Transparency International (TI) pun setiap tahunnya
menjajak pendapat masyarakat Indonesia mengenai eksistensi korupsi,
- 3 -

terutama menyangkut kegiatan komersial, dengan mengukur Indeks


Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. IPK Indonesia saat ini, kendati
mengalami peningkatan terbesar di Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN) hingga tahun 2011, masih terbilang rendah: 3,0 dari nilai
maksimal 10. Pada tahun 2014, ditargetkan sejumlah peningkatan yang
terukur, antara lain pemerintah menargetkan 5,0 untuk IPK, serta
penyelesaian 100 persen rekomendasi hasil review pelaksanaan Bab III
dan Bab IV UNCAC sebagai alat ukur keberhasilan pemberantasan
korupsinya. Bahkan dalam jangka panjang akan disusun suatu Sistem
Integritas Nasional untuk melengkapi ukuran keberhasilannya.
Demi menjawab target 2014 itu, maka pada bulan Mei 2011,
Presiden memaklumatkan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 diteruskan dengan
Inpres No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Tahun 2012, yaitu pada bulan Desember 2011. Melaluinya,
Presiden menginstruksikan pelaksanaan berbagai rencana aksi yang
terinci dengan fokus utama pencegahan korupsi pada lembaga penegak
hukum. Aksinya berupa peningkatan akuntabilitas, keterbukaan
informasi, kapasitas dan pembinaan sumber daya manusia, serta
koordinasi antar lembaga. Inpres No. 9 Tahun 2011 dan Inpres No. 17
Tahun 2011 diharapkan menjadi bagian pertama dan kedua dari
rangkaian Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi (RAN-PPK) yang akan diselenggarakan tahunan.
Pelaksanaan berbagai dokumen nasional pemberantasan korupsi ini
tentu menuai tantangan. Salah satunya, pelaksanaannya oleh
Kementerian/Lembaga (K/L) maupun Daerah terasa berjalan sendiri-
sendiri, belum sinergis, sehingga capaiannya belum maksimal dalam
mendorong pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, hadirnya Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun
- 4 -

2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 (Stranas PPK) yang


komprehensif menjadi urgen, terutama sebagai acuan atau kompas bagi
segenap pemangku kepentingan dalam bergerak ke arah yang sama.
Stranas PPK diharapkan dapat melanjutkan, mengonsolidasi, dan
menyempurnakan apapun upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi
agar berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan,
keberlangsungan pembangunan, serta terkonsolidasikannya demokrasi.
Stranas PPK juga penting untuk mengarahkan langkah-langkah
pemberantasan korupsi agar ditempuh secara lebih bertahap-
berkesinambungan, baik dalam jangka pendek (tahunan), menengah
(hingga tahun 2014), maupun panjang (hingga tahun 2025). Dalam
hubungannya dengan dokumen nasional yang telah ada, Stranas PPK
akan ditempatkan sebagai acuan oleh para pihak dalam menyusun RAN-
PPK pada setiap tahunnya. Instansi terkait (K/L dan Pemda) dapat
merujuk pula pada Stranas PPK ini dan memakai peranti yang telah
disediakan di dalam Stranas PPK untuk melaksanakan upaya-upayanya
dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Penyusunan Stranas PPK ditempuh melalui konsultasi publik dan
diskusi kelompok terfokus. Di dalamnya dilibatkan secara aktif pelbagai
pemangku kepentingan, dari elemen pemerintah hingga masyarakat
madani. Di samping untuk menguatkan rasa memiliki (ownership) pada
program termaksud, upaya semacam ini penting untuk memungkinkan
terselenggaranya aksi PPK menuju arah yang telah disepakati bersama
dengan hasil semaksimal mungkin.

1.2. Visi dan Misi


Visi Stranas PPK terjejak dalam dua jangka waktu:
a. Visi Jangka Panjang (2012-2025): “Terwujudnya kehidupan
bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya
yang berintegritas.”
- 5 -

b. Visi Jangka Menengah (2012-2014): “Terwujudnya tata


kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung
kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang
berintegritas.”
Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap
tiga pilar PPK, yakni di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat
madani, dan dunia usaha. Dalam rangka mewujudkan Visi, dirumuskan
serangkaian Misi Stranas PPK berikut:
a. Membangun dan memantapkan sistem, mekanisme, kapasitas
pencegahan, dan penindakan korupsi yang terpadu secara
nasional.
b. Melakukan reformasi peraturan perundang-undangan nasional
yang mendukung pencegahan dan penindakan korupsi secara
konsisten, terkonsolidasi, dan tersistematis.
c. Membangun dan mengonsolidasikan sistem dan mekanisme
penyelamatan aset hasil korupsi melalui kerja sama nasional dan
internasional secara efektif.
d. Membangun dan menginternalisasi budaya anti korupsi pada
tata kepemerintahan dan masyarakat.
e. Mengembangkan dan mempublikasikan sistem pelaporan kinerja
implementasi Stranas PPK secara terintegrasi.

1.3. Sasaran
Sasaran utama Stranas PPK adalah menurunkan tingkat korupsi
serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan bebas
korupsi. Indikator keberhasilan yang digunakan adalah:
a. peningkatan Indeks Persepsi Korupsi;
b. peningkatan kesesuaian antara pengaturan anti korupsi di
Indonesia dengan klausul UNCAC secara utuh, termasuk
didalamnya penyelesaian rekomendasi hasil review pelaksanaan
- 6 -

Bab III dan Bab IV; dan


c. peningkatan indeks Sistem Integritas Nasional, yang merupakan
suatu sistem yang sedang dibangun sebagai upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia secara holistik dengan
mengelaborasikan semua pilar (legislatif, eksekutif, yudikatif,
partai politik, lembaga pengawas, media, masyarakat sipil, dan
sektor swasta).
Sementara itu, masing-masing strategi, indikator keberhasilannya
adalah sebagai berikut:
a. peningkatan Indeks Pencegahan Korupsi, yang angkanya
diperoleh dari sub indikator Control of Corruption Index dan
peringkat Ease of Doing Business;
b. peningkatan Indeks Penegakan Hukum Tipikor, yang angkanya
diperoleh dari penghitungan persentase penyelesaian di setiap
tahap proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari
tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian
eksekusi putusan pengadilan Tipikor;
c. persentase penyelesaian rekomendasi hasil review UNCAC terkait
peraturan perundang-undangan (hasil pelaksanaan review Bab
III dan Bab IV);
d. persentase penyelamatan aset hasil Tipikor dan persentase
tingkat keberhasilan (success rate) kerja sama internasional,
yang dilihat dari persentase keberhasilan pelaksanaan mutual
legal assistance in criminal matters (MLA) dan Ekstradisi terkait
Tipikor, baik yang dimintakan kepada negara lain maupun yang
diterima dari negara lain,
e. Peningkatan Indeks Perilaku Anti Korupsi; serta
f. Indeks Kepuasan Pemangku Kepentingan terhadap Laporan PPK.
Adapun target peningkatan indikator keberhasilan di atas
- 7 -

dijabarkan di dalam Peta-jalan (Roadmap) Jangka Panjang (2012 - 2025)


dan Jangka Menengah (2012 - 2014) sebagaimana tercantum di dalam
bagian akhir dokumen ini.
- 8 -

BAB II
STRATEGI

Visi dan Misi Stranas PPK harus bisa diturunkan ke dalam level
implementasi. Untuk itulah dibutuhkan strategi. Kini, 6 (enam) strategi
nasional telah dirumuskan, yakni: (1) melaksanakan upaya-upaya
pencegahan; (2) melaksanakan langkah-langkah strategis di bidang
penegakan hukum; (3) melaksanakan upaya-upaya harmonisasi
penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan
korupsi dan sektor terkait lain; (4) melaksanakan kerja sama internasional
dan penyelamatan aset hasil tipikor; (5) meningkatkan upaya pendidikan
dan budaya anti korupsi; dan (6) meningkatkan koordinasi dalam rangka
mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi.
Keenam strategi tersebut selaras dengan upaya pencapaian
indikator hasil utama (Key Result Indicator) Stranas PPK, yaitu: (1) Indeks
Persepsi Korupsi; (2) Kesesuaian regulasi Indonesia dengan ketentuan
UNCAC; dan (3) Indeks Sistem Integritas Nasional. Perbaikan pada setiap
strategi diyakini akan berpengaruh terhadap membaiknya indikator hasil
utama stranas PPK tersebut.

2.1. Strategi 1: Pencegahan

Permasalahan
Berbagai pendekatan pemberantasan korupsi yang telah dijalankan
Pemerintah Indonesia, seperti diketahui, lebih cenderung ke arah represif.
Hal ini juga yang merupakan paradigma yang berkembang di masyarakat,
bahwa pendekatan tersebut dinilai sebagai upaya yang efektif untuk
menimbulkan efek jera.
Dalam kenyataannya, praktik tipikor masih terjadi secara masif dan
sistematis di banyak lini; di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, Badan
- 9 -

Usaha Milik Negara, lembaga jasa keuangan dan perbankan, serta di


sendi-sendi lainnya dalam kehidupan masyarakat kita. Upaya
pencegahan, dengan demikian, diharapkan menjadi langkah yang tepat
dan membawa dampak perbaikan dimasa yang akan datang mengingat
besarnya peluang kesinambungan yang dimilikinya.
Masyarakat Indonesia kini sudah semakin menyadari hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Aspek kemudahan dan kecepatan
dalam layanan administratif menjadi tuntutan di tengah masyarakat yang
kian dinamis ini. Kendati Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
sudah banyak melakukan perbaikan atau pembenahan pada pelayanan
publik, tetapi pada praktiknya, masyarakat masih belum merasakan
manfaatnya secara optimal. Belum tuntasnya reformasi birokrasi secara
menyeluruh, terutama dalam hal rightsizing, business process, dan
sumber daya manusia, kerap dituding sebagai masalah utamanya. Selain
itu, keterbukaan informasi juga merupakan hak masyarakat yang harus
dipenuhi oleh Pemerintah. Hal ini bahkan telah dijamin oleh UU No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang sampai saat ini
masih perlu dilaksanakan secara menyeluruh dan berkualitas. Akses yang
mudah dan efektif bagi masyarakat terhadap informasi menjadi penting.
Salah satu informasi yang paling penting untuk dibuka adalah mengenai
perencanaan dan realisasi anggaran, di mana saat ini amat minim proses
yang dapat diikuti oleh masyarakat untuk mengawal bersihnya
perencanaan dan realisasi anggaran pada instansi pemerintahan.
Beberapa masalah lain yang juga telah ditemukenali adalah: belum
memadainya mekanisme pemberian reward and punishment bagi
pelayanan publik, minimnya integritas, sistem karir dan penggajian yang
belum sepenuhnya berbasis kinerja, serta belum tersusunnya manajemen
kinerja dan standar pelayanan minimal. Masalah tersebut tidak dapat
ditolerir sebagai dasar pembenar, namun merupakan realita dalam
- 10 -

pemberian layanan publik yang masih bisa dicegah, dibenahi, dan


dicarikan jalan keluarnya.
Pencegahan memengaruhi persepsi publik terhadap tipikor. Hal ini
dimungkinkan karena bidang-bidang pencegahan berkaitan erat dengan
pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan
pelaku usaha.
Dalam skala internasional, pengukuran terhadap persepsi publik
dilakukan oleh berbagai instansi, salah satunya TI melalui survei Indeks
Persepsi Korupsi yang menilai persepsi masyarakat terhadap keberadaan
korupsi berdasarkan gabungan beberapa survei dari berbagai lembaga.
Survei ini masih menempatkan Indonesia di posisi yang masih rendah
kendati ada kecenderungan peningkatan angka. Pada tahun 2011, IPK
Indonesia ada pada peringkat ke-100 dari 183 negara dengan skor 3,0
(naik sekitar 0,2 dibandingkan IPK tahun 2010 atau 1,0 sejak tahun
2004).
Hal lain ditunjukkan oleh indeks global corruption barometer (GCB)
tahun 2010. Menurut GCB 2010, sebagian responden menyatakan pernah
melakukan pembayaran suap. Angkanya mencapai 18 persen. Semakin
tinggi indeks di suatu instansi, maka instansi tersebut kian dipersepsikan
terkorup. Indeks GCB memberikan skor tertinggi dengan nilai indeks 3,6
untuk lembaga legislatif, disusul lembaga kepolisian dan partai politik
dengan indeks 3,5. Yudikatif mendapat indeks 3,3, disusul pejabat
eksekutif dengan indeks 3,2.
Selain itu, penyuapan dan tindak korupsi lainnya terkait dengan
perizinan dan pelaksanaan kegiatan usaha merupakan salah satu
hambatan besar dalam berkembangnya investasi dan kegiatan bisnis di
Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang masih membuka
kemungkinan tumpang tindihnya perizinan serta kepastian hukum yang
- 11 -

kadang dipertanyakan juga menjadi masalah lain yang umum terkait


usaha di Indonesia. Di dunia bisnis internasional, dikenal peringkat Ease
of Doing Business (EoDB) atau peringkat kemudahan berusaha di negara-
negara tertentu yang dikeluarkan oleh World Bank. Salah satu
indikatornya adalah nilai Starting Business yang menyangkut penilaian
memulai usaha. Pada saat ini, Indonesia berada pada peringkat ke-129
dalam peringkat EoDB, sementara berada pada peringkat ke-155 untuk
Starting Business dari 183 negara.
Berbagai upaya pencegahan sebenarnya telah dilakukan, antara
lain dengan meningkatkan mutu layanan perizinan, seperti yang
dicontohkan beberapa daerah melalui pembentukan one stop service
(layanan satu atap). Namun, dalam implementasinya, persepsi masyarakat
masih mencerminkan adanya kelemahan, terutama menyangkut regulasi
perizinan di daerah yang meninggalkan sekian celah bagi korupsi.
Demikian pula dengan peningkatan pelayanan perpajakan, masih
terdapat kendala dengan belum tuntas dan terintegrasinya program single
identification number (nomor identifikasi tunggal). Selain masalah
perpajakan, penuntasan dan pengintegrasian program ini dipercaya akan
menyelesaikan banyak pekerjaan rumah terkait pemberantasan korupsi.
Hal lain yang memiliki banyak pekerjaan rumah adalah terkait dengan
proses pengadaan barang dan jasa yang kerap dinilai menjadi ranah
basah bagi terjadinya praktik korupsi. Berbagai upaya terobosan harus
dilakukan untuk meminimalisasi ruang-ruang terjadinya korupsi pada
bidang-bidang tersebut.
Survei Integritas yang dilakukan oleh KPK pada tahun 2011
menyebutkan, skor rata-rata Integritas Sektor Publik Indonesia mencapai
6,31. Skor tersebut relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara
lain, meskipun bagi Indonesia merupakan peningkatan, yaitu dihitung
dari basis penghitungan pada tahun 2007 dengan skor sebesar 5,53. Dari
- 12 -

survei tersebut dapat ditarik benang merah, kurang maksimalnya mutu


birokrasi dan penegakan hukum yang disertai dengan lemahnya
mekanisme pemberian izin dan pengawasan atas penerimaan negara dari
pajak, merupakan akar masalah korupsi. Celakanya, reformasi
manajemen keuangan negara, terutama dalam hal perencanaan dan
penganggaran pembangunan, belum juga kunjung tuntas. Semua ini
merupakan permasalahan sistemik yang harus dapat dicegah melalui
kerja keras penyempurnaan sistem dan kelembagaan.
Berbagai permasalahan di atas mengisyaratkan bahwa, agar upaya
pemberantasan korupsi bisa optimal dalam konteks strategi pencegahan,
pelibatan sektor swasta dan masyarakat wajib dilaksanakan oleh aparat
pemerintah sebagai penyedia pelayanan umum. Artinya, ketiga pilar
pemberantasan korupsi (pemerintah, masyarakat, dan swasta) harus
secara sadar membangun komitmen bersama bagi pencegahan korupsi.

Tujuan
Mempersempit peluang terjadinya tipikor pada tata kepemerintahan
dan masyarakat menyangkut pelayanan publik maupun penanganan
perkara yang bersih dari korupsi.

Tantangan
a. Belum tuntasnya reformasi birokrasi yang menyeluruh. Hal ini
ditunjukkan antara lain oleh: belum memadainya mekanisme
pemberian reward and punishment bagi pelayanan publik, minimnya
integritas, sistem karir dan penggajian yang belum sepenuhnya
berbasis kinerja, serta belum tersusunnya manajemen kinerja dan
standar pelayanan minimal.
b. Masih minimnya badan publik yang menerapkan keterbukaan
informasi menyangkut administrasi dan pelayanan publik, termasuk
penanganan perkara, kendati UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang
- 13 -

Pelayanan Publik telah diberlakukan.


c. Layanan terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah oleh badan
publik masih belum sepenuhnya menerapkan Peraturan Presiden No.
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, termasuk
belum diterapkannya e-procurement secara menyeluruh.
d. Terbatasnya pelibatan masyarakat dalam pengawasan pengelolaan
keuangan negara di tingkat pusat maupun tingkat daerah, termasuk
sulitnya memperoleh akses informasi terkait pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
e. Rendahnya penanganan pengaduan masyarakat dan pelaporan
(whistleblowing) yang ditindaklanjuti akibat belum optimalnya
mekanisme dan infrastruktur pengaduan publik.
f. Proses perizinan yang masih tertutup dengan banyak human interaction
yang dapat membuka ruang korupsi.

Indikator Keberhasilan
Terwujudnya layanan publik dan penanganan tipikor yang
transparan, akuntabel, dan bersih dari korupsi untuk mempersempit
peluang terjadinya tipikor sesuai tujuan dari strategi ini, keberhasilannya
diukur dari Indeks Pencegahan Korupsi.
Indeks ini dihitung berdasarkan dua sub indikator yakni Control of
Corruption (CoC) Index serta peringkat Ease of Doing Business (EoDB) yang
dikeluarkan oleh World Bank. CoC Index pada dasarnya mengukur
efektifitas kebijakan dan kerangka instansional suatu negara dalam
mencegah korupsi. Sementara, peringkat EoDB adalah mengukur tingkat
kemudahan untuk memulai dan menjalankan usaha, yang erat kaitannya
dengan proses pemberian perizinan. Pemilihan kedua indikator tersebut
sebagai ukuran keberhasilan strategi pencegahan didasarkan pada
pertimbangan permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam PPK
- 14 -

serta sebagai upaya mendorong percepatan peningkatan angka Indeks


Persepsi Korupsi. Penggabungan kedua sub indikator ini menjadi Indeks
Pencegahan Korupsi dilakukan melalui konversi dengan ukuran angka
indeks 1 (terburuk) sampai dengan angka indeks 10 (terbaik). Tata cara
konversi CoC dan konversi EoDB disajikan secara lebih rinci sebagaimana
tercantum di dalam bagian akhir dokumen ini. Semakin tinggi angka
Indeks Pencegahan Korupsi yang dicapai, maka diyakini upaya
pencegahan korupsi berjalan semakin membaik.

2.2. Strategi 2: Penegakan Hukum

Permasalahan
Berbagai upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia tidak
serta-merta menyebabkan penurunan angka korupsi serta semakin
bersihnya tata kepemerintahan dan tata kemasyarakatan dari tindak
korupsi, kolusi, nepotisme. Dalam kurun lima tahun terakhir, tidak
sedikit kasus korupsi yang menyangkut penyelenggara negara diproses
hingga ke tingkat peradilan. Kementerian Dalam Negeri mencatat, sejak
tahun 2004-2011, Presiden telah menandatangani izin pemeriksaan
tipikor setidaknya terhadap 168 (seratus enam puluh delapan) Gubernur
dan Bupati/Walikota yang tersangkut perkara tipikor.
Masih banyak kasus korupsi yang belum tertuntaskan meski telah
menyedot perhatian khalayak luas. Penting untuk dicatat, penegakan
hukum yang tidak konsisten dengan hukum positif yang berlaku
berpengaruh pada melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
hukum beserta aparaturnya. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai
proses penegakan hukum, pada akhirnya, menggiring masyarakat pada
pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana
penyelesaian konflik.
Muncul kecenderungan untuk menyelesaikan konflik dengan
caranya sendiri-sendiri. Pada akhirnya ada pihak-pihak lain yang
- 15 -

memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingannya


sendiri, yang berdampak kepada kerugian di pihak lainnya.
Absennya kepercayaan (trust) diantara masyarakat yang melahirkan
ketidakpuasan terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya itu lambat-
laun menguat. Hal ini, ke depannya, dapat menjadi hambatan tersendiri
tatkala dilakukan upaya-upaya perbaikan dalam rangka penguatan
penegakan hukum di Indonesia.
Perlu dilakukan upaya percepatan penyelesaian kasus-kasus yang
menarik perhatian masyarakat. Upaya penegakan hukum juga tidak
terlepas dari perbaikan peraturan perundang-undangan yang tumpang
tindih. Penegakan hukum perlu didukung oleh kerangka regulasi yang
memadai demi menjamin proses penegakan hukum bisa memenuhi rasa
keadilan masyarakat, tidak larinya tersangka koruptor, hingga
terselamatkannya aset negara yang dikorupsinya. Pengawasan terhadap
lembaga, aparatur, maupun unsur-unsur profesi yang terkait penegakan
hukum, juga perlu diperkuat dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi
masyarakat, baik selaku pelapor maupun saksi, masih belum didukung
oleh keterjaminan mereka atas perlindungan hukum yang sepatutnya
diterima. Mekanisme pengaduan hukum yang belum terbangun dengan
baik di masyarakat, begitu pula transparansi penyelesaian kasus-kasus
korupsi yang belum memuaskan khalayak luas. Faktor-faktor inilah yang
kian memperburuk kondisi yang ada.
Melihat kondisi seperti itu, langkah-langkah perbaikan dengan
strategi yang mampu menjawab permasalahan sangat dibutuhkan agar
optimalisasi penegakan hukum dapat dilakukan. Oleh karena itu, di
samping upaya pencegahan korupsi, sudah selayaknya jika penegakan
hukum ditempatkan sebagai pilar kedua Stranas PPK.
- 16 -

Tujuan
Penuntasan kasus tipikor secara konsisten dan sesuai hukum
positif yang berlaku demi memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan.

Tantangan
a. Tipikor semakin marak. Tidak sedikit penyelenggara negara yang
tersangkut dan diproses hingga ke tingkat peradilan.
b. Absennya tingkat kepercayaan (trust) di tengah masyarakat melahirkan
ketidakpuasan terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya.
c. Peraturan perundang-undangan masih banyak yang tumpang-tindih,
padahal penegakan hukum perlu dukungan kerangka regulasi yang
memadai.
d. Pengawasan terhadap lembaga, aparatur, maupun unsur-unsur profesi
terkait penegakan hukum, masih lemah.
e. Partisipasi masyarakat, baik selaku pelapor maupun saksi, masih
belum didukung oleh keterjaminan mereka atas perlindungan hukum
yang sepatutnya diterima. Ditambah lagi, mekanisme pengaduan
masyarakat juga belum memadai.

Indikator Keberhasilan
Berdasarkan permasalahan dan tantangan tersebut diatas, maka
perlu dilakukan suatu upaya menyeluruh dan sistematis untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terkait penegakan hukum yang
adil dan transparan. Proses penegakan hukum ini, dimulai dari proses
pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga eksekusi
tuntutan. Untuk mengukur keberhasilan strategi ini, maka diukur melalui
capaian Indeks Penegakan Hukum Tipikor, yang mencakup 5 (lima) sub
indikator sebagai berikut:
a. Persentase penyelesaian pengaduan tipikor, yang dihitung berdasarkan
- 17 -

jumlah pengaduan tipikor yang ditingkatkan ke tahap penyelidikan


dibandingkan dengan total pengaduan yang diterima oleh aparat
penegak hukum.
b. Persentase penyelesaian penyelidikan tipikor, yang dihitung
berdasarkan jumlah penyelidikan tipikor yang ditingkatkan ke tahap
penyidikan dibandingkan dengan total penyelidikan kasus tipikor.
c. Persentase penyelesaian penyidikan, yang dihitung berdasarkan
jumlah penyidikan tipikor yang ditingkatkan menjadi tuntutan
dibandingkan dengan total penyidikan tipikor.
d. Conviction Rate, yang dihitung berdasarkan jumlah pemidanaan kasus
tipikor dibandingkan dengan pelimpahan berkas kasus tipikor ke
Pengadilan;
e. Persentase penyelesaian eksekusi putusan, yang dihitung berdasarkan
jumlah putusan yang dieksekusi (badan) dibandingkan dengan total
putusan kasus tipikor yang berkekuatan hukum tetap.
Untuk memperoleh angka Indeks Penegakan Hukum Tipikor, kelima
sub indikator tersebut digabungkan dengan pembobotan yang berbeda
antara satu sub indikator dengan sub indikator lainnya. Pembedaan bobot
dimaksud dengan mempertimbangkan penggunaan sumber daya dan
waktu serta signifikansinya terhadap upaya penegakan hukum. Adapun
sumber data dari sub indikator diperoleh dari lembaga penegak hukum.
Semakin tinggi angka indeks Penegakan Hukum Tipikor ini, maka diyakini
upaya penegakan hukum tipikor mengalami perbaikan, dan kepercayaan
masyarakat mengalami peningkatan. Secara lengkap bobot dan formulasi
penghitungan sub indikator dapat dilihat sebagaimana tercantum di
dalam bagian akhir dokumen ini.
Dalam pelaksanaannya, strategi ini memerlukan dukungan dan
koordinasi yang baik dari lembaga terkait penegakan hukum, termasuk
Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan Mahkamah Agung.
- 18 -

2.3. Strategi 3: Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

Permasalahan
Salah satu kendala dalam PPK, sebagaimana telah sedikit
disinggung sebelumnya, terletak pada peraturan perundang-undangan
yang eksistensinya masih belum memadai. Dalam artian, masih terdapat
tumpang-tindih dan inkonsistensi antar peraturan perundang-undangan,
serta masih terdapat peraturan-peraturan yang membuka peluang bagi
berlangsungnya tipikor hingga absennya pengaturan sehingga
menghambat PPK.
Peraturan perundang-undangan merupakan faktor pendukung yang
tidak terpisahkan dari strategi maupun rencana aksi PPK. Untuk itu,
perlu dipastikan hadirnya perangkat peraturan anti korupsi yang
memadai. Caranya adalah dengan mengevaluasi, merevisi, atau
melengkapi peraturan-peraturan yang sudah ada. Peraturan yang
dimaksud itu bukan semata yang terkait tipikor, melainkan juga yang
semangatnya adalah anti korupsi dan/atau meminimalisasi peluang bagi
terjadinya tipikor.
Untuk konsistensi PPK, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi
UNCAC 2003 melalui UU No. 7 Tahun 2006. Itikad ini mengandung arti,
ketentuan-ketentuan dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat
sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa ketentuan di dalamnya
merupakan hal baru di Indonesia, sehingga perlu diatur atau diakomodasi
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan terkait pemberantasan
korupsi. Hal ini diperlukan agar kriminalisasi perbuatan tindak pidana
tertentu kelak menjadi dasar hukum yang memadai dalam rangka
penegakan hukum. Hal-hal baru tersebut misalnya tentang penyuapan
pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik,
memperdagangkan pengaruh, memperkaya secara tidak sah, atau korupsi
di sektor swasta.
- 19 -

Selain itu, negara-negara peserta UNCAC akan saling me-review


dan merekomendasikan langkah-langkah perbaikan. Saat ini, review
terhadap Indonesia telah dilakukan atas Bab III dan Bab IV UNCAC. Hasil
review tersebut dapat menjadi acuan perbaikan untuk kesesuaian
peraturan perundang-undangan anti korupsi dengan UNCAC.
Langkah-langkah akomodatif dalam penyusunan maupun revisi
peraturan perundang-undangan Indonesia dalam rangka harmonisasi
semacam ini perlu dilakukan agar PPK dapat terlaksana di atas landasan
hukum yang memadai. Melalui strategi ini, fondasi yang kuat bagi
pencegahan dan pemberantasan yang berkesinambungan atas tipikor
dapat terwujud.

Tujuan
a. Menyusun dan merevisi peraturan perundang-undangan anti korupsi
di bidang tipikor maupun di bidang strategis lain yang berpotensi
membuka peluang korupsi, agar tercipta tatanan regulasi yang
harmonis dan memadai bagi PPK.
b. Tercapainya kesesuaian antara ketentuan-ketentuan di dalam UNCAC
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Tantangan
a. Peraturan perundang-undangan pada sektor-sektor lain yang
membuka peluang korupsi masih belum teridentifikasi secara
komprehensif.
b. Ketentuan-ketentuan UNCAC banyak yang masih belum terakomodasi
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
c. Peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum dan
penanganan perkara dalam sistem peradilan harus diperbaiki dan
disempurnakan.
- 20 -

Indikator Keberhasilan
Indikator Keberhasilan strategi ini terletak pada perbaikan kondisi
inkonsistensi peraturan perundang-undangan di Indonesia agar dapat
memberi dasar hukum yang memadai bagi PPK. Tingkat keberhasilan
strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian antara peraturan
perundang-undangan anti korupsi Indonesia dengan aturan UNCAC,
termasuk didalamnya persentase penyelesaian rekomendasi-
rekomendasinya. Semakin mendekati 100 % (seratus persen), maka
peraturan perundang-undangan di Indonesia semakin sesuai dengan
common practise yang ada di berbagai negara.

2.4. Strategi 4: Kerja Sama Internasional dan Penyelamatan Aset


Hasil Tipikor

Permasalahan
Penanganan tipikor seringkali memerlukan kerja sama
internasional. Telah terdapat berbagai contoh kasus di mana penanganan
tipikor bergantung kepada hal-hal yang berada di luar batas negara,
misalnya ketika tersangka, bukti atau aset hasil tipikor berada di luar
negeri. Dalam hal demikian, kerja sama internasional yang melibatkan
otoritas antar negara diperlukan demi penanganan tipikor yang juga
sejalan dengan ketentuan UNCAC. Kerja sama internasional dapat
dilaksanakan melalui bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual
legal assistance in criminal matters atau MLA) dalam hal pencarian orang,
barang bukti, dan pengembalian asset. Dalam hal pengembalian pelaku
tipikor ke dalam jurisdiksi Indonesia dilakukan melalui ektradisi.
Sampai saat ini, Indonesia masih menemui banyak kendala dalam
melaksanakan kerja sama internasional untuk penanganan tipikor,
meskipun telah memiliki berbagai perjanjian MLA dan ekstradisi. Tingkat
Keberhasilan (success rate) pengembalian orang, pengambilan barang
- 21 -

bukti, dan repatriasi aset dari luar negeri masih tergolong rendah.
Beberapa permasalahan terkait dengan hal tersebut antara lain:
a. Kesesuaian pelaksanaan proses hukum di dalam negeri dengan
permohonan bantuan kerja sama yang dimintakan kepada negara lain
yang melibatkan sistem hukum asing seringkali tidak saling sejalan.
b. Koordinasi antar lembaga penegak hukum, Otoritas Pusat (Central
Authority), dan lembaga terkait lainnya masih perlu ditingkatkan,
dengan adanya mekanisme yang jelas dan ditepati untuk mendukung
kelancaran proses kerja sama internasional.
c. Kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia dari instansi terkait
perlu menjadi perhatian.
d. Selain itu, upaya-upaya ekstradisi dari negara lain belum menemukan
titik keberhasilan dengan hambatan yang serupa. Terlebih lagi masih
perlu penguatan dan penambahan perjanjian ekstradisi dengan
tempat-tempat safe heaven bagi pelaku tipikor.
Khusus mengenai penyelamatan aset, baik di dalam maupun luar
negeri, diperlukan mekanisme pencegahan pemindahan aset (transfer of
assets) dan pengembaliannya dengan memperhatikan ketentuan UNCAC.
Dari awal proses hukumnya, pemanfaatan intelijensi keuangan juga
dirasa sangat penting sehingga aset di dalam dan luar negeri dapat
dirampas jika perlu. Khusus proses pengembalian aset hasil korupsi yang
berada di luar negeri dengan karakteristik hukum yang berbeda
mensyaratkan primanya pengetahuan teknis dan kapasitas aparat
penegak hukum yang didukung kerja sama penuh dari seluruh lembaga
terkait di dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan proses
pengadilan. Untuk pengembalian aset di dalam negeri, kedisiplinan
eksekusi putusan pengadilan perlu dijaga agar seluruh ganti rugi dapat
dipenuhi oleh terpidana tipikor.
- 22 -

Selanjutnya adalah pengelolaan aset negara hasil tipikor, harus


diakui, selama ini masih belum terlaksana secara semestinya. Perlu
dijelaskan mekanisme pengelolaan dan dijadikan pembelajaran untuk
mengambil kebijakan-kebijakan terkait penyelamatan aset tipikor di masa
datang.
Dalam hubungannya dengan UNCAC, Indonesia belum memiliki
peraturan yang cukup untuk menangani permintaan bantuan dari negara
lain, termasuk permintaan penyitaan/perampasan aset. Indonesia juga
belum memiliki peraturan tentang pelaksanaan penyitaan (perampasan)
aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus
korupsi (confiscation without a criminal conviction). Pemenuhan peraturan
yang diperlukan untuk mendukung permintaan negara lain dalam kerja
sama internasional terkait pemberantasan korupsi juga masih perlu
diusahakan.

Tujuan
Meningkatkan pengembalian aset untuk mengganti kerugian negara
yang ditempuh melalui peningkatan kerja sama internasional dalam
rangka PPK, khususnya dengan pengajuan bantuan timbal-balik masalah
pidana, peningkatan koordinasi intensif antar lembaga penegak hukum,
serta peningkatan kapasitas aparat lembaga penegak hukum.

Tantangan
a. Masih rendahnya tingkat kesuksesan pengembalian aset, baik dari luar
maupun dalam negeri dan bentuk permintaan bantuan timbal balik
masalah pidana lainnya.
b. Masih rendahnya tingkat kesuksesan permintaan ekstradisi dari
negara lain.
c. Masih lemahnya informasi jalur keuangan untuk membuktikan
keterkaitan aset hasil tipikor yang perlu dirampas oleh negara.
- 23 -

d. Belum optimalnya koordinasi antar lembaga penegak hukum dan


kapasitasnya dalam menangani kerja sama internasional, khususnya
pengembalian aset.
e. Mekanisme internal dalam proses pengembalian aset perlu diperbaiki
agar proses pengembalian aset dapat berjalan lebih optimal.
f. Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur
pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain.
g. Pengelolaan aset hasil pengembalian masih belum terselenggara.

Indikator Keberhasilan
Keberhasilan pelaksanaan strategi ini diukur berdasarkan 2 (dua)
ukuran keberhasilan, yakni persentase tingkat keberhasilan kerja sama
internasional dalam bidang tipikor dan persentase penyelamatan aset
hasil tipikor. Peningkatan kesuksesan kerja sama internasional dalam
bidang tipikor yang diukur melalui 2 (dua) sub indikator yakni
meningkatnya persentasi keberhasilan MLA dan ekstradisi, baik yang
dikirim kepada negara lain maupun yang diterima dari negara lain.
Keberhasilan MLA dan ekstradisi diukur dengan pernyataan lengkapnya
berkas permintaan Indonesia kepada negara lain sehingga dapat
ditindaklanjuti, dan telah ditindaklanjutinya berkas permintaan kerja
sama dari negara lain.
Dalam hal penyelamatan aset, ukuran keberhasilannya tercermin
dari persentase penyelamatan aset hasil tipikor yang berasal dari dalam
dan/atau luar negeri sesuai putusan pengadilan, baik di Kejaksaan Agung
maupun KPK. Penyelamatan aset tersebut diukur dari realisasi
pengembalian aset tipikor yang disetor ke kas negara dibandingkan
dengan total aset yang dirampas untuk negara berdasarkan putusan
pengadilan. Semakin tinggi persentase kerja sama internasional dan
penyelamatan aset, maka upaya ini akan mendorong percepatan
kesesuaian dengan UNCAC.
- 24 -

Dalam pelaksanaannya, strategi ini memerlukan dukungan dari


lembaga terkait penegakan hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, KPK,
Mahkamah Agung, PPATK serta Otoritas Pusat di Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia.

2.5. Strategi 5: Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi

Permasalahan
Meskipun kejujuran merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh
bangsa Indonesia, namun praktik korupsi yang jelas bertentangan dengan
nilai tersebut kerap terjadi. Salah satu akar penyebab berkembangnya
praktik korupsi patut diduga berasal dari rendahnya integritas para
pelakunya dan masih kentalnya budaya permisif terhadap tindakan
korupsi. Rendahnya efek deteren bagi pelaku korupsi inilah yang turut
mendukung maraknya praktik korupsi.
Dalam budaya organisasi modern, sistem nilai tertentu yang bersifat
universal harus ditegakkan dalam organisasi, baik di lingkungan
pemerintahan maupun swasta. Masyarakat dengan kultur yang
mendorong struktur sosial berperilaku koruptif perlu diubah pola pikirnya
agar terbebas dari nilai-nilai koruptif, terlebih lagi agar menjunjung
integritas. Lebih dari itu, sangat diperlukan perilaku aktif dari masyarakat
untuk mencegah perilaku koruptif di lingkungannya. Diperlukan individu-
individu yang mampu mempengaruhi dan bertindak untuk mencegah
adanya tindakan koruptif, tidak hanya pasif untuk mencegah korupsi oleh
dirinya sendiri.
Pengembangan sistem nilai dan sikap anti korupsi tersebut perlu
dilakukan melalui berbagai kampanye yang memberikan ruang bagi
masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan
korupsi. Salah satu kanal utamanya adalah melalui pendidikan dan
internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan Pemerintah, swasta,
masyarakat, maupun pemangku kepentingan lainnya. Jejaring pendidikan
- 25 -

anti korupsi dan perguruan tinggi atau pusat kajian anti korupsi juga
perlu dikembangkan seiring dengan perkuatan sanksi sosial.
Gerakan sosial anti korupsi perlu diintegrasikan dengan nilai-nilai
anti korupsi dalam sistem budaya lokal. Dengan demikian, selain tercipta
pemahaman terhadap perilaku-perilaku koruptif, pembangunan karakter
bangsa yang berintegritas dan anti korupsi diharapkan juga akan
memperkuat gerakan anti korupsi beserta sanksi sosialnya.

