Anda di halaman 1dari 6

Fiqh Ulil Amri: Perspektif Muhammadiyah1

Oleh: Yunahar Ilyas2

Pendahuluan

Dua tahun yang lalu, Muhammadiyah mengumumkan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh
pada hari Selasa 30 Agustus 2011, sementara pemerintah cq Menteri Agama mengumumkan
bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011. Ini bukan kali pertama hasil
hisab Muhammadiyah tentang awal Syawal berbeda dengan Pemerintah. Perbedaan awal
Syawal tersebut selalu mengundang diskusi, debat, bahkan polemik.

Tema-tema yang diskusikan antara lain adalah mana yang lebih valid antara metode
rukyah (ru'yah al-hilâl) dengan metode hisab (al-hisâb), apakah metode hisab mengabaikan
sunnah atau tetap mengikuti sunnah tetapi dengan pemahaman yang berbeda, apakah metode
wujudul hilal (wujûd al-hilâl) dapat dipertanggung jawabkan, apakah ada dasar menentukan
imkaniyah ar-ru'yah 2 derjat, apakah rukyah itu ta'qquli atau ta'abbudi dan juga
permasalahan tentang siapakah yang dianggap sebagai ulil amri.

Khusus tentang persoalan ulil amri, yang jadi persoalan bukanlah tentang keharusan
patuh pada ulil amri, karena perintah patuh pada ulil amri sudah dinashkan secara jelas dalam
Al-Qur'an. Allah SWT berfirman:

                 

            

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah

1
Makalah disampaikan dalam Sarasehan dan Sosialisasi Hisab Rukyat Muhammadiyah, diadakan oleh Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, Kamis 4 Sya'ban 1434 H/ 13 Juni 2013.
2
Guru Besar Ulumul Qur'an Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah 2010-2015.
ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(Q.S. An-Nisa' 4: 59)

Tetapi yang jadi persoalan adalah siapakah yang berhak disebut ulil amri dalam ayat
tersebut. Satu pihak menyatakan bahwa ulil amri itu adalah pemerintah. Untuk urusan
penetapan awal Ramadhan dan terutama awal Syawal, ulil amrinya adalah Menteri Agama.
Dengan demikian, apabila Pemerintah sudah menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal,
maka semua umat Islam harus mematuhinya. Dalam hubungannya dengan Muhammadiyah,
jika Muhammadiyah mengumumkan berbeda dengan Pemerintah, berarti Muhammadiyah
tidak taat dengan ulil amri, berarti juga tidak melaksanakan perintah Allah dalam ayat di atas.

Sementara itu, pihak lain, terutama Muhammadiyah, tidak menolak kewajiban patuh
dalam ayat tersebut? Tapi yang dipertanyakan adalah pakah menteri agama itu sah disebut
sebagai ulil amri? Untuk urusan keagamaan, apalagi ibadah mahdhah, harusnya diputuskan
oleh lembaga yang punya kompetensi dan otoritas untuk itu?

Misalnya di Mesir yang memutuskan satu Syawal adalah Grand Mufti, sementara
Mentri Agama/Wakaf hanya menyaksikan, di Saudi Arabia yang memutuskan adalah
Mahkamah Agung, di Malaysia yang memutuskan adalah Mufti Negara. Dan sebagian besar
negara-negara Islam yang memutuskan adalah mufti.

Mufti atau grand mufti ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan kriteria keulamaan dan
keahlian dalam agama. Sementara di Indonesia menteri agama adalah jabatan politik, ditunjuk
oleh presiden berdasarkan pertimbangan politik bukan pertimbangan keulamaan. Indonesia
tidak mempunya mufti atau grand mufti. Oleh sebab itu selama ini fatwa-fatwa keagamaan
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang ada pada ormas-ormas Islam seperti Majlis
Tarjih dan Tajdid (Muhammadiyah), Lajnah Bahsil Matsail (Nadhlatul Ulama) atau komisi
fatwa (Majelis Ulama Indonesia).

Makalah ini mencoba membahas tentang masalah Ulil Amri ini. Apa pengertian ulil
amri dan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ulil amri tersebut.

2
Pengertian Ulil Amri

Secara bahasa ulî (‫ )أول ي‬adalah bentuk jamak dari wali (‫ )ول ى‬yang berarti pemilik atau
yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka
itu banyak. Sedangkan kata al-amr (‫ )األم ر‬adalah perintah atau urusan. Dengan demikian ulil
amri adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka adalah
orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan3

Siapakah ulil amri tersebut? Jika dikaitkan dengan Surat Al-Maidah ayat 55 maka ulil
amri itu adalah pemimpin umat yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW. Allah
SWT berfirman:

             

"Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang


beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada
Allah)." (Q.S. Al-Maidah 5: 55)

Dalam ayat di atas dijelaskan tiga hirarki kepemimpinan: Allah, Rasul-Nya dan orang-
orang yang beriman. Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh
Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang
yang beriman. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW tidak bisa digantikan, tapi
sebagai kepala negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan. Orang-orang yang
dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria
sebagai mana yang dijelaskan dalam Surat Al-Maidah ayat 55 di atas.

1. Beriman kepada Allah SWT

Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah
sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang pertama sekali
harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, Rasul dan
rukun iman yang lainnya). Tanpa keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin
dia dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi ini.

3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Volume 2, hlm. 460.

