Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

Angka Kesehatan Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah salah satu

indicator derajat kesehatan suatu negara. Menurut WHO (2012) kematian ibu adalah kematian

selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah persalinan akibat gangguan kehamilan atau

penanganannya. Secara global angka kematian ibu mencapai 500.000 jiwa per tahun. Kematian

maternal tersebut terjadi pada Negara berkembang sebesar 99%. Angka kematian ibu di ASEAN

tergolong paling tinggi di dunia. WHO memperkirakan sementara total AKI dan AKB di

ASEAN sekitar 170 ribu dan 1,3 juta per tahun. Sebanyak 98% dari seluruh AKI dan AKB di

kawasan ini terjadi di Indonesia, Bangladesh, Nepal, dan Myanmar. Indonesia sebagai negara

berkembang, masih memiliki angka kematian maternal yang cukup tinggi (WHO, 2012).

Penyebab Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah perdarahan 42%, eklamsia 13%,

aborsi 11%, infeksi 10%, partus lama 9% dan lain-lain 15% (Kurnia, 2017). Infeksi pada ibu

bisa terjadi pada masa antepartum, intrapartum dan postpartum.Infeksi dalam kehamilan adalah

masuknya mikroorganisme patogen ke dalam tubuh wanita hamil,yang kemudian menyebabkan

timbulnya tanda atau gejala-gejala penyakit. Sekitar 23 % infeksi intrauterine disebabkan oleh

Ketuban Pecah Dini (KPD) (Leiwakabessy, 2013).

Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan atau tanda –

tanda inpartu (Sukarni K, 2013). Hal ini dapat terjadi pada kehamilan preterm. Pada keadaan ini

resiko ibu dan anak meningkat. Ketuban pecah dini merupakan salah satu masalah dalam kasus

kedaruratan obstetrik. Setelah ketuban pecah, kuman yang berada di servik mengadakan invasi

ke dalam saccus amnion dan dalam waktu 24 jam cairan amnion akan terinfeksi. Akibat infeksi
cairan amnion akan mengakibatkan infeksi pada janin. Jarak antara waktu pecahnya ketuban

dengan waktu persalinan (perode laten) yang terlalu jauh dapat meningkatkan risiko terjadinya

infeksi (Sinseng, 2008).

Sampai saat ini KPD preterm masih merupakan masalah di dunia termasuk Indonesia

dan memerlukan perhatian yang besar, karena prevalensinya yang cukup tinggi. Menurut Human

Development Report (2010), angka kejadian KPD di dunia mencapai 12,3% dari total angka

persalinan, semuanya tersebar di negara berkembang di Asia Tenggara seperti Indonesia,

Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Laos. Menurut World Health Organization (WHO) angka

kejadian KPD di dunia pada tahun 2013 sebanyak 50-60% (WHO, 2014).

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya ketuban pecah dini yaitu dengan cara

memberikan pendidikan kesehatan pada ibu hamil tentang kehamilan persalinan dan juga

menganjurkan agar ibu hamil secara rutin melakukan ANC (Ante Natal Care) ke tempat

pelayanan kesehatan selama kehamilan berlagsung, disamping itu ibu perlu juga memperhatikan

aktivitas sehari-hari sehingga persalinannya nanti berjalan lancer dan tidak terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan. Kebijakan pemerintah dalam dalam menangani kasus ketuban pecah dini

terdapat dalam KepMenKes no. 369 tahun 2007, disebutkan bahwa selama memberi asuhan dan

konseling kehamilan tenaga kesehatan harus mampu mengidentifikasi penyimpangan kehamilan

nirmal, salah satunya adalah ketuban pecah dini dan melakukan penanganan yang tepat termasuk

merujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap (Kepmenkes RI, 2007).

Faktor-faktor penyebab ketuban pecah dini (KPD) adalah usia, social ekonomi, paritas,

anemia, perilaku merokok, riwayat KPD, serviks yang inkompetensik dan peningkatan intra

uterm yang meninggi atau meningkat secara berlebih (Septi, 2010). Anemia kehamilan disebut

potential danger to mother and child (potensial membahayakan bagi ibu dan bayi). Dampak dari
anemia pada kehamilan dapat terjadi abortus, persalinan prematur, hambatan tumbuh kembang

janin dalam rahim, mudah infeksi, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini (KPD), gangguan

his, partus lama, perdarahan postpartum, dan pengeluaran ASI berkurang (Aryanti, 2013).

Anemia merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya KPD. Penelitian Huda (2013)

menjelaskan bahwa anemia kehamilan, pre-eklampsia, letak sungsang, hidramnion, dan gemeli

merupakan faktor penyebab terjadinya ketuban pecah dini. Dari 125 kasus yang ditemukan di

RS PKU Muhammadiyah Surakarta, 65,5% diantaranya adalah ibu dengan anemia. Teori

(Manuaba, 2009) menyatakan bahwa anemia merupakan faktor terjadinya ketuban pecah dini.

Pada ibu dengan anemia, kadar hemoglobin sebagai pembawa zat besi dalam darah berkurang,

yang mengakibatkan rapuhnya beberapa daerah dari selaput ketuban, sehingga terjadi kebocoran

pada daerah tersebut (Pratiwi, 2017).

Pada penelitian sebelumnya oleh (Indriani, 2018) yang berjudul Hubungan Anemia

Dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) Di RSUD Panembahan Senopati Bantul dalam

penelitian tersebut terbukti bahwa ibu bersalin yang mengalami ketuban pecah dini PROM > 37

minggu sebanyak 121 orang dengan yang mengalami anemia sedang sebanyak 6 orang (5,0%)

dan yang mengalami anemia ringan sebanyak 115 orang (95,0%), sedangkan ibu bersalin yang

mengalami ketuban pecah dini PPROM < 37 minggu sebanyak 51 orang dengan yang

mengalami anemia sedang 11 orang (21,6%) dan yang mengalami anemia ringan sebanyak 40

orang (78,4%). Sedangkan pada penelitian oleh (Pratiwi, 2017) tentang Hubungan Anemia

Dengan Ketuban Pecah Dini Pada Ibu Bersalin Di RSUD Muntilan di dapatkan hasil ada

hubungan ketuban pecah dini dengan anemia pada ibu bersalin. Dalam penelitian ini diperoleh

hasil, bahwa ibu bersalin yang mengalami KPD sebanyak 22 orang dengan karakteristik anemia

sebanyak 18 orang (48.6 %) dan tidak anemia sebanyak 19 orang (51.4 %), sedangkan ibu
bersalin yang tidak mengalami KPD sebanyak 15 orang dengan karakteristik anemia 3 orang

(20.0%) dan tidak anemia sebanyak 12 orang (80.0%).

Hasil data yang didapatkan peneliti dengan menggunakan data sekunder rekam medis

RSUD Wangaya pada kasus yang mengalami ketuban pecah dini menyebutkan bahwa data

jumlah kasus KPD dari 2016 sampai 2018 mengalami peningkatan dari 129 orang pada tahun

2016, 144 orang pada tahun 2017 dan sebanyak 173 orang pada tahun 2018. Hal ini menunjukan

bahwa kejadian KPD mengalami peningkatan.

Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk

mengetahui hubungan anemia ibu bersalin dengan berat badan lahir di RSUD Wangaya tahun

2020.

Anda mungkin juga menyukai