Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN BPH (BENIGN PROSTATIC HYPER PLASIA)

Laporan Pendahuluan Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Minggu Kelima


Departemen Keperawatan Medikal Bedah

OLEH :
FENDIK BAYU SUSANTO
18631757

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2020
KONSEP PENYAKIT BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

A. Pengertian BPH
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai
pembesaran jinak kelenjar prostate yang disebabkan karena hyperplasia beberapa/
semua komponen prostate. (Nugroho, 2011).

BPH adalah pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke


dalam kandung kemih, yang menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium
uretra (Smeltzer & Bare, 2003).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat

(secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doenges, 2000)
BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stroma dan
epitelia pada bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia
ini disebabkan adanya proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel yang
menyebabkan terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang
kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah. (Mansjoer, dkk 2000)
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra.

B. Etiologi BPH
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelaskan
bahwa terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti
usia,adanya peradangan,diet,serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya
mempengaruhi prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian
memicu proliferasi sel prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat
disebabkan karena berkurangnya proses apoptosis. Roehrborn (2011)
menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar bukan hanya karena
meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH
dapat menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala
LUTS (lower urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala
obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi :
frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan
sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan
tahap selanjutnya terjadi retensi urin (IAUI, 2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan.

C. Manifestasi klinik

(Nugroho, 2011) :
1. Kesulitan dan sering berkemih
2. Retensi urin
3. Nyeri perineal
4. Nokturia
5. Hematuria
6. Sakit pinggang
7. Nyeri panggul
8. Oliguria (penurunan haluan win)
9. Kelemahan, mual

D. Klasifikasi BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De
jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang
dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan
batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat
tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100 ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
E. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak
disebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa + 20 gram. Menurut Mc
Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar
prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose
di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat
tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila
keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersensitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat resiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan reIuks vesiko ureter dan dilatasi.
Ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
reIuks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

F. Pathway
Perubahan keseimbangan antara
hormone testosterone dan estrogen

Testosterone bebas+enzim 5α reduktase


Dehidro Testosteron (DHT)
Diikat reseptor
(dalam sitoplasma sel prostat)
Proses menua Mempengaruhi inti sel (RNA)
Peningkatan Ketidak seimbangan Proliferasi sel Interaksisel epitel
Sel stem Hormon dan stroma inflamasi

Hyperplasia pada epitel dan


stroma pada kelenjar prostat

BPH
Benigna Prostat Hiperplasia
Penyempitan lumen uretra
Pada prostatika
Menghambat aliran urin

Bendungan Vesica Urinaria Statis urin


Peningkatan tekanan intra Media berkembangnya patogen
vesikal
Hiperiritable pada blader Resiko Infeksi

Peningkatan kontraksi otot Kontraksi otot suprapubik


Detrusor dari buli-buli
Tekanan mekanis
Hipertropi otot detrusor, trabekulasi
Merangsang Nosiseptor
Terbentuknya selula, sekula
Dan diventrikel buli-buli Dihantarkan
Serabut tipe A&C
LUTS
(Lower Urinary Tract Syndrome) Medula spinalis
Gejala Iritatif

-Urgensi Sistem aktivasasi Sistem aktifasi Area grisea


-Frekuensi BAK sering Reticular reticular periakueduktus
(nokturia,diurnal uria)

Talamus Hipotalamus&sistem Talamus


Gangguan eliminasi Limbik

Otak
(Korteks Somatosensorik)
Persepsi Nyeri
Prosedur Pembedahan
Nyeri Akut
Kurang terpapar informasi
Mengenai prosedur pembedahan

Ancaman kematian

Krisis situasional

Ansietas
Sumber : Nugroho (2011), NANDA-I (2012)
G. Tanda dan Gejala
Secara klinis tanda dan gejala pada BPH digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu
lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin
dan inkontinen karena over flow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersensivitas otot
detrusor dengan tanda dan gejala antara lain : sering miksi (frekwensi), terbangun
untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak
(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000).
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa tanda dan gejala
dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan
harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus
menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
1) Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
2) Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
3) Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
4) Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
5) Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur,disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
1) Normal : Tidak ada sisa
2) Grade I : sisa 0-50 cc
3) Grade II : sisa 50-150 cc
4) Grade III : sisa > 150 cc
5) Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
a.Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c.Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
- BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
- USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume
dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra
pubik.
- IVP ( Intravena Pyelografi)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
- Pemeriksaan Panendoskop Untuk mengetahui keadaan uretra dan
buli – buli.
4. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan
gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal
maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang
dilakukan karena mahal biayanya.
5. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi
gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber
perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu
radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi
keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars
prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra. (Nugroho, 2011)
6. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus
diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih,
batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA
< 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,dihitung
Prostate spesific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan
volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsy prostat,
demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
7. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka
semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan
biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka
fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
8. Pemeriksaan Radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan
sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat
disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya
batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga
dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat
supresi komplit dari fungsi renal,hidronefrosis dan hidroureter, gambaran
ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat,memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin
dan batu ginjal.
BNO/IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah
terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. 0AP untuk
melihat/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-
buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan.
Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi
kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya reIuks urin.Sesudah
kencing adalah untuk menilai residual urin
I. Penatalaksanaan BPH
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra(trans uretra)
c. Stadium III
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita
yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat
dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat
adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan
obat anti androgen yang menekan produksi LH. Menurut Mansjoer (2000)
dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan :
1) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan,kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan
colok dubur.
2) Medikamentosa
1) Pengharnbat adrenoreseptor α
2) Obat anti androgen
3) Penghambat enzim α -2 reduktase
4) Fisioterapi
3) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
a) TURP (Trans $retral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra.
b) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
c) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
d) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
e) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
4) Terapi Invasif Minimal
a) Trans Uretral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
b) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
c) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
1) Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10 g/dl, Golongan Darah, CT,
BT, AL)
2) Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPH kebanyakan lansia
3) Pemeriksaan Radiologi : BNO, IVP, Rongten thorax
4) Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya
udara
b. Post operasi
1. Irigasi/spoling dengan Nacl
a) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
b) Hari pertama post operasi : 80 tetes/menit
c) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
d) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
e) Hari ke 4 post operasi diklem
f) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
2. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis < 50 cc)
3. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2
hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi
bisa diganti dengan obat oral.
4. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi.
5. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post operasi
dengan betadin.
6. Anjurkan banyak minum (2-3 ltr/hari)
7. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi.
8. Hecting aff pada hari ke-10 post operasi.
9. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
10. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan
perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan
otot polos dapat membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada
pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan,
tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
12. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
13. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian
jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
14. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan
memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada
tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN BPH
(BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)
A. Pengkajian
1. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan rektum dengan jari tangan dapat mengungkapkan pembesaran
fokal atau difus prostat
b. Pemeriksaan abdomen bawah (simpisis pubis) dapat memperlihatkan pembesaran
kandung kemih (Mc Phee & Ganong, 2010)
c. Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal
insufisiensi dari obstruksi yang lama .
d. Kandung Kemih
 Inspeksi : penonjolan pada daerah supra pubik menunjukkan adanya retensi
urine
 Palpasi : akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin
buang air kecil yang menunjukkan adanya retensi urine
 Perkusi : suara redup menunjukkan adanyaa residual urine.
e. Pemeriksaan Penis : Uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
f. stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis
g. Pemeriksaan Rectal Toucher (colok dubur) dilakukan dengan posisi knee chest
dengan syarat vesika urinaria kosong/dikosongkan. Tujuannya adalah untuk
menentukan konsistensi prostat dan besar prostat.
2. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua dan pasien
biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan bahwa sakit yang
dideritanya pengaruh umur yang sudah tua.Perawat perlu mengkaji apakah klien
mengetahui penyakit apa yang dideritanya dan apa penyebab sakitnya saat ini ?
2. Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abdomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat
badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan pengeluaran baik cairan
maupun nutrisinya.
3. Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien
dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin
berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nocturia,
dysuria dan hematuria. Sedangkan pada  postoperasi BPH yang terjadi karena
tindakan invasif serta prosedur  pembedahan sehingga perlu adanya obervasi
drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna
urin. Evaluasi warna urin contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan
bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemungkinan terjadinya
konstipasi. Pada post operasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Pola latihan aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi
kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh
fleksi selama traksi masih diperlukan, klien juga merasa nyeri pada prostat dan
pinggang. Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.
5. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu, disebabkan
oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus dimana hal ini dapat
mengganggu kenyamana klien. Jadi perawat perlu mengkaji berapa lama klien tidur
dalam sehari, apakah ada perubahan lama tidur sebelum dan selama sakit/selama
dirawat ?
6. Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-
tanda seperti kegelisahan, kacau mental perubahan perilaku.
7. Pola kognitif- perceptual
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya terganggu
karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien mengalami hal itu, jadi
perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien, bagaimana status neurologis
klien, apakah ada gangguan ?
8. Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang diderita.
Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien dengan lingkungan
sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan
masyarakat sekitar ? apakah ada perubahan peran selama klien sakit ?
9. Pola Reproduksi-Seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
10. Pola Koping dan Toleransi Stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stress karena memikirkan pengobatan
dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa meakukan aktivitas
seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan tingkah laku dan kegelisahan
klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana klien menghadapi masalah yang dialami ?
Apakah klien menggunakan obat-obatan untuk mengurangi stresnya ?
11. Pola Keyakinan dan Nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan dalam
beribadah sholat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK yang sering
keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada pantangan dalam
agama klien untuk proses pengobatan ?
3. Pemeriksaan penunjang (Doengoes M, 1999 : 672)
1) Lab: Urinalisa warna kuning cokelat gelap, merah gelap atau terang (berdarah),
penampilan keruh, pH7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi bakteri, SDP
(leukosit), SDM (eritrosit) mungkin ada secara mikroskopik.
2) Kultur Urine: Dapat menunjukkan stapilococcus aureus proteus, klebsiela,
pseudomonas atau esceri ciacoli
3) Sitologi urine: dapat mengesampingkan kanker kandung kemih
4) BUN/ kreatinin: meningkat apabila fungsi ginjal di pengaruhi
5) Penentuan kecepatan urine mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
6) Leukosit: mungkin lebih besar dari 11 UK/UI mengidentifikasi infeksi
7) Sistogram: mengukur tekanan dan volume kandung kemih untuk
mengidentifikasi disfungsi yang tidak berhubungan dengan BPH
8) Sisteuretroskopi: untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan
perubahan dinding kandung kemih. (kontra indikasi pada awalnya ISK akut
berhubungan dengan resiko sepsis gram negative)
9) Sistrometri: mengevaluasi fungsi otot destructor dan ototnya.
10) Ultra sound transtrektal mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine
melokalisasi yang tidak berhubungan dengan BPH
B. Diagnosa/masalah keperawatan yang muncul pada BPH
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
Pre operasi:
1. Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan obstruks anatomik (BPH) ditandai
dengan BAK frekuensi sering namun sedikit-sedikit, nocturia dysuria, retensi urine,
urgency (dorongan berkemih), anyang-anyangan, dribbling.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (BPH) ditandai dengan
melaporkan nyeri secara verbal, peningkatan denyut nadi, peningkatan frekuensi
pernapasan, peningkatan tekanan darah, meringis, melokalisasi nyeri.
3. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan informasi
ditandai dengan pengungkapan masalah.
Post Operasi:
1. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (pemasangan kateter).
2. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur pembedahan
ditandai dengan adanya luka insisi pembedahan.
C. Rencana Asuhan Keperawatan

