Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

EFEK OBAT SISTEM SARAF OTONOM


(PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK
TERHADAP KELENJAR SALIVA DAN MATA)

Disusun Oleh :
Nama : Esa Yuni Milenia
Nim : 18330098
Kelas : C

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI S1
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Percobaan
Sistem saraf otonom tersusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi
sistem saraf simpatik & parasimpatik selalu berlawanan. Dua perangkat neuron dalam
komponen otonom pada sistem perifer adalah neuron aferen/sensorik & neuron
eferen/motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls kesistem saraf pusat, dimana
impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls dari otak &
meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen
dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi 2 cabang yaitu saraf simpatis & sistem
parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ yang sama &
menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis.
B. Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menghayati secar lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian fungsi vegetatif tubuh
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergik / antikolonergik
pada neuroefektor parasimpatis

C. Prinsip Percobaan
Pemberian zat kolinergik pada hewan coba menyebabkan salivasi &
hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.
diameter kontrol−diameter uji
% Inhibisi = × 100%
diameter kontrol
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem saraf otonom (SSO) merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang
mempersarafi organ-organ dalam seperti otot polos, otot jantung, & berbagai kelenjar. Sistem
ini melakukan beberapa fungsi kontrol, misal : kontrol tekanan darah, pengosongan kandung
kemih, sekresi gastrointestinal, suhu tubuh, motilitas gastrointestinal, proses keringat, dan
beberapa fungsi lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan mempengaruhi dengan
sangat cepat. Karakteristik ini yang menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian
terhadap homeostatis karena gangguan terhadap homeostatis dapat mempengaruhi seluruh
sistem tubuh manusia. Dengan demikian SSO merupakan komponen dari refleks visceral.
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf otonom,
mulai dari sel saraf sampai dengan sel fektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ
otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik & bekerja pada dosis kecil.
Obat-obatan otonom bekerja dengan cara mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan
saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penguraian neurohormon, pembebasan,
penimbunan, & khasiatnya atas reseptor spesifik.
Berdasarkan macam-macam saraf otonom, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom
digolongkan menjadi :
1. Obat yang mempengaruhi sistem saraf simpatik :
a. Simpatomimetik / adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari
saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya : Efedrin, Isoprenalin, dan lain-lain.
b. Simpatolitik / adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek adrenergik. Contohnya : Alkaloida sekale, Propanolol,
dan lain-lain.
2. Obat yang mempengaruhi sistem saraf parasimpatik :
a. Parasimpatomimetik / kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin. Contohnya : Pilokarpin & Phisostigmin.
b. Parasimpatolitik / antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik
dtekan atau melawan efek kolinergik. Contohnya : Alkaloida belladonna.
Kolenergika / parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi saraf parasimpatis, karena melepaskan neurohormon
asetilkolin (Ach) di bagian ujung neuronnya. Tugas utama saraf parasimpatis adalah
mengumpulkan energindari makanan & menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi
asimilasi. Bila neuron saraf parasimpatis dirangsang, timbullah sejumlah efek yang
menyerupai keadaan istirahat & tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti :
1. Stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik & sekresi kelenjar ludah
dan getah lambung (HCl)
2. Sekresi air mata
3. Memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi,
& penurunan tekanan darah
4. Memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi
dahak diperbesar
5. Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) & menurunkan tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata
6. Kontraksi kantung kemih & ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin
7. Dilatasi pembuluh & kontraksi otot kerangkan, menekan SSP setelah pada permulaan
menstimulasinya, dan lain-lain
Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps, & neuron postganglioner dari
saraf parasimpatis, juga pelat-pelat ujung motoris & di bagian SSP yang disebut sistem
ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi
menjadi 2 bagian, yakni :
1. Reseptor Muskarinik
Reseptor muskarinik selain berikatan dengan asetilkolin, dapat pula mengikat
muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu.
Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas yang lemah terhadap
nikotin. Dengan menggunakan studi ikatan & penghambatan tertentu, maka telah
ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5.
Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi & organ efektor
otonom, seperti jantung, otot polos, otak & kelenjar eksokrin. Secara khusus
walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor
M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, reseptor M2 terdapat dalam otot
polos & jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin & otot polos. Obat-obat
yang bekerja pada muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam
jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula.
2. Reseptor Nikotinik
Reseptor nikotinik selain berikatan dengan asetilkolin, dapat pula mengikat nikotin,
tetapi infinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu
reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor
niktinik ini terdapat di dalam SSP, ganglia otonom, medula adrenalis, & sambungan
neuromuskular. Obat0obat yang bekerja pada nikotinik akan memacu reseptor
nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom
berbeda denganreseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskular. Contoh :
rseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor
pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin.
Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier & stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan setilkolin & turunannya, senyawa ini ternyata
sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik & terutama digunakan untuk
oftamologi. Penggunaan pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat & kontraksi
otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku
pada jrak tertentu, sehingga sulit untuk menmfokus suatu objek. Pilokarpin juga merupakan
salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, saliva, dan air mata,
tetapi obat ini tidak digunakan dengan maksud demikian. Pilokarpin adalah obat terpilih
dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma bersudut
sempit maupun lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular disekitar
kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun dengan segera cairan humor keluar denagn
lancar. Selain kemampuannya dalam mengobati glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek
samping dapat mencapai otak & menimbulkan gangguaan SSP.
Atropin memilik afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik dimana obat ini terikat
secara kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada reseptor muskarinik. Atropin
menyekat reseptor muskaranik baik di sentral maupun di saraf tepi. Obat ini berkerja selama
4 jam, kecuali jika diteteskan maka kerja nya bisa sampai berhari-hari. Atropin menghambat
M. Contrictor pupilae & M. Ciliaris lensa mata sehingga menyebabkan midriasis &
siklopegia. Sesudah pemberian 0,6 mg atropin SC pada mulanya menimbulkan efek terhadap
kelenjar eksokin terutama hambatan saliva serta bradikardi sebagai hasil rangsangan N.
Vagus. Midriasis baru terlihat pada dosis yang lebih tinggi (>1 mg). Pemberian lokal pada
mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat & berlangsung lama sekali. Hal ini
disebabkan atropin sukar dieliminasi dari cairan bola mata.
BAB III
ALAT, BAHAN, DAN METODE KERJA

