Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi
kehidupan. Makhluk hidup di muka bumi ini tak dapat lepas dari
kebutuhan akan air. Air merupakan kebutuhan utama bagi proses
kehidupan di bumi, sehingga tidak ada kehidupan seandainya di bumi
tidak ada air. Namun demikian, air dapat memberikan dampak negatif
bila tidak tersedia dalam kondisi yang benar, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Air yang relatif bersih sangat diinginkan oleh manusia,
baik untuk keperluan hidup sehari-hari, untuk keperluan industri,
untuk kebersihan sanitasi kota, maupun untuk keperluan pertanian dan
lain sebagainya.
Pencemaran ekosistem perairan didefinisikan sebagai
perubahan fungsi normal dari suatu ekosistem perairan akibat masuk
atau dimasukannya benda-benda lain. Pada ekosistem perairan seperti
sungai, danau, waduk dan pesisir serta tambak, pencemaran dapat
terjadi karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan manusia
seperti: rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan
perikanan. Limbah yang masuk ke ekosistem perairan dikategorikan
dalam 2 jenis; yakni limbah nonorganik yang sulit atau tidak dapat
terurai oleh mikroorganisme dan limbah organik yang mudah terurai
oleh mikroorganisme.
Indonesia pada saat ini memiliki masalah mengenai pencemaran
lingkungan terutama pencemaran lingkungan perairan antara lain oleh
air limbah, baik limbah industri, pertanian maupun limbah rumah
tangga (domestic waste). Dari semua sumber pencemar lingkungan,

1
pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga menempati
urutan pertama (40%) diikuti kemudian oleh limbah industri (30%)
dan sisanya limbah rumah sakit, pertanian, peternakan, atau limbah
lainnya (Kurniadie 1998). Sumber limbah domestik terdiri dari air
limbah yang berasal dari perumahan dan pusat perdagangan maupun
perkantoran, hotel, rumah sakit, tempat rekreasi, dan sebagainya.
Limbah jenis ini sangat mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD
(Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), DO
(Dissolved Oxygen), dan kandungan organik sistem pasokan air, yang
selanjutnya dapat menimbulkan kasus eutrofikasi.
Deterjen merupakan bahan pembersih yang umum digunakan
oleh usaha industri maupun rumah tangga. Untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan bahan pembersih maka produksi deterjen
terus meningkat setiap tahunnya (Connel dan Miller, 1995). Sebagai
contoh penggunaan deterjen sintesis di Indonesia pada tahun 1998
mencapai 386.730 ton (Deperindag, 1999). Deterjen Linear
Alkylbenzene Sulfonate (LAS) merupakan deterjen yang bahan kimia
utamanya Alkylbenzene Sulfonate. Limbah atau sisa pemakaian
deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) yang masuk ke dalam
lingkungan perairan akan mempengaruhi kualitas perairan yang
kemudian berpengaruh terhadap hidup dan kehidupan biota yang
dibudidayakan.
Wilber (1971) menyatakan bahwa deterjen adalah racun yang
kuat untuk biota akuatik dan mencemari lingkungan perairan baik bagi
keperluan hidup dan kehidupan biota akuatik maupun manusia.
Penggunaan deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) yang luas
menyebabkan deterjen dapat ditemukan dalam air sungai, air minum,
sedimen, dan tanah (Lewis, 1991). Hasil pemantauan kualitas air di

2
Kali Mas yang dilakukan Perum Jasa Tirta pada tahun 1995
menunjukkan kadar deterjen yang tinggi, tidak memenuhi baku mutu
kualitas air (0,82-1,43 mg/l), yaitu rata-rata 1,91 mg/l (Retnaningdyah,
1999). Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) yang banyak
digunakan karena sifatnya yang dapat didegradasi secara biologis
(Bressan dkk., 1991).