Masalah Keperawatan Tujuan/KH Intervensi Rasional


Pre Operasi
1. Gangguan eleminasi Setelah dilakukan NIC Label: Urinary Urinary Elimination
urin berhubungan asuhan keperawatan Elimination Management
dengan obstruks selama….x24 jam, Management 1.Memonitor adanya
anatomik (BPH) diharapkan pasien 1.Monitor eliminasi urin perubahan pola
ditandai dengan BAK dapat berkemih termasuk frequensi, eliminasi
frekuensi sering namun dengan kriteria hasil: konsistensi, bau, 2.Prevensi terjadinya
sedikit-sedikit, nocturia NOC Label: Urinary volume, dan warna jika retensi urin yang berat
dysuria, retensi urine, Elimination diperlukan 3.Mengurangi kejadian
urgency (dorongan a. Pola eliminasi 2.Monitor tanda dan tidak nyaman
berkemih), anyang- klien teratur gejala dari retensi 4.Mengevaluasi
anyangan, dribbling. b. Jumlah urin dalam urinary keseimbangan input
rentang normal 3.Identifikasi factor dan output cairan
- (0,5- kontribusi yang 5.Untuk mengetahui
1cc/kgBB/jam menyebabkan gangguan pola berkemih klien
c. Tidak nyeri saat eliminasi urine
berkemih 4.Instruksikan klien dan Urinary Retension
d. Tidak mengalami keluarga mencatat Care
nocturia urinary output jika 1.Memberikan
e. Tidak mengalami diperlukan perawatan yang lebih
retensi urine 5.Catat waktu berkemih spesifik untuk
f. Warna urine mengatasi
jernih kekuningan inkontinensia klien
g. Pengosongan Urinary Retension Care 2.Membantu
kandung kemih 1.Rangsang reflex mengosongkan
yang sempurna kandung kemih dengan kandung kemih
h. Tidak ada darah mengaplikasikan dengan Teknik
ketika berkemih kompres dingin di nonfarmakologis
i. Pasien tidak perut, mengelus paha 3.Membantu klien untuk
merasa panas bagian dalam atau mengosongkan
ketika berkemih dengan air mengalir kandung kemih
2.Minta klien dan 4.Memandirikan klien
keluarga dan keluarga
memperhatikan input 5.Memastikan apakah
dan output cairan klien output sesuai dengan
3.Memonitor input dan input cairan klien
output cairan klien
Urinary
Urinary Catheterization Catheterization
1.Jelaskan prosedur 1.Meningkatkan
pemasangan kateter pengetahuan klien dan
2.Gunakan Teknik steril keluarga serta
ketika melakukan menurunkan
pemasangan kateter kecemasan klien
3.Gunakan selang kateter terhadap prosedur
dengan ukuran yang yang akan dilakukan
paling kecil, tidak 2.Mencegah terjadinya
memaksakan ukuran infeksi
yang besar 3.Menurunkan rasa
4.Tunjukan dan ajarkan nyeri pada saat
pasien untuk melakukan prosedur dilakukan,
perawatan kateter atau mencegah terjadinya
pengosongan urin bag rupture pembuluh
darah pada saluran
kemih
Medication Management 4.Mencegah terjadinya
1.Berikan obat apa yang infeksi akibat
dibutuhkan dan pemasangan kateter
diadministrasikan
menurut resep dan Medication
prosedur. Management
2.Monitor efek 1.Penanganan
therapeutic dari obat farmakologis untuk
3.Monitor tanda dan penyebab gangguan
gejala adanya efek 2.Memantau keefektifan
toksik pemberian medikasi
4.Monitor efek samping 3.Menghindari adanya
dari obat respon yang
5.Pantau ketaatan pasien merugikan
terhadap regiment 4.Menghindari efek
medication yang tidak diinginkan
6.Kaji pengetahuan klien 5.Monitoring perbaikan
tentang obat prilaku untuk
7.Ajarkan klien dan mempercepat
keluarga prosedur terapi penyembuhan
obat 6.Meningkatkan
8.Ajarkan klien tanda dan pengetahuan klien
gejala dari efek terapi, tentang medikasi yang
efek samping dan efek diberikan
toksik dari regimen 7.Meningkatkan
terapi pemahaman klien dan
keluarga mengenai
cara penggunaan obat
8.Agar klien paham
Bladder Irrigation tentang efek samping
1.Pastikan apakah irigasi dan penangananya
akan terus berkelanjutan
atau intermitten (sesuai Bladder Irrigation
kebutuhan) 1. Agar tindakan yasng
2.Lakukan irigasi dengan dilakukan benar dan
Teknik steril tidak membahayakan
3.Bersihkan tempat untuk kondisi pasien
memasukkan dan 2. Untuk mencegah
mengeluarkan cairan terjadinya infeksi
dengan alcohol 3. Tujuan
4.Monitor dan membersihkan
pertahankan kecepatan adalah agar tidak ada
aliran yang sesuai kontaminasi bakteri
5.Catat cairan yang yang dapat
digunakan, karakteristik menyebabkan infeksi
output dan jumlahnya apabila masuk ke
tubuh pasien
4. Agar cairan yang
masuktidak kurang
dan tidak lebih serta
sesuai dengan
kondisi bladder
pasien
5. Jumlah cairan yang
- masuk harus
seimbang dengan
yang keluar sehingga
tidak ada cairan yang
tertahan di dalam
tubuh pasien.
Karakteristik output
mencerminkan
keadaan bladder
pasien