1. Kolinergik & Antikolinergik Kelenjar Saliva


Hewan Coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Fenobarbital 100mg / 70kg BB manusia secara IV
- Pilokarpin HCl 5mg / kg BB kelinci secara IM
- Atropin SO4 0,25mg / kg BB kelinci secara IV
Alat : Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas, beaker glass,
gelas ukur
Prosedur :
1. Siapkan kelinci
2. Hitung dosis & volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci
3. Sedasikan kelinci dengan fenobarbital 100mg / 70kg BB manusia secara IV
4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5mg / kg BB kelinci secara IM
5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl & tampung saliva
yang diekresikan kelinci kedalam beaker glass delama 5 menit. Ukur volume
saliva yang ditampung
6. Setelah 5 menit, suntikkan atropin SO4 0,25mg / kg BB kelinci secara IV
7. Catat wkatu saat muncul efek saliva akibat atropin SO4 & tampung saliva yang
diekresikan kelinci kedalam beaker glass selama 5 menit. Ukur volume saliva
yang ditampung

2. Kolinergik & Antikolinergik Mata


Hewan Coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes
- Tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
- Tetes mata atropin sebanyak 3 tets
- Larutan NaCl 0,9%
Alat : Senter, loupe, penggaris
Prosedur :
1. Amati kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan
2. Sebelum pemberian obat, amati, ukur & catat diameter pupil pada cahay suram
dan pada penyinaran dengan senter
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. Mata kanan : tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes
b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCl sebanyak 3 tetes
4. Tutup masing-masing kelompak mata kelinci selama 1 menit
5. Amati, ukur, & catat diameter pupil setelah pemberian obat
6. Uji respon refleks mata
7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropin SO4
8. Amati, ukur, & catat diameter pupil setelah pemberian obat
9. Catat & tabelkan pengamatan
10. Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCl 0,9% pada kedua
mata kelinci
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Percobaan
Nama Obat Konsentrasi
Fenobarbital 1%
Pilokarpin HCl 2% (100mg dalam 5ml)
Atropin SO4 1% (50mg dalam 5ml)

1. Kolinergik & Antikolinergik Kelenjar Saliva


Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi
Efek Obat Kelinci Pilokarpin Volume saliva yang 1,2 ml
Sistem Saraf HCl ditampung selama 5 menit
Otonom pada Atropin SO4 Volume saliva yang 0,3 ml
Kelenjar Saliva ditampung selama 5 menit

2. Kolinergik & Antikolinergik Mata


Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata
Efek Obat Mata Cahaya Suram (cm) 1
Sistem Kanan Cahaya Senter (cm) 0,9
Saraf Kelinci Setelah pemberian pilokarpin HCl 0,6
Otonom (cm)
pada Mata Respon refleks mata Berkedip
Setelah pemberian atropin SO4 (cm) 0,9
Mata Cahaya Suram (cm) 1
Kiri Cahaya Senter (cm) 0,9
Kelinci Setelah pemberian pilokarpin HCl 0,7
(cm)
Respon refleks mata Berkedip
Setelah pemberian atropin SO4 (cm) 0,9

