Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada
membrana mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil Corynebacterium
diphtheria, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob yang ditandai oleh
terbentuknya eksudat yang membentuk membran pada tempat infeksi, dan diikuti
oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh
basil ini. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang.1,2

Difteri berasa dari bahasa Yunani yang berarti kulit. Penyakit ini pertama
kali dilaporkan seorang dokter dari prancis yang bernama Arman Trousseau pada
tahun 1855. Terjadinya epidemi penyakit ini telah dilaporkan sejak tahun 1921.
Pada tahun 1983, WHO melaporkan 92.000 kasus difteri pernafasan yang terjadi
di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pada tahun 1998, telah
dilaporkan sebanyak 200.000 kasus di daerah bekas negara Rusia, dan 5.000 kasus
diantaranya meninggal dunia. Dengan berhasilnya program imunisasi, prevalensi
kasus difteri turun secara bertahap. Di Atvia (Newly Independence State of Rusia),
selama periode tahun 1993-2003, ditemukan 1359 kasus difteri, dan apalagi
dilihat angka kejadiannya pertahun, ditemukan insidensinya menurunnya dari
3,9% per 100.000 penduduk pada tahun 1993, menjadi 1,12% per 100.000
penduduk pada tahun 2001.2

Toksin difteri menghambat sintesis protein seluler dan menyebabkan


kerusakan faring dan toksisitas miokard dan neurologis. Pada difteri banyak
menyerang anak usia 10 tahun dan frekuensi tertinggi pasa usia 2-5 tahun
walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita prnyakit ini. Tetapi
insiden difteri berkurang sebab adanya imunisasi DPT.1,3

Populasi yang paling rentan terhadap infeksi adalah mereka yang tidak di
imunisasi, atau memiliki kadar antibodi antioksida yang rendah ,atau orang yang

1
terpapar dengan individu yang sakit atau carrier. Manifestasi klinis tergantung
lokasi infeksi, imunitas penderita dan ada tidaknya toksin yang beredar dalam
sirkulasi darah. Gejala mulai dari yang paling ringan seperti gejala influensa biasa
sampai obstruksi saluran napas yang dapat menyebabkan kematian.2

Secara keseluruhan insiden difteri mulai menurun di Amerika, yaitu dengan


angka kematian sekitar 10%. Faring merupakan daerah tersering untuk infeksi ini.
Penyakit ini lebih banyak terjadi pada individu yang tidak diimunisasi atau
imunisasi yang tidak adekuat. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri
tenggorokan. Di samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia.
Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membran yang
khas di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan. Membran
tampak kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat saluran nafas.
Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang membedakannya dengan
penyebab faringitis membranosa lain.4

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI TONSIL

Tonsila palatina berbentuk dua massa jaringan limfoid, masing masing


terletak di dalam cekungan di dinding lateral oropharynx di antara arcus
palatoglossus dan palatopharyngeus. Setiap tonsil diliputi oleh membrana mucosa,
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam pharynx.
Permukaannya berbintik-bintik yang disebabkan oleh banyak muara keleniar,
yang terbuka ke crypta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina diliputi oleh
capsula fibrosa. Capsula ini dipisahkan dari musculus constrictor pharyngis
superior oleh jaringan areolar jarang, vena palatina externa berjalan turun dari
palatum mo1le di dalam jaringan ikat jarang untuk bergabung dengan plexus
venosus pharyngeus. Bagian lateral musculus constrictor pharyngis superior
terdapat musculus styloglossus, lengkung arteria facialis dan arteria carotis
interna.5

3
Vaskularisasi Tonsil
Arteri yang mendarahi tonsil adalah ramus tonsilaris arteria facialis. Vena-
vena menembus musculus constrictor pharynges pharynges superior dan
bergabung dengan vena palatine ecterna, vena pharyngealis, atau vena facialis.

B. FISIOLOGI TONSIL

4
Jaringan limfoid secara kolektif adalah jaringan yang memproduksi,
menyimpan, atau memproses limfosit. Jaringan-jaringan ini mencakup sumsum
tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil, adenoid, apendiks, dan agregat
jaringan limfoid di lapisan dalam saluran cerna yang dinamai bercak Peyer.5
Tonsil merupakan bagian dari sistem limfatik yang berperan dalam
imunitas. Tonsil akan menghasilkan limfosit dan aktif mensintesis
immunoglobulin saat terjadi infeksi ditubuh. Tonsil akan membengkak saat
berespon terhadap infeksi.6

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk


diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2
fungsi utama yaitu:

1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif

2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal dari
diferensiasi limfosit B.7

Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-


sama dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua
organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid.
Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkan sel
limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh.
Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel
mukosa ( sel M ), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit
yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini
akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk
imunoglobulin (Ig)M pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian
sel B menjadi sel memori. Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara pasif akan
berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh
makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi
sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen,
mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun

5
merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan
pembentukan imunoglobulin. Limfosit B dan limfosit T pada tonsil lah yang akan
menjadi cikal bakal tonsil menjadi system imun pada rongga mulut.8

C. HISTOLOGI
Secara mikroskopis tonsil memiliki 3 komponen yaitu jaringan ikat,
jaringan interfolikuler, jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa trabekuka
yang berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan perluasan kapsul
tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung pembuluh darah, saraf,
saluran limfatik efferent. Permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel stratified
squamous. Tonsila palatina yang berpasangan merupakan agregat nodulus limfoid
yang terletak di rongga mulut. Tonsila palatina tidak dibungkus oleh kapsul
jaringan ikat. Akibatnya, permukaan tonsila palatina dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng tanpa lapisan tanduk yang juga melapisi bagian mulut lainnya. Masing-
masing tonsila memiliki alur-alur yang dalam yaitu kriptus tonsil (cripta tonsillae)
yang juga dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Di bawah
epitel dalam jaringan ikat terdapat banyak nodulus limfoid yang tersebar di
sepanjang kriptus tonsil. Nodulus limfoid sering menyatu dengan yang lain dan
biasanya memperlihatkan pusat germinal yang berwarna lebih muda. Di bawah
tonsila palatina terdapat jaringan ikat padat dan membentuk kapsul. Dari kapsul
terbentuk jaringan ikat trabekula dengan pembuluh darah. Jaringan ikat ini meluas
ke arah permukaan tonsil di antara nodulus-nodulus limfoid. Di bawah kapsul
jaringan ikat terdapat potongan serat otot rangka.9

6
Gambar 8 : Histologi Tonsil

Gambar 9 & 10 :Histologi Tonsil. 10

D. DEFINISI
Tonsillitis Difteri adalah infeksi akut pada tonsil yang disebabkan oleh
corynebacterium diphtheria, kuman yang masuk gram positif aerobik atau anaerob
fakultatif dan pada umumnya bersifat nonmotil. Tonsilitis difteri Yang sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada
usia 2-5 tahun. walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit
ini. 1,2,,11

Gambar 11: Difteria Tonsil 12

7
Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsila faringeal (adenoid), tonsila palatina
(tonsil faucial), tonsila lingual (tonsil pangkal lidah), tonsila tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil).1 Masa inkubasi dari bakteri ini
adalah 2-6 hari.7