Pain Management
2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan NIC Label: Pain
dengan agen cedera asuhan keperawatan Management 1.Nyeri merupakan
biologis (BPH) ditandai selama….x24 jam, 1.Kaji nyeri secara pengalaman subyektif
dengan melaporkan diharapkan nyeri klien komprehensif (lokasi, dan harus dijelaskan
nyeri secara verbal, dapat teratasi dengan karakteristik, durasi, oleh pasien.
peningkatan denyut kriteria hasil: frekuensi, kualitas, dan Identifikasi
nadi, peningkatan NOC Label: Pain factor presipitasi) karakteristik nyeri dan
frekuensi pernapasan, Level 2.Eliminasi factor yang factor yang
peningkatan tekanan 1.Pasien melaporkan memicu terjadinya nyeri berhubungan dengan
darah, meringis, skala nyeri 3.Kolaborasi pemberian nyeri merupakan
melokalisasi nyeri. berkurang terapi analgetik secara merupakan hal yang
2.Pasien tidak tampak tepat penting untuk dikaji,
melokalisasi nyeri 4.Anjurkan Teknik untuk memilih
dan dan tidak nonfarmakologi seperti intervensi yang tepat
tampak meringis relaksasi,distraksi, dan mengevaluasi
3.Respiration rate napas, dalam sebelum keefektifan dari terapi
pasien normal (16- nyeri terjadi atau yang diberikan
20x/menit) meningkat
4.Tekanan darah 5.Gunakan strategi 2.Faktor pencetus nyeri
normal komunikasi terapeutik dapat meningkatkan
(120/80mmHg) untuk memberikan nyeri pasien
5.Nadi normal (60- terapi nonfarmokologi 3.Agen-agen analgetik
100x/menit secara sistemik dapat
NOC Label:Pain NIC Label : Vital Sign menghasilkan
control 1. Pantau tanda-tanda relaksasi umum
1.Menggunakan vital pasien (tekanan
analgetik seperti darah, nadi, suhu, dan 4.Tindakan distraksi dan
yang tidak respirasi) relaksasi
direkomendasikan memungkinkan klien
2.Pasien dapat untuk mengontrol rasa
melaporkan ketika nyeri yang muncul
tidak dapat secara mandiri
mengontrol nyeri
5.Komunikasi terapeutik
diperlukan dalam
menjalin BHSP dan
memudahkan perawat
dalam memberikan
intervensi.
Vital Sign
1. Tanda-tanda vital
mampu menentukan
perubahan-
perunahan yang
terjadi dalam tubuh
pasien

Post Operasi

1. Risiko infeksi Setelah dilakukan NIC Label: Infection NIC Label: Infection
berhubungan dengan asuhan keperawatan Control Cotrol
prosedur invasif selama….x24 jam, 1.Bersihkan lingkungan 1.Mencegah terjadinya
(pemasangan kateter). diharapkan status setelah dipakai lain infeksi nosocomial
kekebalan klien 2.Batasi pengunjung bila yang dapat
meningkat dengan perlu memperburuk kondisi
kriteria hasil: 3.Instruksikan pasien baru
pengunjung untuk 2.Mengurangi resiko
NOC Label: Risk mencuci tangan saat infeksi yang mungkin
Control: Infectious berkunjung dan setelah ditularkan pengunjung
Process berkunjung 3.Mengurangi kuman
a. Dapat 4.Gunakan sabun anti yang ditularkan
mengidentifikasi mikroba untuk cuci melalui tangan
factor resiko infeksi tangan pengunjung
b.Mampu 5.Cuci tangan sebelum 4.Membantu membunuh
melaksanakan dan sesudah tindakan kuman yang ditularkan
peningkatan waktu keperawatan melalui tangan
istirahat 6.Gunakan universal 5.Mencegah terjadinya
c. Mampu precaution dan gunakan infeksi selama
mempertahankan sarung tangan selama melakukan intervensi
kebersihan kontak dengan kulit keperawatan
lingkungan yang tidak utuh 6.Mengurangi terjadinya
d.Mengetahui resiko 7.Tingakatkan intake resiko infeksi akibat
infeksi personal nutrisi dan cairan kontak dengan kulit
e. Mengetahui 8.Berikan terapi antibiotic yang tidak utuh
kebiasaan yang bila perlu 7.Nutrisi dan cairan
berhubungan dengan 9.Observasi dan laporkan dapat meningkatkan
resiko infeksi tanda dan gejala infeksi imunitas pasien
seperti kemerahan, 8.Mengurangi infeksi
panas, nyeri, tumor yang dialami pasien
10.Kaji temperature tiap 4 9.Agar dapat melakukan
jam penanganan infeksi
11.Catat dan laporkan hasil dengan segera
laboratorium, WBC 10.Perubahan temperature
12.Istirahat yang adekuat merupakan salah satu
13.Kaji warna kulit, turgor indicator terjadinya
dan tekstur, cuci kulit infeksi
dengan hati-hati 11.Peningkatan WBC
14.Ajarkan klien dan menunjukkan
anggota keluarga terjadinya infeksi pada
bagaimana mencegah pasien
infeksi 12.Istirahat yang cukup
dapat membantu
meningkatkan
imunitas pasien
13.Memantau adanya
tanda-tanda infeksi
14.Karena mencegah
infeksi harus
dilakukan oleh semua
pihak

