04 16 SE Kakankemenag Kota Magelang - Lampiran
04 16 SE Kakankemenag Kota Magelang - Lampiran
A. Pendahuluan:
1
Daerah Tanggal 17 Maret 2020, dan Perubahannya Nomor 367/71/112 Tahun 2020
Tanggal 23 Maret 2020.
Bahwa Pemerintah Kota Magelang dalam kewenangannya telah merespon dan bertindak cepat
untuk mewaspadai resiko penularan infeksi Covid-19, mencegah, dan menangani korban sesuai
dengan protokol yang ditentukan. Kebijakan dan langkah-langkah Pemerintah Kota Magelang
tersebut dimaksudkan untuk melindungi warga masyarakat Kota Magelang dari resiko bahaya
penularan infeksi Covid-19. Itu semua sebagai perwujudan tanggung jawab Pemerintah Kota
Magelang terhadap keselamatan seluruh warga masyarakatnya.
Kebijakan dan tindakan Pemerintah Kota Magelang dalam menghadapi wabah Covid-19
tersebut bertujuan untuk kemaslahatan manusia, dan karena itu dalam sudut pandangan Islam
sesuai dengan salah satu Qaidah Fiqhiyyah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafii, yang
dinyatakan oleh Syeikh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wa al-Nadzair, Juz I,
halaman 122:
ﳌﺼﻠﺤﺔ ﻫﺬﻩ اﻟﻘﺎﻋﺪة ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ وﻗﺎل ” ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻹﻣﺎم ﻣﻦL ﺗﺼﺮف اﻹﻣﺎم ﻋﻠﻰ اﻟﺮﻋﻴﺔ ﻣﻨﻮط
ﻗﺎل. ﻣﺎ أﺧﺮﺟﻪ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮر ﰲ ﺳﻨﻨﻪ: وأﺻﻞ ذﻟﻚ: ﻗﻠﺖ. ” اﻟﺮﻋﻴﺔ ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻮﱄ ﻣﻦ اﻟﻴﺘﻴﻢ
ﻗﺎل ﻋﻤﺮ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ ” إﱐ أﻧﺰﻟﺖ: ﻋﻦ اﻟﱪاء ﺑﻦ ﻋﺎزب ﻗﺎل، ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ اﻷﺣﻮص ﻋﻦ أﰊ إﺳﺤﺎق
إن اﺣﺘﺠﺖ أﺧﺬت ﻣﻨﻪ ﻓﺈذا أﻳﺴﺮت رددﺗﻪ ﻓﺈن اﺳﺘﻐﻨﻴﺖ، ﻧﻔﺴﻲ ﻣﻦ ﻣﺎل ﷲ ﲟﻨﺰﻟﺔ واﱄ اﻟﻴﺘﻴﻢ
”اﺳﺘﻌﻔﻔﺖ
“Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya adalah mengikuti mandat untuk mewujudkan
kemaslahatan.” Kaidah ini dinyatakan oleh Imam Syafi’i. Beliau menambahkan: “Kedudukan
Imam / pemerintah terhadap rakyatnya adalah menyerupai wali / pengasuh anak yatim terhadap
anak asuhnya.” Menurut pendapatku: “Dasar dari ditetapkannya kaidah ini adalah al-hadits
riwayat Sa’id ibn Manshur dalam kitab Sunan-nya. Ia berkata: telah menceritakan kepada kami
Abu al-Ahwash, dari Abu Ishaq, dari al-Bara’ ibn ‘Azib, ia berkata: Dari Umar radhiyallahu
‘anhu: “Aku menempatkan diriku dari harta Allah (harta publik), layaknya pengasuh anak
yatim. Jika aku membutuhkannya, maka aku mengambil sekedarnya, dan jika aku punya (tidak
membutuhkannya), maka aku kembalikan harta itu. Dan, andai aku benar-benar
membutuhkannya, maka aku coba untuk menahan diri semampuku (sampai aku benar-benar
harus mengambilnya).”.
Adapun al-Khawarizmi mendefinisikan kemaslahatan sebagai berikut:
2
telah bersepakat bahwa dalam prakteknya, kelima hal tersebut tidak boleh saling bertentangan
satu sama lainnya.
Dalam konteks Qaidah Fiqhiyyah dan konsep maslahat seperti di atas, kebijakan Pemerintah
Kota Magelang terkait wabah Covid-19 dimaksudkan untuk mencegah resiko bahaya
penularan infeksi virus ini dalam kehidupan warga masyarakat. Hal ini sejalan dengan prinsip
Qaidah Fiqhiyyah yang lain:
ِ اﻹﻣ َﻜ
ﺎن ْ ِْ اَﻟﻀَﱠﺮُر ﻳُ ْﺪﻓَ ُﻊ َﻋﻠَﻰ ﻗَﺪ ِر
“Bahaya harus dicegah sesuai batas-batas yang memungkinkan”
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa resiko penularan wabah Covid-19 ini telah terbukti
membahayakan keselamatan jiwa dan raga manusia dan telah mengakibatkan ribuan orang
meninggal dunia, termasuk sebagiannya dari warga masyarakat Kota Magelang.
Peran dan tanggung jawab Pemerintah Kota Magelang yang gencar tidak akan dapat efektif
tanpa peran serta masyarakat secara bersama-sama dan bergotong-royong, apalagi mengingat
wabah virus ini mudah menular dari orang ke orang. Kebutuhan dasar manusia berupa
melindungi keselamatan jiwa dan raga harus merupakan usaha yang dilakukan bersama-sama
antara pemerintah dan warga masyarakat, termasuk dari bahaya wabah virus Covid-19 ini.
Dalam hal ini Pemerintah Kota Magelang telah menetapkan protokol pencegahan dan
penanganan wabah Covid-19, di antaranya melalui gerakan kebersihan diri dan lingkungan,
gerakan memakai alat perlindungan diri (APD), menjaga jarak fisik (phisical distancing), sarta
tanggap darurat penanganan korban.
Ketika Pemerintah Kota Magelang sebagai pemegang wewenang telah menetapkan kebijakan
serta usaha-usaha nyata untuk mencegah dan menangani wabah Covid-19 sesuai dengan
protokol keselamatan yang ditentukan serta sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, maka warga
masyarakat khususnya Umat Islam Kota Magelang dituntut kesadarannya untuk mematuhi dan
turut berperan dalam usaha bersama ini. Karena Allah SWT berfirman:
ﻟﺸﺆون اﻟﻌﺎﻣﺔ واﳌﺼﺎﱀ اﳌﻬﻤﺔ ﻓﻴﺪﺧﻞ ﻓﻴﻬﻢ ﻛﻞ ﻣﻦ وﱃ اﻣﺮا ﻣﻦL اوﻟﻮاﻻﻣﺮ ﻫﻢ اﻟﺬﻳﻦ وﻛﻞ اﻟﻴﻬﻢ اﻟﻘﻴﺎم
وﻗﺪ. ﻣﻦ ﻣﻠﻚ ووازﻳﺮ ورءﻳﺲ وﻣﺪﻳﺮ وﻣﺄﻣﻮر وﻋﻤﺪة وﻗﺎض و>ﺋﺐ وﺿﺎﺑﻂ وﺟﻨﺪي:اﻣﻮر اﳌﺴﻠﻤﲔ
3
اوﺟﺐ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ اﻟﺴﻤﻊ ﻻواﻣﺮ ﻫﺆﻻء واﳌﺒﺎدرة اﱃ ﺗﻨﻔﻴﺬﻫﺎ ﺳﻮاء
اﻛﺎﻧﺖ ﳏﺒﻮﺑﺔ ﻟﻪ ام ﺑﻐﻴﻀﺔ اﻟﻴﻪ اﻩ
“Ulil amri adalah orang-orang yang diberi mandat mengurusi urusan urusan yang bersifat
umum, dan kemaslahatan- kemaslahatan yang bersifat penting. Dan termasuk dalam kategori
ulil amri adalah setiap orang yang bertugas mengatur urusan umat islam seperti raja, perdana
menteri, pemimpin, direktur, petugas, pegawai, walikota, hakim, asisten, perwira, pengatur
ketertiban, dan prajurit. Dan sungguh Rasulullah saw. Mewajibkan atas setiap orang islam
taat dan tunduk kepada perintah-perintah mereka dan segera merealisasikannya baik perintah
tersebut disenangi maupun tidak disenangi”.
Pemerintah Pusat melalui Presiden telah menempuh kebijakan social distancing atau menjaga
jarak antar satu dengan yang lain sebagai strategi yang paling penting dilakukan dalam situasi
wabah Covid-19. Presiden mengatakan, dengan kondisi tersebut, sudah saatnya bekerja dari
rumah, belajar dari rumah, serta beribadah dari rumah. Presiden juga mengajak seluruh rakyat
bekerja sama, saling tolong menolong, bersatu padu, bergotong-royong menangani Covid-19.
Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19, dan
pelaksanaannya harus didukung dan dilakukan oleh kesadaran masyarakat sendiri.
Kebijakan social distancing tersebut telah diimplemetasikan oleh Pemerintah Kota Magelang
dalam kehidupan masyarakat, melalui serangkaian Surat Edaran yang meminta kesadaran dan
peran aktif masyarakat. Khusus dalam bidang agama, pelaksanaan ibadah warga masyarakat
Kota Magelang dalam kerangka social distancing diatur melalui Surat Edaran sebagai berikut:
1. Surat Edaran Pemerintah Kota Magelang Nomor 451 / 162 / 123 Tentang Penyelenggaraan
Ibadah Di Masjid/Mushola Di Tengah Wabah Corona Virus Disease (Covid-19) Tanggal
25 Maret 2020.
2. Surat Edaran Pemerintah Kota Magelang Nomor 450 / 163 / 123 Tentang Penyelenggaraan
Ibadah Di Tempat Peribadatan di Kota Magelang Di Tengah Wabah Corona Virus Disease
(Covid-19) Tanggal 26 Maret 2020.
Interaksi sosial dengan pola social distancing dalam kondisi pandemi Covid-19 ini mirip
dengan cara interaksi yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para Sahabatnya ketika menemui
kasus penyakit berbahaya yang mudah menular seperti penyakit kusta. di saat Rasulullah
Muhammad SAW masih hidup, wabah penyakit menular yang ditakuti masyarakat saat itu
adalah kusta atau lepra. Kusta sudah dikenal sejak sebelum Masehi. Rasulullah memandang
kusta ini sebagai penyakit menular yang berbahaya. Rasulullah sampai mengajarkan doa untuk
terlindung dari penyakit menular. Doa tersebut tercantum dalam hadis riwayat berikut:
َ ِ) اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ إِِّﱐ أَﻋُﻮذُ ﺑ: ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ – َﻛﺎ َن ﻳَـ ُﻘ ْﻮ ُل
ﻚ ِ ٍ ََو َﻋ ْﻦ أَﻧ
أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ: – ُﺲ – َرﺿ َﻲ ﷲُ َﻋْﻨﻪ
َ – ﱠﱯ
.ﺻ ِﺤْﻴ ٍﺢ ٍ ِ ْ ﻲء ِ ِ وﺳﻴ، واﳉ َﺬ ِام، ﻮن ِ ُ واﳉﻨ، ص ِ
َ ِِ ْﺳﻨَﺎدS َرَواﻩُ أَﺑُﻮ َد ُاوَد. ( اﻷﺳ َﻘﺎم َّ َ ُ ُ َ ِ اﻟﱪ
ََ ﻣ َﻦ
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
“ALLOOHUMMA INNII ‘AUUDZU BIKA MINAL BAROSHI WAL JUNUUNI WAL
JUDZAAMI WA SAYYI-IL ASQOOM (artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit yang jelek lainnya).” (HR. Abu Daud, no. 1554;
Ahmad, 3: 192.
4
Dalam hadis tersebut, Rasulullah menyebut kusta dengan 'judzam' yang jika diterjemahkan
berarti 'memotong' atau 'terpotong'. Ini mengambarkan kondisi yang dialami penderita kusta
akut, jari-jarinya sampai terputus di setiap ruasnya.
Rasulullah pun sampai mengingatkan umat Islam untuk berhati-hati terhadap penyakit kusta.
Pesan itu tertuang dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.
5
mencegah resiko penularan dan penyebaran wabah Virus Corona saat sekarang ini. Tinggal di
rumah untuk sementara dalam jangka waktu tertentu, membatasi diri dari aktivitas di luar
rumah merupakan cara efektif untuk memutus rantai penyebaran virus.
C. Protokol Pelaksanan Ibadah di Masjid/Musholla dan Sholat Jum’at
Dalam kondisi normal, sebaik-baik tempat adalah masjid, berjamaah sholat wajib 5 waktu di
masjid dan memakmurkan masjid termasuk ibadah yang utama, dan sholat Jum’at termasuk
ibadah wajib bagi yang memenuhi persyaratan. Ketentuan syariat tersebut berdasarkan dalil-
dalil seperti berikut:
1. Keutamaan masjid. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
6
Hadits Rasulullah SAW lainnya yang artinya:“Apabila datang waktu siang hari jumat,
maka shalatlah dua rakaat.” (HR. Ad-Daruquthny)
Tetapi keutamaan sholat berjamaah di masjid/musholla dan kewajiban melaksanakan sholat
Jum’at, dalam syariat Islam tidak berlaku untuk semua kondisi. Ada kondisi-kondisi tertentu
yang diperkenankan syariat bagi seseorang dapat tidak berjamaah sholat 5 waktu di
masjid/musholla. Demikian juga ada kondisi-kondisi tertentu sehingga seseorang tidak wajib
sholat Jum’at dan wajib menggantinya dengan sholat Dhuhur. Kondisi-kondisi tertentu itu
dalam syariat lazim disebut dengan istilah udzur syar’i (alasan yang menghalangi dilakukannya
suatu ibadah). Kondisi-kondisi tertentu yang menjadi udzur bagi sesorang sehingga dia dapat
tidak berjama’ah sholat wajib 5 waktu dan tidak sholat Jum’at itu adalah:
1. Sakit yang memberatkannya untuk melaksanakan ibadah sholat jumat serta merawat orang
sakit yang tidak ada perawatnya, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
telah disebutkan.
Hadits di atas tegas menunjukkan bahwa orang sakit tidak wajib shalat jama’ah di masjid
atuapun shalat Jum’at. Al-Mardawi rahimahullah berkata,
ِ ِ ِ
ِ ف ﺣ ُﺪ ِ ِ اﳉﻤ ِ ْ وﻳـﻌ َﺬر ﰲ ﺗَـﺮِك
ِ وث اﻟْ َﻤَﺮ
ض ً ْﻳﺾ ﺑِ َﻼ ﻧَﺰ ٍاع َوﻳـُ ْﻌ َﺬ ُر أَﻳ
ُ ﻀﺎ ﰲ ﺗَـ ْﺮﻛ ِﻬ َﻤﺎ ﳋَْﻮ ُ ﺎﻋﺔ اﻟْ َﻤ ِﺮ
َ َ َْ اﳉُ ُﻤ َﻌﺔ َو ْ ُ َُْ
“Orang sakit diberi ‘udzur untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah tanpa ada
perselisihan. Dan juga diberi ‘udzur (untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah)
karena khawatir terkena penyakit.” (Al-Inshaaf, 2: 300)
2. Halangan lain adalah adanya kerabat yang mendekati kematiannya, baik ia tidak terhibur
atau terhibur dengan kematiannya. yang seperti kerabat adalah istri, ipar, budak, teman,
guru, tuan yang membebaskannya dari perbudakan dan budak yang dibebaskan.
3. Termasuk halangan juga ialah khawatir atas jiwanya atau kehormatannya atau hartanya dan
takut menemui orang yang dia berhutang padanya sedang ia tidak mampu membayar, dan
apabila ia mengharapkan maaf dari orang yang akan menghukumnya. Para ulama fiqih
menjelaskan bahwa udzur yang berupa “khauf” (rasa takut) yang dimaksudkan dalam hadis
tersebut di atas ada 3 (tiga) macam, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Qudamah sebagai
berikut :
واﳋﻮف ﺛﻼﺛﺔ،وﻳﻌﺬر ﰲ ﺗﺮﻛﻬﺎ اﳋﺎﺋﻒ ﻟﻘﻮل اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﻟﻌﺬر ﺧﻮف أو ﻣﺮض
أﻧﻮاع ﺧﻮف ﻋﻠﻰ اﻟﻨﻔﺲ وﺧﻮف ﻋﻠﻰ اﳌﺎل وﺧﻮف ﻋﻠﻰ اﻷﻫﻞ
“Dan diberi udzur untuk meninggalkannya (sholat Jumat) orang yang takut (al khaa`if),
berdasarkan sabda Nabi SAW,”Udzur itu adalah khauf (rasa takut) dan sakit (maradh).” Dan
khauf itu ada tiga macam : khauf ‘ala an nafsi (takut akan kerselamatan jiwa), khauf ‘ala al
maal (takut akan kehilangan harta), dan khauf ‘ala al ahli (takut akan keselamatan keluarga).
(Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz I, hlm. 451).
‘Udzur berupa rasa takut (khauf) tersebut, dapat berlaku pada kasus wabah Covid-19 saat
ini, karena wabah tersebut memang menakutkan (mukhiifah) karena dapat mengancam jiwa
seseorang. Maka dari itu, boleh hukumnya tidak melaksanakan sholat Jum’at berdasarkan
udzur yang ada sebagaimana hadis tersebut, yaitu rasa takut akan keselamatan jiwa dan
keluarga.
4. Menahan hadast (kencing/kentut/buang air besar) sedangkan waktunya lapang.
5. Tidak adanya pakaian yang layak
6. Tertidur
7. Angin yang bertiup kencang diwaktu malam.
7
8. Merasa sangat lapar, haus dan dingin.
9. Adanya lumpur dan cuaca yang sangat panas diwaktu dhuhur.
10. Bepergian dalam rombongan.
11. Makan makanan yang berbau busuk baik dalam keadaan mentah ataupun sudah dimasak
sedangkan baunya tidak dapat dihilangkan.
Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ِ ِ ِ
َ ﻓَِﺈ ﱠن اﻟْ َﻤ َﻼﺋ َﻜﺔَ ﺗَـﺘَﺄَذﱠى ﳑﱠﺎ ﻳَـﺘَﺄَذﱠى ﻣْﻨﻪُ ﺑـَﻨُﻮ،>َ اث ﻓَ َﻼ ﻳَـ ْﻘَﺮﺑَ ﱠﻦ َﻣ ْﺴﺠ َﺪ
آد َم َ ﱡﻮم َواﻟْ ُﻜﱠﺮ َ ََﻣ ْﻦ أَ َﻛ َﻞ اﻟْﺒ
َ ﺼ َﻞ َواﻟﺜ
“Barangsiapa makan bawang merah, bawang putih, serta bawang bakung, janganlah dia
mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang juga membuat
manusia merasa tersakiti (disebabkan baunya).” (HR. Muslim no. 564)
Juga dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َوﻟْﻴَـ ْﻘﻌُ ْﺪ ِﰲ ﺑَـْﻴﺘِ ِﻪ،>َ ﻓَـ ْﻠﻴَـ ْﻌﺘَ ِﺰﻟْﻨَﺎ أَْو ﻟِﻴَـ ْﻌﺘَ ِﺰْل َﻣ ْﺴ ِﺠ َﺪ،ﺼ ًﻼ ً َُﻣ ْﻦ أَ َﻛ َﻞ ﺛ
َ َﻮﻣﺎ أ َْو ﺑ
“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah dia
memisahkan diri dari kami atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaklah dia duduk
di rumahnya.” (HR. Muslim no. 564)
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang makan bawang merah dan bawang putih
dilarang mengikuti shalat jama’ah di masjid karena alasan akan mengganggu dan menyakiti
kaum muslimin dengan bau tidak sedap yang ditimbulkan.
Jika menyakiti kaum muslimin dengan bau tidak sedap saja menyebabkan seseorang
dilarang menghadiri shalat berjamaah di masjid, larangannya akan lebih keras lagi jika
seseorang mengidap penyakit menular berbahaya yang bisa merenggut nyawa.
12. Menetesnya air dari atap pasar yang dilaluinya menuju sholat jumat/jama'ah.
13. Terjadinya gempa bumi, dll. (Muqoddimah Fiqih Al-Hadromiyyah)
Seseorang yang tidak melaksanakan sholat Jum’at karena alasan adanya udzur-udzur tersebut,
maka dia tetap wajib melaksanakan ibadah sholat Dhuhur, sebagai ganti dari kewajiban
melaksanakan shalat Jum’at. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah swt :
.اﳉﻤﻌﺔ ﻳﺮﺧﺺ ﰲ ﺗﺮك،ﻛﻞ ﻣﺎ أﻣﻜﻦ ﺗﺼﻮرﻩ ﰲ اﳉﻤﻌﺔ ﻣﻦ اﻻﻋﺬار اﳌﺮﺧﺼﺔ ﰲ ﺗﺮك اﳉﻤﺎﻋﺔ
8
“Semua perkara yang bisa digambarkan terjadi di waktu shalat Jum’at berupa ‘udzur-‘udzur
yang membolehkan meninggalkan shalat jamaah, maka perkara tersebut bisa membolehkan
meninggalkan shalat Jum’at.” (Raudhatuth Thalibiin, 1: 540)
Sesungguhnya udzur-udzur tersebut merupakan bagian dari rukhshah (keringanan) syariat dalam
menjalankan syariat. Islam memiliki banyak keringanan bagi umatnya dalam menjalankan
tuntunan syariatnya. Shalat wajib dapat dilakukan tidak dengan berdiri, tetapi dengan kondisi
kemampuan yang melakukannya, misalnya dengan duduk karena tidak mampu berdiri, dengan
tidur karena tiak mempu dengan duduk dst.
Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama
ushul diartikan dengan:
ﺻﺪﻗﺔ ﺗﺼﺪق: ﻓﻘﺎل. ﻓﺴﺄﻟﺖ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ ذﻟﻚ، ﻋﺠﺒﺖ ﳑﺎ ﻋﺠﺒﺖ ﻣﻨﻪ
ﻓﺎﻗﺒﻠﻮا ﺻﺪﻗﺘﻪ، ﷲ _ﺎ ﻋﻠﻴﻜﻢ
“Saya juga heran sebagaimana anda heran dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu dan
bersabda,” Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah shadaqah-Nya”.
Karena itu merupakan shadaqah dari-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala senang kalau
shadaqah-Nya diamalkan oleh hamba-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
9
Maka dalam kondisi pandemi virus Corona, berkumpul-kumpul (jamaah) banyak orang yang
bermacam-macam termasuk di tempat ibadah seperti masjid, musholla dan lain-lain, lebih baik
tidak dilaksanakan karena memiliki potensi yang besar dalam hal penularan. Adanya potensi
resiko bahaya inilah yang menjadi udzur sy’ari sehingga tidak dilaksanakan jamaah sholat di
masjid/musholla dan juga tidak dilaksanakan sholat Jum’at. Hal ini sesuai dengan Qaidah
fiqhiyyah, yaitu:
ﻫﺬﻩ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ وﺿﻌﺖ ﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺎرع ﰲ ﻗﻴﺎم ﻣﺼﺎﳊﻬﻢ ﰲ اﻟﺪﻳﻦ واﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﻌﺎ
Artinya: Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya kemashlahatan manusia
di dunia dan Akhirat”.
Demikian pula ulama Lajnah Daimah telah mengeluarkan fatwa khusus terkait kondisi wabah
Covid-19:
وﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺗﻘﺪم ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺴﻮغ ﺷﺮﻋﺎً إﻳﻘﺎف ﺻﻼة اﳉﻤﻌﺔ واﳉﻤﺎﻋﺔ ﳉﻤﻴﻊ اﻟﻔﺮوض ﰲ اﳌﺴﺎﺟﺪ واﻻﻛﺘﻔﺎء
وﻋﻨﺪﺋﺬ ﻓﺈن،ً وﺗﻜﻮن أﺑﻮاب اﳌﺴﺎﺟﺪ ﻣﻐﻠﻘﺔ ﻣﺆﻗﺘﺎ، وﻳﺴﺘﺜﲎ ﻣﻦ ذﻟﻚ اﳊﺮﻣﺎن اﻟﺸﺮﻳﻔﺎن،ﺑﺮﻓﻊ اﻷذان
ﺻﻠﻮا ﰲ ﺑﻴﻮﺗﻜﻢ؛ ﳊﺪﻳﺚ ﺑﻦ ﻋﺒﺎس أﻧﻪ ﻗﺎل ﳌﺆذﻧﻪ: وﻳﻘﺎل ﰲ اﻷذان،ﺷﻌﲑة اﻷذان ﺗﺮﻓﻊ ﰲ اﳌﺴﺎﺟﺪ
ً وﺗﺼﻠﻰ اﳉﻤﻌﺔ ﻇﻬﺮا. واﳊﺪﻳﺚ أﺧﺮﺟﻪ اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ،ذﻟﻚ ورﻓﻌﻪ إﱃ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ
.أرﺑﻊ رﻛﻌﺎت ﰲ اﻟﺒﻴﻮت
“Berdasarkan pertimbangan sebelumnya, maka dibolehkan secara syariat untuk meniadakan
shalat Jum’at dan shalat jamaah untuk semua shalat wajib di masjid dan mencukupkan diri
dengan mengumandangkan azan. Dikecualikan dari hal ini adalah Masjidil Haram dan Masjid
Nabawi. Sehingga pintu-pintu masjid ditutup sementara waktu. Dalam masa ini, syariat azan
dikumandangkan di masjid. Dan dikatakan ketiak azan “ ﺻﻠﻮا ﰲ ﺑﻴﻮﺗﻜﻢShalatlah di rumah-
rumah kalian.” berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata
kepada muadzinnya, dan status hadits tersebut tersebut adalah marfu’ (berasal dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. (Sebagai pengganti
shalat jum’at), maka shalat zuhur empat rakaat di rumah masing-masing.”
(https://www.spa.gov.sa/2048662).
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Surat Edaran Pemerintah Kota Magelang
Nomor 451 / 162 / 123 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Di Masjid/Mushola Di Tengah Wabah
Corona Virus Disease (Covid-19) Tanggal 25 Maret 2020, tidak bertentangan dengan syariat
Islam, dan dengan demikian semestinya dipatuhi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh
seluruh warga masyarakat Islam di Kota Magelang. Dalam hal ini, seseorang yang menjalankan
10
ibadahnya sesuai dengan arahan Pemerintah tersebut berarti telah melaksanakn 3 (tiga)
kepatuhan, yaitu: patuh kepada Allah, patuh kepada Rasul-Nya, serta patuh kepada pemerintah
yang berwenang mengatur dan menetapkan kebijakan untuk mencapai kebaikan dan
keselamatan hidup seluruh warga masyarakat.
Kemudian, bagaimana jika seseorang dari warga penduduk Kota Magelang tetap ingin
melaksanakan ibadah jamaah sholat di masjid dan sholat Jum’at dan keluar dari wilayah Kota
Magelang dengan berbagai dalih alasan, misalnya ingin memperoleh keutamaan berjamaah
sholat di masjid atau takut ancaman Allah dan Rasul-Nya kerena meninggalkan perintah sholat
Juma’at? Contoh kasus seperti ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, seseorang semestinya mencegah diri dari keinginan tersebut dengan mengingat kondisi
bahaya wabah viru Corona serta dengan mempertimbangkan seluruh tuntunan syari’at
sebagaimana telah tersebut di atas. Seseorang tidak boleh melaksanakan keinginannya meskipun
itu suatu perbuatan ibadah, jika hal itu berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Kedua, kewajiban shalat Jum’at itu sasarannya adalah terhadap orang yang menetap/berdomisili
(mutawath-thin) di wilayah di mana sholat Jum’at itu wajib diselenggarakan. Misalnya,
kewajiban sholat Jum’at bagi warga penduduk Kota Magelang melekat pada wilayah
kependudukannya, maksudnya wajib baginya hanya di wilayah Kota Magelang. Jika seseorang
keluar dari wilayah kependudukannya, maka dia berstatus sebagi musafir dan dia bukan
mutawath-thin yang berketetapan wajib melaksanakan sholat Jum’at. Dengan kata lain sholat
Jum’at yang diselenggarakan di luar wilayah Kota Magelang, tidak mengikat terhadap warga
penduduk Kota Magelang untuk mendatanginya demi menunaikan kewajibannya.
Terkait dengan kondisi wabah pandemi virus Corona, tindakan keluar dari daerah suatu wilayah
pandemi (Kota Magelang) ke daerah pandemi yang lain (Kabupaten Magelang, misalnya) justru
lebih besar membawa resiko bahaya penularan infeksi dan bahaya penyebaran virus. Jika
masyarakat melakukan hal seperti ini, maka asumsinya akan menambah kesulitan dalam usaha
memutus mata rantai peredaran virus.
Ketiga, jika ada perbedaan kebijakan antara Pemerintah Kota Magelang dengan pemerintah
daerah lainnya, khususnya dalam hal pelaksanaan ibadah di tengah pandemi virus Corona, hal
tersebut seharusnya dapat dimaklumi oleh warga masyarakat Kota Magelang khususnya, karena
masing-masing Pemerintah memiliki kewenangan secara otonomi sesuai dengan wilayah
kepemerintahannya. Artinya, Pemerintah Kota Magelang tidak harus menyesuaikan
kebijakannya dengan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten/Kota selainnya, demikian juga
sebaliknya. Demikian juga, warga masyarakat di Kota Magelang secara hukum tata
pemerintahan dan hukum syariat, terikat dengan peraturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Kota Magelang, dan tidak terikat dengan produk hukum dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota lainnya untuk di terapkan di wilayah Kota
Magelang. Singkatnya, wilayah Kota Magelang secara otonomi berada di bawah kendali
kewenangan Pemerintah Kota Magelang yang dipimpin oleh Walikota Magelang dan dibantu
oleh jajaran pimpinan daerah di Kota Magelang.
Keempat, bahwa ancaman agama terhadap orang yang meninggalkan sholat Jum’at tertuju
kepada orang yang sengaja meninggalkannya tanpa adanya udzur seperti telah disebutkan di
atas, tanpa keadaan darurat, atau tertuju pada orang yang meninggalkannya karena sengaja
menyepelekannya. Adapun orang yang meninggalkannya karena ada udzur, atau karena keadaan
darurat seperti dalam kondisi wabah Covid -19 saat sekarang dan menggantikannya dengan
sholat Dhuhur, maka dia tidak termasuk golongan orang-orang yang diancam sebagaimana
ancaman yang tersebut pada hadits-hadits Rasulullah SAW seperti berikut:
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang wajib menghadiri shalat
Jum’at tetapi tidak mendatanginya dengan ancaman yang keras, sebagaimana diriwayatkan
11
dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa
keduanya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbarnya:
ِِ ِ ِِ ِ اﳉﻤﻌ
ﺎت أ َْو ﻟَﻴَ ْﺨﺘِ َﻤ ﱠﻦ ﱠ ِ
ﲔ
َ ا"ُ َﻋﻠَﻰ ﻗُـﻠُﻮ_ ْﻢ ﰒُﱠ ﻟَﻴَ ُﻜﻮﻧُ ﱠﻦ ﻣ ْﻦ اﻟْﻐَﺎﻓﻠ َ ُ ُْ ﲔ أَﻗْـ َﻮ ٌام َﻋ ْﻦ َوْدﻋ ِﻬ ْﻢ
“ ﻟَﻴَـْﻨـﺘَ ِﻬ َ ﱠHendaklah
orang yang suka meninggalkan shalat Jum’at menghentikan perbuatan mereka, atau benar-
benar Allâh akan menutup hati mereka, kemudian mereka benar-benar menjadi termasuk
orang-orang yang lalai. [HR Muslim].
2. Dalam hadits lain disebutkan:
ﲔ ِِ ٍ ث ُﲨﻌ
ِ ِﺎت ﰒُﱠ َﱂ َﳛﻀﺮ ُﻛﺘ ِ
َ ﺐ ﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤﻨَﺎﻓﻘ
َ ُْ ْ ْ َ ُ َ َﻣ ْﻦ َﲰ َﻊ ْاﻷَذَا َن ﺛََﻼ
“Siapa yang mendengar adzan jumatan 3 kali, kemudian dia tidak menghadirinya maka
dicatat sebagai orang munafik.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir).
5. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
12
dan Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid-19 Pada Area Publik Di Lingkungan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam;
3. Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor: 443.5/0007222 Tentang Tata Cara
Pengurusan Jenazah Terinfeksi Covid-19
Fenomena terkait pemakaman, ada sejumlah kasus oknum warga di berbagai tempat di
Indonesia yang menolak pemakaman jenazah korban COVID-19 di wilayahnya. Contohnya
hal itu terjadi di Sawangan Depok, Jawa Barat, di Kota Sorong Papua Barat, dan di Kabupaten
Semarang. Kasus serupa tidak boleh lagi terjadi di tempat lain, termasuk di wilayah Kota
Magelang.
Pada dasarnya syariat Islam telah mewajibkan setiap individu termasuk Muslim menghormati
jenazah, lebih-lebih jika jenazah itu umat Islam. Oleh karena itu siapa pun jenazahnya harus
diperlakukan dengan baik.
Jika jenazah Islam tidak menularkan penyakit, maka dimandikan hingga bersih dan suci,
dikafani sesuai syariat, kemudian dikubur dengan penuh penghormatan. Tidak boleh
diremehkan atau mendapatkan penghinaan.
Kemudian jika jenazah yang beragam Islam tersebut berpotensi menularkan penyakit,
misalnya terjangkit COVID-19, maka pihak rumah sakit harus menanganinya sehingga betul-
betul sesuai protokol keamanan, seperti dibungkus plastik hingga dinilai betul-betul aman.
Kemudian diantar ke keluarganya. Keluarga tidak boleh membukannya, sesuai aturan medis.
Kemudian dishalati, diantar ke kuburan dan dimakamkan dengan penuh penghargaan sesuai
janazah Muslim umumnya.
Pengurusan jenazah sesuai syariat Islam adalah hak jenazah yang menjadi kewajiban syariat
atas umat Islam yang hidup. Barangsiapa menyia-nyiakan jenazah atau berbuat zalim
terhadapnya, maka dia telah melanggar syariat Islam dan melanggarkan hak jenazah.
Justru, Islam tidak hanya menghormati jenazah korban penyakit dalam hal pengurusannya,
lebih dari itu Islam memberikan imbalan kematiannya dengan predikat syahid. Sebagaimana
hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, an-Nasa’i di dalam as-Sunan al-
Kubra, dan Ahmad:
رﺳﻮل
ُ ﻓﺄﺧﱪﱐ ِ ِ َ ﺳﺄﻟﺖ: ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ أم اﳌﺆﻣﻨﲔ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ
ََ ، رﺳﻮل ﷲ ﷺ ﻋﻦ اﻟﻄﺎﻋﻮن ُ
ﻓﻠﻴﺲ ِﻣﻦ َر ُﺟ ٍﻞ ﻳَـ َﻘ َﻊ اﻟﻄﺎﻋﻮ ُن،ﻨﲔ ِ ً ﻓﺠﻌﻠَﻪ رﲪﺔ، ﻳﺒﻌﺜُﻪ ﷲ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺸﺎءL أﻧﱠﻪ ﻛﺎن ﻋﺬا:ﷲِ ﷺ
َ ﻟﻠﻤﺆﻣ
ُ َ َ ُ َ َ ُ ََ ً َ
ِ ﻓﻴﻤ ُﻜﺚ ﰲ ﺑﻴﺘِﻪ ﺻﺎﺑﺮا ُﳏﺘ ِﺴﺒﺎ ﻳﻌﻠَﻢ أﻧﱠﻪ ﻻ ﻳﺼﻴﺒﻪ ّإﻻ ﻣﺎ َﻛﺘﺐ ﷲ ﻟﻪ ّإﻻ ﻛﺎن ﻟﻪ ِﻣﺜﻞ أﺟ ِﺮ اﻟﺸ
.ﱠﻬﻴﺪ ْ ُ ُ ََ ُ ُ ُ َ ً َ ً َ ُ َ
« واﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﰲ »اﻟﺴﻨﻦ اﻟﻜﱪى،(٣٤٧٤) إﺳﻨﺎدﻩ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮط اﻟﺒﺨﺎري • أﺧﺮﺟﻪ اﻟﺒﺨﺎري
( واﻟﻠﻔﻆ ﻟﻪ٢٦١٣٩) وأﲪﺪ،(٧٥٢٧)
"Dari Aisyah Ummul Mukminin ra, Beliau berkata: Saya pernah bertanya kepada Rasulullah
saw tentang tha’un (wabah penyakit), lalu Rasulullah SAW memberitahukan kepadaku wabah
itu adalah siksa yang dikirim Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Dia
menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Siapa yang menghadapi wabah lalu
dia bersabar dengan tinggal di dalam rumahnya seraya bersabar dan ikhlas sedangkan dia
mengetahui tidak akan menimpanya kecuali apa yang telah ditetapkan Allah kepadanya, maka
ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mati syahid."
13
E. Protokol Pelaksanaan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H.
Mengenai hal tersebut, masyarakat Islam di Kota Magelang ditekankan agar berpedoman
pada petunjuk: (1) 2. Surat Edaran Menteri Agama Nomor: SE.6 Tahun 2020 Tentang
Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah Covid-
19, dan (2) Taushiyah Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Menyambut Ramadhan
Dalam Situasi Covid-19 Nomor: Kep-1065/DP-MUI/IV/2020.
F. Penutup
Alhamdulillahirabbil alamin, atas rahmat dan pertolongan Allah SWT Panduan Sosialisasi
dan Edukasi Pelaksanaan Ibadah Dalam Kondisi Luar Biasa Wabah Corona Virus Disease
(Covid-19) Bagi Umat Islam di Kota Magelang ini telah selesai di susun. Semoga dapat
membantu bagi para pemangku kewenangan dan para pemangku kepentingan umat Islam
dalam memberikan penjelasan yang cukup terhadap umat Islam, sehingga dapat memahami
dan mengimplementasikannya.
SOFIA NUR
14