Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Partus Prematurus Imminens adalah ancaman persalinan yang berlangsung pada umur
kehamilan 20 – 37 minggu dihitung dari hari pertama menstruasi terakhir (HPMT) (ACOG,
1995). Menurut Panduan Pengelolaan Persalinan Preterm Nasional (POGI, 2011) yang mengacu
pada WHO, persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20 minggu
sampai kurang dari37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir padasiklus 28 hari.

Menurut Wibowo (1997), persalinan premature adalah kontraksi uterus yang teratur setelah
kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu , dengan interval kontraksi 5 hingga 8 menit atau
kurang dan disertai dengan satu atau lebih tanda berikut: (1) perubahan serviks yang progresif
(2) dilatasi serviks 2 sentimeter atau lebih (3) penipisan serviks 80 persen atau lebih.

B. Epidemiologi

Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi ibu ataupun
janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput
amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan
pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45%
PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban
pecah dini (Harry dkk,2010).

PPI bias dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang
dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu
(severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity),
dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ketahun, terjadi
peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
kelahiran preterm atas indikasi (Harry dkk, 2010).
C. Etiologi dan FaktorRisiko
Fakto rresiko PPI menurut Wiknjosastro (2010) yaitu :
1. Janin dan plasenta : perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum, KPD,
pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, gemeli, polihidramnion
2. Ibu : DM, pre eklampsia, HT, ISK, infeksi dengan demam, kelainan bentuk uterus,
riwayat partus preterm atau abortus berulang, inkompetensi serviks, pemakaian obat
narkotik, trauma, perokok berat, kelainan imun/resus
Namun menurut POGI (2011) ada beberapa resiko yang dapat menyebabkan partus
prematurus yaitu :
a. Keadaan ibu
 Preeklamsi berat dan eklamsi
 Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusioplasenta)
 Korioamnionitis
 Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru, ginjal yang berat
b. Keadaanj anin:
 Gawat janin. (anemia, hipoksia, asidosis atau gangguan jantung janin)
 Infeksi intrauterin
 Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
 Isoimunisasi rhesus
 Tali pusat kusut (Cord Entanglement) pada kembar monokorionik

D. Patofisiologi
Persalinan premature dapat terjadi secara spontan atau karena adai ndikasi. Persalinan
premature secara spontan dapat terjadi pada selaput ketuban yang masih intak atau karena
ketuban pecah dini (preterm premature rupture of fetal membranes). Persalinan premature
atas indikasi bias tejadi karena kondisi yang terjadi pada ibu ataupun janin. Kondisi pada ibu
yang sering menginduksi adalah kejadian preeklampsia, plasenta previa sedangkan pada
janin adalah karena pertumbuhan janin terhambat. Namun, kedua kondisi ini dapat terjadi
secarabersamaan. Dari semua kasus persalinan prematur yang terjadi, 25% terjadi atas
indikasi dan 75% terjadi secara spontan dimana 45% dengan selaput ketuban yang masih
intak dan 30% dengan kasus ketuban pecah dini (Romero, 2009).
1
Proses persalinan aterm dan prematur pada dasarnya adalah sama, perbedaannya hanya
pada usiakehamilan. Mekanisme umum persalinan yaitu adanya kontraksi uterus, pendataran
serviks, dan ketuban pecah. Perbedaan yang paling mendasar antara persalinan aterm dan
premature adalah persalinan aterm terjadi sebagai hasil proses fisiologis dari mekanisme
umum persalinan sedangkan persalinan premature sebagai hasil proses patologis yang
mengaktifkan salah satu atau lebih komponen dari mekanisme umum persalinan (Romero,
2009)
Mekanisme umum persalinan pada persalinan aterm ataupun prematu rmelibatkan psoses
anatomik, biokimia, imunologi, endokrin, dan hal klinis pada ibu dan janin. Banyak klinisi
lebih menekankan pada komponen uterus meliputi kontraksi miometrium, dilatasi serviks,
dan pecahnya ketuban. Namun, dapat terjadi perubahan sistemik seperti peningkatan kadar
Corticotropin Releasinng Hormone (CRH) di plasma (Romero, 2009).
Keseluruhan aktivasi mekanisme persalinan dipicu oleh suatu sinyal. Prostaglandin
dipertimbangkan sebagai kunci dalam onset persalinan karena dapat memicu kontraksi
miometrium, perubahan matrix ekstraselular yang berhubungan dengan pendataran serviks
dan aktivasi membrane desidua (Romero, 2009).