Tujuan
Memperkuat setiap individu dalam mengambil keputusan yang etis
dan berintegritas, selain juga untuk menciptakan budaya zero tolerance
terhadap korupsi. Masyarakat diharapkan menjadi pelaku aktif
pencegahan dan pemberantasan korupsi sehingga mampu mempengaruhi
keputusan yang etis dan berintegritas di lingkungannya, lebih luas dari
dirinya sendiri.

Tantangan
a. Masih adanya sikap permisif di masyarakat terhadap pelaku tipikor;
sanksi sosial bagi pelaku tipikor perlu diperkuat untuk menghasilkan
efek deteren. Sikap permisif tersebut juga seringkali ditunjukkan
dengan pasifnya individu dalam menghadapi adanya tindakan koruptif
dari individu lain di dalam lingkungannya.
b. Absennya strategi komunikasi dalam pendidikan budaya anti korupsi.
Hal ini ditunjukkan dengan kurang efektifnya materi maupun cara
penyampaian pendidikan dan kampanye anti korupsi pada
masyarakat.
c. Belum terintegrasinya pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum
sekolah maupun perguruan tinggi.
- 26 -

Indikator Keberhasilan
Terwujudnya masyarakat dengan budaya integritas dalam berbagai
lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Strategi ini diukur berdasarkan
Indeks Perilaku Anti Korupsi yang ada dikalangan tata kepemerintahan
maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini,
maka diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan
mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.

2.6. Strategi 6: Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan


Korupsi

Permasalahan
Dengan telah meratifikasi UNCAC, Pemerintah Indonesia terikat
dalam melaksanakan ketentuan sekaligus melaporkan capaian-
capaiannya. Artinya, Indonesia sebagai Negara Peserta, negara yang telah
menandatangani dan meratifikasi UNCAC wajib menyediakan dan
mempublikasikan informasi mengenai apapun program yang telah,
tengah, dan akan dilaksanakan, berikut rencana dan praktiknya secara
periodik dalam upaya pemberantasan korupsi.
Mekanisme pelaporannya dapat dilakukan secara berjenjang
dengan perkuatan sistem pelaporan internal para pihak terkait selaku
pelaksana ketentuan UNCAC, dilaporkan dalam Konferensi Negara-Negara
Peserta (Conference of the States Parties atau CoSP). Sayangnya, hingga
kini, belum ada suatu mekanisme internal yang memudahkan tiap-tiap
instansi pemerintah dan lembaga terkait dalam menyampaikan informasi
(internal information gathering mechanism) menyangkut pelaksanaan
ketentuan UNCAC di Indonesia.
Selain itu, informasi mengenai upaya-upaya PPK secara luas juga
diperlukan oleh masyarakat luas yang kian hari perhatiannya kian tinggi
terhadap PPK. Saat ini, belum banyak informasi yang dipublikasikan dan
- 27 -

digunakan untuk mendukung partisipasi masyarakat dalam PPK.


Agar kelancaran proses internalisasi dan pengaliran laporannya
tetap berjalan, perlu dipastikan dengan menunjuk penanggung jawab (Pj)
bidang pelaporan. Pj tersebut berkewajiban untuk: (1) memastikan para
pihak secara rutin melaporkan kegiatan terkait pelaksanaan ketentuan
UNCAC; (2) mengonsolidasikannya ke dalam laporan pelaksanaan PPK
dan ketentuan UNCAC; serta (3) mempublikasikannya ke berbagai media,
termasuk webportal PPK, guna mempermudah pemanfaatannya dalam
penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK nasional.

Tujuan
a. Memastikan ketersediaan laporan rutin dan informasi terkait
pelaksanaan ketentuan UNCAC dan kegiatan PPK di Indonesia beserta
capaian-capaiannya.
b. Memastikan bahwa para pihak, pelaksana ketentuan UNCAC dan aksi
PPK, berkontribusi aktif melaporkan kinerja dan capaian-capaiannya
yang telah, tengah, dan akan dilaksanakan secara rutin.
c. Terlaporkan dan terpublikasikannya usaha-usaha yang telah, tengah,
dan akan dilaksanakan pemerintah, legislatif, yudikatif, dan
masyarakat, berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UNCAC dan
PPK secara periodik.
d. Terpenuhinya (seratus persen) semua kewajiban dalam pelaporan
terkait pelaksanaan ketentuan UNCAC.

Tantangan
a. Informasi dan koordinasi terkait pelaksanaan PPK, kendati merupakan
isu yang sering dibahas di berbagai pertemuan lintas K/L, namun
minim pelaksanaan, konsistensi, serta kesinambungannya sulit
terjaga.
b. Pengumpulan informasi, pelaporan, dan publikasi informasi, sering
tersendat akibat minimnya catatan, dokumentasi, serta kedisiplinan
- 28 -

para pihak dalam pelaporan.


c. Diperlukan penemuan format (bentuk) laporan dan publikasi yang
efektif sehingga dapat digunakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi
dalam PPK, termasuk pemantauannya.
d. Penunjukan Penanggung Jawab (Pj) untuk penyusunan laporan tanpa
landasan hukum dan kewenangan yang cukup, sehingga kesulitan
dalam melakukan koordinasi dengan para pihak guna membangun
komitmen untuk berbagi informasi. Tugas pokok, fungsi, dan
kewenangannya perlu dituangkan dalam bentuk regulasi setingkat
Instruksi Presiden atau Peraturan Presiden disesuaikan dengan
kecukupan dan keefektifannya dalam berkoordinasi dan
mengumpulkan informasi dari para pihak terkait.

Indikator Keberhasilan
Keberhasilan pelaksanaan strategi mekanisme pelaporan PPK
dilakukan dengan memakai Indeks Kepuasan Pemangku Kepentingan
terhadap Laporan PPK yang diukur dari 2 (dua) elemen yakni
pemanfaatan Laporan PPK dan ketepatan waktu publikasi laporan
berbagai upaya PPK, termasuk pelaksanaan UNCAC, beserta capaian-
capaiannya. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan,
maka harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait
proses penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin
terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara berkesinambungan
dan tepat sasaran.
- 29 -

BAB III
FOKUS KEGIATAN PRIORITAS

3.1. Fokus Jangka Panjang (2012-2025)

3.1.a. Strategi 1. Pencegahan


Nasihat bijak ”mencegah lebih baik dari pada mengobati” relevan
dalam strategi ini. Perbaikan di bidang pencegahan akan dilakukan secara
sistematis agar dampak yang dihasilkan dapat membenahi kondisi yang
ada. Kegiatan berjangka panjangnya adalah:
a. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi dan
layanan publik, pengelolaan keuangan negara, penanganan perkara
berbasis teknologi informasi (TI), serta pengadaan barang dan jasa
berbasis TI di pusat maupun daerah.
b. Peningkatan efektivitas sistem pengawasan dan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan keuangan negara, serta
memasukkan nilai integritas dalam sistem penilaian kinerjanya.
c. Peningkatan efektivitas pemberian izin terkait kegiatan usaha,
ketenagakerjaan, dan pertanahan yang bebas korupsi.
d. Peningkatan efektivitas pelayanan pajak dan bea cukai yang bebas
korupsi.
e. Penguatan komitmen anti korupsi di semua elemen pemerintahan
(eksekutif), yudikatif, maupun legislatif.
f. Penerapan sistem seleksi/penempatan/promosi pejabat publik melalui
assesment integritas (tax clearance, clearance atas transaksi keuangan,
dll) dan pakta integritas.
g. Mekanisme penanganan keluhan/pengaduan anti korupsi secara
nasional.
h. Peningkatan pengawasan internal dan eksternal, serta memasukkan
nilai integritas ke dalam sistem penilaian kinerja.
- 30 -

i. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan


serta kinerja menuju opini audit Wajar Tanpa Pengecualian dengan
Kinerja Prima.
j. Pembenahan sistem kepemerintahan melalui Reformasi Birokrasi.
k. Pelaksanaan e-government.

3.1.b. Strategi 2. Penegakan Hukum


Fokus-fokus kegiatan prioritas terkait perbaikan mekanisme
penegakan hukum dalam rangka meningkatkan kepercayaan (trust)
masyarakat terhadap aparat dan lembaga penegak hukum adalah:
a. Memperkuat mekanisme kelembagaan dan kerja sama antar lembaga
penegak hukum dalam rangka mengoptimalkan proses penegakan
hukum terhadap tipikor.
b. Memperkuat sarana pendukung berbasis TI untuk koordinasi antar
lembaga penegak hukum dalam penanganan kasus dan proses
peradilan(e-law enforcement).
c. Penerapan zero tolerance pada tipikor dan sanksi hukum yang lebih
tegas di semua strata pemerintahan (eksekutif), legislatif, dan yudikatif.

