PENDAHULUAN
1
pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga menempati
urutan pertama (40%) diikuti kemudian oleh limbah industri (30%)
dan sisanya limbah rumah sakit, pertanian, peternakan, atau limbah
lainnya (Kurniadie 1998). Sumber limbah domestik terdiri dari air
limbah yang berasal dari perumahan dan pusat perdagangan maupun
perkantoran, hotel, rumah sakit, tempat rekreasi, dan sebagainya.
Limbah jenis ini sangat mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD
(Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), DO
(Dissolved Oxygen), dan kandungan organik sistem pasokan air, yang
selanjutnya dapat menimbulkan kasus eutrofikasi.
Deterjen merupakan bahan pembersih yang umum digunakan
oleh usaha industri maupun rumah tangga. Untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan bahan pembersih maka produksi deterjen
terus meningkat setiap tahunnya (Connel dan Miller, 1995). Sebagai
contoh penggunaan deterjen sintesis di Indonesia pada tahun 1998
mencapai 386.730 ton (Deperindag, 1999). Deterjen Linear
Alkylbenzene Sulfonate (LAS) merupakan deterjen yang bahan kimia
utamanya Alkylbenzene Sulfonate. Limbah atau sisa pemakaian
deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) yang masuk ke dalam
lingkungan perairan akan mempengaruhi kualitas perairan yang
kemudian berpengaruh terhadap hidup dan kehidupan biota yang
dibudidayakan.
Wilber (1971) menyatakan bahwa deterjen adalah racun yang
kuat untuk biota akuatik dan mencemari lingkungan perairan baik bagi
keperluan hidup dan kehidupan biota akuatik maupun manusia.
Penggunaan deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) yang luas
menyebabkan deterjen dapat ditemukan dalam air sungai, air minum,
sedimen, dan tanah (Lewis, 1991). Hasil pemantauan kualitas air di
2
Kali Mas yang dilakukan Perum Jasa Tirta pada tahun 1995
menunjukkan kadar deterjen yang tinggi, tidak memenuhi baku mutu
kualitas air (0,82-1,43 mg/l), yaitu rata-rata 1,91 mg/l (Retnaningdyah,
1999). Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) yang banyak
digunakan karena sifatnya yang dapat didegradasi secara biologis
(Bressan dkk., 1991).
3
transportasi dan tujuan wisata. Potensi-potensi tersebut akan dapat
mensejahterakan "stakeholders" nya jika dalam pemanfaatannya selalu
mempertimbangkan kemampuan optimal (daya dukung) ekositem
bersangkutan, baik daya dukung untuk setiap jenis potensi ataupun
untuk pemakaian bersama. Pemanfaatan berlebihan dari satu potensi
saja akan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem secara keseluruhan
dan dapat mengganggu potensi SDLP yang lain.
Pencemaran air disebabkan oleh banyak faktor, namun secara
umum dapat di kelompokan ke dalam dua katagori:
1. Sumber-sumber langsung (direct contaminant sources) dan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
melakukan reproduksi sekitar bulan Maret dan September ketika
musim hujan tiba dan musim hujan akan berakhir.
2.2 Deterjen
Deterjen umumnya mengandung bahan-bahan yang dapat
dikelompokkan menjadi “surface-active agenrs” atau surfaktan
builders atau zat pembangun dan “additive substances” atau bahan
tambahan (Connel dan Miller, 1995). Kandungan surfaktan di dalam
deterjen adalah sebesar 15-25%. Surfaktan merupakan suatu bahan
yang dapat menyebabkan turunnya tegangan permukaan cairan
(Connel dan Miller, 1995). Karena sifatnya yang dapat menurunkan
tegangan permukaan cairan terutama air, sehingga memungkinkan
partikel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau
terlarut dalam air (Effendi, 2000).
Selain sebagai bahan pembersih, surfaktan juga berfungsi
sebagai bahan pengemulsi, demulsi, pengahsil busa dan buih,
germisida, bahan pembasah dan pencelup serta banyak aplikasi lain
(Kline, 1991). Zat pembangun sebagian besar berupa garam inorganic
atau katalis yaitu fosfat dan sodium tripolifosfat yang berfungsi untuk
mengefektifkan daya kerja surfaktan, sedangkan bahan tambahan
berupa silikat, sodium sulfat, sodium perborat dan enzim (Schwartz,
1972 dalam Hanafi, 1988).
Surfaktan mempunyai sifat yang tergantung pada suatu
molekul yang memiliki sifat lipofilik dan hidrofilik pada batas antar
fase (misalnya lemak dan air atau udara dan air), molekul surfaktan
bergabung menyebabkan turunnya tegangan permukaan. Pada batas
antar fase ini, keberadaan busa menyebabkan terbentuknya perluasan
daerah antara fase dan dengan demikian akumulasi surfaktan dalam
6
air busa dan akibatnya, terjadi penurunan kepekatan surfaktan dalam
masa air. Pengaruh ini dapat menyebabkan perbedaan dalam
kepekatan surfaktan dan dalam tingkatan beberapa ribu kali (Prat dan
Girauud, 1961 dalam Connel dan Miller, 1995).