2
Gambar 1. Mekanismebiokimiadalampersalinanumum
Sumber: Romero dan Lockwood

PG : Prostaglandin
RE-α :Resepor Estrogen
RP-A: Reseptor Prostaglandin-A
MMPs :Metaloproteinisasi
RP-B :Reseptor Prostaglandin-B
IL-8 : Interleukin-8

3
Infeksi merupakan salah satu penyebab persalinan prematur. Mikroorganisme ataupun
produk yang dihasilkan dapat memicu inflamasi pada cairan amnion dan korioamnion.
Penelitian menunjukkan bahwa 25%-40% kasus persalinan premature karena infeksi. Microbial
invasion of the amniotic cavity (MIAC) terdapat pada 12,8% wanita yang mengalami persalinan
premature dengan selaput ketuban yang masih intak dan 32% pada persalinan premature dengan
ketuban pecah dini. Mikroorganisme yang paling sering ditemui di cairan amnion adalah
mikoplasma dari daerah genitalia (Romero, 2009).

\
Tahap 1: Perubahan flora normal di vagina/serviks
Tahap 2: Mikroorganisme berada di antarakorion dan amnion
Tahap 3: Infeksi intraamnion
Tahap 4: Invasi fetus
Menurut Prawirohardjo (2011), kasus persalinan premature dapat terjadi sebagaiakibat
proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya
kontraksi rahim dan perubahanserviks, yaitu:
1. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun janin, akibat
stress pada ibu atau janin.

4
2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asendens dari traktus
genitourinari atau infeksi sistemik.
3. Perdarahan desidua
4. Peregangan uterus patologik
5. Kelainan pada uterus atau serviks

E. Diagnosis

Beberapa criteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI (Wiknjosastro,2010), yaitu:

1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,

2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit
sekali, atau 2-3 kali dalamwaktu 10 menit,

3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa tekanan intra
pelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),

4. Mengeluarkan lender pervaginam, mungkin bercampur darah,

5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,atau telah terjadi
pembukaan sedikitnya 2 cm,

6. Selaput amnion seringkali telahpecah,

7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan TheAmerican Collage of
Obstetricians and Gynecologists (1997) untukmen diagnosis PPI ialah sebagai berikut:

1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali dalam 60
menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebihdari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis PPI :

1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO, faktor rhesus, urinalisis,

5
bakteriologi vagina
2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, ativitas biofisik, cacat kongenital,
letak dan maturasi plasenta, volume cairan tuba dan kelainan uterus.

F. Penatalaksanaan
Beberapalangkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolitik, yaitu :
a. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam
sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang. dosis
maintenance 3x10 mg.
b. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapatdigunakan,
tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil. Salbutamol, dengan dosis per infus:
20-50 μg/menit, sedangkan peroral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan
dosis perinfus: 10-15 μg/menit, subkutan: 250 μg setiap 6 jam sedangkan dosis peroral: 5-7.5
mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia,
hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemimiokardial, edema paru.
c. Sulfas magnesikus: dosis parenteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,secara bolus selama
20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).Namun obat ini jarang digunakan Karena
efeksamping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. Beberapa efek sampingnya
ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu danbayi).
d. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat
menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs) yang
dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX yang
cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek
samping yang lebih kecil dari pada indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia
dalam konteks percobaanklinis.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi aktivitas
atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual. Kontraindikasi relative penggunaan
tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine terbukti tidak baik, seperti:

a. Oligohidramnion

6
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini

c. Preeklamsia berat

d. Hasil nonstrees test tidakreaktif

e. Hasil contraction stress test positif

f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil dan
kesejahteraan janin baik

g. Kematian janin atau anomaly janin yang mematikan

h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin,
menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan
intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan
kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bila manausia kehamilan kurang dari 35
minggu. Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini
tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal
kortikosteroid ialah:

 Betametason 2 x 12 mg i.m.dengan jarakpemberian 24 jam.


 Deksametason 4 x 6 mg i.m.dengan jarakpemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone 400 ug
iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat meningkatkan
produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol merupakan
komponen membrane fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.

7
3. Pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.

Pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis


dan sepsis neonatorum. Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko
terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah
eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg
selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain sepertik lindamisin. Tidak
dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.

8
DAFTAR PUSTAKA

Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya :Himpunan Kedokteran Fetomaternal


Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :RinekaCipta.

Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human Labor and
Birth). Yogyakarta : YEM.

POGI(Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia).2011. panduan Pengelolaan Persalinan


Preterm Nasional. Bandung: Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI

Prawihardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan edisike III. Jakarta: Bina Pustaka

Romero, dkk. 2009. Creasy and Resnik's Maternal-Fetal Medicine: Principles and Practice 6 th Ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders

Wiknjosastro, H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, SarwonoPrawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai