Anda di halaman 1dari 138

PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA

KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004


TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG

Penulisan Hukum
(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih


Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

GALUH INDRASWARI
NIM: E0005021

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA


KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004
TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG

Disusun oleh :
GALUH INDRASWARI
NIM: E0005021

Disetujui untuk Dipertahankan


Dosen Pembimbing

Pembimbing

Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H, M.H


NIP. 196302091988031003

ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )

PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA


KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004
TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG

Disusun oleh :
GALUH INDRASWARI
NIM: E0005021

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 16 Juli 2009
TIM PENGUJI

1. Djuwityastuti, S.H. ( ................................. )


NIP. 195405111980032001
Ketua

2. Anjar Sri Ciptorukmi N, S.H., M.Hum. ( .................................. )


NIP. 197301221998022001
Sekretaris

3. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H. ( ................................. )


NIP. 196302091988031003
Anggota

MENGETAHUI
Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.


NIP.196109301986011001

iii
ABSTRAK

GALUH INDRASWARI. E0005021. PERANAN KURATOR DALAM


PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum 2009.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan yang diberikan
kepada kurator untuk menjalankan tugas secara efektif dan efisien oleh undang-
kepailitan, tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari pengadilan niaga, dan
kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator dalam mengurus harta pailit.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Penelitian ini bersifat
deskriptif. Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan
pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder melalui studi
kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan
adalah teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data,
mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan
masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil lalu mengolah
hasil penelitian menjadi suatu laporan.
Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kewenangan yang
diberikan kepada kurator untuk menjalankan tugas secara efektif dan efisien oleh
undang-undang kepailitan meliputi: (1) kurator berwenang menjalankan tugasnya
sejak tanggal putusan pailit diucapkan, (2) dapat mengambil alih perkara dan
meminta pengadilan untuk membatalkan segala perbuatan hukum debitor pailit,
(3) berwenang melakukan pinjaman pada pihak ketiga, (4) tindakan kurator tetap
sah walaupun tanpa adanya izin dari hakim pengawas, (5) berwenang
mengamankan harta pailit, (6) dapat menerobos hak privasi debitor pailit, dan (7)
berhak menjual harta pailit. Tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari
pengadilan niaga meliputi: (1) kurator harus mengamankan harta pailit, (2)
menyelesaikan perikatan-perikatan yang dibuat oleh debitor pailit, (3) melakukan
pencatatan harta pailit dan mengadakan rapat pencocokan piutang, (4)
memberikan pertanggungjawaban apabila terjadi perdamaian, (5) mengurus harta
pailit dan membereskan harta pailit. Kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh
kurator dalam mengurus harta pailit, yaitu: (1) benturan antara Pasal 9 dan Pasal
16 undang-undang kepailitan, (2) jangka waktu pencatatan harta pailit adalah
pasal yang ilusif, (3) putusan pailit pengadilan niaga Indonesia tidak dapat
dieksekusi di luar negeri, (4) tidak diaturnya tanggung jawab kurator terdahulu
berkaitan dengan tugasnya jika terjadi pergantian kurator, (5) adanya kekosongan
hukum terhadap kurator yang sudah tidak terdaftar dalam organisasi profesi yang
resmi ketika tengah menangani perkara kepailitan, dan (6) tidak adanya
pembatasan yang jelas mengenai tanggung jawab kurator secara pribadi dan
profesi.

iv
ABSTRACT

GALUH INDRASWARI. E0005021. THE ROLE OF CURATOR IN


HANDLING THE BANKRUPTCY CASE BASED ON THE ACT NO. 37 OF
2004 ABOUT THE BANKRUPTCY AND DEBT OBLIGATION DELAY.
Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. Thesis. 2009.
This research aims to find out the authority given to the curator by the
Bankruptcy Act to undertake its task effectively and efficiently, the curator’s task
after the Commercial Court’s verdict, and the juridical obstacles the curator faces
in handling the bankrupted property.
This study belongs to the normative research. This research is descriptive
in nature. The research approaches employed was statue and case approaches. The
data type used was secondary data deriving from the literary study consisting of
documents and literature books relevant to the problem studied. Technique of
analyzing data employed was the qualitative data analysis, that is, to collect the
data, to qualify and then to connect the theories relevant to the problem and
finally to draw on a conclusion to determine the result and to process the result of
research into a report.
From the result of research, it can be concluded that the authority given to
the curator by the bankruptcy act to undertake its task effectively and efficiently
includes: (1) the authority of undertaking its task since the bankruptcy verdict
stated, (2) of taking over the case and asking the court to cancel any legal action
of bankrupted debtor, (3) of borrowing from the third party, (4) the curator’s
action remains to be legitimate in the absence of the supervisory judge’s
permission, (5) the authority of securing the bankrupted property, (6) can break
through the privacy of bankrupted debtor, and (7) the right to sell the bankrupted
property. The curator’s tasks after the bankrupted verdict from the commercial
court include: (1) to secure the bankrupted property, (2) against the bonds made
by the bankrupted debtor, (3) to inventory the bankrupted property and to hold a
meeting of credit matching, (4) give responsibility for reconciliation, (5) the
bankrupted property management and settlement. The juridical obstacles the
curator faces in handling the bankrupted property include: (1) crash between
article 9 and article 16 in Bankruptcy Act, (2) the regulation of bankrupted
property registration duration is the article illusive to implement, (3) Indonesian
Commercial Court’s bankrupted verdict cannot be executed abroad, (4) the
previous curator’s unregulated responsibility relating to its task in the term of
curator replacement, (5) the presence of law vacuum for the unregistered curator
in the official professional organization during the bankruptcy case handling, and
(6) the absence of clear restriction concerning the curator’s personal and
professional responsibility.

v
MOTTO

Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap
dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang
terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
- Q.S. An-Nisa : 135 -

Harus ada dari kamu segolongan (orang-orang) yang mengajak kepada


kebaikan, menganjurkan kebaikan dan mencegah yang munkar. Merekalah
orang-orang yang beruntung dan berbahagia.
- Q.S. Ali Imran : 104 -

Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-


olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.
- Q.S. Al Maidah : 32 -

Bukan besar atau kecil yang membuat engkau menang atau gagal, tetapi
jadilah yang terbaik siapapun engkau adanya.
- Douglas Mallock -

Majulah layaknya pedang di tangan pahlawan.


- Penulis -

vi
PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan


kepada :
§ Allah SWT, Pemilik Semesta Raya,
yang senantiasa memberikan yang
terbaik dalam setiap detik episode
kehidupan;
§ Bapak dan Ibu yang telah memberi
dukungan dan tak henti-hentinya
mendoakanku selama ini;
§ Kakakku yang selalu membantu dan
menyemangati;
§ Keponakanku yang telah menjadi
sumber penghiburanku;
§ Indonesia tercinta, tempat aku
bernaung;
§ Almamaterku, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: “PERANAN
KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN
UTANG”.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai


syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau


skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui
penulisan skripsi.
2. Ibu Ambar Budi S, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H, M.H. selaku Pembimbing Skripsi yang
telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis.
4. Ibu Rofikah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan
nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.

viii
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga
dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis
amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.
6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Cuk Subianto dan Ibunda Sutia, atas segala
doa dan dukungannya selama ini.
7. Kakakku, Ario Bhirowo, yang selalu memberikan kasih sayang, arahan,
dukungan dan motivasi kepada penulis.
8. Kakak iparku, Wuri Handayani Ardi, yang selalu mendukung penulis.
9. Keponakanku, Aruna Arkasetya Putra, yang selalu menjadi sumber
penghiburanku.
10. Seluruh teman-teman Angkatan 2005 FH UNS.
11. Segenap anggota Moot Court Community (MCC).
12. Segenap pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH)
periode 2005-2006 dan 2006-2007.
13. Seluruh teman-teman di kost Putri Shima II yang telah membantu dan
memberi dukungannya selama ini.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak


kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya
tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, 3 Juli 2009


Penulis

GALUH INDRASWARI

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pembatasan Masalah .............................................................. 6
C. Perumusan Masalah................................................................ 6
D. Tujuan Penelitian.................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian.................................................................. 7
F. Metode Penelitian ................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan Hukum................................................ 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Kerangka Teori ....................................................................... 15
a. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan................................. 15
a. Pengertian Kepailitan..……………………………… 15
b. Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia ....…………… 16
c. Faktor-faktor dan Asas-asas Kepailitan ..............….... 17
d. Syarat-syarat Pengajuan Permohonan Pailit ......….... 19
e. Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Pailit .......….... 25
f. Berakhirnya Kepailitan ......................................….... 34

x
b. Tinjauan Umum Tentang Kurator ................................... 38
a. Pengangkatan, Penggantian dan Pemberhentian
Kurator ....................................................................... 38
b. Tanggung jawab Kurator ............................................ 44
c. Perlawanan Terhadap Kurator.......................... .......... 46
B. Kerangka Pemikiran................................................................ 47

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Kewenangan yang Diberikan Kepada Kurator Untuk
Menjalankan Tugas Secara Efektif dan Efisien oleh
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ..................... 50
B. Tugas Kurator Setelah Adanya Putusan Pailit Dari
Pengadilan Niaga ................................................................... 64
C. Kendala-Kendala Yuridis Yang Dihadapi Oleh Kurator
Dalam Mengurus Harta Pailit ................................................ 103

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 117
B. Saran....................................................................................... 118

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 122

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di benua Asia,


termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa
pengaruh pada kegiatan ekonomi dunia pada umumnya dan nasional pada
khususnya terutama kemampuan dunia usaha untuk mempertahankan
kegiatan usahanya, bahkan termasuk kemampuannya untuk memenuhi
kewajiban pembayaran kepada para kreditornya. Dalam dunia hukum,
debitor yang tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditor dapat
dinyatakan pailit. Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan
pembagian antara para kreditor atas kekayaan debitor oleh kurator.
Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau
eksekusi terpisah oleh Kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan
sitaan bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua
kreditor sesuai dengan hak masing-masing (Sutan Remy Sjahdeini,
2009:22). Sitaan bersama tersebut dimaksudkan sebagai upaya debitor
pailit dan kreditor konkuren serta kreditor preferen untuk menghindari
terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah yang dilakukan oleh
kreditor separatis sehingga pada saat dilakukannya pembagian harta pailit
masing-masing kreditor mendapatkan haknya.

Masalah kepailitan selalu mengikuti lajunya perkembangan


kehidupan ekonomi. Hal ini sesuai dengan pendapat J. Theberke Leonard
“the law system’s working is the prerequisite for economic development”
yang artinya bahwa berjalannya sistem hukum merupakan prasyarat bagi
pembangunan ekonomi (J. Theberke Leonard, 1980:232). Menurut
pendapat Robert J. Landry “bankruptcy provides a way to deal with
financial failures and acts as a savety valve” yang artinya bahwa
kepailitan menetapkan cara untuk menghadapi kegagalan finansial dan

1
xii
berperan sebagai sebuah katup penyelamat (Robert J. Landry, 2006:4).
Kepailitan merupakan jalan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan
hutang piutang, apabila debitor berada pada keadaan berhenti membayar,
karena selain memberi perlindungan terhadap kreditor, juga dilindungi
pula kepentingan pihak debitornya, yakni atas dasar kemanusiaan dan juga
untuk ketertiban dan kepentingan umum.

Di Indonesia, peraturan mengenai kepailitan ini ditandai dengan


berlakunya Faillisements Verordening yang diundangkan dalam
Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor
348, namun saat itu permasalahan ini kurang populer sehingga kasus-kasus
kepailitan jarang muncul. Seiring dengan perkembangan jaman, ketentuan
Faillisements Verordening dianggap sebagai peraturan perundang-
undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yang sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk
penyelesaian utang-piutang serta tidak memadai untuk menanggulangi
dampak negatif makin banyaknya debitor yang akan bangkrut. Maka
diadakanlah penyempurnaan terhadap peraturan tersebut melalui Perpu
Nomor 1/1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang
Kepailitan yang diundangkan pada tanggal 22 April 1998 melalui
Lembaran Negara RI Nomor 87/1998. Penyempurnaan ini sedikit banyak
karena adanya desakan dari International Monetary Found (IMF). Perpu
Nomor 1/1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang
Kepailitan ini disempurnakan dengan beberapa perubahan ketentuan
kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemeritah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang.

Perkembangan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998


ternyata tidak berjalan mulus. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1998 masih terdapat banyak kasus-kasus kepailitan yang belum

xiii
mendapatkan kepastian hukum yang maksimal. Salah satu kasus
kontroversial yang terjadi adalah kasus pailit PT. Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia (PT. AJMI) pada tahun 2002. PT. AJMI dinyatakan pailit oleh
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.10/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002.
Perusahaan asuransi jiwa yang tergolong terbesar di Indonesia itu pada
saat dipailitkan memiliki keadaan keuangan yang cukup baik, dengan aset
senilai Rp 1,3 triliun dan terdapat 400 ribu pemegang polis. Putusan
tersebut telah memicu reaksi yang keras tidak saja dari dalam negeri tetapi
juga dari dunia internasional. Atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
tersebut, PT. AJMI telah mengajukan Kasasi. Reaksi-reaksi keras tersebut
akhirnya berhenti setelah kemudian Mahkamah Agung RI dengan Putusan
Nomor: 021K/N/202 tanggal 5 Juli 2002 telah mengabulkan permohonan
Kasasi dari pemohon Kasasi dan membatalkan Putusan Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.10/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST (Sutan Remy Sjahdeini,
2002:80).

Skandal pailit PT.AJMI telah memberikan gambaran nyata tentang


kebobrokan hukum di Indonesia yang sangat memalukan. Kedaulatan
hukum dan wibawa pemerintah secara terang-terangan telah diintervensi
pemerintah Kanada maupun International Finance Corporation, salah satu
unit usaha Bank Dunia yang juga pemegang saham PT.AJMI, agar
pemerintah menganulir dan membatalkan pailit PT.AJMI. Kasus pailit
PT.AJMI, mendorong pemerintah agar segera menyelesaikan "pekerjaan
rumah" untuk mengamendemen Undang-undang Kepailitan yang secara
terang-terangan merupakan produk rekayasa dan intervensi IMF
(International Monetary Found). Intervensi IMF tersebut bertujuan untuk
melindungi kepentingan sejumlah perusahaan asing yang beroperasi di
Indonesia, dalam hal ini adalah PT.AJMI. Tanggal 18 Oktober 2004
Pemerintah Indonesia kembali menyempurnakan Undang-undang Nomor

xiv
4 Tahun 1998 dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(http://m.infoanda.com, Surakarta, 11 Mei 2009 pukul 18.51 WIB).

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan


penyempurnaan dalam peraturan kepailitan dimana terdapat beberapa
pokok materi baru dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pertama, agar tidak
menimbulkan berbagai penafsiran dalam Undang-Undang ini pengertian
utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh
waktu. Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan
pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran
utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi
pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban
pembayaran utang.

Perkembangan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 ternyata


juga belum dapat sepenuhnya mewujudkan adanya kepastian hukum di
bidang kepailitan. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kasus
kepailitan yang kontroversial setelah disahkannya Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004, dua diantaranya yaitu kasus pailit PT. Sarana Perdana
Indoglobal (PT. SPI) dan PT. Adam Air Skyconnection Airlines (PT.
Adam Air). PT. SPI merupakan suatu usaha yang berkedok perusahaan
investasi yang menghimpun dana dari masyarakat. Kemudian PT. SPI
dipailitkan oleh nasabahnya yang berada di Surabaya pada tahun 2007.
Hingga saat ini pemilik PT. SPI, Leonardo Patar Muda Sinaga, masih
menjadi buronan Polisi dan hal ini juga menyulitkan Kurator untuk
menelusuri aset-aset yang dimiliki PT. SPI sehingga hak-hak Kreditor
tidak dapat segera diwujudkan (http://id.dennylawfirm.com, Surakarta, 7
Mei 2009 pukul 20.20 WIB). Sementara itu pada Juni 2008 PT. Adam Air
dipailitkan oleh CV. Cici dan karyawannya yang belum mendapatkan gaji
sejak April 2007. Hampir setengah tahun sejak PT. Adam Air dipailitkan

xv
tahun 2008 hak para Kreditor atas harta pailit belum mendapat kejelasan
(http://www.hukumonline.com, Surakarta,1 Mei 2009 pukul 15.00 WIB).

Pada proses kepailitan maka setelah jatuhnya putusan kepailitan


ada dua organ yang sangat berperan aktif dalam pelaksanaannya, yaitu
hakim pengawas yang bertugas mengawasi pengurusan dan pemberesan,
kemudian kurator yang bertugas melakukan pengurusan dan pemberesan
harta pailit. Hal ini dikarenakan setelah dinyatakan pailit, debitor pailit
menurut hukum sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengelola harta
kekayaannya, sehingga ditunjuklah seorang kurator untuk mengelola,
mengurus dan melakukan pemberesan terhadap harta pailit tersebut.
Kurator sejak ditunjuk berdasarkan putusan pengadilan wajib
mengamankan budel pailit sehingga nantinya dapat dilaksanakan
pemberesan dan pelunasan terhadap tagihan kreditor yang telah diakui dan
dicocokkan piutangnya. Penyelesaian pemberesan atas harta pailit
merupakan salah satu acara dalam kepailitan yang melibatkan kurator
untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.
Pelaksanaan tugas kurator harus dilakukan oleh seorang yang profesional
dan mengerti segala seluk beluk serta mekanisme yang diatur dalam
undang-undang. Kurator dalam menjalankan tugas kepengurusannya
terhadap harta pailit, bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya
yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit dan segala tindakannya
yang berkaitan dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, kemudian
secara berkala kurator harus menyampaikan laporan kepada hakim
pengawas.

Salah satu bagian terpenting dalam penyelesaian perkara kepailitan


adalah kurator. Kurator dalam menjalankan tugas harus memahami bahwa
tugasnya tidak sekedar menyelamatkan harta pailit yang berhasil
dikumpulkannya untuk kemudian dibagikan kepada para kreditor tapi
sedapat mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit debitor. Lebih jauh
lagi kurator juga dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada

xvi
kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk menaati standar profesi dan
etika. Keharusan ini bertujuan menghindari adanya benturan kepentingan
dengan debitor ataupun kreditor (Imran Nating, 2004:192).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan


melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul
“PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA
KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37
TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG”

B. Pembatasan Masalah

Guna memberikan gambaran yang terfokus mengenai objek


bahasan penelitian dalam penulisan hukum ini, maka kasus-kasus yang
akan digunakan untuk melengkapi pembahasan yaitu PT. Sarana Perdana
Indoglobal (PT. SPI) dan PT. Adam Air Skyconnection Airlines (PT.
Adam Air).

C. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan
kewenangan kepada kurator untuk menjalankan tugasnya secara efektif
dan efisien?
2. Bagaimanakah tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari
Pengadilan Niaga?
3. Kendala-kendala yuridis apakah yang dihadapi oleh kurator dalam
mengurus harta pailit?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah, dimana berbagai data dan


informasi dikumpulkan, dirangkai dan dianalisis yang bertujuan untuk

xvii
mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 1986:5). Tujuan
penelitian diperlukan guna memberikan arahan dalam melangkah pada
waktu penelitian.

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini antara lain sebagai


berikut:

1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk
menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien oleh Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
b. Mengetahui tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari
Pengadilan Niaga.
c. Mengetahui kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator
dalam mengurus harta pailit.

2. Tujuan Subyektif
a. Memperoleh data-data sebagai bahan penulisan hukum guna
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan
dalam jurusan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
b. Menambah pengetahuan dan pemahaman penulis dalam bidang
hukum perdata.
c. Menambah pemahaman tentang peranan kurator dalam penanganan
perkara kepailitan berdasarkan Undang-undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu


sebagai berikut:

xviii
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan kegunaan guna
pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perdata.
b. Memberikan jawaban atas rumusan masalah yang sedang diteliti
oleh penulis.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi
penelitian lain yang sejenis.

2. Manfaat Praktis
a. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir penulis sehingga
dapat mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu
hukum yang dipelajari.
b. Sebagai bahan masukan yang dapat digunakan dan memberikan
sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dan terlibat
dalam penanganan perkara kepailitan.
c. Dapat memperluas cakrawala berpikir dan pandangan bagi civitas
akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya
mahasiswa fakultas hukum yang menerapkan penulisan hukum ini.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan


analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka teori
tertentu. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986:42).

xix
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum
ini yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini


adalah penelitian normatif. Pada penelitian hukum normatif yang
diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin
mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier (Soerjono
Soekanto, 1986:52). Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono
Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

2. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifat dan tujuannya, maka bentuk penelitian yang


dilakukan oleh penulis termasuk penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi
data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala
lainnya dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasi,
dan menginterprertasikannya (Soerjono Soekanto, 1986:10).

Berdasarkan pengertian di atas metode penelitian jenis ini


dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang
berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian
dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Pada penelitian ini,
penulis memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang peranan
kurator dalam penanganan perkara kepailitan berdasarkan Undang-
undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

xx
3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan penulis dalam melakukan penulisan


hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan (statue
approach) dan pendekatan kasus (case approach). Suatu penelitian
normative tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan
kerana yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Pendekatan kasus dalam
penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-
norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum
(Johnny Ibrahim, 2005:302).

Pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini adalah


Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu digunakan pula
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000
Tentang Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum dan
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 Tentang Pendaftaran Kurator dan
Pengurus. Pendekatan kasus yang digunakan dalam penelitian ini
adalah perkara pailit PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI) dan PT.
Adam Air Skyconnection Airlines (PT. Adam Air).

4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data


sekunder. Data sekunder tidak diperoleh langsung dari sumbernya,
tetapi diperoleh dari bahan pustaka, yaitu dari peraturan perundang-
undangan dan yurisprudensi, yang meliputi :
a. KUH Perdata, yang digunakan untuk mengetahui dasar-dasar
hukum perdata, khususnya mengenai dasar hukum perikatan;
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan
Kewajiban Pembayaran Utang serta Undang-Undang Nomor 37

xxi
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yang digunakan untuk mengetahui dasar
hukum kepailitan;
c. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 Tentang
Pendaftaran Kurator dan Pengurus, yang digunakan untuk
mengetahui persyaratan pendaftaran kurator.

5. Sumber Data

Dilihat dari jenis data dalam penelitian ini adalah data


sekunder, maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
dan terdiri dari atas KUH Perdata, KUHD, Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang serta peraturan perundang-undangan lainnya
yang terkait.
b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum pendukung yang
memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, buku-buku
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Seri Hukum Bisnis
Kepailitan karangan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Hukum
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang karangan
Bernadette Waluyo, Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit
atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan editor
Rudhy A.Lontoh, Peranan dan Tanggung jawab Kurator Dalam
Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit karangan Imran Nating,
Jurnal Hukum Bisnis, Journal Of International Law and Policy,
Rutgers Business Law Journal serta Prosiding Rangkaian
Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan
Hukum Bisnis Lainnya.

xxii
c. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini yakni Kamus Besar
Bahasa Indonesia.

6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang sesuai dan mencakup


permasalahan dalam penelitian hukum ini, maka penulis menggunakan
teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, yakni kegiatan
pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku, dokumen-
dokumen, literatur-literatur, dan lain-lain sesuai dengan permasalahan
yang diteliti.

7. Analisis Data

Menurut Lexy J.Maleong, “analisis data adalah proses


mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan
satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data” (Lexy
J.Maleong, 2001:103). Analisis data merupakan tahap yang penting
dan menentukan, karena pada tahap ini terjadi proses pengolahan data.

Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam


penelitian hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif sumber data bisa berupa orang, peristiwa, lokasi,
benda, dokumen atau arsip. Beragam sumber tersebut menurut cara
tertentu yang sesuai guna mendapatkan data. Pada penelitian kualitatif
proses analisisnya dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses
pengumpulan data (H.B. Sutopo, 1988:34).

Teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan


data, mengkualifikasikan, lalu menghubungkan teori yang
berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk

xxiii
menentukan kemudian mengolah hasil penelitian menjadi suatu
laporan.

G. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika


penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika
penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4
(empat) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam
penulisan hukum ini yaitu sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama
adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta
mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat pada
penulisan hukum ini, antara lain meliputi: pertama mengenai
Tinjauan Umum Tentang Kepailitan diantaranya yaitu:
pengertian kepailitan, dasar hukum kepailitan di Indonesia,
factor-faktor dan asas-asas kepailitan, syarat-syarat pengajuan
permohonan pailit, pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit,
dan barakhirnya kepailitan. Kedua mengenai Tinjauan Umum
Tentang Kurator diantaranya yaitu: pengangkatan,
penggantian dan pemberhentian kurator; tanggung jawab
kurator; dan perlawanan terhadap kurator. Pembahasan yang
kedua mengenai kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan mengenai tentang hasil penelitian dan
pembahasan tentang kewenangan yang diberikan kepada

xxiv
kurator untuk menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien
oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari Pengadilan
Niaga, dan kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator
dalam mengurus harta pailit.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dan saran terkait
dengan permasalahan yang diteliti.

xxv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tinjauan Umum Tentang Kepailitan

a. Pengertian Kepailitan

Pengertian kepailitan menurut Undang-undang No.37


Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 adalah “sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Pengertian
kepailitan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni “keadaan
atau kondisi seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi
membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si
piutang”.

Pengertian kepailitan menurut Bernadette Waluyo adalah


“eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim,
yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas
semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada
waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan
berlangsung, untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan
dengan pengawasan pihak yang berwajib” (Bernadette Waluyo,
1999:1).

Dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh


Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja bahwa pailit atau “Bankrupt”
adalah “the state or condition of a person (individual, partnership,
corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they
are, or become due”. The term includes a person against whom a
involuntary petition has beeb filed, or who has filed a voluntary
petition, or who has been adjudged a bankrupt yang artinya

15

xxvi
“keadaan atau kondisi seseorang (individu, persekutuan, perseroan,
kotamadya) yang tidak sanggup untuk membayar hutang yang
menjadi kewajibannya”. Syaratnya termasuk seseorang yang
melawan permohonan tidak sengaja yang telah terpenuhi, atau
yang telah memenuhi permohonan tidak sengaja, atau orang yang
telah diputuskan bangkrut. Pengertian pailit menurut Black’s Law
Dictionary tersebut dapat dihubungkan dengan “ketidakmampuan
untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang
telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan
suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan
secara sukarela maupun atas permintaan pihak ketiga, yakni suatu
permohonan pernyataan pailit ke pengadilan (Black’s Law
Dictionary dalam Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:11).

Secara etimologi kepailitan berasal dari kata pailit,


selanjutnya istilah “pailit” berasal dari bahasa Belanda “failliet”
yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat.
Istilah “faillet” sendiri berasal dari Perancis yaitu “faillite” yang
berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan dalam
bahasa Inggris dikenal dengan kata “to fail” dengan arti sama, dan
dalam bahasa latin disebut “failure”. Selanjutnya istilah pailit
dalam bahasa Belanda adalah “faiyit”, maka ada pula sementara
orang yang menerjemahkan sebagai “paiyit” atau “faillissement”
sebagai kepailitan. Kemudian pada negara-negara yang berbahasa
Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan
istilah “bankrupt” dan “bankruptcy” (Viktor M.Situmorang dan
Hendri Soekarso, 1993:18).

b. Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia

Dasar umum kepailitan adalah Kitab Undang-undang


Hukum Perdata khususnya Pasal 1131 dan Pasal 1132. Kemudian

xxvii
dasar khusus tentang kepailitan di Indonesia, diatur dalam Undang-
undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (Sutan Remi Syahdeni, 2002:25).

Di Indonesia pengaturan mengenai kepailitan sudah lama


ada yaitu dengan berlakunya Faillisements Verordening yang
diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto
Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Akan tetapi, karena
permasalahan ini kurang popular sehingga saat itu jarang sekali
kasus kepailitan muncul ke permukaaan. (Ahmad Yani dan
Gunawan Widjaja, 1999:VII).

Peraturan kepailitan di Indonesia mengalami


penyempurnaan karena dianggap tidak dapat memadai terhadap
situasi pada masa sekarang ini, maka pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998
Tentang Kepailitan dan pada tanggal 9 September 1998 Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998 Tentang
perubahan atas Undang-undang Kepailitan itu telah ditetapkan
menjadi Undang-undang No.4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan.
Pada tahun 2004 pemerintah kembali mengadakan penyempurnaan
terhadap peraturan ini yaitu dengan diundangkannya Undang-
undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

c. Faktor-faktor dan Asas-asas Kepailitan

Berdasarkan penjelasan Undang-undang No.37 Tahun 2004


terdapat beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:
1) Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam
waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih
piutangnya dari debitor.

xxviii
2) Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan (kreditor separatis) yang menuntut haknya dengan
cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan
kepentingan debitor pailit atau para kreditor lainnya yaitu
kreditor preferen dan kreditor konkuren.
3) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.
Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada
seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor
lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor
untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud
untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.

Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada
beberapa asas. Berdasarkan penjelasan Undang-undang No.37
Tahun 2004 asas-asas tersebut antara lain yaitu:

1) Asas Keseimbangan
Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengatur beberapa
ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas
keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang
dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak,
terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor
yang tidak beritikad baik.
2) Asas Kelangsungan Usaha
Undang-undang No.37 Tahun 2004 terdapat ketentuan yang
memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap
dilangsungkan.

xxix
3) Asas Keadilan
Asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing
terhadap debitor, dengan tidak mempedulikan kreditor lainnya.
4) Asas Integrasi
Asas integrasi dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004
mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan
hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari
sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

d. Syarat-syarat Pengajuan Permohonan Pailit

Syarat-syarat pailit yang dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1)


Undang-undang No.37 Tahun 2004 adalah
“debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya”.

1) Debitor Mempunyai Dua atau Lebih Kreditor

Keharusan adanya dua kreditor merupakan persyaratan


yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37
Tahun 2004 yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 1132
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi:
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama
bagi semua orang yang mengutangkan padanya;
pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para
kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”

xxx
Inti rumusan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata bahwa kebendaan yang merupakan sisi positif harta
kekayaan seseorang harus dibagi secara adil kepada setiap
orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yaitu
kreditor. Pengertian adil disini adalah harta kekayaan tersebut
harus dibagi secara:
a) pari passau, harta kekayaan harus dibagikan secara
bersama-sama di antara para kreditornya;
b) prorata, sesuai dengan besarnya imbangan piutang
masing-masing kreditor terhadap utang debitor secara
keseluruhan (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja,
1999:107).

Syarat memailitkan debitor berdasarkan Pasal 2 ayat (1)


Undang-undang No.37 Tahun 2004 hanya dimungkinkan
apabila debitor memiliki paling sedikit dua kreditor. Syarat
mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal
sebagai concursus creditorum. Undang-undang No.37 Tahun
2004 akan kehilangan raison d’être-nya apabila seorang debitor
hanya memiliki seorang kreditor. Eksistensi dari. debitor yang
hanya memiliki seorang kreditor diperbolehkan mengajukan
pernyataan pailit terhadapnya, maka harta kekayaan debitor
yang menurut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang
merupakan jaminan utang tidak perlu mengatur mengenai
pembagian hasil penjualan harta kekayaan. Seluruh hasil
penjualan harta kekayaan tersebut sudah pasti merupakan
sumber pelunasan bagi kreditor satu-satunya itu. Tidak akan
ada ketakutan terjadi perlombaan dan perebutan terhadap harta
kekayaan debitor karena hanya ada satu orang kreditor (Sutan
Remy Sjahdeini, 2009:53).

xxxi
Rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua
harta benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan rapat
verifikasi tidak tercapai accord, dilakukan proses likuidasi atas
seluruh harta benda debitor itu untuk kemudian dibagi-bagikan
hasil perolehan kepada semua kreditornya sesuai tata urutan
kreditor tadi menurut ketentuan Undang-undang No.37 Tahun
2004. Dengan demikian jika seorang debitor hanya memiliki
satu orang kreditor saja, maka kepailitan akan kehilangan
rasionya sehingga disyaratkan adanya concursus creditorum
(Setiawan, 2001:53).

2) Tidak Membayar Sedikitnya Satu Utang Jatuh Waktu dan


Dapat Ditagih

Pengertian utang menurut Pasal 1 angka 6 Undang-


undang No.37 Tahun 2004 adalah
“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia
maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-
undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila
tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.

Pengertian utang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia


adalah uang yang dipinjam dari orang lain. Berdasarkan
penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004
yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah
jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan
waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena
pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang,
maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis
arbitrase.

xxxii
Utang seyogyanya diberi arti luas; baik dalam arti
kewajiban membayar sejumlah utang tertentu yang timbul
karena adanya perjanjian utang piutang (debitor telah menerima
sejumlah uang tertentu dari kreditornya), maupun kewajiban
pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian
atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar
sejumlah uang tertentu. Utang bukan hanya kewajiban untuk
membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan debitor
telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit,
tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul dari
perjanjian-perjanjian lain (Setiawan, 2001:117).

Suatu perjanjian biasanya terdapat suatu default clause:


“jika debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan seperti di
bawah ini, maka kreditor dapat melakukan penagihan utang
tersebut secara sekaligus meskipun utang belum jatuh tempo”
(misal apabila debitor digugat oleh pihak lain di luar perjanjian
ini, atau barang dibebani sita jaminan dalam suatu gugatan atau
lalai menyerahkan laporan keuangan sesuai dengan jangka
waktu yang telah diperjanjikan atau debitor bercerai dari istri
atau suami). Dengan demikian default clause dapat
diberlakukan dalam suatu klausula perjanjian, meskipun utang
belum jatuh tempo, sehingga kreditor dapat menagih dan
apabila debitor yang ditagih berhenti membayar kewajibannya,
maka kreditor dapat mengajukan kepailitan.

Acceleration clause memberikan hak kepada kreditor


untuk mempercepat jangka waktu jatuh tempo dari utang, jika
kreditor merasa dirinya tidak aman (deems itself insecure).
Acceleration clause lebih luas daripada default clause yang
digunakan apabila kreditor memandang bahwa hal tersebut
perlu dilakukan, meskipun utang belum jatuh tempo, kreditor

xxxiii
dapat mempercepat jatuh tempo utang debitor dalam hal terjadi
event of default, artinya telah terjadi sesuatu atau tidak
dipenuhinya sesuatu yang diperjanjikan oleh debitor dalam
perjanjian kredit sehingga menyebabkan kreditor mempercepat
jatuh tempo. Untuk menggunakan acceleration clause harus
disertai adanya good faith, yang dimaksud good faith adalah
adanya reasonable evidence, dan bukti tersebut tidak harus
berupa putusan Pengadilan. Pada umumnya dalam common law
tidak menyebutkan pengertian good faith tapi di sini justru
ditekankan (Setiawan, 2004:124).

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004


tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang telah
jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan
tersebut ternyata dari kata “dan” di antara kata “jatuh waktu”
dan “dapat ditagih”. Kedua istilah tersebut sebenarnya berbeda
pengertian dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat
ditagih tapi belum jatuh waktu. Utang yang telah jatuh waktu
ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang
ditentukan dalam perjanjian tersebut, menjadi jatuh waktu dan
karena itu pula Kreditor berhak untuk menagihnya. Akan
tetapi, dapat terjadi bahwa sekalipun belum jatuh waktu tetapi
utang tersebut telah dapat ditagih karena terjadi salah satu dari
peristiwa-peristiwa yang disebut events of default.

Seharusnya kata-kata di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-


undang No.37 Tahun 2004 yang berbunyi “utang yang telah
jatuh waktu dan telah dapat ditagih” diubah menjadi cukup
berbunyi “utang yang telah dapat ditagih” atau “utang yang
telah dapat ditagih baik utang tersebut telah jatuh waktu atau
belum”. Penulisan kalimat tersebut dapat mengurangi selisih
paham apakah utang “telah dapat ditagih” tetapi belum “jatuh

xxxiv
waktu” dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:57).

3) Atas Permohonan Sendiri Maupun Atas Permintaan Seseorang


Atau Lebih Kreditornya

Ketentuan dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004


menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit bukan saja
dapat diajukan oleh kreditor tetapi juga memungkinkan
diajukan secara sukarela oleh debitor sendiri. Undang-undang
No.37 Tahun 2004 juga membedakan antara pengajuan
permohonan terhadap debitor yang merupakan perusahaan-
perusahaan bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring
dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana pensiun, dan
BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik di satu
pihak dan terhadap debitor non perusahaan-perusahaan yang
telah disebutkan di pihak lain (Sutan Remy Sjahdeini,
2009:103).

Permohonan pernyataan pailit sesuai Pasal 2 Undang-


undang No.37 Tahun 2004, dapat diajukan oleh:
a) Debitor sendiri
b) Seseorang atau lebih kreditor
c) Kejaksaan
d) Bank Indonesia
e) Bapepam
f) Menteri Keuangan

xxxv
e. Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang No.37 Tahun 2004,


pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ke
pegadilan yaitu:

1) Debitor

Pengertian debitor menurut Pasal 1 angka 3 Undang-


undang No.37 Tahun 2004 adalah “orang yang mempunyai
utang karena perjanjian atau undang-undang yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Pasal 2 ayat
(1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 menyatakan bahwa
debitor berhak mengajukan permohonan pailit untuk dirinya
sendiri dalam bahasa Inggris disebut voluntary petition.
Ketentuan bahwa debitor dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit terhadap dirinya sendiri adalah ketentuan
yang dianut oleh banyak negara sehingga hal ini merupakan
ketentuan yang lazim. Akan tetapi, ketentuan tersebut
membuka kemungkinan bagi debitor yang nakal untuk
melakukan rekayasa demi kepentingannya (Sutan Remy
Sjahdeini, 2009:104).

Menurut Retnowulan Sutantio, rekayasa-rekayasa yang


mungkin dilakukan oleh debitor untuk menguntungkan dirinya
sendiri dalam kepailitan yaitu:
a) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang
pemohon yang dengan sengaja telah membuat utang
kanan-kiri dengan maksud untuk tidak membayar dan
setelah itu mengajukan permohonan untuk dinyatakan
pailit.
b) Kepailitan diajukan oleh teman baik termohon pailit,
yang berkolusi dengan orang atau badan hukum yang

xxxvi
dimohon agar dinyatakan pailit, sedangkan alasan yang
mendukung permohonan tersebut sengaja dibuat tidak
kuat, sehingga jelas permohonan akan ditolak oleh
Pengadilan Niaga. Permohonan semacam ini justru
diajukan untuk menghindarkan agar kreditor lain tidak
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
debitor itu, setidak-tidaknya permohonan kreditor lain
akan terhambat (Retnowulan Sutantio, 2001:334).

Permohonan pailit yang diajukan oleh debitor berbentuk


Perseroan Terbatas (PT) harus memenuhi ketentuan Pasal 104
Undang-undang No.40 ayat (1) Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas yang berisi:
“Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan
pernyataan pailit atas Perseroan sendiri kepada
pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan
RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang”.

2) Dua atau lebih kreditor

Pengertian kreditor menurut Pasal 1 angka 2 adalah


“orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”.
Pengertian "kreditor" dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No.37 Tahun 2004 adalah kreditor konkuren,
kreditor separatis dan kreditor preferen. Khusus mengenai
kreditor separatis, mereka dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan
yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka
masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.37 Tahun 2004.

xxxvii
Sehubungan dengan hak kreditor untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit maka perlu diperhatikan
jurisprudensi tetap di Belanda sejak putusan HR 26 Juni 1942,
NJ 1942, 585 yang menegaskan bahwa “kewenangan/hak untuk
mengajukan permohonan pailit hanya dimiliki kreditor yang
mempunyai kepentingan wajar (redelijk belang) dalam
kepailitan debitornya. Berkaitan dengan hal ini menarik untuk
menyebut bahwa putusan Pengadilan Niaga
No.33/Pailit/2001/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 20 Agustus 2001
tentang permohonan pailit PT. Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia. Putusan tersebut menegaskan bahwa pemegang polis
baru berstatus sebagai kreditor apabila peristiwa yang
dipertanggungjawabkan telah terjadi sehingga karenanya
perusahaan asuransi mempunyai kewajiban atau utang kepada
pemegang polis. Adapun penentuan apakah kreditor pemohon
mempunyai “kepentingan wajar dalam pernyataan pailit”
debitor ditentukan oleh keadaaan yang berlaku pada saat
permohonan diajukan (Fred BG. Tumbuan, 2004:21).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37


Tahun 2004, menurut Imran Nating apabila dua atau lebih
kreditor dapat mengajukan permohonan pailit untuk debitor
yang sama maka dua atau lebih kreditor tersebut harus mampu
membuktikan secara sederhana di persidangan mengenai hak
kreditor untuk menagih piutang kepada debitor (Imran Nating,
2004:37). Pembuktian sederhana menurut Ricardo Simanjuntak
merupakan suatu syarat absolut yang membatasi kewenangan
Pengadilan Niaga dalam upaya membuktikan seorang debitor
yang dimohonkan pailit tersebut terbukti mempunyai
sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,
serta tidak dapatnya debitor tersebut untuk melunasi utangnya

xxxviii
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut. Konsekuensi
dari pembuktian sederhana yakni utang-utang yang dijadikan
dasar untuk mengajukan pailit adalah utang-utang yang mudah
dibuktikan keberadaan dan kematangannya (Ricardo
Simanjuntak, 2004:52).

3) Kejaksaan untuk kepentingan umum

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-


undang No.37 Tahun 2004, Kejaksaan dapat mengajukan
permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum.
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
harus telah terpenuhi yaitu debitor yang mempunyai dua atau
lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta tidak ada pihak
yang mengajukan permohonan pailit.

Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang


No.37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan
masyarakat luas, misalnya:
a) debitor melarikan diri;
b) debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c) debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik
Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari
masyarakat;
d) debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan
dana dari masyarakat luas;
e) debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh
waktu; atau

xxxix
f) dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan
kepentingan umum.

Tata cara pengajuan permohonan pailit yang diajukan


oleh kejaksaan sama dengan permohonan pailit yang diajukan
oleh debitor atau kreditor, dengan ketentuan bahwa
permohonan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa
menggunakan jasa advokat. Berdasarkan penjelasan Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2000, dalam
permohonan pernyataan pailit tersebut, kejaksaan dapat
melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan
masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah, dan
badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite
Kebijakan Sektor Keuangan. Kewenangan kejaksaan untuk
mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum
menurut Suhandjono sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam
membantu usaha penyelamatan keuangan kekayaan negara.
Kewenangan kejaksaan tersebut juga dapat membantu usaha
penanggulangan krisis ekonomi (Suhandjono, 2001:597).

4) Bank Indonesia

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-


undang No.37 Tahun 2004 yang dimaksud dengan bank adalah
bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank
sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan
semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan
kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak
perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia
untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak
menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan

xl
ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran
badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-
undangan. Oleh karena usaha bank amat terkait dengan
kepentingan masyarakat, maka bubarnya suatu bank akan
menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat, baik
terhadap nasabah bank yang bersangkutan, maupun bagi bank-
bank dan pihak lain yang terkait (Bambang Setijoprodjo,
2001:439).

Ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No.37


Tahun 2004 yang menyatakan kewenangan tunggal Bank
Indonesia untuk memailitkan bank memperlihatkan secara
tegas bahwa dunia perbankan tidak dapat disentuh oleh para
mitra bisnisnya, kecuali Bank Indonesia. Dunia perbankan sarat
dengan uang masyarakat yang harus dilindungi sehingga
tembok raksasa yang diciptakan oleh Pasal 2 ayat (3) tersebut
bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pasal 2
ayat (3) ini dalam praktiknya bertentangan dengan prinsip dan
kedudukan Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina
bank. Pilihan terbaik bagi Bank Indonesia justru bukan
memailitkan bank, tetapi bagaimana menyehatkan kembali
kemudian jika tidak bisa lalu ditutup. Memailitkan bank tentu
berakibat pada keharusan mengikuti proses hukum maka akan
terjadi kelambanan dalam menyelesaikan dana masyarakat
pada bank dan pada akhirnya dapat bermuara pada rush serta
kehilangan kepercayaan masyarakat (Thomas Suyatno,
2001:454).

5) Badan Pengawas Pasar Modal

Pasar modal bertujuan menunjang pelaksanaan


pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

xli
pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional ke
arah peningkatan kesejahteraan rakyat. Pasar modal diyakini
mempunyai peran strategis sebagai salah satu sumber
pembiayaan bagi dunia usaha termasuk usaha kecil dan
menengah. Di sisi lain pasar modal merupakan wahana
investasi bagi masyarakat termasuk pemodal kecil dan
menengah (I Nyoman Tjager, 2001:573).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang No.37


Tahun 2004, jika debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Permohonan
pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal,
karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan
dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar
Modal. Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai
kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan
pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah
pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia
terhadap bank.

Dilihat dari dua filosofi dasar pengaturan masalah


kepailitan, yaitu distributif dan rehabilitatif, maka kiranya akan
terdapat gambaran yang jelas tentang keberadaan Bapepam
dalam kepailitan perusahaan efek. Filosofi pertama (distributif),
lebih menekankan aspek perlindungan kepada kreditor, dalam
hal ini adalah pemenuhan hak tagihnya pada debitor, sedangkan
filosofi kedua (rehabilitatif) lebih menekankan pada prisip win-
win solution karena debitor memperoleh kesempatan untuk
memperbaiki kinerjanya sehingga diharapkan debitor tersebut

xlii
dapat memenuhi kewajibannya kepada para kreditor di luar
kepailitan. Ternyata tidak hanya kreditor yang memperoleh
manfaat, tetapi juga debitor tetapi juga para stakeholder, yaitu
pemegang saham, supplier, karyawan, nasabah atau pelanggan
dari debitor tersebut turut memperoleh menfaat berupa
kesinambungan pendapatan atau usaha mereka yang terkait
dengan usaha dari debitor. Manfaat tersebut akan semakin
terasa jika debitor yang bergerak di bidang keuangan seperti
perusahaan efek. Mengingat hal tersebut maka kepercayaan
para pelaku bisnis jasa keuangan harus selalu dijaga agar sektor
jasa ini dapat berjalan wajar dan teratur (Robinson Simbolon,
2004:98).

Latar belakang Bapepam diberikan wewenang untuk


mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan efek,
seperti kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan
permohonan pailit terhadap bank, menurut I Nyoman Tjager
dikarenakan peran perusahaan efek merupakan kunci dalam
kegiatan pasar modal (I Nyoman Tjager, 2001:588). Bapepam
sebagai penyambung lidah kreditor harus selalu berpedoman
baku berupa ketentuan hukum dalam menangani permohonan
pernyataan pailit atas perusahaan efek. Adapun pedoman yang
harus ditaati oleh Bapepam, yaitu:
a) Performance keuangan perusahaan efek untuk mengetahui
going concern perusahaan efek dimaksud. Hal ini penting
untuk mengetahui apakah suatu perusahaan efek dapat atau
layak untuk direhabilitasi atau tidak.
b) Asal dari tagihan, apakah harus berasal dari suatu ikatan
utang-piutang atau termasuk tagihan-tagihan yang muncul
akibat transaksi efek.

xliii
c) Nilai tagihan yang menjadi dasar permohonan pernyataan
pailit karena dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004
tidak diatur mengenai batasan nilai tagihan yang menjadi
dasar permohonan pernyataan pailit.
d) Penyelesaian hak dan kewajiban perusahaan efek kepada
nasabahnya setelah dinyatakan pailit.
e) Kepentingan dari kreditor lain.
f) Pengaruh kepailitan perusahaan efek terhjadap kondisi
pasar modal secara umum (Robinson Simbolon, 2004:100).

6) Menteri Keuangan

Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang No.37


Tahun 2004, apabila debitor adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang
bergerak di kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Penjelasan Pasal
2 ayat (5) Undang-undang No.37 Tahun 2004 terdapat
beberapa pengertian yaitu:
a) Perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi jiwa dan
perusahaan asuransi kerugian. Perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi adalah perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai usaha
perasuransian. Kewenangan untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit bagi perusahaan asuransi
atau perusahaan reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri
Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan
asuransi atau perusahaan reasuransi sebagai lembaga
pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola

xliv
dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam
pembangunan dan kehidupan perekonomian.
b) Dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai dana
pensiun. Kewenangan untuk mengajukan pailit bagi Dana
pensiun, sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan.
Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap dana pensiun, mengingat
dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah
besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang
banyak jumlahnya.
c) Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik adalah badan usaha milik negara yang
seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas
saham. Kewenangan Menteri Keuangan dalam pengajuan
permohonan pailit untuk instansi yang berada di bawah
pengawasannya seperti kewenangan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Badan Pengawas
Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

f. Berakhirnya Kepailitan

Berakhirnya kepailitan menurut Undang-undang No.37


Tahun 2004 disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1) Adanya pencabutan kepailitan

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.37


Tahun 2004, harta pailit yang tidak cukup untuk membayar
biaya kepailitan maka pengadilan niaga atas usul hakim
pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara
jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar
debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan

xlv
pailit. Putusan pencabutan tersebut wajib diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.

Sekalipun tidak ditentukan secara tegas dalam Undang-


undang No.37 Tahun 2004 namun secara logika hukum dengan
putusan pencabutan kepailitan tersebut maka berakhirlah
kepailitan debitor. Pencabutan kepailitan tersebut maka
berakhir pula kekuasaan kurator untuk mengurus kekayaan
debitor dan selanjutnya debitor berwenang kembali mengurus
harta kekayaannya seperti sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:443).

Berakhirnya kepailitan yang disebabkan adanya


pencabutan putusan pernyataan pailit tidak dapat diajukan
rehabilitasi. Pencabutan putusan pernyataan pailit menurut
ketentuan Pasal 215 Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak
dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan
rehabilitasi.

2) Terjadinya perdamaian

Menurut ketentuan Pasal 166 Undang-undang No.37


Tahun 2004 dalam hal pengesahan perdamaian telah
memperoleh kekuatan hukum tetap maka kepailitan berakhir
dan kurator wajib mengumumkan perdamaian tersebut dalam
Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 surat
kabar harian. Perdamaian yang diajukan oleh debitor menurut
Sutan Remy Sjahdeini merupakan salah satu jalan bagi debitor
pailit untuk dapat mengakhiri keadaan pailit sebagaimana
ditentukan oleh pengadilan. Setelah pengesahan perdamaian
memperoleh kekuatan hukum yang tetap maka berakhirlah
kepailitan yang bersangkutan. Berakhirnya kepailitan maka
debitor dapat kembali mengelola perusahaannya atau aset-

xlvi
asetnya seakan-akan tidak pernah terjadi kepailitan
sebelumnya. Akan tetapi, debitor harus senantiasa memenuhi
ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukan di dalam
perjanjian perdamaian tersebut (Sutan Remy Sjahdeini,
2009:415).

Berakhirnya kepailitan yang disebabkan adanya


perdamaian kemudian dapat diajukan rehabilitasi. Berakhirnya
kepailitan karena adanya perdamaian menurut ketentuan Pasal
215 Undang-undang No.37 Tahun 2004 dapat dijadikan dasar
untuk mengajukan permohonan rehabilitasi.

3) Telah dilakukannya pembagian harta pailit

Berdasarkan ketentuan Pasal 202 ayat (1) Undang-


undang No.37 Tahun 2004, maka segera setelah dilakukannya
pencocokan piutang kreditor kemudian dibayarkannya piutang
para kreditor atau segera setelah daftar pembagian penutup
menjadi mengikat maka kepailitan dianggap berakhir.
Berakhirnya kepailitan yang disebabkan telah dilakukannya
pembagian harta pailit kemudian dapat diajukan rehabilitasi.
Berakhirnya kepailitan karena telah dilakukannya pembagian
harta pailit menurut ketentuan Pasal 215 Undang-undang No.37
Tahun 2004 dapat dijadikan dasar untuk mengajukan
permohonan rehabilitasi.

4) Telah dilakukannya pembagian harta pailit dalam hal kepailitan


orang yang telah meninggal

Sesuai dengan ketentuan Pasal 207 Undang-undang


No.37 Tahun 2004, harta kekayaan orang yang meninggal
harus dinyatakan dalam keadaaan pailit apabila dua atau

xlvii
beberapa kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan
secara singkat dapat membuktikan bahwa:
a) Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak
dibayar lunas; atau
b) Pada saat meninggalnya orang tersebut, harta
peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.

Pengajuan permohonan terhadap debitor yang telah


meninggal dapat dilakukan untuk pertama kalinya ketika
debitor meninggal atau sebelumnya ketika debitor masih hidup
sudah dilakukan pengajuan permohonan pailit kemudian
setelah debitor meninggal kreditor dapat mengajukan
permohonan pailit kembali jika pada waktu masih hidup
debitor tidak memiliki cukup harta untuk membayar utang-
utangnya. Pengajuan permohonan pailit lebih dari sekali dapat
dilakukan sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 19 ayat (3)
Undang-undang No.37 Tahun 2004 dengan syarat pemohon
pailit dapat membuktikan bahwa ada cukup harta untuk
membayar biaya kepailitan.

Setelah permohonan pernyataan pailit diajukan


terhadap orang yang telah meninggal maka berlaku proses
pengurusan, pemberesan hingga pembagian harta pailit, namun
terhadap harta peninggalan harus dipisahkan antara harta
kekayaan orang yang meninggal dengan harta kekayaan ahli
warisnya seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 209
Undang-undang No.37 Tahun 2004. Berakhirnya kepailitan
yang disebabkan telah dilakukannya pembagian harta pailit
dalam hal kepailitan orang yang telah meninggal kemudian
dapat diajukan rehabilitasi. Berakhirnya kepailitan karena telah
dilakukannya pembagian harta pailit dalam hal kepailitan orang
yang telah meninggal menurut ketentuan Pasal 215 Undang-

xlviii
undang No.37 Tahun 2004 dapat dijadikan dasar untuk
mengajukan permohonan rehabilitasi.

2. Tinjauan Umum Tentang Kurator

a. Pengangkatan, Penggantian dan Pemberhentian Kurator

Pengertian kurator berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-


undang No.37 Tahun 2004 yaitu “Balai Harta Peninggalan atau
orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah
pengawasan hakim pengawas sesuai undang-undang ini”. Tugas
sebagai kurator menurut Pasal 70 ayat (1) Undang-undang No.37
Tahun 2004 dilaksanakan oleh:
1) Balai Harta Peninggalan; atau
2) Kurator lainnya.
Pengertian kurator lainnya berdasarkan Pasal 70 ayat (2)
Undang-undang No.37 Tahun 2004 dan penjelasannya yaitu:
a) Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang
memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka
mengurus dan/atau membereskan harta pailit. Keahlian
khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus
pendidikan kurator dan pengurus; dan
b) Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan. Terdaftar adalah telah memenuhi
syarat-syarat pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan adalah anggota aktif organisasi profesi
kurator dan pengurus.

xlix
Struktur Organisasi Balai Harta Peninggalan (BHP) seperti
dipaparkan oleh Usman Rangkuti, yaitu:
1) Struktur Organisasi BHP terakhir berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehakiman tanggal 19 Juni 1980 No.: PR.07.01-80
dimana di situ disebutkan bahwa: Balai Harta Peninggalan
merupakan salah satu pelaksana tenis (penyelenggara) hukum
di bidang harta peninggalan dan perwalian dalam lingkungan
Departemen Kehakiman RI, yang berada dan bertanggung
jawab, langsung kepada Direktur Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan melalui Direktur Perdata.
2) Balai dipimpin langsung oleh seorang ketua dengan dibantu
oleh sekretaris, dan beberapa orang anggota teknis hukum.
3) Ketua bertugas memimpin perencanaan pelaksanaan,
pemberian bimbingan, dan pengawasan atas segala
penyelenggaraan sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan.
4) Sekretaris bertugas memberikan pelayanan teknis dan
administrasi kepada semua unsur Balai Harta Peninggalan dan
sekretaris merangkap sebagai anggota teknis hukum. Sekretaris
dibantu oleh sub. bagian tata urusan yang terdiri dari:
a) Urusan Kepegawaian
b) Urusan Keuangan
c) Urusan Umum
d) Bendahara/Pemegang Buku
e) Seksi terdiri dari sie, wil I, II dan III yang bertugas
menyiapkan penyelesaian masalah perlawanan,
pengampunan, ketidakhadiran kepailitan, dan harta
peninggalan yang tidak ada kuasanya (Onbeheerde
Nalaten Schappen).
f) Anggota teknis hukum bertugas secara cologial
melaksanakan sesuatu yang berhubungan dengan

l
pelaksanaan tugas balai harta peninggalan (Usman
Rangkuti, 2001:379).

Tugas-tugas pekerjaan Balai Harta Peninggalan seperti


yang telah diurutkan oleh Usman Rangkuti, yakni:
1) Selaku wali pengawas (Pasal 366 KUH Perdata).
2) Selaku wali sementara (Pasal 332 KUH Perdata).
3) Selaku pengampu pengawas (Pasal 449 KUH Perdata).
4) Pengurus harta peninggalan orang tidak hadir/sukar dicari
(Pasal 463 KUH Perdata).
5) Pengurus harta peninggalan yang tidak ada kuasanya/tidak
terurus (Pasal 1126, 1127, 1128 dst).
6) Pengampu (kurator) dari harta kekayaan orang yang dinyatakan
pailit (Pasal 70 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004).
7) Pengampu anak yang masih di dalam kandungan (Pasal 348
KUH Perdata jo. Pasal 45 Instructie Balai).
8) Pendaftaran dan pembukaan surat wasiat (Pasal 42 QV. Stbl.
1848 No.10).
9) Pembuatan surat keterangan hak waris untuk golongan timur
asing selain Cina (Pasal 141) Instructie Voor de Gouverment
landmeters Stbl. 1916 No. 517.
10) Selaku pengurus pekerjaan dewan perwalian.
11) Fungsi/jabatan College Van Boedel Weestern (Usman
Rangkuti, 2001:381).

Menurut Vollmar sebagaimana dikutip oleh Zainal Asikin


bahwa Balai Harta Peninggalan (BHP) dalam melakukan tindakan
pemberesan harta pailit/debitor bertindak secara tidak langsung
untuk dan sebagai wakil debitor. Akan tetapi dalam praktik
(yurisprudensi) dengan HR tanggal 5 Maret 1920 dan HR tanggal
28 Oktober 1926 memutuskan bahwa kedudukan BHP tidak dapat

li
dianggap sebagai pihak yang mewakili debitor di dalam kepailitan
(Zainal Asikin, 2001:77).

Menurut Pasal 15 Undang-undang No.37 Tahun 2004


terdapat ketentuan mengenai pengangkatan kurator, yaitu:
1) Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator dan
seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.
2) Dalam hal debitor, kreditor, atau pihak yang berwenang
mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak mengajukan
usul pengangkatan kurator kepada pengadilan maka Balai
Harta Peninggalan diangkat selaku kurator.
3) Kurator yang diangkat harus independen, tidak mempunyai
benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak
sedang menangani perkara kepailitan dan penundaaan
kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.
Independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan bahwa
kelangsungan keberadaan kurator tidak tergantung pada debitor
atau kreditor dan kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis
yang sama dengan kepentingan ekonomis debitor atau kreditor.

Syarat untuk dapat didaftar sebagai kurator menurut


Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 Tentang
Pendaftaran Kurator dan Pengurus, yaitu:
1) Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia;
2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3) Setia kepada pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia;
4) Sarjana hukum atau sarjana ekonomi jurusan akuntansi;
5) Telah mengikuti pelatihan calon kurator dan pengurus yang
diselenggarakan oleh organisasi profesi Kurator dan pengurus
bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM Republik
Indonesia;

lii
6) Tidak pernah dipenjara karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan hukuman pidana 5 tahun atau lebih
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
7) Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga;
8) Membayar biaya pendaftaran; dan
9) Memiliki keahlian khusus.

Demi kepentingan kepailitan sebaiknya Undang-undang


No.37 Tahun 2004 memberikan ketentuan yang tegas mengenai
hal-hal apa saja yang dianggap terjadi atau terdapat benturan
kepentingan yang dimaksud itu. Menurut Sutan Remy Sjahdeini,
dianggap telah terjadi benturan kepentingan apabila terjadi antara
lain hal-hal sebagai berikut:
1) Kurator menjadi salah satu kreditor.
2) Kurator memiliki hubungan kekeluargaan dengan pemegang
saham pengendali atau dengan pengurus dari perseroan debitor.
3) Kurator memiliki saham lebih dari 10% pada salah satu
perusahaan kreditor atau pada perseroan debitor.
4) Kurator adalah pegawai, anggota direksi, atau anggota
komisaris dari salah satu perusahaan kreditor atau dari
perusahaan debitor (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:209).

Sewaktu melaksanakan penugasan ternyata kurator


mengetahui bahwa ia ternyata memiliki benturan kepentingan
dengan salah satu atau lebih kreditor, hakim pengawas, atau
dengan anggota majelis hakim untuk penugasan tersebut, maka
kurator wajib:
1) memberitahukan secara tertulis adanya benturan tersebut
kepada hakim pengawas, debitor, rapat kreditor, dan komite
kreditor jika ada, dengan tembusan kepada dewan kehormatan
AKPI, serta wajib segera memanggil rapat kreditor untuk

liii
diselenggarakan secepatnya khusus untuk memutuskan
masalah benturan tersebut; atau
2) segera mengundurkan diri (Standar Profesi Kurator dan
Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia).

Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No.37


Tahun 2004 Pengadilan dapat setiap waktu mengabulkan usul
penggantian kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator,
dan mengangkat kurator lain dan/atau mengangkat kurator
tambahan atas:
1) permohonan kurator sendiri;
2) permohonan kurator lainnya, jika ada;
3) usul hakim pengawas; atau
4) permintaan debitor pailit.
Berdasarkan Pasal 71 ayat (2) Undang-undang No.37 Tahun 2004
pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat kurator atas
permohonan atau atas usul kreditor konkuren berdasarkan putusan
rapat kreditor yang diselenggarakan dengan persyaratan putusan
tersebut diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (satu
perdua) jumlah kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam
rapat dan yang mewakili lebih dari ½ (satu perdua) jumlah piutang
kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Jika akan mengundurkan diri maka kurator menyatakan


pengunduran diri secara tertulis kepada pengadilan, dengan
tembusan kepada hakim pengawas, panitia kreditor atau kurator
lainnya jika ada. kurator terdahulu wajib:
1) Menyerahkan seluruh berkas-berkas dan dokumen, termasuk
laporan-laporan dan kertas kerja kurator yang berhubungan
dengan penugasan kepada kurator pengganti dalam jangka
waktu 2x24 jam.

liv
2) Memberikan keterangan selengkapnya sehubungan dengan
penugasan tersebut khususnya mengenai hal-hal yang bersifat
material serta diperkirakan dapat memberikan landasan bagi
kurator pengganti untuk memahami penugasan selanjutnya.
3) Kurator terdahulu wajib membuat laporan pertanggungjawaban
atas penugasannya dan menyerahkan salinan laporan tersebut
kepada kurator pengganti (Standar Profesi Kurator dan
Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia).

b. Tanggung jawab Kurator

Tanggung jawab kurator menurut Jerry Hoff sebagaimana


dikutip oleh Imran Nating dibagi ke dalam dua macam bentuk
pertanggungjawaban, yaitu:

1) Tanggung jawab kurator dalam kapasitas profesi sebagai


kurator

Tanggung jawab kurator dalam kapasitas profesi


sebagai kurator dibebankan pada harta pailit dan bukan pada
kurator secara pribadi yang harus membayar kerugian,
sehingga kerugian yang timbul menjadi beban harta pailit.
Pihak yang menuntut mempunyai tagihan atas harta kepailitan
dan tagihannya adalah utang harta pailit. Perbuatan kurator
tersebut antara lain:
a) Kurator lupa untuk memasukkan salah satu kreditor dalam
rencana distribusi;
b) Kurator menjual aset debitor pailit yang tidak termasuk
dalam harta pailit;
c) Kurator menjual aset pihak ketiga;
d) Kurator berupaya menagih tagihan debitor pailit dan
melakukan sita atas properti debitor, kemudian terbukti

lv
bahwa tuntutan debitor tersebut palsu (Jerry Hoff dalam
Imran Nating, 2004:116).

2) Tanggung jawab pribadi kurator

Berdasarkan Pasal 72 Undang-undang No.37 Tahun


2004, kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau
kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.
Pasal 78 Undang-undang No.37 Tahun 2004, tidak adanya
kuasa atau izin dari hakim pengawas, dalam hal kuasa atau izin
diperlukan, atau tidak diindahkannya ketentuan dalam Pasal 83
dan Pasal 84, tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang
dilakukan oleh kurator kepada pihak ketiga. Kurator
bertanggung jawab terhadap debitor pailit dan kreditor
sehubungan dengan perbuatannya tersebut.

Kerugian yang muncul sebagai akibat dari tindakan atau


tidak bertindaknya kurator menjadi tanggung jawab kurator.
Kurator bertanggung jawab secara pribadi terhadap
perbuatannya tersebut. Kurator harus membayar sendiri
kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini dapat
terjadi, misalnya jika kurator menggelapkan harta pailit (Imran
Nating, 2004:117).

Dengan tanggung jawab yang dimilikinya dapat timbul


kesan bahwa kurator menggantikan kedudukan direksi/komisaris,
termasuk pemenuhan kewajiban perusahaan sebagai suatu badan
usaha/badan hukum. Perlu diingat bahwa kurator tidak
menggantikan kedudukan direksi/komisaris sehubungan dengan
pengurusan harta kekayaan perusahaan pailit. Kurator hanya
bertanggung jawab atas pengurusan dan pemberesan kekayaan
perusahaan. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai pengurus

lvi
perusahaan, di luar pengurusan kekayaan perusahaan, tetap berada
di tangan direksi dan komisaris (Amir Abadi Jusuf, 2004:252).

c. Perlawanan Terhadap Kurator

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurator menurut


Sutan Remy Sjahdeini tidak serta merta dapat diterima begitu saja
oleh kreditor atau panitia kreditor ataupun oleh debitor pailit
apabila perbuatan hukum itu dirasakan merugikan (Sutan Remy
Sjahdeini, 2009:230). Berdasarkan Pasal 77 Undang-undang No.37
Tahun 2004, setiap kreditor, panitia kreditor, dan debitor pailit
dapat mengajukan surat keberatan kepada hakim pengawas
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kurator atau memohon
kepada hakim pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar
kurator melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan
perbuatan yang sudah direncanakan. Hakim pengawas harus
menyampaikan surat keberatan kepada kurator maksimal 3 (tiga)
hari setelah surat keberatan diterima dan kurator harus memberikan
tanggapan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah menerima surat
keberatan. Setelah itu hakim pengawas memberikan penetapan
setelah menerima tanggapan surat keberatan dari kurator maksimal
dalam jangka waktu 3 (tiga) hari.

lvii
B. Kerangka Pemikiran

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004


Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang

Perkara kepailitan

Pengadilan Niaga

Proses persidangan Bagaimanakah


Kurator sementara UUKPKPU memberikan
kewenangan kepada
kurator untuk
Putusan pailit menjalankan tugasnya
secara efektif dan
efisien?
Penetapan hakim pengawas
dan kurator
Bagaimanakah tugas
kurator setelah adanya
Pengurusan dan/atau pemberesan Peranan putusan pailit dari
harta pailit Kurator Pengadilan Niaga?

Terpenuhinya Hak-hak Kreditor


Kendala-kendala yuridis
apakah yang dihadapi
oleh kurator dalam
Berakhirnya kepailitan mengurus harta pailit?

Rehabilitasi

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU No.37 Tahun 2004


Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
perkara-perkara kepailitan diajukan ke pengadilan yang dalam hal ini
adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum. Setelah
melakukan pemeriksaan perkara maka putusan pengadilan atas

lviii
permohonan pernyataan pailit diucapkan paling lambat 60 hari sejak
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UU
No.37 Tahun 2004).

Selama proses pemeriksaan perkara, para kreditor dapat


mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menunjuk kurator
sementara guna mengamankan harta pailit (Pasal 10 ayat (1) UU No.37
Tahun 2004). Pada saat permohonan pernyataan pailit dikabulkan oleh
hakim pengadilan, maka dalam putusan tersebut harus pula ditetapkan
kurator dan seorang hakim pengawas (Pasal 15 ayat (1) UU No.37 Tahun
2004). Putusan pernyataan pailit bersifat serta merta sehingga kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas
harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan meskipun
terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal
16 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004). Peranan kurator sangat penting untuk
melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit karena kurator
merupakan satu-satunya organ yang menjalankan tugas tersebut (Pasal 69
ayat 1 UU No.37 Tahun 2004).

Setelah hak-hak para kreditor terpenuhi yaitu dengan jalan


pembayaran utang debitor pailit kepada para kreditor yang piutangnya
telah dicocokkan maka berakhirlah kepailitan (Pasal 202 ayat (1) UU
No.37 Tahun 2004). Berakhirnya kepailitan melalui cara perdamaian
ataupun dengan cara pemberesan maka debitor atau ahli warisnya berhak
mengajukan permohonan rehabilitasi kepada pengadilan yang telah
mengucapkan putusan pernyataan pailit (Pasal 215 UU No.37 Tahun
2004).

Melalui kerangka pemikiran tersebut, maka dianggap perlu untuk


melakukan penelitian mengenai peranan kurator dalam perkara kepailitan
berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yaitu bagaimanakah kewenangan yang

lix
diberikan oleh UU No.37 Tahun 2004 kepada kurator untuk menjalankan
tugas secara efektif dan efisien kemudian bagaimanakah tugas kurator
setelah adanya putusan pailit dari pengadilan niaga sehingga dapat
diketahui kendala-kendala yuridis apakah yang dihadapi oleh kurator
dalam mengurus harta pailit.

lx
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan yang Diberikan Kepada Kurator Untuk Menjalankan


Tugas Secara Efektif dan Efisien oleh Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang

Kurator merupakan salah satu organ penting dalam kepailitan.


Tugas utama kurator yakni mengurus dan/atau membereskan harta pailit.
Sedemikian pentingnya tugas kurator maka dalam putusan pernyataan
pailit langsung mengangkat kurator dan hakim pengawas seperti tercantum
dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004. Untuk
melaksanakan tugasnya tersebut kurator harus berpijak pada Undang-
undang No.37 Tahun 2004 dimana dalam undang-undang tersebut terdapat
pasal-pasal yang mengatur mengenai tugas dan wewenang kurator.

Peranan kurator yang begitu penting dalam penanganan kepailitan


tentunya harus didukung dengan aturan hukum yang memadai. Undang-
undang No.37 Tahun 2004 harus mampu menjadi payung hukum bagi
Kurator dalam melaksanakan tugasnya. Peraturan tersebut harus mampu
memberi ruang gerak bagi kurator agar dapat menyelesaikan pengurusan
dan/atau pemberesan harta pailit secara efektif dan efisien.

Pengertian efektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah


berhasil guna (tentang usaha, tindakan). Pengertian efisien menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia yakni tepat atau sesuai untuk mengerjakan
(menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga,
biaya); mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat; berdaya guna;
bertepat guna. Untuk mewujudkan peranan kurator secara efektif dan
efisien seperti kedua pengertian di atas maka Undang-undang No.37
Tahun 2004 harus memberikan kewenangan-kewenangan tertentu pada

50
lxi
kurator dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa kewenangan yang
diberikan oleh Undang-undang No.37 Tahun 2004 agar tugas kurator
dapat diselesaikan secara efektif dan efisien yaitu:

1. Kurator berwenang menjalankan tugasnya sejak tanggal putusan pailit


diucapkan

Undang-undang No.37 Tahun 2004 pada Pasal 15 ayat (1)


menyatakan bahwa dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat
kurator dan seorang hakim pengawas. Menurut Pasal 15 ayat (2),
debitor, kreditor ataupun pihak lain yang berkepentingan dalam
perkara pailit ini berhak untuk mengusulkan pengangkatan kurator,
namun apabila tidak diusulkan mengenai pengangkatan kurator maka
Balai Harta Peninggalan diangkat selaku kurator oleh pengadilan
niaga. Pengangkatan tersebut bertujuan mengisi kekosongan jabatan
kurator apabila tidak diusulkan pengangkatan kurator oleh debitor,
kreditor ataupun pihak lain yang berkepentingan.

Pengangkatan kurator bersamaan dengan putusan pernyataan


pailit guna mewujudkan sifat serta merta. Sifat serta merta dari putusan
pailit tersebut dapat dilihat pada Pasal 16 ayat (1) Undang-undang
No.37 Tahun 2004 yakni kurator berwenang untuk melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit sejak tanggal putusan
pailit diucapkan. Sejak putusan pailit diucapkan atau sejak pukul 00.00
waktu setempat pada tanggal dijatuhkannya putusan pailit maka
kurator dapat langsung menjalankan tugasnya terhadap harta pailit
milik debitor.

Kewenangan kurator untuk menjalankan tugasnya semakin


tegas didukung dalam kelanjutan kalimat Pasal 16 ayat (1) Undang-
undang No.37 Tahun 2004 yakni pengajuan kasasi atau upaya hukum
lain terhadap putusan pailit tidak menghalangi kurator untuk
menjalankan tugasnya. Pada Pasal 16 ayat (2) dinyatakan jika putusan

lxii
pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau
peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh
kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan
tentang putusan pembatalan pailit tetap sah dan mengikat debitor.
Kewenangan yang diberikan Undang-undang No.37 Tahun 2004 pada
kurator untuk menjalankan tugasnya baik ketika sedang diajukan
upaya hukum lain oleh debitor pailit atau setelah putusan pailit
dibatalkan oleh upaya hukum lain tersebut merupakan suatu bentuk
dukungan terhadap kurator agar menjalankan tugasnya secara efektif
dan efisien tanpa perlu terhambat oleh adanya suatu upaya hukum
sehingga putusan pailit dapat segera dijalankan oleh kurator dan hak-
hak kreditor dapat secepat mungkin terpenuhi.

Perkara pailit PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI) pada


sekitar tahun 2007 diangkat Tafrizal Hasan Gewang, SH.,MH dan
Denny Azani B. Latief, SH selaku tim kurator. Pada perkara pailit PT.
Adam Air yang terjadi pertengahan tahun 2008, hakim dalam amar
putusannya mengangkat Gunawan Widiatmadja dan Anthony Prawira
sebagai tim kurator yang akan memimpin pembagian harta PT. Adam
Air kepada para kreditornya. Hakim PN Jakarta Pusat, Reno Listowo
juga ditunjuk sebagai hakim pengawas. Kemudian pada awal tahun
2009 para kreditor PT. Adam Air mengajukan permohonan
penggantian kurator namun majelis hakim yang diketuai Makassau
malah memutuskan untuk menambah tiga kurator baru yakni, Hendra
Rosa Putra, Tafrizal H. Gewang dan Leni Mardiana.

2. Kurator dapat mengambil alih perkara dan meminta pengadilan untuk


membatalkan segala perbuatan hukum debitor pailit

Suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor dan proses


hukum tersebut sedang berjalan selama kepailitan berlangsung, maka
atas permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk

lxiii
memberikan kesempatan bagi kurator mengambil alih perkara yang
didasarkan pada Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) tersebut kurator mempunyai
hak untuk menolak mengambil alih perkara sedangkan menurut Pasal
28 ayat (4), apabila kurator ingin mengambil alih perkara maka tidak
perlu mendapat panggilan dan dapat setiap waktu mengambil alih
perkara sebagaimana tercantum dalam ayat (1) serta dapat memohon
agar debitor dikeluarkan dari perkara.

Kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk sewaktu-


waktu mengambil alih perkara debitor pailit dapat digunakan untuk
membuktikan bahwa perbuatan debitor pailit tersebut bertujuan untuk
merugikan kreditor dan hal ini diketahui oleh pihak lawan sesuai
dengan Pasal 30 Undang-undang No.37 Tahun 2004 maka kurator
berhak untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan debitor
sebelum pailit. Berdasarkan Pasal 36 kurator dapat mengambil
keputusan terhadap nasib perjanjian timbal balik yang belum atau baru
sebagian dipenuhi oleh debitor pailit.

Pasal 41 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 demi


kepentingan harta pailit, maka kepada pengadilan dapat dimintakan
pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan
pailit yang merugikan kepentingan keditor yang dilakukan oleh debitor
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Permohonan seperti
dalam Pasal 41 ayat (1) tersebut dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim
apabila dapat dipenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 41 ayat (2) yakni
dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan dilakukan, debitor dan
pihak ketiga tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.

Kewenangan untuk membatalkan perbuatan hukum debitor


dinamakan actio pauliana. Actio pauliana adalah suatu legal recourse

lxiv
yang diberikan kepada kurator untuk membatalkan tindakan-tindakan
hukum yang dilakukan oleh debitor pailit sebelum penetapan
pernyataan pailit dijatuhkan apabila kurator menganggap bahwa
tindakan-tindakan hukum yang dilaksanakan oleh debitor pailit
tersebut merugikan kepentingan kreditor-kreditor yang lainnya (Timur
Sukirno, 2001:374).

3. Kurator berwenang untuk melakukan pinjaman pada pihak ketiga

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-


undang No.37 Tahun 2004 yaitu tentang tugas kurator untuk
melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit maka pada
Pasal 69 ayat (2) huruf b maka kurator dapat melakukan pinjaman dari
pihak ketiga guna meningkatkan nilai harta pailit. Pinjaman tersebut
memerlukan izin dari hakim pengawas apabila perlu membebani harta
pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau
agunan atas kebendaan lainnya yang didasarkan pada Pasal 69 ayat (3).
Pembebanan tidak dapat dilakukan pada seluruh harta pailit karena
terdapat pengecualian pada pembebanan tersebut. Pada Pasal 69 ayat
(4) pembebanan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau
agunan atas kebendaan lainnya untuk melakukan pinjaman kepada
pihak ketiga hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang
belum dijadikan jaminan utang.

Perlu diingat Pasal 55 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun


2004 bahwa pasal tersebut dengan tegas dinyatakan setiap kreditor
pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau
agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya atas harta
debitor seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak eksekusi tersebut
dapat ditangguhkan hingga 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan sebagaimana terdapat pada Pasal 56 ayat (2). Pasal 69
ayat (4) dapat dilaksanakan oleh kurator untuk mendapatkan pinjaman

lxv
dari pihak ketiga agar nilai harta pailit dapat ditingkatkan tanpa
mengurangi hak kreditor yang memegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau agunan atas kebendaan lainnya untuk
mengeksekusi haknya tersebut dengan cara pinjaman dari pihak ketiga
dibebankan dengan hak pada harta pailit yang belum dijadikan jaminan
utang. Dengan demikian tidak terjadi benturan hak antara kurator dan
kreditor separatis yang mempunyai hak untuk mendahului
mengeksekusi haknya atas harta pailit setelah penangguhan 90 hari
serta setelah penagihannya dicocokkan.

4. Tindakan kurator tetap sah walaupun tanpa adanya izin dari hakim
pengawas

Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun


2004 tidak adanya kuasa atau izin dari hakim pengawas, jika kuasa
atau izin diperlukan, atau tidak diindahkannya ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 dan Pasal 84 yaitu ketentuan dalam rapat
kreditor, tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang dilakukan oleh
kurator terhadap pihak ketiga. Sehubungan perbuatannya tersebut
berdasarkan Pasal 78 ayat (2) kurator sendiri bertanggung jawab
terhadap debitor pailit dan kreditor.

Tindakan kurator tetap sah walaupun tanpa adanya izin dari


hakim pengawas namun tidak berarti kurator dapat melakukan
tindakan pengurusan dan pemberesan sesukanya. Untuk melakukan
tindakannya tersebut, kurator harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut, yaitu:
a. apakah dia berwenang untuk melakukan hal tersebut;
b. apakah merupakan saat yang tepat (terutama secara ekonomi dan
bisnis) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu;

lxvi
c. apakah terhadap tindakan tersebut diperlukan terlebih dahulu
keikutsertaan dari pihak-pihak tertentu, seperti hakim pengawas,
pengadilan niaga, panitia kreditor, debitor dan sebagainya;
d. harus dilihat cara yang layak dari segi hukum, kebiasaan dan sosial
dalam menjalankan tindakan-tindakan tertentu (Munir Fuady,
1999:44).

Menurut Pasal 78 Undang-undang No.37 Tahun 2004, tidak


adanya kuasa atau izin dari hakim pengawas, jika kuasa atau izin
diperlukan, atau tidak diindahkannya ketentuan dalam Pasal 83 dan
Pasal 84, tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang dilakukan oleh
kurator kepada pihak ketiga. Sehubungan dengan perbuatan tersebut
kurator bertanggung jawab terhadap debitor pailit dan kreditor.
Tanggung jawab kurator dibagi ke dalam dua bentuk seperti yang telah
dipaparkan dalam halaman 44. Menurut Imran Nating kerugian yang
muncul sebagai akibat dari tindakan atau tidak bertindaknya kurator
menjadi tanggung jawab kurator secara pribadi. Kurator harus
membayar sendiri kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini
dapat terjadi, misalnya jika kurator menggelapkan harta pailit (Imran
Nating, 2004:117).

5. Kurator berwenang untuk mengamankan harta pailit

Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 98 Undang-undang No.37


Tahun 2004, maka sejak mulai pengangkatannya kurator harus
melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan
menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat
berharga lainnya serta kemudian memberikan tanda terima. Terhadap
uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya yang termasuk harta
pailit, selain mencatat kurator juga berwenang menyimpannya sendiri
seperti tercantum dalam Pasal 108 ayat (1) Undang-undang No.37
Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 108 ayat (2) kurator berwenang untuk

lxvii
menyimpan uang tunai yang tidak diperlukan untuk pengurusan harta
pailit di bank guna kepentingan harta pailit. Menurut penjelasan Pasal
108, yang dimaksud dengan disimpan oleh kurator sendiri dalam
pengertian tidak mengurangi kemungkinan efek atau surat berharga
tersebut disimpan oleh kustodian, tetapi tanggung jawab tetap atas
nama debitor pailit. misalnya deposito atas nama kurator qq debitor
pailit. Menurut Marjan E. Pane tindakan ini merupakan tindakan
pengamanan terhadap sebagian dari harta pailit. Bersamaan dengan
pembekuan rekening, kurator wajib pula membuka rekening baru.
Sangat penting disini bahwa pembukaan rekening harus atas nama
kurator qq debitor pailit karena adalah suatu kekeliruan jika kurator
membuka rekening tersebut atas namanya sendiri mengingat resikonya
cukup besar, misalnya kematian kurator (Marjan E. Pane, 2004:285).

Kurator PT. Adam Air selama bulan Juni 2008 telah


menemukan beberapa aset milik Adam Air yakni di Orange City dan di
Bandara Cengkareng didapatkan lebih dari 1.000 ban pesawat baru dan
220 ban vulkanisir, suku cadang pesawat, 24 unit mobil operasional
untuk karyawan dan direksi di seluruh Indonesia. Kurator juga telah
melakukan pencairan dan pembekuan rekening dan sudah membalik
nama atas kurator c.q Adam Air dalam pailit di Bank Mandiri, BNI,
BRI, BCA, Lippobank, dan beberapa renening giro
(http://www.detikfinance.com, Surakarta,12 Mei 2009 pukul 19.35
WIB).

Sejak pengangkatannya, kurator harus melakukan upaya-upaya


untuk mengamankan harta pailit. Tindakan ini mencakup seluruh harta
debitor. Khusus untuk harta tertentu maka kurator berpedoman dalam
Standar Profesi Kurator dan Pengurus yang dikeluarkan oleh Asosiasi
Kurator dan Pengurus Indonesia, untuk melakukan langkah-langkah
yang diperlukan sebagai berikut:

lxviii
a. Rekening Bank
Sesegera mungkin Kurator memberitahukan kepailitan debitor dan
akibat hukumnya kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
dimana debitor memiliki rekening dan memastikan bahwa debitor
pailit tidak lagi berwenang untuk mengelola rekening tersebut.
Kemudian kurator meminta bank yang bersangkutan memindahkan
rekening debitor pailit ke dalam rekening kurator yang dibuka
khusus untuk keperluan penugasannya tersebut.
b. Surat Berharga Atas Bawa dan Logam Mulia
Kurator mengambil dan menyimpan seluruh surat berharga, efek
dan logam mulia dengan memberikan tanda terima kepada Debitor.
Kemudian Kurator dapat menyimpan surat berharga, efek dan
logam mulia di suatu tempat yang aman dalam pengawasannya.
c. Surat Berharga Atas Nama
Kurator mengambil dan menyimpan seluruh surat berharga dengan
memberikan tanda terima pada debitor. Kurator dapat menyimpan
surat berharga tersebut di suatu tempat yang aman dalam
pengawasannya. Bila perlu, kurator dapat memberitahukan
kepailitan debitor dan akibat hukumnya pada pihak yang terkait
dengan surat berharga tersebut dan memastikan debitor pailit tidak
berwenang lagi untuk mengelola surat berharga tersebut tanpa
persetujuan kurator.
d. Benda Tidak Bergerak
Kurator dapat meminta dan menyimpan seluruh sertifikat, surat-
surat dan tanda bukti hak lainnya sehubungan dengan benda tidak
bergerak milik debitor. Kurator dapat menyimpan surat berharga
tersebut di suatu tempat yang aman dalam pengawasannya. Bila
perlu, kurator dapat mengirimkan pemberitahuan tentang
pernyataan pailit pada lembaga pendaftaran atau pihak lain yang
berwenang atas harta tidak bergerak debitor pailit.

lxix
e. Benda Bergerak Lainnya
Kurator melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk
mengamankan benda bergerak yang termasuk harta pailit.

f. Korespondensi Debitor Pailit


Kurator harus segera melakukan upaya-upaya untuk memastikan
bahwa kurator memiliki akses penuh untuk seluruh korespondensi
yang ditujukan kepada debitor pailit sehubungan dengan harta
pailit (Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan
Pengurus Indonesia).

Untuk menghindari debitor melakukan hal-hal yang tidak


diinginkan terhadap harta pailit misalnya mengalihkan atau merusak
harta pailit, maka dengan alasan untuk mengamankan harta pailit,
menurut Pasal 99 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 kurator
dapat minta penyegelan harta pailit kepada hakim pengawas. Menurut
Pasal 99 ayat (2), penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh juru sita di tempat harta tersebut berada dengan dihadiri
oleh dua saksi yang salah satu diantaranya adalah wakil dari
pemerintah daerah setempat. Pengertian wakil dari pemerintah daerah
setempat menurut penjelasan Pasal 99 ayat (2) adalah lurah atau kepala
desa atau yang disebut dengan nama lain. Menurut pendapat Marjan E.
Pane, dengan syarat dapat dilakukan dengan cepat dan tepat maka
penyegelan akan sangat membantu dalam memberikan perlindungan
terhadap harta pailit berupa benda bergerak seperti perhiasan dan/atau
surat-surat berharga (Marjan E. Pane, 2004:285).

6. Kurator berwenang menerobos hak privasi debitor pailit

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa Undang-undang


No.37 Tahun 2004 tidak menginginkan debitor pailit melakukan
hubungan rahasia dengan pihak-pihak lain yang dapat membahayakan
jumlah dan nilai harta pailit (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:224). Untuk

lxx
mencegah hal itu maka Pasal 105 ayat (1) memberikan kewenangan
kepada kurator untuk membuka surat dan telegram yang dialamatkan
kepada debitor pailit. Pasal 105 ayat (2) mewajibkan kepada kurator
untuk segera menyerahkan kepada debitor pailit surat dan telegram
yang tidak berkaitan dengan harta pailit.

Untuk menghindari Debitor Pailit menjalin komunikasi yang


dapat membahayakan harta pailit maka Pasal 105 ayat (3) Undang-
undang No.37 Tahun 2004 menentukan bahwa semua perusahaan
pengiriman surat dan telegram memberikan kepada kurator, surat dan
telegram yang dialamatkan pada debitor pailit. Berdasarkan penjelasan
Pasal 105 bahwa sejak putusan pailit diucapkan semua wewenang
debitor untuk menguasai dan mengurus harta pailit termasuk
memperoleh keterangan mengenai pembukuan, catatan, rekening bank,
dan simpanan debitor dari bank yang bersangkutan beralih kepada
kurator. Kurator harus segera melakukan upaya-upaya untuk
memastikan bahwa dirinya memiliki akses penuh untuk seluruh
korespondensi yang ditujukan kepada debitor pailit sehubungan
dengan harta pailit (Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi
Kurator dan Pengurus Indonesia).

7. Kurator berwenang menjual harta pailit

Dijatuhkannya putusan pernyataan pailit memberikan


konsekuensi kurator langsung berwenang untuk malaksanakan
tugasnya. Semenjak saat itulah kurator harus mengamankan harta pailit
bahkan meningkatkan nilai harta pailit tersebut agar ketika pembagian
seluruh kreditor dapat terpenuhi haknya. Pengecualian terhadap
pemenuhan hak-hak kreditor terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-
undang No.37 Tahun 2004 bahwa setiap kreditor pemegang gadai,
jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya tersebut seolah-olah

lxxi
tidak terjadi kepailitan. Akan tetapi eksekusi tersebut tidak dapat
langsung dilaksanakan karena berdasarkan Pasal 56 ayat (1) hak
eksekusi tersebut harus ditangguhkan sampai dengan 90 hari sejak
dijatuhkannya putusan pailit. Penangguhan tersebut bertujuan untuk
memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, mengoptimalkan
harta pailit, memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara
optimal.

Selama masa penangguhan eksekusi tersebut kurator


berwenang untuk menggunakan harta pailit berupa benda tidak
bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa
benda bergerak yang berada dalam penguasaannya untuk
kelangsungan usaha debitor yang tercantum pada Pasal 56 ayat (3)
Undang-undang No.37 Tahun 2004. Akan tetapi terhadap kewenangan
menjual harta pailit tersebut sebelumnya telah diberikan perlindungan
yang wajar terhadap kepentingan kreditor atau pihak ketiga.
Berdasarkan penjelasan Pasal 56 ayat (3) yang dimaksud perlindungan
yang wajar adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk
melindungi kepentingan kreditor atau pihak ketiga yang haknya
ditangguhkan. Pengalihan harta menyebabkan hak kebendaan tersebut
dianggap berakhir demi hukum. Perlindungan yang wajar, antara lain,
dapat berupa:
a. ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;
b. hasil penjualan bersih;
c. hak kebendaan pengganti; atau
d. imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang
dijamin) lainnya.
Harta pailit yang dapat dijual oleh kurator terbatas pada barang
persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current assets),
meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas
kebendaan.

lxxii
Ketentuan Pasal 107 Undang-undang No.37 Tahun 2004 juga
memberikan wewenang kepada kurator untuk mengalihkan harta pailit
sejauh diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atau apabila
penahanan harta pailit tersebut mengakibatkan kerugian pada harta
pailit walaupun terhadap putusan pailit tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali. Harta pailit yang dinilai tidak mencukupi untuk
membayar seluruh biaya kepailitan maka kurator dan kreditor
mengusulkan pada hakim pengawas untuk menyetujui agar perusahaan
debitor dilanjutkan kembali guna memperoleh peningkatan nilai harta
pailit. Nilai harta pailit yang telah dinilai cukup, kemudian hakim
pengawas menghentikan kelanjutan pengurusan perusahaan debitor.
Tata cara pemberesan harta pailit diatur pada Pasal 185 yakni
penjualan dilakukan di muka umum namun apabila tidak tercapai maka
dapat dilakukan penjualan di bawah tangan dengan izin hakim
pengawas. Kurator memiliki wewenang untuk memutuskan tindakan
yang akan diambil terhadap benda pailit yang tidak segera atau tidak
dapat dibereskan.

Kurator dapat memulai pemberesan dan penjualan semua harta


pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan debitor pailit apabila:
a. usul untuk mengurus perusahaan debitor tidak diajukan dalam
jangka waktu sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, atau
usul tersebut telah diajukan tapi ditolak; atau
b. pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan.

Kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk menjual


harta pailit dan memutuskan tindakan pada benda pailit yang tidak
dapat dibereskan ditujukan agar proses pemberesan harta pailit
menjadi lebih cepat selesai karena tidak terlalu banyak pihak yang
turut campur dalam proses pemberesan. Dengan demikian adanya
kurator yang mengambil tindakan dalam penjualan dan pemberesan
harta pailit dapat memberikan arahan terwujudnya kepastian hukum

lxxiii
sehingga tidak akan terjadi perselisihan panjang antara para kreditor
sehingga proses penjualan sampai pembagian harta pailit dapat
berjalan dengan cepat dan para kreditor dapat terpenuhi hak-haknya.

Kewenangan kurator untuk melaksanakan penjualan harta pailit


telah dilaksanakan oleh tim kurator PT. Sarana Perdana Indoglobal
(PT. SPI). Adapun penjualan yang telah dilakukan yaitu:
a. Aset PT SPI yang berupa sebidang tanah dan bangunan sesuai
SHM Nomor 604 atas nama Lisbet Sinaga yang terletak di Jalan
Bukit Sakti No.8 Kel. Ngesrep, Kec.Semarang Selatan, Kodya
Semarang, telah terjual pada proses pelelangan yang berlangsung
pada Jumat, 7 Desember 2007 bertempat di ruang rapat KPKNL
Semarang GKN II lantai IV Jl. Imam Bonjol 1D Semarang.
b. Selain itu aset lain yang juga telah terjual pada hari selasa tanggal
11 Desember 2007 adalah asset PT SPI yang berupa dua unit ruko
beralamat di Jalan Gatot Subroto Kepatihan, Kaliwates, Jember
Jawa Timur.
c. Kemudian aset PT SPI yang berupa tiga unit rumah toko (ruko)
sesuai SHM Nomor 02982, 02983, 02984 tertulis atas nama Lisbet
Sinaga yang terletak di Jl. H Agus salim, Kota Madya Surakarta,
Kec. Laweyan, Kelurahan Sondakan, Surakarta, Jawa Tengah,
telah terjual pada proses pelelangan yang berlangsung pada Selasa,
19 Februari 2008 yang lalu, dan bertempat di aula KPKNL
Surakarta, Jl. Ki Mangunsarkoro No:141 Surakarta.
d. Selain itu aset lain yang juga telah terjual adalah aset PT SPI yang
berupa sebidang tanah seluas 236 m2 sesuai SHM No. 18/Pusat an.
Baritauli Boru Hutapea, berikut bangunan diatasnya terletak di
Jalan Sindoro No. 30 dan 30-A Kel. Pusat Pasar, Kec. Medan, Kota
Medan, proses lelang di Medan berlangsung pada tanggal 6 Maret
2008 kemarin di Hotel Garuda Plaza, Jl. Sisingamangaraja, Medan.

lxxiv
e. Setelah itu pada hari Kamis, tanggal 31 Juli 2008, Jam 10.30 WIB
telah dilangsungkan pelelangan aset PT. Sarana Perdana
Indoglobal yang terletak di jalan Batu Ceper IV, Kel.
KebonKelapa, Kec. Gambir, Jakarta Pusat di ruang Rose III, Hotel
THE ACACIA, Jakarta Pusat (http://id.denylawfirm.com,
Surakarta,7 Mei 2009 pukul 20.20 WIB).

B. Tugas Kurator Setelah Adanya Putusan Pailit Dari Pengadilan Niaga

1. Tugas Kurator Untuk Mengamankan Harta Pailit

Sejak mulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan


semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua
surat, dokumen, perhiasan, uang, efek, dan surat berharga lainnya
dengan memberikan tanda terima sesuai dengan ketentuan Pasal 98
Undang-undang No.37 Tahun 2004 dan tindakan-tindakan
pengamanan tersebut seperti telah dipaparkan pada halaman 56.

Sejak pengangkatannya, kurator harus melakukan upaya-upaya


untuk mengamankan harta pailit. Tindakan ini mencakup seluruh harta
debitor, khusus untuk harta tertentu maka kurator berpedoman dalam
Standar Profesi Kurator dan Pengurus yang dikeluarkan oleh Asosiasi
Kurator dan Pengurus Indonesia seperti yang telah dipaparkan pada
halaman 57. Untuk menghindari debitor melakukan hal-hal yang tidak
diinginkan terhadap harta pailit misalnya mengalihkan atau merusak
harta pailit, maka dengan alasan untuk mengamankan harta pailit,
kurator dapat minta penyegelan harta pailit kepada hakim pengawas
berdasarkan Pasal 99 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004.

lxxv
2. Tugas Kurator Untuk Menyelesaikan Perikatan-perikatan Yang Dibuat
Oleh Debitor Pailit

a. Terhadap tuntutan hukum yang dihadapi oleh debitor pailit

Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang No.37 Tahun 2004,


apabila debitor pada saat kepailitan berlangsung sedang
mengajukan suatu tuntutan hukum maka perkara dapat
ditangguhkan dan menunggu kurator untuk mengambil alih
perkara. Akan tetapi apabila Kurator tidak mengindahkan atau
menolak adanya panggilan tersebut maka perkara tetap dapat
diteruskan antara Debitor dengan Tergugat dan di luar tanggungan
harta pailit. Sebenarnya tanpa mendapat panggilanpun setiap waktu
Kurator berwenang mengambil alih perkara dan mohon agar
Debitor dikeluarkan dari perkara.

b. Terhadap perjanjian timbal balik yang dibuat oleh debitor pailit

Menurut Pasal 36 Undang-undang No.37 Tahun 2004,


terhadap perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian
dipenuhi maka pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor
dapat meminta kepastian kepada kurator tentang kelanjutan
perjanjian tersebut dengan jangka waktu tertentu. Kurator berhak
untuk tidak memberikan tanggapan sehingga perjanjian dianggap
berakhir dan pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
diperlakukan sebagai kreditor konkuren. Akan tetapi jika kurator
sanggup untuk meneruskan perjanjian tersebut maka kurator harus
memberikan jaminan atas kesanggupannya tersebut.

c. Terhadap perjanjian sewa-menyewa yang dibuat oleh debitor pailit

Kurator maupun pihak yang menyewakan kepada debitor


dapat menghentikan perjanjian sewa dengan syarat pemberitahuan

lxxvi
penghentian sebelum berakhirnya perjanjian dan sesuai dengan
adat kebiasaan setempat berdasarkan Pasal 38. Akan tetapi jika
uang muka sewa telah dibayar maka perjanjian tidak dapat
dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir. Uang sewa tersebut
dianggap merupakan utang harta pailit.

d. Warisan yang diterima oleh debitor pailit

Berdasarkan Pasal 40 Undang-undang No.37 Tahun 2004,


kurator tidak boleh menerima warisan yang selama kepailitan jatuh
ke tangan debitor, kecuali apabila warisan tersebut menguntungkan
harta pailit. Untuk tidak menerima warisan tersebut kurator
memerlukan persetujuan hakim pengawas.

e. Actio pauliana

Kata-kata actio pauliana ini berasal dari orang Romawi


yang maksudnya menunjuk kepada semua upaya hukum yang
digunakan guna menyatakan batal tindakan debitor yang
meniadakan arti Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu debitor yang
bahwa dia akan dinyatakan pailit melakukan tindakan hukum untuk
memindahkan hak atas sebagian kekayaannya atau secara lain
merugikan para kreditornya (Kartini Muljadi, 2001:302).Undang-
undang No.37 Tahun 2004 memiliki suatu konsep yang disebut
actio pauliana yang bertujuan untuk melindungi kreditor dari
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh debitor. Ketentuan tersebut
diatur dalam Pasal 41-50 Undang-undang No.37 Tahun 2004.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini ketentuan mengenai actio pauliana
merupakan ketentuan yang lazim adanya pada bankruptcy law dari
banyak negara. Pencantuman ketentuan ini, yang dikenal pula
dengan nama ”claw back provision”, di dalam undang-undang
kepailitan sangat perlu (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:249).

lxxvii
1) Actio pauliana sebelum putusan pernyataan pailit

Pasal 41 Undang-undang No.37 Tahun 2004 menyatakan


bahwa untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat
dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang
telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor,
yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Pembatalan tersebut dapat dilakukan bila dapat dibuktikan
bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak
dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui
atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut
akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Pembatalan
perbuatan tersebut dikecualikan untuk perbuatan hukum yang
wajib dilakukan debitor berdasarkan perjanjian dan/atau
undang-undang.

Menurut Fred BG. Tumbuan dalam Pasal 41 Undang-


undang No.37 Tahun 2004 terdapat lima syarat yang harus
dipenuhi agar actio pauliana tersebut dapat berlaku yaitu:
a) Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;
b) Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor;
c) Perbuatan yang dimaksud telah merugikan kreditor;
d) Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut dengan
pihak siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan
mengetahui atau sepatutnya mengertahui bahwa perbuatan
hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor
(Fred BG. Tumbuan, 2001:129).

Berdasarkan ketentuan Pasal 42 bukan saja perbuatan


hukum debitor setelah putusan pailit yang dapat dibatalkan,
tetapi juga perbuatan hukum yang dilakukan debitor sebelum
adanya putusan pailit. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, Pasal 42

lxxviii
Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengatur dengan rinci
jenis perbuatan hukum yang apabila dilakukan dalam jangka
waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan
dapat dibatalkan oleh pengadilan, dengan syarat:
a) Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitor.
b) Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut
dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan
kreditor.
c) Perbuatan tersebut memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 42 huruf a sampai dengan g, yaitu:
(1) merupakan perjanjian dimana kewajiban Debitor jauh
melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian
tersebut dibuat;
(2) merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan
untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum
atau tidak dapat ditagih;
(3) dilakukan oleh debitor perorangan, dengan atau untuk
kepentingan:
(a) suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya
sampai derajat ketiga;
(b) suatu badan hukum dimana debitor atau pihak lain
adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila
pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut
lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal
disetor atau dalam pengendalian badan hukum
tersebut.
(4) dilakukan oleh debitor yang merupakan badan hukum,
dengan atau untuk kepentingan:

lxxix
(a) anggota direksi atau pengurus dari debitor, suami
atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat
ketiga dari anggota direksi atau pengurus tersebut;
(b) perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan
suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai
derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau
tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor
lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal
disetor atau dalam pengendalian badan hukum
tersebut;
(c) perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau
keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan
pada debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari
modal disetor atau dalam pengendalian badan
hukum tersebut.
(5) dilakukan oleh debitor yang merupakan badan hukum
dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya,
apabila:
(a) perorangan anggota direksi atau pengurus pada
kedua badan usaha tersebut adalah orang yang
sama;
(b) suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai
derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau
pengurus debitor yang juga merupakan anggota
direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya,
atau sebaliknya;
(c) perorangan anggota direksi atau pengurus, atau
anggota badan pengawas pada debitor, atau suami
atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat
ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta

lxxx
secara langsung atau tidak langsung dalam
kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50%
(lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam
pengendalian badan hukum tersebut, atau
sebaliknya;
(d) debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada
badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
(e) badan hukum yang sama, atau perorangan yang
sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau
istrinya, dan atau para anak angkatnya dan
keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam kedua badan
hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima
puluh persen) dari modal yang disetor.
(6) dilakukan oleh debitor yang merupakan badan hukum
dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup
dimana debitor adalah anggotanya;
(7) ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f
berlaku mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh
debitor dengan atau untuk kepentingan:
(a) anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami
atau istri, anak angkat atau keluarga sampai derajat
ketiga dari anggota pengurus tersebut;
(b) perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga
sampai derajat ketiga yang ikut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam pengendalian
badan hukum tersebut (Sutan Remy Sjahdeini,
2009:253).

lxxxi
Pasal 43 Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengatur
bahwa hibah yang dilakukan oleh debitor dapat dimintakan
pembatalan oleh oleh kurator kepada pengadilan apabila dapat
dibuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan debitor
mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi kreditor. Kemudian pada Pasal 44 dinyatakan
bahwa apabila tidak dapat dibuktikan sebaliknya, debitor
dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah
tersebut merugikan kreditor , apabila hibah tersebut dilakukan
dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pailit diucapkan.

Sutan Remy Sjahdeini memberikan perbedaan antara


Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-undang No.37 Tahun 2004,
yakni sebagai berikut:
a) Pasal 43 berlaku untuk hibah yang dilakukan lebih dari1
tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Sementara dalam Pasal 44 berlaku bagi hibah yang
dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan
pailit diucapkan.
b) Pada Pasal 43 kurator-lah yang harus membuktikan bahwa
pada saat hibah tersebut dilakukan, debitor mengetahui atau
patut mengetahui bahwa hibah tersebut akan menyebabkan
kerugian bagi kreditor. Sementara dalam Pasal 44, debitor-
lah yang harus membuktikan bahwa pada saat hibah
tersebut dilakukan debitor tidak mengetahui atau patut
mengetahui bahwa hibah tersebut akan menyebabkan
kerugian bagi kreditor (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:254).

Pasal 45 Undang-undang No.37 Tahun 2004


menentukan, pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih
hanya dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa:

lxxxii
a) Penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan
pernyataan pailit debitor sudah didaftarkan; atau
b) Dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari
persekongkolan antara debitor dan kreditor (tertentu)
dengan maksud menguntungkan kreditor tersebut melebihi
kreditor lain.

Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004


menentukan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 45 bahwa
pembayaran yang telah diterima oleh pemegang surat
pengganti atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum
dengan pemegang terdahulu wajib wajib menerima
pembayaran dan tidak dapat diminta kembali. Sementara itu
Pasal 46 ayat (2) menentukan jika pembayaran tidak dapat
diminta kembali maka orang yang mendapat keuntungan atas
itu wajib mengembalikan kepada harta pailit jumlah yang telah
dibayar debitor apabila:
a) Dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan
mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit debitor
sudah didaftarkan; atau
b) Penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari
persekongkolan antara debitor dan pemegang pertama.

Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang No.37 Tahun


2004, seluruh tuntutan hak mengenai actio pauliana diajukan
oleh Kurator. Kemudian kreditor dapat mengajukan bantahan
terhadap tuntutan kurator tersebut.

Disahkannya perdamaian seperti tercantum pada Pasal


48 Undang-undang No.37 Tahun 2004 maka tuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dianggap gugur. Akan

lxxxiii
tetapi jika isi perdamaian tersebut adalah pelepasan hak maka
tuntutan dalam Pasal 47 dapat dilanjutkan oleh para pemberes
harta pailit.

Akibat pembatalan perbuatan hukum seperti yang


tercantum dalam Pasal 41-46 Undang-undang No.37 Tahun
2004 bagi orang yang menerima pengalihan harta dari debitor
diatur dalam Pasal 49 yakni orang tersebut harus
mengembalikan barang yang dimaksud kepada kurator dan
dilaporkan kepada hakim pengawas. Jika barang tersebut tidak
dikembalikan maka orang tersebut harus membayar ganti rugi
kepada harta pailit namun jika benda itu diperoleh oleh pihak
ketiga dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma maka
harus dilindungi. Dana apabila terdapat kekurangan dalam
pembatalannya dapat menjadi kreditor konkuren.

2) Actio pauliana setelah putusan pernyataan pailit

Actio pauliana setelah putusan pernyataan dalam


Undang-undang No.37 Tahun 2004 terdapat pada Pasal 50,
bahwa setiap orang yang sesudah putusan pailit diucapkan
kemudian membayar untuk memenuhi perikatannya dengan
debitor maka dibebaskan dari harta pailit sejauh tidak
dibuktikan bahwa yang bersangkutan mengetahui adanya
putusan pailit tersebut. Pembayaran sesudah putusan pailit
tidak membebaskan terhadap harta pailit kecuali dapat
dibuktikan bahwa pengumuman putusan pailit tidak mungkin
diketahui di tempat tinggalnya. Kemudian apabila pembayaran
tersebut menguntungkan bagi harta pailit maka Debitor
dibebaskan dari harta pailit.

lxxxiv
3. Tugas Kurator Untuk Melakukan Pencatatan Harta Pailit dan
Mengadakan Rapat Pencocokan Piutang

Berdasarkan Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004,


kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 hari
setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai kurator.
Pencatatan harta pailit dapat dilakukan di bawah tangan oleh kurator
dengan persetujuan Hakim Pengawas. Anggota panitia kreditor
sementara berhak menghadiri pembuatan pencatatan tersebut. Segera
setelah melakukan pencatatan harta pailit, kurator harus membuat
daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit,
nama dan tempat tinggal kreditor beserta jumlah piutang masing-
masing (Pasal 102). Kemudian oleh kurator daftar pencatatan tersebut
diletakkan di kepaniteraan pengadilan untuk dapat dilihat oleh setiap
orang dengan cuma-cuma.

Menurut Marjan E. Pane terdapat beberapa cara praktis yang


dapat dilakukan oleh kurator untuk melakukan inventarisasi dan
verifikasi harta/boedel pailit yaitu:
a. Debitor pailit adalah orang-perorangan:
1) Minta status perdata dari si debitor pailit.
2) Minta debitor pailit membuat status harta kekayaan yang
ditandatangani di atas meterai untuk kemudian oleh kurator
diverifikasi kebenarannya kepada instansi yang berwenang jika
perlu misalnya dalam hal kekayaan berupa tanah.
3) Dalam hal debitor kurang/tidak kooperatif maka kurator dapat
meminta untuk dilakukannya paksa badan atas debitor yang
bersangkutan.
4) Dengan persetujuan hakim pengawas melakukan penyegelan
atas harta kekayaan berupa barang bergerak yang dapat secara
mudah digelapkan misalnya perhiasan.

lxxxv
5) Melapor dan minta bantuan kepada pihak yang berwajib dalam
hal terjadi penggelapan atas harta pailit debitor.
b. Debitor pailit adalah badan hukum:
1) Minta laporan keuangan lengkap dari debitor pailit.
2) Dalam hal kurator tidak mampu membaca laporan keuangan,
maka dengan persetujuan hakim pengawas dapat diangkat ahli
dalam bidang keuangan sehingga dapat mendampingi kurator
dalam membaca laporan keuangan tersebut.
3) Membekukan semua rekening debitor pailit di bank.
4) Melakukan pemeriksaan fisik dari harta pailit dan
menyesuaikannya dengan laporan keuangan.
5) Mempelajari dengan seksama kegiatan usaha dari debitor pailit
untuk menentukan kelanjutan usaha debitor pailit.
6) Memberi penjelasan kepada para direktur perusahaan mengenai
batasan-batasan wewenangnya sehubungan dengan kepailitan
perusahaannya.
7) Melakukan penyegelan terhadap surat-surat berharga yang
dimiliki debitor pailit.
8) Menerapkan paksa badan kepada anggota direksi yang tidak
kooperatif.
9) Minta bantuan polisi dalam hal diperlukan pengamanan
terhadap harta pailit.
10) Membentuk panitia kreditor dalam hal keadaan maupun
kegiatan usaha debitor cukup kompleks (Marjan E. Pane,
2004:282).

Setelah kurator melakukan pencatatan harta seperti tercantum


dalam Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004 selanjutnya
kurator harus melakukan pencocokan piutang kreditor. Pasal 113 ayat
(1) menyatakan bahwa paling lambat 14 hari setelah putusan
pernyataan pailit diucapkan, hakim pengawas harus menetapkan:

lxxxvi
a. batas akhir pengajuan tagihan;
b. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban
pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan;
c. hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat kreditor untuk mengadakan
pencocokan piutang.
Paling lambat 5 hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 113 ayat (1), kurator wajib memberitahukan penetapan tersebut
kepada semua kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan
mengumumkannya paling sedikit dalam 2 surat kabar harian.
Berdasarkan Pasal 133, piutang yang dimasukkan pada kurator setelah
lewat jangka waktu dalam Pasal 113 ayat (1) yaitu 14 hari mempunyai
syarat dimasukkan paling lambat 2 (dua) hari sebelum hari
diadakannya rapat pencocokan piutang, piutang tersebut wajib
dicocokkan apabila ada permintaan yang diajukan dalam rapat dan
tidak ada keberatan, baik permintaan tersebut diajukan oleh kurator
maupun oleh salah seorang kreditor yang hadir dalam rapat.

Proses pencocokan piutang adalah penentuan klasifikasi


tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap harta Debitor pailit, guna
diperinci tentang berapa besarnya piutang-piutang yang dapat
dibayarkan kepada masing-masing kreditor, yang diklasifikasikan
menjadi daftar piutang yang diakui maupun yang dibantah atau yang
sementara diakui. Proses pencocokan putang ini dilakukan dalam suatu
penahapan yang disebut rapat verifikasi (Paulus E. Lotulung,
2001:389).

Undang-undang kepailitan mengenal dua jenis pelaporan


kurator yaitu pelaporan berkala dan khusus. Laporan berkala disiapkan
dan disampaikan secara berkala dalam jangka waktu tertentu,
sedangkan laporan khusus disiapkan dan disampaikan sehubungan
dengan tahapan atau kejadian tertentu/khusus dalam proses kepailitan.

lxxxvii
Selain itu kurator harus menyampaikan laporan pendahuluan untuk
kepentingan rapat kreditor pertama. Laporan pendahuluan merekam
hasil kerja kurator selama proses tindakan pendahuluan yang akan
dijadikan acuan bagi kurator atau untuk menyusun rencana kerja.
Laporan pendahuluan setidaknya memuat:
a. informasi umum sehubungan dengan tempat, jenis dan skala
kegiatan usaha debitor pailit;
b. tindakan yang telah diambil kurator dalam rangka pengamanan atas
harta pailit;
c. informasi umum yang telah dikumpulkan atau didapat kurator
tentang keadaan keuangan debitor pailit;
d. uraian atau catatan sementara atas harta pailit, yang setidaknya
memuat identifikasi seluruh rekening bank dan harta kekayaan
penting lain yang dimiliki debitor pailit;
e. uraian atas kewajiban atau utang harta pailit, yang setidaknya
memuat identifikasi kreditor yang diketahui dari catatan debitor
pailit dan tagihan yang telah diajukan terhadap harta pailit; dan
f. sifat kooperatif atau nonkooperatif dari debitor pailit (Standar
Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus
Indonesia).

Pada saat dilakukannya pencocokan piutang, kurator memiliki


beberapa kewajiban sesuai dengan ketentuan Pasal 116 Undang-
undang No.37 Tahun 2004 yaitu:
a. mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh kreditor
dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dari keterangan
debitor pailit; atau
b. berunding dengan kreditor jika terdapat keberatan terhadap
penagihan yang diterima.
Kurator juga berhak meminta kepada kreditor agar memasukkan surat
yang belum diserahkan termasuk memperlihatkan catatan dan surat

lxxxviii
bukti asli. Berdasarkan Pasal 117 Kurator juga wajib memasukkan
piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang
sementara diakui sedangkan piutang yang dibantah beserta alasannya
dimasukkan ke dalam daftar tersendiri. Pada daftar piutang tersebut
dibubuhkan pula catatan terhadap setiap piutang apakah termasuk
piutang yang diistimewakan atau dijamin dengan gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya,
atau hak untuk menahan benda bagi tagihan yang bersangkutan dapat
dilaksanakan (Pasal 118 ayat (1)). Kemudian daftar piutang tersebut
dengan surat kepada kreditor yang dikenal dan disertai panggilan untuk
menghadiri rapat pencocokan piutang dengan menyebutkan rencana
perdamaian jika telah diserahkan oleh debitor pailit.

Pada saat dilakukannya rapat pencocokan piutang, hakim


pengawas membacakan daftar piutang yang diakui sementara dan
daftar piutang yang dibantah oleh kurator. Kurator berhak menarik
kembali pengakuan sementara atau bantahannya, atau menuntut supaya
kreditor menguatkan dengan sumpah kebenaran piutangnya yang tidak
dibantah oleh kurator atau oleh salah seorang kreditor. Kemudian
piutang yang tidak dibantah wajib dipindahkan ke dalam daftar piutang
yang diakui yang kemudian dimasukkan dalam berita acara rapat
pencocokan piutang. Kurator mencatat pengakuan surat jika piutang
berupa surat atas tunjuk dan surat atas pengganti. Setelah berakhirnya
pencocokan piutang maka sesuai dengan Pasal 143 ayat (1) kurator
wajib memberikan laporan mengenai keadaan harta pailit dan
selanjutnya kepada kreditor wajib diberikan semua keterangan yang
diminta.

Laporan berkala dalam kepailitan setidaknya mencakup:


a. ringkasan tindakan pengurusan dan pemberesan harta pailit yang
telah diambil oleh kurator berikut alasan singkat mengapa tindakan
itu perlu diambil;

lxxxix
b. rencana pengurusan dan pemberesan harta pailit dan tindakan yang
akan diambil oleh kurator dalam masa 3 bulan ke depan berikut
alasan singkat mengapa tindakan itu perlu diambil;
c. keadaan harta pailit, yang mencakup tindakan pengamanan harta
pailit, uraian atau catatan harta pailit, daftar utang harta pailit,
analisis kelangsungan usaha debitor pailit, rencana pemenuhan
biaya kepailitan, dan kerjasama atau penyediaan informasi dari
debitor pailit (Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi
Kurator dan Pengurus Indonesia).

4. Tugas Kurator Untuk Memberikan Pertanggungjawaban Apabila


Terjadi Perdamaian

Setelah kurator selesai melakukan pencocokan piutang kreditor


maka tugas selanjutnya adalah melakukan pemberesan harta pailit.
Akan tetapi apabila debitor mengajukan perdamaian maka urusan
perdamaian diselesaikan terlebih dahulu yang didasarkan pada Pasal
144 Undang-undang No.37 Tahun 2004 bahwa debitor pailit berhak
untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor. Pasal 145
ayat (1) menyatakan bahwa rencana perdamaian paling lambat
diajukan 8 hari sebelum rapat pencocokan piutang. Mengenai rencana
perdamaian tersebut kurator dan panitia kreditor sementara wajib
memberikan pendapat tertulis (Pasal 146).

Pada saat pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan


hukum tetap maka kepailitan dianggap telah berakhir hal ini tertuang
dalam Pasal 166 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Perdamaian
tersebut diumumkan oleh kurator dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan paling sedikit 2 surat kabar harian. Kemudian
berdasarkan Pasal 167, Kurator wajib melakukan melakukan
pertanggungjawaban kepada debitor di hadapan hakim pengawas dan
wajib mengembalikan kepada debitor semua benda, uang, buku, dan

xc
dokumen yang termasuk harta pailit dengan menerima tanda terima
yang sah.

Berdasarkan Pasal 168 Undang-undang No.37 Tahun 2004,


apabila debitor tidak memberikan jaminan terhadap pelunasan seluruh
piutang kreditor maka jumlah uang yang menjadi hak kreditor yang
telah dicocokkan berdasarkan hak istimewa yang diakui serta biaya
kepailitan wajib diserahkan langsung kepada kurator sehingga kurator
berwenang untuk menahan semua benda dan uang yang termasuk harta
pailit. Setelah lewat jangka waktu 30 hari setelah putusan perdamaian
dan debitor tidak segera melaksanakan kewajibannya maka kurator
wajib melunasi pembayaran seluruh piutang kreditor menggunakan
harta pailit yang tersedia.

Debitor yang lalai manjalankan kewajibannya dan tidak dapat


membuktikan bahwa perdamaian telah terpenuhi maka kreditor berhak
untuk mengajukan pembatalan perdamaian yang telah disahkan.
Berdasarkan Pasal 172 Undang-undang No.37 Tahun 2004 bahwa
dalam putusan pembatalan perdamaian diperintahkan supaya kepailitan
dibuka kembali, disertai dengan pengangkatan seorang hakim
pengawas, kurator, dan anggota panitia kreditor apabila sebelumnya
terdapat panitia seperti itu. Hakim pengawas, kurator, dan anggota
panitia kreditor sedapat mungkin diangkat dari orang yang sama dalam
perkara kepailitan tersebut. kemudian putusan pembatalan perdamaian
tersebut wajib diumumkan oleh kurator dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan 2 surat kabar harian. Setelah kepailitan dibuka kembali
maka tidak dapat lagi ditawarkan perdamaian dan berdasarkan Pasal
175 kurator wajib seketika melakukan pemberesan harta pailit.

5. Tugas Kurator Untuk Melakukan Pengurusan Harta Pailit

Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara dan sesuai


ketentuan pada Pasal 104 Undang-undang No.37 Tahun 2004, kurator

xci
dapat melanjutkan usaha debitor yang dinyatakan pailit walaupun
terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali. Akan tetapi apabila tidak diangkat panitia
kreditor, maka kurator memerlukan izin dari hakim pengawas untuk
melanjutkan usaha debitor tersebut. Berdasarkan Pasal 107 bahwa atas
persetujuan hakim pengawas, kurator dapat mengalihkan harta pailit
sejauh diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atau apabila
penahanannya tersebut dapat mengakibatkan kerugian pada harta pailit
meskipun pada saat itu diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan
kembali.

Pada saat dilakukannya pencocokan piutang apabila tidak


ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang
ditawarkan tidak diterima maka kurator atau kreditor yang hadir dalam
rapat pencocokan piutang dapat mengusulkan supaya perusahaan
debitor pailit dilanjutkan. Usul untuk melanjutkan perusahaan debitor
pailit dapat diajukan oleh kurator atau kreditor dalam jangka waktu 8
hari setelah putusan penolakan pengesahan perdamaian memperoleh
kekuatan hukum tetap. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai
harta pailit sehingga ketika pembagian harta pailit jumlahnya dapat
mencukupi untuk membayar seluruh utang debitor pailit. Menurut
pendapat Timur Sukirno, kurator berhak, jika dia merasa bahwa
tindakannya akan secara material meningkatkan harta yang akan
dibagikan kepada para kreditor, untuk melanjutkan keseluruhan atau
sebagian usaha debitor pailit untuk jangka waktu tertentu dan
menunjuk seseorang atau beberapa orang untuk melaksanakan usaha
debitor pailit (Timur Sukirno, 2001:373).

Pada saat harta pailit dalam keadaan tidak mampu membayar,


maka kurator bertindak berdasarkan prinsip meningkatkan atau
setidaknya mempertahankan nilai harta pailit. Keadaan harta pailit
tidak mampu membayar maka tidak berarti kegiatan usahanya secara

xcii
langsung berhenti pula. Kegiatan usaha dapat terus berjalan jika dapat
meningkatkan/mempertahankan nilai harta pailit dengan maksud untuk
kepentingan pemberesan (Standar Profesi Kurator dan Pengurus,
Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia).

Keuntungan dengan diteruskannya perusahaan debitor pailit


yaitu:
a. Dapat menambah harta pailit dengan keuntungan-keuntungan yang
mungkin diperoleh dari perusahaan tersebut.
b. Ada kemungkinan lambat laun debitor akan dapat membayar
utangnya secara penuh.
c. Kemungkinan tercapainya suatu perdamaian (Zainal Asikin,
2001:76).

6. Tugas Kurator Untuk Melakukan Pemberesan Harta Pailit

Berikut ini adalah beberapa prinsip dasar yang harus dianut


oleh kurator dalam melaksanakan penjualan aset debitor pailit:
a. harus menjual aset dengan harga yang paling tinggi;
b. harus memutuskan apakah aset-aset tertentu harus dijual segera dan
asset-aset yang lain harus disimpan terlebih dahulu karena nilainya
akan meningkat di kemudian hari; dan
c. harus kreatif dalam mendapatkan nilai tertinggi atas aset Debitor
pailit (Timur Sukirno, 2001:372).

Tata cara pemberesan harta pailit berdasarkan ketentuan Pasal


185 Undang-undang No.37 Tahun 2004 yakni dengan cara menjual
semua benda di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi jika penjualan di
muka umum tidak tercapai maka dapat dilakukan penjualan di bawah
tangan seizin hakim pengawas. Terhadap benda yang tidak segera atau
sama sekali tidak dapat dibereskan maka kurator dapat memutuskan
tindakan apa yang akan diambil terhadap benda tersebut dengan izin

xciii
hakim pengawas. Benda debitor pailit ada yang berada di tangan
kreditor yang memiliki hak untuk menahan suatu benda maka kurator
wajib untuk membayar piutang kreditor tersebut agar benda itu dapat
masuk kembali dan menguntungkan harta pailit.

Perlu diingat bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-


undang No.37 Tahun 2004 bahwa setiap kreditor pemegang gadai,
jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan. Akan tetapi pada saat penagihan piutang, mereka
hanya dapat melakukan eksekusi setelah dicocokkan penagihannya
serta hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dari
penagihan tersebut.

Meskipun secara prinsip kepailitan tidak menghalangi eksekusi


oleh setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, namun berdasarkan
ketentuan Pasal 56 Undang-undang No.37 Tahun 2004 hak untuk
melakukan eksekusi hartanya yang berada dalam penguasaan debitor
pailit atau kurator tersebut, kecuali terhadap tagihan kreditor yang
dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk menjumpakan
utang, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Adanya eksekusi harta
terlebih dahulu oleh kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya tersebut
dikarenakan mereka memiliki piutang yang telah dijamin oleh debitor
dan pemenuhannya pun mendahului kreditor lain.

Setelah perusahaan debitor dilanjutkan ataupun tidak dan


hakim pengawas berpendapat telah cukup uang berdasarkan penjualan
harta pailit maka kurator dapat diperintahkan untuk melakukan
pembagian kepada kreditor yang piutangnya telah dicocokkan.

xciv
Kemudian kurator menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan
persetujuan kepada hakim pengawas. Adapun daftar pembagian
tersebut berisi rincian tentang penerimaaan dan pengeluaran termasuk
di dalamnya upah kurator, nama kreditor, jumlah yang dicocokkan dari
tiap piutang, dan bagian yang wajib diterimakan kepada kreditor.
Kreditor konkuren harus diberikan bagian yang ditentukan oleh hakim
pengawas sedangkan kreditor separatis dan kreditor preferen
mendapatkan pembayaran dari hasil penjualan benda diagunkan
kepada mereka jika hasil penjualan benda agunan tidak mencukupi
untuk membayar seluruh piutang kreditor yang didahulukan (kreditor
separatis dan kreditor preferen) maka untuk kekurangannya mereka
berkedudukan sebagai kreditor konkuren.

Daftar pembagian harus memuat suatu pertelaan yang terdiri


dari:
a. penerimaan dan pengeluaran (termasuk imbalan jasa kurator);
b. nama-nama para kreditor;
c. jumlah yang dicocokkan dari setiap piutang; dan
d. bagian atau persentase yang harus diterima kreditor untuk setiap
piutang tersebut (Imran Nating, 2004:160).

Daftar pembagian tersebut yang telah disetujui oleh hakim


pengawas kemudian disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat
dilihat oleh kreditor selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh
hakim pengawas. Daftar pembagian tersebut oleh kurator juga harus
diumumkan di dalam 2 surat kabar harian. Berdasarkan Pasal 193 ayat
(1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 yakni selama tenggang waktu
yang ditetapkan oleh hakim pengawas, maka kreditor dapat melakukan
perlawanan atas daftar pembagian tersebut dengan mengajukan surat
keberatan disertai alasan kepada panitera pengadilan dengan menerima
tanda bukti penerimaan dari panitera pengadilan.

xcv
Kurator membayarkan atau membagikan hasil penjualan harta
pailit kepada kreditor konkuren setiap kali terdapat sejumlah uang
tunai yang oleh kurator diperkirakan cukup untuk melunasi bagian
tertentu dari utang secara proporsional, sesuai dengan daftar
pembagian yang telah disetujui oleh hakim pengawas. Pada saat
pembagian kepada kreditor konkuren, kurator harus memastikan
bahwa tidak ada tagihan dari kreditor yang diistimewakan. Kurator
dilarang mendahulukan pembayaran pada kreditor tertentu, kecuali
pada kreditor yang memang didahulukan berdasarkan sifat piutangnya
(Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus
Indonesia).

Menurut Pasal 201 Undang-undang No.37 Tahun 2004 setelah


berakhirnya tenggang waktu untuk melihat daftar pembagian dan
putusan perkara perlawanan terhadap daftar pembagian tersebut telah
diucapkan maka kurator wajib segera membayar pembagian yang
sudah ditetapkan. Berdasarkan Pasal 202, segera setelah dilakukan
pembayaran kepada seluruh kreditor atau setelah daftar pembagian
penutup menjadi mengikat maka kepailitan dianggap telah berakhir.
Kemudian kurator memberikan pengumuman tentang berakhirnya
kepailitan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan 2 surat kabar
harian. Kurator juga wajib memberikan pertanggungjawaban mengenai
pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukannya kepada hakim
pengawas paling lambat 30 hari setelah berakhirnya kepailitan. Selain
itu Kurator juga harus memberikan semua buku dan dokumen
mengenai harta pailit yang ada kepada debitor.

Berikut ini gambaran mengenai pelaksanaan tugas kurator untuk


melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit pada perkara pailit PT.
Adam Air dan PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI):

xcvi
1. Perkara Kepailitan PT. Adam Air

Kasus Posisi

PT. Adam Air digugat pailit oleh CV. CICI, PT. Merpati
Indonesia, toko Global, PT. Jaya Makmur, PT. Bintang dan ribuan
karyawannya yang tergabung dalam Forum Serikat Pekerja Adam Air
(Forsikad) pada 14 Mei 2008. Kemudian niat PT. Adam Air untuk
membayar utang secara tunai di persidangan dianggap cukup
membuktikan adanya kewajiban yang sudah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Bukti pengakuan utang itu berakibat fatal. Majelis hakim
pengadilan niaga Jakarta Pusat mengeluarkan putusan 9 Juni 2008
yang menyatakan PT. Adam Air pailit. Majelis hakim menggunakan
pengakuan utang tersebut sebagai salah satu alasan untuk mengabulkan
permohonan pailit yang diajukan CV CICI qq Dra. Luvida terhadap
PT. Adam Air. Hakim, pada amar putusannya yang lain, mengangkat
Gunawan Widiatmadja dan Antoni Prawira sebagai tim kurator yang
akan memimpin pembagian harta Adam Air kepada para kreditornya.
hakim PN Jakarta Pusat, Reno Listowo juga ditunjuk sebagai hakim
pengawas. PT. Adam Air juga masih dibebani untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp. 5 juta. Hakim menilai keinginan kuasa hukum
Adam Air membayar secara lunas utangnya kepada CV CICI di muka
persidangan adalah suatu perbuatan yang tidak dikenal dalam UU No
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU). Menurut Makassau,
jika Adam Air berkeinginan menyelesaikan kewajibannya, maka
Adam Air bisa menempuh prosedur PKPU. Unsur pailit yang lain
mengenai adanya dua atau lebih kreditor juga dinyatakan terpenuhi.
Hakim merujuk pada bukti adanya surat kuasa yang diberikan kreditor
lain kepada kuasa hukum pemohon. Kreditor itu antara lain PT Merpati
Indonesia, Toko Global, PT Jaya Makmur, PT Bintang dan ribuan
karyawan yang belum memperoleh gaji dua bulan terakhirnya.

xcvii
Kurator mengaku kesulitan melacak aset PT. Adam Air.
Padahal aset yang ada tidak cukup untuk menutup kewajiban
perusahaan yang dipailitkan pada 9 Juni 2008 itu. Hingga 30 Juni 2008
kurator belum mendapatkan laporan keuangan perusahaan 2006-2007,
nama kreditor dan biaya perusahaan yang belum dibayarkan, beberapa
sertifikat tanah dan bangunan. Kurator juga belum melihat AD/ART
perusahaan, berita acara kerja sama PT. Adam Air Sky Connection
dengan PT. Global Transport Service, dan dokumen perjanjian lainnya
sehingga kurator kesulitan dengan status quo yang mengambang ini.
Gunawan selaku kurator menuturkan saat ini aset PT. Adam Air tidak
cukup untuk membayar kewajiban-kewajiban kepada kreditor, hak-hak
para kreditor, karyawan, dan agen tiket PT. Adam Air sehingga
pembagian harta pailit akan dibayar rata berdasarkan persentase.
Menurut Gunawan, PT. Adam Air masih memiliki kewajiban pada
kurator jutaan dolar Amerika. Kewajiban tersebut mulai dari biaya
sewa pesawat dari lessor yang belum dibayar hampir jutaan dolar
hingga dana untuk hak para gaji karyawan dan kreditor lainnya.

Sebelum rapat pailit PT. Adam Air lanjutan digelar, kurator


akan memverifikasi 30 kreditur yang sudah mendaftar, mengawasi aset
yang berada di wilayah operasional PT. Adam Air termasuk suku
cadang, bahan kimia yang mempunyai batas waktu kadaluarsa yang
dapat menurunkan harga keuangan dan melakukan pendekatan
persuasif kepada direksi PT. Adam Air yang lebih kooperatif.
Beberapa aset milik PT. Adam Air yang sudah berhasil diperoleh
kurator yakni aset milik PT. Adam Air di Orange City dan di Bandara
Cengkareng. Di gudang didapatkan lebih dari 1.000 ban pesawat baru
dan 220 ban vulkanisir, suku cadang pesawat, 24 unit mobil
operasional untuk karyawan dan direksi di seluruh Indonesia. Kurator
juga telah melakukan pencairan dan pembekuan rekening dan sudah
membalik nama atas kurator c.q Adam Air dalam pailit di Bank

xcviii
Mandiri, BNI, BRI, BCA, Lippobank, dan beberapa renening giro.
Rapat verifikasi yang pertama tersebut dihadiri oleh hakim pengawas
Reno Listowo, SH dan 2 orang kurator Gunawan Widyaatmadja dan
Anthony Prawira, direktur keuangan PT. Adam Air Gustiono Kustanto.
Akan tetapi direktur utama PT. Adam Air, Adam Suherman tidak hadir
karena sakit.

Pada tanggal 14 Januari 2009 karyawan PT. Adam Air


menuntut penggantian kurator yang bertugas mengeksekusi aset
perusahaan penerbangan itu. Alasannya, kurator dianggap tak becus
mengurus pailit dan tak mengerti masalah penerbangan. Akan tetapi,
kurator Gunawan Widyaatmaja menolak tudingan tersebut. Gunawan
mengakui ada kekurangan dalam menjalankan tugas kurator. Gunawan
beralasan keterlambatan tersebut karena tertutupnya informasi dari
debitur pailit sehingga memperlambat kinerja kurator.
Kurator juga merasa terintimidasi dengan tindakan kreditor, terutama
dari para agen perjalanan yang dinilainya sering memaksakan
kehendak, selain itu kreditor banyak yang melampaui batas waktu
untuk mendaftarkan surat utangnya. Timotius Tumbur Simbolon,
kuasa hukum 1.073 travel agen, membantah hal itu. Ia menerangkan
pada rapat kreditur sementara bulan Oktober 2008, dari 1.073 travel
agen, 728 diantaranya diklasifkasikan sebagai kreditor separatis.
direktur PT. Adam Air, Adam Suherman telah mengesahkan dan
menandatangani tagihan 728 travel agen. Sisanya, untuk sementara
dinyatakan sebagai kreditur konkuren dengan jumlah piutang Rp3,523
miliar dan AS$3.980, plus 126 dolar Singapura. Akan tetapi pada
bulan November 2008, kurator malah menyurati agen tersebut untuk
mempertanyakan status Timotius selaku kuasa hukum. Padahal, ketika
rapat kreditur di bulan Oktober tersebut, Timotius bersama dengan
Adam Suherman menandatangani dan mengesahkan tagihan 728 di
hadapan kurator.

xcix
Permintaan penggantian kurator ditengarai lambannya kurator
dalam memverifikasi jumlah aset dan tagihan kreditur. Enam bulan
pasca-putusan pailit PT. Adam Air, hasil dari verifikasi kurator masih
nihil. Kurator tidak memberikan laporan berkala boedel pailit dan
mengklasifikasian kreditur sejak 9 Juni 2008. Bahkan Gunawan diduga
mendepositokan harta pailit atas nama pribadi Gunawan ke Bank
Mandiri sebesar Rp5 miliar selain itu, Gunawan juga diduga
mentransfer harta pailit sebesar Rp75 juta ke rekening istrinya. Dugaan
penyalahgunaan aset oleh Gunawan tengah di proses di Polda Metro
Jaya. Pada 20 Januari 2008, Anthony dan Gunawan akan diperiksa
sebagai tersangka. Selain jalur pidana, Timotius selaku kuasa hukum
kreditorakan mengajukan gugatan sita aset kurator. Hal itu sesuai
dengan Pasal 72 UU Kepailitan yang menyatakan kurator bertanggung
jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian
terhadap harta pailit. Menurut Timotius boedel pailit dikuasai secara
pribadi oleh Gunawan. Kreditor juga mengadukan ulah Gunawan dan
Anthony ke komite etik kurator.

Menurut kurator, pergantian kurator hendaknya mengacu pada


Pasal 71 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU No. 37 Tahun 2004.
Artinya, pergantian harus berdasarkan persetujuan lebih dari setengah
kreditur konkuren atau kuasanya. Jumlah piutang harus lebih dari
setengah jumlah piutang kreditur konkuren. Masalahnya, kurator
belum menyelesaikan verifikasi piutang sehingga belum dapat
ditentukan jumlah piutang yang diakui sebagai penentu jumlah suara.
Padahal jumlah suara merupakan syarat pengambilan suara (voting)
atas usulan yang diajukan. Dengan kondisi itu, kurator mengusulkan
untuk mengangkat kurator tambahan agar pemberesan kepailitan PT.
Adam Air lebih cepat. Hingga Januari 2009 pengurusan harta pailit
masih terus dilakukan yakni pendataan aset debitur, verifikasi

c
kewajiban debitur dan piutang kreditur, serta pengamanan aset pailit.
Kurator melakukan rencana penjualan aset untuk membayarkan
kewajiban ke kreditur, termasuk mantan karyawan.

Pada sidang yang digelar tanggal 19 Januari 2009, majelis


hakim menolak penggantian kurator PT. Adam Air lantaran tidak
memenuhi syarat formil. Penambahan kurator dinilai lebih baik untuk
meningkatkan kinerja kurator. Majelis hakim yang diketuai Makassau
malah memutuskan untuk menambah tiga kurator baru yakni, Hendra
Rosa Putra, Tafrizal H. Gewang dan Leni Mardiana. Penambahan ini
diharapkan bisa meningkatkan kinerja kurator. Penambahan kurator itu
merupakan rekomendasi dari hakim pengawas Reno Listowo. Pada
laporan hakim pengawas, 5 Januari 2009 lalu, Reno menyatakan telah
memberi kesempatan kepada kurator untuk melaporkan hasil kerjanya
pada rapat kreditur terakhir namun sebagian besar kreditur konkuren
dan preferen meminta penggantian kurator. Berdasarkan usulan
tersebut, Reno malah mengusulkan penambahan kurator karena dinilai
lebih memenuhi syarat formil.

Majelis hakim berpendapat, penggantian kurator harus merujuk


pada Pasal 71 ayat (1) dan (2) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) No.
37 Tahun 2004. Dihubungkan dengan permohonan kreditor, dasar
hukum yang bisa dipakai adalah Pasal 71 ayat (2) UU Kepailitan.
Artinya, pergantian harus berdasarkan persetujuan lebih dari setengah
kreditur konkuren atau kuasanya dan jumlah piutang harus lebih dari
setengah jumlah piutang kreditur konkuren. Sementara itu, selama
tujuh bulan rapat kreditor berjalan, kurator belum selesai
memverifikasi piutang. Akibatnya belum dapat ditentukan jumlah
piutang yang diakui sebagai penentu jumlah suara. Jumlah suara
merupakan syarat pengambilan suara (voting) atas usulan yang
diajukan. Oleh karena itu, majelis hakim menyatakan permohonan

ci
penggantian kurator tidak memenuhi syarat formil sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 71 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004.

Pada bulan Februari 2009 nasib kepailitan PT Adam Air


semakin terang karena kurator telah selesai melakukan verifikasi
kreditor sementara. Tahap selanjutnya, dengan waktu tiga bulan,
kurator akan melakukan pemberesan terhadap harta pailit untuk
membayar piutang kreditor. Hakim pengawas pailit Reno Listowo
menyatakan perusahaan penerbangan itu resmi berstatus insolvensi.
Oleh karena itu kurator akan mengajukan pembubaran perusahaan ke
Departemen Hukum dan HAM. Bagi 16 kreditur yang tagihannya tidak
diakui kurator, hakim pengawas memberikan waktu dua minggu untuk
mengajukan keberatan kepadanya.

Berdasarkan hasil verifikasi, pegawai PT. Adam Air yang


tergabung dalam Forum Serikat Pekerja Adam Air (Forsikad)
ditetapkan sebagai kreditur istimewa (preferen) dengan piutang sebesar
Rp104,5 miliar. Pegawai Adam Air di Surabaya yang tergabung dalam
Serikat Buruh Anak Bangsa juga terdaftar sebagai kreditur istimewa.
Jumlah tagihan 143 pegawai itu mencapai Rp706,786 juta, namun
notaris memberi catatan bahwa pembayaran gaji dan pesangon 80
pegawai dari 143 pegawai yang juga anggota Serikat Buruh Anak
Bangsa akan diselesaikan secara internal dengan Forsikad dengan
alasan, nama ke-80 pegawai itu tergabung dalam putusan pemecatan
Pengadilan Hubungan Indistrial terhadap anggota Forsikad. Sekitar 40
kreditur ditetapkan sebagai kreditur konkuren. Salah satunya adalah
pemohon pailit CV CICI dengan tagihan Rp89,375 juta. Kreditur
konkuren lain terdiri dari perusahaan yang bekerja sama dengan Adam
Air, antara lain PT Angkasa Pura I dengan tagihan Rp2,5 miliar, PT
Pertamina Rp29,527 miliar, PT Garuda Maintenance Fasilities
Aeroasia Rp33,4 miliar dan Angkasa Pura II sebesar Rp6,6 miliar
sementara tagihan kreditur separatis ditaksir sebesar Rp11,2 miliar.

cii
Analisis penulis

PT. Adam Air yang diputus pailit pada 9 Juni 2008, majelis
hakim dalam amar putusannya mengangkat Gunawan Widiatmadja dan
Antoni Prawira sebagai tim kurator yang akan memimpin pembagian
harta Adam Air kepada para kreditornya. hakim PN Jakarta Pusat,
Reno Listowo juga ditunjuk sebagai hakim pengawas. Pengangkatan
kurator dan hakim pengawas secara bersamaan dalam suatu amar
putusan pailit telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-
undang No.37 Tahun 2004 kemudian tugas kurator selanjutnya
berdasarkan Pasal 15 ayat (4) adalah dengan jangka waktu paling
lambat 5 hari setelah putusan pailit dibacakan, kurator mengumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2
surat kabar harian mengenai ikhtisar putusan pailit.

Pada saat pengangkatannya, kurator harus mulai melakukan


semua upaya untuk mengamankan harta pailit seperti dinyatakan pada
Pasal 98 Undang-undang No.37 Tahun 2004 namun kurator mengaku
kesulitan melacak aset PT. Adam Air. Aset yang ada tidak cukup untuk
menutup kewajiban perusahaan yang dipailitkan pada 9 Juni 2008 itu.
Hingga 30 Juni 2008 kurator belum mendapatkan laporan keuangan
perusahaan 2006-2007, nama kreditor dan biaya perusahaan yang
belum dibayarkan, beberapa sertifikat tanah dan bangunan. Kurator
juga belum melihat AD/ART perusahaan, berita acara kerja sama PT.
Adam Air dengan PT. Global Transport Service, dan dokumen
perjanjian lainnya. Beberapa aset milik PT. Adam Air yang sudah
berhasil diperoleh kurator hanya aset yang berada di Orange City dan
di Bandara Cengkareng namun terhadap rekening yang telah berhasil
dilacak kurator telah melakukan pencairan dan pembekuan rekening
serta sudah membalik nama atas kurator c.q Adam Air dalam pailit di
Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, Lippobank, dan beberapa renening
giro. Tindakan kurator untuk membekukan dan membalik nama

ciii
rekening debitor ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 108 ayat (1)
demi keamanan harta pailit.

Kesulitan kurator untuk melacak aset PT. Adam Air


menyebabkan tidak terpenuhinya tugas kurator untuk melakukan
pencatatan harta pailit yang telah ditetapkan pada Pasal 100 Undang-
undang No.37 Tahun 2004. Pada Pasal 100 Undang-undang No.37
Tahun 2004 kurator harus melakukan pencatatan harta pailit dengan
jangka waktu 2 hari setelah kurator menerima salinan putusan pailit
sedangkan hingga tanggal 30 Juni 2008 kurator belum selesai
melakukan pencatatan harta pailit dan kesulitan untuk melacak aset
padahal PT. Adam Air dinyatakan pailit pada 9 Juni 2008.

Pada tanggal 14 Januari 2009 karyawan PT. Adam Air


menuntut penggantian kurator yang bertugas mengeksekusi aset
perusahaan penerbangan itu. Permintaan penggantian kurator
ditengarai lambannya kurator dalam memverifikasi jumlah aset dan
tagihan kreditur. Enam bulan pasca-putusan pailit Adam Air, hasil dari
verifikasi kurator masih nihil. Kurator tidak memberikan laporan
berkala boedel pailit dan mengklasifikasian kreditur sejak 9 Juni 2008.
Hingga Januari 2009 pengurusan harta pailit masih beragendakan
pendataan aset debitur, verifikasi kewajiban debitur dan piutang
kreditur, serta pengamanan aset pailit. Pada sidang yang digelar
tanggal 19 Januari 2009, majelis hakim menolak penggantian kurator
PT. Adam Air dan memutuskan untuk menambah tiga kurator baru
yakni, Hendra Rosa Putra, Tafrizal H. Gewang dan Leni Mardiana.
Penambahan kurator ini merujuk pada pada Pasal 71 ayat (1) dan (2)
UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) No. 37 Tahun 2004. Dihubungkan dengan
permohonan kreditor, dasar hukum yang bisa dipakai adalah Pasal 71
ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Artinya, pergantian harus berdasarkan
persetujuan lebih dari setengah kreditur konkuren atau kuasanya dan

civ
jumlah piutang harus lebih dari setengah jumlah piutang kreditur
konkuren. Sementara itu, selama tujuh bulan sejak putusan pailit,
kurator belum selesai memverifikasi piutang. Akibatnya belum dapat
ditentukan jumlah piutang yang diakui sebagai penentu jumlah suara.
Jumlah suara merupakan syarat pengambilan suara (voting) atas usulan
yang diajukan. Oleh karena itu, permohonan penggantian kurator tidak
memenuhi syarat formil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71 ayat
(2) UU No. 37 Tahun 2004.

Permohonan penggantian kurator yang diajukan pada 14


Januari 2009 selain karena lambannya kurator dalam menjalankan
tugasnya untuk melakukan pencatatan harta pailit juga dipicu adanya
dugaan penyelewengan harta pailit. Kurator diduga mendepositokan
harta pailit atas nama pribadi ke Bank Mandiri sebesar Rp5 miliar
selain itu, Gunawan (kurator) juga diduga mentransfer harta pailit
sebesar Rp75 juta ke rekening istrinya. Dugaan penyalahgunaan aset
ini telah diadukan oleh para Kreditor di Polda Metro Jaya. Pada 20
Januari 2008, Anthony dan Gunawan akan diperiksa oleh pihak
kepolisian dan kemungkinan dapat dinyatakan sebagai tersangka.
Tidak cukup hanya melalui jalur pidana, Timotius selaku kuasa hukum
kreditor akan mengajukan gugatan sita aset kurator. Tuntutan terhadap
tindakan kurator ini dapat diajukan dengan dasar Pasal 72 UU No. 37
Tahun 2004 bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau
kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan
yang menyebabkan kerugian pada harta pailit. Berdasarkan pendapat
Jerry Hoff yang membagi tanggung jawab kurator menjadi 2 bentuk
yaitu dalam kapasitas profesi sebagai kurator dan pribadi maka dugaan
tindakan penggelapan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator PT.
Adam Air harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dugaan
penggelapan harta pailit tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai

cv
tindakan yang berada pada koridor untuk mengamankan harta pailit
dan lebih mengarah pada tujuan untuk menguntungkan diri sendiri.

Pada bulan Februari 2009 kurator telah selesai melakukan


verifikasi kreditor sementara. Tahap selanjutnya kurator akan
melakukan pemberesan terhadap harta pailit untuk membayar piutang
kreditor. Berdasarkan Pasal 202 UU No. 37 Tahun 2004 setelah
pemberesan harta pailit dan pembagian harta pailit kepada semua
kreditor maka kepailitan dianggap telah berakhir serta berakhirnya
kepailitan ini harus diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan minimal 2 surat kabar harian. Kurator juga harus
memberikan pertanggungjawaban kepada hakim pengawas dan
menyerahkan semua buku dan dokumen mengenai harta pailit kepada
debitor.

2. Perkara Kepailitan PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI)

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan


PT. Sarana Perdana Indoglobal (SPI), sebuah perusahaan investasi,
terbukti melakukan tindak pidana perbankan dan pencucian uang
dalam sidang kemarin. Tiga anggota direksi PT. SPI divonis bersalah
dengan hukuman penjara dan denda. Mereka adalah direktur utama
Sefri Roring, divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider
6 bulan kurungan; direktur marketing Sahat Sianipar, divonis 8 tahun
penjara denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan; dan komisaris
Hengki Martinus Roring, divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 10
miliar subsider 6 bulan kurungan.

Kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa dengan modus


operandi menarik masyarakat atau nasabah untuk menginvestasikan
uangnya di perusahaan tempat terdakwa bekerja dengan iming-iming
keuntungan 3% sampai 6% dalam jangka waktu tiga sampai sembilan
bulan. Tergantung dari nilai dan lamanya kontrak deposit nasabah di

cvi
PT. SPI. Mulai tanggal 1 Juli 2006- 26 Maret 2007, para terdakwa
berhasil menggaet 148 nasabah dengan jumlah dana yang terhimpun
sebesar Rp77.355.000.000, yang disetor nasabah melalui rekening PT.
SPI. Agar semakin meyakinkan, para nasabah diberi jaminan berupa
Bilyet Giro Bank BCA KCP pembangunan Jakarta yang
ditandatangani oleh Elvira Krisnawati (masih buron). Akan tetapi,
setelah dana terkumpul keuntungan sebesar 3% sampai 6% pada setiap
bulannya dari jumlah investasi yang dijanjikan, oleh para terdakwa
tidak pernah dipenuhi. Bahkan bilyet giro yang diberikan setelah
dikliringkan ke bank dananya ternyata kosong.

Kasus ini terungkap setelah ketiga nasabah, yaitu Ir Kardi


Hutomo, Noviana dan D. Pananangan melaporkan tindak pidana yang
dilakukan terdakwa ke Polresta Bandung Barat dan dalam fakta
persidangan terungkap jika ternyata kegiatan PT. SPI dalam
menghimpun dana dari masyarakat tersebut tidak mengantongi izin
dari Bank Indonesia. Para korban kemudian juga menuntut agar PT.
SPI dinyatakan pailit, tuntutan tersebut diajukan ke pengadilan niaga
Jakarta Pusat. Pengadilan niaga Jakarta Pusat mengabulkan tuntutan
pailit tersebut dengan putusan pengadilan niaga pada pengadilan negeri
Jakarta Pusat No. 20/ PAILIT/2007/PN. NIAGA .JKT PST tertanggal
08 Mei 2007. Untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta
pailit tersebut ditunjuk pula Denny Azani B. Latief, SH dan Tafrizal
Hasan Gewang, SH. MH sebagai tim kurator.

Bahwa berdasarkan hasil investigasi dan verifikasi aset, kurator


telah mengumpulkan dan melakukan inventarisasi aset sebagaimana
disebutkan di bawah ini, aset-aset tersebut ada yang telah siap di
lelang, dijadikan barang bukti oleh pengadilan maupun yang sifatnya
baru informasi. Aset-aset PT. SPI dapat di bagi atas :
a. Aset barang tidak bergerak ,

cvii
Asset PT. SPI Ini tersebar di berbagai wilayah seperti Jakarta,
Medan, Solo, Jember, Probolinggo, Surakarta, Bandung dan
Semarang.
b. Aset Tidak Bergerak
1) Aset Mobil
2) Aset yang dijadikan barang bukti
c. Uang tunai sejumlah Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah)
d. Rekening

Kerja keras tim kurator untuk melacak dan melakukan


pengumpulan aset PT. SPI sekaligus melakukan pencairan aset telah
berhasil mengatasi kendala kepemilikan aset antara lain; aset yang
tidak atas nama PT. SPI, dokumen kepemilikan tidak ada, dan
kesulitan untuk melakukan lelang selain hal tersebut pengurus PT. SPI
yang sampai saat ini masih menyembunyikan informasi tentang
kepemilikan aset PT. SPI. Proses pemberesan dan pencarian aset yang
dilakukan tim kurator telah berlangsung hampir satu tahun. Leo Patar
Sinaga sebagai orang yang masih dalam pengejaran polisi tidak
kunjung tertangkap. Padahal kunci sebagian besar penelusuran aset
pailit PT. SPI sangat tergantung dari keterangan Leo Patar Sinaga.
Sementara 3 (tiga) orang direktur dan satu (1) orang managernya telah
divonis dan dijatuhi hukuman, dan telah berada di Lembaga
Pemasyarakatan.

Kurator memulai pekerjaannya dengan mengumpulkan


dokumen dan informasi dari banyak pihak termasuk dari eks nasabah
sendiri. Tiga bulan pertama tim kurator berkonsentrasi dengan
pemetaan lapangan mengenai letak dan posisi aset dan pengumpulan
dokumen serta informasi. Empat bulan selanjutnya tim kurator
menunjuk tim gabungan yang terdiri advokat, konsultan hukum, juru
penaksir aset untuk membina hubungan dengan pihak penyidik,
kejaksaan, serta pengadilan niaga dengan tujuan melakukan kajian

cviii
hukum terhadap status aset, perusahaan-perusahaan, untuk
mempercepat pekerjaan tim kurator.

Usaha pengumpulan budel ternyata tidak semudah yang


dibayangkan, karena hampir seluruh aset yang terdata secara manual
tidak mempunyai kelengkapan dokumen apapun. Sebagai contoh aset
yang berada di Batu Ceper berupa unit ruko tanpa identitas dan kondisi
yang hancur dan berantakan sebagaimana aset yang lainnya, tim
kurator harus memulai mendata dari awal baik status kepemilikan,
sampai kepada izin-izinnya. Kelengkapan tersebut harus dilaksanakan
sebagai persyaratan untuk layak dijual atau dilelang. Proses pendataan
dan pencarian dokumen itu sendiri minimal paling cepat memakan
waktu 4 bulan. Sehingga dengan masa kerja kurang dari satu tahun tim
kurator yang telah berhasil mendata dan melengkapi aset dengan
dokumen hukumnya agar dapat dilelang adalah waktu yang sangat
cepat, mengingat tidak satupun data data kepemilikan yang dipunyai
kurator. Pihak Kepolisian dirasakan cukup membantu pekerjaan
kurator, terutama dalam hal pencarian dan penelusuran aset. Tim
kurator sangat mengantisipasi beratnya pekejaan penelusuran aset oleh
karena Leo Patar Sinaga memegang hampir seluruh dokumen dan
informasi keberadaan aset. Pada bulan Desember 2007 tim kurator PT.
SPI telah melakukan penjualan beberapa aset yaitu:
a. Aset PT SPI yang berupa sebidang tanah dan bangunan sesuai
SHM Nomor 604 atas nama Lisbet Sinaga yang terletak di Jalan
Bukit Sakti No.8 Kel. Ngesrep, Kec.Semarang Selatan, Kodya
Semarang, telah terjual pada proses pelelangan yang berlangsung
pada Jumat, 7 Desember 2007 bertempat di ruang rapat KPKNL
Semarang GKN II lantai IV Jl. Imam Bonjol 1D Semarang.
b. Aset lain yang juga telah terjual pada hari selasa tanggal 11
Desember 2007 adalah asset PT SPI yang berupa dua unit ruko

cix
beralamat di Jalan Gatot Subroto Kepatihan, Kaliwates, Jember
Jawa Timur.
c. Kemudian aset PT SPI yang berupa tiga unit rumah toko (ruko)
sesuai SHM Nomor 02982, 02983, 02984 tertulis atas nama Lisbet
Sinaga yang terletak di Jl. H Agus salim, Kota Madya Surakarta,
Kec. Laweyan, Kelurahan Sondakan, Surakarta, Jawa Tengah,
telah terjual pada proses pelelangan yang berlangsung pada Selasa,
19 Februari 2008 yang lalu, dan bertempat di aula KPKNL
Surakarta, Jl. Ki Mangunsarkoro No:141 Surakarta.
d. Selain itu aset lain yang juga telah terjual adalah aset PT SPI yang
berupa sebidang tanah seluas 236 m2 sesuai SHM No. 18/Pusat an.
Baritauli Boru Hutapea, berikut bangunan diatasnya terletak di
Jalan Sindoro No. 30 dan 30-A Kel. Pusat Pasar, Kec. Medan, Kota
Medan, proses lelang di Medan berlangsung pada tanggal 6 Maret
2008 kemarin di Hotel Garuda Plaza, Jl. Sisingamangaraja, Medan.
Disamping aset-aset tersebut, masih terdapat aset-aset PT SPI yang
masih menunggu jadwal lelang yaitu. Hotel Podomoro, Ruko di Batu
Ceper dan Apartemen Red top.

T. Sondang Siagian, SH selaku kuasa hukum Sdr. Johnny


Wijaya (salah satu kreditor) telah mengajukan surat kepada tim kurator
perihal mohon penundaan lelang dan permohonan untuk mengelola
aset PT. Sarana Perdana Indoglobal berupa Hotel Podomoro dan
Restaurant Golden Time, tim kurator telah menyampaikan hal tersebut
kepada Hakim Pengawas tertanggal 15 Juli 2008 mengenai mohon
sidang pemutus dalam pengurusan budel pailit PT. Sarana Perdana
Indoglobal terhadap Aset PT. Sarana Perdana Indoglobal.

Selanjutnya berdasarkan permohonan kreditor tersebut hakim


pengawas pada 29 Juli 2008 telah mengeluarkan penetapan yang
memberikan ijin kepada kurator Tafrizal Hasan Gewang, SH. MH dan
Denny Azani, SH untuk melanjutkan kegiatan usaha (pengelolaan dan

cx
pengoperasian) aset PT. Sarana Perdana Indoglobal (Dalam Pailit)
berupa Hotel Podomoro dan New Golden Time Restaurant.
Pertimbangan hakim pengawas antara lain bahwa dalam proses
pemberesan harta pailit PT. SPI telah dilakukan lelang secara berturut-
turut pada tanggal 16 Agustus 2007, 12 Desember 2007, 19 Maret
2008 dengan hasil tidak ada satupun penawar, dan terakhir pada 8 Mei
2008 dengan hasil hanya ada satu penawar yang mengajukan
penawaran harga dibawah limit yang ditawarkan.

Untuk meningkatkan nilai harta pailit, maka permohonan


kurator oleh hakim pengawas dianggap cukup beralasan guna
melanjutkan kegiatan usaha (pengelolaan/operasional) PT. Sarana
Perdana Indoglobal. Hal ini disebabkan karena sejak putusan pailit
dibacakan, debitur pailit (PT. Sarana Perdana Indoglobal) demi hukum
kehilangan haknya untuk bertindak atas harta kekayaannya yaitu harta
kekayaannya yang termasuk dalam budel pailit, termasuk juga hak
untuk mengurus semua kekayaannya yang termasuk ke dalam budel
pailit. Akan tetapi apabila kurator menilai pengelolaan aset podomoro
tersebut tidak mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan nilai aset
maka kurator dapat meminta pembatalan pengelolaan tersebut kepada
hakim pengawas, untuk selanjutnya aset dapat dilelang ulang.
Kemudian pada hari Kamis, tanggal 31 Juli 2008, Jam 10.30 WIB
telah dilangsungkan pelelangan aset PT. Sarana Perdana Indoglobal
yang terletak di jalan Batu Ceper IV, Kel. Kebon Kelapa, Kec.
Gambir, Jakarta Pusat.

Pada bulan Februari 2009 tim kurator telah mengajukan


permohonan untuk melakukan pembagian harta pailit kepada hakim
pengawas. Pengajuan tersebut telah diajukan kurator sejak rapat
kreditor terakhir. Penetapan ini secara hukum menjadi dasar bagi tim
kurator untuk melakukan pembagian kepada kreditor dan sekaligus
dapat menjawab permintaan kreditor/nasabah yang meminta

cxi
pembayaran segera dilakukan. Hingga tanggal 23 Februari 2009 sudah
hampir 500 nasabah yang mengirimkan data data dan telah diverifikasi
oleh tim kurator. Tim kurator mengharapkan tanggal 24 Februari 2009
telah menerima penetapan untuk mengeluarkan uang dan
membayarkan kepada kreditor/nasabah.

Setelah mendapat penetapan dari hakim pengawas untuk


melakukan pembagian harta pailit maka pengembalian dana untuk
nasabah yang berdomisili di Jakarta mulai berlangsung pada awal
bulan April 2009. Tim kurator juga telah menjadwalkan pengembalian
dana nasabah yang berdomisili di Bandung pada tanggal 24 April 2009
mulai pukul 10.00 sampai dengan selesai, bertempat di Taman Safura
nomor 43, Sukarno Hatta, Bandung kediaman Bapak Bachtiar (salah
seorang nasabah). Pengembalian dana nasabah PT. SPI yang
berdomisili di Surabaya dijadwalkan pada hari Sabtu, tanggal 2 Mei
2009 mulai pukul pukul 8.00 sampai dengan selesai di Empire Palace
lantai 6, Jalan Blauran 57-75 Surabaya.

Analisis penulis

Majelis hakim yang memutus pailit PT. SPI dengan Putusan


No. 20/ PAILIT/2007/PN. NIAGA.JKT PST tertanggal 08 Mei 2007,
dalam amar putusannya mengangkat Denny Azani B. Latief, SH dan
Tafrizal Hasan Gewang, SH. MH sebagai tim kurator. Pengangkatan
kurator dan hakim pengawas secara bersamaan dalam suatu amar
putusan pailit telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-
undang No.37 Tahun 2004 kemudian tugas kurator selanjutnya
berdasarkan Pasal 15 ayat (4) adalah dengan jangka waktu paling
lambat 5 hari setelah putusan pailit dibacakan, kurator mengumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2
surat kabar harian mengenai ikhtisar putusan pailit.

cxii
Pada saat pengangkatannya, kurator harus mulai melakukan
semua upaya untuk mengamankan harta pailit seperti dinyatakan pada
Pasal 98 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Salah satu upaya untuk
mengamankan harta pailit adalah melakukan penyegelan seperti yang
tercantum dalam Pasal 99 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Akan
tetapi pada perkara PT. SPI sebagian aset-asetnya telah diamankan
oleh pengadilan sebagai barang bukti di persedangan karena para
pemilik PT.SPI sebelum dinyatakan pailit telah diproses secara pidana
terlebih dahulu.

Kurator tetap melakukan investigasi dan pencarian terhadap


aset-aset lain milik PT. SPI walaupun pihak pengadilan telah menyita
sebagian aset untuk dijadikan barang bukti di persidangan. Tindakan
pencarian yang dilakukan tersebut agar tugas kurator untuk memenuhi
ketentuan Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004 yakni
pencatatan harta pailit dapat menghasilkan daftar yang benar-benar
sesuai dengan jumlah seluruh aset yang ada. Tindakan pencarian
tersebut menyebabkan jangka waktu pencatatan harta pailit yang hanya
2 hari menjadi tidak terpenuhi karena tiga bulan pertama tim kurator
berkonsentrasi dengan pemetaan lapangan mengenai letak dan posisi
aset dan pengumpulan dokumen serta informasi. Empat bulan
selanjutnya tim kurator menunjuk tim gabungan yang terdiri advokat,
konsultan hukum, juru penaksir aset untuk membina hubungan dengan
pihak penyidik, kejaksaan, serta pengadilan niaga dengan tujuan
melakukan kajian hukum terhadap status aset, perusahaan-perusahaan,
untuk mempercepat pekerjaan tim kurator.

Hakim pengawas pada tanggal 29 Juli 2008 telah mengeluarkan


penetapan yang memberikan ijin kepada kurator untuk melanjutkan
pengelolaan dan pengoperasian aset PT. SPI berupa Hotel Podomoro
dan New Golden Time Restaurant. Untuk meningkatkan nilai harta
pailit, maka permohonan kurator oleh hakim pengawas dianggap

cxiii
cukup beralasan guna melanjutkan pengelolaan/operasional PT. SPI
karena sesuai dengan ketentuan Pasal 104 Undang-undang No.37
Tahun 2004. Hal ini disebabkan karena sejak putusan pailit dibacakan,
debitur pailit demi hukum kehilangan haknya untuk bertindak atas
harta kekayaannya yaitu harta kekayaannya yang termasuk dalam
budel pailit, termasuk juga hak untuk mengurus semua kekayaannya
yang termasuk ke dalam budel pailit seperti tercantum pada Pasal 24
Undang-undang No.37 Tahun 2004.

Pada bulan Februari 2009 tim kurator telah mengajukan


permohonan untuk melakukan pembagian harta pailit kepada hakim
pengawas, tindakan kurator ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal
189 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Penetapan ini secara hukum
menjadi dasar bagi tim kurator untuk melakukan pembagian kepada
kreditor. Setelah pemberesan harta pailit dan pembagian harta pailit
kepada semua kreditor maka kepailitan dianggap telah berakhir serta
berakhirnya kepailitan ini harus diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan minimal 2 surat kabar harian. Kurator juga
harus memberikan pertanggungjawaban kepada hakim pengawas dan
menyerahkan semua buku dan dokumen mengenai harta pailit kepada
debitor.

C. Kendala-Kendala Yuridis Yang Dihadapi Oleh Kurator Dalam


Mengurus Harta Pailit

Menyadari peranan kurator yang semakin penting dalam


penanganan perkara kepailitan maka tugas sebagai kurator tidak semata-
mata diberikan kepada Balai Harta Peninggalan (BHP) tapi juga diberikan
kepada kurator swasta yang notabene berasal dari kalangan profesional
yang memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk bertindak sebagai
kurator. Akan tetapi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
kepailitan tidak dapat hanya dipandang dari ketidakmampuan kurator

cxiv
untuk menjalankan tugas namun juga harus dipahami bahwa banyak
pasal-pasal di dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang dapat
menimbulkan hambatan bagi kurator dalam melaksanakan tugasnya.
Hambatan tersebut dapat menyebabkan proses pengurusan dan
pemberesan yang dilakukan kurator terhadap harta pailit menjadi semakin
memakan waktu dan kerja kurator menjadi tidak efektif dan efisien.
Adapun pasal-pasal dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang dalam
pelaksanaannya dapat menimbulkan hambatan bagi kurator dalam
menjalankan tugasnya yaitu:

1. Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak jelas mengatur kapan


legalitas diberikan kepada kurator untuk melaksanakan tugasnya

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004


menentukan bahwa dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat
kurator dan hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.
Pasal 16 Undang-undang No.37 Tahun 2004 kurator menyatakan
bahwa berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali kemudian apabila pailit dibatalkan akibat adanya kasasi atau
peninjauan kembali maka perbuatan kurator tetap dianggap sah dan
mengikat debitor. Kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa sejak
putusan pernyataan pailit diucapkan kurator telah berwenang untuk
menjalankan tugasnya terhadap harta pailit bahkan apabila diajukan
upaya hukum lain.

Kewenangan kurator tersebut semakin didukung dengan


adanya Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) yaitu debitor kehilangan haknya
terhadap harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Tanggal putusan tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat
sehingga kurator dapat langsung melaksanakan tugasnya agar tidak

cxv
terjadi kekosongan hukum karena sejak pukul 00.00 waktu setempat
debitor pailit sudah tidak berhak lagi terhadap harta pailit. Pelaksanaan
putusan pailit secara serta merta ini juga bertujuan untuk mencegah
adanya itikad buruk dari debitor pailit untuk mengalihkan harta pailit
kepada pihak lain agar ketika kurator melakukan pemberesan sudah
tidak ada lagi harta yang tersisa sehingga hak-hak kreditor tidak dapat
terpenuhi.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya hal tersebut sulit


dilaksanakan karena kurator tidak memiliki bukti kewenangannya
untuk bertugas atau legalitas. Hal ini disebabkan dalam Pasal 9
Undang-undang No.37 Tahun 2004, kurator baru mendapatkan salinan
putusan pernyataan pailit paling lambat setelah 3 hari sejak tanggal
putusan pailit diucapkan, padahal kurator harus segera memulai
melaksanakan tugas dan kewenangannya setelah pengangkatan,
apalagi keharusan untuk bertindak cepat sebagai upaya pengamanan
terhadap harta pailit, misalnya: dengan menyimpan semua surat,
dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya seperti
yang tercantum dalam Pasal 98 Undang-undang No.37 Tahun 2004.
Jangka waktu 3 hari tersebut dimungkinkan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan pada harta pailit yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak beritikad baik. Resikonya adalah pertanggungjawaban pribadi
kurator apabila terjadi kerugian ataupun kehilangan harta pailit pada
masa pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Ketidakpastian dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004


tersebut diperburuk lagi dengan fakta dalam praktik bahwa tidak jarang
putusan pailit baru diterima oleh kurator dalam jangka waktu lebih dari
3 hari, khususnya putusan-putusan pailit pada tingkat kasasi dan
peninjauan kembali di mahkamah agung. Dapat dibayangkan
bagaimana akibat dari keterlambatan diterimanya putusan pailit oleh
seorang kurator terhadap keselamatan harta pailit. Keharusan untuk

cxvi
memberitahukan putusan pailit kepada kurator segera pada saat
putusan pailit diucapkan bukanlah suatu hal yang mustahil, karena di
Belanda, negara asal referensi pelaksanaan prinsip ‘zero hour
principle’ tersebut selalu memastikan seorang kurator yang diangkat
mengetahui perihal pengangkatannya sebagai kurator pada hari yang
sama saat putusan pailit tersebut diucapkan (Ricardo Simanjuntak,
2009:39).

Pelaksanaan inventarisasi dan verifikasi harta pailit merupakan


langkah awal yang sangat menentukan dalam proses kepailitan dan
karenanya putusan majelis hakim pengadilan niaga mengenai
pengangkatan kurator agar disampaikan kepada kurator yang ditunjuk
pada hari yang sama dengan tanggal putusan. Hal ini juga untuk
menghindari adanya kemungkinan penolakan dari kurator dan untuk
mengatasi kemungkinan keterlambatan penyampaian putusan dapat
ditempuh jalan dengan mengundang calon kurator pada hari
pembacaan putusan pailit (Marjan E. Pane, 2004:283).

2. Pengaturan jangka waktu pencatatan harta pailit adalah pasal yang


ilusif untuk dilaksanakan

Perkara PT. Adam Air yang diputus pailit pada 9 Juni 2008
hingga tanggal 30 Juni 2008 kurator belum mampu untuk
menyelesaikan pencatatan harta pailit. Kurator perkara pailit PT Adam
Air Sky Connection mengaku kesulitan melacak aset Adam Air.
Padahal aset yang ada tidak cukup untuk menutup kewajiban
perusahaan 2008 itu. Hingga tanggal 30 Juni 2008 kurator belum
mendapatkan laporan keuangan perusahaan 2006-2007, nama kreditor
dan biaya perusahaan yang belum dibayarkan, dan beberapa sertifikat
tanah dan bangunan. Kurator juga belum melihat AD/ART perusahaan,
berita acara kerja sama PT Adam Air Sky Connection dengan PT

cxvii
Global Transport Service, serta dokumen perjanjian lainnya
(http://www.detikfinance.com, Surakarta,12 Mei 2009 pukul 19.35
WIB).

Pada tanggal 16 Februari 2009 kurator PT. Adam Air


mengumumkan daftar piutang sementara. Dari hasil verifikasi,
pegawai PT. Adam Air yang tergabung dalam Forum Serikat Pekerja
Adam Air (Forsikad) ditetapkan sebagai kreditor istimewa (preferen)
dengan piutang sebesar Rp104,5 miliar. Pegawai PT. Adam Air di
Surabaya yang tergabung dalam Serikat Buruh Anak Bangsa juga
terdaftar sebagai kreditor istimewa. Jumlah tagihan 143 pegawai itu
mencapai 706,786 juta. Akan tetapi notaris memberi catatan bahwa
pembayaran gaji dan pesangon 80 pegawai—dari 143 pegawai—yang
juga anggota Serikat Buruh Anak Bangsa, akan diselesaikan secara
internal dengan Forsikad. Alasannya, nama ke-80 pegawai itu
tergabung dalam putusan pemecatan Pengadilan Hubungan Indistrial
terhadap anggota Forsikad. Selain itu, sekitar 40 kreditor ditetapkan
sebagai kreditor konkuren. Salah satunya adalah pemohon pailit CV
CICI dengan tagihan Rp. 89,375 juta. Kreditor konkuren lain terdiri
dari perusahaan yang bekerja sama dengan PT. Adam Air, antara lain
PT Angkasa Pura I dengan tagihan Rp. 2,5 miliar, PT Pertamina Rp.
29,527 miliar, PT Garuda Maintenance Fasilities Aeroasia Rp. 33,4
miliar dan Angkasa Pura II sebesar Rp. 6,6 miliar. Sementara, tagihan
kreditor separatis ditaksir sebesar Rp. 11,2 miliar. Dari hasil verifikasi
tersebut terdapat 16 Kreditor yang tagihannya ditolak
(http://www.hukumonline.com, Surakarta, 1 Mei 2009 pukul 15.15
WIB).

Perkara pailit PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI), proses


pemberesan dan pencarian aset yang dilakukan oleh tim kuratornya
telah berlangsung hampir satu tahun yaitu dari tahun 2007 hingga
2008. Leo Patar Sinaga (salah seorang pemilik PT. Sarana Perdana

cxviii
Indoglobal (PT. SPI)) sebagai orang yang masih dalam pengejaran
polisi tidak kunjung tertangkap. Padahal kunci sebagian besar
penelusuran aset pailit PT. SPI sangat tergantung dari keterangan Leo
Patar Sinaga. Sementara 3 (tiga) orang direktur dan satu (1) orang
managernya telah divonis dan dijatuhi hukuman, dan telah berada di
Lembaga Pemasyarakatan (http://id.denylawfirm.com, Surakarta,7 Mei
2009 pukul 20.20 WIB).

Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004 menyatakan


bahwa kurator harus membuat pencatatan harta pailit dalam jangka
waktu 2 hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai
kurator telah memberikan kontribusi dalam ketidakpastian hukum
karena ketentuan dalam pasal ini hampir tidak mungkin dilakukan.
Terutama apabila debitor pailit merupakan Perseroan Terbatas (PT)
yang memiliki cabang banyak bahkan tersebar ke seluruh Indonesia
bahkan dapat dimungkinkan harta pailit merupakan aset-aset yang
tersebar hingga ke luar negeri (Ricardo Simanjuntak, 2009:41).

Terhadap harta pailit tersebut kurator harus melakukan


pencatatan tidak saja berdasarkan laporan dokumen akan tetapi
meliputi juga tinjauan fisik dari setiap harta pailit tersebut sehingga
apabila suatu perusahaan pailit mempunyai cabang di berbagai wilayah
baik di Indonesia maupun di luar negeri maka kurator harus melakukan
pengecekan terhadap harta pailit tersebut. Ditambah lagi jika terdapat
aset-aset di luar negeri yang harus ditelusuri juga oleh kurator. Proses
yang digunakan untuk melakukan pelacakan harta pailit di luar negeri
memerlukan waktu yang tidak singkat karena tentunya banyak
permasalahan prosedural antar negara yang harus diselesaikan oleh
kurator.

Ketentuan mengenai jangka waktu pencatatan harta pailit


tentunya tidak dapat dilaksanakan secara cepat dan mudah seperti

cxix
dalam Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Hal tersebut
disebabkan karena tingkat kerumitan setiap perkara pailit berbeda-
beda. Kerumitan tersebut dapat meliputi kedudukan cabang perusahaan
debitor pailit yang berada di berbagai wilayah dan aset-aset perusahaan
yang juga tersebar di berbagai wilayah baik di wilayah Indonesia
ataupun di luar negeri sehingga kehadiran Pasal 100 ini tidak dapat
efektif untuk dijalankan dan dapat menimbulkan kerentaan terhadap
kedudukan kurator. Setiap kreditor dapat menuntut kepada kurator agar
diselesaikannya pencatatan harta pailit sesuai jangka waktu dalam
Undang-undang No.37 Tahun 2004 padahal dalam kenyataannya
pencatatan tersebut membutuhkan waktu yang panjang. Tuntutan dari
kreditor tersebut dapat berpengaruh pada kredibilitas dan reputasi
kurator karena dianggap tidak sanggup melaksanakan tugasnya sesuai
undang-undang.

3. Putusan pailit pengadilan niaga Indonesia tidak dapat dieksekusi


terhadap harta pailit yang ada luar negeri

Kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.37


Tahun 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini. Undang-undang No.37 Tahun 2004 menganut prinsip
universalitas dimana konsekuensi dilakukannya sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit tentunya meliputi seluruh harta pailit baik yang
ada di wilayah Indonesia maupun yang berada di luar negeri.

Prinsip universalitas tersebut yang kemudian dapat menjadi


salah satu hambatan dalam pelaksanaan tugas kurator. Kurator
mengalami kesulitan melakukan pengurusan dan pemberesan harta
pailit yang berada di luar negeri karena prinsip universalitas yang

cxx
dianut Undang-undang No.37 Tahun 2004 dalam sita umum harta
pailit dihadang oleh prinsip regionalitas yang dianut oleh negara-
negara berdaulat, yang membuat putusan pengadilan niaga Indonesia
tidak dapat dieksekusi di luar negeri dimana aset debitor pailit berada.
Dapat dikatakan pailitnya suatu PT di Indonesia belum tentu pailit di
mata hukum asing. Prinsip tersebut sebenarnya juga berlaku di
Indonesia, dimana Indonesia tidak mengenal keberlakuan putusan
pailit dari pengadilan asing (foreign judgment) (Ricardo Simanjuntak,
2009:43).

Pendapat Hikmahanto Juwana sebagaimana dikutip oleh Sutan


Remy Sjahdeini dapat dibenarkan bahwa dalam hukum kepailitan di
Indonesia dapat ditafsirkan bahwa pengadilan niaga tidak akan
mengeksekusi putusan pailit negara asing karena terkait erat dengan
konsep kedaulatan negara. Dengan landasan Pasal 299 Undang-undang
No.37 Tahun 2004 yang esensinya memberlakukan hukum acara
perdata (HIR) pada pengadilan niaga, sementara itu dalam hukum
acara perdata yang berlaku di Indonesia yaitu Pasal 436 Rv secara
tegas menentukan, putusan pengadilan asing tidak dapat diakui dan
tidak dapat dieksekusi oleh putusan pengadilan Indonesia (Hikmahanto
Juwana dalam Sutan Remy Sjahdeini, 2009:446).

Untuk mengatasi kebuntuan dalam permasalahan eksekusi


kepailitan ini, United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL) telah menyususn model law mengenai cross border
insolvency yang disebut UNCITRAL Model Law on Cross-Border
Insolvency With Guide to Enacment yang disetujui tahun 1997. Tujuan
dari model law tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan
Bagian II Model Law, adalah agar negara-negara dapat melengkapi
hukum kepailitannya secara modern, terharmonisasi (harmonized) dan
adil dalam mengantisipasi kasus-kasus lintas batas (Sutan Remy
Sjahdeini, 2009:446).

cxxi
Penerbitan model law tentang Cross Border Insolvency
diharapkan diharapkan oleh PBB dapat mewarnai pemahaman dan
proses berpikir para pembacanya sehingga dapat mempengaruhi
keseragaman pembangunan prisip-prinsip hukum kepailitan di masing-
masing negara. UNCITRAL Model Law belum secara resmi dibuat
menjadi proyek penelitian di masing-masing negara termasuk
Indonesia (Ricardo Simanjuntak, 2008:61).

Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang mengatur mengenai


ketentuan-ketentuan internasional hanya terdapat dalam Bagian
Kesepuluh yang hanya terdiri atas 3 pasal yaitu Pasal 212 sampai Pasal
214. Akan tetapi dari 3 pasal tersebut tidak ada satupun pasal yang
menyebutkan mengenai keweangan yang diberikan kepada kurator
untuk menjalankan tugasnya berkaitan dengan pengurusan dan
pemberesan harta pailit di luar negeri. Tidak adanya traktat dalam hal
kepailitan antara negara Indonesia dengan negara lain dimana harta
pailit berada juga akan semakin mempersulit kurator dalam
menjalankan tugasnya.

4. Tidak diaturnya mengenai tanggung jawab kurator terdahulu berkaitan


dengan tugasnya dalam hal terjadi pergantian kurator

Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun


2004 pengadilan dapat setiap waktu mengabulkan usul penggantian
kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator, dan mengangkat
kurator lain dan/atau mengangkat kurator tambahan atas:
a. permohonan kurator sendiri;
b. permohonan kurator lainnya, jika ada;
c. usul hakim pengawas;atau
d. permintaan debitor pailit.

Berdasarkan Pasal 71 ayat (2) Undang-undang No.37 Tahun


2004 Pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat kurator atas

cxxii
permohonan atau atas usul kreditor konkuren berdasarkan putusan
rapat kreditor yang diselenggarakan dengan persyaratan putusan
tersebut diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (satu perdua)
jumlah kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat dan
yang mewakili lebih dari ½ (satu perdua) jumlah piutang kreditor
konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun Undang-undang


Nomor 37 Tahun 2004 sama-sama tidak mengatur mengenai tanggung
jawab kurator terdahulu apabila diadakan penggantian kurator. Pasal
71 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak
mengatur mengenai tata cara pengunduran diri kurator serta tidak
diatur pula kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kurator
yang mengundurkan diri berkaitan dengan tugas yang telah
dilaksanakannya terhadap harta pailit. Kewajban kurator terdahulu
terhadap kurator lama baru terdapat pada ketentuan Standar Profesi
Kurator dan Pengurus yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kurator dan
Pengurus Indonesia (AKPI) yaitu salah satu organisasi resmi Kurator
dan Pengurus yang diakui di Indonesia. Ketentuan pada Standar
Profesi kurator dan pengurus tersebut jika akan mengundurkan diri
maka kurator menyatakan pengunduran diri secara tertulis kepada
pengadilan, dengan tembusan kepada hakim pengawas, panitia kreditor
atau kurator lainnya jika ada. Kurator terdahulu wajib:
a. menyerahkan seluruh berkas-berkas dan dokumen, termasuk
laporan-laporan dan kertas kerja kurator yang berhubungan dengan
penugasan kepada kurator pengganti dalam jangka waktu 2x24
jam.
b. Memberikan keterangan selengkapnya sehubungan dengan
penugasan tersebut khususnya mengenai hal-hal yang bersifat
material serta diperkirakan dapat memberikan landasan bagi
kurator pengganti untuk memahami penugasan selanjutnya.

cxxiii
c. Kurator terdahulu wajib membuat laporan pertanggungjawaban
atas penugasannya dan menyerahkan salinan laporan tersebut
kepada kurator pengganti.

Standar Profesi Kurator dan Pengurus yang dikeluarkan oleh


Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) tentunya bukan suatu
peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum
untuk menjatuhkan sanksi pidana ataupun denda kepada pelanggarnya
sehingga ketentuan yang ada pada Standar Profesi Kurator dan
Pengurus tersebut kedudukannya tidak dapat disejajarkan dengan
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang
dalam hal ini adalah Undang-undang No.37 Tahun 2004 harus
memberikan pengaturan yang jelas mengenai penggantian Kurator ini
agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan sehingga kepastian
hukum dapat terwujud.

5. Adanya kekosongan hukum terhadap kurator yang sudah tidak


terdaftar dalam organisasi profesi yang resmi ketika tengah menangani
perkara kepailitan

Persyaratan kurator berdasarkan Pasal 70 ayat (2) Undang-


undang No.37 Tahun 2004 tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum. Hal ini dikarenakan Pasal 70 ayat (2) dapat menimbulkan
pertanyaan yakni bagaimanakah aturan hukumnya bila seorang kurator
telah keluar dari keanggotaan oganisasi profesi yang resmi ketika ia
sedang menangani suatu perkara kepailitan. Apakah kemudian secara
otomatis kurator tersebut harus menghentikan segala kegiatannya
sebagai kurator dan apakah Kurator juga langsung dicoret dari daftar
kurator yang ada di kementerian terkait.

Pada Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.08.10.05.10


Tahun 1998 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pendaftaran Kurator
dan Pengurus yang merupakan salah satu peraturan pelaksana dari

cxxiv
Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 juga tidak diatur mengenai
penyelesaian perselisihan status hukum kurator ini. Maka setelah
lahirnya Undang-undang Nomor 37 tahun 2004, Peraturan Menteri
Kehakiman Nomor M.08.10.05.10 Tahun 1998 kemudian juga
disempurnakan dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005
Tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus. Akan tetapi Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.01-HT.05.10 Tahun 2005 juga tidak memberikan aturan yang tegas
mengenai perubahan status kurator yang sudah tidak terdaftar dalam
keanggotaan oganisasi profesi yang resmi. Pasal 17 ayat (2) Peraturan
Menteri Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 tertulis bahwa kurator dan
pengurus yang telah dikeluarkan dari suatu organisasi profesi, tidak
menghilangkan haknya sebagai kurator dan pengurus untuk menangani
perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) tersebut dapat diartikan bahwa seorang
kurator tidak kehilangan haknya untuk menangani suatu perkara
kepailitan walaupun dirinya tidak terdaftar lagi dalam keanggotaan
organisasi profesi yang resmi sedangkan dalam Pasal 18 Peraturan
Menteri Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 dinyatakan bahwa kurator
yang berhenti atau diberhentikan yang salah satu alasannya adalah
tidak terdaftar lagi sebagai anggota dari organisasi profesi yang resmi
maka dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal pemberhentian,
mencoret kurator dalam buku register pendaftaran kurator dan
pengurus. Benturan antara Pasal 17 ayat (2) dengan Pasal 18 ini dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum karena pada Pasal 17 ayat (2)
dinyatakan bahwa kurator tidak kehilangan haknya, sementara menurut
Pasal 18 hak-hak kurator akan berakhir dalam jangka waktu 30 hari
dengan dicoretnya nama kurator dalam buku register pendaftaran
kurator dan pengurus. Ditambah lagi Peraturan Menteri ini tidak
menjelaskan alasan pemberian jangka waktu 30 hari sebelum

cxxv
pencoretan nama kurator, karena adanya jangka waktu tersebut
memberikan ketidakpastian hukum terhadap status hukum kurator.

6. Tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai tanggung jawab kurator


secara pribadi dan profesi

Tanggung jawab yang dimiliki oleh kurator dapat timbul kesan


bahwa kurator menggantikan kedudukan direksi/komisaris, termasuk
pemenuhan kewajiban perusahaan sebagai suatu badan usaha/badan
hukum. Perlu diingat bahwa kurator tidak menggantikan kedudukan
direksi/komisaris sehubungan dengan pengurusan harta kekayaan
perusahaan pailit. kurator hanya bertanggung jawab atas pengurusan
dan pemberesan kekayaan perusahaan. Kewajiban dan tanggung jawab
sebagai pengurus perusahaan, di luar pengurusan kekayaan perusahaan
tetap berada di tangan direksi dan komisaris (Amir Abadi Jusuf,
2004:252).

Para kreditor PT. Adam Air mengajukan permohonan


penggantian kurator, permohonan tersebut diusulkan oleh pemohon
pailit Luvida, pemilik CV CICI, mantan karyawan PT Adam Air, dan
kuasa hukum 1.073 travel agen yang tergabung dalam Asosiasi
Perusahaan Perjalanan Indonesia DKI Jakarta (ASITA) serta Asosiasi
Perusahaan Agen Penjualan Tiket Penerbangan Indonesia
(ASTINDO). Permintaan penggantian kurator ditengarai lambannya
kurator dalam memverifikasi jumlah aset dan tagihan kreditor. Enam
bulan pasca-putusan pailit PT. Adam Air, hasil dari verifikasi kurator
masih nihil. Kurator tidak memberikan laporan berkala boedel pailit
dan mengklasifikasian kreditor sejak 9 Juni 2008. Bahkan Gunawan
(Kurator) diduga mendepositokan harta pailit atas nama pribadi
Gunawan ke Bank Mandiri sebesar Rp5 miliar. Gunawan juga diduga
mentransfer harta pailit sebesar Rp75 juta ke rekening istrinya. Selain
jalur pidana, para pemohon penggantian kurator juga akan mengajukan

cxxvi
gugatan sita aset kurator (http://www.hukumonline.com, Surakarta,2
Mei 2009 pukul 14.50 WIB).

Undang-undang No.37 Tahun 2004 hanya mengaturan


mengenai tanggung jawab kurator pada Pasal 72 dan Pasal 78 ayat (2)
yang menyatakan bahwa kurator bertanggung jawab atas
kesalahannya atau kelalaiannya dalam menjalankan tugas yang
menyebabkan kerugian harta pailit dan terhadap perbuatan-perbuatan
yang memerlukan persetujuan hakim pengawas namun dilaksanakan
tanpa adanya persetujuan hakim pengawas, kurator sendiri
bertanggung jawab terhadap debitor pailit dan kreditor. Kewenangan
luas yang diberikan oleh Undang-undang No.37 Tahun 2004 kepada
kurator tentunya menjadi beban tersendiri. Kurator harus berhati-hati
dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya karena para pihak
yang merasa dirugikan oleh tindakan kurator dalam melaksanakan
tugasnya dapat mengajukan tuntutan atas kerugian yang dialaminya
kepada kurator. Imran Nating mengutip pendapat Jerry Hoff mengenai
bentuk-bentuk pertanggungjawaban ke dalam dua bentuk yaitu
kapasitas profesi sebagai kurator dan pribadi yang telah dipaparkan
dalam halaman 43. Menurut Tutik Sri Suharti sebagaimana dikutip
oleh Imran Nating, menyatakan bahwa pembebanan tanggung jawab
atas kerugian harta pailit kepada kurator akan membuat kurator
menjadi tidak kreatif dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam
upaya meningkatkan nilai harta pailit (Tutik Sri Suharti dalam Imran
Nating, 2004:118).

cxxvii
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini mengkaji tiga masalah pokok, yaitu kewenangan yang


diberikan kepada kurator untuk menjalankan tugas secara efektif dan efisien
oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tugas kurator setelah adanya
putusan pailit dari pengadilan niaga, dan kendala-kendala yuridis yang
dihadapi oleh kurator dalam mengurus harta pailit.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap tiga masalah


pokok diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk menjalankan tugas


secara efektif dan efisien oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
meliputi:

a. Kurator berwenang menjalankan tugasnya sejak tanggal putusan


pailit diucapkan.
b. Kurator dapat mengambil alih perkara dan meminta Pengadilan
untuk membatalkan segala perbuatan hukum debitor pailit.
c. Kurator berwenang untuk melakukan pinjaman pada pihak ketiga.
d. Tindakan Kurator tetap sah walaupun tanpa adanya izin dari hakim
pengawas.
e. Kurator berwenang untuk mengamankan harta pailit.
f. Kurator berwenang menerobos hak privasi debitor pailit.
g. Kurator berwenang menjual harta pailit.

117

cxxviii
2. Tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari pengadilan niaga,
meliputi:

a. Mengamankan harta pailit.


b. Menyelesaikan perikatan-perikatan yang dibuat oleh debitor pailit.
c. Melakukan pencatatan harta pailit dan mengadakan rapat
pencocokan piutang.
d. Memberikan pertanggungjawaban apabila terjadi perdamaian.
e. Melakukan pengurusan harta pailit.
f. Melakukan pemberesan harta pailit.

3. Kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator dalam mengurus


harta pailit, yaitu:

a. Benturan antara Pasal 9 dan Pasal 16 Undang-undang No.37 Tahun


2004 sehingga timbul ketidakjelasan kapan kurator mulai berwenang
melaksanakan tugasnya.
b. Pengaturan jangka waktu pencatatan harta pailit adalah pasal yang
ilusif untuk dilaksanakan.
c. Putusan pailit pengadilan niaga Indonesia tidak dapat dieksekusi
terhadap harta pailit yang ada luar negeri.
d. Tidak diaturnya mengenai tanggung jawab kurator terdahulu
berkaitan dengan tugasnya dalam hal terjadi pergantian kurator.
e. Adanya kekosongan hukum terhadap kurator yang sudah tidak
terdaftar dalam organisasi profesi yang resmi ketika tengah
menangani perkara kepailitan.
f. Tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai tanggung jawab
kurator secara pribadi dan profesi.

B. Saran

1. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang seharusnya memberikan

cxxix
pengaturan yang ketat dalam pemberian sertifikat kurator sehingga
kurator tidak hanya ahli untuk menangani perkara-perkara hukum dalam
kepailitan tetapi juga ahli dalam mengurus perusahaan dan aset-asetnya
yang merupakan harta pailit.
2. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang seharusnya memberikan
beban tanggung jawab kepada hakim pengawas agar dapat membantu
kurator dalam menyelesaikan perkara kepailitan yang sedang ditangani.
3. Untuk mengatasi kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator
dalam menjalankan tugasnya seharusnya Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang memberikan pengaturan yang tegas, dalam hal sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 seharusnya memberikan


penetapan agar kurator mendapatkan salinan putusan pengadilan
pada tanggal yang sama dengan tanggal putusan dibacakan sehingga
kurator dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal
16 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Terpenuhinya
ketentuan yang mendukung dilaksanakannya kewenangan kurator
pada Pasal 16 ayat (1) dapat meminimalisir adanya itikad buruk dari
debitor untuk mengalihkan harta pailit agar kreditor tidak terpenuhi
hak-haknya.
b. Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang mengharuskan kurator
membuat pencatatan harta pailit dalam jangka waktu 2 hari setelah
mendapatkan surat putusan pengangkatannya sebagai kurator
merupakan pasal yang ilusif untuk dilaksanakan. Seharusnya
Undang-undang No.37 Tahun 2004 memberikan kesempatan kepada
kurator untuk mengajukan permohonan kepada hakim pengawas
mengenai lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
pencatatan harta pailit sehingga lamanya waktu yang dibutuhkan
oleh kurator tersebut sesuai dengan tingkat kerumitan perkara

cxxx
kepailitan yang sedang ditangani. Dengan adanya permohonan
jangka waktu tersebut hakim pengawas dapat memberikan penetapan
jangka waktu pencatatan harta pailit yang bisa dijadikan legalitas
bagi kurator untuk menjalankan tugasnya tersebut.
c. Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak memberikan pengaturan
terhadap eksekusi harta pailit yang berada di luar negeri. Padahal
untuk melakukan eksekusi putusan pailit terhadap harta pailit di luar
negeri harus melalui birokrasi yang rumit apalagi jika Indonesia
belum mempunyai suatu perjanjian bilateral atau multilateral dengan
negara yang dituju. Kadangkala putusan pailit di Indonesia terhalang
oleh prinsip regionalitas negara lain sehingga tidak dapat
dilaksanakan di negara tersebut. Seharusnya Undang-undang No.37
Tahun 2004 memberikan pengaturan agar debitor pailit memberikan
surat kuasa (power of attorney) pada kurator untuk mengambil alih
aset perusahannya yang berada di luar negeri sehingga kurator dapat
menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien tanpa terhalang
prinsip regionalitas negara lain.
d. Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak mengatur tentang
kewajiban kurator lama berkaitan dengan tugasnya terhadap kurator
baru dalam hal terjadi penggantian kurator dalam suatu perkara
pailit. Seharusnya Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengatur
mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan kurator lama kepada
kurator baru agar kurator baru tidak menjalankan tugasnya dari nol
lagi atau dengan kata lain kurator baru hanya meneruskan tugas dari
kurator lama sehingga perkara pailit dapat cepat diselesaikan.
e. Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak mengatur apabila terjadi
kekosongan hukum dimana kurator sudah tidak terdaftar dalam
organisasi profesi yang resmi padahal tengah menangani suatu
perkara pailit. Seharusnya Undang-undang No.37 Tahun 2004
mengatur mengenai masa transisi keanggotaan kurator ini sehingga
kurator yang sudah tidak terdaftar dalam organisasi profesi yang

cxxxi
resmi dapat segera digantikan oleh kurator lain yang masih
memenuhi syarat sebagai kurator.
f. Tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai tanggung jawab
kurator dapat menghambat kreatifitas kurator dalam menjalankan
tugasnya. Oleh karena jika kurator salah mengambil keputusan dan
menimbulkan kerugian bagi harta pailit maka kuratorlah yang harus
bertanggung jawab untuk mengganti harta pailit tersebut. Seharusnya
Undang-undang No.37 Tahun 2004 memberikan pembatasan yang
jelas mengenai tanggung jawab kurator sehingga kurator tidak
diliputi perasaan takut apabila melakukan kesalahan dan dapat
bertanggung jawab sesuai kapasitasnya terhadap harta pailit.

cxxxii
Daftar Pustaka

Buku
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri Hukum Bisnis Kepailitan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Amir Abadi Jusuf. 2004. Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Perusahaan
Pailit. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian
Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan
Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 251-256). Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum

Bahdin Nur Tanjung dan Ardial. 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Proposal, Skripsi, dan Tesis) dan Mempersiapkan Diri Menjadi
Penulis Artikel Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

Bambang Setijoprodjo. 2001. Segi-segi Hukum Kepailitan dan Likuidasi


Ditinjau Dari Perspektif Bank. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.),
Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan
Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 433-453). Bandung: Alumni

Bernadette Waluyo. 1999. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang. Bandung: CV. Mandar Maju

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka

Elijana. 2004. Inventarisasi dan Verifikasi Dalam Rangka Pemberesan dan


Boedel Pailit. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian
Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan
Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 273-278). Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum

Fred BG. Tumbuan. 2001. Pokok-pokok UU Tentang Kepailitan Sebagaimana


Diubah oleh Perpu No.1/1998. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.),
Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan
Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 125-136). Bandung: Alumni

. 2004. Mencermati Makna Debitor, Kreditor, dan Utang Berkaitan


Dengan Kepailitan. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding

122

cxxxiii
Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan
Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 17-22). Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum

. 2004. Pembagian Kewenangan Antara Kurator Dan Organ-Organ


Perseroan Terbatas. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding
Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan
Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 245-250). Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum

H.B. Sutopo. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press

I Nyoman Tjager. 2001. Pasar Modal Indonesia dan Wewenang BAPEPAM


Dalam Kepailitan. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian
Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang. (hlm. 567-592). Bandung: Alumni

Imran Nating. 2004. Peranan dan Tanggung jawab Kurator Dalam


Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada

Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif.


Malang: Bayumedia Publishing

Kartini Muljadi. 2001. Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum


Kepailitan. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-
piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran
Utang. (hlm. 75-97). Bandung: Alumni

Lexi J Maleong. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya

Marjan E. Pane. 2004. Inventarisasi Dan Verifikasi Dalam Rangka


Pemberesan Harta Pailit Dalam Pelaksanaannya. Dalam Emmy
Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-
masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 279-
288). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Munir Fuady. 1999. Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori dan Praktek). Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti

cxxxiv
Parwoto Wignjosumarto. 2001. Tugas dan Wewenang Hakim
Pemeriksa/Pemutus Perkara, Hakim Pengawas dan
Kurator/Pengurus. Jakarta: PT. Tatanusa

Paulus E. Lotulung. 2001. Pencocokan Piutang. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk


(Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan
Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 389-396). Bandung: Alumni

. 2001. Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit dan Presedurnya.


Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang
Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm.
157-161). Bandung: Alumni

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Retnowulan Sutantio. 2001. Tanggung Jawab Pengurus Perusahaan Debitor


Dlam Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ricardo Simanjuntak. 2004. Esensi Pembuktian Sederhana Dalam Kepailitan.


Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya
Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis
Lainnya (hlm. 52-67). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Robinson Simbolon. 2004. Kewenangan Eksklusif Bapepam Dalam


Kepailitan. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian
Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan
Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 96-105). Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum

Sentosa Sembiring. 2006. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-


undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan. Bandung: CV. Nuansa
Aulia

Setiawan. 2001. Ordonansi Kepailitan Serta Aplikasinya Kini. Dalam Rudhy


A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 113-124).
Bandung: Alumni

. 2004. Beberapa Catatan Tentang Pengertian Jatuh Tempo Dalam


Masalah Kepailitan. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding
Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan

cxxxv
Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 122-125). Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press

Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami


Faillissementsverordening Juncto Undang-undang Nomor 4 Tahun
1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

. 2009. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang Nomor 37


Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Suhandjono. 2001. Fungsi Kejaksaan Dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha
Negara serta Pengertian Kepentingan Umum dalam Kepailitan. Dalam
Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui
Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 595-
607). Bandung: Alumni

Thomas Suyatno. 2001. Bank Indonesia, Bank Tidak Sehat, BPPN dan
Masalah Kepailitan. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian
Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang. (hlm. 454-468). Bandung: Alumni

Timur Sukirno. 2001. Tanggung Jawab Kurator terhadap Harta Pailit dan
Penerapan Actio Pauliana. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.),
Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan
Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 369-378). Bandung: Alumni

Usman Rangkuti. 2001. Tugas-tugas BHP Dalam Pemberesan Kepailitan Serta


Hambatan Dalam Praktik Dikaitkan Dengan Perpu No. 1 Tahun 1998.
Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang
Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm.
75-97). Bandung: Alumni

Viktor M. Situmorang dan Hendri Soekarso. 1993. Pengantar Hukum


Kepailitan. Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta

Zainal Asikin. 2001. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di


Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

cxxxvi
Undang-undang
Kitab Undang-undang Hukum Dagang

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk WetBoek)

Peraturan Pemeritah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998


Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan

Peraturan Kepailitan (Staatsblad 1906 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906


Nomor 348)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan


Pemeritah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-
undang

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Tentang


Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia


Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 Tentang Pendaftaran Kurator dan
Pengurus

Jurnal
Leonard J. Theberge. 1980. Law and Economic Development. Journal of
International Law and Policy, Vol. 9, 232

Ricardo Simanjuntak. 2008. Ketentuan Hukum Internasional dari UU No.4


Tahun 1998 (Cross Border Bankruptcy). Jurnal Hukum Bisnis, Vol.
27, 57-63

. 2009. Efektivitas UU Kepailitan Dalam Perspektif Kurator Dikaitkan


Dengan Pemberesan Harta Pailit Perseroan Terbatas. Jurnal Hukum
Bisnis, Vol. 28, 37-45

cxxxvii
Robert J. Landry. 2006. An Empirical Analysis Of The Causes Of Consumer
Bankruptcy: Will Bankruptcy Reform Really Change Anything?.
Rutgers Business Law Journal, Vol. 3, 4

Internet
Adam Air Dinyatakan Pailit. 2008. http://www.hukumonline.com. diakses di
Surakarta,1 Mei 2009 pukul 15.00 WIB

Daftar Piutang Adam Air Ditetapkan. 2008. http://www.hukumonline.com.


diakses di Surakarta,1 Mei 2009 pukul 15.15 WIB

Elin Yunita Kristanti dan Eko Huda S. 2002. Kurator Adam Air Tak Mau
Diganti. http://us.nasional.vivanews.com. diakses di Surakarta, 10 Mei
2009 pukul 19.15 WIB

Kurator Adam Air Tolak Diganti. 2008. http://www.hukumonline.com.


diakses di Surakarta,2 Mei 2009 pukul 14.50 WIB

M. Husni Nanang. 2008. Aset Adam Air Sulit Ditelusuri.


http://www.inilah.com. diakses di Surakarta, 12 Mei pukul 19.00 WIB

Muhammad Halim. 2009. Sekilas Tentang Kepailitan (3). http://halim-


livinglaw.blogspot.com. diakses di Surakarta, 12 Juni 2009 pukul
14.45 WIB

Nograhany Widhi K. 2008. Kurator Kesulitan Lacak Aset Adam Air.


http://www.detikfinance.com. diakses di Surakarta,12 Mei 2009 pukul
19.35 WIB

PT Sarana Perdana Indoglobal (Dalam Pailit). http://id.denylawfirm.com.


diakses di Surakarta, 7 Mei 2009 pukul 20.20 WIB

Rusmin Effendy. 2009. Skandal Pailit Manulife dan Prudential.


http://m.infoanda.com. diakses di Surakarta, 11 Mei 2009 pukul 18.51
WIB

Lain-lain
Kode Etik Profesi Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia

Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus


Indonesia

cxxxviii

Anda mungkin juga menyukai