7
dari pakaian agar tidak kembali menempel. Kotoran itu diikat oleh
bahan yang dinamai sodium carboxy methyl cellulose (SCMC).
Cara kerja SCMC adalah menyerap kotoran dengan membuat
pembatas ion yang mencegah redeposisi. Kotoran terbungkus ion
negatif atau kation demikian pula lapisan pakaian bermuatan negatif.
Akibat dua kutub yang sama, maka terjadi saling tolak, sehingga
kotoran akan larut dalam air saat pembilasan atau pengeringan.
Deterjen merupakan bahan pembersih seperti halnya sabun,
namun deterjen dibuat dari senyawa petrokimia. Deterjen mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan sabun, karena dapat bekerja pada air
sadah. Bahan deterjen yang umum digunakan adalah
dedocylbenzensulfonat. Deterjen dalam air akan mengalami ionisassi
membentuk komponen bipolar aktif yang akan mengikat ion Ca
dan/atau ion Mg pada air sadah.
Komponen bipolar aktif terbentuk pada ujung dodecylbenzen-
sulfonat. Untuk dapat membersihkan kotoran dengan baik, deterjen
diberi bahan pembentuk yang bersifat alkalis. Contoh bahan
pembentuk yang bersifat alkalis adalah natrium tripoliposfat.
Bahan buangan berupa sabun dan deterjen di dalam air
lingkungan akan mengganggu karena alasan berikut :
Larutan sabun akan menaikkan pH air sehingga dapat
mengganggu kehidupan organisme di dalam air. Deterjen yang
menggunakan bahan non-Fosfat akan menaikkan pH air sampai
sekitar 10,5-11
Bahan antiseptic yang ditambahkan ke dalam sabun/deterjen
juga mengganggu kehidupan mikro organisme di dalam air,
bahkan dapat mematikan
8
Ada sebagian bahan sabun atau deterjen yang tidak dapat
dipecah (didegradasi) oleh mikro organisme yang ada di dalam
air. Keadaan tentu akan merugikan lingkungan. Namun akhir-
akhir ini mulai banyak digunakan bahan sabun/deterjen yang
dapat didegradsi oleh mikroorganisme.
9
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pembuahan
Katak betina dewasa dengan panjang badan lebih dari 10 cm
yang telah dewasa (siap kawin) dilakukan stripping untuk
mengeluarkan telur dari uterus. Telur yang pertama keluar dibuang
karena biasanya tercampur cairan kloaka sehingga telur sulit untuk
dibuahi. Telur yang digunakan adalah telur yang keluar berikutnya.
Untuk perkembangan embrio yang optimum tiap satu telur
membutuhkan cairan 2 cc, sehingga dibutuhkan 20 cc cairan untuk
tiap 10 telur perlakuan dalam cawan petri.
Prosedur pembuahan sel telur dilakukan dengan menggunakan
metode Plowman dkk.(1991). Suspensi sperma dari sepasang testes
yang dicincang dalam 10 cc air dipipet dan diteteskan di atas telur,
kemudian ditunggu selama 45 detik agar proses pembuahan
berlangsung. Pembuahan berhasil jika setelah beberapa menit telur
menunjukkan adanya bagian gelap (kutub animal) berada di atas.
Dalam waktu 20 menit, telur yang sudah dibuahi akan mengadakan
rotasi sehingga kutub animal yang gelap karena berpigmen akan
tampak di permukaan, sedangkan telur yang tidak dibuahi umumnya
menunjukkan warna coklat muda pada bagian vegetal yang tampak di
permukaan.
10
3.2 Penelitian pendahuluan
Sebelum penelitian utama dilakukan penelitian pendahuluan
untuk menentukan kisaran pemberian konsentrasi LAS yang tepat
sebagai perlakuan terhadap perkembangan embrio, yaitu dengan
menentukan konsentrasi tertinggi embrio yang masih hidup sesudah
neurulasi. Telur katak yang telah dibuahi ditempatkan sebanyak 5
telur masing-masing ke dalam 5 cawan petri, kemudian diberi
perlakuan deterjen LAS dengan konsentrasi 2 mg/l, 4 mg/l, 6 mg/l, 8
mg/l, dan 10 mg/l sampai neurulasi.
11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
mg/l dan 4 mg/l terhadap abnormalitas embrio pada stadia gastrula,
antara konsentrasi 3,2 mg/l dengan konsentrasi 0,8 mg/l, 1,6 mg/l, 2,4
mg/l, dan 4 mg/l serta konsentrasi 4mg/l dengan konsentrasi 0,8 mg/l,
1,6 mg/l, 2,4 mg/l dan 3,2mg/l.