PERHITUNGAN :
Diketahui : Berat Badan Kelinci: 1,5 kg
Dosis Obat:
 Fenobarbital 100mg / 70kg  BB manusia
Konversi dosis = 100mg × 0,07 = 7 mg
1,5 kg
Dosis = × 7=7 mg
1,5 kg
7 mg
Volume pemberian = ×2 ml=0,07 ml
200 mg
Pilokarpin 5mg / kg  BB kelinci
Konversi dosis = 5 mg × 1,0 = 5,0 mg
1,5 kg
Dosis = × 5,0=5,0 mg
1,5 kg
5,0 mg
Volume pemberian = ×5 ml=0,25 ml
100 mg
Atropin SO4 0,25mg / kg  BB kelinci
Konversi dosis = 0,25 mg × 1,0 = 0,25 mg
1,5 kg
Dosis = × 0,25=0,25 mg
1,5 kg
0,25 mg
Volume pemberian = ×5 ml=0,025 ml
50 mg

B. Pembahasan
Pada percobaan praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai efek
kolinergik dan antikolinergik sebagai obat untuk system saraf otonom. Kelenjar saliva
adalah salah satu kelenjar di dalam sistem pencernaan, yang akan meningkat
aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik dan jika diberikan obat
yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat simpatomimetik
maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
Obat kolinergik yang digunakan pada percobaan praktikum kali ini adalah
pilokarpin HCl, sedangkan obat antikolinergik adalah atropine SO4. Dalam praktikum
ini pemberian obat pilokarpin dilakukan secara intramuscular dan pemberian obat
atropine dilakukan secara intravena. Sebelum melakukan percobaan, kelinci
ditimbang dan dihitung dosis pemakaian & volume pemberiannya.
Sebelum melakukan penyuntikkan, kelinci diberi alcohol pada tempat yang
ingin disuntikkan agar terhindar dari terkontaminasi kotoran dari lingkungan atau
udara. Kemudian kelinci disedasikan dengan obat fenobarbital secara intravena
dengan tujuan agar kelinci tenang saat proses pemberian obat selanjutnya. Setelah
diberikan obat fenobarbital, kemudian kelinci diberi obat pilokarpin HCl secara
intramuscular. Pemberian pilokarpin HCl pada percobaan ini berperan sebagai
penginduksi rasa nyeri yang akan menimbulkan saliva dan hipersaliva yang kemudian
diatasi dengan pemberian obat atropine SO4 secara intavena. Hasil pengamatan yang
dilakukan adalah pada saat diberikan obat pilokarpin HCl, kelinci mengeluarkan
saliva sebanyak 1,2 ml dan setelah diberikan obat atropine SO 4, kelinci mengeluarkan
saliva sebanyak 0,3ml.
Pada praktikum percobaan kedua kali ini menggunakan obat tetes mata berupa
atropine dan pilokarpin HCl. Sebelum melakukan percobaan, kelinci diukur diameter
matanya, digunakan sebagai pembanding ketika nanti sudah ditetesi obat. Pertama-
tama kelinci diukur diameter matanya yaitu 1 cm, kemudian diberi cahaya senter
menjadi 0,9 cm pada mata kanan dan mata kiri. Setelah diberi cahaya senter, mata
kelinci diberi obat pilokarpin HCl diameter mata yang didapat yaitu 0,6 cm pada
mata kanan dan pada mata kiri yaitu 0,7 cm. Respon reflex mata setelah diberikan
obat pilokarpin HCl yaitu kedua matanya berkedip. Setelah beberapa menit, mata
kelinci ditetesi obat atropine SO4 yang didapatkan hasil 0,9 cm pada mata kanan dan
mata kiri.
Pada hasil pengamatan diatas bahwa ketika ditetesi obat pilokarpin HCl
diameter pupil kelinci berkurang dari 1 cm menjadi 0,6 cm. Hal ini terjadi karena
pilokarpin HCl merupakan golongan agonis muskarinik yang menyebabkan konstriksi
pupil dari ukuran normal. Dan saat ditetesi atropine SO4 diameter pupil kelinci
meningkat dari 0,6 cm menjadi 0,9 cm. Hal ini terjadi karena atropine SO4 merupakan
obat golongan antagonis atau antimuskarinik yang menyebabkan dilatasi pupil.
BAB V
KESIMPULAN

Pada percobaan praktikum kali ini, dapat disimpulkan bahwa ketika hewan
coba ditetesi pilokarpin HCl diameter pupil mengecil dari ukuran normal dan ketika
ditetesi atropine SO4 diameter pupil membesar dari ukuran normal. Hal ini terjadi
karena pilokarpin merupakan obat golongan agonis muskarinik yang menyebabkan
konstriksi pupil & atropine merupakan obat golongan anti muskarinik yang
menyebabkan dilatasi pupil. Pilokarpin sebagai zat kolinergik yang dapat
meningkatkan sekresi saliva, sedangkan atropin sebagai zat antikolinergik mampu
menginhibisi hipersaliva pada hewan coba.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Tim Dosen Praktikum Farmakologi. Petunjuk Praktikum Farmakologi. Jakarta : ISTN


2018
Priyanto, Lilin Batubara. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Keperawatan. Depok Jabar : Leskonfi
Iso Indonesia Volume 48
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia
Pustaka Umum
Tan, H. T. Dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta : Gramedia Pustaka Umum.

Anda mungkin juga menyukai