3.1.c. Strategi 3. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan


Isu utama dalam menghadapi tumpang-tindih regulasi terkait
upaya pemberantasan korupsi adalah harmonisasi dan penyusunan
peraturan perundang-undangan dalam rangka implementasi UNCAC.
Kegiatan berjangka panjang dalam strategi ini difokuskan pada:
a. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kebijakan nasional dan kebutuhan daerah yang berhubungan
dengan sumber daya alam.
b. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan
penyusunannya dalam rangka modernisasi penegakan hukum dalam
sistem peradilan pidana.
- 31 -

c. Mekanisme monitoring (pemantauan) dan evaluasi peraturan


perundang-undangan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang tumpang tindih dan tidak konsisten.
d. Melakukan pemetaan dan revisi peraturan perundang-undangan
terkait proses penegakan hukum, antara lain; perlindungan saksi dan
pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), serta menghalangi
proses hukum (obstruction of justice).
e. Harmonisasi berikut penyusunan peraturan perundang-undangan
dalam rangka implementasi UNCAC dan peraturan pendukung lainnya.
f. Penyederhanaan jumlah dan jenis perizinan dalam kapasitas daerah.
g. Harmonisasi terhadap pengawasan atas pelaksanaan regulasi terkait
pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

3.1.d. Strategi 4. Kerja Sama Internasional dan Penyelamatan Aset


Hasil Tipikor
Pengembalian aset hasil tipikor penting di dalam rangkaian
pemberantasan korupsi. Dalam rangka meningkatkan persentase
pengembalian aset dan kerugian negara, maka kegiatan berjangka
panjang dalam strategi ini difokuskan pada kegiatan:
a. Optimalisasi kelembagaan dalam rangka pelaksanaan MLA dengan
fokus pada pemantapan Otoritas Pusat di Kementerian Hukum dan
Hak Azasi Manusia dalam proses penyelamatan aset, kerja sama
internasional, serta pelaksanaan ekstradisi.
b. Penataan lembaga pengelola aset hasil korupsi dengan
mempertimbangkan kebutuhan nasional dan internasional.
c. Pelatihan dan bantuan teknis di antara lembaga penegak hukum
dalam rangka penyelamatan aset hasil korupsi.
d. Sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada aparat penegak
hukum berkenaan dengan penyelamatan aset berikut
implementasinya.
- 32 -

e. Peningkatan kerja sama internasional dengan negara-negara lain


dalam MLA dan ekstradisi.

3.1.e. Strategi 5. Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi


Dengan persamaan cara pandang bahwa korupsi sangat merugikan
masyarakat dan setiap manusia Indonesia, diharapkan akan muncul
perbaikan-perbaikan. Pendidikan dan internalisasi budaya anti korupsi di
segenap lapisan masyarakat merupakan salah satu cari untuk
menyamakan cara pandang tersebut. Kegiatan berjangka panjang dalam
strategi ini difokuskan pada:
a. Pengembangan sistem nilai dan sikap anti korupsi dalam berbagai
aktivitas kehidupan di 3 (tiga) pilar PPK; masyarakat, sektor swasta,
dan aparat pemerintah.
b. Pengembangan dan penerapan nilai-nilai anti korupsi, kejujuran,
keterbukaan, dan integritas di berbagai aktivitas di sekolah, perguruan
tinggi, dan lingkup sosial dalam rangka menciptakan karakter bangsa
yang berintegritas.
c. Kampanye anti korupsi secara menyeluruh dan terencana.
d. Memperluas ruang partisipasi masyarakat dalam rangka PPK.

3.1.f. Strategi 6. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan


Korupsi
Kegiatan pelaporan dalam melaksanakan PPK dan ketentuan
UNCAC perlu difokuskan pada usaha-usaha beserta capaiannya yang
telah, tengah, dan akan dilakukan pelbagai elemen terkait. Kegiatan itu,
khususnya adalah aksi-aksi yang berdampak langsung dan signifikan bagi
perbaikan IPK serta sejalan dengan ketentuan UNCAC. Media
publikasinya perlu dipilih dengan mempertimbangkan kemudahan akses
para pihak dalam menilai dan menyusun kebijakan PPK. Guna kelancaran
pasokan informasi, pelaporan, dan publikasinya, kegiatan pelaporan akan
difokuskan pada:
- 33 -

a. Penyusunan dan penerapan standar informasi, dokumentasi, dan


pelaporan para pihak terkait, khususnya sistem pelaporan yang
berbasis TI.
b. Mekanisme pelaporan PPK Nasional secara terpadu.
c. Keterbukaan dan komunikasi upaya-upaya PPK, serta partisipasi
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
pelaporan.
d. Pengawasan dan pelaksanaan implementasi UU No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik, termasuk mekanisme verifikasi
dan klarifikasi dalam pelaksanaan PPK.
e. Perluasan akses informasi menyangkut pelaksanaan PPK dan
ketentuan UNCAC.

3.2. Fokus Jangka Menengah (2012-2014)

3.2.a. Strategi 1. Pencegahan


Strategi pencegahan, jika dilakukan secara menyeluruh, akan
berdampak signifikan bagi pemberantasan korupsi. Kegiatan jangka
menengah dalam strategi pencegahan adalah:
a. Sistem pelayanan publik berbasis TI dengan fokus pada:
1) K/L dan Pemda di seluruh provinsi dengan memperhitungkan
integrasi internal kelembagaan yang telah memiliki target jelas
sampai 2014, dengan fokus pada pemberian perizinan;
2) integrasi mekanisme penanganan keluhan/pengaduan terhadap
upaya PPK, termasuk proses penegakan hukum;
3) membuka akses antar lembaga untuk menindaklanjuti pengaduan
yang disampaikan masyarakat; dan
4) keterbukaan informasi dalam penanganan perkara (termasuk
perkara korupsi), perencanaan, dan penganggaran pemerintah.
b. Keterbukaan prosedur pengoperasian standar (standard operating
- 34 -

procedure) penanganan perkara dan pemrosesan pihak yang


menyalahgunakan wewenang.
c. Penyempurnaan kode etik dengan sanksi yang jelas (diperkuat dengan
penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai).
d. Pengendalian dan pengawasan proses pelayanan publik, penguatan
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP), serta publikasi pelaku
penyalahgunaan jabatan.
e. Implementasi UU tentang Pelayanan Publik, keterbukaan dalam
penunjukan pejabat publik, dan penyelarasan UU tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
f. Pembenahan sistem melalui Reformasi Birokrasi dengan fokus pada
lembaga penegak hukum dan peradilan.
g. Sertifikasi hakim tipikor berdasarkan kompetensi dan integritas.
h. Pengembangan sistem dan pengelolaan pengaduan internal dan
eksternal (termasuk masyarakat) atas penyalahgunaan kewenangan.
i. Pemantapan administrasi keuangan negara, termasuk penghapusan
dana off-budget, dan mempublikasikan penerimaan hibah/bantuan/
donor di badan publik dan partai politik.
j. Penyusunan dan publikasi laporan keuangan yang tepat waktu,
dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi K/L dan Pemda.
k. Pembatasan nilai transaksi tunai.
l. Penertiban dan publikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) bagi pejabat publik.
m. Penguatan mekanisme kelembagaan dalam perekrutan, penempatan,
mutasi, dan promosi aparat penegak hukum berdasarkan hasil
assesment terhadap rekam-jejak, kompetensi, dan integritas sesuai
kebutuhan lembaga penegak hukum.
n. Transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme pengadaan barang
dan jasa.
- 35 -

o. Transparansi dan akuntabilitas laporan kinerja tahunan K/L dan


Pemda yang dilaporkan dan dipublikasikan secara tepat waktu.
p. Penerapan pakta integritas.

3.2.b. Strategi 2. Penegakan Hukum


Fokus-fokus kegiatan prioritas perbaikan mekanisme penegakan
hukum dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
aparat dan lembaga penegak hukum adalah melalui:
a. Penguatan serta peningkatan konsistensi sanksi hukum dan
administrasi bagi pelaku maupun aparat penegak hukum yang
melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang atau
tipikor.
b. Penguatan sanksi hukum terhadap penyalahgunaan wewenang,
misalnya dengan mengembalikan aset yang dikorupsi dan membayar
kerugian yang ditimbulkan dari penyalahgunaan wewenang tersebut.
c. Memperkuat koordinasi penanganan kasus korupsi diantara lembaga
penegak hukum dengan dukungan TI yang komprehensif (e-law
enforcement).
d. Pengaturan anti penyuapan serta korupsi dalam kode etik profesi,
termasuk profesi advokat, akuntan publik, dan konsultan pajak.
e. Pemberatan sanksi hukum pidana untuk penyuapan yang dilakukan
oleh profesi berkode etik.
f. Pengaturan pencabutan izin, pengembalian keuntungan, dan ganti rugi
bagi pengusaha/swasta/individu yang melakukan penyuapan.
g. Penerapan pembuktian terbalik atas kekayaan yang tidak dapat
dijelaskan.
h. Memudahkan proses perolehan informasi bank oleh lembaga penegak
hukum dalam rangka pemberantasan korupsi.
i. Pengetatan pemberian remisi kepada pelaku tipikor.
j. Konsistensi penegakan hukum di satu daerah ke daerah lain.
- 36 -