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasikan masalah,
berapa besarnya pengaruh pembuangan limbah detergen Alkylbenzene
Sulfonate terhadap embrio katak sawah (Fejervarya cancrivora)

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh deterjen
LAS (Alkylbenzene Sulfonate) yang merupakan salah satu pencemar
lingkungan terhadap abnormalitas embrio dan daya tetas embrio katak
sawah (Fejervarya cancrivora), sebagai salah satu indikator biologis
terjadinya pencemaran perairan.

1.4 Kegunaan Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai dampak deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS)
tehadap katak sawah (Fejervarya cancrivora).

1.5 Kerangka Pemikiran


Sebagai sumberdaya lingkungan perairan (SDLP), suatu
ekosistem perairan pada umumnya memiliki berbagai potensi, seperti
sebagai pengendali banjir, pengatur irigasi, media budidaya ikan,

3
transportasi dan tujuan wisata. Potensi-potensi tersebut akan dapat
mensejahterakan "stakeholders" nya jika dalam pemanfaatannya selalu
mempertimbangkan kemampuan optimal (daya dukung) ekositem
bersangkutan, baik daya dukung untuk setiap jenis potensi ataupun
untuk pemakaian bersama. Pemanfaatan berlebihan dari satu potensi
saja akan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem secara keseluruhan
dan dapat mengganggu potensi SDLP yang lain.
Pencemaran air disebabkan oleh banyak faktor, namun secara
umum dapat di kelompokan ke dalam dua katagori:
1. Sumber-sumber langsung (direct contaminant sources) dan

2. Sumber-sumber tak langsung (indirect contaminant sources).


Yang dimaksud dengan sumber-sumber langsung adalah
buangan (effluent) yang berasal dari sumber pencemarnya yaitu
limbah hasil pabrik atau suatu kegiatan dan limbah seperti limbah cair
domestik dan tinja serta sampah. Pencemaran terjadi karena buangan
ini langsung mengalir ke dalam sistem pasokan air (urban water
supplies system), seperti sungai, kanal, parit/selokan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katak Sawah


Klasifikasi katak sawah (Fejervarya cancrivora) adalah sebagai
berikut:
Kingdom Animalia
Phylum Chordata
Subphylum Vertebrata
Class Amphibia
Order Anura
Family Ranidae
Genus Fejervarya
species Fejervarya cancrivora

` Katak sawah adalah salah satu spesies dari genus Fejervarya


atau termasuk juga dalam genus Rana yang habitatnya di sawah-
sawah dan di perairan sungai kecil.Katak sawah selalu berdiam diri
pada keadaan basah dan tinggal di tempatnya atau pergi mengelilingi
vegetasi di sekitarnya.
Katak Sawah pada ukuran dewasa bisa mencapai panjang
sekitar 50-60 mm untuk jantannya,sedangkan untuk betinanya
mencapai 60-80 mm.Katak sawah mempunyai ciri-ciri seperti
berwarna coklat kehitam-hitaman dan kulitnya licin berlendir.
Pada umumnya katak genus Rana terdapat banyak
kemiripan.Pada saat bereproduksi katak sawah dapt menghasilkan
telur ±450 butir deengan waktu penetasan 8-20 hari.pertumbuhan
larva katak sawah membutuhkan waktu selama 3 bulan untuk menjadi
katak muda dan tumbuh menjadi katak dewasa.Katak sawah

5
melakukan reproduksi sekitar bulan Maret dan September ketika
musim hujan tiba dan musim hujan akan berakhir.