3
2. Mendirikan Shalat

Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang
mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah SWT.
Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat tercermin
dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran. Apabila wudhu’ seorang imam yang
sedang memimpin shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan mengundurkan
diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak lagi berhak menjadi
imam.

3. Membayarkan Zakat

Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial.
Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya.
Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan
korupsi, kolusi dan nepotisme). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang
tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang
yang lemah.

4. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah SWT

Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’ (wa
hum râki’ûn). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya
yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah (total),
baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat. Aqidahnya benar (bertauhid
secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan),
ibadahnya tertib dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah
dan sifat-sifat mulia lainnya) dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.4

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa umarâ' atau hukâm adalah
ulil amri dengan syarat-syarat minimal yang sudah disebutkan di atas. Tetapi sebagian
memperluas makna ulil amri tidak hanya kepada pemerintah atau penguasa semata tetapi juga
kepada siapa saja yang mempunyai kompetensi dan mendapatkan amanah untuk memimpin

4
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: LPPI UMY, 2011), hlm. 248-249.

4
suatu urusan, baik itu perorangan atau lembaga. Ahlul halli wal aqdi adalah ulil amri dalam
bidang-bidang yang ditugaskan dan menjadi wewenang mereka, misalnya dalam pemilih
kepala negara, menetapkan undang-undang dan urusan-urusan lainnya.

Menurut Ibn ‘Abbâs, ulil amri adalah ahli fiqh dan agama. Menurut Mujâhid, ‘Athâ’
dan Abu al-‘Aliyah serta Hasan al-Bashri, ulil amri itu adalah ulama. Menurut Ibn Katsîr
sendiri, ulil amri mencakup keduanya, umara dan ulama.5

Menurut Muhammad ‘Abduh, ulil amri adalah jamaah ahlul ahli wal aqdi dari kaum
Muslimin. Mereka adalah umara’ (pemerintah) dan hukama’ (penguasa), ulama, para
panglima, dan semua pemimpin masyarakat. Jika mereka semua sepakat tentang suatu urusan,
kita semua wajib mematuhinya asal tidak bertentang perintah Allah dan Rasul-Nya.6

Menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma'rifah atau difinite,
maka wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan
semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan aqidah dan
keagamaan murni harus dikembalikan kepada nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Dalam hal ini Muhammad Abduh mengatakan:

Dalam ungkapan ‘Abduh di atas tampak bahwa perbedaan pendapat sangat mungkin
terjadi dalam pemahaman terhadap nash, bukan dalam mematuhi nash. Dalam masalah hadits
tentang tata cara untuk mengetahui awal Ramadhan dan awal Syawal, persoalannya bukan
pada masalah patuh atau tidak patuh pada petunjuk Rasul tersebut, tetapi tentang bagaimana
memahami hadits tersebut. Menurut pandangan Muhammadiyah, hadits itu ada ‘illatnya, yaitu
karena umat pada masa itu belum mempunyai cara lain untuk mengetahui awal bulan kecuali
dengan melihat hilal. Kalau gagal melihat hilal karena mendung, maka bulan yang sedang

5
Al-Hâfizh ‘Imâd ad-Dîn Abû al-Fadâ’ Ismâîl Ibn Katsîr al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm
(Riyâdh: Dâr ‘Alam al-Kutub, 1997), jld 2, hlm. 345.
6
As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr Al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manâr), (Beirut: Dâr al-Fikr,
1973), jld 5, hlm. 147.
7
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, 5: 147

5
berjalan itu digenapkan 30 hari. Sekarang, ilmu astronomi sudah demikian maju, sehingga
dapat digunakan untuk mengetahui awal bulan. Oleh sebab itu Muhammadiyah yakin tidak
melanggar sunnah tatkala menggunakan hisab hakiki untuk menentukan awal bulan.

Sebagian memahami, bahwa yang bersifat ta’abbudi (tidak boleh dirubah sedikitpun)
adalah puasa Ramadhan dimulai tanggal 1 Ramadhan dan shalat ‘Idul Fitri tanggal 1 Syawal.
Sedangkan bagaimana cara menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal itu adalah sesuatu
yang bersifat ta’aqquli (rasional, dapat berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi) dan lebih bersifat teknis.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ulil amri itu adalah: 1. Umarâ’dan hukâm
dalam pengertian yang luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan segala perangkat dan
wewenangnya yang terbatas; 2. Semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing-
masing; 3. Para ulama baik perorangan ataupun kelembagaan seperti lembaga-lembaga fatwa.

Jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan pemahamaan nash-nash agama,


diselesaikan dengan menggunakan kaedah-kaedah perbedaan pendapat yang sudah ada dan
biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Pemerintah tidak dapat intervensi dalam
persoalan pemahaman terhadap nash, karena hal itu bukan wilayah wewenangnya. Tetapi jika
terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan kemasyarakatan yang bersifat ijtihadi, maka
pemerintah dapat memutuskan pendapat mana yang akan diikuti.

Dalam perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal,
dalam kitannya dengan pelaksanaan ibadah puasa dan shalat ‘Ied, maka penyelesaiannya
diserahkan kepada para pemimpin agama dalam membimbing umat. Tetapi urusan libur
‘Iedul Fithri dan hal-hal lain di luar urusan keagamaan murni, diputuskan oleh Pemerintah.

***

Anda mungkin juga menyukai