3.2.c. Strategi 3. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan


Mengatasi tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terkait
upaya pemberantasan korupsi adalah dengan mengharmonisasikan dan
menyusun peraturan perundang-undangan dalam rangka implementasi
UNCAC. Fokus kegiatan jangka menengah dari strategi ini adalah:
a. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kebijakan nasional dengan kebutuhan daerah terkait masalah
sumber daya alam.
b. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait
masalah bidang kehutanan, mineral dan batu bara, sumber daya air,
pertanahan, tata ruang, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
c. Harmonisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam
rangka implementasi UNCAC dan peraturan pendukung lainnya.
d. Harmonisasi, sinkronisasi, dan penyusunan peraturan perundang-
undangan untuk modernisasi penegakan hukum dalam sistem
peradilan pidana.
e. Melakukan pemetaan dan evaluasi Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) terkait pemberantasan korupsi serta revisi peraturan
perundang-undangan terkait proses penegakan hukum dan peraturan
pendukung lainnya.
f. Penyelesaian Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana,
perampasan aset, tipikor, ekstradisi, MLA, dan transfer of sentenced
person (yang substansinya sesuai ketentuan UNCAC).
g. Harmonisasi dan pembatalan peraturan mengenai pungutan yang
bertentangan dengan peraturan pusat.
h. Penyederhanaan jumlah dan jenis perizinan dalam kapasitas daerah.
i. Pengawasan atas pelaksanaan regulasi pelimpahan kewenangan
- 37 -

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.


j. Penyelarasan UU tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
k. Pengaturan dan penegakan aturan main konflik kepentingan, yang
berlaku juga bagi partai politik.
l. Analisis putusan pengadilan dan pangkalan data putusan korupsi
sebagai preseden bagi para hakim.
m. Pengaturan untuk PPK di sektor swasta.
n. Pengaturan tentang peningkatan kekayaan secara tak wajar (illicit
enrichment), memperdagangkan pengaruh (trading in influence), dan
penyuapan pejabat asing.
o. Kemudahan akses masyarakat dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan, termasuk jaminan partisipasi dalam uji publik.

3.2.d. Strategi 4. Kerja Sama Internasional dan Penyelamatan Aset


Hasil Tipikor
Langkah yang perlu ditempuh adalah dengan meningkatkan kerja
sama internasional dalam rangka pencegahan, pengembalian aset, dan
penyelesaian tindak pidana lainnya. Langkah itu dilakukan melalui
penyusunan instrumen hukum dan mekanisme kerja sama (internasional,
bilateral, dan regional), khususnya dalam pengajuan MLA terkait masalah
pidana, kordinasi intensif antar lembaga penegak hukum, serta
peningkatan upaya dan kemampuan diplomasi aparat lembaga penegak
hukum. Fokus kegiatan dalam jangka menengahnya adalah:
a. Memastikan dan menguatkan lembaga pelaksana Otoritas Pusat untuk
tipikor.
b. Perbaikan mekanisme MLA dalam rangka pemberantasan korupsi.
c. Memastikan terbentuknya unit pengelolaan aset (asset management
unit) hasil tipikor guna mendukung proses penegakan hukum dan
transparansi pengelolaan aset terkait lainnnya sebagai bentuk
- 38 -

pemanfaatan pengelolaan aset hasil tipikor.


d. Pelatihan dan asistensi teknik pada lembaga penegak hukum, baik
kualitatif dan kuantitatif, dalam rangka penyelamatan aset hasil
korupsi, termasuk perihal intelijen/forensik keuangan.
e. Peningkatan kerja sama dengan penegak hukum asing dalam rangka
PPK.
f. Pembentukan Unit Penyelamatan Aset, termasuk di setiap lembaga
terkait.

3.2.e. Strategi 5. Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi


Dengan persamaan cara pandang dan pola pikir bahwa korupsi
sangat merugikan masyarakat, diharapkan prakarsa-prakarsa positif yang
mengarah pada perbaikan dapat terjadi. Hal ini dapat diakomodasi dalam
fokus kegiatan berjangka menengah dalam strategi ini, yakni:
a. Pengembangan sistem nilai dan sikap anti korupsi dalam pelbagai
aktivitas tiga pilar PPK, yakni; masyarakat, sektor swasta, dan aparat
pemerintah.
b. Pengembangan nilai-nilai anti korupsi dalam berbagai aktivitas
pendidikan, yakni; di sekolah, perguruan tinggi, dan lingkup sosial,
demi menciptakan karakter bangsa yang berintegritas, termasuk
melalui kurikulum dan kegiatan di luar kurikulum.
c. Kampanye anti korupsi secara menyeluruh.
d. Strategi komunikasi, informasi, dan edukasi yang jelas dan terencana.
e. Menggalang kerja sama dengan media dalam mengembangkan nilai
anti korupsi dan karakter berintegritas, termasuk malalui berbagai
media kreatif.
f. Keterpaduan manajemen kampanye anti korupsi (penyebarluasan
jejaring AC Forum/ToT Penyusunan Rencana Aksi Daerah
Pemberantasan Korupsi, koordinasi anggaran untuk kebutuhan
kampanye).
- 39 -

g. Publikasi dan sosialisasi hasil-hasil masukan masyarakat kepada


publik oleh K/L dan Pemda terkait.
h. Publikasi praktik-praktik terbaik anti korupsi (jaringan pendidikan
integritas).
i. Memperluas ruang partisipasi masyarakat dalam upaya
pemberantasan korupsi dengan melaksanakan diseminasi anti korupsi
oleh masyarakat (CSO, NGO, CBO).

3.2.f. Strategi 6. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan


Korupsi
Dalam strategi ini, dibangun mekanisme pengkajian dan pelaporan
nasional/internal yang menyajikan informasi pelaksanaan ketentuan
UNCAC serta informasi mengenai upaya PPK lainnya di Indonesia kepada
masyarakat luas. Kegiatan tersebut berdasarkan sistem monitoring
(pemantauan) dan evaluasi yang berbasis pada hasil dan pencapaian yang
terukur dalam konteks PPK. Stakeholders dalam mekanisme ini meliputi
aparat K/L hukum dan organisasi nonpemerintah. Kegiatan berjangka
menengah dalam strategi ini adalah:
a. Memperluas dan mempermudah akses informasi berbagai upaya dalam
rangka proses PPK dari masing-masing K/L.
b. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
aksi dan pelaporan kinerja PPK.
c. Penyusunan payung hukum dan kebijakan yang mendukung
kelancaran penyusunan laporan serta publikasi pelaksanaan PPK
Nasional secara rutin dan konsisten.
d. Penyusunan mekanisme kerja para pihak untuk mendukung pelaporan
dan publikasi PPK Nasional.
e. Penyiapan sarana-prasarana pendukung penyusunan dan publikasi
laporan PPK.
- 40 -

BAB IV
PERANTI ANTI KORUPSI

Berikut adalah suatu daftar peranti anti korupsi yang dapat


diadopsi oleh K/L dan Pemda dalam rangka mengimplementasikan
Stranas PPK. Daftar ini tidak membatasi diadopsinya peranti anti korupsi
lainnya yang sesuai dengan situasi dan kondisi K/L dan Pemda dalam
upaya percepatan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
4.1.a. Profil assesment, di dalamnya meliputi pelaksanaan rekrutmen,
mutasi, dan promosi yang ditempuh berdasarkan kompetensi dan
integritas dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya
manusia.
4.1.b. Citizen’s charter, yaitu itikad menetapkan komitmen atas
layanan publik yang disediakan oleh instansi bersangkutan dengan
merespon terhadap tanggapan dan masukan masyarakat.
4.1.c. Kode etik, merupakan pedoman yang memuat ketentuan-
ketentuan yang menunjukkan komitmen instansi bersangkutan
dalam pemberantasan korupsi.
4.1.d. Mekanisme kontrol sosial, dengan adanya mekanisme yang
mengedepankan partisipasi masyarakat, pemerintah dapat
didorong untuk bekerja secara lebih efisien, baik dalam konteks
waktu maupun biaya.
4.1.e. Mekanisme pelaksanaan keterbukaan informasi, memberikan
jalur akses dokumen-dokumen, kecuali yang dirahasiakan, agar
masyarakat dapat turut mengawasi kerja dan kinerja pemerintah.
4.1.f. Mekanisme penanganan pengaduan masyarakat secara
transparan, bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas instansi
bersangkutan dalam pelayanan publik atau penegakan hukum.
- 41 -

4.1.g. Mobilisasi masyarakat sipil melalui edukasi dan peningkatan


kesadaran masyakarat, dengan cara mendiseminasi perilaku yang
diharapkan datang dari pemerintah (pada umumnya) atau pejabat
(pada khususnya) dalam rangka meningkatkan akuntabilitas
penyedia layanan publik.
4.1.h. Pakta integritas, merupakan suatu pakta formal yang berisi
komitmen untuk melaksanakan tugas, fungsi, tanggung jawab,
wewenang, dan peran sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta kesanggupan untuk tidak melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Pakta integritas juga dapat
diimplementasikan dalam proses pengadaan barang dan jasa
dengan kontraktor dan pihak-pihak terkait.
4.1.i. Pengaturan konflik kepentingan, di mana pejabat bukan hanya
diwajibkan untuk mengungkap kepentingan pribadinya ketika
timbul konflik kepentingan, melainkan juga harus memastikan
bahwa tindakan yang diambilnya memang untuk meniadakan
konflik tersebut. Absennya konflik kepentingan juga dapat menjadi
prasyarat bagi pengisian jabatan tertentu.
4.1.j. Penggunaan insentif positif untuk memperbaiki budaya dan
motivasi pegawai, antara lain ditempuh dengan cara
meningkatkan remunerasi/kompensasi. Selain itu bisa juga
dengan memperbaiki status profesional, ketahanan lahan
pekerjaan (job security), dan kondisi kerja. Secara umum, insentif
positif dapat mencegah dan memberantas korupsi.
4.1.k. Penguatan lembaga yudisial, melalui peningkatan kompetensi,
profesionalisme, dan integritas hakim yang amat penting untuk
memberantas korupsi. Caranya antara lain dengan pelatihan
hakim, implementasi kode etik hakim, transparansi proses
persidangan, transparansi harta dan penghasilan hakim, serta
- 42 -