E. EPIDEMIOLOGI
Penyakit difteri tersebar di seluruh dunia, terutama di negara miskin, yang
penduduknya tinggal pada tempat-tempat permukiman yang rapat, higiene dan
sanitasi yang jelek, dan fasiitas kesehatan yang kurang.2
Orang-orang yang beresiko tinggi terkena penyakit difteri adalah:
1. Tidak mendapat imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap.
2. Immunocompromised, seperti: sosial ekonomi yang rendah, seperti :
populasi anak jalanan, penduduk asli (di Amerika Serikat, penduduk asli
beresiko tinggi terkena difteri dibandingkan warna kulit putih), terkena
difteri dibandingkan warga kulit putih), pemakaian obat imunosupresif,
penderita HIV, Diabetes Melitus, pencandu alkohol dan narkotika.
3. Tinggal pada tempat-tempat yang padat, seperti : Rumah tahanan (penjara),
tempat penampungan.
4. Sedang melakukan perjalanan (travel) ke daerah-daerah yang sebelum
merupakan daerah endemik difteri.2
Di Amerika Serikat, sejak tahun 1970 sampai tahun 1975, ditemukan 248
kasus (rata rata 48 kasus pertahun), biasanya epidemi terjadi pada musim gugur.
Kemudian, insiden penyakit ini berkurang setelah digunakan vaksin difteri secara
intensif dan luas. Pada tahun 1992, hanya dilaporkan 3 kasus.2
Di Swedia, pada tahun 1980 dilaporkan 17 kasus difteri, yang penderitanya
adalah penduduk asli negara tersebut. Di Rusia, dalam periode tahun 1990 s/d
tahun 1996, ditemukan lebih dari 100.000 kasus. Sedangkan di Indonesia, Rs.Dr.
M Djamil Padang melaporkan 48 kasus difteri selama periode 3 tahun (1990-

8
1992), sedangkan di RS Dr Wahidin Ujung Pandang didapatkan 39 kasus selama
periode 3 tahun (1987-1989). Pada tahun 2005, RS Hasan Sadikin Bandung
dirawat 1 kasus difteri.2
Sebelum program imunisasi berkembang, difteri merupakan penyakit pada
masa anak-anak, golongan umur yang paling sering mengalami difteri adalah usia
antara 2-10 tahun, jarang ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan karena
mendapat imunisasi pasif melewati plasenta dari ibunya, dan pada dewasa yang
berumur di atas 15 tahun, karena sudah mendapat imunisasi pada masa kecilnya.2
Sejak tahun 1980, setelah program imunisasi rutin dilakukan, maka angka
kejadian difteri menurun, akan tetapi kemungkinan terjadi infeksi pada orang
dewasa lebih meningkat karena kejadian infeksi sekunder pada pasien-pasien yang
mendapat imunisasi yang tidak sempurna, atau pada keadaan immunokompromise
seperti pecandu alkohol dan narkoba.2
Jenis kelamin yang banyak dikenai adalah wanita. Beberapa studi telah
membuktikan bahwa wanita beresiko lebih tinggi dari laki-laki terkena infeksi
dikarenakan daya imunitas yang lebih rendah.2

F. ETIOLOGI
Penyebab tonsilitis difteri adalah Corynebacterium diphteriae, bakteri yang
termasuk gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring
dan laring.1,2,11

Corynebacterium diphteriae

9
G. PATOGENESIS
Pasien yang terinfeksi dan karier dapat menularkan Corynebacterium
diftheriae langsung melalui droplet pernapasan, sekret nasofaring dan secara tidak
langsung melalui debu, baju, ataupun benda yang terkontaminasi. Bakteri
biasanya memasuki tubuh melalui saluran pernapasan bagian atas, tapi dapat juga
masuk melalui kulit, saluran genital atau mata.2
Corynebacterium diftheriae dalam hidung atau mulut, berkembang pada
sel epitel mukosa saluran napas atas terutama pada tonsil, kadang-kadang
ditemukan pada kulit dan konjungtiva atau genital. Basil ini kemudian
menghasilkan eksotoksin yang dilepaskan oleh endosom sehingga menyebabkan
reaksi inflamasi lokal selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis.2
Toksin terdiri dari dua fragmen protein pembentuk. Fragmen B berikatan
dengan reseptor pada permukaan sel pejamu yang rentan, dan sifat proteolitiknya
memotong lapisan membran lipid sehingga membantu fragmen A masuk ke sel
pejamu. Selanjutnya akan terjadi peradangan dan destruksi sel epitel yang akan
diikuti nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin yang kemudian di
infiltrasi oleh sel darah putih, akibatnya terbentuk patchy exudat yang pada
awalnya dapat terkelupas.2
Pada keadaan lebih lanjut toksin yang diproduksi lebih banyak sehingga
daerah nekrosis makin luas dan dalam sehingga terbentuk eksudat fibrosa yang
terdiri dari jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit, sel eritrosit, yang
berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sulit terkelupas, kalau di paksa
akan menimbulkan perdarahan. 2
Pada umumnya infeksi corynebacterium diphtheria secara local dan
menghasilkan racun yang menyebar secara homogen, karakteristik membrane
difteri tebal ,kasar, berwarna kelabu-biru atau putih dan terdiri dari bakteri, epitel,
nekrotik, makrofag, dan fibrin. Membran ke bronkial, menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan dan dispneu. 2
Kekebalan karena vaksinasi akan berkurang dari waktu ke waktu , hal ini
mengakibatkan peningkatan resiko tertular penyakit dari karrier, meskipun
imunisasi sebelumnya lengkap. Dengan meluasnya cakupan vaksinasi kasus strain

10
penyakit invasif nontoksikogenetik meningkat. Kerusakan jaringan local
menyebabkan toksin menyebar melalui aliran limpa dan hematogen ke organ lain
seperti miokardium, ginjal, dan system saraf. Strain nontoksikogenik cenderung
menyebabkan infeksi ringan tetapi dengan berjalannya program imunisasi
dilaporkan kasus nontoksikogenik difteri dapat menyebabkan penyakit invasif. 2
Infeksi corynebacterium diphtheria ditandai dengan peradangan local
disaluran pernapasan bagian atas dan berhubungan dengan toksin pada jantung
dan penyakit saraf. Strain corynebacterium diphtheria terdiri dari : gravis,
intermedius, dan mitis. Semua strain menghasilkan toksin yang identik, strain
gravis lebih virulen karena membentuk toksin lebih cepat dan menguras pasokan
besi local , sehingga produksi toksin awal lebih besar. 2

H. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal,
dan gejala akibat eksotoksin
- Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,
nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
- Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran
napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila
infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau
disebut juga Burgermeester’s hals.
- Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai dekompensatio cordis, mengenai saraf cranial

11
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan
pada ginjal pada ginjal menyebabkan albuminuria. 1,2,11

Gambar 2 Bull neck

12
Gambar 3 pseudomembran

I. DIAGNOSIS
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.1,2,11

J. DIAGNOSIS BANDING
Tonsilitis Folikular Akut

Yaitu suatu infeksi oleh bakteri streptococus, staphylococcus, atau H.

Influenza yang menyerang tonsil. Tonsilitis folikular akut ini biasa

menyerang anak dengan usia antara 6 sampai 20 tahun bahkan lebih. Faktor

predisposisi akibat sering mengalami tonsilitis akut dan tidak di obati

dengan baik. Anak-anak dengan akut folikular tonsil biasa mengeluhkan

nyeri yang sangat hebat pada daerah tenggorokan dan memberat saat

menelan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil yang hiperemis dan

edamatous yang disertai detritus, dimana detritus merupakan kumpulan

leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang mengalami deskuamasi. Secara

klinis detritus akan mengisi kripte tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.

Selain itu, akan didapatkan tonsil yang kotor dengan pseudomembran yang

hanya terbatas pada tonsil saja, tidak menyebar ke daerah sekitar tonsil dan

sangat mudah untuk dilepas tetapi tidak gampang berdarah, serta pada

perabaan kelenjar di dapatkan pembesaran kelenjar limfe submandibular dan

jugular yang disertai dengan nyeri tekan. Sedangkan pada pemeriksaan

Shick Test didapatkan hasil yang negatif. Pada akut folikular tonsillitis akan

13
disertai dengan detritus yang jelas, kemudian bercak detritus ini akan

bergabung menjadi satu dan membentuk alur yang kemudian disebut

tonsilitis lakunar.1

Dimana, cara untuk melakukan Shick Test adalah dengan

menyuntikkan toksin sebanyak 0,1 ml secara intrakutan pada lengan

tersangka, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah

dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke 4 - 5, hasil positif bila

terjadi indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat

suntikan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya.

Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh rekasi

alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan

indurasinya menghilang dalam waktu 48 - 72 jam, sedangkan yang positif

karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.2

Gambar 13: Perbedaan antara difteri dengan akut folikular tonsilitis13

14
Gambar 4 Detritus pada tonsillitis bakterial akut1

K. PENATALAKSANAAN
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur
dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung umur dan beratnya penyakit.
Antibiotik penisilin dan eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3
dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari.
Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi.
Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.1

pengobatan difteri harus segera dimulai meskipun uji konfirmasi belum


selesai karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Perawatan terdiri atas: 2
A. perawatan umum
1. Isolasi semua kasus dan dilakukan tindakan pencegahan universal dari
resiko penularan melalui droplet serta membatasi jumlah kontak
2. Istirahat di tempat tidur, minimal 2-3 minggu
3. Makanan lunak atau cair bergantung pada keadaam penderita, kebersihan
jalan napas dan pembersihan lendir

B. Perawatan khusus bertujuan


1. Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri
2. Membunuh basil difteri yang memproduksi toksin

Anti-toksin diberikan sedini mungkin begitu diagnosis ditegakkan, tidak perlu


menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Dosis tergantung kepada jenis
difterinya, tidak dipengaruhi oleh umur pasien.
- Difteri nasal/ fausial yang ringan diberikan 20.000-40.000 U, secara IV
dalam waktu 60 menit
- Difteri fausial sedang diberikan 40.0000-60.000 U, secara IV
- Difteri berat (bullneck dyyephtheria) diberikan 80.000- 120.000 secara IV

15
Pemberian antibiotic :
- Penisilin procain 1.200.00 unit/hari secara intramuscular, 2 kali sehari
selama 14 hari
- Eritromisin : 2 gram perhari secara peroral dengan dosis terbagi 4 kali
sehari
- Preparat lain yang bisa diberikan adalah amoksisilin, rifampisin, dan
klindamisin.

Tonsilektomi

Tonsilektomi merupakan satu dari prosedur pembedahan tertua yang masih


dilakukan. Pada tahun 1867, Wise menyatakan bahwa orang Indian Asiatik trampil dalam
tonsileklomi pada tahun 1000 SM. Frekuensi prosedur pembedahan menurun secara
drastis sejak munculnya antibiotik. Selain itu, pengertian yang lebih baik dari indikasi-
indikasi untuk prosedur pembedahan ini telah menurunkan frekuensinya, dari perkiraan
1,5 juta tonsilektomi di Amerika Serikat pada tahun 1970 menjadi insidens 350.000
sampai 40C.000 per tahun pada tahun 1985. Karena pembedahan tonsila tidak bebas dari
morbiditas dan mortalitas, adalah bijaksana untuk menyadari bahwa prosedur ini, seperti
setiap pembedahan lainnya, sebaiknya dilakukan secara optimal dengan ketrampilan
dalam teknik pembedahan.4

Tonsilektomi adalah suatu tindakan operasi untuk mengangkat semua jaringan


tonsil palatina. Tonsilektomi merupakan teknik lini pertama untuk mengangkat tonsil
palatina dan merupakan prosedur operasi yang paling sering dilakukan pada usia anak-
anak dan relatif sering pada usia dewasa. Tonsilektomi merupakan pelayanan one day
care (operasi sehari) di banyak fasilitas kesehatan. Teknik operasi tonsilektomi standar
yang masih diterima hingga saat ini adalah teknik Sluder, diseksi memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil,
mengangkat dasar tonsil dan mengangkat tonsil palatina dari fossa peritonsiller dengan
manipulasi hati-hati.14

16
Tonsilektomi juga dapat dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan nafas serta kecurigaan neoplasma. Tonsilektomi dapat menimbulkan
morbiditas berupa timbulnya nyeri, perdarahan, mual dan muntah, asupan peroral yang
tidak adekuat, dehidrasi, infeksi, hingga pneumonitis akibat aspirasi darah. Dimana nyeri
tenggorok menjadi keluhan yang paling sering terjadi pada pasien, baik anak-anak
maupun dewasa, terutama pada hari pertama pasca tonsilektomi. 14

Indikasi
Walaupun mungkin terdapat berbagai pendapat tentang indikasi yang pasti untuk
torsilektomi pada anak-anak, terdapat sedikit perselisihan pendapat tentang indikasi
prosedur ini pada orang dewasa. Torsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda
yang menderita episode ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris, atau abses peritonsilaris.
Tonsilitis kronis dapat menyebabkan hilangnya waktu bekerja yang berlebihan. Anak-
anak jarang menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsilaris. Paling sering, mereka
mengalami episode berulang tonsilitis akut dan hipertrofi penyerta. Beberapa episode
mungkin disebabkan oleh virus atau bakteri. Diskusi kemudian mengenai kapan saat atau
setelah berapa kali episode tindakan pembedahan dibutuhkan. Pedoman-pedoman yang
biasanya dapat diterima sekarang ini dirunjukkan pada bagian ini. 4

Indikasi Absolut. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut


adalah berikut ini: 4

1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.

2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.

3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan


penyerta.

4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).

5. Abses peritonsilaris berulang alau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.

Indikasi Relatif. Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif.


Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi streptokokokus beta
hemolitikus grup A. Biakan tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan organisme
penyebab dari episode faringitis yang sekarang. Biakan permukaan tonsil tidak selalu

17
menunjukkan flora yang terdapat di dalam tonsil. Demikian juga, keputusan untuk
mengobati dengan antibiotik tidak selalu bergantung pada hasil biakan saja. Sprinkle
menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar "sakit tenggorokan" disebabkan oleh
infeksi virus, Streptococcus pyogenes merupakan bakteri penyebab pada 40% pasien
dengan tonsilitis eksudatifa rekurens. Streptokokus grup B dan C, adenovirus, virus
EB, dan bahkan virus herpes juga dapat menyebabkan tonsilitis eksudatifa. Ia percaya
bahwa kasus-kasus tertentu adenotonsilitis berulang disebabkan oleh virus yang dalam
keadaan tidak aktif (dormant) yang terdapat dalam jaringan tonsilaris. Sekarang ini,
tonsilektomi mungkin hanya satu-satunya jalan untuk menetapkan lebih banyak flora
mulut normal pada pasien-pasien tertentu dengan adenotonsilitis berulang. 4

Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergantung pada kebijaksanaan


dokter yang merawat pasien. Mereka sebaiknya menyadari kenyataan bahwa tindakan ini
merupakan prosedur pembedahan mayor yang bahkan hari ini masih belum terbebas dari
komplikasi-komplikasi yang serius.

Sekarang ini, di samping indikasi-indikasi absolut, indikesi tonsilektomi yang


paling dapat diterima pada anak-anak adalah berikut ini : 4

1. Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan


penatalaksanaan medis yang adekuat).
2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan patogenik
(keadaan karier).
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan).
4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis
(biasanya pada dewasa muda).
5. Riwayat demam reumatik dengan kentsakan jantung yang berhubungan dengan
tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk.
6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan
gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.
8. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten.

18
Jika terdapat infeksi streptokokus berulang, mungkin terdapat karier pada orang-orang
yang tinggal dan biakan pada anggota keluarga dan pengobatan dapat menghentikan
siklus infeksi rekuren.

Pertimbangan dan pengalaman ahli dalam menilai manfaat indikasi-indikasi ini


yang akan diberikan pada pasien, tentu saja semuanya sama penting. Seperti juga indikasi
pembedahan, tentu terdapat non-indikasi dan kontraindikasi tertentu yang juga harus
diperhatikan, karena telah menjadi mode untuk melakukan jenis pembedahan ini untuk
mengatasi masalah-masalah ini. Kontraindikasi. Non-indikasi dan kontraindikasi untuk
tonsilektomi adalah di bawah ini: 4

1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.

2. Infeksi sistemik atau kronis.

3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.

4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.

5. Rinitis alergika.

6. Asma.

7. Diskrasia darah.

8. Ketidakmanpuan yang ullrunr atau kegagalan untuk tumbuh.

9. Tonus otot yang Iemah.

10. Sinusitis.

Tonsilektorni dapat dilakukan pada individu-individu yang mempunyai


deformitas palatoskisis. Walaupun, terdapat keadaan- keadaan yang meringankan
terhadap petunjuk prosedur pembedahan ini, dan pasien harus diberitahu mengenai
kemungkinan timbulnya efek pada kualitas suara akibat prosedur pembedahan. 4

19
Anatomi Pembedahan. 4

1. Strukrur kedua arkus-otot


palatoglosus (arkus
anterior) dan otot
palatofaringeus
(arkus poslerior).
2. Perbatasan lateral fosa
tonsilaris-otot
konstriktor superior.
3. Hubungan plika,
khususnya plika
lriangularis.
4. Aliran darah) yang berasal dari lima pembuluh arteri-bagian dorsum lingua
berasal dari arteri lingualis; palatina asenden dan tonsila keduanya dari
maksilaris eksterna; faringea asenden dari karotis eksterna; danpalatina desenden
dari maksilaris interna.

L. KOMPLIKASI
Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan sebagai berikut : 2
1. Virulensi basil difteri
2. Luas membran yang terbentuk
3. Jumlah toksin yang diproduksi oleh basil difteri
4. Waktu antara mulai timbulnya penyakit sampai pemberian antitoksin

Komplikasi difteri adalah sebagai berikut:

1. Karena pembentukan pseudomembran atau aspirasi menimbulkan


kegagalan pernapasan, edema jaringan , dan nekrosis
2. Jantung, Miokarditis, dilatasi jantung dan kegagalan pompa, aneurisme
mikotik,endokarditis

20
3. Gangguan irama, blok jantung, termasuk disosiasi artioventikular dan
disritmia
4. Pneumoni bakterialis sekunder
5. Disfungsi saraf kranial dan neuropati perifer, kelumpuhan total
6. Neuritis optik
7. Sepstikemia/ syok (jarang)
8. Artritis septik, osteomielitis (jarang)
9. Metastasis infeksi ke tempat yang jauh seperti miokardium, atau SSP
(jarang)
10. Kematian

M. PENCEGAHAN
Pencegahan yang paling baik adalah dengan vaksinasi sesuai dengan
anjuran inisiatif global pertussis (dibentuk pada 2001) yaitu kelompok kerja yang
mempunyai tugas menjalankan iminisasi global dan pencegahan penyakit pada
bayi, remaja, dan dewasa untuk difteri, pertusis dan tetanus.2
Bentuk toksoid difteri ada 4 macam yaitu: DTaP, Tdap, DT, dan Td.
Untuk vaksinasi anak digunakan (DTaP) dan dewasa digunakan (Tdap).
Vaksinasi ini merupakan difteri dalam bentuk toksoid yang dikombinasikan
dengan pertussis dan vaksin tetanus. (DTaP) diberikan pada umur 2 bulan, 4
bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun. (DT) adalah vaksin difteri dan tetanus
diberikan anak-anak remaja dan orang dewasa diberikan booster setiap 10 tahun
atau ketika telah terjadi paparan. “D” huruf kecil menunjukkan kekuatan toksoid
difteri (2,0-2,5 unit Lf), diberikan pada usia diatas 7 tahun. (td) diberikan pada
remaja berusia 11 atau 12 tahun. 2
Pada orang yang kontak erat dengan penderit difteri terutama yang tidak
pernah / tidak sempurna mendapat imunisasi aktif, dianjurkan pemberian booster
dan melengkapi pemberian vaksin. Selanjutnya diberikan kemoprofilaksis berupa
Penisilin procain 600.000 unitintramuskuler / hari atau Eritromicin 40 mg/kg BB/
hari selama 7-10 hari. Bila pengawasan tidak bisa dilakukan , diberikan antitoksin

21
10.000 unit intramuscular, kemudian 2 minggu setelah pengobatan dilakukan
kultur untuk memastikan eradikasi c.dyphtheriae. 2

N. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada : 2
1. Virulensi basil difteri
2. Lokasi dan luas membrane yg terbentuk
3. Status kekebalan penderita
4. Cepat lambatnya pengobatan
5. Pengobatan yg diberikan

Secara umum angka kematian penderita difteri 5-10% dimana kematian


tertinggi terjadi pada penderita yang tidak mendapat imunisasi lengkap dan pasien
yang mempunyai kelainan sistemik. Pada difteri dengan keterlibatan jantung
prognosis sangat buruk terutama bila disertai blok atrioventrikular dengan angka
kematian mencapai 60-90%. Pada keadaan sepsis tingkat kematian 30-40%.2
Tingkat kematian yang tinggi di sebabkan oleh difteri jenis gravis/invasive,
bullneck diptheriae. Jenis ini mempunyai angka kematian mencapai 50%. Difteri
laring lebih cepat menyebakan obstruksi saluran nafas, bila pertolongan tidak
cepat dan pengawasan tidak ketat dapat menimbulkan kematian mendadak.
Keterlambatan pengobatan meningkatkan angka kematian menjadi 20 kali lipat,
penyebab kematian terbanyak adalah miokarditis. Angka kematian yang tinggi
tejadi pada umur kurang lima tahun dan lebih 40 tahun. Di indonesia angka
kematian penderita difteri di 29 rumah sakit tahun 1969-1970 adalah 11,3%.2

BAB III
KESIMPULAN

22
Difteri tonsil adalah infeksi akut pada tonsil yang disebabkan oleh
corynebacterium diphtheria yang ditransmisikan melalui droplet udara atau kontak
kulit-kulit. Yang sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini. Masa inkubasi penyakit ini sekitar 2-5 hari.
Umumnya pasien datang dengan gejala umum seperti juga gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang
tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Membran ini dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran napas.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari apusan dibawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
Awasi tanda-tanda obstruksi jalan napas atas. Anti difteri serum (ADS)
diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis 20.000-100.000 unit
tergantung umur dan beratnya penyakit. Antibiotik penisilin dan eritromisin 25-50
mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2 mg
per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini
menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama
2-3 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Soepardi AE, dkk. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI. 2018. P
198
2. Ahmad A, dkk. Difteri. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I &
III edisi V&VI. Jakarta: Interna publishing. 2014. P 643-49, P2955-961
3. Bansal, M. Infection of Larynx. Dalam buku Disease of Ear, Nose, &
Throat Head & Nect Surgery. 1st Ed. India: Jaypee. 2013. P 480
4. Higler AB. Rongga mulut dan faring. Dalam BOIES, Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi 6. Jakarta: EGC. 1997. P 332
5. Snell R.S. Anatomi Klinis berdasarkan system. Jakarta: EGC.2012 . p.43,
48, 59
6. Sherwood L. Pertahanan tubuh. Dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem. Edisi 6. Jakarta EGC: 2012. P 10, P 448-49
7. Dhingra, PL. Chapter II. Acute & Chronic Tonsilitis. Dalam buku Disease
of Ear, Nose, and Throat & Head & Neck Surgery. 7th Ed.India:
Elsevier.2014. p291-96
8. Hussain. M. Tonsil and Adenoid. Dalam Buku Logan Turner’s. Diseases
of the Nose, Throat, and Ear Head and Neck Surgery. 11th Ed. New
York.2016. p533-34
9. Eroschenko, V. Atlas Histologi diFiore dengan korelasi Fungsional.
11th.Jakarta: ECG.2008. p216-17
10. Berhrbohm, Hans etc. Mouth & Pharynx. Dalam buku Ear, Nose &
Throat Disease with Head and Neck Surgery. 3th Ed. New York.2009.
p228,232-34
11. Tanto C. Difteri. Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke IV. Jakarta:
Media Aesculapius. 2016. P 1067-069
12. Ludman, H. ABC of Ear, Nose, and Throat. 6th.UK:BMJ.2012. p90-91

24
13. Preet, I. Chapter 35. Diseases of Tonsils and Adenoid. Dalam buku

Textbook Ear, Nose and Throat. 1st Ed, India: Jaypee Brother.2005. p240-

42

14. Kurnia D. 2018. Penggunaan Blok Peritonsil Untuk Mengurangi Nyeri

Pasca Operasi Tonsilektomi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018. P 291-96.

Tersedia pada: http://jurnal.fk.unand.ac.id.

25

Anda mungkin juga menyukai