Kenaikan persentase embrio abnormal terhadap pengaruh
perlakuan deterjen LAS dimulai pada konsentrasi perlakuan 2,4 mg/l,
dan paling tinggi pada konsentrasi 4 mg/l yaitu 66 ±0,4785. Stadia
gastrula merupakan periode sensitif dalam perkembangan yang sangat
rentan terhadap bahan toksik di lingkungan (Anderson dan
D’Appolonia (1978). Stadia ini merupakan tahap perkembangan
embrio saat sel-sel embrio yang sedang berdifferensiasi sangat sensitif
terhadap bahan toksik (Setokoesoemo, 1986). Seperti diketahui
periode kritis perkembangan hewan perairan adalah pada saat
gastrulasi, awal organogenesis, saat menetas, dan metamorfosis. Pada
stadia awal gastrula terjadi diferensiasi dan apabila terganggu akan
berpengaruh pada pembentukan organ selanjutnya.
Pengaruh deterjen LAS yang terlihat pada stadia gastrula
embrio F. cancrivora sebagaimana pada Gambar 1 dan 2 adalah
terbentuknya eksogastrula, yaitu penonjolan keluar dari suatu lapisan
sel. Pada gambar irisan embrio stadia gastrula yang normal, terdapat
sumbat yolk (yolk plug) pada bibir blastopor, tetapi pada gambar
gastrula yang abnormal terdapat sel-sel yang seharusnya pada saat
gastrulasi sel-sel tersebut melalui bibir dorsal blastopor masuk ke
dalam dan berinvolusi.
Cara kerja deterjen terhadap kerusakan sel embrio dengan cara
berinteraksi dengan membran sel dan enzim sehingga menyebabkan
suatu perubahan struktur ultra seluler (Connel dan Miller, 1995).
Deterjen merusak membran sel dengan cara melepaskan protein,
13
lemak dan molekul lainnya dari membran. Sisi hidrofobik deterjen
akan membentuk kompleks dengan membrane protein dan lemak dan
melarutkan komponen protein dan lemak (Darnell dkk., 1990),
sehingga terbentuk komplek surfaktan, lemak, dan protein bercampur
misel. (Zubay 1983 dalam Zulaika,1997). Toksisitas terjadi karena
imobilisasi dinding sel sehingga terjadi hambatan enzim atau transmisi
selektif ion-ion melalui membran. Terjadinya pemaparan yang pada
periode sensitive embrio ini akan menyebabkan gangguan sehingga
menyebabkan terjadinya abnormalitas pada embrio.
Stadia 0 mg/l 0,8 mg/l 1,6 mg/l 2,4 mg/l 3,2 mg/l 4 mg/l
Bastula
4± 4±
0±0 0±0 0±0 0±0
0,0879 0,1979
Gastrula 2± 4± 8± 16 ± 40* ± 66* ±
0,1979 0,1979 0,274 0,3703 0,4949 0,4785
Neurula 2± 6± 16 ± 28* ± 58* ± 76* ±
0,1414 0,2399 0,3703 0,4536 0,4986 0,4314
Kuncup ekor 2± 6± 18 ± 26* ± 58* ± 76* ±
0,1414 0,2399 0,3881 0,4431 0,4986 0,4314
Menetas 2± 6± 16 ± 16 ± 54* ± 64 ±
(hatching) 0,1414 0,2399 0,3703 0,3703 0,5035 0,4849
Keterangan: Tanda * menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(p<0,05)
14
(a) (b)
Gambar 1. Embrio stadia gastrula : (a) embrio abnormal (b) embrio
normal.
(a) (b)
Gambar 2. Irisan embrio katak stadia gastrula: (a) abnormal (b)
normal
15
timbulnya cacat struktural, karena terjadinya pemisahan kelompok sel
dan jaringan untuk membentuk organ. Abnormalitas embrio yang
terjadi adalah masih adanya sisa sumbat yolk di bagian blastopor yang
seharusnya pada stadia neurula sudah tidak ada, karena pada akhir
gastrulasi yolk sudah masuk kedalam dan embrio dikelilingi oleh
ektoderm.
(a) (b)
Gambar 3. Embrio katak stadia neurula: (a) abnormal; (b) normal
16
(a) (b)
Gambar 4. Embrio katak stadia kuncup ekor (a)normal dan (b)
abnormal.
17
menetas mati, abnormalitas berupa kekerdilan serta tidak adanya
sepasang insang luar embrio yang abnormal, sehingga pada saat
menetas tidak dapat bertahan hidup.
Berudu yang normal pada saat menetas bentuk tubuhnya
streamline, sumbu tubuh normal, notokord tampak lurus dari bagian
kepala sampai ujung ekor, dan sepasang insang luar berkembang dan
berfungsi dengan baik. Bentuk tubuh berudu yang normal dapat dilihat
pada Gambar 5.5 f - g.
18
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
19
Gambar 5. Berudu F. cancrivora saat hatching: (a-b) abnormal mati;
(c-e) abnormal hidup; (f-g) normal.
20