2.2 Deterjen
Deterjen umumnya mengandung bahan-bahan yang dapat
dikelompokkan menjadi “surface-active agenrs” atau surfaktan
builders atau zat pembangun dan “additive substances” atau bahan
tambahan (Connel dan Miller, 1995). Kandungan surfaktan di dalam
deterjen adalah sebesar 15-25%. Surfaktan merupakan suatu bahan
yang dapat menyebabkan turunnya tegangan permukaan cairan
(Connel dan Miller, 1995). Karena sifatnya yang dapat menurunkan
tegangan permukaan cairan terutama air, sehingga memungkinkan
partikel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau
terlarut dalam air (Effendi, 2000).
Selain sebagai bahan pembersih, surfaktan juga berfungsi
sebagai bahan pengemulsi, demulsi, pengahsil busa dan buih,
germisida, bahan pembasah dan pencelup serta banyak aplikasi lain
(Kline, 1991). Zat pembangun sebagian besar berupa garam inorganic
atau katalis yaitu fosfat dan sodium tripolifosfat yang berfungsi untuk
mengefektifkan daya kerja surfaktan, sedangkan bahan tambahan
berupa silikat, sodium sulfat, sodium perborat dan enzim (Schwartz,
1972 dalam Hanafi, 1988).
Surfaktan mempunyai sifat yang tergantung pada suatu
molekul yang memiliki sifat lipofilik dan hidrofilik pada batas antar
fase (misalnya lemak dan air atau udara dan air), molekul surfaktan
bergabung menyebabkan turunnya tegangan permukaan. Pada batas
antar fase ini, keberadaan busa menyebabkan terbentuknya perluasan
daerah antara fase dan dengan demikian akumulasi surfaktan dalam

6
air busa dan akibatnya, terjadi penurunan kepekatan surfaktan dalam
masa air. Pengaruh ini dapat menyebabkan perbedaan dalam
kepekatan surfaktan dan dalam tingkatan beberapa ribu kali (Prat dan
Girauud, 1961 dalam Connel dan Miller, 1995).

Macam – macam Deterjen :


Jenis Pencuci Dalam Bilik Air Bahan Kimia Utama
Detergen anionik, bukan ionik (cth: Alkilbenzena sulfonat
pencuci pakaian biasa, sabun/cecair Natrium laurel sulfat
mandian, detergent rendah buih, Natrium oleat
pencuci pinggan mangkuk, syampu Dioktil natrium sulfosuksinat
dan perapi) Benzalkonium klorida
Detergen kationik (cth: Antiseptik, Bemzethonium klorida
disinfektan, pelembut fabrik) Setalkonium klorida
Setrimid
Dequalinium klorida
Setrimonium klorida
Setilpridinium klorida
Stearalkonium klorida
Detergen rendah fostat Surfaktan anionik/bukan ionik dengan
(builders) fosfat dan alkali
Detergen enzim (cth: Detergen Surfaktan ionik/bukan ionik dengan enzim
penghapus kotoran, (pre-soak) proteolik/amilolitik
Detergen alkali lain Tripolifosfat
Natrium silikat
Natrium karbonat

2.3 Senyawa lain yang terkandung di dalam Detergen


Selain surfaktan yang merupakan kandungan utama di dalam
deterjen, kandungan lain dalam detergen adalah anti redeposisi.
Redeposisi dimaksudkan untuk mengikat kotoran yang sudah lepas

7
dari pakaian agar tidak kembali menempel. Kotoran itu diikat oleh
bahan yang dinamai sodium carboxy methyl cellulose (SCMC).
Cara kerja SCMC adalah menyerap kotoran dengan membuat
pembatas ion yang mencegah redeposisi. Kotoran terbungkus ion
negatif atau kation demikian pula lapisan pakaian bermuatan negatif.
Akibat dua kutub yang sama, maka terjadi saling tolak, sehingga
kotoran akan larut dalam air saat pembilasan atau pengeringan.
Deterjen merupakan bahan pembersih seperti halnya sabun,
namun deterjen dibuat dari senyawa petrokimia. Deterjen mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan sabun, karena dapat bekerja pada air
sadah. Bahan deterjen yang umum digunakan adalah
dedocylbenzensulfonat. Deterjen dalam air akan mengalami ionisassi
membentuk komponen bipolar aktif yang akan mengikat ion Ca
dan/atau ion Mg pada air sadah.
Komponen bipolar aktif terbentuk pada ujung dodecylbenzen-
sulfonat. Untuk dapat membersihkan kotoran dengan baik, deterjen
diberi bahan pembentuk yang bersifat alkalis. Contoh bahan
pembentuk yang bersifat alkalis adalah natrium tripoliposfat.
Bahan buangan berupa sabun dan deterjen di dalam air
lingkungan akan mengganggu karena alasan berikut :
 Larutan sabun akan menaikkan pH air sehingga dapat
mengganggu kehidupan organisme di dalam air. Deterjen yang
menggunakan bahan non-Fosfat akan menaikkan pH air sampai
sekitar 10,5-11
 Bahan antiseptic yang ditambahkan ke dalam sabun/deterjen
juga mengganggu kehidupan mikro organisme di dalam air,
bahkan dapat mematikan

8
 Ada sebagian bahan sabun atau deterjen yang tidak dapat
dipecah (didegradasi) oleh mikro organisme yang ada di dalam
air. Keadaan tentu akan merugikan lingkungan. Namun akhir-
akhir ini mulai banyak digunakan bahan sabun/deterjen yang
dapat didegradsi oleh mikroorganisme.

9
BAB III
METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak


Terbagi (Split Plot Design).

3.1 Pembuahan
Katak betina dewasa dengan panjang badan lebih dari 10 cm
yang telah dewasa (siap kawin) dilakukan stripping untuk
mengeluarkan telur dari uterus. Telur yang pertama keluar dibuang
karena biasanya tercampur cairan kloaka sehingga telur sulit untuk
dibuahi. Telur yang digunakan adalah telur yang keluar berikutnya.
Untuk perkembangan embrio yang optimum tiap satu telur
membutuhkan cairan 2 cc, sehingga dibutuhkan 20 cc cairan untuk
tiap 10 telur perlakuan dalam cawan petri.
Prosedur pembuahan sel telur dilakukan dengan menggunakan
metode Plowman dkk.(1991). Suspensi sperma dari sepasang testes
yang dicincang dalam 10 cc air dipipet dan diteteskan di atas telur,
kemudian ditunggu selama 45 detik agar proses pembuahan
berlangsung. Pembuahan berhasil jika setelah beberapa menit telur
menunjukkan adanya bagian gelap (kutub animal) berada di atas.
Dalam waktu 20 menit, telur yang sudah dibuahi akan mengadakan
rotasi sehingga kutub animal yang gelap karena berpigmen akan
tampak di permukaan, sedangkan telur yang tidak dibuahi umumnya
menunjukkan warna coklat muda pada bagian vegetal yang tampak di
permukaan.

10
3.2 Penelitian pendahuluan
Sebelum penelitian utama dilakukan penelitian pendahuluan
untuk menentukan kisaran pemberian konsentrasi LAS yang tepat
sebagai perlakuan terhadap perkembangan embrio, yaitu dengan
menentukan konsentrasi tertinggi embrio yang masih hidup sesudah
neurulasi. Telur katak yang telah dibuahi ditempatkan sebanyak 5
telur masing-masing ke dalam 5 cawan petri, kemudian diberi
perlakuan deterjen LAS dengan konsentrasi 2 mg/l, 4 mg/l, 6 mg/l, 8
mg/l, dan 10 mg/l sampai neurulasi.

3.3 Penelitian utama


Dalam penelitian utama, 10 telur katak yang telah dibuahi
masing-masing diletakkan pada 6 buah cawan petri. Tiap cawan petri
diberi perlakuan deterjen LAS dengan konsentrasi 50%, 40%, 30%,
20% dan 10% dari hasil penelitian awal, yaitu 4 mg/l, 3,2 mg/l, 2,4
mg/l, 1,6 mg/l, dan 0,8 mg/l, dan satu cawan petri sebagai kontrol.
Pengamatan perkembangan embrio dilakukan pada stadia 4 sel, 8 sel,
16 sel, blastula, gastrula, neurula, kuncup ekor, dan saat menetas
(hatching).
Persentase telur yang normal dan abnormal pada setiap stadia
dihitung dan bentuk-bentuk respon morfologis berupa abnormalitas
perkembangan embrio pada perlakuan berbagai konsentrasi deterjen
LAS yang nampak pada setiap stadia juga diidentifikasi untuk
membandingkan perkembangan embrio perlakuan dengan embrio
normal (kontrol). Hasil pengamatan disertai dengan gambar foto.
Untuk melihat perbedaan perkembangan oleh pengaruh perlakuan
dilakukan analisis secara statistic dengan menggunakan Analisis
Varian (ANAVA) (Steel dan Torrie, 1993).

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pengaruh berbagai


konsentrasi deterjen LAS tidak sama pada tiap stadia. Pada stadia 4 sel
sampai blastula perlakuan deterjen LAS 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l,
3,2 mg/l, dan 4 mg/l tidak berpengaruh pada perkembangan embrio,
karena tidak ditemukan embrio abnormal. Deterjen LAS tidak
berpengaruh pada perkembangan embrio pada stadia ini karena
terdapatnya lapisan-lapisan yang melindungi telur dari pengaruh
lingkungan sekitarnya, yaitu lapisan bungkus gelatin dan pembungkus
vitellin yang masih mampu menghambat penetrasi deterjen. Selain itu
adanya sifat totipotent (Yatim, 1994) yang memungkinkan bila
terpapar zat yang berbahaya, sel embrio yang masih hidup akan
menggantikan sel yang rusak atau mati, hingga berkembang menjadi
embrio yang normal.
Sel-sel yang terbentuk dari beberapa pembelahan yang pertama
ini sebagian besar secara morfologi dan aktifitas sintesisnya tidak di
spesialisasikan, jadi jika terjadi kerusakan dan kematian akan dapat
digantikan oleh sel yang sama (Carlson, 1996). Rata-rata persentase
embrio abnormal yang dihasilkan dari perlakuan deterjen LAS pada
tiap stadia dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel 1 terlihat bahwa
terjadinya embrio abnormal dimulai pada stadia gastrula, kemudian
makin meningkat pada stadia neurula, dan tidak terjadi peningkatan
pada stadia selanjutnya sampai menetas. Hasil analisis statistic
didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,5) pengaruh
perlakuan deterjen LAS konsentrasi 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l, 3,2

12
mg/l dan 4 mg/l terhadap abnormalitas embrio pada stadia gastrula,
antara konsentrasi 3,2 mg/l dengan konsentrasi 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4
mg/l, dan 4 mg/l serta konsentrasi 4mg/l dengan konsentrasi 0,8 mg/l,
1,6 mg/l, 2,4 mg/l dan 3,2mg/l.
Kenaikan persentase embrio abnormal terhadap pengaruh
perlakuan deterjen LAS dimulai pada konsentrasi perlakuan 2,4 mg/l,
dan paling tinggi pada konsentrasi 4 mg/l yaitu 66 ±0,4785. Stadia
gastrula merupakan periode sensitif dalam perkembangan yang sangat
rentan terhadap bahan toksik di lingkungan (Anderson dan
D’Appolonia (1978). Stadia ini merupakan tahap perkembangan
embrio saat sel-sel embrio yang sedang berdifferensiasi sangat sensitif
terhadap bahan toksik (Setokoesoemo, 1986). Seperti diketahui
periode kritis perkembangan hewan perairan adalah pada saat
gastrulasi, awal organogenesis, saat menetas, dan metamorfosis. Pada
stadia awal gastrula terjadi diferensiasi dan apabila terganggu akan
berpengaruh pada pembentukan organ selanjutnya.
Pengaruh deterjen LAS yang terlihat pada stadia gastrula
embrio F. cancrivora sebagaimana pada Gambar 1 dan 2 adalah
terbentuknya eksogastrula, yaitu penonjolan keluar dari suatu lapisan
sel. Pada gambar irisan embrio stadia gastrula yang normal, terdapat
sumbat yolk (yolk plug) pada bibir blastopor, tetapi pada gambar
gastrula yang abnormal terdapat sel-sel yang seharusnya pada saat
gastrulasi sel-sel tersebut melalui bibir dorsal blastopor masuk ke
dalam dan berinvolusi.
Cara kerja deterjen terhadap kerusakan sel embrio dengan cara
berinteraksi dengan membran sel dan enzim sehingga menyebabkan
suatu perubahan struktur ultra seluler (Connel dan Miller, 1995).
Deterjen merusak membran sel dengan cara melepaskan protein,

13
lemak dan molekul lainnya dari membran. Sisi hidrofobik deterjen
akan membentuk kompleks dengan membrane protein dan lemak dan
melarutkan komponen protein dan lemak (Darnell dkk., 1990),
sehingga terbentuk komplek surfaktan, lemak, dan protein bercampur
misel. (Zubay 1983 dalam Zulaika,1997). Toksisitas terjadi karena
imobilisasi dinding sel sehingga terjadi hambatan enzim atau transmisi
selektif ion-ion melalui membran. Terjadinya pemaparan yang pada
periode sensitive embrio ini akan menyebabkan gangguan sehingga
menyebabkan terjadinya abnormalitas pada embrio.

Tabel 1. Rata-rata persentase embrio tidak normal terhadap pengaruh


deterjen LAS 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4 mg/l, 3,2 mg/l dan 4
mg/l tiap stadia
Perlakuan Rata-rata embrio abnormal (%)

Stadia 0 mg/l 0,8 mg/l 1,6 mg/l 2,4 mg/l 3,2 mg/l 4 mg/l

Bastula
4± 4±
0±0 0±0 0±0 0±0
0,0879 0,1979
Gastrula 2± 4± 8± 16 ± 40* ± 66* ±
0,1979 0,1979 0,274 0,3703 0,4949 0,4785
Neurula 2± 6± 16 ± 28* ± 58* ± 76* ±
0,1414 0,2399 0,3703 0,4536 0,4986 0,4314
Kuncup ekor 2± 6± 18 ± 26* ± 58* ± 76* ±
0,1414 0,2399 0,3881 0,4431 0,4986 0,4314
Menetas 2± 6± 16 ± 16 ± 54* ± 64 ±
(hatching) 0,1414 0,2399 0,3703 0,3703 0,5035 0,4849
Keterangan: Tanda * menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(p<0,05)

14
(a) (b)
Gambar 1. Embrio stadia gastrula : (a) embrio abnormal (b) embrio
normal.

(a) (b)
Gambar 2. Irisan embrio katak stadia gastrula: (a) abnormal (b)

normal

Pada stadia neurula terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,05)


pengaruh perlakuan deterjen LAS terhadap terjadinya abnormalitas
embrio. Pengaruh deterjen LAS akan semakin tinggi mulai
konsentrasi 2,4 mg/l dan yang paling tinggi pada konsentrasi 4 mg/l
dengan abnormalitas rata-rata 76 ± 0,4314. Neurulasi merupakan
periode yang sensitive sebagaimana pada stadia gastrula, karena
merupakan proses awal organogenesis yang menurut Anderson dan
D’Appolonia (1978) merupakan periode sensitif yang sangat rentan
terhadap zat teratogen. Periode ini merupakan tahap kritis untuk

15
timbulnya cacat struktural, karena terjadinya pemisahan kelompok sel
dan jaringan untuk membentuk organ. Abnormalitas embrio yang
terjadi adalah masih adanya sisa sumbat yolk di bagian blastopor yang
seharusnya pada stadia neurula sudah tidak ada, karena pada akhir
gastrulasi yolk sudah masuk kedalam dan embrio dikelilingi oleh
ektoderm.