2. Kerusakan integritas Setelah dilakukan NIC Label: Wound Care Wound Care
jaringan berhubungan asuhan keperawatan 1.Monitor karakteristik 1.Untuk mengetahui
dengan prosedur selama….x24 jam, luka termasuk drainase, jenis luka dan keadaan
pembedahan ditandai diharapkan terjadi warna, ukuran, dan bau luka pasien
dengan adanya luka perluasan regenerasi 2.Bersihkan luka dengan 2.Cairan normal saline
insisi pembedahan. sel dengan kriteria normal saline merupakan cairan
hasil: menggunakan Teknik fisiologis (mirip cairan
steril tubuh) sehingga aman
NOC Label: Wound 3.Rawat kulit disekitar untuk digunakan,
Healing: Primary luka Teknik steril
Intention 4.Gunakan obat salep digunakan untuk
a. Pembentukan kulit sesuai kebutuhan mencegah terjadinya
jaringan granulasiapabila diindikasikan infeksi
(luka Mulai
5.Terapkan balutan yang 3.Mencegah terjadinya
menutup) disesuaikan tipe luka iritasi pada kulit dan
b.Tidak ditemukan
6.Ajarkan pasien dan membantu
eksudat purulent dankeluarga tentang mempercepat
serosa prosedur perawatan penyembuhan luka
c. Tidak adaluka 4.Untuk membantu
pembengkakan, 7.Monitor keadaan luka proses penyembuhan
eritema, dan bau luka dan menjaga
pada luka NIC Label: Ifection kelembaban kulit
Protection 5.Menjaga luka agar
NOC Label: Tissue 1.Monitor adanya tanda tetap tertutup serta
Integrity dan gejala sistemik atau tidak terpapar
1.Perfusi jaringan local dari infeksi mikroorganisme
normal 2.Anjurkan pemberian 6.Agar pasien dan
2.Ketebalan dan antibiotic sesuai resep keluarga dapat
tekstur jaringan dokter apabila melakukan secara
normal diperlukan mandiri terutama saat
3.Ajarkan pasien dan dirawat dirumah
keluarga tentang tanda 7.Mengetahui
dan gejala infeksi perkembangan luka
4.Ajarkan pasien untuk
mencegah terjadinya Infection Protection
infeksi 1.Mengetahui terjadinya
infeksi
2.Pemberian antibiotic
adalah untuk
membantu melawan
mikroorganisme
pathogen penyebab
infeksi
3.Agar dapat segera
melaporkan
kepelayanan kesehatan
serta mencegah
terjadinya komplikasi
4.Agar tidak terjadi
infeksi

D. Implementasi
Pelaksanaan sesuai dengan BPH dengan intervensi yang sudah ditetapkan (sesuai dengan
literature).

E. Evaluasi
Penilaian sesuai dengan kriteria hasil yang telah ditetapkan dengan perencanaan (masalah
belum teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah teratasi).
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, Gloria M, Butcher, Howard K, Dochterman, Joanne M. and Wagner, Cheryl M.


2013, Nursing Interventions Classification (NIC), sixth Edition, USA: Mosby Elsevier
Davey, P (2002), At a Glance Medicine, Jakarta, Erlangga Medical Series
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000.Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Grace, PA, dan Borley, NR, 2007, At a Glance ilmu bedah edisi ketiga, 169, Jakarta, Erlangga
Herdman, TH and Kamitsuru, Shigemi, 2014, Nursing Diagnosis Definitions and classification
(NANDA) 2015-2017, Oxford: Wiley Blackwell
Judith M. Wilkinson & Nancy R. Ahern (2012). Diagnosa Keperawatan NANDA NIC-NOC.
Jakarta, Medi Action publishin
Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta, EGC : 2000.
NANDA. (2012). Nursing diagnosis: Definition and classification, 2012-2014.Oxford: Wiley-
Blackwell
Nugroho, T. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Penyakit Dalam. Nuha
Medika : Yogyakarta.
Schwatz, SI, 2000, Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah edisi 6, Jakarta:EGC

Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2004, Buku Ajar ilmu bedah edisi 2, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai