Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Valentine, berpikir dalam kajian psikologis secara tegas menelaah
proses dan pemeliharaan untuk suatu aktivitas yang berisi mengenai “bagaimana”
yang dihubungkan dengan gagasan-gagasan yang diarahkan untuk beberapa tujuan
yang diharapkan.1 Proses berpikir tidak terlepas dari kegiatan manusia, hasil yang
diperoleh dari proses berpikir dapat berupa ide maupun gagasan yang bisa bermanfaat
bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Matematika bukan hanya datang sebagai objek ilmu tentang suatu fenomena
tertentu, tetapi juga sebagai ilmu untuk fenomena-fenomena atau berbagai
permasalahan yang terjadi.2 Ketika ditemukan suatu pola matematika di dalam suatu
fenomena, pola tersebut bukan hanya sekedar sebagai karakteristik atau hal temuan
saja melainkan dapat sebagai alat untuk menyelesaikan masalah pada fenomena
lainnya. Kegiatan untuk menemukan suatu pola merupakan proses berpikir
matematis, dalam hal ini pembelajaran matematika memiliki peran yang sangat
penting dalam meningkatkan kemampuan berpikir
Proses berpikir erat kaitannya dengan ranah kognitif dimana dalam ranahnya
terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan intelektual dan proses berpikir. Pada
taksonomi Marzano sistem kognitif dibagi menjadi 4 level yaitu : level 1 Mengingat
kembali Pengetahuan (Knowladge Retrieval), level 2 Pemahaman (Comprehension),
level 3 Menganalisis (Analysis), level 4 Pemanfaatan Pengetahuan (Knowladge
Utilization).3

1
Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011),
cet. 1, h. 1.
2
Ariyadi Wijaya, Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran Matematika, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1, h.12.
3
Robert J. Marzano & John S. Kendall, “The New Taxonomy of Educational Objectives,
(New Delhi: Crowin Press, 2007), 2nd Edition, p. 65.
Pada dasarnya ada dua tingkatan berpikir manusia yaitu berpikir tingkat rendah
Low Order Thinking Skills dan berpikir tingkat tinggi High Order Thinking Skills.
Menurut World Economic Forum, terdapat 3 kemampuan utama untuk para pekerja
tahun 2030 yaitu higher cognitive, social and emotional, dan technological.4
Kemampuan higher cognitive dapat dikatakan juga kemampuan tingkat tinggi, karena
kebutuhan tersebut kemampuan tingkat tinggi perlu ditingkatkan agar para pekerja
dapat bersaing.
Di dunia Internasional, kemampuan HOTS ini berkembang sangat baik dan
banyak para peneliti melakukan riset untuk terus mengembangkan kemampuan
HOTS ini. Salah satu tokoh ialah Robert J. Marzano mengidentifikasi 13 kategori
level kemampuan High Order Thinking Skill (HOTS) yaitu: Comparing, Classifying,
Inductive Reasoning, Deductive Reasoning, Analyzing Errors, Constructing Support,
Analyzing Perspective, Abstracting, Decision Making, Investigation, Problem
Solving, Experimental Inquiry dan Invention.5 Kategori tersebut termasuk ke dalam
level 3 dan 4 pada sistem kognitif taksonomi Marzano.
Namun demikian, kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa
ternyata masih rendah. Hasil PISA (Programme for International Students
Assessment Program) tahun 2015 yang digagas oleh The Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD) melaporkan kemampuan matematika pelajar
Indonesia menduduki peringkat 65 dari 72 negara dengan skor rata-rata 386. 6 Jika
dibandingkan dengan skor rata-rata internasional yaitu 490, hasil tersebut cukup jauh
tertinggal.7

4
World Economic Forum, “The 3 key skill sets for the workers of 2030”,
https://www.weforum.org/agenda/2018/06/the-3-skill-sets-workers-need-to-develop-between-now-
and-2030/, diakses pada 26 Agustus 2019 pukul 22.34 WIB
5
Heong, Yee Mei, dkk, The Level of Marzano Higher Order Thinking Skills among
Technical Education Students, International Journal of Social Science and Humanity, 2011, Vol. 1,
No. 2, p. 121.
6
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Peringkat dan Capaian PISA
Indonesia Mengalami Peningkatan”, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/12/peringkat-dan-
capaian-pisa-indonesia-mengalami-peningkatan, diakses pada 9 April 2018 pukul 23.10 WIB
7
Ibid.
PISA memuat enam level kemampuan matematika. Pada level 4, 5, dan 6 berisi
tes yang indikatornya yang serupa dengan indikator kemampuan HOTS pada
taksonomi Marzano diantaranya memilih, membandingkan, dan mengevaluasi
strategi penyelesaian masalah yang tepat selain itu siswa dapat membuat konsep,
menggeneralisasi dan menggunakan informasi berdasarkan investigasi dan
pemodelan situasi masalah yang kompleks.8 Hasil tes PISA 2015, menunjukkan
bahwa hanya 10% dari siswa Indonesia yang dapat menjawab tes pada ketiga level
tersebut.9 Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa Indonesia masih tergolong rendah.
Selain itu, hasil Trends in International Mathematics and Sciences Study
(TIMSS) 2011 yang ditargerkan untuk kelas VIII, menunjukkan bahwa Indonesia
memperoleh peringkat 36 dari 48 negara. 10 Dari 5795 siswa kelas 8 yang mengikuti
TIMSS 2011, diperoleh rata-rata untuk prestasi Matematika Indonesia pada aspek
knowing, applying, dan reasoning berturut-turut adalah 394,3148; 401,4405;
400,8514 skor ini masih dibawah rata rata skor internasional.11 Kurangnya skor pada
aspek applying dan reasoning juga menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat
tinggi matematika siswa Indonesia masih rendah.
Rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika juga dapat dilihat
pada hasil perolehan Ujian Nasional (UN) empat tahun terakhir pada tingkat sekolah
menengah pertama (SMP). Soal UN Matematika SMP sendiri memiliki level kognitif
mencakup pengetahuan dan pemahaman, aplikasi, penalaran. 12 Pada level kognitif
soal UN Matematika SMP memiliki kesamaan indikator dengan kategori level
8
OECD, “PISA 2015 Results: Excellence and Equity in Education”, p.191, www.oecd-
ilibrary.org/education/pisa-2015-results-volume-i/student-proficiency-in-
16mathematics_9789264266490-graph68-en, diakses pada 9 April 2019 pukul 22.51 WIB
9
Kadir, “Meta-analysis Of The Effect Of Learning Intervention Toward Mathematical
Thinking On Research and Publication Of Students”, (Jakarta: Tarbiya, Journal Of Education In
Muslim Society, Vol. 4, No.2, Desember 2017), h.164.
10
Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan KEMDIKBUD, “Final
Report Determinants Of Learning Outcomes- TIMSS 2011”, 2012, h. 34-36.
11
Ibid.
12
https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id/soal_rilis/67627_Rilis%20SMP-Final
%202018.pdf,
kemampuan Higher Order Thinking pada taksonomi Marzano diantaranya yaitu
membandingkan, menganalisis, dan menyimpulkan.13 Hasil UN dapat dilihat pada
Tabel 1.1 berikut ini:14
Tabel 1.1 Nilai Rata-rata UN Matematika SMP di Indonesia
Tahun Rata-rata Nilai Kategori

2015/2016 49.84 Kurang

2016/2017 50.34 Kurang

2017/2018 44.05 Kurang

2018/2019 46.56 Kurang

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun nilai UN
Matematika SMP kurang memuaskan. Pada tahun 2017 nilai rata-rata UN
Matematika mencapai 50.34 dengan kategori kurang. Sedangkan, pada tahun 2018
nilai rata-rata UN Matematika menjadi 44.05 mengalami penurunan 6.29 dari tahun
sebelumnya dengan kategori yang sama yaitu kurang. Lalu pada tahun 2019 nilai
rata-rata UN mengalami kenaikan dari sebelumnya yaitu sebesar 2.51 namun dengan
kategori tetap sama yaitu kurang, padahal kriteria yang di tetapkan sebesar 55.00.
Kategori ditetapkap “kurang” karena hasil rata-ratanya masih sangat rendah dari
kriteria yang ditetapkan. Kurang memuaskannya nilai rata-rata UN Matematika juga
menunjukan bahwa berpikir tingkat tinggi siswa di Indonesia masih tergolong rendah.
Selain itu faktor lainnya yang menyebabkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika di Indonesia rendah adalah pembelajaran yang biasa diterapkan guru di
kelas, faktor pertamanya seperti mengajarkan dengan diajari teori/definisi/teorema,
kemudian diberikan contoh-contoh dan terakhir diberikan latihan soal pembelajaran

13
Kisi-kisi UN
14
Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Hasil
Ujian Nasional, (https://puspendik.kemendikbud.go.id/hasil-un/) diakses pada 22 Juli 2019 pukul
13.16 WIB.
seperti ini biasa disebut pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered).15 Proses
belajar seperti ini tidak membuat anak didik berkembang dan mampu bernalar
berdasarkan pemikirannya, tapi justru lebih menerima ilmu secara pasif. 16 Dengan
demikian, langkah-langkah dan proses pembelajaran yang selama ini umumnya
dilakukan oleh para guru di sekolah adalah kurang tepat, karena justru akan membuat
anak didik menjadi pribadi yang tidak memiliki kemampuan bernalar.
Faktor kedua yang menyebabkan kemampuan tingkat tinggi matematika siswa
rendah adalah proses pembelajaran yang belum mengikutsertakan siswa dalam
membangun pengetahuan mereka. Menurut Pusat Penilaian Pendidikan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
berdasarkan hasil studi TIMSS tahun 2015, salah satu faktor yang mempengaruhi
capaian pendidikan Indonesia adalah kualitas pembelajaran, karena dari sisi durasi
pembelajaran matematika Indonesia termasuk paling lama di antara negara-negara
lainnya namun kualitasnya masih kurang.17 Serta pemberian soal penilaian kelas
sehari-hari harus dibiasakan dengan soal-soal berpikir tingkat tinggi matematika agar
hasil belajar dapat mencapai tujuan pembelajaran.18
Selain itu terdapat aktivitas yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi yaitu (1) berbagi ide matematika melalui diskusi kelompok, (2)
mengidentifikasi dan merumuskan hal-hal penting dari masalah, (3) penyelidikan dan
pemecahan masalah, (4) mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah, (5)
mengevaluasi hasil dan menarik kesimpulan. Sementara itu, aktivitas guru yaitu: (1)
menyajikan masalah, (2) mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar, (3)
memberikan scaffolding (bantuan) selama proses penyelidikan hingga pada tahap
penarikan kesimpulan, dan (4) menggunakan pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi.19

15
4305-8542
16
ibid
17
63260
18
ibid
19
Aktivitas pembelajaran 137
Salah satu model pembelajaran yang menerapkan aktivitas tersebut dan
diperkirakan dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
adalah model pembelajaran Reflective Inquiry. Reflective Inquiry terdiri dari dua kata,
Reflective dan Inquiry. Inquiry sendiri ditafsirkan sebagai proses resmi dalam
mencari tahu penyebab sesuatu. Reflektif sebagai berpikir memiliki arti yang sama
dengan refleksi, refleksi adalah kesadaran bahwa sesuatu itu diyakini atau tidak, tidak
hanya berdasarkan pada bagaimana seseorang diarahkan untuk mendapatkannya,
seperti hanya diberitahu atau diajarkan saja, tetapi orang itu perlu menemukan bukti,
saksi, dasar , dan perintah yang dapat mendukung sesuatu untuk dipercaya atau
disangkal.20 Sehingga reflective Inquiry adalah aktivitas aktif dan gigih seseorang
dalam mencari bukti yang dapat mendukung sesuatu untuk dipercaya, dan bertujuan
untuk mengatur ulang sistem kepercayaan dalam diri.21
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Model Reflective Inquiry Terhadap
Kemampuan Higher Order Mathematical Thinking Siswa”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan Latar belakang di atas, maka terdapat beberapa masalah yang
didentifikasi, yaitu:
1. Pembelajaran yang diberikan di sekolah lebih menekankan berpusat pada
guru, sehingga kurang melibatkan siswa salam membangun pengetahuan.
2. Kemampuan berpikir matematika siswa masih tergolong level rendah.
3. Soal dan alat evaluasi berbasis kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika
siswa belum sepenuhnya diberikan di kelas.
4. Perangkat pembelajaran Model Reflective Inquiry belum tersedia di sekolah.

20
Reflective inquiry metode
21
Reflective inquiry metode
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari perluasan masalah yang dikaji dalam penelitian. Maka
masalah akan dibatasi pada:
1. Kemampuan yang diukur dalam penilitian ini adalah Higher Order
Mathematical Thinking dengan indikator Comparing (Membandingkan),
Classyfying (Mengelompokkan), Inductive Reasoning (Penalaran induktif),
Analyzing Erros (Menganalisis Kesalahan).
2. Model pembelajaran yang digunakan adalah Reflective Inquiry
3. Pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran matematika pada materi aritmatika
sosial
4. Pada penelitian hanya diambil dua kelas secara acak, satu kelas menggunakan
model pembelajaran reflective inquiry dan satu kelas menggunakan model
konvensional
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika dengan model reflective inquiry?
2. Bagaimana kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika dengan model konvensional?
3. Apakah kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika menggunakan model reflective inquiry
lebih besar daripada yang memperoleh pembelajaran matematika
menggunakan model konvensional?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan model reflective inquiry.
2. Untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan model konvensional.
3. Untuk menganalisis perbandingan kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematika antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model
reflective inquiry dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model
konvensional.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan informasi bahwa pembelajaran dengan model reflective
inquiry memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir tingkat
tinggi matematika.
b. Sebagai referensi untuk penelitian lain yang relevan
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, diharapkan model reflective inquiry dapat memberikan suatu
pengalaman yang bermanfaat bagi pengembangan kemampuannya dan
dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa,
serta menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar matematika lebih giat lagi.
b. Bagi guru, diharapkan model reflective inquiry dapat menjadi alternatif
pembelajaran yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi matematika.
c. Bagi sekolah, diharapkan model reflective inquiry mampu meningkatkan
kualitas pembelajaran matematika di sekolah.

Anda mungkin juga menyukai