pengaturan penugasan hakim pada kasus korupsi sedemikian


rupa sehingga sulit bagi pihak luar memprediksi atau
memengaruhi hakim mana yang akan ditempatkan untuk suatu
kasus tertentu.
4.1.l. Penguatan Pemerintah Daerah, sejumlah elemen strategi anti
korupsi direncanakan di level pusat, namun agar efektif,
diperlukan implementasi di daerah. Ada pula elemen anti korupsi,
yang baik perencanaan maupun implementasinya, sepenuhnya
diselenggarakan di daerah. Peranti ini, dengan demikian, selain
penting untuk membantu perencanaan dan pembuatan keputusan
yang cocok dengan kebutuhan di daerah terkait, sekaligus juga
dapat memfasilitasi integrasi perangkat yang digunakan di tingkat
daerah secara vertikal (dengan program nasional) maupun
horisontal (dengan program daerah lain). Perangkat ini juga dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di
daerah.
4.1.m. Pengurangan kompleksitas prosedural, adalah penataan ulang
administrasi dengan tujuan memangkas prosedur administratif
dan penjelasan wewenang. Selain agar dapat mempersempit
peluang bagi terjadinya korupsi, hal ini bertujuan pula untuk
meningkatkan transparansi, integritas, pelayanan, serta
mengurangi biaya.
4.1.n. Perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator,
penting untuk mendorong pengungkapan tipikor.
4.1.o. Proses pelayanan publik dan pengadaan barang dan jasa
berbasis TI, akan memperkecil interaksi antar manusia yang
ujung-ujungnya mempersempit peluang terjadinya tipikor.
4.1.p. Transparansi serta penyingkapan aset dan penghasilan,
pelaksanaannya dilakukan secara efektif agar menjadi pintu
- 43 -

masuk bagi penerapan aturan mengenai perolehan harta kekayaan


pejabat publik yang tidak wajar.
4.1.q. Uji integritas, dilakukan secara mendadak dengan mengondisikan
suatu situasi tertentu tempat pegawai yang bersangkutan memiliki
kesempatan untuk melakukan tipikor. Melaluinya, dapat
dimungkinkan untuk tahu apakah seorang pegawai negeri sipil
atau unit pemerintah terlibat praktik korupsi atau tidak. Uji
integritas juga bertujuan untuk meningkatkan rasio tertangkapnya
pelaku agar menimbulkan efek deteren.
- 44 -

4.2.a. Peta Jalan (Roadmap) Stranas PPK Jangka Panjang Tahun


2012-2025

Sasaran
Keluaran
2012 - 2014 2015 - 2019 2019 -2024 2025
Utama/
Pendukung

IPK/CPI 5 6,5 7,9 8

% Kesesuaian
Ratifikasi 80 % 100 % 100 % 100 %
UNCAC
Indeks Sistem
Kenaikan Kenaikan Kenaikan
Integritas
- Indeks Indeks Indeks
Nasional
15 % 15 % 5%
(SIN)
Indeks Kenaikan Kenaikan Kenaikan
Pencegahan - Indeks Indeks Indeks
Korupsi 15 % 15 % 5%
Indeks
Kenaikan Kenaikan Kenaikan
Penegakan
- Indeks Indeks Indeks
Hukum
20 % 20 % 5%
Tipikor
%
Penyelesaian
80 % 100 % 100 % 100 %
rekomendasi
UNCAC
%
Pengembalian 80 % 90 % 95 % 96 %
Aset Tipikor
Indeks
3,25 dari 4 dari 4,5 dari 4,6 dari
Perilaku Anti
Skala 5 Skala 5 Skala 5 Skala 5
Korupsi
Indeks
Kepuasan
Stakeholders 3,25 dari 4 dari 4,5 dari 4,6 dari
terhadap Skala 5 Skala 5 Skala 5 Skala 5
Pelaporan
PPK
- 45 -

4.2.b. Peta Jalan (Roadmap) Stranas PPK Jangka Menengah Tahun


2012-2014

Sasaran
Keluaran 2012
2012 2013 2014
Utama/ (Baseline)
Pendukung

IPK/CPI 3 3,5 4,25 5

% Kesesuaian
Ratifikasi - 30 % 70 % 80 %
UNCAC
Indeks Sistem
Kenaikan
Integritas Penetapan
- - Indeks
Nasional Baseline
5%
(SIN)
Indeks
Pencegahan - 3,94 4,51 5,08
Korupsi
Indeks
Kenaikan Kenaikan
Penegakan Penetapan
- Indeks Indeks
Hukum Baseline
5% 5%
Tipikor
%
Review Bab
Penyelesaian
III dan Bab IV 30 % 70 % 80 %
rekomendasi
UNCAC
UNCAC
%
Pengembalian - 70 % 75 % 80 %
Aset Tipikor
Indeks
Penetapan 3 dari 3,25 dari
Perilaku Anti -
Baseline Skala 5 Skala 5
Korupsi
Indeks
Kepuasan
Stakeholders Penetapan 3 dari 3,25 dari
-
terhadap Baseline Skala 5 Skala 5
Pelaporan
PPK
- 46 -

4.2.c. Formula Pengukuran Indikator Keberhasilan

Indikator Formula
Sub Indikator Sumber Data
Keberhasilan Pengukuran

IPK/CPI - Survei TI
% Kesesuaian
- Survei KPK
Ratifikasi UNCAC
Indeks SIN - Survei KPK
Indeks Pencegahan
Control of Corruption Survei World Bank
Korupsi
Ease of Doing
Survei World Bank
Business
Rasio Jumlah Tindak
Indeks Penegakan % Penyelesaian Lanjut dengan Total
Polri, Kejagung, KPK
Hukum Laporan Tipikor Laporan yang
Diterima
Rasio Jumlah
% Penyelidikan yang
Penyidikan dengan Polri, Kejagung, KPK
menjadi Penyidikan
Total Penyelidikan
Rasio Jumlah
% Penyidikan yang
Penuntutan dengan Polri, Kejagung, KPK
menjadi Tuntutan
Total Penyidikan
Rasio Jumlah
Conviction Rate Pemidanaan dengan Kejagung, KPK
Total Penuntutan
Rasio Jumlah yang
% Execution Rate Dieksekusi dengan Kejagung, KPK
Pemidanaan
Rasio Jumlah yang
% Penyelesaian Diselesaikan dengan
- UNCAC, KPK
rekomendasi UNCAC yang
Direkomendasikan
Rasio Jumlah Aset
yang Disetorkan ke
% Penyelamatan Aset
- Kas Negara dengan KPK, Kejagung
Tipikor
yang Diputus
Pengadilan
Rasio Jumlah
% Tingkat Realisasi dengan
Keberhasilan Kerja - Total Permintaan Kemkumham,
Sama Internasional MLA dan Perjanjian
Extradisi
Indeks Perilaku Anti
- Survei BPS, Bappenas
Korupsi
Indeks Kepuasan
Stakeholders thd - Survei BPS, Bappenas
Pelaporan PPK
- 47 -

4.2.d. Formula Penghitungan Indeks Pencegahan Korupsi dan Indeks


Penegakan Hukum Tipikor
Indeks Pencegahan Korupsi
(Indeks Kesetaraan CoC + Indeks Kesetaraan Ease of Doing Business)/2

4.2.d.1 Indeks Kesetaraan Control of Corruption (CoC)

CoC – Convernance Score


Indeks Kesetaraan CoC
(-2,5 sampai dengan 2,5)

2,5 10

2 9

1,5 8

1 7

0,5 6

0 5

-1 4

-1,2 3

-2 2

-2,5 1
- 48 -

4.2.d.2 Indeks Kesetaraan Ease of Doing Business (EoDB)

EoDB – Ranking Indeks Kesetaraan EoDB

1 - 18 10

19 - 36 9

37 - 54 8

55 - 72 7

73 - 90 6

91 - 108 5

109 - 126 4

127 - 144 3

145 - 162 2

163 - 183 1

Indeks Pencegahan Korupsi Tahun 2011 : 4,37 = (4,73 + 4)/2


- 49 -

4.2.d.3 Indeks Penegakan Hukum Tipikor

Sub Indikator Bobot

% Penyelesaian Laporan Tipikor 10 %

% Penyelidikan yang menjadi Penyidikan 20 %

% Penyidikan yang menjadi Tuntutan 30 %

% Conviction Rate 30 %

% Execution Rate 10 %

Sub Indikator Formula Pengukuran

% Penyelesaian Laporan Pengaduan Tipikor yang menjadi Penyelidikan


X 100
Tipikor Total Pengaduan Tipikor yang Diterima
% Penyelidikan yang Penyelidikan yang menjadi Penyidikan X 100
menjadi Penyidikan Total Penyelidikan yang Diterima
% Penyidikan yang Penyidikan yang menjadi Tuntutan X 100
menjadi Tuntutan Total Penyidikan yang Diterima %
Tuntutan yang menjadi Keputusan Tetap X 100
% Conviction Rate
Total Tuntutan yang Diterima
Eksekusi Keputusan Tetap X 100
% Execution Rate
Total Keputusan Tetap

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Deputi Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan,
ttd.

Bistok Simbolon

Anda mungkin juga menyukai