Tugas Tifoid + Sle
Tugas Tifoid + Sle
Demam Tifoid
Lupus Eritematosus Sistemik
Disusun oleh :
Chesi Viviandra
H1AP12051
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi masalah
dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara subtropis pun prevalensi
demam tifoid cukup tinggi, angka kematian tertinggi terdapat di negara-negara Asia.
Surveilans Departemen Kesehatan RI tahun2010 mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 2010 demam tifoid menempati urutan ke 3 dari 10 pola penyakit
terbanyak pasien rawat inap.
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imun kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaquePeyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak dan selanjutnya masuk lagi ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
a. Kloramfenikol
Dierapre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%. Terapi
dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit,
menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28hari menjadi 3-5hari.
Dosis untuk orang dewasa adalah 4kali 500mg perhari oral atau intravena, sampai 7 hari
bebas demam. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat pilihan
untuk demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun1970. Tingginya angka
kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang memanjang dan karier kronik, toksisitas
terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di beberapa negara
berkembang merupakan perhatian terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati
dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,
akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 50 - 100mg/kg bb/
hari, demam rata-rata menurun pada hari ke-6 sampai ke-6.
c. Ampisilin dan Kotrimoksazol
Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.
Ampicilin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol(TPM-SMZ) menjadi pengobatan yang
utama. Munculnya strain MDR S.typhi, dengan resisten terhadap ampicillin dan
kotrimoksazol telah mengurangi kemanjuran obat ini. Pada tahun 1989, muncul MDR
S.Typhi. Bakteri ini resisten terhadap kloramfenikol, ampicilin, Trimetoprim-
Sulfametoksazol (TPM-SMZ), streptomycin, sulfonamid dan tertacyklin. Di daerah dengan
prevalensi tinggi infeksi S.typhi MDR (India, Asia Tenggara, dan Afrika), seluruh pasien
diduga demam tifoid dan diterapi dengan quinolon atau sefalosporin generas III hingga hasil
kultur dan tersensitive aster sedia.
d. Quinolon
Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan efektif
penetrasi terhadap makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu, dan
memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik lain dalam terapi demam tifoid.
Ciprofloksasin terbukti memiliki efektivitas yang tingi, tidak ada karier S.Typhi yang
muncul, faktanya, pada studi lainnya, indikasi utama untuk menggunakan antibiotik
quinolon. Ciprofloksasin juga telah ditemukan memiliki efek terapi terhadap strain S.typhi
dan S.paratyphi MDR. Resistensi terhadap ciprofloksasin mulai muncul khususnya di daerah
India. Quinolon lainnya, seperti ofloxacin, norfloxacin dan pefloxacin, terbukti efektif dalam
percobaan klinis skala kecil. Terapi singkat dengan ofloxacin (10-15mg/kg dibagi dua
selama 2-3hari) muncul lebih simpel, aman dan efektif dalam terapi inkomplit MDR demam
tifoid. Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
e. Sefalosporin Generasi 1
Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam
tifoid, dengan pemberian selama 3hari memberikan efek terapi sama dengan regimen
obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian
ceftriaxon selama 5-7hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap.
Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan
diberikan untuk 10-14hari.
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam tifoid dengan
aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan lebih efektif dari pada
kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam darah. Penelitian prospektifdi
Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik
makrolida baru diberikan dengan dosis1gr sekali sehari selama 5hari juga bermanfaat
untuk pengobatan demam tifoid. Keuntungan lainnya penggunaan aztreonam dan
azitromycin adalah kedua obat ini dapat digunakan pada anak-anak,ibu hamildan
menyusui.
B. Penggunaan Glukokortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan
gangguankesadaran (delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis
awal 3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian. Selain itu,
juga diberikan kepada pasien dengan demam yang tidak turun-turun.
Hari ke 1: Kortison 3 X 100 mg im atau Prednison 3 X 10 mg oral
Hari ke 2: Kortison 2 X 100 mg im atau Prednison 2 X 10 mg oral
Hari ke 3: Kortison 3 X 50 mg im atau Prednison 3 X 5 mg oral
Hari ke 4: Kortison 2 X 50 mg im atau Prednison 2 X 5 mg oral
Hari ke 5: Kortison 1 X 50 mg im atau Prednison 1 X 5 mg oral
C. Antipiretik
3. Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya
tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan
tekanan
1.6 Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat
10
terjadi pada demam tifoid yaitu:
1.6.1 Komplikasi Intestinal
Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal perforasi usus,
ileus paralitik, pankreatitis.
1.6.2 Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus
lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan
juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.
Sekitar 25% penderitademam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan
terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai
80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang
terjadi,makatindakanbedahperlu dipertimbangkan.
2.1 Lupus Eritematosus Sistemik
2.1.1 Definisi LES
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-
kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
nasolabial
efusia
Serositis
Gangguan renal
Perikarditis
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,
Atau
oleh obat-obatan
Gangguan imunologi
a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA denga
2.1.7.1.4 Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15
mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk
mengontrol penyakitnya.
Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam
waktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid
dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara
bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut.
Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan
2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan
dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison
dinaikkan sampai ke dosis efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali.
2.1.7.2.2 Siklofosfamid
Indikasi siklofosfamid pada LES :
1) Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing
agent)
2) Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi
3) Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama
atau berulang
4) Glomerulonefritis difus awal
5) LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
6) Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum
tanpa adnya faktor-faktor ekstrarenal lainnya
7) LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9%
selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah
pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid
diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2
tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan
fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau.
Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya
diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml
menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.
Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis
hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.
2.1.7.2.3 Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan
secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES;
setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin,
maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah
penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan
enzim hati dan mencetuskan keganasan.
2.1.7.2.4 Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah
Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES
baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.
Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum
pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.
2.1.7.2.6 Rituximab
Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat digunakan
dalam pengobatan penyakit autoimun sistemik, termasuk LES. Dosis rituximab
adalah 1 gram, 2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu, dan dapat diulang setiap
6 bulan.
2.1.7.2.7 Imunoglobulin G IV
Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi
trombositopenia pada LES, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan
selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk
mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak pemberian imunoglobulin pada
pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita LES.
2.1.8 Prognosis Penyakit LES
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien
dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat
kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada LES kurang dari 50%. Saat ini,
tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi
90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah
sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia
dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka
kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang
terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan
dalam perawatan medis umum.