(a) (b)
Gambar 3. Embrio katak stadia neurula: (a) abnormal; (b) normal

Gambar embrio yang normal dan abnormal pada stadia neurula


dapat dilihat pada Gambar 3. Pada stadia kuncup, ekor embrio dalam
proses organogenesis untuk pembentukan organ-organ yang
dibutuhkan setelah hatching, seperti insang luar dan alat penghisap
serta proses pembentukan kuncup ekor yang diiringi dengan
pemanjangan tubuh (Rugh, 1961). Walaupun demikian tidak ada
kenaikan rata-rata persentase embrio yang abnormal dan pengaruh
berbagai konsentrasi perlakuan terhadap terjadinya abnormalitas
embrio. Hal ini juga terjadi pada stadia neurula.

16
(a) (b)
Gambar 4. Embrio katak stadia kuncup ekor (a)normal dan (b)
abnormal.

Embrio stadia kuncup ekor yang tidak normal dapat diamati


dari ukuran tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan yang normal
(gambar 4). Abnormalitas yang lain tidak dapat diamati karena pada
stadia ini belum terbentuk organ-organ yang bentuknya dapat diamati.
Terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,05) pengaruh perlakuan
deterjen LAS terhadap abnormalitas berudu saat menetas (hatching).
Pengaruh terkecil pada perlakuan 0,8 mg/l dengan persentase
abnormalitas berudu 6 ± 0,2399. Sedangkan pengaruh deterjen LAS
terbesar pada konsentrasi 4 mg/l dengan persentasi rata-rata berudu
yang abnormal sebesar 64 ± 0,4849. Persentase berudu yang abnormal
pada saat menetas menurun dibandingkan dengan rata-rata persentase
pada saat kuncup ekor. Pada stadia ini persentase kematian larva
meningkat, terutama pada perlakuan deterjen LAS 4 mg/l.
Terdapat berbagai bentuk abnormalitas berudu pada saat
menetas, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5 a-e. Macam
abnormalitas bentuk berudu antara lain adalah: panjang tubuh dengan
ukuran yang lebih pendek daripada berudu normal, serta sumbu tubuh
yang abnormal dengan kelainan pada ekor yang melengkung
membelok ke kiri atau ke kanan. Sedangkan berudu yang pada saat

17
menetas mati, abnormalitas berupa kekerdilan serta tidak adanya
sepasang insang luar embrio yang abnormal, sehingga pada saat
menetas tidak dapat bertahan hidup.
Berudu yang normal pada saat menetas bentuk tubuhnya
streamline, sumbu tubuh normal, notokord tampak lurus dari bagian
kepala sampai ujung ekor, dan sepasang insang luar berkembang dan
berfungsi dengan baik. Bentuk tubuh berudu yang normal dapat dilihat
pada Gambar 5.5 f - g.

18
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Deterjen LAS dapat meningkatkan terjadinya agnormalitas


embrio dan berudu katak F. cancrivora. Persentase embrio yang
abnormal semakin besar dengan meningkatnya konsentrasi deterjen
LAS. Pada stadia gastrula peningkatan embrio abnormal pada
perlakuan deterjen LAS konsentrasi 3,2 mg/l dan 4 mg/l. Pada stadia
neurula terdapat peningkatan abnormalitas berturut-turut pada
perlakuan 2,4 mg/l, 3,2 mg/l, dan 4 mg/l.
Pada saat menetas persentase berudu abnormal menurun karena
berudu yang abnormal gagal untuk menetas dan mengalami kematian.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa deterjen LAS yang
terdapat di lingkungan perairan akan berpengaruh terhadap
perkembangan embrio katak, terutama pada periode kritisnya, yaitu
setelah terjadinya diferensiasi, sehingga katak F. cancrivora dapat
digunakan sebagai indikator biologis terjadinya pencemaran pada
perairan.

19
Gambar 5. Berudu F. cancrivora saat hatching: (a-b) abnormal mati;
(c-e) abnormal hidup; (f-g) normal.

20

Anda mungkin juga menyukai